Penjelasan Terkait Hutang Bagi Fakir Miskin Yang Meninggal

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Dalam aturan Islam dijelaskan, setiap orang Muslim yang memiliki hutang, maka wajib hukum nya untuk melunasi hutang tersebut. Namun ketika telah meninggal, maka para ahli waris nya lah yang akan melunasi hutang orang yang meninggal. Namun bagaimana bila ahli waris tidak sanggup melunasinya, karena ahli waris juga tergolong orang tidak mampu. Lalu siapa yang terkena kewajiban menanggung utang yang meninggal itu dan apa konsekuensinya bagi almarhum bila utangnya tidak ada yang membayar? Selain itu bagaimana juga bila ahli waris memiliki ekonomi yang baik tetapi tidak bersedia melunasi utang orang tuanya yang telah meninggal? Pendakwah yang juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah Djalaluddin Pane Foundation (DPF), KH Rakhmad Zailani Kiki, mengatakan seseorang Muslim yang berutang, di dalam fiqih zakat diistilahkan dengan gharim yang merupakan salah satu golongan penerima zakat. Namun, kriteria gharim ini adalah seseorang yang berutang untuk menafkahi kebutuhan pokok hidupnya, dan Dia tidak memiliki harta untuk membayar utang tersebut. Kalaupun orang tersebut memiliki harta, harta itu hanya cukup untuk menopang kebutuhan pokoknya sehari-hari. Seperti pengertian gharim di dalam kitab Kifayatul Akhyar Jilid 1: الدين الذي لزمه لمصلحة نفسه فيعطى من الزكاة ما يقضي به دينه إن كان دينه في غير معصية Artinya, “(Pihak yang memiliki) utang dan diperuntuk kan untuk kemaslahatan diri sendiri. Orang atau pihak ini (boleh) diberi harta zakat sekadar untuk menutup utangnya jika utang tersebut dipergunakan bukan dalam rangka maksiat.” Pengertian dari kemaslahatan diri sendiri adalah untuk menafkahi kebutuhan pokok hidupnya sendiri sehari-hari. Dengan demikian, jika seseorang Muslim terlilit utang namun dia masih memiliki harta yang lebih dari kebutuhan pokok, seperti misalnya tanah, rumah kedua, properti, serta kendaraan di luar kebutuhan pokok, maka dia tidak disebut sebagai gharim atau tidak termasuk ke dalam golongan gharimin. “Maka, ketika seseorang Muslim yang berutang wafat namun utangnya belum dilunasi dan ahli warisnya juga tergolong orang tidak mampu dan dia memeneuhi kriteria sebagai gharim, maka baitul maal, badan atau lembaga amil zakat “dapat” dan boleh melunasi utang si gharim yang telah wafat ini. Pengertian dapat di sini bukanlah kewajiban karena yang berkewajiban membayar utang adalah almarhum sendiri yang kalau almarhum masih memiliki aset atau harta benda maka dapat digunakan oleh ahli waris untuk membayar atau melunasi utang almarhum,” terang Kiai Kiki kepada 1miliarsantri.net, Kamis (14/09/2023). Menurut Kiai Kiki, kebolehan membayarkan utang almarhum dengan zakat memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Yang membolehkan karena sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati. Seperti yang tertera di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi: ـ (فَرْعٌ) لَوْ مَاتَ رَجُلٌ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَا تِرْكَةَ لَهُ هَلْ يُقْضَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ فِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا صَاحِبُ الْبَيَانِ (أَحَدُهُمَا) لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ الصَّيْمَرِيِّ وَمَذْهَبُ النَّخَعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ (وَالثَّانِي) يَجُوزُ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَلِأَنَّهُ يَصِحُّ التَّبَرُّعُ بِقَضَاءِ دَيْنِهِ كَالْحَيِّ وَلَمْ يُرَجِّحْ وَاحِدًا مِنْ الْوَجْهَيْنِ Artinya: “Jika ada orang meninggal, diamempunyai tanggungan utang sedangkan ia tidak mempunyai aset yang ditinggalkan. Apakah utang boleh dibayarkan dari jatah “gharimin” (orang-orang utang)? Di sini terdapat dua wajah (dua pendapat). Pertama, tidak boleh. Pendapat ini dilontarkan oleh As-Shaimariy, mazhab An-Nakha’iy, Abu Hanifah dan Ahmad. Kedua, boleh-boleh saja sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati.” Kiai Kiki mengatakan dirinya lebih mengikuti pendapat yang membolehkan seperti pendapat Ad-Darimi yang membolehkan mengambil jatah zakat untuk melunasi utang almarhum jika memang tidak ada ahli waris yang membayarkannya. Sementara itu menurut kiai Kiki konsekuensinya bagi almarhum bila utangnya tidak ada yang membayarkan dan atau melunasi utangnya, jika semasa hidupnya dia memang punya niat kuat untuk melunasi utangnya, dia selamat dari hukuman Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang melunasi utangnya. Namun sebaliknya, jika semasa hidupnya dia memang tidak mempunyai niat melunasi utangnya atau punya niat untuk merugikan orang yang mengutanginya, Allah SWT membinasakannya atau memberikan hukuman kepadanya karena merupakan perbuatan dosa. Hal ini sesuai hadits dari sahabat Abu Hurairah: مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya.” (HR Imam Bukhari). Lebih lanjut Kiai Kiki menjelaskan bahwa sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa istilah warisan utang tidak ada dalam fiqih. Apabila almarhum meninggalkan tanggungan utang yang banyak dan dia tidak meninggalkan aset cukup, maka ahli waris tidak otomatis berkewajiban membayar utang-utang almarhum. Sehingga tidak ada konsekuensi apapun bagi ahli waris jika tidak mau membayarkan utang almarhum. “Dan konsekuensinya bagi almarhum, seperti yang dijelaskan di atas, bila utangnya tidak ada yang membayarkan dan atau melunasi utangnya, jika semasa hidupnya dia memang punya niat kuat untuk melunasi utangnya, dia selamat dari hukuman Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang melunasi utangnya. Namun sebaliknya, jika semasa hidupnya dia memang tidak mempunyai niat melunasi utangnya atau punya niat untuk merugikan orang yang mengutanginya, Allah SWT membinasakannya atau memberikan hukuman kepadanya karena merupakan perbuatan dosa. Hukumannya adalah jiwa si mayat tertahan di alam barzakh sehingga tidak dapat masuk surga,” katanya. Hal ini Bedasarkan sebuah hadits; َبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ “Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: “Jiwa seorang mukmin itu tertahan oleh sebab uutangnya sampai utang itu dilunasi.” (yus) Baca juga :

Read More

Meninggalkan Sholat, Akan Menjadi Penghalang Terkabulkan nya Doa

Jakarta — 1miliarsantri.net : Setiap Muslim memiliki kewajiban terhadap Allah SWT. Salah satu kewajiban yang dilakukan adalah mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi larangan-Nya. Tapi bagaimana jika seorang Muslim sangat rajin berdoa tapi hampir-hampir tak pernah sholat? Najmi bin Umar Bakkar dalam buku 50 Sebab Doa tidak Terkabul menjelaskan, meninggalkan kewajiban kepada Allah SWT akan menjadi penghalang terkabulnya doa.  Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 186:  وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ  الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا  لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ Yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Laits berkata bahwa Nabi Musa AS melihat seseorang yang menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Kemudian Nabi Musa berkata, “Rabbku, hamba-Mu berdoa kepada-Mu agar Engkau merahmatinya dan Engkau Zat Yang Paling Penyayang, lalu apa yang akan Engkau perbuat untuk memenuhi kebutuhan hamba itu?” Allah kemudian berfirman, ‘Wahai Musa, jika seandainya hamba tersebut menengadahkan kedua tangannya hingga selesai maka aku tidak akan melihat kebutuhannya hingga ia memperhatikan hak-Ku.” Seorang Muslim seharusnya merasa malu apabila ia terus-menerus berdoa kepada Allah SWT dan meminta kebaikan, tapi di sisi lain ia secara sadar telah meninggalkan kewajiban sholat.  Meninggalkan sholat fardhu merupakan dosa. Aun bin Abdullah bertanya kepada Abu Ishaq, “Apa yang kini tersisa pada dirimu, wahai Abu Ishaq?”  Dia pun menjawab, “Kini aku tinggal membaca Alquran dalam satu rakaat.” Aun pun berkata, “Yang tersisa pada dirimu saat ini adalah kebaikanmu, sementara keburukanmu lenyap.”  Maka dianjurkan bagi umat Islam untuk senantiasa tidak menyepelekan kewajibannya terhadap Allah SWT dan senantiasa meniru orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. (yan) Baca juga :

Read More

Beberapa Fakta Nabi Adam dan Keluarganya Setelah Berada di Bumi 

Jakarta — 1miliarsantri.net : Nabi Adam AS dan istrinya Siti Hawa diperintahkan untuk keluar dari surga dan turun ke bumi karena dianggap telah melanggar ketentuan apa yang sudah dilarang oleh Allah SWT. Maka sejak saat itulah Nabi Adam dan Hawa diturunkan ke bumi dan menjadi manusia pertama yang hidup dan tinggal di bumi. Setelah pertemuan keduanya di bumi seusai berpisah beberapa puluh tahun, keduanya pun bertemu kembali. Berikut ini sejumlah fakta terkait pertemuan keduanya setelah berada di bumi:  1. Setelah Adam dan istrinya diturunkan ke bumi, berkembanglah anak keturunannya. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran surat Al-Araf [7]: 24-25. Allah SWT berfirman:  قَالَ اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ قَالَ فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ “Allah berfirman, “Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan, kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan. Kemudian, Allah juga berfirman, “Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.” Penjelasan serupa juga terdapat dalam surah Al Baqarah [2]: 36. 3. Para ulama sepakat, sejak diturunkan ke bumi, istri Adam, yakni Hawa, melahirkan anak-anak Adam sebanyak 20 kali. Namun, setiap kelahiran selalu kembar, putra dan putri.  Dengan demikian, jumlahnya mencapai 40 orang  4. Di antara sekian banyak anak Adam, terdapat kisah yang menjadi awal mula pembunuhan di muka bumi. Pembunuhan itu dilakukan Qabil terhadap adiknya yang bernama Habil. (QS Almaidah [5]: 27-30)    5. Nabi Adam lalu pulang dan menemukan salah satu putranya telah tiada karena dibunuh oleh anaknya sendiri. Allah SWT berfirman:  إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya, Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka, semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS Al-Ahzab [33]: 72). Dialah Qabil, manusia yang tidak amanah dalam menunaikan pesan Nabi Adam AS untuk menjaga keluarganya. Demikianlah keterangan Imam Ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Jilid I, halaman 13  6. Dijelaskan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil kepada saudaranya yang bernama Habil itu terjadi di daerah Makkah. Sebab, Makkah merupakan tempat tinggal Adam dan Hawa setelah mereka turun ke bumi  Hal senada juga diungkapkan Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Athlas Al-Qur’an. Syauqi menjelaskan, pembunuhan Habil terjadi di Makkah. Inilah pendapat yang paling kuat   7. Sedangkan, Qabil, setelah membunuh Habil, pergi melarikan diri ke daerah Yaman. Demikian diterangkan Ath-Thabari dalam Qishash al-Anbiya, Qabil melarikan diri dari ayahnya (Adam) dan menuju ke daerah Yaman  8. Adapun Adam, menurut sebagian riwayat, ia hidup hingga berusia 1000 tahun. Riwayat lainnya menyebutkan, usianya antara 950-1000 tahun. Jarak antara Adam dan Nuh juga 1000 tahun atau 10 abad. Demikian keterangan Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa an-Nihayah. Ibnu Katsir menjelaskan, ada seseorang bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah Adam seorang nabi? Rasul SAW menjawab, Ya, nabi yang diberikan wahyu. Orang itu kembali bertanya, Berapa lama rentang waktu antara Adam dan Nuh? Nabi SAW menjawab, “Sepuluh abad.” (HR Muslim). 9. Dalam buku Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Sami al-Maghluts menjelaskan, Adam diperkirakan hidup tahun 5872-4942 Sebelum Masehi (SM). Sedangkan, Nabi Nuh diperkirakan hidup sekitar tahun 3993-3043 SM (usia 950 tahun). Lihat juga penjelasan Ahmad al-Usairy dalam Tarikh al-Islamy.  10. Menurut beberapa riwayat, Adam dimakamkan di Gunung Qasiyun, di daerah Damaskus. Syauqi Abu Khalil menambahkan, di Gunung Qasiyun yang menjulang tinggi di Kota Damaskus dari arah utara, terdapat satu gua yang bernama Magharatud dan yang berarti gua darah. Gua ini sangat terkenal. Oleh sebagian masyarakat umum, tempat itu diyakini sebagai tempat Qabil membunuh saudaranya, Habil.  Lokasinya terletak di sebelah kanan jalan dari arah Damaskus menuju Zabdani dan Balaudan. Sementara itu, di wilayah itu, gunung yang menjulangh tinggi di atas lembah Sungai Bardi terdapat satu kuburan yang panjangnya kira-kira 15 meter. Sebagian masyarakat meyakini, tempat itu sebagai kuburan Habil.   (yan) Baca juga :

Read More

Habib Syech : Berkah Sholawat, Maksiat Minggat

Bandar Lampung — 1miliarsantri.net : Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf mengajak seluruh masyarakat untuk memperkuat dan memperbanyak majelis-majelis shalawat. Dengan banyaknya majelis shalawat dan lantunan-lantunannya, kemaksiatan dan hal-hal negatif bisa dihilangkan. “Insyaallah berkat shalawat, maksiat minggat,” tegas Habib Syech saat hadir pada Bandarlampung Bershalawat di Lapangan Saburai, Kecamatan Enggal, Bandarlampung, Jumat (08/09/2023) malam. Untuk lebih menguatkan kegiatan majelis shalawat, ia mengungkapkan keinginannya untuk sering datang ke Lampung. Ia berharap ke depan bisa berkunjung ke seluruh kabupaten dan kota di Lampung untuk bersama-sama bershalawat kepada Rasulullah SAW. Habib Syech pun mengungkapkan kerinduan kepada Lampung karena sudah lama tidak hadir ke Sai Bumi Ruwa Jurai ini. Ia menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah mempelopori kedatangannya ke Lampung untuk mensyiarkan shalawat sebagai bentuk kerinduan pada Rasulullah. “Saya doakan semua yang hadir akan mendapatkan kemuliaan dan keberkahan dapat berjumpa dengan Nabi Muhammad, berziarah ke tempat Nabi Muhammad, mendapatkan syafaat Nabi Muhammad, dibanggakan Nabi Muhammad. Dengan memandang wajah beliau walau dalam mimpi-mimpi, atau dengan ziarah ke tempat beliau di Madinah Munawwarah,” imbuhnya. Jika majelis-majelis shalawat ramai seperti pada acara tersebut, maka menurut Habib Syech, Rasulullah akan senang dan bangga. Ia pun menyampaikan terimakasih kepada Nahdlatul Ulama yang telah menjadi sebab kehadirannya di Lampung. “Saya datang ke sini juga sebabnya dari pada Nahdlatul Ulama. Yang juga mempelopori majelis di malam hari ini. Semua kepengurusan Nahdlatul Ulama ada di sini,” lanjutnya. Habib Syech pun mendoakan kepengurusan NU Lampung ke depan akan dapat berkiprah dengan baik dan lebih maju. “Mudah-mudahan dapat memimpin dengan baik, dan insyaallah NU ke depan tambah maju, tambah baik, dan tambah berkah,” katanya. Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung H Puji Raharjo mengatakan bahwa warga Nahdlatul Ulama adalah pecinta Rasulullah. Sebagai pencinta Rasul maka warga NU harus meneladani Rasulullah dalam keseluruhan aspek kehidupan. Di antaranya menurutnya warga NU harus terus menjaga bangsa dan negara dan mewujudkan kemaslahatan bersama. “Mari kita jaga Kota Bandar Lampung ini. Mari kita jaga provinsi Lampung ini, dan Mari kita jaga Indonesia kita ini, menjadi Indonesia aman, damai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” pintanya. Ia juga mengajak kepada seluruh masyarakat untuk bersatu dan kompak dalam melewati tahun politik dan pesta demokrasi di dalamnya. Dengan kebersamaan dan kesatuan, maka semua akan dapat dilewati dengan lancar dan sukses. (tri) Baca juga :

Read More

Ciri-ciri Orang Lalai Dalam Melakukan Sholat

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Shalat adalah tiang agama Islam. Setiap Muslim wajib mendirikan shalat minimal 17 rakaat dalam lima waktu setiap harinya. Keutamaan ibadah tersebut didapat bila kita tidak lalai dalam shalat. Allah SWT berfirman dalam surah Al Ma’un ayat 4 yang berbunyi, “Celakalah orang yang shalat”. Seruan ini ditujukan bagi mereka yang lalai dalam shalat. Lalu, apa ciri-ciri dari orang yang lalai dalam shalatnya? Imam Ibnu Qayyim menyebut sejumlah ciri orang yang lalai dalam shalat, yaitu. Aa Gym mengatakan, ciri pertama ini dimiliki orang munafik yang menganggap shalat adalah beban dan berat dijalankan. “Ketika orang lain tidak mengetahui dia cenderung tidak mau shalat dan dia suka ingin diketahui oleh orang lain bahwa dia melaksanakan shalat,” kata Aa Gym dalam salah satu kajiannya. Padahal, Allah Ta’ala mencintai orang yang shalat di awal waktu, “ash-shalatu’ ala waqtiha”. Gerakan yang dilakukan dengan cepat tidak dengan tu’maninah sehingga tidak ada kenikmatan dalam menikmati bacaan juga gerakan shalat. Semakin panjang bacaan Imam ketika shalat maka lamunan dan perencanaan dalam pikirannya akan semakin panjang. Sehingga mengingat hanya Allah semakin sedikit. (yus) Baca juga :

Read More

Kisah Musailamah Mengaku Nabi

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Suatu ketika, Musailamah al-Kazzab di hadapan baginda Nabi Muhammad SAW sudah mengaku sebagai Nabi. Setelah baginda Nabi Muhammad SAW wafat, ulah Musailamah al-Kazzab semakin menjadi-jadi. Ketika itu orang-orang Arab banyak yang murtad dari lslam, maka Musailamah al-Kazzab semakin mendapatkan kekuatan. Sehingga Sayyidina Abu Bakar As-Shidiq Radhiyallahu ‘anhu semakin memeranginya. Allah SWT memberi kekuatan kepada lslam dan Musailamah dapat dibunuh. Akan tetapi, pada pertempuran itu, satu shahabat Nabi Muhammad SAW mati syahid, termasuk para hafizh Alquran. Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Amirul Mukminin Abu Bakar, “Dalam pertempuran itu banyak para hafizh Alquran yang syahid. Aku khawatir jika ada pertempuran lagi, akan semakin banyak hafizh Alquran yang mati syahid, dan dikhawatirkan akan banyak bagian Alquran yang hilang. Untuk itu, sebaiknya Alquran ditulis di satu mushaf, agar selamat dan terjaga.” Abu Bakar berkata, “Bagaimana aku berani mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh baginda Rasulullah SAW?” Namun Umar bin Khattab terus mendesaknya dan menyampaikan pentingnya mengumpulkan Alquran. Akhirnya, Abu Bakar menyetujui usul Umar bin Khattab. Maka Abu Bakar memanggil Sayyidina Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu. Zaid bin Tsabit bercerita, “Aku datang kepada Abu Bakar, sedangkan Umar bin Khattab sudah berada di sana.” Kemudian Abu Bakar menceritakan pembicaraannya dengan Umar bin Khattab mulai dari awal sampai akhir. Setelah itu Abu Bakar berkata, “Kamu seorang pemuda yang cerdas, orang-orang sangat mempercayai kamu, dan tidak ada yang bersangka buruk terhadap kamu. Selain itu, kamu termasuk penulis wahyu pada zaman baginda Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, kumpulkanlah Alquran yang ada pada orang-orang dan tulislah di satu mushaf.” Zaid bin Tsabit menjawab, “Demi Allah, seandainya aku diperintahkan memindahkan sebuah gunung dari suatu tempat ke tempat lain, hal itu lebih mudah bagiku daripada harus mengumpulkan Alquran.” Zaid bin Tsabit berkata kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab, “Mengapa hal itu harus dilakukan, padahal baginda Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya?” Abu Bakar dan Umar bin Khattab terus memberikan pemahaman kepada Zaid bin Tsabit sampai menerimanya. Menurut sebuah riwayat, Abu Bakar berkata kepada Zaid bin Tsabit, “Jika kamu menyetujui pendapat Umar, maka aku akan memerintahkannya. Jika kamu tidak setuju, maka aku tidak berniat memerintahkannya.” Zaid bin Tsabit bercerita, “Setelah lama membahasnya dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, akhirnya Allah SWT membukakan hatiku untuk mengumpulkan Alquran menjadi satu. Untuk menunaikan perintah itu, aku mencari dan mengumpulkan Alquran yang tertulis di tempat yang terpisah-pisah dan yang tersimpan di dada para sahabat (Rasulullah SAW) (HR Imam Bukhari) Kitab Kisah-Kisah Sahabat yang ditulis Syaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi diterbitkan Pustaka Ramadhan menjelaskan, dalam kisah di atas kita dapat mengetahui tentang ketaatan para sahabat Nabi Muhammad SAW kepada Rasulullah SAW. Bagi mereka, lebih mudah memindahkan gunung daripada harus melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Allah SWT pasti menganugerahkan pahala yang besar di dalam buku catatan amal para sahabat Nabi SAW, karena jasa mereka dalam mengumpulkan Alquran yang merupakan dasar agama. Zaid bin Tsabit begitu hati-hati dalam mengumpulkan Alquran, sehingga ia tidak mengambil ayat yang tidak tertulis. Zaid bin Tsabit hanya mengumpulkan catatan-catatan yang telah ditulis pada masa baginda Nabi Muhammad SAW masih hidup, kemudian mencocokkannya dengan Alquran yang ada di dada para sahabat Nabi SAW yang hapal Alquran. Untuk mengumpulkannya diperlukan usaha yang sangat gigih, karena ayat-ayat Alquran telah ditulis di tempat yang terpisah-pisah. Namun, semuanya dapat dikumpulkan. Sayyidina Ubay bin Ka’ab Radiyallahu ‘anhu yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling mahir dalam Alauran selalu ikut membantu usaha ini. Melalui usaha ini, seluruh Alquran telah dikumpulkan untuk pertama kalinya oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW. (yus) Baca juga :

Read More

Kisah Az-Zahrawi, Seorang Ahli Bedah yang Luar Biasa Kehebatannya

Jakarta — 1miliarsantri.net : Az-Zahrawi lahir pada 938 di Kordoba, Andalusia. Dia merupakan tokoh yang menulis At-Tasrif, sebuah ensiklopedia medis yang mencakup berbagai aspek kedokteran, termasuk kebidanan, kesehatan ibu dan anak, dan pembedahan Abad ke-10 merupakan puncak kejayaan Bani Umayyah di Andalusia. Di bawah kepemimpinan ‘Abd ar-Rahman An-Nasir (memerintah 912-961) dan putranya, Al-Hakam II, dinasti ini membangun kedaulatan atas sebagian besar Semenanjung Iberia. Ibu kota Cordoba berkembang menjadi kota metropolitan terbesar di Eropa, sebuah kota yang berkembang dengan setengah juta penduduk, di mana institusi pendidikan dan keagamaan serta perdagangan dan industri berkembang dalam atmosfer yang penuh dengan intelektual. Pada 936, An-Nasir memulai pembangunan ibu kota baru, Az-Zahra, di lereng Al-Arus, sebuah gunung yang terletak enam mil di sebelah barat laut Kordoba. Ditujukan terutama sebagai pusat politik dan militer, kota baru ini menjadi monumen arsitektur Muslim abad ke-10. Istana-istana megah, tempat tinggal, dan taman-tamannya yang indah membuat beberapa sejarawan menjulukinya sebagai “Versailles-nya Bani Umayyah.” Bani Umayyah dan Ilmu PengetahuanMengutip About Islam, pada saat yang sama, Bani Umayyah Andalusia memberikan dukungan yang besar terhadap seni dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu hayati. Sebagai hasilnya, sejumlah besar dokter terkemuka tertarik ke ibu kota dan menambah kemajuan kedokteran dan farmasi Islam dengan tulisan dan penelitian mereka. Di kota kerajaan di tengah-tengah atmosfer pencapaian intelektual inilah Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas Az-Zahrawi, yang dikenal di Barat dengan nama latinnya Albucasis, lahir sekitar tahun 938. Dia adalah ahli bedah Muslim terbesar, dengan ahli bedah Eropa pada masanya menganggapnya sebagai otoritas yang lebih besar daripada Galen, ahli bedah yang diakui di dunia kuno. Teks-teks bedah Eropa abad pertengahan lebih sering mengutip Az-Zahrawi daripada Galen. Namun, karena Az-Zahra, kota kelahirannya, dihancurkan pada tahun 1011, tidak banyak yang diketahui dengan pasti tentang kehidupan awalnya. Jadhwat al-Muqtabis (On Andalusia Savants) karya Al Humaydi berisi biografi pertama yang ada (meskipun, samar-samar) tentang dokter Islam yang hebat ini, yang hanya mencantumkan leluhurnya, tempat tinggal, dan perkiraan tanggal kematiannya. Karya TulisApa yang diketahui tentang Az-Zahrawi terdapat dalam satu-satunya karya tulisnya: At-Tasrif liman ‘Azija ‘an at-Ta’lif (Metode Pengobatan). At-Tasrif adalah ringkasan 30 risalah yang disusun dari data medis yang dikumpulkan Az-Zahrawi dalam karir medisnya selama lima dekade sebagai pengajar dan praktisi medis. Dalam At-Tasrif, Az-Zahrawi menghasilkan sebuah ensiklopedia medis yang mencakup sejumlah aspek kedokteran dengan penekanan khusus pada kebidanan, kesehatan ibu dan anak, serta anatomi dan fisiologi tubuh manusia. At-Tasrif menguraikan penyebab, gejala dan pengobatan penyakit, dan membahas persiapan obat-obatan dan terapi, yang meliputi obat muntah dan jantung, obat pencahar, geriatri, tata rias, dietetika, materia medica, berat badan dan ukuran, serta penggantian obat. Pembahasan Az-Zahrawi tentang kesehatan ibu dan anak serta profesi kebidanan merupakan hal yang menarik dalam sejarah keperawatan. Teksnya menyiratkan bahwa ada profesi bidan dan perawat terlatih yang berkembang selama abad ke-10 Andalusia. Dia dan dokter ahli dan dokter kandungan lainnya menginstruksikan dan melatih para bidan untuk menjalankan tugas mereka dengan pengetahuan dan kepercayaan diri. Volume terakhir dan terbesar dari At-Tasrif, “On Surgery”, tidak lain adalah pencapaian terbesar dalam bidang bedah pada abad pertengahan. Buku ini merupakan risalah bedah independen pertama yang pernah ada. Ahli Bedah MuslimKarya ini mencakup berbagai masalah bedah termasuk kauterisasi, perawatan luka, ekstraksi anak panah, dan pengaturan tulang pada patah tulang sederhana dan patah tulang majemuk. Az-Zahrawi juga mempromosikan penggunaan antiseptik pada luka dan cedera kulit; menemukan jahitan dari usus hewan, sutra, wol, dan bahan lainnya; serta mengembangkan teknik untuk memperlebar saluran kemih dan pembedahan untuk mengeksplorasi rongga tubuh. Az-Zahrawi adalah orang pertama yang merinci operasi klasik untuk kanker payudara, litotripsi untuk batu kandung kemih, dan teknik untuk mengangkat kista tiroid. Dia menggambarkan dan mengilustrasikan tang kebidanan, tetapi hanya merekomendasikan penggunaannya pada janin yang sudah meninggal, dan memberikan deskripsi pertama yang diketahui tentang postur kebidanan yang sekarang dikenal sebagai “posisi Walcher.” At-Tasrif juga merupakan karya pertama yang mendiagramkan instrumen bedah, merinci lebih dari dua ratus di antaranya, yang sebagian besar dirancang oleh Az-Zahrawi sendiri. Banyak dari instrumen ini, dengan modifikasi, masih digunakan sampai sekarang. Dengan bangkitnya kembali minat Eropa terhadap ilmu kedokteran, At-Tasrif dengan cepat menjadi referensi standar yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebanyak lima kali. Susunan karya ini, diksi yang jelas, dan penjelasannya yang jernih, semuanya berkontribusi pada popularitas dan kesuksesan besar. Pengaruh Az-Zahrawi terhadap perkembangan bedah di Eropa sangat dalam dan bertahan lama. Guy de Chauliac, “Pemulih Bedah Eropa” yang diakui, mengutip Az-Zahrawi lebih dari 200 kali. (yan) Baca juga :

Read More

Gus Baha : Belajar agama itu tidak perlu kaku

Rembang — 1miliarsantri.net : Ulama ahli tafsir sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran LP3IA di Narukan, Kragan, Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) membagikan tips belajar agama dengan bahagia. Tips tersebut berguna bagi umat Islam yang hendak mendalami syariat Islam. Dia menjelaskan, beragama tidak perlu kaku, apalagi menjadi seseorang yang paling benar. Nabi Muhammad SAW dan umat Islam terdahulu memiliki selera humor tinggi. Mereka tidak kaku dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ada banyak kisah-kisah humor dalam kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat. “Hubungan khalik dan mahluk itu mesra. Apalagi antarmahluk, antarmanusia, nabi, sahabat, santri bersama gurunya, wali bersama muridnya, semua harus mesra,” urai Gus Baha saat menyampaikan tausiah yang disiarkan melalui kanal youtube, dikutip Rabu (06/09/2023). Gus Baha lalu menceritakan saat Nabi Musa AS mengajak 70 santrinya naik gunung. Nabi Musa AS mendapat perintah dari Allah SWT untuk bersiap-siap menerima wahyu, yakni Kitab Taurat. Ketika di atas gunung, Nabi Musa AS menyendiri. Setelah beberapa lama, dia mengajak santrinya turun. “Yuk, sudah dapat wahyunya. Kita turun sekarang,” ucap Gus Baha memperagakan Nabi Musa AS mengajak para santrinya turun gunung. Tetapi, para santri Nabi Musa AS protes. “Tidak bisa begitu wahai Musa. Kita juga harus sama dong, kami ingin menyaksikan Allah dengan mata kepala sendiri, sama seperti Anda, wahai nabi,” ujarnya. Lalu, Allah SWT memerintahkan petir menyambar dan mati semua santri Nabi Musa AS. Nabi Musa sangat terkejut menyaksikan hal tersebut. Nabi Musa lalu berkata kepada Allah: “Jangan begitu Allah, aku kan butuh saksi yang menyaksikan bahwa aku benar-benar menerima wahyu dari-Mu. Kalau mati semua, maka tidak ada saksi? Sekalian saja aku Kau matikan. Hidupkanlah mereka lagi ya Allah,” ujar Nabi Musa memohon. Lalu, santri Nabi Musa AS dihidupkan kembali oleh Allah SWT. Mereka menjadi saksi turunnya wahyu Nabi Musa AS. Gus Baha mencontohkan belajar agama dengan cara bahagia. Dia menafsirkan Al-Qur’an lalu disampaikan menggunakan bahasa yang ringan, bisa dipahami masyarakat awam. Meski disambut gelagak tawa, namun terdapat hikmah di balik kisah tersebut, salah satunya belajar Islam tidak perlu kaku. (lif) Baca juga :

Read More

KH Miftachul Akhyar : Beberapa Jenis Rejeki yang Harus Kita Ketahui

Surabaya — 1miliarsantri.net : Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menjelaskan, ada beberapa hal yang dimaksud dengan rejeki. Jadi rezeki bukan hanya uang, ilmu juga termasuk rezeki, karena rezeki memiliki arti setiap yang bisa dimanfaatkan. Menurut Kiai Miftach, apapun yang dimiliki, baik rezeki dhahir maupun rezeki ilmu harus ada nilai infaq di dalamnya. “Jadi, apapun yang kita punya harus ada nilai infaqnya, baik berupa infaq rezeki dhahir, maupun rezeki ilmu, dan lain sebagainya. Setiap yang bisa dimanfaatkan itu namanya rezeki. Ilmu dimanfaatkan, makanan dimanfaatkan, baju dimanfaatkan,” ujarnya dilansir dari YouTube Multimedia KH Miftachul Akhyar, Senin (04/09/2023). Ia menjelaskan, rezeki dibagi menjadi dua, yaitu rezeki halal dan rezeki haram. Rezeki haram pun termasuk ke dalam rezeki di mana yang haram adalah cara mendapatkannya. Sementara rezeki baik yang halal atau haram itu tidak lepas dari apa yang ditulis oleh malaikat saat 40 hari yang ketiga di rahim ibu. “Sebenarnya rezeki kita itu sudah dibagi habis oleh Allah, nggak tambah, nggak kurang. Hanya saja ada orang nggak tahan, akhirnya ambil milik orang lain, mencuri milik orang lain. Padahal yang diambil itu sebenarnya rezekinya sendiri. Hanya caranya yang salah, ambilnya dengan cara yang salah, akhirnya jadi haram,” terangnya. Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya tersebut menegaskan bahwa apapun yang bisa gunakan, bisa dimakan, bisa dipakai, bisa dihabiskan itu namanya rezeki. Kemudian jika manusia dapat menerapkan rezeki yang dimilikinya dengan baik, tidak akan saling menuntut, iri, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, Kiai Miftach menjelaskan bahwa setan dan iblis merupakan salah satu makhluk yang diberi kekuasaan atau kemampuan oleh Allah untuk mengganggu rezeki manusia. “Iblis, syetan, jin, dan semua jaringan-jaringannya, dan semua yang ikut dalam barisannya itu bisa mengganggu rezeki manusia. Makanya kalau kita makan dan minum sebelumnya baca bismillah, maka setan akan kelaparan dan kehausan karena nggak bisa menikmati rezeki kita, karena sudah baca bismillah. Pokoknya kita diperintah bagaimana menjadikan setan di sekeliling kita, setan yang tidak mau melepaskan kita itu bisa menjadi kurus-kurus. Maka seringlah baca bismillah,” sambung Kiai Miftach. Ia mengungkapkan, istri, suami, dan anak itu termasuk rezeki. Kiai Miftach menegaskan bahwa apapun yang menjadi rezeki manusia bisa diganggu setan. Sehingga Rasulullah SAW mengingatkan manakala mau berhubungan suami istri membaca doa, agar anak yang terlahir tidak diganggu setan. Kiai Miftach menegaskan, Insyaallah setan nggak akan bisa mengganggu. Akhirnya jadilah anak yang gampang nurut. Kalau nakal waktu kecil biasa, nakalnya anak kecil itu tanda cerdas, dewasa sudah sadar. Setan diberikan kemampuan yang luar bisa, kekuasaan mengganggu manusia termasuk mengganggu rezeki Bani Adam. “Bukan hanya itu, setan juga diberikan kemampuan merusak ekonomi Bani Adam, kalau bisa ekonomi Bani Adam menjadi haram semua, paling tidak syubhat,” pungkas Kiai Miftach. (yat) Baca juga :

Read More

Keutamaan Luar Biasa Puasa Ayyamul Bidh

Surabaya — 1miliarsantri.net : Rukun Islam merupakan lima perkara dasar yang menjadi syarat untuk menjadi sosok Muslim yang sempurna. Di antara lima perkara tersebut adalah ibadah puasa. Selain bulan yang wajib yakni puasa di bulan Ramadhan, terdapat beberapa puasa sunnah. Diantara sekian puasa sunnah yang ada, puasa Ayyamul Bidh dihukumi sebagai sunnah muakkad atau sangat dianjurkan. Ibadah ini dilakukan di hari-hari putih (white days), saat bulan bersinar terang atau purnama sempurna di malam hari. Karena itu, puasa Ayyamul Bidh dilakukan sesuai dengan penanggalan kalender Hijriah, yaitu setiap tanggal 13, 14 dan 15 di setiap bulannya. Dari Jarir bin ‘Abdullah, dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Puasa tiga hari setiap bulan adalah puasa Dahr dan puasa hari-hari Bidh (putih cerah karena sinar rembulan), adalah waktu pagi tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas.” [Sunan an-Nasa’i] Selain itu, dalam hadits lain diketahui bahwa Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menjalankan Saum (puasa) pada tiga hari setiap bulan setara dengan puasa sebulan penuh.” [Al-Bukhari dan Muslim] Puasa merupakan suatu amalan yang sangat diganjar oleh Allah SWT. Dari Abu Huraira meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Allah Yang Maha Agung dan Ta’ala bersabda: Setiap amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Hal ini dilakukan demi Aku, dan Aku akan memberikan pahala untuk itu. Demi Allah yang di tangan-Nya nyawa Muhammad, nafas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi musk.” [Shahih Muslim] Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Pahala setiap amal (kebaikan) seseorang dikalikan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Allah (SWT) berfirman: ‘Pahala menjalankan Saum (puasa) berbeda dengan pahala amal shaleh lainnya; Saum itu untuk-Ku, dan Aku Sendiri yang akan memberikan pahalanya. Orang yang menjalankan Saum pantang makan dan minum hanya demi Aku.’ Orang yang berpuasa mempunyai dua peristiwa yang menggembirakan, satu pada saat berbuka, dan yang lainnya pada saat bertemu Rubb-nya. Sesungguhnya nafas orang yang mengamati Saum lebih harum di sisi Allah dari pada harumnya musk.” [Muslim] Dilansir di About Islam, Ahad (03/09/2023), disebutkan bahwa dengan puasa akan membantu seorang Muslim mendisiplinkan dirinya. Di sisi lain, ibadah ini juga bentuk dari pemurnian spiritual dan fisiknya. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman: ‘Setiap amalan anak Adam adalah untuknya, kecuali As-Siyam (puasa) yang (khususnya) untuk-Ku, dan Aku akan membalasnya atas hal itu.’ Puasa adalah perisai. Jika ada di antara kalian yang menjalankan puasa, hendaknya ia tidak mengucapkan kata-kata kotor dan tidak boleh meninggikan suaranya; dan siapa pun yang mencaci-makinya atau mencoba bertengkar dengannya, hendaknya dia berkata: ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Dia yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, nafas orang yang menjalankan Saum lebih harum di sisi Allah daripada wangi musk. Orang yang berpuasa merasakan dua kebahagiaan: kenikmatan yang dirasakannya saat berbuka. Dia bergembira karena puasanya ketika bertemu Rubb-nya.” [Al-Bukhari dan Muslim] Menjalankan puasa di hari putih termasuk nafila (sunnah/sunnah). Setiap tindakan sunnah yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari Cinta Allah, merupakan sarana langsung untuk mendapatkan Cinta Allah. Jika Allah SWT mencintai seseorang, maka hidupnya akan dipenuhi dengan berkah. Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala bersabda: ‘Barangsiapa yang memusuhi wali (sahabat)-Ku, maka Aku menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih dicintai-Ku selain kewajiban-kewajiban agama yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nawafil hingga Aku Mencintainya. Ketika Aku Mencintainya, Akulah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan Akulah tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Seandainya dia meminta [sesuatu] kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepadanya; dan jika dia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya perlindungan.’” [Al-Bukhari] Hadits ini menunjukkan bahwa Wilaya Allah (kedekatan dengan Allah) dicapai dengan menunaikan amalan wajib, kemudian ditingkatkan secara nawafil (sukarela). Hal ini membawa seseorang kepada Cinta Allah dan Wilaya-Nya. Adapun pahala Wilaya adalah, “Sesungguhnya bagi para sekutu Allah tidak ada rasa takut terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (Yaitu) Orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Bagi mereka kabar baik dalam kehidupan dunia dan akhirat. Tidak ada perubahan pada janji Allah. Itu ˹benar-benar˺ kemenangan tertinggi.” (QS Yunus ayat 62-64). (yat) Baca juga :

Read More