Pesona Tan Eng Kian Yang Rela Belajar dan Masuk Islam

“Raden, bimbinglah saya untuk memeluk agama Islam, saya merasa cocok dengan Islam, seperti yang Raden Arya Damar dan Dewi Dilah lakukan.” tutur Dewi Kian di hadapan Arya Damar dikutip dari buku Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit. Itulah momen puncak dari proses pembelajaran agama Islam oleh Tan Eng Kian (Dewi Kian) sang selir cantik Raja Majapahit Prabu Brawijaya V di Palembang yang diarahkan langsung oleh Arya Damar menemui titik terang. Dewi Kian benar benar menyatakan keislamannya dengan tulus kepada Raden Arya Damar. “Alhamdulillah akhirnya Tuan Putri mendapatkan hidayah juga,” ujar Raden Arya Damar menyukuri karunia hidayah bagi Dewi Kian. Begitulah, akhirnya Dewi Kian secara tulus menyatakan syahadat di depan para ulama Kadipaten Palembang, terutama disaksikan langsung oleh Arya Damar. Dewi Kian berpindah agama dari Buddha ke agama Islam tanpa paksaan dari siapa pun. Dengan demikian, seiring dengan semakin dekatnya Dewi Kian akan melahirkan, ia semakin intens mendalami risalah ajaran Islam, terutama menelaah kandungan Al-Quran. Dewi Kian yang dikenal tidak hanya cantik tapi pintar ini pun hanya mempelajari beberapa bulan saja tentang Islam, namun dia sudah menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang sangat pesat. Bukan saja belajar membaca dengan ilmu tajwid, tetapi juga memperdalam kandungan isi Al-Quran dari para ulama Palembang, dan terutama Raden Arya Damar. Sang Dewi merenungkan dalam-dalam pernyataan Arya Damar bahwa janin yang dibacakan Al-Quran akan menjadi cerdas. Istri selir Prabu Brawijaya V yang baru tergolong mu’alaf itu menyadari terhadap kemurahan ajaran Islam, misalnya terkait dengan menjalankan ibadah salat. Dari khazanah yang ia pelajari, misalnya seseorang tidak bisa berdiri ketika salat, hendaknya ia duduk. Jika duduk pun tak mampu, maka ia boleh menunaikan ibadah sholat sambil berbaring. Jika berbaring pun tak kuasa, ia bisa menjalankan salat dengan mempergunakan isyarat mata. Nah, kalau isyarat mata pun tak bisa dikerjakan, maka ia akan disalatkan. Walaupun tengah hamil besar, namun hal itu tak sampai menghalangi semangat Dewi Kian untuk mendapatkan penjelasan mengenai esensi agama Islam. Suatu hari Dewi Kian bertanya kepada Arya Damar mengenai Nabi dan Rasul. “Apa itu Nabi dan Rasul?” tanya Dewi Kian. “Kalau Nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu dari Allah, tetapi untuk dirinya sendiri. Sementara Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dari Allah, selain untuk dirinya sendiri juga diperuntukkan umat manusia,” jelas Arya Damar. Dewi Kian pun mengangguk sembari memikirkan pertanyaan selanjutnya. Tapi sepertinya Arya Damar tahu apa yang sedang dipikirkan Dewi Kian seraya menerangkan tentang Siddharta Gautama (Buddha) dan Nabi Muhammad SAW. “Sidharta Gautama itu diperkirakan salah seorang Nabi di antara 124.000 orang (Nabi) di dunia, sedang Rasul berjumlah 314 orang dan hanya 25 orang Rasul saja yang disebutkan di dalam Al-Quran. Tapi dalam hal ini Nabi Muhammad bukan saja seorang Nabi, tetapi juga Rasul Allah yang terakhir. Artinya, setelah Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi utusan Tuhan karena sudah disempurnakan dalam agama Islam!” terang Arya Damar. “Kalau begitu, apakah wahyu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu seperti wahyu yang diterima Sidharta Gautama dulu saat bersemadi di bawah pohon body?” tanya Dewi Kian denga polos. “Ya seperti itulah kira-kira.” jawab Arya Damar. Arya Damar pun berharap setidaknya penjelasannya yang sangat singkat itu dapat membantu Dewi Kian untuk cepat memahami agama Islam dengan baik. Lalu siapa sebenarnya Dewi Kian, dia adalah seorang putri dari Raja Dinasti Ming (diperkirakan Kaisar Zheng Tong). Di awal abad ke-15, Kerajaan Majapahit dan Dinasti Ming China memiliki hubungan yang baik. Maka atas keharmonisan ini sang Raja Dinasti Ming mengutus seorang putri yg sangat cantik, terpelajar, halus, dan bertatakrama ke Trowulan (Ibu Kota Majapahit) yang bernama Tan Eng Kian atau biasa populer dengan nama Dewi Kian. Raja Majapahit yang kala itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya V. Memang kala itu Sang Prabu terpesona akan keanggunan sang putri dari Tiongkok itu karena cantik, pintar, dan nyaris tanpa cacat, siapa yang sanggup menolak. Dikutip dari buku Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit, Pernikahan mereka pun terlaksana namun di titik tertentu pernikahan mereka mengalami pasang surut. Pada saat itu Prabu Brawijaya V sudah dikaruniai seorang bayi yang sudah dikandung oleh Dewi Kian yang kemungkinan berjenis kelamin laki-laki. Hal yang membahagiakan bagi Sang Prabu. Tetapi sang permaisuri Ratu Dewi Dwarawati tidak membiarkan pernikahan mereka berjalan baik-baik saja. Sang Ratu mendesak agar Dewi Kian segera keluar dari lingkungan istana Majapahit. Jika tidak dikabulkan oleh Prabu Brawijaya V, Ratu Dewi Dwarawati mengancam akan meninggalkan Sang Prabu kembali ke Negeri Cempa (Thailand). Hal tersebut rupanya membuat Prabu Brawijaya V tak berdaya, dengan begitu ia harus merelakan kepergian dari Dewi Kian menuju tanah Sumatera. “Benarkah saya harus berpisah dengan Kanda Prabu? Jadi, kami tidak lagi tinggal di kaputren istana Majapahit!”?” ujar Dewi Kian. “Bersabarlah Dewi! Sungguh semua ini demi kebaikan kita semua, termasuk putra kita” hibur Prabu Brawijaya V. Dewi Kian merasa ini seperti kompetisi, tak hanya merebut hati Sang Prabu, tetapi juga untuk merebutkan gelar Permaisuri sejati. Dewi Kian pun luluh dan mengaku kalah dan menerima kenyataan harus pindah ke Sumatera “Baiklah Kanda Prabu, jika saya memang harus hengkang dari istana Majapahit, maka akan saya terima semua ini sebagai kenyataan yang mesti hamba jalani.” tujarnya. Prabu Brawijaya V merasa lega atas kelapangan hati Dewi Kian, ia berharap suatu saat nanti calon putra yang sedang dikandung oleh Dewi Kian akan menjadi pemimpin besar. (sin)

Read More

Sejarah Syekh Abdul Muhyi Penemu Goa Pamijahan

Tasikmalaya – 1miliarsantri.net : Nama Syekh Abdul Muhyi sudah tak asing lagi dikalangan masyarakat, terutama para warga di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat karena dikenal sebagai salah satu Wali Allah yang mempunyai segudang karomah. Dia merupakan anak dari Sembah Lebe Warta Kusumah yang masuh keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik. Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Gresik. Saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun. Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana dua tahun. Setelah itu diajak Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Ketika sampai di Baitullah, Syekh Abdul Rauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rauf sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah itu, Syekh Abdul Rauf menyuruh pulang Abdul Muhyi ke Gresik untuk minta restu dari kedua orangtua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di salah satu daerah di Jawa Barat. Sebelum berangkat mencari gua, Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III. Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun. Kabar tentang menetapnya Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana. Di samping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan). Di sini dia bermukim selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah Lebe Warta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan. Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M). Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas Gunung Kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi. Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati. Pada suatu hari, Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasaan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Di sanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya gua. Sewaktu Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan diyakini adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak gua ditemukan Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Di samping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tarekat. Di dalam Gua Pamijahan ada ‘Kopiah Haji’, yaitu lekukan-lekukan bulat atap gua yang menyerupai peci. Konon jika ada yang pas saat berdiri, Insya Allah akan bisa naik haji. ada juga lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi ‘jalan tembus menuju Banten, Cirebon, sampai Makkah’. Wallahu a’lam bishawab. Sekian lama mendidik santrinya di dalam gua, kemudian Syekh Abdul Muhyi mulailah menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama Kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim. Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syekh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, “Bolehkah saya meminjam kailnya?” Orang itu…

Read More

Napak Tilas Perjalanan Ki Ageng Gribig

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Kerajaan Mataram Islam era Sultan Agung menjadi awal mula ekspansi atau perluasan wilayah secara masif. Perluasan wilayah ini juga membawa misi penyebaran agama Islam, hingga ke Malang. Ki Ageng Gribig menjadi salah satu tokoh Kerajaan Mataram Islam yang ditugaskan melakukan ekspansi sekaligus menyebarkan agama Islam ke wilayah timur selatan Pulau Jawa. Sosoknya konon merupakan penyebar agama Islam hingga akhir hayat nya di wilayah Pasuruan dan Malang. Kini Ki Ageng Gribig dimakamkan di pemakaman dan jalan yang juga dinamakan sesuai dengan namanya, Ki Ageng Gribig. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pesarean Ki Ageng Gribig Malang Devi Nur Hadianto menyatakan, sosok yang dimakamkan di sini merupakan salah satu tokoh ulama dari Kerajaan Mataram Islam. Sosoknya konon terkait dengan kesultanan di masa era Sultan Agung hingga Sultan Amangkurat I atau di kisaran tahun 1600-an hingga 1700-an. “Beliau ini adalah sosok penyebar agama Islam pada masa awal peradaban Mataram Islam masuk ke Malang. Malang di sini Malang Raya, di mana pada masa tersebut masih ada sisa-sisa peradaban dari masa sebelum Islam,” ucap Devi Nur Hadianto. Banyak cerita muncul dari sosok Ki Ageng Gribig itu, konon sosoknya merupakan seseorang dari Bagelan, Purworejo yang kemudian menyebarkan Islam hingga Pasuruan dan Malang raya. Tak cuma sebagai pemuka agama saja, Ki Ageng Gribig juga dikenal sebagai umara’ atau pemimpin di masanya. “Ki Ageng Gribig ini awalnya ditugaskan di Pasuruan, makanya kaitan erat Pasuruan kota besar di waktu itu. Sementara Malang adalah kota bawahan dari Pasuruan saat itu, setelah beliau ditugaskan atau mungkin, jadi umara’ di Pasuruan, terus dia bergeser ke Malang ini sekarang pun masyarakat Pasuruan masih mempunyai keterikatan emosional dengan Ki Ageng Gribig yang ada di lokasi saat ini,” paparnya. Ki Ageng Gribig disebutnya bukanlah merupakan nama asli, melainkan sebutan dengan nama asli konon ada dua versi. Versi pertama nama asli Ki Ageng Gribig yakni Raden Ario Pamoetjong dan versi kedua bernama Raden Mosi Bagono, yang konon merupakan keturunan Menak Koncar, ksatria dari Mataram. “Nama khas banget dari kulon Ario Mosi Bagono, Mosi Bagono itu nama-nama khas Mataram Islam. Beberapa tetua kami juga mengatakan beliau ini hidup pada masa mulai banyak dikirimnya senopati (prajurit) senopati Mataram ke arah wetan (timur),” ungkapnya. Nama Ki Ageng Gribig konon muncul karena sosoknya ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di kampung yang bernama Gribig. Kampung di sekitar pemakaman itu konon jauh lebih ada sejak dahulu, bahkan sejak zaman era Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Raja Tribhuwana Tunggadewi. “Ada yang mengatakan beliau ini karena sudah kampungnya kampung gribig. Tapi ada juga analisa mengatakan rumah-rumah di sini itu atapnya gribig, gribig itu dari ijuk tebal,” ujarnya. Bahkan ada istilah penyebutan Gribig sendiri berasal dari kata istilah bahasa Arab Al Maghribi, konon istilah ini juga berkaitan dengan nisan yang ditemukan seperti di Kesultanan Demak. Apalagi di kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig saat ini juga terdapat beberapa makam dengan nisan bertuliskan bahasa Arab yang konon juga terkait asal usul Ki Ageng Gribig. “Ada juga sebenarnya kalau menurut tulisan bukan Ki Ageng Gribig, tapi Kyai Ageng Gribig. Jadi sosok yang boleh dikatakan sepuh lebih ke kyai atau umaro. Gribig ada yang menerjemahkan nggrebek, penyampaian syiar Islamnya ramai,” terangnya. Tetapi analisa sejarah itu disebut Devi masih belum memiliki catatan yang pasti. Sebab ada beberapa segmen sejarah yang masih belum terungkap dan menjadi misteri. Terlebih catatan mengenai sosok Ki Ageng Gribig sendiri masih minim, tetapi bisa dipastikan sosoknya merupakan penyebar agama Islam dari kawasan sekitar Yogyakarta, yang dahulu menjadi basis Kesultanan Mataram Islam. (fq)

Read More

Mengenali 10 Raja Kesultanan Mataram Islam

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Pada awal berdirinya Kesultanan Mataram Islam terletak di Alas Mentaok yang berada di antara Kali Opak dan Kali Progo. Tanah tersebut hadiah yang diberikan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan. Tanah itu kemudian dikembangkan oleh Ki Ageng Pemanahan dan berkembang menjadi Kerajaan Mataram dan berlanjut Kesultanan Mataram. Sejak saat itu, Mataram Islam telah dipimpin oleh sejumlah raja yang pernah mempertahankan kedaulatannya. Berikut 10 raja yang pernah memimpin kesultanan mataram islam: Pada masa kekuasaannya, ia berhasil menaklukan beberapa wilayah yang ada di sekitar Mataram Islam seperti Madiun, Surabaya, dan Kadiri. Untuk memperluas daerah kekuasaannya, ia juga berhasil menguasai daerah Priangan dan menjalin kerjasama dengan Cirebon. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai seorang sultan yang ahli dalam menyelesaikan pemberontakan. Namun ketika pemerintahannya berjalan dengan rukun dan damai, secara mengejutkan Raden Mas Jolang meninggal di hutan Krapyak. Sehingga namanya dikenal dengan Panembahan Seda ing Krapyak. Sultan yang satu ini memiliki masa jabatan hingga 32 tahun lamanya. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai sosok sultan yang banyak meninggalkan perkembangan budaya. Sultan Agung dikenal sebagai pendiri kalender, penulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing dan menyempurnakan bahasa di Pulau Jawa. Tidak jauh dari sang ayah, ia juga memiliki jabatan yang lama sebagai sultan yakni 31 tahun. Pada masa kepemimpinannya, Raden Mas Sayidin memiliki kebijakan yang berbeda dengan sang ayah. Ia memilih untuk menjalin hubungan baik dengan pihak kolonial Belanda. Namun tindakannya tersebut salah yang mengakibatkan timbulnya pemberontakan hingga dirinya meninggal. Selama memimpin Mataram Islam, dirinya dikisahkan sebagai pemimpin yang berhati lemah dan mudah dipengaruhi oleh VOC. Sama halnya dengan sang ayah, Pangeran Adipati Anom ini juga kembali mendapatkan serangan dari pihak kolonial. Amangkurat II meninggal pada saat berusaha memperbaiki hubungan dengan pihak VOC. Pada era kepemimpinan Adipati Anom ini pusat kekuasaan berpindah ke Kartasura, dan raja atau sultan kemudian berganti dengan gelar Susuhunan (Sunan). Kemunduran pemerintahan Amangkurat III terlihat ketika Pangeran Puger mendeklarasikan diri sebagai sunan Kartasura dengan gelar Pakubuwana I. sejak saat itu Amangkurat III terpaksa melarikan diri dan menyerahkan Kartasura. Bahkan ia pernah mengeksekusi Adipati Jangrana atas perintah VOC. Era kepemimpinan Pakubuwana I memang tergolong singkat. Ia meninggal pada tahun 1719 dan digantikan oleh putranya. Namun seluruh pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dengan bantuan dari pihak kolonial Belanda. Sama halnya dengan sang ayah, putra dari Pakubuwana I ini juga menjabat dalam waktu yang singkat karena wafat akibat diracun pada tahun 1726. Pada saat itu pula Mataram pernah dikuasai oleh VOC karena sakit pada 1747, dan menunjuk raja baru sesuai izinnya.

Read More

Fakta-fakta Panembahan Senopati Sakti Mandraguna

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Sejumlah fakta mengenai Panembahan Senapati Ing Alaga yang sangat menarik diikuti dan dibahas dalam berbagai forum, terutama mengenai kajian sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Dalam riwayatnya, Panembahan Senapati dikenal sebagai pendiri kerajaan Mataram Islam. Penguasa Mataram Islam periode 1586 hingga 1601 ini memiliki sejumlah fakta menarik yang jarang diketahui orang umum. Berikut lima fakta panembahan senopati sang raja pertama dari Mataram Islam. Nama asli Panembahan Senopati adalah Danang Sutawijaya. Sebelum menjadi raja Mataram Islam, sebelumnya dia pernah membantu ayahnya dalam sebuah sayembara yang dilakukan Kerajaan Pajang. Singkatnya, sayembara dilakukan untuk menumpas pemberontakan Arya Penangsang yang dikenal sakti mandraguna. Mengutip laman Humas Jateng, pria bernama asli Danang Sutawijaya ini adalah penerima sah hadiah sayembara yang sempat dilakukan Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Singkatnya, sayembara tersebut ditujukan untuk membunuh Arya Penangsang. Kabar tersebut didengar Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, akhirnya bersama Sutawijaya mereka ikut sayembara. Pada akhirnya, Danang Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang dan berhak atas alas Mentaok. Namun, sebelum kelahiran Mataram Islam, Ki Ageng Pamanahan telah meninggal lebih dahulu. Pada akhirnya, Mentaok menjadi milik Sutawijaya hingga berubah sebagai Kerajaan Mataram Islam. Dalam hal ini, dia mendapat gelar Panembahan Senopati dan menjadi raja yang pertama. Kerajaannya bahkan terus tumbuh besar dan berhasil memperluas wilayahnya. Selain itu, dia juga berhasil menyatukan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Kerajaan Pajang. Kekuasaan Mataram Islam juga merambah ke wilayah lain, termasuk mencakup Jepara, Demak, hingga Pati. Salah satu kisah kesaktian ini terjadi saat dijajal oleh seorang menteri bernama Ki Bocar. Cerita ini dikisahkan dalam buku Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 yang disusun WL Olthof di Belanda tahun 1941 dan dialihbahasakan oleh HR Sumarsono (Penerbit Narasi). Singkatnya, Ki Bocar memiliki keris si Kebo dan berniat menantang Panembahan Senapati. Suatu hari, dia datang ke rumah Senopati dan berniat menikamnya. Di dalam rumah, Senopati sedang makan dan duduk membelakangi pintu. Tanpa buang waktu, Ki Bocar segera menerjang dan menikamnya. Namun, senjata tersebut tidak mempan. Ki Bocar kelelahan, lalu jatuh ke tanah dan bersedekap dan kerisnya pun menancap ke tanah. Pada akhirnya, dia lalu bersujud serta mengaku akan setia kepada Panembahan Senapati. Setelahnya, jasadnya dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta. Pada keberlanjutannya, kepemimpinan Mataram Islam dilanjutkan putranya yang bernama Raden Mas Jolang dengan gelar Panembahan Hanyakrawati.

Read More

Sejarah Kejayaan Mataram Islam

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Mataram Islam merupakan sebuah kerajaan yang pernah berjaya dan berkuasa sepanjang abad ke 16 hingga abad ke 18 M dibawah kepemimpinan Ki Ageng Pamanahan yang juga sosok pemimpin pertama dan orang yang mendirikan kesultanan di tanah Jawa ini. Dilansir dari jurnal bertajuk “Sejarah Perkembangan Mataram Islam Keraton Plered”, berkat keberhasilan Ki Ageng Pemanahan dalam membunuh Arya Penangsang dalam perang perebutan tahta atas Demak, membuat dirinya mendapat hadiah tanah di Mataram dari Sultan Pajang. Tanah tersebutlah yang dijadikan Ki Ageng Pemanahan dan para pengikutnya membuka hutan untuk dijadikan tempat pemukiman dan menjadikan sebuah dinasti sendiri yang disebut Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Kesultanan ini juga pernah dua kali menyerang VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya perdagangan itu. Kejayaan Mataram Islam mengalami Masa keemasan Kesultanan Mataram terjadi pada era kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 – 1645). Raja yang punya nama asli Raden Mas Jatmika ini naik tahta ketika masih berusia 20 tahun. Mengutip dari laman Kebudayaan Jogja, Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada 1627, tepatnya setelah empat belas tahun Sultan Agung memimpin kerajaan Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, daerah pesisir seperi Surabaya dan Madura berhasil ditaklukan. Sepanjang tahun 1613 sampai 1645, kesultanan ini aktif memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup hampir seluruh Pulau Jawa. Selain melakukan perluasan wilayah, Sultan Agung juga punya peran besar terhadap kemajuan bidang militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya,yang menjadikan peradaban kerajaan Mataram semakin maju. Pada era kekuasaan Sultan Agung ini juga untuk pertama kalinya ada kerajaan yang berani menyerang VOC secara langsung. Perlawanan Mataram Islam terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan karena Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan hegemoni kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa. Sayangnya serangan yang dilakukan Mataram Islam harus mengalami kegagalan karena VOC berhasil membakar lumbung persediaan makanan pasukan kerajaan. Terdapat banyak hal yang menjadikan Sultan Agung memiliki peran sangat sentral dalam kemajuan kerajaan ini. Salah satu hal yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah meneruskan pendahulunya untuk meletakan dasar perkembangan Mataram Islam dengan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada rakyat, beliau juga menempatkan ulama dengan kedudukan terhormat, yaitu sebagai pejabat anggota Dewan Parampara (Penasihat tinggi kerajaan). Selain itu Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya grebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang saat ini dikenal sebagai grebeg Puasa dan Grebeg Maulud. (yus)

Read More

Kalahnya Sultan Hadiwijaya Oleh Pasukan Gaib Panembahan Senopati

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Dikisahkan, Raja Pajang Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir yang berkuasa pada 1568-1583 M pernah mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Panembahan Senopati. Pertempuran antara ayah dengan anak angkat ini berlangsung singkat namun menyimpan cerita mistis. Kerajaan Mataram dikisahkan mengerahkan pasukan gaib hingga berhasil mengalahkan prajurit Kerajaan Pajang. Panembahan Senopati saat itu meminta bantuan makhluk gaib yang menimbulkan gejolak alam dan membuat Pasukan Pajang kalah dalam pertempuran yang berlangsung di Prambanan, perbatasan DIY dengan Jawa Tengah saat ini. Padahal secara jumlah kekuatan pasukan pertempuran di Prambanan, Kerajaan Pajang lebih banyak mengerahkan pasukan daripada Mataram. Kekalahan ini membuat sang Sultan Pajang melarikan diri dari kejaran musuh. Berdasarkan tulisan De Graaf dalam bukunya “Puncak Kekuasaan Mataram : Politik Ekspansi Sultan Agung”, dikisahkan bagaimana sang Sultan Pajang yang dikenal kesaktiannya dan digdaya akhirnya memilih melarikan diri ke kawasan Tembayat yang keramat pascapertempuran dengan Mataram. Kisah itu juga disebut di Babad Tanah Djawi yang mengisahkan Sultan Pajang terpaksa melarikan diri dan ingin berdoa di Makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Dalam Serat Kandha, kisah pelarian Sultan Pajang usai kekalahan pertempuran melawan tentara gaib Mataram ini dijelaskan lebih singkat. Pada pelariannya ke Tembayat membuat Raja Pajang berusaha membuka pintu makam, tetapi sia-sia. Karena itu ia memanjatkan doa di luar. Sultan Hadiwijaya memiliki firasat tentang akan berakhirnya pemerintahannya dan hidupnya. Firasat itu di antaranya jatuhnya raja dari gajah yang ditungganginya disebabkan oleh binalnya hewan itu. Raja akhirnya melanjutkan perjalanannya di atas tandu. Dengan demikian, terdapat perbedaannya yang besar setelah itu. Penembahan Senopati bersama pasukan Mataram konon sempat melakukan pengejaran ke Sultan Pajang. Sang Sultan Pajang dikejar oleh pasukan kecil dari Panembahan Senopati sebanyak 40 orang. Pangeran Benawa ingin mengambil kesempatan untuk menghabisinya, karena Senopati hanya disertai oleh sepasukan kecil, tapi Sultan Hadiwijaya mencegahnya Sultan Pajang yang sudah kalah perang ini menganggap cara Senopati mengikuti dari belakang menunjukkan sikap hormat. Sultan berpesan agar Benawa selalu bersahabat dengan Senopati, bahkan harus mematuhinya. Apabila terjadi pertengkaran, ia bahkan tidak akan dapat menjadi Raja Pajang. Sementara itu, para pengiring menangis. Mereka akhirnya tiba di Pajang. Setibanya di sana, penyakit Sultan bertambah parah. Senopati menginap di desa iparnya di Mayang. Namun ia tidak mau menghadap Sultan Pajang, tetapi juga mau pulang ke Mataram. Ia ingin tinggal di sana untuk menanti takdir Allah. Senopati pun menyuruh abdinya membeli kembang selasih dalam jumlah banyak, yang selanjutnya ditaruh bertumpuk-tumpuk di pintu barat Alun-Alun Pajang. Menurut Serat Kandha raja yang sakit percaya bahwa Senopati yang mengikutinya dari kejauhan bermaksud baik. la tidak memarahi putranya itu tetapi musuh lama Senopati, yaitu Adipati Tuban, yang berniat menyerang Senopati. Bahkan penolakan Senopati agar menghadap dipuji oleh raja yang sakit itu dengan memberi penilaian: “Inilah, putraku, yang patut sekali menjadi panglima.” Senopati pun masih tetap bertahan dan berkemah pada malam ketiga di makam kakeknya Ki Gede Ngenis di Laweyan. Saat itulah sang penguasa Mataram ini bermimpi bahwa konon Sultan Pajang tidak lama lagi akan meninggal. Maka, ia menyuruh pengiringnya membeli kembang selasih dan menumpuknya di pintu samping. (fq)

Read More

Mengenal Legenda Pangeran Sambernyawa

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Masyarakat Jawa tentu sudah banyak mendengar kisah Pangeran Sambernyawa, bangsawan darah biru Kerajaan Mataram yang merupakan pendiri Pura Mangkunegaran, Kota Solo, Jawa Tengah. Nama aslinya, Raden Mas Said yang lahir pada 8 April 1725 dan merupakan putra dari Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura. Sepak terjang dan kesaktiannya saat itu ditakuti dan membuat ketar-ketir penjajah Belanda. Ayah Pangeran Sambernyawa merupakan putra tertua Raja Kerajaan Mataram, Amangkurat IV. Ibunya, RA Wulan meninggal dunia saat melahirkan. Saat berusia dua tahun, Raden Mas Said kehilangan ayahnya yang dibuang oleh penjajah Belanda ke Srilanka karena dianggap membangkang dan difitnah oleh Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo. Sejak kecil, seperti dikutip dari laman wonogirikab, Raden Mas Said hidup tidak seperti layaknya bangsawan dan justru menghabiskan waktu bersama teman-temannya yang merupakan anak dari para abdi dalem. Oleh karena itu, dia mengerti betul dengan kehidupan rakyat kecil di bawah sehingga memiliki sifat peduli terhadap sesama dan kebersamaan yang tinggi. Meski merupakan bangsawan darah biru, namun perlakukan yang diterima Raden Mas Said dari penguasa kerajaan saat itu tidak seperti layaknya seorang pangeran. Hingga akhirnya, keresahannya memuncak saat Raja Keraton Solo, Paku Buwono II menempatkanya sebagai sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) yang sejajar dengan Abdi Dalem Manteri. Padahal semestinya Raden Mas Said dengan posisinya saat itu menjadi Pangeran Sentana. Raden Mas Said saat itu sempat mempertanyakan ketidakadilan perlakuan ini kepada Raja Paku Buwono II. Namun tak disangka, dia justru oleh diberi sekantong emas oleh Patih Kartasura yang membuat malu dan marah. Kekesalan yang memuncak membuat Raden Mas Said keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap raja. Sang pangeran bersama para pengikutnya menghimpun kekuatan di daerah Selogiri, Wonogiri. Konon saat itu Raden Mas Said memakai sebuah batu dalam menyusun strategi. Batu tersebut kini dikenal sebagai watu gilang sebagai awal tempat perjuangannya melawan ketidakadilan dan penjajahan. Raden Mas Said yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa bersama pasukannya membuat kocar-kacir musuh. Pada 1741-1742, Pangeran Samber Nyawa memimpin perlawanan melawan penjajah Belanda. Selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi berperang melawan Mataram dan Belanda selama sembilan tahun, yakni 1743-1752. Usai Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, Pangeran Sambernyawa berjuang melawan pasukan Raja Pakubuwono III dan Hamengku Buwono I serta pasukan penjajah Belanda (VOC). Kehebatan Pasukan Sambernyawa dan pasukannya dalam berperang tersohor hingga saat ini. Sekitar 250 kali pertempuran pernah dijalani dan tidak menderita kekalahan berarti. Pangeran Sambernyawa dalam menyemangati pasukannya memiliki semboyan Tiji Tibeh (mati siji mati kabeh atau mukti siji mukti kabeh), yang artinya mati satu mati semua atau makmur satu makmur semua. Dalam sejumlah literatur disebutkan, Pangeran Sambernyawa menggunakan semboyan Tiji Tibeh untuk membakar semangat pasukannya saat bertempur. Dengan kedigdayaan inilah kemudian Raden Mas Said mendapat sebutan Pangeran Sambernyawa (penyambar nyawa) atau penebar maut bagi musuhnya dalam medan pertempuran. Hingga akhirnya penjajah Belanda mengajak berunding di Salatiga pada 17 Maret 1757. Perundingan yang melibatkan Paku Buwono III, Hamengkubuwono I dan penjajah Belanda itu disepakati Pangeran Sambernyawa mendapat kekuasan adipati mandiri dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I. Kesepakatan itu tertuang dalam Perjanjian Salatiga. Wilayah Mangkunegaran meliputi sebagian Wonogiri, Karanganyar, dan Gunungkidul. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan merebut kemerdekaan, Pangeran Sambernyawa yang meninggal dunia pada 28 Desember 1795 mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 1983. (fq)

Read More

Tarian Zikir Zaman Tetap Dilestarikan Hingga Saat Ini

Lobar – 1miliarsantri.net : Setiap datang nya musim haji tiba dan setiap pemberangkatan haji, di daerah Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat tradisi turun-temurun sebuah tarian bernama Tari Zikir Zaman yang digelar dirumah jamaah calon haji sebagai pertanda akan diberangkatkan menuju ke tanah suci. Kesenian Islami yang sudah berjalan secara turun temurun ini tidak pernah habis termakan usia. Antusiasme warga yang selalu ingin menonton pagelaran kesenian tersebut yang digelar di rumah warga yang hendak pergi menunaikan haji. “Jadi sejak dari dulu kala setiap ada calon haji kita selalu menggelar tarian zikir Zaman ini. Didalam nya ada shalawatan kepada Nabi Muhammad agar diberi syafaat,” terang Khaerurozi, Pimpinan Zikir Zaman Kadiri Lobar, Selasa (6/6/2023). Ada 12 orang sebagai anggota belangkah yang menjadi bergarak dengan semacam silat. Aksi mereka diiringi oleh empat orang irama hadi yang bersalawat, saat kesenian zikir Zaman ini diperagakan di depan umum. Kesenian zikir Zaman yang ada di kecamatan kadiri ini berkembang pada tahun 1965. Syair kesenian zikir Zaman lahir dari tarekat Naqsabandiyah kemudian muncul sebuah syair yang saat ini dibacakan. Sementara, gerakan dan syairnya itu yang mencetusnya itu almarhum TGH Abdul Khotib Kadiri pada tahun 1955. Setelah dari almarhum TGH Sahabuddin pada tahun 1965, tradisi ini kemudian terus dikembangkan hingga sekarang ini. Syair yang keluar dari suara sang hadi tersebut banyak menyuarakan puji-pujian shalawat kepada Nabi Muhammad dan lelekaq sasak santun dengan niat saling mengingatkan antar sesama manusia. Zikir ini juga memberikan peringatan menuntut ilmu dunia dan akhirat yang bermanfaat. (wan)

Read More