Ini Adab Mengkritik Dalam Ajaran Islam
Surabaya — 1miliarsantri.net : Dalam Islam mengajarkan sebuah prinsip kritis yang penuh adab. Kritik di dalam Islam dianggap sebagai instrumen perbaikan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Adab mengkritik menjadi landasan utama, di mana setiap kritik haruslah dilakukan dengan keahlian dan tanpa meninggalkan jejak penghinaan. Islam mengajarkan bahwa kritik yang konstruktif adalah jalan untuk mencapai perbaikan, sementara penghinaan hanya akan merusak esensi dari pesan yang ingin disampaikan. Para ulama terdahulu memberikan petunjuk mengenai pedoman dalam memberikan kritik. Mereka menggunakan penilaian yang adil, memiliki standar yang jelas dalam mengkritik orang dan pernyataan. Contohnya, ulama hadits pada masa lampau sangat ketat dalam menilai sebuah riwayat hadits. Namun, mereka juga memahami bahwa tidak selalu diperlukan untuk mengevaluasi lawan atau lawan bicara dalam setiap kondisi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat mengungkapkan kritik. Ada beberapa adab yang harus diperhatikan jika ingin melakukan kritik: “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapatkan ganjaran sesuai niatnya.” (HR. Bukhari no. 6953). “Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44). Orang yang menyampaikannya disebut orang yang melakukan kebodohan. Allah ta’ala berfirman: “Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian” (QS. Al-Hujurat: 6). “Tahrisy adalah memancing pertengkaran antara orang-orang satu sama lain” (Jami’ Al Ushul, 2/754). Dengan kata lain, tahrisy adalah provokasi. Tahrisy adalah perbuatan langkah setan untuk memecah belah kaum Muslimin. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya setan telah putus asa membuat orang-orang yang shalat menyembahnya di Jazirah Arab. Namun setan masih bisa melakukan tahrisy di antara mereka” (HR. Muslim no. 2812). Melakukan provokasi atau tahrisy ini termasuk namimah (adu domba). Al Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Namimah ada dua macam: terkadang berupa tahrisy (provokasi) antara orang-orang dan mencerai-beraikan hati kaum Mu’minin. Maka ini hukumnya haram secara sepakat ulama” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371, Asy Syamilah). Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, beliau mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW sedang berkumpul berdiskusi suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui dan bertanya, “Kapankah hari kiamat tiba?” Namun Nabi SAW tetap melanjutkan pembicaraannya. Beberapa orang berkata, “Dia mendengar kata-katanya, tetapi dia tidak menyukai apa yang dia katakan.” Dan ada pula yang berkata, “Dia tidak mendengarkan perkataannya.” Hingga akhirnya Nabi SAW menyudahi pembicaraannya sambil bersabda, “Di manakah orang-orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Orang (yang bertanya) menjawab, “Saya ya Rasulullah!” Maka Nabi SAW bersabda, “Bila kamu sudah kehilangan kepercayaan, maka tunggulah hari kiamat.” Orang itu bertanya, “Bagaimana kepercayaan itu bisa hilang?” Nabi SAW bersabda, “Jika urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR.Bukhari) Kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya dapat menjadi contoh, yang diabadikan dalam Surat Maryam ayat 43: “Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (yat) Baca juga :


