Napak Tilas Perjalanan Ki Ageng Gribig

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Kerajaan Mataram Islam era Sultan Agung menjadi awal mula ekspansi atau perluasan wilayah secara masif. Perluasan wilayah ini juga membawa misi penyebaran agama Islam, hingga ke Malang. Ki Ageng Gribig menjadi salah satu tokoh Kerajaan Mataram Islam yang ditugaskan melakukan ekspansi sekaligus menyebarkan agama Islam ke wilayah timur selatan Pulau Jawa. Sosoknya konon merupakan penyebar agama Islam hingga akhir hayat nya di wilayah Pasuruan dan Malang. Kini Ki Ageng Gribig dimakamkan di pemakaman dan jalan yang juga dinamakan sesuai dengan namanya, Ki Ageng Gribig. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pesarean Ki Ageng Gribig Malang Devi Nur Hadianto menyatakan, sosok yang dimakamkan di sini merupakan salah satu tokoh ulama dari Kerajaan Mataram Islam. Sosoknya konon terkait dengan kesultanan di masa era Sultan Agung hingga Sultan Amangkurat I atau di kisaran tahun 1600-an hingga 1700-an. “Beliau ini adalah sosok penyebar agama Islam pada masa awal peradaban Mataram Islam masuk ke Malang. Malang di sini Malang Raya, di mana pada masa tersebut masih ada sisa-sisa peradaban dari masa sebelum Islam,” ucap Devi Nur Hadianto. Banyak cerita muncul dari sosok Ki Ageng Gribig itu, konon sosoknya merupakan seseorang dari Bagelan, Purworejo yang kemudian menyebarkan Islam hingga Pasuruan dan Malang raya. Tak cuma sebagai pemuka agama saja, Ki Ageng Gribig juga dikenal sebagai umara’ atau pemimpin di masanya. “Ki Ageng Gribig ini awalnya ditugaskan di Pasuruan, makanya kaitan erat Pasuruan kota besar di waktu itu. Sementara Malang adalah kota bawahan dari Pasuruan saat itu, setelah beliau ditugaskan atau mungkin, jadi umara’ di Pasuruan, terus dia bergeser ke Malang ini sekarang pun masyarakat Pasuruan masih mempunyai keterikatan emosional dengan Ki Ageng Gribig yang ada di lokasi saat ini,” paparnya. Ki Ageng Gribig disebutnya bukanlah merupakan nama asli, melainkan sebutan dengan nama asli konon ada dua versi. Versi pertama nama asli Ki Ageng Gribig yakni Raden Ario Pamoetjong dan versi kedua bernama Raden Mosi Bagono, yang konon merupakan keturunan Menak Koncar, ksatria dari Mataram. “Nama khas banget dari kulon Ario Mosi Bagono, Mosi Bagono itu nama-nama khas Mataram Islam. Beberapa tetua kami juga mengatakan beliau ini hidup pada masa mulai banyak dikirimnya senopati (prajurit) senopati Mataram ke arah wetan (timur),” ungkapnya. Nama Ki Ageng Gribig konon muncul karena sosoknya ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di kampung yang bernama Gribig. Kampung di sekitar pemakaman itu konon jauh lebih ada sejak dahulu, bahkan sejak zaman era Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Raja Tribhuwana Tunggadewi. “Ada yang mengatakan beliau ini karena sudah kampungnya kampung gribig. Tapi ada juga analisa mengatakan rumah-rumah di sini itu atapnya gribig, gribig itu dari ijuk tebal,” ujarnya. Bahkan ada istilah penyebutan Gribig sendiri berasal dari kata istilah bahasa Arab Al Maghribi, konon istilah ini juga berkaitan dengan nisan yang ditemukan seperti di Kesultanan Demak. Apalagi di kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig saat ini juga terdapat beberapa makam dengan nisan bertuliskan bahasa Arab yang konon juga terkait asal usul Ki Ageng Gribig. “Ada juga sebenarnya kalau menurut tulisan bukan Ki Ageng Gribig, tapi Kyai Ageng Gribig. Jadi sosok yang boleh dikatakan sepuh lebih ke kyai atau umaro. Gribig ada yang menerjemahkan nggrebek, penyampaian syiar Islamnya ramai,” terangnya. Tetapi analisa sejarah itu disebut Devi masih belum memiliki catatan yang pasti. Sebab ada beberapa segmen sejarah yang masih belum terungkap dan menjadi misteri. Terlebih catatan mengenai sosok Ki Ageng Gribig sendiri masih minim, tetapi bisa dipastikan sosoknya merupakan penyebar agama Islam dari kawasan sekitar Yogyakarta, yang dahulu menjadi basis Kesultanan Mataram Islam. (fq)

Read More

Mengenali 10 Raja Kesultanan Mataram Islam

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Pada awal berdirinya Kesultanan Mataram Islam terletak di Alas Mentaok yang berada di antara Kali Opak dan Kali Progo. Tanah tersebut hadiah yang diberikan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan. Tanah itu kemudian dikembangkan oleh Ki Ageng Pemanahan dan berkembang menjadi Kerajaan Mataram dan berlanjut Kesultanan Mataram. Sejak saat itu, Mataram Islam telah dipimpin oleh sejumlah raja yang pernah mempertahankan kedaulatannya. Berikut 10 raja yang pernah memimpin kesultanan mataram islam: Pada masa kekuasaannya, ia berhasil menaklukan beberapa wilayah yang ada di sekitar Mataram Islam seperti Madiun, Surabaya, dan Kadiri. Untuk memperluas daerah kekuasaannya, ia juga berhasil menguasai daerah Priangan dan menjalin kerjasama dengan Cirebon. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai seorang sultan yang ahli dalam menyelesaikan pemberontakan. Namun ketika pemerintahannya berjalan dengan rukun dan damai, secara mengejutkan Raden Mas Jolang meninggal di hutan Krapyak. Sehingga namanya dikenal dengan Panembahan Seda ing Krapyak. Sultan yang satu ini memiliki masa jabatan hingga 32 tahun lamanya. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai sosok sultan yang banyak meninggalkan perkembangan budaya. Sultan Agung dikenal sebagai pendiri kalender, penulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing dan menyempurnakan bahasa di Pulau Jawa. Tidak jauh dari sang ayah, ia juga memiliki jabatan yang lama sebagai sultan yakni 31 tahun. Pada masa kepemimpinannya, Raden Mas Sayidin memiliki kebijakan yang berbeda dengan sang ayah. Ia memilih untuk menjalin hubungan baik dengan pihak kolonial Belanda. Namun tindakannya tersebut salah yang mengakibatkan timbulnya pemberontakan hingga dirinya meninggal. Selama memimpin Mataram Islam, dirinya dikisahkan sebagai pemimpin yang berhati lemah dan mudah dipengaruhi oleh VOC. Sama halnya dengan sang ayah, Pangeran Adipati Anom ini juga kembali mendapatkan serangan dari pihak kolonial. Amangkurat II meninggal pada saat berusaha memperbaiki hubungan dengan pihak VOC. Pada era kepemimpinan Adipati Anom ini pusat kekuasaan berpindah ke Kartasura, dan raja atau sultan kemudian berganti dengan gelar Susuhunan (Sunan). Kemunduran pemerintahan Amangkurat III terlihat ketika Pangeran Puger mendeklarasikan diri sebagai sunan Kartasura dengan gelar Pakubuwana I. sejak saat itu Amangkurat III terpaksa melarikan diri dan menyerahkan Kartasura. Bahkan ia pernah mengeksekusi Adipati Jangrana atas perintah VOC. Era kepemimpinan Pakubuwana I memang tergolong singkat. Ia meninggal pada tahun 1719 dan digantikan oleh putranya. Namun seluruh pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dengan bantuan dari pihak kolonial Belanda. Sama halnya dengan sang ayah, putra dari Pakubuwana I ini juga menjabat dalam waktu yang singkat karena wafat akibat diracun pada tahun 1726. Pada saat itu pula Mataram pernah dikuasai oleh VOC karena sakit pada 1747, dan menunjuk raja baru sesuai izinnya.

Read More

Fakta-fakta Panembahan Senopati Sakti Mandraguna

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Sejumlah fakta mengenai Panembahan Senapati Ing Alaga yang sangat menarik diikuti dan dibahas dalam berbagai forum, terutama mengenai kajian sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Dalam riwayatnya, Panembahan Senapati dikenal sebagai pendiri kerajaan Mataram Islam. Penguasa Mataram Islam periode 1586 hingga 1601 ini memiliki sejumlah fakta menarik yang jarang diketahui orang umum. Berikut lima fakta panembahan senopati sang raja pertama dari Mataram Islam. Nama asli Panembahan Senopati adalah Danang Sutawijaya. Sebelum menjadi raja Mataram Islam, sebelumnya dia pernah membantu ayahnya dalam sebuah sayembara yang dilakukan Kerajaan Pajang. Singkatnya, sayembara dilakukan untuk menumpas pemberontakan Arya Penangsang yang dikenal sakti mandraguna. Mengutip laman Humas Jateng, pria bernama asli Danang Sutawijaya ini adalah penerima sah hadiah sayembara yang sempat dilakukan Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Singkatnya, sayembara tersebut ditujukan untuk membunuh Arya Penangsang. Kabar tersebut didengar Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, akhirnya bersama Sutawijaya mereka ikut sayembara. Pada akhirnya, Danang Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang dan berhak atas alas Mentaok. Namun, sebelum kelahiran Mataram Islam, Ki Ageng Pamanahan telah meninggal lebih dahulu. Pada akhirnya, Mentaok menjadi milik Sutawijaya hingga berubah sebagai Kerajaan Mataram Islam. Dalam hal ini, dia mendapat gelar Panembahan Senopati dan menjadi raja yang pertama. Kerajaannya bahkan terus tumbuh besar dan berhasil memperluas wilayahnya. Selain itu, dia juga berhasil menyatukan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Kerajaan Pajang. Kekuasaan Mataram Islam juga merambah ke wilayah lain, termasuk mencakup Jepara, Demak, hingga Pati. Salah satu kisah kesaktian ini terjadi saat dijajal oleh seorang menteri bernama Ki Bocar. Cerita ini dikisahkan dalam buku Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 yang disusun WL Olthof di Belanda tahun 1941 dan dialihbahasakan oleh HR Sumarsono (Penerbit Narasi). Singkatnya, Ki Bocar memiliki keris si Kebo dan berniat menantang Panembahan Senapati. Suatu hari, dia datang ke rumah Senopati dan berniat menikamnya. Di dalam rumah, Senopati sedang makan dan duduk membelakangi pintu. Tanpa buang waktu, Ki Bocar segera menerjang dan menikamnya. Namun, senjata tersebut tidak mempan. Ki Bocar kelelahan, lalu jatuh ke tanah dan bersedekap dan kerisnya pun menancap ke tanah. Pada akhirnya, dia lalu bersujud serta mengaku akan setia kepada Panembahan Senapati. Setelahnya, jasadnya dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta. Pada keberlanjutannya, kepemimpinan Mataram Islam dilanjutkan putranya yang bernama Raden Mas Jolang dengan gelar Panembahan Hanyakrawati.

Read More

Sejarah Kejayaan Mataram Islam

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Mataram Islam merupakan sebuah kerajaan yang pernah berjaya dan berkuasa sepanjang abad ke 16 hingga abad ke 18 M dibawah kepemimpinan Ki Ageng Pamanahan yang juga sosok pemimpin pertama dan orang yang mendirikan kesultanan di tanah Jawa ini. Dilansir dari jurnal bertajuk “Sejarah Perkembangan Mataram Islam Keraton Plered”, berkat keberhasilan Ki Ageng Pemanahan dalam membunuh Arya Penangsang dalam perang perebutan tahta atas Demak, membuat dirinya mendapat hadiah tanah di Mataram dari Sultan Pajang. Tanah tersebutlah yang dijadikan Ki Ageng Pemanahan dan para pengikutnya membuka hutan untuk dijadikan tempat pemukiman dan menjadikan sebuah dinasti sendiri yang disebut Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Kesultanan ini juga pernah dua kali menyerang VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya perdagangan itu. Kejayaan Mataram Islam mengalami Masa keemasan Kesultanan Mataram terjadi pada era kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 – 1645). Raja yang punya nama asli Raden Mas Jatmika ini naik tahta ketika masih berusia 20 tahun. Mengutip dari laman Kebudayaan Jogja, Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada 1627, tepatnya setelah empat belas tahun Sultan Agung memimpin kerajaan Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, daerah pesisir seperi Surabaya dan Madura berhasil ditaklukan. Sepanjang tahun 1613 sampai 1645, kesultanan ini aktif memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup hampir seluruh Pulau Jawa. Selain melakukan perluasan wilayah, Sultan Agung juga punya peran besar terhadap kemajuan bidang militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya,yang menjadikan peradaban kerajaan Mataram semakin maju. Pada era kekuasaan Sultan Agung ini juga untuk pertama kalinya ada kerajaan yang berani menyerang VOC secara langsung. Perlawanan Mataram Islam terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan karena Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan hegemoni kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa. Sayangnya serangan yang dilakukan Mataram Islam harus mengalami kegagalan karena VOC berhasil membakar lumbung persediaan makanan pasukan kerajaan. Terdapat banyak hal yang menjadikan Sultan Agung memiliki peran sangat sentral dalam kemajuan kerajaan ini. Salah satu hal yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah meneruskan pendahulunya untuk meletakan dasar perkembangan Mataram Islam dengan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada rakyat, beliau juga menempatkan ulama dengan kedudukan terhormat, yaitu sebagai pejabat anggota Dewan Parampara (Penasihat tinggi kerajaan). Selain itu Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya grebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang saat ini dikenal sebagai grebeg Puasa dan Grebeg Maulud. (yus)

Read More

Kalahnya Sultan Hadiwijaya Oleh Pasukan Gaib Panembahan Senopati

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Dikisahkan, Raja Pajang Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir yang berkuasa pada 1568-1583 M pernah mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Panembahan Senopati. Pertempuran antara ayah dengan anak angkat ini berlangsung singkat namun menyimpan cerita mistis. Kerajaan Mataram dikisahkan mengerahkan pasukan gaib hingga berhasil mengalahkan prajurit Kerajaan Pajang. Panembahan Senopati saat itu meminta bantuan makhluk gaib yang menimbulkan gejolak alam dan membuat Pasukan Pajang kalah dalam pertempuran yang berlangsung di Prambanan, perbatasan DIY dengan Jawa Tengah saat ini. Padahal secara jumlah kekuatan pasukan pertempuran di Prambanan, Kerajaan Pajang lebih banyak mengerahkan pasukan daripada Mataram. Kekalahan ini membuat sang Sultan Pajang melarikan diri dari kejaran musuh. Berdasarkan tulisan De Graaf dalam bukunya “Puncak Kekuasaan Mataram : Politik Ekspansi Sultan Agung”, dikisahkan bagaimana sang Sultan Pajang yang dikenal kesaktiannya dan digdaya akhirnya memilih melarikan diri ke kawasan Tembayat yang keramat pascapertempuran dengan Mataram. Kisah itu juga disebut di Babad Tanah Djawi yang mengisahkan Sultan Pajang terpaksa melarikan diri dan ingin berdoa di Makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Dalam Serat Kandha, kisah pelarian Sultan Pajang usai kekalahan pertempuran melawan tentara gaib Mataram ini dijelaskan lebih singkat. Pada pelariannya ke Tembayat membuat Raja Pajang berusaha membuka pintu makam, tetapi sia-sia. Karena itu ia memanjatkan doa di luar. Sultan Hadiwijaya memiliki firasat tentang akan berakhirnya pemerintahannya dan hidupnya. Firasat itu di antaranya jatuhnya raja dari gajah yang ditungganginya disebabkan oleh binalnya hewan itu. Raja akhirnya melanjutkan perjalanannya di atas tandu. Dengan demikian, terdapat perbedaannya yang besar setelah itu. Penembahan Senopati bersama pasukan Mataram konon sempat melakukan pengejaran ke Sultan Pajang. Sang Sultan Pajang dikejar oleh pasukan kecil dari Panembahan Senopati sebanyak 40 orang. Pangeran Benawa ingin mengambil kesempatan untuk menghabisinya, karena Senopati hanya disertai oleh sepasukan kecil, tapi Sultan Hadiwijaya mencegahnya Sultan Pajang yang sudah kalah perang ini menganggap cara Senopati mengikuti dari belakang menunjukkan sikap hormat. Sultan berpesan agar Benawa selalu bersahabat dengan Senopati, bahkan harus mematuhinya. Apabila terjadi pertengkaran, ia bahkan tidak akan dapat menjadi Raja Pajang. Sementara itu, para pengiring menangis. Mereka akhirnya tiba di Pajang. Setibanya di sana, penyakit Sultan bertambah parah. Senopati menginap di desa iparnya di Mayang. Namun ia tidak mau menghadap Sultan Pajang, tetapi juga mau pulang ke Mataram. Ia ingin tinggal di sana untuk menanti takdir Allah. Senopati pun menyuruh abdinya membeli kembang selasih dalam jumlah banyak, yang selanjutnya ditaruh bertumpuk-tumpuk di pintu barat Alun-Alun Pajang. Menurut Serat Kandha raja yang sakit percaya bahwa Senopati yang mengikutinya dari kejauhan bermaksud baik. la tidak memarahi putranya itu tetapi musuh lama Senopati, yaitu Adipati Tuban, yang berniat menyerang Senopati. Bahkan penolakan Senopati agar menghadap dipuji oleh raja yang sakit itu dengan memberi penilaian: “Inilah, putraku, yang patut sekali menjadi panglima.” Senopati pun masih tetap bertahan dan berkemah pada malam ketiga di makam kakeknya Ki Gede Ngenis di Laweyan. Saat itulah sang penguasa Mataram ini bermimpi bahwa konon Sultan Pajang tidak lama lagi akan meninggal. Maka, ia menyuruh pengiringnya membeli kembang selasih dan menumpuknya di pintu samping. (fq)

Read More

Mengenal Legenda Pangeran Sambernyawa

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Masyarakat Jawa tentu sudah banyak mendengar kisah Pangeran Sambernyawa, bangsawan darah biru Kerajaan Mataram yang merupakan pendiri Pura Mangkunegaran, Kota Solo, Jawa Tengah. Nama aslinya, Raden Mas Said yang lahir pada 8 April 1725 dan merupakan putra dari Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura. Sepak terjang dan kesaktiannya saat itu ditakuti dan membuat ketar-ketir penjajah Belanda. Ayah Pangeran Sambernyawa merupakan putra tertua Raja Kerajaan Mataram, Amangkurat IV. Ibunya, RA Wulan meninggal dunia saat melahirkan. Saat berusia dua tahun, Raden Mas Said kehilangan ayahnya yang dibuang oleh penjajah Belanda ke Srilanka karena dianggap membangkang dan difitnah oleh Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo. Sejak kecil, seperti dikutip dari laman wonogirikab, Raden Mas Said hidup tidak seperti layaknya bangsawan dan justru menghabiskan waktu bersama teman-temannya yang merupakan anak dari para abdi dalem. Oleh karena itu, dia mengerti betul dengan kehidupan rakyat kecil di bawah sehingga memiliki sifat peduli terhadap sesama dan kebersamaan yang tinggi. Meski merupakan bangsawan darah biru, namun perlakukan yang diterima Raden Mas Said dari penguasa kerajaan saat itu tidak seperti layaknya seorang pangeran. Hingga akhirnya, keresahannya memuncak saat Raja Keraton Solo, Paku Buwono II menempatkanya sebagai sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) yang sejajar dengan Abdi Dalem Manteri. Padahal semestinya Raden Mas Said dengan posisinya saat itu menjadi Pangeran Sentana. Raden Mas Said saat itu sempat mempertanyakan ketidakadilan perlakuan ini kepada Raja Paku Buwono II. Namun tak disangka, dia justru oleh diberi sekantong emas oleh Patih Kartasura yang membuat malu dan marah. Kekesalan yang memuncak membuat Raden Mas Said keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap raja. Sang pangeran bersama para pengikutnya menghimpun kekuatan di daerah Selogiri, Wonogiri. Konon saat itu Raden Mas Said memakai sebuah batu dalam menyusun strategi. Batu tersebut kini dikenal sebagai watu gilang sebagai awal tempat perjuangannya melawan ketidakadilan dan penjajahan. Raden Mas Said yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa bersama pasukannya membuat kocar-kacir musuh. Pada 1741-1742, Pangeran Samber Nyawa memimpin perlawanan melawan penjajah Belanda. Selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi berperang melawan Mataram dan Belanda selama sembilan tahun, yakni 1743-1752. Usai Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, Pangeran Sambernyawa berjuang melawan pasukan Raja Pakubuwono III dan Hamengku Buwono I serta pasukan penjajah Belanda (VOC). Kehebatan Pasukan Sambernyawa dan pasukannya dalam berperang tersohor hingga saat ini. Sekitar 250 kali pertempuran pernah dijalani dan tidak menderita kekalahan berarti. Pangeran Sambernyawa dalam menyemangati pasukannya memiliki semboyan Tiji Tibeh (mati siji mati kabeh atau mukti siji mukti kabeh), yang artinya mati satu mati semua atau makmur satu makmur semua. Dalam sejumlah literatur disebutkan, Pangeran Sambernyawa menggunakan semboyan Tiji Tibeh untuk membakar semangat pasukannya saat bertempur. Dengan kedigdayaan inilah kemudian Raden Mas Said mendapat sebutan Pangeran Sambernyawa (penyambar nyawa) atau penebar maut bagi musuhnya dalam medan pertempuran. Hingga akhirnya penjajah Belanda mengajak berunding di Salatiga pada 17 Maret 1757. Perundingan yang melibatkan Paku Buwono III, Hamengkubuwono I dan penjajah Belanda itu disepakati Pangeran Sambernyawa mendapat kekuasan adipati mandiri dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I. Kesepakatan itu tertuang dalam Perjanjian Salatiga. Wilayah Mangkunegaran meliputi sebagian Wonogiri, Karanganyar, dan Gunungkidul. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan merebut kemerdekaan, Pangeran Sambernyawa yang meninggal dunia pada 28 Desember 1795 mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 1983. (fq)

Read More

Tarian Zikir Zaman Tetap Dilestarikan Hingga Saat Ini

Lobar – 1miliarsantri.net : Setiap datang nya musim haji tiba dan setiap pemberangkatan haji, di daerah Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat tradisi turun-temurun sebuah tarian bernama Tari Zikir Zaman yang digelar dirumah jamaah calon haji sebagai pertanda akan diberangkatkan menuju ke tanah suci. Kesenian Islami yang sudah berjalan secara turun temurun ini tidak pernah habis termakan usia. Antusiasme warga yang selalu ingin menonton pagelaran kesenian tersebut yang digelar di rumah warga yang hendak pergi menunaikan haji. “Jadi sejak dari dulu kala setiap ada calon haji kita selalu menggelar tarian zikir Zaman ini. Didalam nya ada shalawatan kepada Nabi Muhammad agar diberi syafaat,” terang Khaerurozi, Pimpinan Zikir Zaman Kadiri Lobar, Selasa (6/6/2023). Ada 12 orang sebagai anggota belangkah yang menjadi bergarak dengan semacam silat. Aksi mereka diiringi oleh empat orang irama hadi yang bersalawat, saat kesenian zikir Zaman ini diperagakan di depan umum. Kesenian zikir Zaman yang ada di kecamatan kadiri ini berkembang pada tahun 1965. Syair kesenian zikir Zaman lahir dari tarekat Naqsabandiyah kemudian muncul sebuah syair yang saat ini dibacakan. Sementara, gerakan dan syairnya itu yang mencetusnya itu almarhum TGH Abdul Khotib Kadiri pada tahun 1955. Setelah dari almarhum TGH Sahabuddin pada tahun 1965, tradisi ini kemudian terus dikembangkan hingga sekarang ini. Syair yang keluar dari suara sang hadi tersebut banyak menyuarakan puji-pujian shalawat kepada Nabi Muhammad dan lelekaq sasak santun dengan niat saling mengingatkan antar sesama manusia. Zikir ini juga memberikan peringatan menuntut ilmu dunia dan akhirat yang bermanfaat. (wan)

Read More

Syi’ir Kiai Ahmad Rifa’i Kalisalak Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Penjajah

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Berbagai bentuk perlawanan menghadapi penjajah selalu ditempuh dengan berbagai cara oleh para ulama Nusantara jaman dulu. Selain mengangkat senjata seperti di Perang Padri (1821-1835) di Sumatera dan Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa, ulama Nusantara juga mengangkat pena (dakwah karya tulis) sebagai salah satu bentuk perlawanannya. Salah satu ulama Nusantara yang menggunakan metode tersebut ialah Kiai Ahmad Rifa’i. Beliau ulama yang gigih melakukan perlawanan melalui dakwah dan protes sosial sampai akhir hayatnya. Ia merupakan seorang ulama yang lahir pada hari Kamis tanggal 9 Muharram 1200 H, atau 12 November 1785 Masehi di desa Tempuran, Kabupaten Kendal. Kiai Ahmad Rifa’i dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama Siti Rahmah, buah cintanya dengan Raden KH Muhammad Marhum. Jika melihat tahun kelahirannya, ia seangkatan dengan Pangeran Diponegoro (lahir 1785). Ahmad Rifa’i diasuh oleh kedua orang tuanya kandungnya sendiri sejak lahir hingga ayahnya wafat saat ia berusia enam tahun. Menurut kalangan Rifa’iyah, ia kemudian diasuh dan dididik oleh pamannya yang bernama KH Asy’ari, seorang ulama terkemuka di daerah Kaliwungu. Diasuh oleh KH Asy’ari menjadikan Ahmad Rifa’i tumbuh dewasa kental dengan ilmu agama Islam. Sejak kecil ia sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Tak heran jika kelak ia menjadi ulama besar. Perjuangan dakwah Kiai Ahmad Rifa’i dilakukan sejak beliau muda. Pada usia 30-an tahun, tepatnya tahun 1833 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah dan menetap di sana selama delapan tahun untuk menimba ilmu. Ia bertemu dengan para ulama besar di sana. Saat itu jaringan ulama dunia berpusat di Makkah. Pertemuan tersebut membuatnya semakin bersemangat menimba ilmu. Salah satu gurunya adalah Isa al-Barawi. Iai juga pernah berguru kepada Ibrahim al-Bajuri, seorang ulama dari Mesir meskipun kepergian Kiai Ahmad Rifa’i ke Mesir masih diragukan. Namun, karena pada masa itu banyak ulama yang beraktivitas di Makkah dan Madinah, bisa jadi Kiai Rifa’i bertemu Syaikh Ibrahim al-Bajuri di sana. Pada saat Kiai Ahmad Rifa’i menimba ilmu di tanah haram, beliau bertemu dengan beberapa ulama Nusantara, seperti Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Kholil Bangkalan. Ketiga ulama tersebut menjadi sahabat karib dan sempat melakukan diskusi terkait dakwahnya kelak. Dari hasil diskusi tersebut ketiganya bersepakat, Syaikh Kholil Bangkalan akan fokus pada masalah tasawuf dalam dakwahnya, Syaikh Nawawi Banten pada masalah usuluddin, sementara Kyai Ahmad Rifa’i pada masalah fiqih. Sesampai di tanah air Kiai Ahmad Rifa’i memulai dakwahnya di sebuah desa terpencil yakni Kalisalak, sekarang masuk di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Pada masa itu Nusantara sedang terpuruk karena penjajahan dan kebodohan. Ia sangat prihatin melihat kondisi masyarakat. Karena saat kehidupan sosial rakyat sangat tertindas oleh penjajah, para birokrat pribumi banyak yang bersekutu dengan penjajah. Melihat kondisi tersebut ia mendirikan pondok pesantren di Kalisalak yang digunakan sebagai tempat berdakwah dan mengajar agama Islam. Ia menilai bahwa budaya Islam di masyarakat harus diubah agar terhindar dari budaya yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah. Selain mengajar di pondok, ia juga sering berdakwah ke tempat lain seperti Wonosobo, Pekalongan, Kendal. Dari dakwahnya tersebut menjadikan pondok pesantrennya diketahui banyak orang. Hal itu membuat banyak orang berbondong-bondong ke pondok pesantren Kalisalak untuk menyantri pada Kiai Ahmad Rifa’i. Melihat kondisi tersebut ia mendirikan pondok pesantren di Kalisalak yang digunakan sebagai tempat berdakwah dan mengajar agama Islam. Ia menilai bahwa budaya Islam di masyarakat harus diubah agar terhindar dari budaya yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah. Selain mengajar di pondok, ia juga sering berdakwah ke tempat lain seperti Wonosobo, Pekalongan, Kendal. Dari dakwahnya tersebut menjadikan pondok pesantrennya diketahui banyak orang. Hal itu membuat banyak orang berbondong-bondong ke pondok pesantren Kalisalak untuk menyantri pada Kiai Ahmad Rifa’i. Materi dakwahnya tidak selalu tentang hukum Islam, tapi juga protes sosial karena ia melihat pemerintah kolonial yang selalu menindas masyarakat. Protes sosial ia masukkan dalam ajaran dan kitab yang ditulisnya. Ia meyakini pemerintah kolonial adalah kafir dan harus diperangi. Keyakinan tersebut diajarkan kepada santri-santrinya agar tidak tunduk terhadap penjajah dan birokrat pribumi yang bersekutu dengannya. Tidak hanya itu, Kiai Ahmad Rifa’i juga mengajarkan kepada santrinya bahwa melawan pemerintah kolonial merupakan Perang Sabil. Kiai Rifa’i termasuk ulama yang sangat produktif dalam bidang penulisan. Kebanyakan karyanya adalah syi’ir atau nazam. Salah satu syi’ir ini menggambarkan pendapatnya pada pribumi yang mau bekerjasama dengan penjajah. “Ghalib alim lan haji pasik pada tulung, marang raja kafir asih pada junjung. Ikulah wong alim munafik imane suwung, Dumeh diangkat drajat dadi tumenggung. Lamun wong alim weruho ing alane wong takabur, mengko ora tinemu dadi kadi miluhur.” Artinya: Ghalib alim dan haji fasik menolong, raja kafir dan senang mendukungnya. Itulah orang alim yang munafik yang kosong imannya, Merasa diangkat derajatnya jadi tumenggung. Jika orang alim menunjukkan jeleknya orang takabur, nanti tidaklah mungkin dapat kadi terkenal. Pada syair di atas bisa kita lihat bagaimana kerasnya terhadap penjajah dan orang-orang pribumi yang bekerjasama dengan mereka. Perlawanan dalam mengusir penjajah dari para pahlawan sangat beragam dengan situasi dan kondisi pada masa itu. Kiai Ahmad Rifai lebih memilih menggunakan metode dakwah secara lisan dan tulisan yang dirangkum dalam kitab-kitabnya. Metode tersebut memiliki keunikan tersendiri karena membentuk kesadaran masyarakat bahwa mereka sedang tertindas. Ia juga menanamkan pada masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai fondasi dan jalan hidup yang benar. Dengan kitab Tarjumah yang ia buat menjadikan santri-santri lebih mudah memahami ajarannya karena ditulis dengan Arab pegon yang umumnya berbahasa Jawa. Karena melihat kondisi masyarakat pada saat itu yang belum familiar dengan bahasa Arab. Selain mengajarkan agama Islam, dalam kitabnya, Kiai Ahmad Rifai memasukkan pesan-pesan untuk melawan penjajah dengan sekuat tenaga dan kemampuan masing-masing. Slameta dunya akhirat wajib kinira nglawen raja kafir sakuasnu kafikira Tur perang sabil luwih kadene ukara Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara. Artinya: Keselamatan dunia akhirat wajib diperhitungkan Melawan raja kafir sekemampuannya perlu dipikirkan Demikian juga perang sabil lebih daripada ucapan Cukup tidak menggunakan pasukan yang besar. Pada syair di atas kita menghayati keteguhan Kiai Ahmad Rifa’i dalam dakwahnya melalui pena melawan penjajah dan sekaligus kebodohan. (sar)

Read More

Kemajuan Perekonomian Kerajaan Perlak di Tangan Putri Nurul A’al

Aceh Timur – 1miliarsantri.net : Sejarah tentang kerajaan-kerajaan Nusantara memang tak akan ada habisnya untuk dipelajari. Karena hingga sekarang ini belum banyak tergali informasi-informasi penting yang berguna untuk generasi mendatang, termasuk diantara nya adalah Kesultanan Perlak. Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dalam berbagai catatan sejarah disebutkan bahwa kerajaan ini berkuasa antara 840 hingga 1292 M. Sultan pertama yang memimpin kerajaan ini adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah. Di Kesultanan Perlak, selain para Sultan, ada juga sosok perempuan yang perannya tak kalah dari Sultan. Ia merupakan srikandi sebelum lahirnya tokoh Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang lahir setelahnya. Seperti Puteri Nurul A’al. Ia salah satu tokoh penting di dalam sejarah Kesultanan Perlak. Tidak banyak yang mengangkat kiprahnya secara detil baik dalam bentuk tulisan maupun lainnya. Sehingga sedikit yang mengetahui tentang sejarak sosok ini. Ismail Fahmi Arrauf Nasution dan Miswari dalam artikel pendahuluannya yang dimuat di Paramita: Historical Studies Journal menyebutkan bahwa Kesultanan Perlak terkenal dengan daerah penghasil kayu perlak. Kualitasnya bagus dan cocok untuk pembuatan kapal. Kualitas kayu tersebut yang menarik para pedagang dari berbagai daerah di luar Nusantara untuk membelinya. Seperti dari Gujarat, Arab, dan India. Mereka berbondong-bondong pergi ke daerah Kesultanan Perlak. Daerah ini kemudian menjelma menjadi kawasan bandar niaga yang sangat maju pada awal abad ke-8. “Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat,” tulisnya. Perkawinan campur ini menjadi faktor berkembang pesatnya Islam di Kerajaan Perlak. Dan pada masa Puteri Nurul A’la ini Islam disebut-sebut mencapai puncaknya. Saat itu, dia menjabat sebagai Perdana Menteri perempuan. Puteri Nurul A’la memegang peranan penting di bidang ekonomi. Pada masa itu, ia menjabat sebagai ketua bendahara kerajaan (baitul mal). Putri Nurul A’la adalah putri dari Sultan Perlak kesebelas yaitu, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (1078-1108). Jabatan yang didudukinya sebagai perdana menteri yaitu meneruskan perjuangan ayahnya. Selain jabatan tersebut, Puteri Nurul A’la disebutkan juga menjabata sebagai panglima perang. Ia digambarkan sebagai panglima perang yang gagah berani pada masanya. Rakyat Aceh tidak asing dengan cerita tentang sosok Puteri Nurul A’la. Sehingga cerita rakyat yang dikenal dengan Hikayat Puteri Nurul A’la adalah cara rakyat Aceh mengenang riwayat Puteri Nurul A’la. Hikayat tersebut menceritakan bahwa zaman dulu terdapat seorang raja yang berkuasa di Perlak dimana wilayahnya terletak di Blang Perlak antara Muara Krueng Tuan dan Krueng Seumanah. Setelah lama menikah, raja tersebut belum dikaruniai keturunan. Lalu dia bernazar jika diberi putera, dia akan memandikan putera tersebut di laut dekat Kuala Perlak. Tak lama kemudian, raja tersebut dikaruniai seorang putera yang diberi nama Ahmad Banta dan seorang puteri yaitu Puteri Nurul A’la. Puteri Nurul A’la dikenal sebagai pedagang kayu perlak. Sehingga tak heran jika ekonomi sangat maju ketika dia menjabat sebagai perdanan menteri Kesultanan Perlak. Sistem koperasi sudah dijalankan pada masa itu, khususnya di bidang peternakan dan pertanian yang berbasis pinjaman modal dengan pengembalian melalui cara dicicil. Selain ekonomi, Puteri Nurul A’la juga disebut-sebut berkiprah dalam kemajuan dibidang pendidikan. Tetapi tak banyak sumber yang menjelaskan lebih detil tentang kiprah baik dibidang pendidikan maupun lainnya. Peran Puteri Nurul A’la tersebut patu menjadi contoh bagi generasi saat ini. Semangatnya dalam membangun ekonomi perlu ditiru. Namun yang jelas bahwa perempuan bisa ikut mengambil peran yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang. (zak)

Read More