Dengan Suhu 46 Derajat Celcius, Jamaah Haji Tetap Melaksanakan Wukuf

Mekah — 1miliarsantri.net : Ribuan jamaah Muslim berkumpul selama berjam-jam di bawah terik matahari di puncak Gunung Arafah pada hari Sabtu. Ini merupakan puncak dari ibadah haji tahunan. Mereka menyampaikan doa, termasuk untuk warga Palestina di Gaza yang dilanda perang. Mengenakan pakaian ihram berwarna putih, para jamaah mulai berdatangan sejak fajar. Mereka mendaki bukit berbatu setinggi 70 meter ini. Gunung Arafah dipercaya sebagai tempat Nabi Muhammad menyampaikan khutbah terakhirnya. Suhu di Gunung Arafah mencapai 46 derajat Celsius. Juru bicara pusat meteorologi nasional mengumumkan hal ini melalui platform X. Kondisi ini sangat berat bagi para jamaah yang telah bermalam di kota tenda raksasa di Mina, sebuah lembah di luar Mekah, kota tersuci dalam Islam. “Ini adalah hari yang paling penting. Saya juga berdoa untuk warga Palestina. Semoga Tuhan menolong mereka,” kata Mohammed Asser, jamaah asal Mesir berusia 46 tahun yang datang dengan membawa daftar doa. Sekitar 1,8 juta jamaah mengikuti ibadah haji tahun ini. Saluran Al-Ekhbariya yang berafiliasi dengan pemerintah melaporkan hal ini pada hari Sabtu. Jumlah ini kurang lebih sama dengan total jamaah tahun lalu. Tahun ini ibadah haji berlangsung di tengah bayangan perang di Gaza antara Israel dan Hamas. Konflik ini dipicu oleh serangan militan Palestina yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Israel selatan pada 7 Oktober. Serangan tersebut mengakibatkan 1.194 orang tewas, sebagian besar warga sipil. Ini berdasarkan penghitungan AFP dari angka resmi Israel. Serangan balasan militer Israel telah menewaskan setidaknya 37.266 orang di Gaza. Sebagian besar korban juga warga sipil, menurut kementerian kesehatan wilayah tersebut. Sekitar 2.000 warga Palestina menunaikan ibadah haji atas undangan khusus Raja Salman dari Arab Saudi. Media resmi melaporkan hal ini. Ibadah haji, salah satu pertemuan keagamaan terbesar di dunia, semakin terpengaruh oleh perubahan iklim. Sebuah studi Saudi yang dirilis bulan lalu menyatakan suhu di kawasan ini naik 0,4 derajat Celsius setiap dekade. Pihak berwenang Saudi menghimbau para jamaah untuk banyak minum air dan melindungi diri dari sinar matahari selama ritual. Ibadah haji membutuhkan waktu minimal lima hari dan sebagian besar dilakukan di luar ruangan. Karena pria dilarang memakai topi, banyak yang membawa payung. Mustafa, seorang jamaah dari Aljazair yang hanya menyebutkan nama depannya, berpegang erat pada payung yang dibagikan oleh penyelenggara haji. Pria lain, seorang warga Mesir yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan dia minum “banyak jus dan air” dan telah dua kali beristirahat di pinggir jalan. Lebih dari 10.000 kasus gangguan kesehatan terkait panas tercatat tahun lalu. Sepuluh persen di antaranya adalah serangan panas. Seorang pejabat Saudi mengungkapkan hal ini kepada AFP pekan ini. Ahmad Karim Abdelsalam, jamaah berusia 33 tahun dari India, mengaku bahwa ia merasa “sedikit takut” dengan prospek berdoa di puncak Gunung Arafah. Namun dengan bantuan payung dan semprotan air, “Insya Allah, semuanya akan berjalan lancar,” katanya. Haji adalah salah satu dari lima rukun Islam. Semua umat Muslim yang mampu wajib melaksanakannya setidaknya sekali seumur hidup. Namun, visa haji yang dibagikan ke setiap negara berdasarkan sistem kuota bisa sulit didapatkan. “Ini kesempatan yang hanya datang sekali seumur hidup. Saya tidak mungkin tidak datang,” ungkap Abdulrahman Siyam, jamaah berusia 55 tahun asal Irak. Ia melaksanakan ritual haji dengan kaki palsu. Setelah wukuf di Gunung Arafah, para jamaah akan menuju Muzdalifah. Di sana mereka akan mengumpulkan kerikil untuk melakukan ritual simbolis “melempari setan” di Mina pada hari Minggu. Konon ibadah haji mengikuti jejak perjalanan haji terakhir Nabi Muhammad, sekitar 1.400 tahun yang lalu. Selain 1,8 juta jamaah haji tahun lalu, Kerajaan Arab Saudi juga menyambut 13,5 juta umat Muslim yang datang untuk menunaikan umrah. Umrah adalah ibadah yang bisa dilakukan sepanjang tahun. Target pemerintah Arab Saudi adalah mencapai total 30 juta jamaah pada tahun 2030. (drus) Baca juga :

Read More

Mempersingkat Khutbah Sholat Jumat

Madinah — 1miliarsantri.net : Ketua Urusan Keagamaan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Syaikh Dr Abdurrahman as-Sudais mengarahkan para imam dan khatib di kedua masjid itu agar mempersingkat khutbah dan shalat Jumat pada musim Haji 2024. Syaikh Dr Abdurrahman as-Sudais memberikan arahan di antaranya untuk menjaga para tamu Allah dan jamaah shalat di pelataran tawaf, lantai atap, dan halaman dari terik panas yang menyengat. Hal tersebut, kata dia, juga merupakan bagian dari kemudahan, keringanan, atau upaya membendung kesulitan terhadap jamaah haji yang hadir di Baitullah dan melaksanakan shalat Jumat di dua masjid suci itu. Arahan itu telah dijelaskan dalam hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan, “Aku shalat bersama Rasulullah SAW. Aku menjumpai shalat beliau sedang dan khutbah beliau pun sedang (tidak terlalu panjang atau terlalu pendek)”. (HR Muslim). Syaikh Dr Abdurrahman as-Sudais lalu menjelaskan bahwa mimbar dua masjid suci memiliki tempat yang tinggi di hati kaum Muslim. Dengan demikian, mereka mendengarkan dengan saksama untuk mendapatkan pemahaman Islam yang benar dan moderat, serta petunjuk dari khutbah-khutbah yang ada. Khutbah yang terlalu panjang justru dapat membuat jamaah lupa dengan bagian awalnya. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha pun telah berkata bahwa Rasulullah SAW tidak berbicara seperti cara kalian berbicara sekarang, tetapi beliau berbicara dengan kata-kata yang jelas dan teratur yang dapat dihafal oleh orang yang duduk bersamanya.” (HR Tirmidzi). Ketua Urusan Keagamaan itu juga mengarahkan para imam di kedua masjid suci untuk meringankan jamaah dengan mengurangi jumlah bacaan Al-quran dan memperpendek waktu antara azan dan iqamah selama musim haji. Hal itu, kata dia, dilakukan karena memperhatikan banyaknya jamaah haji yang datang, termasuk yang lemah dan lanjut usia, serta untuk mengatasi kepadatan yang terjadi. Semua itu dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan tujuan-tujuan yang diutamakan. (dul) Baca juga :

Read More

Memaknai Arti Ihram Sebenarnya

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ihram memiliki makna mengharamkan. Dalam konteks pelaksanaan ibadah haji, makna ihram adalah mengharamkan segala sesuatu yang dilarang selama memakai pakaian ihram yang dimulai sejak mengucapkan niat ihram dan mengenakan pakaian ihram di miqat. Sebagaimana maknanya tersebut, maka setelah berihram ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan dan apabila dilanggar maka akan dikenakan fidyah atau denda yang harus dibayar untuk menebus pelanggaran larangan Ihram. Larangan-larangan tersebut ada yang berlaku umum dan ada larangan yang dikhususkan untuk laki-laki maupun wanita. Larangan yang berlaku umum meliputi larangan memotong atau mencabut rambut, bulu, atau kuku, memakai wewangian kecuali yang sudah dipakai sebelum melakukan niat ihram. Berburu dan memakan hasil buruan. Melakukan hubungan seks dan yang mengundang syahwat, serta melakukan kejahatan dan maksiat seperti bertengkar atau berkelahi. Mengucapkan kata-kata kotor atau mencaci. Dilarang menikah, menikahkan ataupun meminang untuk dinikahi. Larangan Ihram bagi laki-laki yaitu, memakai pakaian yang dijahit, memakai tutup kepala, memakai sarung tangan, memakai alas kaki. Sementara larangan bagi perempuan yaitu, menutup wajah memakai cadar, menutup kedua telapak tangan memakai sarung tangan. Berbagai bentuk pelarangan tersebut memiliki makna tersendiri. Pelarangan menyakiti binatang, membunuh, menumpahkan darah dan mencabut pepohonan sebagai pesan yang dalam kepada manusia yang berhaji agar memelihara alam, mulai dari binatang, pepohonan dan mahluk Allah yang lain dalam rangka implementasi “Rahmatan lil ‘alamian” dan kepedulian lingkungan. Selanjutnya dilarang menggunakan wangi-wangian, berhias bercumbu atau kawin supaya manusia yang berhaji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata dan bukan pula memenuhi birahi, tetapi manusia harus menyadari bahwa hiasan yang dinilai Allah adalah hiasan ruhani. Hal ini sejalan dengan HR Muslim yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat badanmu atau bentukmu, tetapi melihat ke dalam hatimu.” Dilarang pula menggunting rambut, memotong kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya, serta menghadap kepada Allah SWT apa adanya, tanpa dibuat-buat dan penuh kejujuran. Pelarangan ini, sebagaimana uraian tsb tentu tidak hanya dimaknai fisik dan hanya saat ihram, tetapi memiliki makna yang dalam. Makna inilah yang harus menjadi perilaku yang telah berihram dalam kehidupan nyata dan dalam kehidupan sehari-hari. (yan) Baca juga :

Read More

Rasulullah SAW Ketika Berkurban

Surabaya — 1miliarsantri.net : Memasuki bulan Dzulhijjah, banyak hikmah yang dapat dipetik. Selain berhaji, tak kalah penting keutamaan dalam berkurban. Rasulullah Muhammad Sholallahu’alaihi wassalam (SAW) menjadi teladan sekaligus tempat berkaca bagi umatnya dalam berkurban seperti yang telah diwariskan makna kurban oleh Nabi Ibrohim kholilullah. Di Mina, saat Haji Wada (perpisahan) Rasulullah SAW berkurban 100 unta. Setelah shalat Idul Adha, Nabi SAW menyembelih langsung 63 unta, sisanya dilanjutkan Ali bin Abitholib rodhiyallahuanhu (RA). Dari sini kita sadar, 14 abad lalu, Rasul SAW seorang “sultan”, istilah generasi Z saat ini menyebut ‘orang kaya’. Padahal, dalam banyak riwayat rumah Rasulullah SAW saat tinggal bersama istrinya Aisyah rodhiyallahuanha (RH) di pojokan Masjid Nabawi, Madinah, berukuran 3,5 meter (m) x 5 m x 2,5 m hanya beralaskan tanah dan pelepah daun kurma kasar, plus sedikit perabotan rumah seadanya. Dalam Siroh Nabawi, saat shalat malam di kamarnya, Nabi SAW harus menggeser sedikit kaki istrinya hanya untuk sujud, itu berarti saking sempit kamarnya. Kesederhanaan rumah tangga Rasul SAW ini membuat sahabatnya Umar bin Khotob RA menangis sejadi-jadinya. “Mengapa engkau (Umar) menangis?” tanya Rasul SAW. “Bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini membekas pada tubuhmu. Engkau adalah Rasulullah SAW, Utusan Allah Subhanahu wata’ala (SWT). Kekayaanmu hanya seperti ini. sedangkan Kisra dan raja-rajanya hidup bergelimangan kemewahan,” jawab Umar RA, sahabat Nabi SAW kedua yang membela dan memperjuangkan kejayaan Islam pada masanya. Apakah engkau tidak rela jika kemewahan itu untuk mereka (raja-raja kala itu) di dunia, dan untuk kita (umat) di akhirat nanti?” terang Nabi SAW. (HR. Bukhori dan Muslim). Makna kurban sesungguhnya telah dipraktekkan Nabi Ibrohim kholilullah kepada anaknya Ismail ‘alaihissalam, dan telah diajarkan Rasul SAW, agar umatnya semata-mata untuk mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah SWT, dzat yang Maha Segalanya. Meski hidup sangat sederhana sekali, tapi Nabi Muhammad SAW mampu berkurban hingga 100 unta. Sesungguhnya, Nabi SAW seorang kaya. Dapat dihitung, menurut portal kemenag.go.id, bila satu unta untuk korban atau untuk disembelih berkisar Riyal Saudi (RS) 3.000 atau setara Rp 12 juta (1 RS = Rp 4.000) per unta, kalau berkurban 100 unta di bulan Dzulhijjah ini, Nabi Muhammad SAW telah berkurban setara Rp 3,6 miliar. Begitulah Nabi SAW, kekayaan yang melimpah dimiliki Rasul SAW digunakan untuk berbagi kepada manusia, bukan untuk disimpan atau didepositokan, apalagi seperti kebanyakan para “Sultan” zaman Now yang kerap mengumbar dan memamerkan hartanya di publik media sosial. (yat) Baca juga :

Read More

6 Keistimewaan Bulan Dzulhijjah

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang menyimpan banyak hikmah dan keistimewaan. Selain itu, Dzulhijjah juga menjadi salah satu dari empat bulan ‘haram’, yakni bulan yang dimuliakan dalam Islam. Empat bulan yang dimaksud adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sepanjang sejarah Islam, banyak peristiwa menarik yang terjadi pada bulan Dzulhijjah yang kemudian dikenang dengan dijadikannya sebagai syariat yang dijalani oleh umat Islam hingga saat ini, misalnya ibadah haji, dan hari raya Idul Adha. Di setiap harinya, terutama pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, terdapat banyak kesempatan bagi umat Islam untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Baca juga:Din Syamsuddin Blak-blakan Anggap Konsesi Tambang untuk Muhammadiyah dan NU Jebakan Pemerintah Berikut hari istimewa tersebut: Pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, umat Islam diberi kesempatan oleh Allah swt untuk meningkatkan berbagai bentuk ibadahnya sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini selaras dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. sebagai berikut. عن ابن عبّاس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: «ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى الله من هذه الأيام – يعني أيّام العشر – قالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله، ثم لم يرجع من ذلك بشيء» (رواه البخاري وأبو داود والترمذي وابن ماجه Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Tidak ada hari di mana amal saleh di dalamnya lebih Allah cintai melebihi hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah). Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, meskipun itu Jihad di jalan Allah? Rasul menjawab: Meskipun itu jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi (berjihad) dengan raga dan hartanya, namun ia tak kunjung kembali kepada keluarganya.” (HR. Al-Bukhari, Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah) Ibnu Rajab Al-Hanbali menjelaskan, beramal pada hari-hari tersebut sangat disukai oleh Allah. Jika lebih disukai oleh Allah, maka lebih baik di hadapan-Nya. Jika amal pada hari-hari sepuluh lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada hari lain dalam setahun, maka amal di dalamnya (meskipun dianggap kurang utama) lebih baik daripada amal pada hari lain yang dianggap utama. Oleh karena itu, sahabat berkata: Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah? Beliau menjawab: ‘Tidak juga jihad,’ kemudian Beliau mengecualikan satu jihad yang merupakan jihad terbaik; karena Rasulullah saw. ditanya: Jihad manakah yang terbaik? Beliau menjawab: ‘Yang mengorbankan kudanya dan menumpahkan darahnya,’ dan orang yang melakukannya memiliki derajat tertinggi di sisi Allah.” (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Latahiful Ma’arif fima limawasimil ‘am minal wadhaifi, [Beirut: al-Maktab al-Islami, 2007], Cet I, halaman 456-457). Kutipan tersebut menekankan keutamaan amal selama sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, bahkan dibandingkan dengan jihad, kecuali bagi mereka yang berperang dengan mengorbankan seluruh harta dan jiwanya di jalan Allah. Hal ini juga menunjukkan bahwa amal biasa ketika dilakukan pada waktu yang utama (sepuluh hari pertama Dzulhijjah) menjadi setara dengan amal yang utama pada waktu lain, bahkan melebihinya karena pahala dan ganjarannya berlipat ganda. Menurut Ibnu Rajab, sepuluh hari pertama Dzulhijjah sering kali dianggap lebih baik daripada hari-hari lain, termasuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, meskipun ada keistimewaan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dengan adanya Lailatul Qadar, namun secara keseluruhan sepuluh hari pertama Dzulhijjah dianggap lebih utama. Selain itu, bulan Dzulhijjah juga dianggap memiliki kehormatan terbesar di antara bulan-bulan haram. وفي «مسند البزار» عن أبي سعيد الخدري، عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: «سيد الشهور رمضان، وأعظمها حرمة ذو الحجة». وفي إسناده ضعف Artinya: “Dalam ‘Musnad Al-Bazzar’ dari Abi Sa’id Al-Khudri, dari Nabi saw. bersabda: ‘Pemimpin dari seluruh bulan adalah Ramadhan, dan yang paling agung kehormatannya adalah Dzulhijjah.’ Dalam hadis ini, sanadnya daif. (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Latahiful Ma’arif…, halaman 467) Pada hari ini, jutaan jamaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf, salah satu rukun haji yang paling penting. Bagi umat Islam yang tidak menunaikan ibadah haji, disunnahkan untuk berpuasa. Puasa Arafah memiliki keutamaan sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut. عَنْ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ غُفِرَ لَهُ سَنَةٌ أَمَامَهُ وَسَنَةٌ بَعْدَهُ (رواه ابن ماجه Artinya: “Dari Qatadah bin Nu’man berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa pun yang menjalankan puasa sunnah di Hari ‘Arafah, maka akan diampuni dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang”. (HR. Ibnu Majah). Akan tetapi, untuk membedakan dengan umat Yahudi, maka umat Islam yang tidak mampu berpuasa mulai tanggal 1 Dzulhijjah, dianjurkan untuk puasa dua hari yakni dimulai tanggal 8 Dzulhijjah yang biasa disebut sebagai Hari Tarwiyah. في «الصحيحين» عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أنّ رجلا من اليهود قال له: يا أمير المؤمنين، آية في كتابكم لو علينا معشر اليهود نزلت، لاتّخذنا ذلك اليوم عيدا. فقال: أيّ آية؟ قال: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِيناً} [المائدة: 3]. فقال عمر: إنّي لأعلم اليوم الذي نزلت فيه، والمكان الذي نزلت فيه؛ نزلت ورسول الله صلى الله عليه وسلم قائم بعرفة يوم جمعة Artinya: “Dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari Umar bin Al-Khattab r.a. bahwasanya ada seseorang dari umat Yahudi yang bertanya kepadanya: Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian, jika ayat itu diturunkan kepada kami, kaum Yahudi, kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya. Umar bertanya: Ayat yang mana? Dia menjawab: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِيناً} [QS. Al-Ma’idah: 3]. Umar berkata: Aku mengetahui hari ketika ayat itu diturunkan, dan tempat di mana ayat itu diturunkan; ayat itu diturunkan saat Rasulullah saw. berdiri di Arafah pada hari Jumat.” (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Latahiful Ma’arif…, halaman 479). Hari Arafah merupakan hari yang sangat istimewa untuk berdoa, memohon ampunan, dan mendapatkan rahmat dari Allah swt. Di Padang Arafah, jamaah haji menghabiskan waktu mereka dengan berdoa, bermunajat, dan mengingat Allah. Suasana khusyuk ini menggambarkan ketundukan umat Islam kepada Allah swt. Doa-doa yang dipanjatkan pada hari ini diyakini memiliki peluang besar untuk dikabulkan, menjadikannya momen yang sangat dinantikan oleh setiap muslim. Pada hari ini, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk ketaatan dan pengorbanan kepada Allah swt. Hari Raya Idul Adha mengingatkan kita pada keteladanan Nabi Ibrahim…

Read More

Dahsyatnya Puasa Arofah Bisa Menghapus Dosa Dua Tahun

Surabaya — 1miliarsantri.net : Dzulhijjah merupakan bulan suci yang memiliki banyak keutamaan. Di bulan ini semua amal kebaikan akan dilipatgandakan, seperti berpuasa. Puasa sunnah yang dianjurkan dijalankan jelang Iduladha adalah Puasa Dzulhijjah, Puasa Tarwiyah dan, Puasa Arafah. Dari deretan puasa sunnah itu ada puasa satu hari diganjar penghapusan dosa selama dua tahun lamanya. Puasa apa yang dimaksud? Dai muda Ustaz Irfan Rizki Haaz mengatakan puasa Arafah yang jatuh pada 9 Dzulhijjah, dapat menghapuskan dosa satu tahun sebelum dan satu tahun sesudah puasa. “Puasa cuma satu hari tapi bisa menghapus doa selama dua tahun. Seperti yang dianjurkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,” kata Ustaz Irfan Rizki dalam tausiyahnya, Senin (10/6/2024). Rasulullah SAW bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa ASyura (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR Muslim). Sementara Ustaz Adi Hidayat dalam kajiannya menjelaskan, puasa Arafah menggugurkan dosa setahun ke belakang. “(Puasa Arafah) menggugurkan dosa setahun ke belakang. Tidak disebutkan kecil atau besar. Artinya, jangankan yang kecil, dosa besar pun berpeluang untuk diampuni,” kata Ustadz Adi Hidayat (UAH) saat mengisi kajian daring. Tahun ini, puasa Arafah yang dikerjakan pada 9 Dzulhijjah jatuh di hari Ahad, 16 Juni 2024. Penetapan resmi tentang bulan Dzulhijjah dilakukan melalui sidang isbat yang digelar oleh Kementerian Agama pada Sabtu, 7 Juni 2024. Niat Puasa Arafah Bagi Anda yang ingin menjalankan puasa Arafah, berikut niat yang bisa dilafalkan sebelum menunaikannya. نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى Nawaitu shauma arafata sunnatan lillahi ta’ala Artinya: Saya niat puasa sunah Arafah karena Allah ta’ala. Selain anjuran puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah, umat Islam yang tidak sedang berhaji ke Baitullah dianjurkan memperbanyak puasa di bulan ini, yaitu puasa Dzulhijjah yang dilaksanakan sejak 1-7 Dzulhijjah dan puasa tarwiyah yang dikerjakan pada 8 Dzulhijjah. (yat) Baca juga :

Read More

Kriteria Hewan Kurban Yang Boleh Disembelih

Surabaya — 1miliarsantri.net : Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk berkurban saat Hari Raya Idul Adha. Perintah berkurban disebutkan dalam surah Al-Kautsar ayat 2 yang berbunyi, فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢ Artinya: “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!” Namun dalam memilih hewan kurban tidak bisa sembarangan. Ada beberapa kriteria seekor hewan dapat disembelih saat Idul Adha. Mengutip kajian Ustaz Adi Hidayat di kanal Youtube Adi Hidayat Official, ada sejumlah syarat penting dalam menyiapkan hewan kurban. “Para ulama membagi ini (hewan kurban) dalam tiga bagian, ada hewan jenis kambing dan domba, sapi dan kerbau, dan unta,” terang dai yang kerap disapa UAH ini, dikutip Senin (10/6/2024). Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan untuk hewan kurban adalah usia hewan kurban. Para ulama membatasi usia kambing dan domba kurban yaitu masuk satu tahun masuk ke tahun kedua. Sementara dari fiqih Hanafi dan Hambali, mengkhususkan usia domba boleh 6-7 bulan. “Kemudian untuk hewan sapi, kerbau, itu di usia dua tahun masuk tahun ketiga. Ada yang mengambil bulatnya saja yaitu tahun ketiga. Namun batas minimalnya tahun kedua masuk tahun ketiga,” terang UAH. Sedangkan untuk unta, hewan kurban yang lazim ditemui di Timur Tengah, batasan usianya adalah lima tahun. Selanjutnya UAH menyebut kriteria fisik hewan kurban. Berdasarkan riwayat Imam Abu Daud ada empat kondisi hewan yang tidak diperbolehkan disembelih untuk kurban saat Idul Adha. “Hewan yang matanya buta. Kalau kelihatan butanya itu haram hukumnya dijadikan kurban. Selanjutnya hewan yang sakit dengan segala jenis penyakit yang ketika disembelih bisa membahayakan bagi orang yang mengonsumsinya,” jelas UAH. “Ketiga adalah pincang, karena kondisi tertentu cacat permanen tidak boleh. Terakhir hewan yang terlampau kurus yang nggak ada dagingnya,” pungkasnya. (yat) Baca juga :

Read More

Hasil Ijtima Ulama Tetapkan Dana Zakat Bukan Keuangan Negara

Jakarta — 1miliarsantri.net : Diskursus mengenai apakah zakat termasuk keuangan negara masih terjadi. Berdasarkan Ijtima Ulama ke VIII di Bangka baru-baru ini, terdapat dua pandangan besar mengenai status dana zakat. Pandangan pertama, zakat dikategorikan sebagai keuangan negara dilihat dari berbagai aspek, antara lain, zakat dapat dikategorikan sebagai Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum sehingga masuk ke dalam lingkup keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Berikutnya, aspek kelembagaan dan akuntabilitas Baznas dalam pengelolaan dana zakat, di mana Baznas merupakan badan yang diangkat oleh negara. Demikian dengan lembaga amil zakat dapat beroperasi karena mendapatkan izin dari Kementerian Agama. Pembayaran zakat sebagai dasar atas pengurang objek harta terkena pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 Tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, dan PMK No. 254/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Pertimbangan selanjutnya, yakni kerugian negara terkait pengelolaan zakat pada Baznas. Pandangan yang lain mengatakan bahwa zakat bukan keuangan negara. Pertimbangannya yakni zakat dapat dikategorikan sebagai keuangan negara dengan syarat bersifat wajib dan memaksa, sebagaimana pajak yang merupakan bagian dari keuangan negara sesuai dengan UU No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Negara juga merupakan pendapatan negara, di mana mekanisme penerimaan dan pengeluarannya dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/menggunakan SPM untuk meminta izin Menteri. Pemungutnya pun berasal negara sebagaimana tata kelola pajak, di mana pemungutan dan pengelolaannya dilakukan secara langsung oleh pemerintah. Pengelolaan ini dilakukan lembaga negara yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai pengelola zakat sebagai sumber pendapatan negara. Sebagaimana Kementerian Keuangan di Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari lembaga negara yang ditugasi oleh undang-undang untuk untuk mengelola keuangan negara seperti pajak. Secara fiskal kenegaraan yang masuk dalam Perencanaan Keuangan Negara oleh Kementerian Negara/Lembaga (K/L) yang menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL). Dalam ketentuan hukum, dana zakat yang dibayarkan muzakki melalui amil zakat merupakan dana mustahik, bukan milik amil dan bukan keuangan negara. Dana zakat didistribusikan hanya untuk kepentingan khusus mus- tahik, yaitu muslim yang fakir, miskin, amil, mualaf, yang terlilit utang, riqab, ibnu sabil, dan/atau fi sabilillah. Kedudukan amil zakat merupakan pemegang amanah (yad al-ama- nah). Amil zakat wajib mengelola dan menyalurkan zakat kepada mustahik sesuai ketentuan syariah dan dengan berpegang teguh pada prinsip amanah, adil, transparan, akuntabel, profesional, dan tata kelola yang baik. Pemerintah didorong untuk mengoptimalkan sosialisasi kewajiban zakat. Pemerintah dan DPR diimbau untuk meningkatkan tata kelola zakat dengan mewajibkan muzakki untuk membayar zakat dan mendistribusikannya untuk kemaslahatan mustahik, serta mengatur ketentuan bahwa pembayaran zakat menjadi pengurang kewajiban pajak bukan hanya sekedar pengurang penghasilan kena pajak. Pemerintah diminta untuk meningkatkan pengawasan terhadap tata kelola zakat agar penyalurannya tepat sasaran dan terhindar dari penyimpangan dan/atau penyalahgunaan. Dalam hal terjadi penyimpangan dan/atau penyalahgunaan dalam pengelolaan zakat maka aparat dapat melakukan penindakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bidang zakat. Ketetapan hukum tersebut berdasarkan dari dalil sebagai berikut. 1.Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu akan kamu dapatkan (pahalanya) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [QS. al- Baqarah: 110] 3.Rasulullah pernah menugaskan seorang dari suku Asad yang berna- ma Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengumpulkan zakat Bani Sulaim. Saat ia datang melaporkan hasil kerjanya, Rasulullah memeriksa (laporan)nya. (Muttafaq ‘alaih) 4.imam al-Mawardi mendefinisikan ‘amil zakat ialah orang yang di- beri wewenang oleh imam (ulil amri) untuk menarik dan mendis- tribusikan dana zakat, sebagai perwakilan pelaku sedekah/zakat itu sendiri (al-Hawi al-Kabir, jilid 10/561). Sedangakan menurut Imam Ibnu Qudamah, ‘amil yaitu mereka yang diutus oleh ulil amri untuk mengambil dana zakat dari pemiliknya, mengum- pulkannya, dan menyalurkannya. Begitu pun yang membantu mereka, mengawasinya, serta turut menghitungnya, menuliskan- nya, menimbangnya, dan segala yang dibutuhkan di dalamnya. Dan mereka diberi upah dari harta tersebut sebagai imbalannya (al-Mughni, jilid 9/312). 5.Menurut Imam Ibnu Hazm, ‘amil ialah para personal yang ditugaskan oleh ulil amri yang wajib ditaati (al-Muhalla, jilid 6/149). Dan Imam Ibnu Batthal berkata; para ulama telah bersepakat bahwa makna ‘amil zakat ialah mereka yang berupaya mengumpulkan zakat/sedekah atas mandat dari ulil amri (Fath al-Bari, jilid 3/428). (rid) Baca juga :

Read More

Bolehkah Mendoakan Ustad Yang Menghalalkan Musik

Jakarta — 1miliarsantri.net : Sebuah video yang mempertontonkan seorang ustadz mendoakan orang yang menghalal kan musik meninggal dalam keadaan konser viral di sejumlah media sosial. “Ya Allah jadikanlah teman-temanku dan ustadz-ustadznya yang menghalalkan musik agar mereka mati dalam keadaan mendengarkan musik menyanyi mendengarkan konser dan yang semacam itu ya Allah ucapkan amin,” kata Ustadz tersebut dikutip Junat (7/6/2024). Tidak cukup, dia juga mendoakan ustadz yang membolehkan musik agar juga mati dalam keadaan mendengarkan musik. “Ya Allah jadikanlah ustad-ustad yang mengatakan bahwa mendengarkan musik itu boleh-boleh aja selama tidak melalaikan dari sholat agar mereka semua mati dalam keadaan mendengarkan musik ya Allah beserta orang-orang yang mendukungnya. Ucapkan amin,” ujar Muflih. Dalam kondisi ini, apakah kita boleh mendoakan buruk bagi orang lain? Allah SWT berfirman, “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus-terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Mahamendengar, Mahamengetahui.” (QS An Nisa: 148) Dalam Tafsir Ibnu Katsir diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah SWT tidak suka dengan doa yang berisi ungkapan buruk kepada siapapun kecuali dia dizalimi. Karena itu, Allah SWT mengizinkan doa tersebut diucapkan tetapi hanya ditujukan kepada orang yang telah menzalimi dirinya. Tafsir al-Sa’di juga menyebutkan, dibolehkan bagi hamba untuk berdoa terhadap orang yang telah menganiaya dirinya selama hamba tersebut tidak berbohong atau tidak melebih-lebihkan penganiayaan yang dialami dirinya. Namun, memaafkan orang yang menzaliminya tentu jauh lebih baik. Lebih lanjut, ada beberapa bentuk doa dan hukumnya bagi orang yang dianiaya atau dizalimi kepada orang yang menzalimi sebagaimana dilansir dari laman Mawdoo. Pertama, berdoa agar sikap zalim yang dilakukan si penzalim itu dihilangkan, dan ini sangat mulia. Kedua, berdoa untuk kematian anak-anak dari si penzalim, termasuk juga keluarganya dan orang-orang yang memiliki hubungan dengannya, meskipun mereka tidak ada kaitannya apapun dengan tindakan zalim si pelaku. Doa semacam ini tidak diperbolehkan. Ketiga, berdoa agar orang berbuat zalim itu mengalami sakit yang luar biasa melebihi hukuman yang setimpal baginya. Ini juga tidak boleh. Keempat, berdoa agar pelaku zalim itu dikutuk untuk terus melakukan perbuatan dosa. Ini juga tidak boleh karena keinginan agar orang lain terjerembab dalam maksiat adalah juga bentuk dari maksiat itu sendiri. Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada saat itu, Prof Dr Hasanuddin AF menyampaikan, meski ada redaksi pembolehan untuk menyampaikan doa yang buruk kepada orang yang berbuat zalim, lebih baik jika orang yang dizalimi itu menyerahkan semua persoalan yang dihadapinya kepada Allah SWT. Artinya, itu momentum bagi orang yang dizalimi untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah. Hasanuddin menjelaskan, membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan lagi itu sudah biasa. Sedangkan orang yang berbuat baik kepada orang yang tidak pernah berbuat baik kepada dirinya itu memiliki nilai yang lebih tinggi. Namun ada satu lagi yang lebih tinggi nilainya, yaitu membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan. “Ini nilainya jauh lebih tinggi dari dua yang pertama tadi. Dan tentu memaafkan orang yang telah menzalimi kita itu jauh lebih baik, ini termasuk membalas kejahatan dengan kebaikan,” jelasnya. Apalagi, Hasanuddin mengatakan, Allah SWT dalam Alquran mengingatkan bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang memaafkan orang lain. Karena itu, sudah semestinya orang yang beriman adalah memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada dirinya. Allah SWT berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran 133-134) Sementara, hukum Islam mengenai musik tampaknya selalu hangat untuk diperbincangkan dari dulu sampai sekarang. Apalagi, seiring berkembangnya zaman, musik makin tumbuh di tengah masyarakat dengan beragam genre. Lantas, bagaimana sebetulnya pandangan Islam terhadap musik? Wakil Ketua Dewan Fatwa PB Al-Washliyah Dr Nirwan Syafrin menyampaikan penjelasan dengan membaginya pada tiga hal, yakni nyanyian, alat musik, dan musik itu sendiri, yang dalam hal ini bisa dikatakan sebagai perpaduan nyanyian dan alat musik. Pertama, soal nyanyian, yakni lantunan suara yang berirama. Nirwan mengatakan, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nyanyian. Ada yang mutlak membolehkan, mengharamkan, dan memakruhkan. “Untuk nyanyian seperti ‘Tala’ al-Badru ‘Alayna’ atau nasyid yang isinya mengajak pada kebaikan, bahkan lantunan ayat suci Alquran, para ulama membolehkan,” ujar pengajar filsafat dan pemikiran Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor itu kepada Republika, beberapa waktu lalu. Namun, ketika nyanyian tersebut bercampur dengan sesuatu yang haram, misalnya, disertai dengan minuman keras (miras) atau dinyanyikan di tempat yang penuh kemaksiatan, para ulama sepakat mengharamkannya. Rasulullah SAW pernah memuji sahabat bernama Abu Musa al-Asyari karena memiliki suara yang merdu. Nabi Muhammad SAW juga pernah menyaksikan orang-orang badui merayakan hari besar dengan bernyanyi dan beliau membiarkan Aisyah RA untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. “Jadi, banyak ulama yang membenarkan nyanyian itu, dengan syarat tidak mengandung unsur keharaman, kesyirikan, kemaksiatan, kejahatan, kekufuran, dan kemunafikan,” kata dia. Kedua, mengenai musik, Nirwan memaparkan, memang ada ulama yang mengharamkannya secara mutlak. Pendapat ini mengharamkan musik secara mutlak dan bagi mereka mendengar musik sudah masuk kategori dosa besar sehingga apa pun jenis musiknya itu haram. “Namun, pendapat ini tidak mainstream. Kita juga tidak sepakat kalau terlalu berlebihan,” katanya. Menurut Nirwan, kalaupun ingin menyebut haram, seharusnya tingkat keharamannya tidak sampai pada dosa besar, tetapi masih bisa dihapuskan oleh kebaikan-kebaikan lain. Sehingga termasuk kategori kemaksiatan yang dosanya bisa gugur dengan wudhu lalu shalat. Namun, dia mengingatkan, musik menjadi haram jika di dalamnya terkandung berbagai keburukan sebagaimana yang telah dijelaskan. Ketiga, terkait alat musik. Sejumlah ulama klasik membolehkan beberapa jenis alat musik, seperti seruling dan alat musik yang dipukul. Sedangkan, pada zaman modern sekarang, alat-alat musik kian beragam. Mengutip pendapat Syekh Yusuf al-Qaradawi, Nirwan menyampaikan, keberadaan alat musik modern sekarang ini mutlak dibolehkan berdasarkan kaidah fikih ‘al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibaahah’ (dasar segala sesuatu itu boleh). “Tidak ada dalil yang jelas mengharamkan alat-alat musik tertentu,” ujarnya. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai musik, Nirwan mengingatkan untuk tidak terlalu membesar-besarkannya. Umat Islam harus moderat dalam beragama. “Ini ada dalam ranah ikhtilaf, ranah di mana ulama berbeda pendapat. Jadi, kita juga harus bisa menyikapinya dengan baik. Kalau ada yang membolehkan, dia punya dalil dan yang mengharamkan juga…

Read More

Amalan yang Biasa dikerjakan Saat Bulan Dzulhijah

Surabaya — 1miliarsantri.net : Allah SWT amat mencintai amalan yang dilakukan hamba-Nya pada 10 hari pertama di bulan dzulhijah. Sebab itu terdapat anjuran memperbanyak amalan ibadah di hari-hari tersebut agar kita bisa terpilih menjadi orang-orang yabg beriman. Berikut amalan yang disyariatkan. “Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku“. Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw bersabda :“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun“. [Hadits Muttafaqun ‘Alaih]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah rahimahullah bahwa Nabi Saw bersabda:“Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya”. Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma. “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid”. [Hadits Riwayat Ahmad].Imam Bukhari rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Ra keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha’, tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah”. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya” [Hadits Muttafaqun ‘Alaihi]. “Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu”. [Muttafaqun ‘Alaihi]. “Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya”. Dalam riwayat lain :“Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban”.Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.“….. dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan…”. [al-Baqarah/2 : 196]. Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban.Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan, janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti, nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari. Baca juga :

Read More