Berikut 10 Pondok Pesantren Tertua dan Masih Berkembang Hingga Saat Inu

Jakarta — 1miliarsantri.net : Perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak terlepas dari peran penting para Kiai dan Santri yang berada dilingkungan Pondok Pesantren. Perjuangan, pengabdian serta pengorbanan mereka pada saat itu sangat luar biasa, hingga mengalami berbagai macam ancaman dan sebagainya. Dari sekian banyak Pondok Pesantren di Indonesia, terdapat 10 Pondok Pesantren tertua dan tercatat dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Berikut kami sajikan 10 Pondok Pesantren tertua di Indnesia yang telah di himpun tim redaksi 1miliarsantri.net : Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Ayahnya bernama Sayid Abdur Rasyid bin Abdul Majid Al-Hasani dan ibunya bernama Syarifah Zulaikha binti Mahmud bin Abdullah bin Sayid Shahabuddin Al-Huseini seorang qodhil qudhoh di Inath. Ayah dari Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani merupakan keturunan Rasulullah Saw ke-22 dari Sayidina Hasan ra., melalui jalur Sayid Abdul Bar yang merupakan putera dari Sayid Abdul Qadir al-Jaelani al-Baghdadi. Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani datang ke Jawa tahun 852 H/1448 M ketika masa pemerintahan Prabu Kertawijaya Majapahit atau yang dikenal dengan julukan Prabu Brawijaya I (1447 – 1451). Sayyid Sulaiman, yang merupakan keturunan Rasulullah SAW dari marga Basyaiban asal Cirebon, Jawa Barat. Ia adalah putra dari Sayyid Abdurrahman, seorang perantau dari Hadramaut, Yaman. Sedangkan ibunya bernama Syarifah Khodijah, putri Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Kiai Syafii Pijoro Negoro merupakan keturunan dari Ki Ageng Gribig, Jatinom, Klaten. Sebelum menetap di Kampung Dondong, Kiai Syafii menjadi salah satu Komandan Pasukan Sultan Agung yang ikut menyerbu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur di Batavia (Jakarta) pada 1629. Setelah peristiwa penyerbuan itu, Kiai Syafii singgah dan kemudian bermukim di Kampung Dondong. Pada mulanya, setelah menetap di Kampung Dondong, Kiai Syafii mendirikan padepokan. Namun, yang datang untuk belajar justru santri, yang hendak belajar ilmu agama. Maka, padepokan itu pun bertransformasi menjadi pesantren ditandai dengan dibangunnya musala yang kini dikenal sebagai Musala Abu Darda’. Hingga kini musala itu masih berdiri kukuh setelah mengalami beberapa kali renovasi. Adalah Kiai Abdul ‘Allam perintis pendirian pondok pesantren yang berada di Desa Prajjan, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, ini. Sejarah perjuangan Kiai Abdul ‘Allam hingga merintis pendirian pesantren Nazhatut Thullab terekam dalam Babad Ranah Pajjan. Ia yang membuka daerah yang kini dikenal sebagai Desa Prajjan itu. Konon, Kiai Abdul ‘Allam memiliki nama asli Pang Ratoh Bumi. Ia berasal dari Sumenep, kota yang terletak di ujung timur Pulau Madura. Kiai Abdul ‘Allam adalah nama pemberian dari Hadratus Al Syaikh Aji Gunung Sampang, gurunya mengaji. Saat berguru pada Syaikh Aji Gunung, atau dikenal juga dengan julukan Buju’ Aji Gunung, Kiai Abdul ‘Allam memiliki dua sahabat karib dari Jawa yang memperoleh julukan Buju’ Napo dan Gung Rabah Pamekasan. Kedua sahabat ini ikut mewarnai perjalanan hidup Abdul ‘Allam. Berdasarkan hikayat yang berkembang di masyarakat, Kiai Abdul ‘Allam termasuk salah seorang yang intens melakukan komunikasi dengan Pangeran Cakra Ningrat II ketika sang pangeran ini ditangkap dan diasingkan oleh Penjajah Belanda ke Madura. Peristiwa itu terjadi pada periode 1674-1679. Pada saat itu, Kiai Abdul ‘Allam dan Pangeran Cakra Ningrat II sering membahas perjuangan rakyat melawan Belanda. Karena itu, berdasarkan hikayat ini, Kiai Abdul ‘Allam menjadi salah satu tokoh perlawanan terhadap Belanda bersama Pangaran Cakra Ningkrat II. Nama asli Ki Jatira adalah Syekh Hasanuddin bin Abdul Latif dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. Syekh Hasanuddin merupakan seorang pengembara yang selalu menyebarkan Islam di wilayah yang disinggahinya. Tidak terkecuali di pedukuhan Babakan. Di wilayah ini, syekh Hasanuddin membuat mushola kecil yang digunakan untuk mengajarkan tentang agama Islam. Julukan Ki Jatira sendiri disematkan oleh murid-murid Syekh Hasanuddin, karena kebiasan Syekh Hasanuddin yang beristirahat dibawah dua pohon jati ketika sedang membangun mushola. Julukan jatira sendiri mengandung arti Jati = pohon jati, ra=loro (dua). Dipilihnya wilayah Babakan untuk dikembangkan menjadi wilayah pesantren, dikarenakan sosok Ki Jatira yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Kondisi Babakan yang memiliki lahan yang cukup kering dan sulit untuk dikembangkan dalam sektor pertaniannya, membuat Ki Jatira tertantang untuk mengembangkan wilayah tersebut sebagai pusat pendidikan Islam dan menjaga masyarakat untuk lepas dari pengaruh kekuasaan belanda. Tempat yang pertama kali dijadikan sebagai pondok pesantren Buntet, letaknya di Desa Bulak kurang lebih 1/2 km dari perkampungan Pesantren yang sekarang. Sebagai buktinya di Desa Bulak tersebut terdapat peninggalan Mbah Muqoyyim berupa makan santri yang sampai sekarang masih utuh. Salah satu sifat beliau adalah tidak mau koopratif dengan Belanda, yang banyak mencampuri urusan internal keraton, sehingga beliau lebih memilih tinggal di luar keraton dan mendirikan pesantren. Dalam perantuan inilah beliau memulai kehidupan sebagai kyai dengan mendirikan masjid dan gubuk kecil dan mulai mengajar agama. Dalam sejarahnya, pondok ini melewati dua periode, setelah mengalami kevakuman hampir 50 tahun, antara 1830 – 1878. Vakumnya pondok pada 1830 disebabkan terjadinya operasi tentara Belanda. Operasi itu dimulai lantaran Belanda kalah perang dengan Pangeran Diponegoro pada 1825 di Yogyakarta. Karena kalah, Belanda melancarkan serangkaian tipu muslihat dan selanjutnya berhasil menjebak Pangeran Diponegoro. Karena itu pada 1830, para kiai dan pembantu Pangeran Diponegoro di Surakarta dan Pakubuwono IV bersembunyi dan keluar dari Surakarta ke daerah lain, termasuk Kiai Jamsari II (putra Kiai Jamsari) dan santrinya. Setelah sekitar 50 tahun kosong, seorang kiai alim dari Klaten yang merupakan keturunan pembantu Pangeran Diponegoro, Kiai H Idris membangun kembali surau tersebut. Tentunya lebih lengkap dan diperluas dari kondisi semula. Di tangan Kiai Idris inilah, Jamsaren mencapai puncaknya. KH. Hasan Munadi wafat pada usia 125 tahun. Beliau mengasuh pondok pesantren ini selama hampir 90 tahun. Beliau meninggalkan empat orang putra yaitu: KH. Isma’il, KH. Muhyini, KH. Ma’sum dan Nyai Mujannah. Pada masa itu, Pondok Gading belum mengalami perkembangan yang signifikan. Pendirian pondok pesantren ini tidak lepas dari sosok santri Kyai Qomaruddin, yakni Raden Tumenggung Tirtorejo Bupati Kanoman Gresik. Saat itu Raden Tumenggung Tirtorejo mendapatkan tugas untuk menyebarkan agama Islam di pesisir utara Gresik. Kyai Qomaruddin, yang sebelumnya sudah mendirikan pesantren di Kanugrahan Lamongan, akhirnya pindah ke wilayah Kabupaten Gresik. Kyai Itsbat bin Ishaq merupakan seorang kyai yang berasal dari Sumber Panjalin. Jika ditelusuri, genealogi Kyai Itsbat bin Kyai Ishaq merupakan keturunan dari Kyai Cendana alias Sayyid Zainal Abidin, Kwanyar, Bangkalan dan masih keturunan Sunan Kudus. Demikian 10 Pondok Pesantren tertua yang dihimpun tim redaksi…

Read More

Diantara Deretan Walisongo Yang Dianggap Keturunan Tionghoa

Surabaya — 1miliarsantri.net : Peranan Wali Songo dalam penyebaran Islam di tanah Jawa pada abad 15 dan 16 tercatat dalam sejarah perkembangan Islam Nusantara. Setiap wali dipanggil dengan sebutan sunan, yang berasal kata susuhunan, yaitu sebutan bagi orang yang dihormati. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, gelar Sunan untuk Wali Songo disebabkan para wali itu dianggap memiliki karamah atau kemampuan di luar kelaziman. Dalam menyebarkan agama Islam, para waliyullah yang merupakan kumpulan para ulama tersebut menamakan dirinya Dewan Dakwah yang melakukan pendekatan masyarakat melalui strategi budaya, pernikahan, maupun pendidikan. Berikut nama-nama sembilan wali yang dikenal dan diketahui sebagian besar masyarakat : Dinukil dari buku Prof Hembing Pemenang The Star of Asia Award oleh Siti Nafsiah, empat dari sembilan tokoh Wali Songo masih mempunyai hubungan dengan keturunan Tionghoa, yaitu Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Pengetahuan mengenai beberapa wali dari Wali Songo yang dianggap sebagai orang keturunan Tionghoa juga diungkapkan oleh Profesor Kong Yuanzhi, seorang profesor Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Indonesia Universitas Peking, diantaranya : Menurut Lee Khoon Choy, Sunan Ampel sebenarnya adalah Bong Swee Hoo, yaitu seorang muslim Tionghoa yang menganut mazhab Hanafi yang tiba Indonesia pada tahun 1445. Sunan Ampel tinggal di muara Sungai Brantas, Jawa Timur pada 1447-1451. Kemudian pindah ke Ampel. Sunan Ampel sangat bersahaja dan piawai serta sederhana. la termasuk perintis berdirinya Kerajaan Demak Bintaro. Sunan Ampel juga berjasa dalam mengharumkan nama Glagah Wangi yang kemudian menjadi pusat pengajaran Islam pada masa itu dan ikut memprakarsai pembangunan Masjid Demak bersama Sunan Kalijaga. Menurut S. Wardi dalam bukunya yang diterbitkan oleh surat kabar Wahyu, dituturkan bahwa terdapat seorang Tionghoa yang bernama Oei Tik To yang berputra seorang bupati Tuban yang bernama Wirotikto. Selanjutnya, Wirotikto ini memiliki putra yang bernama Oei Sam lk atau biasa dipanggil dengan nama Said atau kini dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Selain pandai dalam bidang agama Islam, Sunan Kalijaga juga sangat pandai bergaul, baik dengan rakyat jelata maupun kalangan atas dan para pemikir karena memang ia seorang politikus, ahli tasawuf, dan filosof. Berkat perjuangannya bersama para wali yang lain, Islam berhasil disebarkan kepada 75 persen sampai 90 persen masyarakat Jawa. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Dengan demikian, dapat dikatakan Sunan Muria masih memiliki hubungan dengan keturunan Tionghoa. Daerah penyebaran Islam Sunan Muria, yaitu sekitar Gunung Muria, meliputi pantai utara daerah Jepara, Tayu, Pati, Juana, dan Kudus Dakwah yang dilaksanakannya disampaikan secara lunak, terutama kepada rakyat jelata yang dianggap sebagai kaum sudra oleh para kaum ningrat saat itu. Sunan Gunung Jati adalah Tung A Bo yang berayahkan Tung Ka Lo, seorang muslim Tionghoa. Sunan Gunung Jati/Tung A Bo melaksanakan ibadah haji pada tahun 1521. Sunan Gunung Jati berhasil melaksanakan dakwah dengan menaklukkan hati masyarakat Banten, termasuk Adipati Banten. Mereka tertarik untuk masuk Islam antara lain setelah memahami mengenai ajaran jihad yang menjelaskan bahwa yang harus dilawan bukan hanya musuh, tetapi juga hawa nafsu. Data mengenai Wali Songo di atas juga telah dibahas oleh H.J. de Graaf dan kawan-kawan dalam bukunya Chinese Muslims in Java in the 15 and 16″ Centuries, the Malay Annals of Semarang and Cirebon. Meski demikian, masih dibutuhkan pengkajian lebih lanjut untuk mengungkap sejarah yang diketahui memiliki banyak versi. Syiar Islam di Indonesia memang tidak terlepas dari peran para etnis Tionghoa yang telah terjalin pembauran sejak dahulu. Ketika berbicara mengenai penyebaran Islam di Indonesia oleh warga keturunan Tionghoa, pikiran akan tertuju kepada seorang muslim dari China yang menurut sejarah sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Indonesia. Muslim Tionghoa yang dimaksud, yaitu Cheng Ho atau dikenal juga dengan nama Sam Po Kong. Sejarah Islam Indonesia dengan sejarah Cheng Ho demikian terkaitnya meskipun kunjungan muhibah Cheng Ho ke Indonesia telah berlalu hampir enam abad yang lalu. Cheng Ho adalah seorang muslim dari Yunnan yang berayah-ibu haji. Sejak usia 12 tahun Cheng Ho tinggal di Nanjing. Pada masa hidupnya Cheng Ho telah melakukan tujuh kali pelayaran ke berbagai penjuru dunia. Pada kesempatan pelayaran itulah Cheng Ho singgah di Indonesia, salah satunya yaitu di Pulau Jawa, kemudian berdakwah. Pada masa selanjutnya, Cheng Ho disebut-sebut sebagai seorang muslim yang memiliki andil besar dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara. Dalam masa-masa persinggahan, Cheng Ho telah menebarkan benih-benih seni budaya, pendidikan, dan benih-benih persahabatan serta perdamaian. Pada awal abad ke-15 Cheng Ho singgah di Semarang kemudian menyebarkan agama Islam di sekitar daerah Gedong Batu. Pada saat itu, Cheng Ho dibantu oleh seorang pembantu utama yang juga sangat taat terhadap ajaran agama Islam. la mengajarkan penduduk bercocok tanam dan mengembangkan pelayaran niaga pantai sambil mengajarkan ajaran agama Islam. (fq)

Read More

Napak Tilas Makam Sunan Amangkurat 1

Tegal — 1miliarsantri.net : Jika kita nerkunjung ke wisata religi Sunan Amangkurat I di Tegal, terlihat tidak seperti berkunjung ke pemakaman pada umumnya. Wisata religi Sunan Amangkurat I memiliki pesona Islam yang terlihat masih religius. Bukan hanya itu, di dalam wisata religi ini juga menyimpan peninggalan kerajaan mataram. Di area wisata religi ini terlihat rapi dan bersih, bahkan jauh dari kata seram. Dari luar, bangunan ini dikelilingi oleh tembok bata dengan luas sekitar 1,1 Ha. Tempat ini bukanlah lahan biasa, namun di lahan yang diberi nama Tegal Arum tersebut terdapat petilasan dan makam Raja Mataram Sunan Amangkurat I, yang pernah berjasa membangun pemerintahan Mataram serta menyebarkan ajaran Islam hingga ke wilayah Barat. Area makam yang masih mempertahankan bangunan lama dengan pagar dinding dari bata merah masih tertata rapi, bahkan jalan setapak menuju makam telah dipaving. Sehingga nampak bersih dan dibalut pepohonan yang rindang serta hamparan rerumputan, menambah lingkungan tersebut menjadi bersih dan nyaman untuk di kunjungi para peziarah yang datang secara periodik. Bangunan yang tercatat sebagai petilasan Raja-raja Mataram ini dilindungi oleh undang-undang cagar budaya Indonesia yang harus dirawat keberadaannya. Untuk menjaga keaslian tempat tersebut masih mempertahankan pagar dan ornamen bangunan dengan bata merah meski telah mengalami pemugaran pada 1982 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr Daoed Joesuf. Ornamen tersebut dipertahankan karena ada kesamaan ciri khas, seperti di kerajaan Kasultanan Plered, di Cirebon Jawa Barat. Di Plered inilah Sunan Amangkurat I pernah berkuasa. Memasuki kompleks makam raja Mataram ini kita harus melewati tiga pintu, masing masing pintu memiliki makna filosis yang masih bercampur dengan ajaran Kejawen. Pintu pertama dijadikan penanda awal kehidupan manusia dan pintu kedua sebagai perlambang kehidupan selanjutnya. Di pintu kedua ini juga terdapat makam keturunan Sunan Amangkurat dan orang-orang yang pernah dekat dengan Sunan Amangkurat. Di sini banyak ditumbuhi pohon sawo kecil sebagai pertanda kebaikan dari orang-orang yang disemayamkan di tempat tersebut, sedangkan pintu ketiga merupakan pintu pembatas dunia dan akhirat. Pada pintu kamu akan menuju makam utama yang berbentuk bangunan Joglo dengan dinding kayu jati yang kokoh dan terletak di gundukan tanah tinggi yang konon berbau harum. Sedangkan di sekitar makam utama di tanah datar disemayamkan juga Ratu atau isteri pertama Sunan Amangkurat dan dua anak Sunan Amangkurat yaitu Klenting Kuning. Sunan Amangkurat I merupakan putra ke sepuluh dari Sultan Agung yang lahir pada tahun 1619. Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin. Pada tahun 1645 beliau diangkat menjadi Raja mataram menggantikan ayahnya dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi pada tahun 1646, gelarnya menjadi Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Pada masanya, terjadi banyak pemberontakan dan persekongkolan. Sunan Amangkurat I dan beserta istri dan putra – putranya meninggalkan Keraton Mataram menuju kearah Batavia. Dalam pelariannya, Sunan Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Beliau berwasiat untuk dimakamkan di dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan yang kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek. Sultan Agung sendiri merupakan anak kedua dari permaisuri kedua, Raden Ayu Wetan. Sedangkan Sunan Amangkurat atau nama asli beliau yaitu Raden Mas Sayidin dilahirkan pada tahun 1619. Ibunya adalah puteri keturunan Kerajaan Batang yang menjadi permaisuri pertama menggantikan Ratu Emas Tinumpak (Kangjeng Ratu Kulon) . Setelah diusir dari keraton dengan alasan yang tidak diketahui. Raden Mas Sayidin memiliki saudara seibu yang bernama Raden Mas Alit. Ketika diangkat sebagai putera mahkota Raden Mas Sayidin secara resmi diberi nama Pangeran Aria Mataram. Sejak umur 5 – 15 Tahun (1624-1634) Sunan Amangkurat I pada masa awal pemerintahannya memang dikenal sangat kontroversial pada zamannya. Pada saat memerintah kehidupan politik Sunan Amangkurat I diwarnai oleh konflik dan konspirasi politik yang berkepanjangan. Sunan Amangkurat I pada waktu itu tidak dapat dipisahkan dengan responnya terhadap situasi konflik dan persekongkolan yang terjadi. Banyak persekongkolan politik yang menurut berbagai sumber bertujuan untuk menyingkirkannya atau bahkan membunuhnya. Persengkongkolan itu melibatkan orang-orang dekat Sunan Amangkurat I, seperti: Pangeran Purbaya, Pangeran Alit, Adipati Anom, para ulama, Pangeran Kajoran, Trunojoyo dan sebagainya. Di masa ini serangkaian suksesi berdarah, yang mewarnai pergeseran kekuasaan di Jawa pasca runtuhnya imperium Majapahit. Kerajaan Mataram oleh Amangkurat I mampu menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang bertebaran di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca berakhirnya imperium Majapahit. (rim)

Read More

Masjid Agung Kota Tegal, Antara Kebesaran dan Bukti Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro

Tegal — 1miliarsantri.net : Penting untuk mengetahui misteri sejarah dan keunikan Masjid Agung Tegal agar semangat dalam memperjuangkan kehidupan tetap terjaga. Inilah misteri sejarah dan keunikan Masjid Agung Tegal yang menjadi saksi bisu perang Dipenogoro. Selain bangunan masjid yang besar dan megah, ternyata terdapat sejarah di dalamnya serta keunikan yang masih jarang diketahui. Masjid Agung Kota Tegal berdiri diatas tanah yang diwakafkan oleh seorang Penghulu I yang juga berprofesi sebagai tokoh agama dan muballigh bernama Kiai Abdul Aziz. Luas tanah wakaf pembuatan masjid ini mencapai 2.864,36 m2. Masjid Agung Kota Tegal ini diperkirakan dibangun pada tahun 1825 M. Bagaimana sejarah tercipta pada masjid ini? Dan apa keunikan yang berada di dalamnya? Simak artikel ini sampai selesai. Di antara riwayat perang epik antara Pangeran Diponegoro dan penjajah Belanda yang dikenal sebagai Perang Jawa, terdapat sebuah bangunan yang menyimpan sejuta cerita. Masjid Agung Kotamadya Tegal, Jawa Tengah, memiliki hubungan erat dengan periode bersejarah tersebut. Pada rentang tahun 1825-1830, ketika Perang Jawa pecah, K.H. Abdul Aziz mulai membangun masjid ini. Kehadiran masjid ini pada masa perang menjadikannya saksi bisu perlawanan Pangeran Diponegoro dan pengikut setianya dalam mempertahankan kebenaran. K.H. Abdul Aziz, pendiri masjid ini, adalah seorang ulama dan penghulu pertama di kota Tegal. Dia juga memiliki hubungan keluarga dengan Raden Reksonegoro, Bupati Tegal saat itu. Karena ikatan kekerabatan dan ikatan ukhuwah islamiyah yang kuat, pembangunan Masjid Agung Tegal berlangsung lancar tanpa hambatan. Menurut catatan sejarah, Masjid Agung Tegal telah mengalami beberapa kali renovasi sejak didirikan. Pada tahun 1927, ruang paseban masjid direnovasi karena sudah tidak representatif lagi. Sebagai penggantinya, dibangunlah KUA (Kantor Urusan Agama), tempat bagi umat Islam Tegal untuk melangsungkan pernikahan. Pada tahun 1953-1954, Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun kota Tegal ini mengalami renovasi besar-besaran. Serambi depan masjid diperluas ke arah depan sehingga menyatu dengan KUA. Untuk memenuhi kebutuhan jamaah akan air wudhu, tempat wudhu sebelah kanan masjid diperbaiki pada tahun 1970. Pada tahun 1985, atap masjid dirombak dan diganti dengan atap tumpang, memberikan tampilan yang lebih modern pada bangunan masjid ini. Namun, meskipun atapnya telah diperbaharui, jika kita melihat masjid ini dari belakang, gaya arsitektur modernnya tidak akan terlihat. Bagian belakang masjid ini belum pernah direnovasi dan masih mempertahankan kesan kuno hingga saat ini. Masjid Agung Tegal memiliki dua lantai di bagian depannya dan mampu menampung lebih dari 4000 jamaah. Lantai bawah digunakan sebagai ruang utama masjid, sedangkan lantai atasnya digunakan untuk berbagai kegiatan keislaman, seperti pengajian bagi kaum bapak dan kaum ibu setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu setelah Subuh. Pengajian Al-Qur’an untuk para remaja biasanya diadakan setiap hari Rabu, Kamis, dan Sabtu malam. Sedangkan pengajian umum diselenggarakan setiap hari Senin setelah Subuh. Sebagai masjid yang terletak di pusat kota Tegal, setiap kali waktu shalat fardu lima tiba, masjid ini selalu dipadati oleh jamaah yang ingin melaksanakan shalat berjamaah. Terutama umat Islam di sekitar masjid yang dikenal sangat taat beragama, termasuk para pegawai Pemerintah Kota Tegal dan instansi pemerintah lainnya. Menariknya, Masjid Agung ini berjarak tidak terlalu jauh dari pendopo Walikota Kota Tegal, sekitar 150 meter ke arah barat laut. Panggilan azan dikumandangkan melalui pengeras suara yang dipasang di puncak menara masjid setiap kali waktu shalat tiba. Namun, jika kita telusuri sejarah Masjid Agung Tegal dengan lebih dalam, terdapat satu keunikan tersendiri yang terjadi di sana. Pada tahun 1980-an, ketika waktu berbuka puasa tiba selama bulan Ramadan, tradisi membakar petasan raksasa di halaman masjid menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa waktu magrib atau berbuka puasa telah tiba. Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih, tradisi membakar petasan raksasa yang terlihat mubazir tersebut akhirnya ditiadakan. Sebagai gantinya, waktu berbuka puasa diumumkan melalui azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara di menara masjid setinggi 32 meter, dan juga disiarkan melalui radio dan televisi yang saat ini semakin banyak. Masjid Agung Tegal adalah bukti hidup perjuangan dan kesetiaan Pangeran Diponegoro dalam mempertahankan kebenaran. Melalui keunikan sejarahnya dan keindahan arsitektur yang masih terpancar hingga saat ini, masjid ini tetap menjadi tempat ibadah yang bersejarah dan terhormat bagi umat Islam di Kota Tegal dan sekitarnya. (yud)

Read More

Kedekatan Raja Mataram Dengan Generasi Utsmani Turki Serta Keinginan Pangeran Diponegoro Meninggal di Makkah

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Meski Pemilihan Presiden (Pilpres) masih delapan bulan mendatang, nama Pangeran Diponegoro ramai disebut-sebut. Prabowo Subianto ketika memaparkan visi dan misinya di depan para wali kota se-Indonesia di Makassar menyatakan akan memindahkan makam Pangeran Diponegoro ke Jawa. Sontak pernyataan ini memicu banyak komentar. Sayangnya, komentar yang keluar negatif. Baik masyarakat di Makassar dan para anak keturunan Pangeran Diponegoro yang ada di Yogyakarta menolak keras. Raja Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X tegas menolak wacana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang ingin memindahkan makam pahlawan nasional Pangeran Diponegoro dari Makassar kembali ke kampung halamannya di Yogyakarta. “Kalau saya enggak usah, Pangeran Diponegoro di sana [Makassar] juga dihargai oleh masyarakat,” ujar Sultan di Yogyakarta, Minggu (16/07/2023). Sultan menilai warga Makassar pun menjaga sekaligus menghormati keberadaan makam sosok pahlawan dengan nama asli Bendara Raden Mas Antawirya. Oleh karena itu, menurut Sultan, wacana pemindahan itu tak perlu dilaksanakan. Melihat itu tampaknya usulan pemindahan makam Diponegoro akan mentok. Publik lebih menyukai sekaligus bangga bila Pangeran Diponegoro di makamkam di Makssar. Apalagi anak cucu dan keturunan nya pun sampai kini banyak tetap berada di tempat itu. Mereka bangga dan menjaga makam leluhurnya yang sangat dihormati. Meminjam istilah pangeran Diponegoro itu sebagai ‘takdir’. Perlu diketahui pula, sosok Pangeran Diponegoro muncul sebagai semangat perjuangan politik kemerdekaan itu selepas 50 tahun dari wafatnya di Makasar pada tahun 1850. Diponegoro ‘bangkit dari kuburnya’ setelah Sarikat Islam menggaungkan nama dan jasa perjuangannya dalam setiap rapat-rapatnya. Mulai saat itu poster Pangeran Dipoengoro tersebar luas. Rakyat yang sebelumnya hanya tahu dari mulut kemulut, kini dapat mengetahui sosok Pangeran Diponegoro secara lebih jelas. Pangeran Diponegoro bukan lagi nama khayali. Tapi nyata dan ada! Bila dibaca pada serat ‘Babad Diponegoro’ yang ditulis sang pangeran sendiri, dia tak secara jelas menunjuk tempat dia dimakamkan kelak bila tutup usia. Dalam buku ‘Kuasa Ramalan’ karya sejarawan Inggris Peter Carey, obsesi masa tua Pangeran Diponegoro adalah mengakhiri hidupnya di Makkah. Yang paling unik adalah kebiasannya meminum Air Zamzam. Pada bagian itu jelas di sebut Pangeran Diponegoro dalam babadnya. Pater Carey pun menulis bila sang Pangeran ketika berada di pembuangan Makassar berkali-kali meminta agar diizinkan pergi ke Makkah untuk berhaji. Obesesi Pangeran Diponegoro untuk berhaji dan tinggal di Makkah tampak pada beberapa peristiwa ketika pangeran ini menjalani masa awal penangkapan, berlayar menuju tanah pengasingan, dan tinggal di pembuangan. Catatan komandan tentara De Stuers melaporkan betapa pangeran itu pergi berangkat ke pengasingan dengan tetap memakai pakaian ala ulama atau haji: ‘’Diponegoro tampak senang mengamati banyak orang di dermaga. Karena rasa ingin tahu ia menutupi muka dengan ujung sorbannya, yang justru membuat kerumunan merasa lebih tertarik kepadanya…’’ Bahkan guna menunjang semangatnya, Diponegoro sempat meminum sebotol air zamzam yang diberikan kepadanya di Magelang oleh seorang haji yang baru kembali dari tanah suci. Menurut Dipongero: air ini (zamzam) yang diminum para Muslim terkemuka yang telah memahami rahasia agung ajaran agama Rasul.” Tak hanya itu, selama dalam perjalanan menuju tanah pengasingan, di atas kapal dari Semarang ke Jakarta, Diponegoro selalu menuntut hak atas kepastian di mana dia akan diasingkan.”Orang tahu bahwa saya ingin mendapat kepastian mengenai hak-hak legal saya apakah akan dikirim ke Makkah atau ke tempat lain.” Soal Makkah dan tanah suci, juga ditunjukan ketika Diponegoro berlayar dari Jakarta menuju Manado (Sulawesi Utara). Sembari menunggu kapal melepas sauh, Diponegoro sempat berkata kepada ajudan militer Van den Bosch yang bernama Knoerle menyatakan: “Sesampai di Manado ia akan meminta uang dan kapal kepada Gubernur Jendral untuk pergi ke Makkah begitu kekuataannya pulih dan hatinya merasa tenang serta damai kembali. Dan keinginan pergi ke Makkah ia kerap tunjukan selama di atas kapal dengan meminta kapten kapal menunjukkan letak pulau-pulau sekaligus jalur kapal menuju Jeddah.” Pangeran Diponegoro selaku putra raja — bahkan oleh Belanda sempat ditawari sebagai Sultan Mataram — paham sekali hubungan antara kerajaan Mataram dengan Makkah. Apa arti Makkah dan haji bagi Diponegoro semakin nyata ketika dia tinggal bersama eyang putrinya yang berada di kawasan Tegal Rejo. Di sana dengan kepemilikan lahan sawahnya yang sangat luas, sang eyang yang merupakan bangwasan dari Kraton Madura terbiasa memberangkatkan haji para abdi dalemnya. Bahkan di rumahnya terbiasa pula menerima kedatangan berbagai orang yang datang dari Makkah. Maka soal Makkah dan haji serta seputaran masalah itu sudah tertanam di benaknya sejak masa kecil. Perlu diketahui pangeran Diponegoro sangat piawai menulis ‘Jawi’ dan ini terjejak dalam karya babadnya yang kini dinyatakan Unesco sebagai warisan dunia, tidak mengunakan huruf Jawa, namun memakai tulisan Arab pegon. Bagi Kraton Mataram sendiri soal keberadaan dan arti Makkah sendiri sangat penting. Dari catatan sejarah, ‘orang Jawa’ yang pertama kali berangkat ke tanah suci Makkah tercatat diantaranya adalah utusan pada masa kekuasaan Sultan Agung yang saat itu pusatnya masih berada di Kota Gede (kota kecil di selatan Yogyakarta). Kepergian mereka ke Makkah itu diperkirakan terjadi pada tahun 1620-an. Namun kepergian mereka sebenarnya merupakan rombongan resmi kenegaraan yang kedua, setelah sebelumnya rombongan asal Kerajaan Banten mendahului kepergian mereka. Apa tujuan kepergian mereka ke Makkah? Jawabnya, selain untuk menunaikan ibadah haji, utusan tersebut juga hendak meminta izin untuk memakai gelar ‘Sultan’ di depan nama atau gelaran raja mereka. Selain itu juga diindikasikan kepergian mereka untuk menemui ‘syarif Makkah’ adalah untuk meminta ‘perlindungan’ bahwa mereka itu adalah mitra atau bahkan sekutu dari imperium Ottoman Turki (Turki Usmani). Dan ketika pulang dari tanah suci, selain membawa oleh-oleh tanah pasir gurun yang ada di Makkah, rambut nabi, bendera kerajaan Ottoman, mereka pun mendapat restu dari ‘Syarif Makkah’ untuk memakai gelar Sultan di depan nama rajanya. Maka mulai saat itu gelar Raja Mataram memakai nama Sultan, atau tak lagi menggunakan gelar Sunan (Susuhunan) seperti gelar raja pada era Majapahit. Kenyataan sejarah itu sejalan dengan isi pidato Sultan Hamengku Bawono ke X saat membuka Konggres Umat Islam pada awal Februari 2015. Pada forum itu Sultan menegaskan kembali soal kaitan Kraton Yogyaarta dengan Kerajaan Turki Usmani dan juga kaitan orang dari Kraton Jogjakarta yang dibiayai pergi ke Makkah atas restu Sultan Yogyakarta. ‘’Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman…

Read More

Situs Gunung Padang Diketahui Sudah Ada Sejak 9000 Tahun Lalu

Cianjur – 1miliarsantri.net : Anda mungkin pernah mendengar nama Situs Gunung Padang yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Situs Gunung Padang adalah salah satu bukti peninggalan nenek moyang yang masih berdiri hingga saat ini. Situs Gunung Padang yang terletak tepatnya di Desa Karyamukti, telah menjadi pusat perhatian para peneliti karena keberadaannya yang diyakini sebagai situs megalitikum tertua di Indonesia. Asal usul Gunung Padang masih menjadi misteri dan menjadi subjek perdebatan di kalangan para ahli tentang sejarah Gunung Padang. Pada awalnya Gunung Padang dianggap sebagai situs pemakaman kuno yang berasal dari sekitar 5.000 tahun lalu. Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa situs ini mungkin memiliki sejarah yang jauh lebih tua berdasarkan penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian menggunakan metode penanggalan radiokarbon dan analisa heologi mengindikasikan bahwa struktur di Gunung Padang bisa memiliki usia lebih dari 9.000 tahun. Situs Gunung Padang terdiri dari beberapa teras batu yang membentuk piramida teras yang mengarah ke puncak gunung. Terdapat pula struktur batu besar dan petilasan di sekitar area ini. Selain itu juga terdapat beberapa teori tentang asal-usul situs ini. Salah satu teori menyatakan bahwa Gunung Padang adalah sisa-sisa komplek kuil atau tempat ibadah yang telah lama hilang dari zaman pra-sejarah. Teori lain mengusulkan bahwa Gunung Padang merupakan situs pengamatan astronomi kuno atau bahkan merupakan tempat penyimpanan pengetahuan kuno yang terkait dengan peradaban hilang. Pada tahun 2011, penelitian dan ekskavasi resmi dilakukan oleh tim arkeologi yang dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa struktur teras di Gunung Padang mungkin bukan hanya hasil dari akumulasi batuan alami, tetapi juga telah mengalami intervensi manusia. Namun, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengungkapkan lebih lanjut tentang sejarah dan fungsi sebenarnya dari Gunung Padang. Penting untuk dicatat bahwa sejarah Gunung Padang masih dalam tahap penelitian dan peneliti terus menggali lebih dalam untuk mengungkap misteri di balik situs ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya perang Gunung Padang dalam sejarah manusia di wilayah tersebut. Ada beberapa teori yang diajukan mengenai asal usul situs ini, namun belum ada konsensus yang diterima secara luas. Berikut adalah beberapa teori yang telah diajukan: Beberapa ahli awalnya menganggap Gunung Padang sebagai situs pemakaman kuno yang berasal dari sekitar 5.000 tahun yang lalu. Namun, penemuan-penemuan baru telah mengindikasikan bahwa situs ini mungkin jauh lebih tua. Salah satu teori menyatakan bahwa Gunung Padang adalah sisa-sisa kompleks kuil atau tempat ibadah yang telah lama hilang dari zaman pra-sejarah. Beberapa ahli berpendapat bahwa Gunung Padang mungkin memiliki hubungan dengan pengamatan astronomi kuno. Beberapa penelitian mengindikasikan adanya keterkaitan antara susunan batu di situs ini dengan penentuan posisi matahari, bintang, atau fenomena astronomi lainnya. Teori lain menyatakan bahwa Gunung Padang bisa menjadi tempat penyimpanan pengetahuan kuno yang terkait dengan peradaban yang telah punah. Ada spekulasi bahwa struktur bawah tanah di situs ini mungkin berisi ruang-ruang yang berisi artefak, naskah, atau pengetahuan lain yang mungkin dapat mengungkapkan sejarah dan peradaban kuno. Namun, perlu dicatat bahwa penelitian lebih lanjut dan bukti yang lebih kuat diperlukan untuk mengkonfirmasi teori-teori ini. Hingga saat ini, asal usul Gunung Padang masih menjadi misteri dan penelitian terus dilakukan untuk mengungkap lebih banyak tentang sejarah dan fungsi sebenarnya dari situs ini. (fq)

Read More

Melihat Sisi Dekat Sejarah Masyarakat di Pulau Bawean

Gresik – 1miliarsantri.net : Anda tentu pernah mendengar nama Pulau Bawean. Suatu wilayah yang terletak di Laut Jawa, merupakan pulau yang berlokasi sekitar 120 km di utara Kabupaten Gresik. Pulau Bawean terdiri dari dua kecamatan, yaitu Sangkapura dan Tambak. Untuk mencapai pulau ini, terdapat opsi perjalanan dengan kapal cepat selama tiga hingga empat jam, atau menggunakan pesawat perintis yang membutuhkan sekitar satu jam. Pulau Bawean sebelumnya dikenal sebagai Pulau Melati atau Pulau Majdi, nama “Majdi” berasal dari bahasa Arab yang berarti uang logam. Nama “Majdi” dipilih karena pulau ini memiliki bentuk yang bulat sempurna, menyerupai uang logam. Perubahan nama pulau dari Majdi menjadi Bawean erat kaitannya dengan kerajaan Majapahit, dimana masyarakat sekitar disebut juga masyarakat Suku Bawean. Menurut legenda, kata “Bawean” memiliki arti matahari. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, suku ini sering melakukan perantauan dalam mencari pekerjaan. Mereka sering merantau ke berbagai daerah dan bahkan ke negara lain seperti Singapura dan Malaysia. Kebiasaan merantau dari suku ini telah menjadi bagian dari budaya sehari-hari mereka, yang telah diajarkan sejak masa kanak-kanak. Budaya merantau telah menjadi tradisi kaum pria suku Bawean sejak abad ke-19. Selain itu, suku ini memiliki rumah adat unik yang disebut rumah Dhurung. Dhurung adalah bangunan tambahan yang digunakan untuk menyambut tamu. Luas Dhurung sekitar 2×3 meter. Pada masa lampau, bagian atas bangunan ini biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian dan barang-barang lainnya. Pulau Bawean terkenal dengan keindahan alamnya, termasuk keberadaan rusa liar dan wisata kampung bahari. Suku ini juga memiliki tradisi Maulud yang dirayakan oleh masyarakat di Kampung Sungai Datuk, Kecamatan Bitan Timur. Suku Bawean terbentuk karena terjadi percampuran antara orang Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis dan Makassar selama ratusan tahun di pulau Bawean, Gresik. Dengan adanya akulturasi budaya, beberapa bahasa Bawean pun memiliki kemiripan dengan bahasa berbagai suku tersebut. Sementara, dalam buku “Bawean dan Islam”, Jacob Vredenbregt menjelaskan, Pulau Bawean dihuni oleh penduduk yang berasal dari Madura, akan tetapi kapan proses ini dimulai tidak dapat dipastikan. Lekkerkerker (1935:47) berpendapat bahwa hal ini diperkirakan terjadi sesudah 1350 M. Sampai 1743 M, pulau ini berada di bawah kekuasaan Madura; raja Madura terakhir adalah Tjangraningrat IV dari Bangkalan. Pada tahun itu, VOC menduduki pulau ini dan memerintahnya lewat seorang prefect. Walaupun di sini penduduknya berasal dari Madura, lama-lama terbentuk lah kebudayaan baru yang terpisah dari Madura. Penduduk Pulau Bawean kemudian makin banyak berorientasi ke daerah perantauan, khususnya Singapura dan pesisir barat Melayu, sehingga unsur-unsur kebudayaan Melayu mulai berpengaruh dalam kebudayaan Madura yang asli. Kelompok penduduk lain yang sejak dulu ikut menghuni Pulau Bawean adalah penduduk dari Sulawesi Selatan. Saat itu, nelayan Bugis yang menemukan tempat nafkahnya di perairan yang kaya akan ikan di sekeliling pulau, kemudian mendapatkan istrinya yagn kedua di Bawean. Sedangkan penghuni Bawean yang berasal dari Jawa berada di Bawean Utara, tepatnya Desa Ponggo. Bahasa Jawa, meskipun sudah dalam bentuk yang sangat berubah, sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakat Desa Ponggo. Selanjutnya, kelompok yang datang di pulau ini adalah pedagang Palembang yang di Bawean disebut “Kemas”. Menurut Jacob, kelompok penduduk ini telah memberi warnanya kepada pulau ini. Lagi pula, hasrat merantau orang Bawean juga telah membawa pengaruhnya terhadap komposisi rasial di pulau ini. Jacob mengungkapkan, orang Bawean di Singapura juga sering mengambil anak-anak Cina sebagai anak angkatnya dan membawa mereka kembali ke pulau Bawean, sehingga mereka berbaur dengan penduduk Bawean. Selain itu, menurut Jacob, beberapa orang Bawean yang bermukim di Makkah untuk waktu yang lama juga ada yang menikah dengan wanita Arab dan kadang-kadang mereka membawa kembali keturunannya ke pulau ini. Namun, berapa besar jumlah dari berbagai kelompo etnis tersebut yang pernah menghuni dahulu dan sekarang, tidak dapat dipastikan. (ani)

Read More

Mengenali Kampung Siluman Bekasi

Bekasi – 1miliarsantri.net : Di Kabupaten Bekasi, terdapat sebuah daerah yang bernama Kampung Siluman. Mendengar nama nya saja, mungkin Anda akan berimajinasi ke suatu lokasi serem, sebuah lembah dengan rumah penduduk yang jaraknya satu sama lain bisa puluhan bahkan ratusan meter. Bahkan Anda akan mengira kalau tempat itu sebuah lembah, atau areal makam bahkan bukit yang disekililingnya dipenuhi peninggalan-peninggalan mistik. Nyatanya tidak. Kampung Siluman berada di Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat atau lebih kurang 40 KM dari Ibukota Jakarta. Persisnya 1 km arah ke utara dari Stasiun KA Tambun dan Gedung Juang 45 (Gedung Tinggi) yang berada di Jl Diponegoro, Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat. Kondisi di sana sekarang ini dipenuhi perumahan. Ada puluhan perumahan di sana Perumahan Mangunjaya Indah I, Perumahan Bumi Lestari, Perumahan Papan Mas, Perumahan Griya Persada, De Green serta sejumlah Cluster. Makanya jalan Tambun-Tambelang yang membelah Kampung Siluman tidak pernah ‘tidur’, selalu ramai malah cenderung sering macet. Kemacetan ini diperparah dengan titik pertemuan dan persimpangan. “Sekarang Kampung Siluman terdiri dari 9 Rukun Warga dengan 74 Rukun Tetangga,” kata Encep Hendra Gunawan, tokoh masyarakat Desa Mangunjaya. Dia sendiri asli warga Kampung Siluman, dia tahu kenapa wilayahnya ada yang di sebut Kampung Siluman. Napin Sumpena (75 tahun), salah satu tokoh masyarakat yang juga mantan pegawai Desa Mangunjaya dan tinggal di Kampung Siluman. Dia menyebutkan kalau Kampung Siluman diambil dari peristiwa penyerangan rakyat Bekasi terhadap trasportasi Kereta Api yang membawa tentara Jepang. Seperti dikutif dari Buku Sejarah Bekasi, bahwa Tentara Jepang saat itu menempati Gedung Tinggi, tahun 1943-1945, setelah tuan tanah keturunan Cina bernama Kouw Oen Huy, menyerahkan kepada Jepang. Gedung itu dijadikan sebagai pusat kegiatan tentara Jepang dalam menjajah Indonesia. Pasukan yang dikirim dari Jawa, dan turun di Stasiun Tambun, Cerita orang tua Napin Sumpena, Saat turun itulah rakyat Bekasi mencegatnya dan menyerang dengan senjata tajam golok dan bambu runcing. “Mendengar pasukannya diserang, tentara jepang yang ada di Gedung Tinggi segera memberi bantuan, namun rakyat Bekasi lari ke arah utara yang waktu itu ilalangnya setinggi tiga meter. Jelas nggak kelihatan, ratusan rakyat seperti siluman, hilang tak kelihatan,” jelas Napin. Gedung Tinggi berhasil direbut Tentara Rakyat Bekasi dan dijadikan sebagai daerah front pertahanan, dan Gedung Tinggi tersebut berfungsi sebagai Pusat Komando Perjuangan RI dalam menghadapi Tentara Sekutu yang baru selesai bertempur dalam perang dunia kedua. Di tempat ini dilakukan perudingan dan pertukaran tawanan perang. Lokasi pelaksanaan pertukaran tawanan sendiri dilakukan di dekat Kali Bekasi. Dalam pertukaran tawanan, pejuang RI oleh Belanda dipulangkan ke Bekasi, dan tawanan Belanda oleh pejuang RI dipulangkan ke Jakarta lewat kereta api yang lintasannya persis berada di belakang Gedung Tinggi. Ketika proses tawanan Belanda siap di Kereta Api, lagi-lagi penyerangan terjadi di sekitar Stasiun Tambun terjadi, masyarakat Tambun menyerang kereta. Padahal waktu itu kondisi sudah merdeka, namun karena rakyat Bekasi yang ada di Tambun belum mendengar khabar itu, aksi penyerangan sering terjadi. “Pimpinan pejuang RI, sempat marah dan mencoba mencari siapa pelaku yang menyerang, namun itu tadi mereka menghilang di ketinggian ilalang,” jelas Napin Sumpena. Seringnya kejadian seperti itu, tutur kakek 6 cucu ini, tentara Jepang pun menyebutnya penyerangnya sulit dikejar seperti masuk ke Kampung Siluman. “Dari situlah nama Kampung Siluman mulai terdengar dan bahkan hingga tahun 1993 ada sekolah masih mencantumkan labelnya SDN Siluman Raya,” jelas Napin. Kampung Siluman sendiri dikelilingi oleh Kampung Jejalen, Kampung Buwek, Kampung Kalibaru dan Kampung Kobak, karenanya sebelum pemecahan menjadi tiga desa, Pemkab Bekasi memberi nama Desa Busilen, yang singkatan dari Kampung Buwek (Sekarang masuk Desa Sumberjaya, Tambun Selatan), Siluman (masuk Desa Mangunjaya) dan Jejalen (masuk Desa Jejalen Jaya, Tambun Utara). (fh)

Read More

KH Zuhdi Takeran : Kejadian Penculikan Para Kiai Selalu Kami Ingat Hingga Akhir Hayat

Magetan – 1miliarsantri.net : Rekam jejak kejahatan dan kebiadaban Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat dirasakan bagi seluruh penghuni Pondok Pesantren Takeran Magetan, bukan hanya santri, pengasuh dan pengurus tapi juga seluruh jamaah sangat teringat betul ketika terjadi nya peristiwa penculikan Kiai Imam Mursyid Muttaqirn pada 18 September 1948. KH. MS Zuhdi Tafsir, S.Ag atau akrab disapa Mbah Zuhdi, pendiri sekaligus Pengasuh Ponpes Cokrokertopati, dan juga generasi penerus Pesantren Takeran Magetan, secara ekslusif menuturkan kisah pilu tersebut kepada 1miliarsantri.net. Habis shalat Jumat, saya bersama para santri pondok yang sedang duduk-duduk di serambi masjid melihat ada mobil datang ke pesantren. Mobil itu warnanya hitam dan bentuknya kecil. Bersama mereka terlihat beberapa orang membawa stand gun dan ada yang membawa karaben. Di situ saya lihat ikut datang seseorang yang katanya berasal dari Jombang sebagai pemimpin rombongan. Orang itu beberapa waktu kemudian saya tahu namanya Suhud. Sesampai di pesantren dan bertemu Kiai Imam Mursyid Mutaqin, ia kemudian berkata dengan mengutip ayat Alquran yang artinya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (bangsa) kecuali mereka yang berusaha mengubah nasibnya sendiri. Jadi, katanya rombongan yang datang itu ingin mengubah nasib bangsa Indonesia. Tapi, sebelum mereka datang di sekitar pesantren sudah tersebar pamflet yang isinya: Muso, Moskow, Madiun. Pamflet itu tersebar di sepanjang jalan raya yang ada di depan pesantren. Saya yang saat itu duduk di bangku kelas 1 SMP ikut membaca pamflet itu. Nah, rombongan yang dipimpin Suhud yang di situ ada pejabat camat Takeran yang menjadi anggota PKI itulah yang menculik Kiai Mursid. Saat itu juga Kiai dibawa pergi. Jadi, Anda masih ingat peristiwa itu? Iya betul, bahkan sampai kini mimik wajah, warna pakaian para penculik itu semuanya saya masih ingat. Yang membawa pergi adalah seseorang yang memakai piyama warna krem. Dia pergi bersama Kiai Mursyid yang diapit oleh Suhud dan camat Takeran yang jadi anggota PKI itu. Setelah Kiai Mursyid dibawa pergi, kompleks pesantren ini saat itu kemudian di-stealing (dikepung) oleh para anggota PKI lainnya. Kami dikepung selama sekitar seminggu. Kami ingat betul pengepungan itu membuat persediaan garam di pesantren habis. Kami dikepung sekitar tujuh hari hingga pasukan Siliwangi datang membebaskan kami. Kemudian bagaimana nasib Kiai Mursyid? Semenjak dibawa pergi itulah, kami sampai kini tidak mengetahui dimana keberadaan Kiai Mursyid. Namun, seorang pemuda yang masih menjadi kerabat dan tinggal tak jauh dari pesantren melaporkan bila beberapa hari sebelum penculikan itu, desa-desa di sekitar Takeran dikepung oleh orang-orang yang berseragam hitam-hitam. Mereka juga mengepung kantor Kecamatan Takeran. Beberapa rumah haji juga di sekitar Takeran didatangi, didobrak pintunya, dan penghuninya diancam. Mereka juga memukulinya dan memaksa agar tunduk pada PKI. Kata mereka: Kamu mau tunduk tidak? Kalau tidak, terus dipukuli. Dan, baru berhenti setelah menyatakan menerimanya. Di situlah saya lihat, penculikan itu memang disengaja dan sistematis. Para kader PKI terlihat sudah betul-betul siap melaksanakan gerakannya. Mereka bergerak ke mana-mana. Apakah ada korban lain selain Pak Kiai Mursyid? Yang diculik langsung di depan santri memang hanya beliau. Tapi, beberapa hari kemudian banyak santri dan pengurus pesantren juga hilang diculik mereka. Yang hilang itu kerabat kami Moh Suhud (Ayah Mantan Ketua MPR/DPR Moh Kharis Suhud) seorang guru yang mengajar di Mualimin milik pesantren Takeran, kakak ibu saya Imam Faham, ada Ustaz Hadi Addaba’ (orang Arab yang menjadi guru bahasa Arab) di Pesantren Takeran, Maijo (Kepala MI Takeran). Ada juga yang ikut hilang, yakni Husen (anggota Hizbullah). Juga ada beberapa keluarga kiai pengikut tarekat yang ikut dibunuh. Nama-nama mereka sudah saya lupa persisnya. Namun, sekitar tahun 1964 setelah jasad nya diangkat dari sumur, jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Madiun dan Magetan. Menurut Anda, apa yang membuat pengikut PKI itu begitu membenci para kiai dan santri sehingga mereka tega membunuhnya? Saat kejadian saya tak tahu mengapa itu terjadi. Namun, ketika saya mulai besar dan kuliah, saya mulai paham apa dan mengapa peristiwa pembantaian PKI di Madiun terjadi. Apalagi, pesantren kami ini semenjak dahulu adalah basis pergerakan. Leluhur kami adalah seorang pangeran dari Yogyakarta (Pangeran Kertopati) yang ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro. Dan, di pesantren ini pula Masyumi itu digagas. Jadi, lingkungan kami adalah orang yang paham dunia pergerakan. Nah, setelah lepas dari situasi itu, dan ketika saya mulai kuliah saya makin paham dengan situasi politik. Mulai tahun 1960-an, agitasi politik dari PKI memang terus menaik tinggi. Dan, sama dengan tahun 1948, agitasi itu juga mulai menargetkan dan menyerang posisi kiai yang katanya jadi bagian tujuh setan desa karena punya tanah luas. Kalau begitu, peristiwa 1948 terus terbawa-bawa hingga 1965? Peristiwa penculikan di September 1948, di mana anggota PKI menipu kami dengan mengajak Kiai Mursyid berunding dan kemudian menculik dan membunuhnya, itu berbekas di hati. Ketika semakin besar, saya kemudian mencari jawabannya, misalnya dengan memperlajari sejarah revolusi kaum buruh di Rusia atau revolusi Cina yang dipimpin Mao Zedong. Di situlah, saya tahu Muso itu muridnya Lenin yang lari ke Moskow setelah memecah Syarikat Islam. Dan dari situ pula, saya yakin bila partai komunis itu partai yang bersenjata yang siap merebut kekuasaan kapan saja ketika waktunya tiba. Di desa-desa sekitar Takeran, semenjak perayaan ulang tahun PKI tahun 1964, terdengar seruan bagi-bagi tanah. Sebutan setan desa muncul di mana-mana. Saat itulah, kami yakin peristiwa seperti 1948 akan terjadi lagi dan bisa dipastikan akan terjadi kapan saja. Maka untuk mengenang para korban kebiadaban, kejahatan dan kebengisan PKI, setiap tanggal 30 September, kami selalu mengadakan acara Doa bersama, pemutaran film G-30 S/PKI dan tentunya ziarah ke makam pahlawan serta dibeberapa tempat yang dijadikan pembantaian PKI. (fq)

Read More

Kisah Joko Tingkir dan Bajulgiling Pusaka Andalan nya

Sragen – 1miliarsantri.net : Joko Tingkir merupakan tokoh yang sangat dikenal di masyarakat. Bahkan, peninggalannya di Desa Sangiran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang dikenal dengan Punden Tingkir, selalu ramai dikunjungi masyarakat. Joko Tingkir merupakan sosok yang memiliki kesaktian dan kedigdayaan hingga melegenda di tanah Jawa. Kisah-kisah tentang Joko Tingkir, yang berkembang di tengah masyarakat, tidak pernah lepas dari pusaka berupa ikat pinggang atau timang yang memiliki nama Kiai Bajulgiling. Pusaka sakti Kiai Bajulgiling tersebut, didapatkan Joko Tingkir dari gurunya, Ki Buyut Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro. Banyak dikisahkan, pusaka sakti timang Kiai Bajulgiling itu, dibuat oleh Ki Buyut Banyubiru dari biji baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi dan kulit buaya. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Ki Banyubiru dibuat menjadi pusaka. Berdasarkan Babad Jawi dan Babad Pengging, kekuatan gaib yang dimiliki timang Kiai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Kiai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas. Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti biji baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Ki Banyubiru di seputar timang berkulit buaya tersebut. Kekuatan dan keampuhan ikat pinggang Kiai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh Joko Tingkir. Sebelum berguru ke Ki Banyubiru, Joko Tingkir atau Mas Karebet ini, pernah juga berguru ke Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela. Setelah berguru kepada Ageng Sela, dan Sunan Kalijaga, Joko Tingkir lalu disuruh untuk mengabdi ke Keraton Demak Bintoro. Di Kesultanan Demak ini Joko Tingkir melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong Joko Tingkir harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai pengawal. Joko Tingkir juga dikenal pandai menarik simpati Raja Demak Trenggono, sehingga dia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat Lurah Wiratamtama. Beberapa waktu kemudian, Joko Tingkir ditugaskan menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Ketika dihadapan Joko Tingkir, Dadungawuk tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Joko Tingkir. Karena merasa diremehkan, Joko Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Dadungawuk ditusuk dengan Sadak Kinang (tusuk konde) yang menembus jantungnya. Akibatnya, Joko Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak karena konon Dadungdawuk juga merupakan kerabat Kesultanan Demak. Kepergian Joko Tingkir menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Joko Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja. Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) memberinya semangat. Ketika Joko Tingkir berziarah pada malam hari di makam ayahnya di Pengging. Di sana Joko Tingkir mendengar suara atau wangsit yang menyuruhnya pergi ke tokoh keramat lain, yaitu Ki Buyut dari Banyubiru. Lalu Mas Karebet atau Joko Tingkir pergi menemui Ki Buyut Banyubiru. Ki Banyubiru yang telah mengetahui maksud kedatangan Joko Tingkir, langsung menerimanya sebagai murid. Oleh guru yang sakti ini, Joko Tingkir diberikan pelajaran-pelajaran ilmu kedigjayaan di Gunung Lawu. Salah satunya adalah dengan merendam diri dalam sungai yang dingin, dengan tujuan dapat mengendalikan hawa nafsu dalam diri Joko Tingkir. Setelah beberapa bulan lamanya Joko Tingkir menimba ilmu, Ki Buyut Banyubiru sudah memperbolehkan Joko Tingkir untuk menemui Sultan Demak guna memohon pengampunan atas kesalahan yang pernah dilakukannya yaitu membunuh Dadungawuk. Sebelum berangkat ke Demak Ki Buyut Banyubiru memberikannya azimat Timang Kiai Bajulgiling. Perjalanan kembali Joko Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek, yakni rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu. Saat akan melewati Kedung Srengenge, Joko Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut. Percaya dengan kekuatan gaib dari timang ikat pinggang pemberian Ki Buyut Banyubiru, Joko Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge. Bahaya mengancam, ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya. Namun, berkat kekuatan gaib dari Timang Kiai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Joko Tingkir. Bahkan, keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Joko Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya Di wilayah Demak, keampuhan jimat pemberian Kiai Buyut Banyubiru berupa ikat pinggang Kiai Bajulgiling diterapkannya kembali. Seekor kerbau liar atau banteng, dibuat Joko Tingkir menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para prajurit di Demak tidak dapat menghalau kerbau tersebut, bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah. Hanya Joko Tingkir yang akhirnya berhasil membunuh kerbau itu, yakni dengan mengeluarkan jimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Para prajurit Demak terkagum dengan aksi Joko Tingkir yang mampu menaklukan banteng buas. Raja Demak Sultan Trenggono akhirnya mengampuni perbuatan Joko Tingkir tempo hari, dan memaafkannya. Kemudian Joko Tingkir diangkat kembali sebagai prajurit, dengan jabatan sebagai pemimpin laskar tamtama. Joko Tingkir menikah dengan putri ke-5 raja, yaitu Ratu Mas Cempaka dan menjadi Bupati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya. Sepeninggal Trenggono tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Aryo Penangsang pada tahun 1549. Aryo Penangsang membunuh Sunan Prawoto, sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya. Ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen, tewas dibunuh Sunan Prawoto sewaktu dia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Solo. Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi utusan itu gagal karena dia memiliki kekebalan dari jimat Ki Bajulgiling. Namun setelah mengalahkan utusan Aryo Penangsang, justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Aryo Penangsang. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung, karena sama-sama anggota keluarga Demak, dan merupakan saudara seperguruan yakni sama sama sebagai murid Sunan Kudus. Menyiasati hal itu, Adiwijaya mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang, akan mendapatkan tanah Pati dan Mentaok atau Mataram sebagai hadiah. Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani yang merupakan kakak ipar Ki Ageng Pemanahan, berhasil menyusun siasat cerdik. Sehingga Sutawijaya yang merupakan anak Ki Ageng Pemanahan,…

Read More