Beberapa Kisah Perjuangan Empat Ibu Mulia Yang Termaktub Dalam Al Qur’an

Surabaya — 1miliarsantri.net : Dalam keindahan Al-Quran, termaktub kisah-kisah mengharukan dan menginspirasi tentang perjuangan empat ibu mulia. Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam, keempat perempuan ini melukis cerita tentang keimanan, kesabaran, dan keteguhan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Masing-masing membawa pesan mendalam tentang kasih ibu, keberanian, dan ketulusan yang menggetarkan hati. Hajar Ibunda Nabi Ismail Salah satu kisah yang mengharukan adalah kisah Hajar, ibunda Ismail. Ketika Nabi Ibrahim berdo’a dan meninggalkannya bersama Ismail di gurun tandus, ia berucap, “Ya Tuhan Kami, sesungguhnya diriku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Ka’bah) yang dihormati. Ya Alloh, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat. Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim ayat 37). Keteguhan dan kesabaran Hajar diuji oleh Alloh ketika Ismail membutuhkan air. Dalam pencarian air, Hajar berlari bolak-balik antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah. Al-Quran menjelaskan, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Alloh. Maka, siapa beribadah haji ke Baitulloh atau berumroh, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Alloh Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Baqarah ayat 158). Dalam kisah ini, para ibu diajarkan tentang ketekunan, kesabaran, dan kepasrahan kepada kehendak Allah. Hajar barangkali tidak memikirkan keadaan dirinya yang sedang lemah tak ada tenaga, namun ia tetap berusaha melakukan ikhtiar untuk mendapatkan air. Beginilah sosok ibu yang senantiasa tidak rela bila mendapati anaknya berada dalam kelaparan, kehausan, dan kepayahan. Milyanah Ibunda Nabi Musa Selain kisah Hajar, Al-Qur’an menuturkan kisah ibu yang luar biasa, yakni ibunda Musa, yang oleh sejarawan disebut Milyanah. Dalam masa pemerintahan Fir’aun yang kejam, di mana penguasa tersebut memerintahkan pembunuhan terhadap bayi laki-laki Bani Israil, Milyanah menghadapi ujian besar. Fir’aun melaksanakan kebijakan yang mengerikan: “Sungguh, Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash ayat 4). Milyanah, ibu Musa, hidup dalam keadaan bingung dan terpukul dengan kebijakan diskriminatif Fir’aun. Di tengah keputusasaan itu, Allah memberi ilham ke dalam hatinya untuk mengambil langkah yang benar: “Letakkanlah ia (Nabi Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Firaun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”. (QS. Thaha ayat 39). Sebelum peti itu terlempar ke sungai Nil, sang ibu menyusui Musa. Al-Qur’an mencatat, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya. Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para Rasul”. (QS. Al-Qashash ayat 7). Kisah Milyanah menggambarkan keharuan seorang ibu yang tegar dalam menghadapi ujian berat. Kesetiaan dan keberanian yang ditunjukkan oleh ibu Musa menjadi inspirasi abadi bagi setiap ibu yang menghadapi tantangan dalam perjalanan hidupnya. Hanah Ibunda Maryam Dalam Al-Qur’an, kita mendapati kisah Hanah, ibunda Maryam, dan istri dari Imran. Hanah terkenal karena melakukan nazar sebelum kelahiran Maryam, menghadiahkan anaknya untuk berbakti di Baitul Maqdis. “(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali Imran ayat 35). Namun, ketika saat kelahiran tiba, kenyataan tak sesuai dengan prasangka ibunda Maryam. Hanah, dengan tulus dan rendah hati, menerima anak perempuannya sebagai anugerah dari Allah dan tetap setia pada nazarnya. “Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: ‘Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Alloh lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk. (QS. Ali Imran ayat 36). Kisah Hanah memancarkan ketulusan dan keikhlasan seorang ibu yang setia pada janji dan nazar yang telah diucapkannya. Sebagai teladan bagi umat, Hanah mengajarkan kita untuk selalu berserah diri pada kebijaksanaan Alloh meski rencana kita tak selalu sejalan dengan takdir-Nya. Maryam Ibunda Nabi Isa Maryam bin Imran mengukir kisah yang mempesona dalam lembaran Al-Qur’an. Ia bukan hanya seorang perempuan biasa, tetapi teladan bagi setiap muslimah di berbagai pelosok dunia. Keimanan dan ketakwaannya kepada Allah membawa berkah luar biasa, menciptakan keajaiban yang mengejutkan orang-orang di sekitarnya. Al-Qur’an mencitrakan Maryam sebagai figur perempuan yang mulia, suci, dan penuh kesabaran. “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, Sesungguhnya Alloh telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”. (QS. Ali Imran ayat 42-43). Dengan kasih sayang Ilahi yang melimpah, Maryam membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menjadi teladan yang memancarkan cahaya keimanan dan ketakwaan, menginspirasi generasi setelahnya. Melalui kisahnya, Al-Qur’an mengajarkan bahwa kepatuhan kepada Alloh dan kesucian hati adalah pondasi yang kokoh untuk memperoleh keberkahan-Nya. Epilog Empat Kisah tentang Ibu di dalam Al Qur’an di atas memberikan nilai-nilai keteguhan, kesabaran, keikhlasan, dan ketakwaan yang melekat dalam peran seorang ibu. Kisah Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam merupakan panduan hidup bagi setiap ibu dan perempuan muslimah. Keberanian, kepasrahan, dan keikhlasan mereka di hadapan ujian hidup menggambarkan kebesaran peran seorang ibu dalam membentuk karakter, menghadapi cobaan, dan mendidik generasi penerus. Rasululloh SAW Bersabda: عن بهز بن حكيم، عن أبيه، عن جده، قال: قلتُ يا رسول الله: مَن أَبَرّ؟ قال: “أُمَّك، ثم أُمَّك، ثم أُمَّك، ثم أَباك، ثم الأقربَ، فالأقربَ”. [حسن] – [رواه أبو داود والترمذي وأحمد] Dari Ibu, 5 Air Yang Tak Bisa Di Ganti Oleh Sang Anak : Dari Bahz bin Hakīm, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah bertanya, ‘Wahai Rasululloh, siapakah yang harus saya perlakukan dengan baik?’ Beliau Rasululloh SAW bersabda, ‘Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian (kerabat) yang terdekat lalu yang terdekat’ “.(Hadist Hasan Riwayat…

Read More

Kadar Keikhlasan Menurut Syekh Nawawi Al Bantani

Surabaya — 1miliarsantri.net : Dalam perjalanan seorang mukmin, Ikhlas menjadi fondasi utama yang membangun nilai-nilai ibadah. Sejalan dengan pandangan Syekh Nawawi Al-Bantani, ada tiga tingkatan ikhlas yang menjadi pilar utama dalam setiap amal ibadah. Ikhlas inti dari kebermaknaan ibadah, menelurkan perbedaan dalam dimensi spiritualitas merupakan tingkatan dari kepasrahan kepada Allah SWT dalam beribadah. Syekh Nawawi dalam Kitab Nurudh Dholam menyampaikan tingkatan ikhlas yang harus dipahami setiap muslim. Pertama, ikhlas karena Allah. Ikhlas karena Allah menempati posisi pertama dan utama. Ikhlas dalam kelompok ini adalah seorang mukmin ketika beribadah kepada Allah dan melakukan amal saleh, sama sekali tidak mengharapkan apapun kecuali ridha Allah. Seorang mukmin tidak juga mengharapkan pahala surga atau untuk menghindari siksa neraka. Menurut Syekh Nawawi, ikhlas seperti ini berada pada tingkatan tertinggi. Kedua, ikhlas karena akhirat. Tingkatan ikhlas kedua adalah beribadah dan beramal saleh karena mengharapkan pahala, mendapatkan surga, dan takut pada siksa neraka. Menurut Syekh Nawawi, tingkatan ikhlas ini berada pada tingkatan menengah. Ketiga, ikhlas karena dunia. Tingkatan ikhlas terakhir adalah beribadah karena mengharapkan balasan di dunia, misalnya seseorang melakukan ibadah membaca Surat Al-Waqi’ah dengan harapan bisa mendapat kekayaan, mengeluarkan sedekah berharap mendapat rezeki yang berlipat ganda, dan seterusnya. Menurut Syekh Nawawi, ikhlas seperti itu adalah ikhlas yang berada pada tingkatan paling rendah. Allah SWT berfirman: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah kamu (Yahudi dan Nasrani) hendak berdebat dengan kami tentang Allah? Padahal, Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. Hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri. (QS Al-Baqarah Ayat 139) Dalam ayat ini dijelaskan bahwa hanya kepada Allah seorang hamba dengan tulus mengabdikan diri tanpa mempersekutukan-Nya. (yat) Baca juga :

Read More

Saat Rasulullah SAW Ditantang untuk Melawan Takdir Ajal

Surabaya — 1miliarsantri.net : Nabi Muhammad SAW kerap diejek dan diolok-olok oleh orang kafir Quraisy yang tidak mempercayai risalah Islam. Sampai suatu ketika, Nabi ditantang untuk melawan takdir seperti maut dan musibah agar dapat dihalau untuk membuktikan kenabiannya. Allah berfirman dalam Surat Yunus ayat 49: قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ ضَرًّا وَّلَا نَفْعًا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ لِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌ ۚاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَلَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ “Qul lā amliku linafsī ḍarraw wa lā naf‘an illā mā syā’allāh(u), likulli ummatin ajal(un), iżā jā’a ajaluhum falā yasta’khirūna sā‘ataw wa lā yastaqdimūn(a).” Yang artinya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak kuasa (menolak) mudarat dan tidak pula (mendatangkan) manfaat kepada diriku, kecuali apa yang Allah kehendaki.” Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak (pula) dapat meminta percepatan.” Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah menafsirkan ayat tentang orang-orang musyrik yang berulang-ulang mengatakan, “Bilakah datang janji, yakni ancaman, Wahai Muhammad beserta pengikut-pengikutmu yaitu orang-orang yang benar, cobalah segera datangkan siksa itu.” Tujuan dari orang-orang musyrik tersebut adalah mengejek agar disegerakan datangnya siksa. Maka ayat ini merupakan jawaban dari pertanyaan orang-orang musyrik itu. Rasulullah SAW sendiri tidak mampu menolak kemudharatan dan tidak pula dapat mendatangkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Jika demikian, bagaimana mungkin Rasulullah dapat menghadirkannya kepada orang lain? Apa yang akan terjadi kepada manusia adalah kehendak Allah yang waktu dan kadarnya telah ditetapkan oleh-Nya. Sehingga semua itu bersifat gaib dan Rasulullah tidak mengetahui hal tersebut. Ketika itu seakan-akan orang musyrik ada yang berkata, “Mengapa engkau tidak berdoa saja agar kami segera disiksa-Nya dan engkau bersama kaum Muslimin dapat dengan bebas melakukan apa yang dikehendaki-Nya?” Maka usul mereka yang seperti itu disanggah dengan ayat ini. Bahwa setiap umat mempunyai takdir ajal atau kebinasaan yang tidak dapat diajukan atau ditunda. Karena itu, tunggulah datangnya ajal itu. Apabila telah datang ajal mereka, yakni setiap orang, maka mereka tidak dapat memajukan atau memundurkannya walau sedetik. Adapun dalam Tafsir Kementerian Agama dijelaskan, Allah mengajarkan kepada Rasulullah SAW jawaban yang harus dikatakan kepada mereka dengan memerintahkan kepada Rasulullah agar mengatakan kepada mereka bahwa Rasulullah tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak pula mendatangkan kemanfaatan kepada dirinya. Sebab Rasulullah hanya utusan Allah yang tidak berkuasa untuk mempercepat ataupun memperlambat datangnya siksaan yang dijanjikan Allah kepada mereka, sebagaimana ia juga tidak dapat memperlambat datangnya pertolongan Allah yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang Muslimin. Akan tetapi datangnya manfaat dan mudharat yang ditimpakan kepada manusia, tiada lain hanyalah atas kehendak Allah semata. Itu berarti apabila Allah menghendaki terjadinya sesuatu, maka hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kehendak Rasul-Nya, karena kehendak itu hanyalah semata-mata milik Allah yang memelihara alam semesta. Tugas Rasul hanyalah menyampaikan kehendak Allah, bukan menciptakan kehendak. Apabila Rasulullah mengetahui akan hal-hal yang gaib, tidak lain hanya karena mengetahuinya dari wahyu Allah semata. (yat) Baca juga :

Read More

Doa yang Dibaca Rasulullah SAW Setiap Sholat Hanya Untuk Umatnya

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Suatu hari, ada seseorang menemui Rasulullah SAW. Lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu terjadi?” Mendengar pertanyaan itu, Nabi SAW balik bertanya, “Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapi hari itu?” Orang itu menjawab, “Tidak ada, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar itu, Nabi SAW bersabda, “Engkau bakal bersama yang engkau cinta.” (HR al-Bukhari). Kita tidak melihat Rasulullah SAW karena tidak hidup pada zamannya. Bagaimana Nabi SAW berjuang mendakwahkan Islam dan menegakkan risalah Ilahi meskipun menghadapi banyak cobaan dan penentangan yang keras dari kaumnya. Bahkan, sampai dahi Nabi SAW berdarah karena terkena batu yang dilemparkan orang-orang Thaif. Kita tak juga tak melihat langsung bagaimana Nabi SAW rela meninggalkan Makkah, tanah kelahirannya, menuju Madinah demi menjaga iman dan harapan bahwa Islam akan bersinar di tanah yang baru, dan itu akhirnya terbukti. Meskipun kita tak melihat Rasulullah SAW secara langsung, tetapi kita membaca sirah atau perjalanan hidup Nabi SAW yang penuh dengan perjuangan. Nabi SAW melakukan itu tiada lain karena mencintai kita, umatnya, agar tidak salah jalan atau melenceng dari jalan yang lurus. Melalui Nabi SAW, Allah SWT menurunkan risalahnya untuk kita. Nabi SAW adalah rahmat bagi alam semesta. Nabi SAW mengasihi, menyayangi, dan mencintai kita sepenuh hati dan ingin sekali kita selamat di dunia dan akhirat kelak. Nabi SAW sangat mencintai kita, dan demi itu rela menderita di jalan dakwah. Dalam hadis diceritakan, Rasulullah SAW berbincang santai di rumahnya bersama Aisyah, istrinya. Aisyah menuturkan, “Ketika aku memandang wajah Rasulullah, hatiku terasa tenteram. Lalu, aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, doakanlah aku.’ Beliau pun mengangkat tangannya berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Aisyah, seluruh dosanya yang lalu dan yang akan datang, dosanya yang terlihat dan yang tersembunyi’.” Mendengar itu, Aisyah begitu senang. Saking senangnya, sampai ia menjatuhkan kepalanya di pangkuan suaminya itu. Kemudian Nabi SAW bertanya, “Senangkah kamu dengan doaku tadi?” Aisyah menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak gembira dengan doamu, ya Rasulullah?” Beliau meneruskan, “Demi Allah, itu juga doaku untuk umatku di setiap shalat.” (HR Ibnu Hibban). Nabi SAW sangat mencintai kita dengan selalu mendoakan kita di setiap shalatnya. Lalu bagaimana dengan kita? Kita memang tak melihat Nabi SAW secara langsung, tetapi bisa merasakan cintanya itu yang membuat kita sudah seyogianya mencintai beliau. Cinta kita kepada Nabi SAW tak hanya dengan mengucapkan shalawat, tetapi juga mengikuti ajaran-ajarannya secara menyeluruh, baik itu pada ucapan, perbuatan, maupun sifat-sifatnya. Kita ikuti semua perintah Nabi SAW dan menjauhi semua larangannya. Itulah cinta kita kepadanya, seperti dalam ayat, “Katakanlah, ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali ‘Imran [3]: 31). Ketika kita mencintai Rasulullah SAW dengan mengikutinya, maka Nabi SAW akan memberi kita syafaat di hari kiamat dan akan menjadi teman dekat kita. Kita akan bersamanya, seperti disebutkan pada hadis di awal. Di akhirat, kita akan bersama yang kita cintai di dunia. Kita masuk dalam lingkaran para nabi dan rasul serta orang-orang saleh. (yus) Baca juga :

Read More

Kefanaan Waktu Insaniyah dan Keabadian Waktu Illahiyah

Surabaya — 1miliarsantri.net : Pengetahuan dan kesadaran kita tentang waktu, tidak terlepas dari kesadaran dan pengetahuan kita tentang ruang. Kita berada di ruang bumi yang berputar pada porosnya serta mengitari pusat semesta dengan teratur. Keteraturan beredar dan berputarnya bumi pada poros dan jalurnya, beredarnya matahari dan bulan yang tetap tak berubah. Telah memampukan manusia sebagai makhluk berakal membangun sistem perhitungan waktu. Angka2 tahun, nama-nama bulan, nama-nama hari, angka-angka tanggal bahkan akhirnya terwujud dalam sistem kalender yang beragam berdasarkan perhitungan benda langit, dapat diciptakan. Kita mengenal kalender gregorian, kalender hijriyah, kalender çaka, kalender jawa, kalender china, kalender jepang, kalender maya, dan lain sebagainya. Kalender tersebut menghasilkan ilmu tentang semesta, tentang siklus dan liniernya sang “waktu”, tentang zodiac astrologi, ilmu falak dan astronomi, siklus pasaran, wuku, ilmu tentang musim dan cuaca bahkan ilmu meramal masa depan. Kalender menjadi sangat penting sebagai penanda dan pencatat peristiwa penting dalam hidup kemanusiaan. Kalender mencatat dan menandai hari lahir dan mati manusia, peristiwa peristiwa bersejarah, bangun dan runtuhnya peradaban, rencana2 masa depan manusia, juga menentukan hari2 suci keagamaan dan bahkan memperhitungkan bencana dan bahagia masa depan manusia. Juga me”ramal”kan seluruh semesta ini entah kapan pasti binasa. Kalender seharusnya menjadi rekakarya manusia yang menyadarkan dirinya betapa fana dan maya hidupnya. Beberapa hari ke depan, angka tahun 2023 sudah berganti menjadi 2024 dalam perhitungan kalender Gregorian berdasar peredaran matahari, yang dipakai sebagian besar umat manusia di dunia sebagai penanda perjalanan waktu. Ada sistem kalender lain yang didasarkan peredaran bulan atau kombinasi keduanya. Seperti sistem kalender Jawa karya Sultan Agung. Waktu bisa diukur dan diperhitungkan, sistem kalender bisa dibuat, karena kita berada di bumi sebagai bagian dari semesta yang perputaran dan peredaran kosmologisnya sangat teliti, detil dan presisi. Manusia sadar waktu, karena “diri” masih terbungkus jasad. Entah apa yang terjadi kalau jasad kita musnah karena kematian. Entah apa yang terjadi kalau planet bumi, ruang tempat tinggal semua makhluk, perputaran dan peredarannya bergeser nol koma nol derajat saja. Apalagi kalau tiba tiba semesta ini musnah atau rusak salahsatunya. Dimanakah gerangan “sang waktu”? Apakah ini yang disebut sebagai waktu abadi milik Sang Maha Transenden? Inikah yang disebut waktu Illahiyah? Kehadiran tahun baru Gregorian ini sering disambut dengan pesta dan hura hura dengan penuh suka cita bahkan lupa diri. Ada baiknya kita mengikuti jejak tradisi masyarakat Jawa ketika menyambut tahun baru 1 Suro dengan perilaku yang reflektif, laku prihatin, “withdrawl and return”, melakukan tapa kungkum, laku mbisu, mandi besar dan juga membersihkan atau jamasan benda benda pusaka. Sebagai laku perenungan dan membersihkan diri lahir batin. Sebab seiring berjalannya waktu, jasmani akan semakin rapuh dan semestinya jiwa semakin menguat. Kesadaran waktu adalah kesadaran spiritual, betapa fana dan tidak abadinya kehidupan ini. Seandainya ruang tiada, jasad tiada, bumi dan semesta tiada, dimanakah gerangan sang waktu? Keabadian yang tak terperi dan tak terbayangkan. Itulah maha misteri semesta tanpa ruang tanpa waktu, keabadian tak terperi yang hanya milik Tuhan. Dzat Transenden Maha Agung yang Hanya Satu bagi semua manusia dan seluruh isi semesta. (yat) Baca juga :

Read More

Rasulullah SAW Mengajarkan Baca Doa Ini Agar Mendapatkan Rahmat Allah

Surabaya — 1miliarsantri.net : Rahmat Allah SWT begitu luas kepada makhluk-Nya. Bahkan dalam sebuah riwayat, tentang perandaian luasnya rahmat tersebut, Allah SWT baru memberikan satu rahmat dari 100 rahmat yang Dia miliki. Kendati demikian, Rasulullah SAW senantiasa mengajarkan kita berdoa meminta rahmat-Nya. Sebab sebagai umat Islam, penting kiranya untuk membaca doa-doa. Sebab doa merupakan ‘senjata’ bagi orang yang beriman. Dengan berdoa dalam waktu susah maupun senang, Allah SWT akan senantiasa memudahkan segala perkara yang hamba-Nya lalui. Dalam buku Kumpulan Doa Doa terbitan Kementerian Agama disebutkan sejumlah bacaan doa harian. Salah satunya adalah doa memohon keluasan rahmat. Doa ini disarikan dari surat Ghafir ayat 7-8. Berikut lafaznya: رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذذَابَ الْجَحِيمِ رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Robbana wasi’ta kulla syai’in rohmatan wa ilman faghfir lilladzina taabuu wattaba’u sabilaka waqihim adzabal jahim. Robbana wa adkhilhum jannati adnin allati wa adatahum wa man sholaha min aabaa-ihim wa azwaajihim wa dzurriyatihim innaka antal azizul hakim.” Yang artinya, “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertauba dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga yang Engkau janjikan kepada mereka dari orang-orang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sungguh Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari balasan kejahatan.” Buya H Muhammad Alfis Chaniago dalam Indeks Hadits dan Syarah yang diterbitkan oleh Pustaka Kalbu, menjelaskan, doa adalah senjatanya orang beriman. Setiap kita punya kebutuhan, maka hendaklah manusia berdoa kepada Allah SWT, mohonlah kepada Allah SWT agar keinginan terpenuhi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al Baqarah ayat 186). Sebanyak apa pun kebutuhan manusia, mintalah kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan mengabulkan doa hamba-Nya. Dalam surat Al-Mumin ayat 60, Allah SWT berfirman: وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” Buya Alfis Chaniago menjelaskan, janganlah manusia berdoa kepada selain Allah SWT. Karena, tidak ada satu pun yang mengabulkan doa manusia selain Allah SWT. Dalam surat Al Ahqaf ayat 5, Allah SWT berfirman: وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُوا۟ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُۥٓ إِلَىىٰ يَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ وَهُمْ عَن دُعَآئئِهِمْ غَٰففِلُونَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)-nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (yat) Baca juga :

Read More

Ini Adab Mengkritik Dalam Ajaran Islam

Surabaya — 1miliarsantri.net : Dalam Islam mengajarkan sebuah prinsip kritis yang penuh adab. Kritik di dalam Islam dianggap sebagai instrumen perbaikan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Adab mengkritik menjadi landasan utama, di mana setiap kritik haruslah dilakukan dengan keahlian dan tanpa meninggalkan jejak penghinaan. Islam mengajarkan bahwa kritik yang konstruktif adalah jalan untuk mencapai perbaikan, sementara penghinaan hanya akan merusak esensi dari pesan yang ingin disampaikan. Para ulama terdahulu memberikan petunjuk mengenai pedoman dalam memberikan kritik. Mereka menggunakan penilaian yang adil, memiliki standar yang jelas dalam mengkritik orang dan pernyataan. Contohnya, ulama hadits pada masa lampau sangat ketat dalam menilai sebuah riwayat hadits. Namun, mereka juga memahami bahwa tidak selalu diperlukan untuk mengevaluasi lawan atau lawan bicara dalam setiap kondisi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat mengungkapkan kritik. Ada beberapa adab yang harus diperhatikan jika ingin melakukan kritik: “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapatkan ganjaran sesuai niatnya.” (HR. Bukhari no. 6953). “Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44). Orang yang menyampaikannya disebut orang yang melakukan kebodohan. Allah ta’ala berfirman: “Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian” (QS. Al-Hujurat: 6). “Tahrisy adalah memancing pertengkaran antara orang-orang satu sama lain” (Jami’ Al Ushul, 2/754). Dengan kata lain, tahrisy adalah provokasi. Tahrisy adalah perbuatan langkah setan untuk memecah belah kaum Muslimin. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya setan telah putus asa membuat orang-orang yang shalat menyembahnya di Jazirah Arab. Namun setan masih bisa melakukan tahrisy di antara mereka” (HR. Muslim no. 2812). Melakukan provokasi atau tahrisy ini termasuk namimah (adu domba). Al Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Namimah ada dua macam: terkadang berupa tahrisy (provokasi) antara orang-orang dan mencerai-beraikan hati kaum Mu’minin. Maka ini hukumnya haram secara sepakat ulama” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371, Asy Syamilah). Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, beliau mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW sedang berkumpul berdiskusi suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui dan bertanya, “Kapankah hari kiamat tiba?” Namun Nabi SAW tetap melanjutkan pembicaraannya. Beberapa orang berkata, “Dia mendengar kata-katanya, tetapi dia tidak menyukai apa yang dia katakan.” Dan ada pula yang berkata, “Dia tidak mendengarkan perkataannya.” Hingga akhirnya Nabi SAW menyudahi pembicaraannya sambil bersabda, “Di manakah orang-orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Orang (yang bertanya) menjawab, “Saya ya Rasulullah!” Maka Nabi SAW bersabda, “Bila kamu sudah kehilangan kepercayaan, maka tunggulah hari kiamat.” Orang itu bertanya, “Bagaimana kepercayaan itu bisa hilang?” Nabi SAW bersabda, “Jika urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR.Bukhari) Kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya dapat menjadi contoh, yang diabadikan dalam Surat Maryam ayat 43: “Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (yat) Baca juga :

Read More

Disaat Ditimpa Musibah dan Posisi Sulit, Rasulullah Kerap Berdzikir Yaa Hayyu Yaa Qayyum

Surabaya — 1miliarsantri.net : Masalah merupakan persoalan hidup yang harus dilewati oleh setiap manusia, tidak terkecuali umat Muslim. Masalah-masalah inilah yang membuat seseorang terus berproses menjadi lebih dewasa. Tingkatan kesulitannya tentu saja berbeda-beda, begitu juga cara mereka menyelesaikannya. Tetapi bagi seorang Muslim, Rasulullah saw telah mengajarkan umatnya untuk tidak lepas dari dzikir Ya Hayyu Ya Qayyum saat menghadapi cobaan yang amat sulit tersebut. Dzikir ini dipanjatkan Rasulullah ketika beliau sedang mengalami kesulitan. Melalui dzikir ini, Allah kemudian memberikan kemudahan atas kesulitan tersebut. Ya Hayyu Ya Qayyum sendiri merupakan nama-nama Allah yang terdapat dalam 99 Asmaul Husna. Al-Hayyu berarti Yang Maha Hidup dan al-Qayyum berarti Yang Maha Mandiri. Dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Al-Jawabul Kafi Liman Saala ‘Anid Dawaaisy-Syafi dan dinukil oleh Abdul Syukur Al Azizi dalam bukunya Hati Bahagia Rizki tak Terhingga, Ya Hayyu Ya Qayyum juga dikenal sebagai Ismul a’dzham atau Ismullahil a’dzham. Ismul a’dzham atau Ismullahil a’dzham adalah nama Allah Yang Paling Agung yang ada di dalam Alquran. Nama-nama ini, jika digunakan untuk berdoa maka doa orang tersebut akan dikabulkan oleh Allah Swt dengan segera. Penggunaan doa ini juga telah banyak diamalkan oleh orang-orang shalih dan para wali Allah Swt sejak zaman dahulu, sebelum masa Rasulullah Saw hingga sekarang. Rasulullah Saw bersabda: “Ismullah al-A’dzham yang jika digunakan untuk berdoa, maka Allah Swt akan mengabulkan doanya, (yakni) yang terdapat dalam tiga surat Alquran, yaitu al-Baqarah, Ali Imran, dan Thaahaa.” (HR. Ibnu Majah, Hakim dan Thabrani). Ibnul Qayyim al-Jauziyah, menyebutkan, bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw dalam hadits tersebut, menurut Al-Qasim adalah ya Hayyu ya Qayyum, yang terdapat dalam al-Baqarah ayat 255, Ali Imran ayat 2, dan Thaahaa ayat 111. Dalam hadits lain juga dikisahkan bahwa Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Mundzir. Beliau bertanya, “Hai Abu Mundzir, tahukah kamu ayat Alquran yang menurutmu paling agung?” “Allah dan rasul-Nya lebih tahu,” jawab Abu Mundzir. Kemudian, Rasulullah Saw. kembali bertanya, “Hai Abu Mundzir, tahukah kamu ayat Alquran yang menurutmu paling agung?” Abu Mundzir menjawab, “Yaitu ayat, ‘Dia-lah Allah, Tiada Tuhan selain Dia, Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri (al-Hayyu, al-Qayyum).” Mendengar jawaban itu, Rasulullah Saw. menepuk dada Abu Mundzir seraya bersabda, “Demi Allah, sungguh dalam ilmumu, wahai Abu Mundzir!” Dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa Nabi Isa As membaca al-Hayyu, al-Qayyum ketika menghidupkan orang yang telah mati. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa ketika Nabi Musa As. membelah Laut Merah saat dikejar oleh Fir’aun dan pasukannya, ia membaca Ahiyyan ya Hayy, Syarahiyyan ya Qayyum. Sementara itu, Sayyidina Ali Ra. meriwayatkan ketika terjadi Perang Badar, Rasulullah Saw bersujud memohon kepada Allah Swt agar memperoleh kemenangan sambil membaca ya Hayyu ya Qayyum. Keutamaan ya Hayyu ya Qayyum juga dinyatakan oleh Imam Ghazali. Menurutnya, orang yang senantiasa membaca dan mengamalkan Asmaul Husna ini, kata-kata dan perilakunya akan dipatuhi, mendapatkan rezeki dan kebijaksanaan, dijauhkan dari kesedihan, serta dilindungi dari berbagai bencana, seperti gempa bumi, banjir, kemalangan, tenggelam ketika pelayaran di laut, anak-anak tidak menurut nasihat orang tua, masalah bisnis, dan lain sebagainya. Keutamaan yang luar biasa dari ya Hayyu ya Qayyum juga dinyatakan dalam Tafsir Misbah. Pernyataan Quraish Shihab dalam tafsirnya ini seperti meneguhkan energi magis dua nama Allah Swt yang agung itu. Dalam Tafsir Misbah disebutkan bahwa tatkala membaca Ayat Kursi, seseorang akan menyerahkan jiwa dan raganya kepada Allah Swt. Kepada-Nya, ia akan meminta perlindungan. Dan saat itu, bisa jadi bisikan iblis melintas di dalam benaknya dan berkata, “Yang dimohonkan pertolongan dan perlindungan itu memang dulu pernah ada, tetapi kini telah mati”. Maka, penggalan ayat berikutnya yang meyakinkan ihwal kekeliruan bisikan makhluk terkutuk itu, yakni ayat yang berbunyi al-Hayyu (Yang Maha Hidup dengan kehidupan yang kekal). Namun, imbuh Quraish, si iblis belum tentu menyerah begitu saja, ia bisa datang lagi guna menerbitkan waham dan prasangka, seraya berkata, “Memang Dia hidup kekal, tetapi Dia pusing dengan urusan manusia, apalagi si pemohon”. Pada titik krusial itulah, sepenggal ayat yang berbunyi Qayyum (Sang Maha yang senantiasa menjaga makhluk-Nya) menampik bisikan dusta iblis itu. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa pada dua nama asma Allah Swt itu, tersimpan cadangan asa yang menggeliat dahsyat. Ya Hayyu dan ya Qayyum benar-benar serupa oase yang mampu memberikan spirit hidup bagi seseorang. Ya Hayyu ya Qayyum benar-benar dapat memberi kehidupan baru bagi seseorang. (yat) Baca juga :

Read More

Ustadz Syam: Musibah Juga Patut Disyukuri

Surabaya — 1miliarsantri.net : Dai muda Ustadz Syam Elmarusy menegaskan bahwa musibah juga patut disyukuri, karena nikmat di akhirat lebih penting daripada nikmat di dunia. “Syukur itu ada dua macam yakni Syakir dan Syakur. Syakir adalah syukur karena mendapat nikmat sedang Syakur adalah syukur karena musibah,” urainya daat memberikan tausiyah di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS), Ahad (17/12/2023) Pendakwah yang tinggal di Jakarta itu menyampaikan hal itu dalam agenda bulanan MAS yakni “Majelis Subuh GenZI (Generasi Z Islami)” yang bertema “Rahasia Muda Penuh Karya”. Di hadapan 2.000-an GenZI dan milenial, ia menjelaskan syakur (syukur karena musibah) itu patut dilakukan, karena musibah (ujian di dunia) itu bisa menghasilkan kebaikan/nikmat di akhirat. “Kalau kita bersyukur, inSya-Allah, nikmat (kebaikan) kita akan bertambah, meski mungkin menderita di dunia. Ibarat orang pincang yang tetap shalat itu artinya sehat, karena orang yang sehat/kaya tapi tidak shalat itu justru (sebenarnya) sakit/miskin,” sambungnya. Dalam tausiyah yang diawali dengan Shalat Subuh Berjamaah dan Doa Khotmil Qur’an oleh KH Abdul Hamid Abdullah (Imam Besar MAS) itu, Ustadz Syam menyebut orang yang taat (shalat) adalah orang cerdas, dengan mencontohkan Uwais Al Qarni dari Yaman. “Kalau kita taat atau shalat termasuk hamba yang cerdas karena patuh atau mengikuti perintah Allah yang memberi nikmat. Contohnya, Uwais Al Qarni yang miskin, tapi shalatnya cukup kuat, bahkan saking miskinnya sempat makan sisa roti di tempat sampah agar kuat untuk shalat. Beliau juga dikenal berbakti pada ibunya,” katanya. Terkait tema “Rahasia Muda Penuh Karya” (MSG ke-7), ustadz Syam memberikan rahasia sukses berkarya dari Sahabat Abdullah Ibnu Abbas dan Imam Bukhary. “Rahasia sukses Abdullah Ibnu Abbas adalah Ilmu, karena dunia dapat diraih dengan ilmu, akhirat juga dapat diraih dengan ilmu, dan keduanya dapat diraih dengan ilmu. Ilmu dapat diraih dengan suka bertanya, hati yang terbuka (mudah paham), dan ada biaya untuk Sekolah/Mondok,” lanjutnya. Sementara itu, rahasia sukses dari Imam Bukhary adalah Tekad/niat yang kuat, Dawam (sering/rajin/biasa mengulang ilmu), dan berbakti kepada orang tua. (har) Baca juga :

Read More

Anak Nabi Juga Pembunuh

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kisah Habil dan Qabil sangat populer dikalangan Muslimin. Mengingat, kisah keduanya merupakan tragedi dosa pembunuhan pertama yang dilakukan manusia. Inilah pelajaran pertama dari Allah bahwa manusia selalu digoda hawa nafsu untuk berbuat keburukan. Bukanlah jaminan putra seorang nabi yang mulia karena setan selalu hadir di setiap pembuluh darah manusia untuk bermaksiat kepada Allah. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi perseteruan kedua putra Adam tersebut? Cukup panjang kisah keduanya. Kisah keduannya dapat dibaca dalam Surah al-Maidah ayat 27-31. “Aduhai celaka aku!” teriak Qabil tak percaya dengan apa yang telah dilakukannya. Tapi, tubuh saudaranya, Habil, telah membiru tinggal seonggok daging. Penyesalannya tak terkira. Ia hanya mampu memandangi wajah pucat Habil yang tewas digenggaman tangannya. Kisah bermula ketika Nabi Adam dan Hawa (Eve) dikaruniai empat orang anak. Pertama kali, Hawa melahirkan anak kembar, yakni Qabil (Cain) dan seorang anak perempuan. Lalu, tak lama kemudian sang ibunda umat manusia melahirkan kembali dua anak kembar, yakni Habil (Abil) dan seorang anak perempuan. Keluarga Adam pun hidup bahagia. Anak-anak tumbuh dengan sehat hingga dewasa. Qabil dan Habil pun dewasa dengan perawakan sehat. Qabil bekerja mengolah tanah atau bertani. Sementara, Habil memilih menjadi peternak. Kehidupan berjalan normal hingga turun perintah Allah kepada Adam untuk menikahkan putra-putrinya. Allah memerintahkan agar Adam menikahkan setiap putranya pada selain kembaran mereka. Artinya, Qabil menikah dengan kembaran Habil dan Habil menikah dengan kembaran Qabil. Maka, disampaikanlah berita tersebut oleh Adam kepada kedua putranya. Tapi, kecantikan fisik telah menjadi daya tarik manusia sejak masa silam. Hal ini pun meyebabkan Qabil merasa iri dengan adiknya, Habil. Penolakan serta-merta datang dari Qabil. Putra sulung Adam mengajukan protes. Ia tak setuju pilihan pasangannya. Menurutnya, kembaran Habil tak secantik kembarannya. Dia pun berontak pada perintah Allah tersebut dengan menolak menuruti nasihat sang ayah. Adam pun merasa dilema atas sikap putra sulungnya. Sang Nabi ingin keluarganya selalu harmonis dan diliputi kedamaian. Dia pun meminta pertolongan Allah. Doanya pun terkabul, Allah dengan kebijaksanaan-Nya meminta pengorbanan dari setiap putra Adam. Siapa yang pengorbanannya diterima akan mendapat keadilan di sisi-Nya. Habil pun kemudian mengorbankan seekor unta yang terbaik dari ternaknya. Tapi, Qabil justru mengorbankan hasil panen biji-bijian yang paling buruk. Allah pun tak menerima korban Qabil karena ia melakukannya tanpa diliputi keikhlasan. Selain itu, Allah juga murka karena Qabil tak mematuhi ayahnya. Bukan bertaubat, Qabil justru makin marah bukan kepalang. Karena itu, berarti ia tak dapat menikahi saudara kembarnya yang jelita. Dengan hati diliputi kemarahan, Qabil mendatangi Habil untuk membunuhnya. Ia mendekati tubuh saudaranya untuk segera dihabisi. Di ujung maut, Habil masih berusaha mengingatkan saudaranya bahwa membunuh adalah dosa besar. Ia terus mencoba agar saudaranya tak terjatuh pada dosa hingga mendapat kemurkaan Allah. Qabil tetap saja bergeming. Ia benar-benar siap membunuh saudaranya. Sementara, Habil enggan melukai saudaranya sehingga ia tak melawan. “Sungguh, jika kau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya, aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya, kamu akan kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri. Maka, kamu akan menjadi penghuni neraka dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim,” ujar Habil kembali menasihati saudaranya agar tak terjatuh pada dosa besar. Namun, Qabil justru mengambil sebuah batu besar kemudian memukulkannya pada tubuh saudaranya. Habil pun meninggal seketika. Inilah kematian pertama yang terjadi di muka bumi. Ini pula kejahatan pertama yang dilakukan manusia. Selang beberapa waktu pascapembunuhan, Adam mulai menyadari putra tercintanya Habil tak muncul. Ia pun mulai mencari keberadaannya, tapi hasilnya nihil. Adam kemudian menemui Qabil dan bertanya keberadaan Habil. Tapi, Qabil menjawab angkuh, “Aku bukanlah pelindung saudaraku,” jawabnya ketus. Mendengarnya, tahulah Adam bahwa Habil telah tiada. Ia pun diliputi kesedihan yang teramat sangat. Sementara itu, Qabil kembali ke lokasi pembunuhan. Saat itu, kemarahannya telah reda. Ia merasa bersalah atas apa yang dilakukannya pada Habil. Ia mondar-mandir memikirkan apa yang harus ia lakukan pada tubuh saudaranya yang tak lagi bernyawa. Mayat Habil pun digendongnya sembari mencari tempat untuk menyembunyikannya. Tapi, ia tak menjumpai tempat itu hingga aroma tak sedap keluar dari mayat Habil. Qabil putus asa, ia diliputi kebingungan untuk menangani mayat saudaranya. Atas rahmat Allah, dikirimlah dua ekor burung gagak untuk memberikan pelajaran bagi Qabil untuk menguburkan saudaranya. Demikian kisah Habil dan Qabil, dua putra Nabi Adam. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Tak menuruti hawa nafsu dan menaati perintah Allah merupakan hikmah yang patut dilakukan setiap Muslim. (yus) Baca juga :

Read More