Kisah Bung Karno dan Cecak yang Berharap Sebutir Nasi di Sel Penjara Banceuy yang Gelap dan Lembab

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Sepenggal kisah mengenai Presiden Pertama Indonesia Bung Karno yang ditangkap lalu dipenjara di Banceuy, Bandung. Bung Karno menempati sebuah kamar sel yang gelap dan lembab. “Sesungguhnya tiada yang terlihat selain tembok dan kotoran,” ungkap Bung Karno kala itu. Di kamar sel Penjara Banceuy itu, cecak-cecak menemani. Bung Karno mengulurkan sebutir nasi setiap hari. Penjara Banceuy, menurut Bung Karno, adalah penjara tingkat rendah. “Didirikan di abad ke-19, keadaannya kotor, bobrok, dan tua,” terang Bung Karno. Ada dua jenis tahanan yg disel di sini. Yaitu tahanan politik dan pepetek. Pepetek, kata Bung Karno, adalah julukan untuk rakyat jelata. Sebenarnya, pepetek adalah nama ikan yang paling murah. Ikan ini dimakan oleh rakyat yang paling miskin. “Pepetek tidur di atas lantai. Kami tahanan tingkat atas tidur di atas pelbed besi yang dialas dengan tikar rumput setebal karton,” kata Bung Karno. Tahanan pepetek diberi makan berupa nasi yang masih mentah dengan sambal. Makanan mereka diantarkan ke sel. “Jadi apabila cicak-cicakku berkumpul, aku pun memberinya makan. Kuulurkan sebutir nasi dan menantikan seekor cicak kecil merangkak dari atas loteng,” ujar Bung Karno. Bung Karno sendiri saat itu menempati Blok F, dimana Blok ini memiliki 36 sel kamar. Sel-sel itu menghadap ke pekarangan yang kotor. Saat Bung Karno mengisi sel nomor lima, 32 sel lainnya masih kosong. Gatot Mangkupraja yang dimasukkan bersama Bung Karno, mengisi sel nomor tujuh. Besok paginya ada Maskun dan Supriadinata, juga aktivis PNI, mengisi sel nomor sembilan dan sebelas. Menurut Bung Karno, penangkapan dirinya dan teman-temannya telah dipersiapkan cukup lama. Termasuk dalam menyiapkan sel-selnya. Berbulan-bulan sebelum Bung Karno ditangkap, ia mendapat surat dari kaum pergerakan Indonesia di Belanda. Mereka meminta Bung Karno berhati-hati. “Pemerintah Belanda telah mengetahui kegiatanmu daripada yang kau ketahui sendiri. Tidak lama lagi engkau akan ditangkap,” kata Bung Karno tentang pesan dari Belanda itu. Pada saat Bung Karno dan Gatot ditangkap pada 29 Desember 1929 di Yogkakarta, Maskun dan Suriadinata juga ditangkap di Bandung. Pada saat itu Belanda melakukan penggeledahan serentak di Pulau Jawa. Ada 40 aktivis PNI yang tertangkap. Penggeledahan itu dilakukan dengan alasan untuk mencegah terjadinya pemberontakan pada awal 1930. “Ini adalah tipu muslihat agar dapat mengeluarkan perintah segera untuk menangkap Sukarno,” tambah Bung Karno. Saat Belanda melakukan penggeledahan, bukan saja rumah-rumah yang menjadi sasaran. Stasiun kereta dan terminal bus pun menjadi sasaran. Selanjutnya dari Yogyakarta, Bung Karno dan Gatot dibawa untuk dipindahkan ke Penjara Banceuy, Bandung. “Selku lebarnya satu setengah meter –separuhnya sudah terpakai untuk tempat tidur– dan panjangnya betul-betul sepanjang peti mayat,” urai Bung Karno. Sel Bung Karno tidak berjendela, tak ada pula jeruji besi. Tembok selnya berupa tembok semen. Pintunya besi berwarna hitam dengan sebuah lubang kecil. “Lubang itu ditutup dari luar. Penjaga dapat melihat ke dalam, akan tetapi ia tertutup buat kami,” papar Bung Karno. Ada celah kecil yang letaknya setinggi mata. Jika Bung Karno mengintip ke luar, hanya bisa melihat ke arah depan. Tidak bisa menengok ke bawah atau ke atas. “Hanya cicaklah yang menjadi kawanku selama berada di Banceuy,” lanjut Bung Karno. Cecak-cecak itu merayap di loteng. Jika hari sudah gelap, baru merayap ke dinding. “Bagiku ia adalah ciptaan Tuhan yang paling mengagumkan selama aku berada dalam tahanan,” ujar Bung Karno. Jika Bung Karno mengulurkan sebutir nasi, cecak itu akan merayap ke dinding. Setelah menangkap nasi, ia akan kembali ke loteng. “Lima menit kemudian ia datang lagi dan aku memberikan butiran nasi yang lain. Ya, aku menyambutnya dengan senang hati fan menjadi sangat terpikat krpada binatang ini,” kata Bung Karno. (mif) Baca juga :

Read More

Cakraningrat IV, Raja Madura yang Ditakuti Raja-Raja Tanah Jawa dan VOC

Sumenep — 1miliarsantri.net : Panembahan Cakraningrat IV, atau memiliki nama mudanya Raden Djoerit, adalah seorang pemimpin Madura Barat (bertahta 1718-1746). Seperti pendahulunya, dia menolak kekuasaan raja Mataram. Dia lebih ingin menjalin hubungan dagang langsung dengan VOC, sesuatu yang ditolak VOC. Di samping itu, Cakraningrat secara pribadi membenci Amangkurat IV, raja Mataram (bertahta 1719-1726), dan menolak untuk sowan ke keraton Kartasura. Dia juga takut akan diracuni bila singgah ke keraton. Tahun 1726 Amangkurat meninggal, digantikan puteranya yang mengambil gelar Pakubuwana II, yang berumur 16 tahun (bertahta 1726-1749). Hubungan antara Mataram dan Cakraningrat membaik, dan Cakraningrat IV menikahi R. Ayu Lengis / R. Ayu Demis, salah satu anak Pakubuwana I. Hubungan antara Cakraningrat IV dan Mataram menjadi akrab. Di akhir tahun 1730-an, kekuasaan Cakraningrat di Jawa Timur meningkat dan mengancam kedudukan orang Bali di daerah Blambangan. Akhirnya daerah orang Madura meluas dari Pasuruan hingga batas Blambangan. Penaklukan Cakraningrat ke atas daerah pesisir Jawa Tengah, mengakibatkan kekuasaan Cakraningrat meluas meliputi Jawa Tengah bagian Utara seperti Rembang, Blora dan Grobogan. Pada Juli 1741, pasukan Mataram menyerang garnisun VOC di Kartasura. Komandan garnisun, Johannas van Elsen, ditangkap kemudian dibunuh, dan benteng VOC dibongkar. Peristiwa ini adalah lanjutan dari peristiwa Geger Pacinan di Batavia (9 Oktober 1740). Pakubuwana memutuskan untuk memihak ke pemberontak Tionghoa yang menantang kekuasaan VOC di daerah Pasisir. Bangsa Belanda dan Mataram tak sanggup menghadapi pemberontak Tionghoa dan masyarakat pesisir sehingga Cakraningrat dimintai bantuan nya. Satu-satunya kekuatan militer yang bisa diharapkan VOC adalah Cakraningrat IV, Cakraningrat IV bersedia membantu dengan syarat jika berhasil maka Gunung Lawu ketimur akan di titah perintahkan kepada anak keturunannya dan keluarganya dan VOC menyetujuinya. Cakraningrat IV menyerang Jawa Timur, sedangkan VOC sanggup merebut kembali daerah pemerintahannya di Pasisir. Walau pemberontak Tionghoa sudah dikalahkan VOC, orang Jawa yang bersekutu dengan mereka bukan saja memusuhi VOC tetapi juga mencurigai Pakubuwana. Pemberontak Jawa mengangkat Raden Mas Grendi (juga disebut Sunan Kuning), salah satu cucu Amangkurat III, yang berumur 12 tahun, sebagai Susuhunan baru. Juni 1742, pemberontak menaklukkan Kartasura dan menjarahnya. Pakubuwana dan Kapten van Hohendorff lari ke Ponorogo. Akhirnya Pakubuwana minta bantuan Cakraningrat IV. Bulan November, pasukan Cakraningrat merebut Kartasura kembali. Kartasura dijarah sekali lagi. Cakraningrat IV diminta VOC untuk mengembalikan kraton ke Pakubuwana. Cakraningrat IV sudah menguasai Keraton beserta Mahkotanya, namun dengan ksatria Cakraningrat IV mengembalikan Keraton yang memang bukan haknya itu kepada yang berhak. Cakraningrat IV menganggap bahwa jasanya memberinya hak atas Jawa Timur. Dia bersekutu dengan pemimpin Surabaya dan keturunan Surapati yang masih menguasai sebagian Jawa Timur. Dia juga berhenti mengirim upeti beras dan membayar bea pelabuhan Jawa Timur ke VOC. VOC mencoba berunding dengan dia bulan Juli 1744 tetapi ditolak. Pada Februari 1745 VOC menyatakan Cakraningrat makar. Cakraningrat IV angkat senjata dan menyerang Madura Timur. Mula-mula pasukan VOC kewalahan, tetapi arus berbalik. VOC Belanda dengan tenaga penuh dan tiada lagi perlawanan dari masyarakat Jawa mengerahkan seluruh kekuatan nya (tentu saja dibantu oleh pasukan-pasukan dari berbagai Kerajaan atau Kadipaten di Jawa) sehingga Cakraningrat dipukul mundur dari seluruh kekuasaannya di pulau Jawa. Akhirnya Cakraningrat terpaksa lari ke Banjarmasin. Cakraningrat IV bersama Sasradiningrat, Ranadiningrat, Raden Ayu Roman, Raden Ayu Sugih dan Raden Ayu Demis meloloskan diri dari Sembilangan menuju Arosbaya dengan tujuan mengungsi ke Banjarmasin. Baru menjelang akhir tahun 1745 Cakraningrat IV berhasil ditangkap di Banjarmasin, saat ia sedang berusaha mencari perlindungan pada armada Inggris yang ada di wilayah tersebut. Cakraningrat dibawa ke Batavia, kemudian dibuang ke Tanjung Harapan (Belanda: Kaap de Goede Hoop) di Afrika Selatan tahun 1746. Karenanya, ia mendapat julukan rakyat sebagai Panembahan Siding Kaap, menjadi nama jalan di Bangkalan daerah Mlajah. VOC memutuskan puteranya untuk menjadi penggantinya, sebagai Cakraningrat V. Dengan kekalahan Cakraningrat IV, ikut campur Madura di Jawa berakhir. (rus) Baca juga :

Read More

Beberapa Wilayah Yang Memiliki Perbedaan Durasi Waktu Puasa Ramadhan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Berdasarkan perhitungan astronomi, 1 Ramadhan 1445 Hijriah akan jatuh pada Senin, 11 Maret 2024. Selama Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan bulan tersebut dengan berpuasa mulai dari fajar hingga matahari terbenam. Lama waktu puasa setiap negara tentu berbeda-beda tergantung dari lokasinya. Ada negara yang punya durasi puasa terlama dan adapula dengan waktu tercepat. Mengutip Arabia Weather, Ahad (3/3/2024), lamanya puasa dipengaruhi oleh letak suatu negara. Semakin dekat suatu negara dengan Kutub Utara, maka makin lama pula durasi puasa di wilayah tersebut. Begitu pun dengan negara yang makin jauh ke selatan suatu negara dari garis khatulistiwa, maka makin pendek periode siang hari. Berikut daftar wilayah dengan jam puasa terlama dan tercepat di dunia : Waktu puasa di negara-negara Arab pada Ramadhan 2024 Waktu puasa di negara-negara mayoritas Muslim pada Ramadhan 2024 Negara-negara dengan durasi puasa terlama di Ramadhan 2024 Negara-negara dengan Waktu Puasa Terpendek di Ramadhan 2024 (yus) Baca juga :

Read More

Misteri Desa Legetang Yang Hilang Tanpa Sisa Hanya Semalam

Cilacap — 1miliarsantri.net : Misteri Desa Legetang yang dulu menjadi simbol kejayaan dan kemakmuran, kini hanya tinggal sebagai kenangan yang terpahat dalam cerita-cerita mistis. Julukan “Dukuh Sodom” yang melekat padanya, menjadi saksi bisu dari kejadian yang menakutkan dan misterius. Dulu, Desa Legetang merupakan tempat yang penuh dengan kesejahteraan. Petani-petani di sana sukses dalam usahanya, menghasilkan panen yang melimpah dan berkualitas tinggi. Keberhasilan ini membawa kemakmuran bagi penduduknya, namun juga membawa kehancuran yang tak terduga. Kemakmuran tersebut tidak diiringi dengan rasa syukur, melainkan dihiasi dengan perilaku yang menyimpang dari ajaran agama. Pesta minuman keras, perjudian, tarian erotis, dan tindakan kriminal lainnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Desa Legetang. Keberhasilan mereka di ladang ekonomi tidak diimbangi dengan kebaikan moral, bahkan jauh dari ajaran agama yang mereka anut. Masyarakatnya terlena dalam kemewahan dan kebebasan yang mereka rasakan. Namun, takdir berkata lain. Pada suatu malam yang gelap gulita, suara gemuruh memecah keheningan malam. Pegunungan Pengamun-amun yang berdiri menjulang di sebelah Desa Legetang, tiba-tiba runtuh dengan dahsyatnya. Tanah yang longsor menelan habis desa yang sedang terlelap dalam kemaksiatan. Peristiwa mengerikan ini menyisakan hanya gundukan tanah yang tidak lagi menyerupai desa yang pernah ada. Masyarakat Desa Legetang lenyap dalam semalam, seakan-akan dihapuskan dari wajah bumi. Banyak yang menyamakan kejadian itu dengan azab yang menimpa kaum Sodom pada zaman Nabi Luth. Kehancuran yang mendadak dan kehilangan yang begitu besar, menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang masih hidup. Hingga kini, Desa Legetang dan kisahnya tetap menjadi misteri yang menyelimuti wilayah Cilacap. Legenda azab dan kehancuran telah menjadi bagian dari warisan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Mungkin, ini adalah pengingat bagi manusia akan pentingnya bersyukur dan menjauhi kemaksiatan, sebelum terlambat untuk bertobat. (tik) Baca juga :

Read More

Dahulu Kota Makkah Pernah Diterjang Angin Kencang

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dahulu kota Makkah pernah diterjang angin kencang. Ini diketahui berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Tsabit Az Zuraqi. Berikut bunyi hadits lengkapnya: عَنْ ثَابِتٍ الزُّرَقِىِّ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ أَخَذَتْ النَّاسَ الرِّيحُ بِطَرِيقِ مَكَّةَ فَاشْتَدَّتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ عُمَرُ لِمَنْ حَوْلَهُ مَا الرِّيحُ فَلَمْ يَرْجِعُوا إِلَيْهِ شَيْئًا فَبَلَغَنِي الَّذِي سَأَلَ عَنْهُ فَاسْتَحْثَثْتُ رَاحِلَتِي حَتَّى أَدْرَكْتُهُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أُخْبِرْتُ أَنَّكَ سَأَلْتَ عَنْ الرِّيحِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الرِّيحُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ تَأْتِي بِالرَّحْمَةِ وَتَأْتِي بِالْعَذَابِ فَلَا تَسُبُّوهَا وَسَلُوا اللَّهَ مِنْ خَيْرِهَا وَعُوذُوا بِهِ مِنْ شَرِّهَا Diriwayatkan dari Tsabit bin Az Zuraqi, bahwa Abu Hurairah menceritakan, angin kencang telah menerjang orang-orang yang sedang berada di jalanan Makkah. Angin tersebut semakin kencang menerpa mereka. Saat itu Umar bin Khattab RA bertanya kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Ada yang tahu tentang Angin?” Namun tidak ada yang memberikan jawaban kepadanya. Kabar itu pun sampai kepada Abu Hurairah RA. Kemudian dia segera memacu untanya untuk menemui Umar bin Khattab RA. Abu Hurairah RA pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku telah mendapatkan kabar bahwa engkau bertanya tentang angin, dan sungguh aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya angin itu sebagian dari rahmat Allah. Datang membawa rahmat dan datang membawa bencana. Maka jangan mencelanya, tapi mintalah kepada Allah dari kebaikannya dan berlindunglah kepada Allah dari keburukannya.’” (HR. Ahmad) Sabda Nabi Muhammad tersebut terdapat dalam sejumlah riwayat hadits. Dalam sabda ini, Nabi Muhammad SAW memberitahukan ihwal keutamaan angin dan larangan mencela angin. Nabi SAW bersabda: “Angin itu sebagian dari rahmat Allah. Datang bawa rahmat dan datang bawa bencana, maka janganlah kalian mencelanya, tapi mintalah kepada Allah dari kebaikan angin itu, dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari keburukannya.” Hadits tersebut diriwayatkan dari Abu Daud, An-Nasa’i dalam Al Kubro, Ahmad, dan Ibnu Majah tanpa lafadz “min rouhillah”. Imam An Nawawi mencantumkan hadits itu di dalam kitab karyanya berjudul Riyadusshalihin. Dalam Alquran, angin disebut 14 kali pada 14 Surat yang berbeda-beda. Angin dalam bahasa Arab disebut dengan Al Rih atau Al Riyah. Salah satu Surat yang menyebut angin adalah Surat Ar Rum ayat 48, sebagai berikut: Allah SWT berfirman: اَللّٰهُ الَّذِيْ يُرْسِلُ الرِّيٰحَ فَتُثِيْرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهٗ فِى السَّمَاۤءِ كَيْفَ يَشَاۤءُ وَيَجْعَلُهٗ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلٰلِهٖۚ فَاِذَآ اَصَابَ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖٓ اِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَۚ “Allah-lah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang Dia kehendaki, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila Dia menurunkannya kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki tiba-tiba mereka bergembira.” (QS. Ar Rum ayat 48) (wink) Baca juga :

Read More

Menelusuri Jejak Sejarah Goa Selomangleng di Tulungagung

Tulungagung — 1miliarsantri.net : Goa Selomangleng, terletak di Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, menghadirkan kecantikan pahatan yang terukir di sebuah bukit di area hutan BKPH Kalidawir. Lingkungannya dikelilingi oleh perbukitan dan hutan, mencakup lahan seluas 29,5 x 26 meter dan memiliki status kepemilikan tanah perhutani. Goa Selomangleng ini terdiri dari dua bagian, dengan sisi barat memiliki dimensi panjang 360 cm, tinggi 130 cm, dan lebar 340 cm, sedangkan sisi selatan memiliki dimensi panjang 360 cm, tinggi 110 cm, dan lebar 210 cm. Menurut Bernet Kempers, goa Selomangleng diperkirakan dibuat pada abad X Masehi. Namun, pandangan lain dari Krom menyatakan bahwa goa ini berasal dari masa Majapahit, terlihat dari relief tokoh bermahkota kiritamahkuta yang diapit sepasang teratai keluar dari jamang, ciri khas Majapahit. Pendapat serupa disampaikan oleh Setyawati Sulaiman, yang menyatakan bahwa gaya pemahatan dan penataan rambut tokoh dalam goa ini dapat ditelusuri kembali ke masa awal Kerajaan Majapahit. Goa Selomangleng menjadi salah satu dari sejumlah goa di perbukitan Wajak, yang pada zaman dahulu digunakan oleh para Resi dalam kegiatan keagamaan. Para Resi cenderung memilih tempat tinggal yang jauh dari keramaian, seringkali terletak di hutan dan perbukitan. Agus Arismunandar, salah satu tokoh sejarah menyampaikan, goa Selomangleng menghubungkan goa-goa di perbukitan Wajak dengan Candi Dadi, yang menjadi pusat kegiatan keagamaan para resi pada masa itu. Keberadaan Goa Selomangleng merupakan bagian yang signifikan dari warisan sejarah dan kebudayaan yang layak dijaga dan dipelajari lebih lanjut. Sementara itu, Goa Selomangleng di Tulungagung, diperkirakan dibangun pada abad ke X, berlokasi di area Gunung Wajak. Terletak di Dusun Sanggrahan Kidul, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, letaknya yang dekat dengan pemukiman warga memudahkan aksesnya. Konon, goa ini sering digunakan untuk bertapa atau mencari tujuan tertentu. Goa Selomangleng di Tulungagung memiliki pemandangan klasik pedesaan yang damai dan sejuk, menjadikannya tujuan wisata populer. Bentuknya yang unik, seperti lubang pada batu andesit hitam dengan dua lubang di antara sisinya, menciptakan daya tarik tersendiri. Di dalamnya, terdapat hiasan ukiran atau relief yang menggambarkan tokoh-tokoh, seperti Arjuna, dan kisah-kisah dari Kakawin Arjunawiwaha. Selain goa batu yang unik, di sekitar lokasi terdapat bukit dengan pemandangan memukau. Struktur bangunan batu berbentuk kaki dan candi segi empat juga dapat ditemukan. Beberapa arca dan reruntuhan bekas bangunan kuno menambah keaslian dan keberagaman suasana, menyajikan suasana zaman Kerajaan yang dapat dijelajahi oleh pengunjung. Semua elemen ini memberikan pengalaman yang mendalam dan unik terhadap kekayaan sejarah dan kebudayaan di Tulungagung. (wan) Baca juga :

Read More

Rayakan Hari Lahir, Negara Saudi Pertama Berkembang di Bawah Kepemimpinan Imam Mohammed bin Saud

Riyadh — 1miliarsantri.net : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi saat ini tengah mempetingati Hari Lahir atau Founding Day Arab Saudi yang jatuh setiap 22 Februari. Peristiwa ini menandai hampir tiga abad sejak berdirinya negara Saudi pertama oleh Imam Muhammad bin Saud pada 1727. Kamis (22/2/2024) waktu setempat menandakan peristiwa penting, dan merayakan kedalaman akar sejarah serta warisan abadi Kerajaan di bawah kepemimpinan para pendiri dan pemimpin berturut-turut. Tempat lahirnya negara Kerajaan Arab Saudi adalah Diriyah. Kisah Diriyah dimulai dengan permukiman suku Banu Hanifa di Semenanjung Arab bagian tengah, berkembang menjadi pusat politik dan budaya yang menjadi landasan terbentuknya negara Saudi. Pembentukan Diriyah sebagai negara kota oleh Pangeran Manea bin Rabia Al-Muridy pada tahun 1446 M menandai titik balik yang penting, memperkenalkan model pemerintahan yang unik di wilayah tersebut. Dengan Diriyah sebagai ibu kotanya, negara Saudi pertama berkembang di bawah kepemimpinan Imam Mohammed bin Saud, menekankan prinsip-prinsip Islam yang sejati, pemerintahan yang rasional, dan komitmen terhadap kesejahteraan warganya dan komunitas Islam. Periode ini memperlihatkan Diriyah muncul sebagai mercusuar stabilitas, kemakmuran, dan kemandirian, menumbuhkan rasa persatuan dan identitas nasional di antara masyarakatnya. Keputusan Kerajaan yang dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 2022, yang menetapkan tanggal 22 Februari sebagai “Hari Lahir”, mengakui makna sejarah yang mendalam dari Diriyah dan nilai-nilai dasar yang telah membimbing Kerajaan melalui pertumbuhan dan transformasi selama berabad-abad. Ketika Arab Saudi terus maju di bawah kepemimpinan visioner Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Founding Day berfungsi sebagai pengingat akan kekayaan warisan Kerajaan dan perjalanannya menuju modernisasi dan keunggulan global. Founding Day tidak hanya mencerminkan masa lalu Kerajaan namun juga merupakan perayaan masa kini dan masa depan, seiring dengan langkah Arab Saudi yang penuh percaya diri dalam mewujudkan Visi 2030. Peringatan di seluruh Kerajaan, termasuk acara budaya dan seni, menggarisbawahi kebanggaan dan persatuan Kerajaan Arab Saudi. Masyarakat Saudi, menghormati warisan nenek moyang mereka dan masa depan cerah yang terbentang di depan. Diriyah berdiri saat ini, merupakan bukti semangat dan visi abadi negara Saudi, mulai dari masa awal sebagai kota berbenteng hingga perannya sebagai pusat budaya dan ekonomi di era modern. Signifikansi historis Diriyah dan kontribusinya terhadap pembentukan dan perkembangan negara Saudi akan selamanya dikenang oleh masyarakat Arab Saudi, saat mereka merayakan Founding Day dengan rasa bangga dan syukur yang mendalam. (dul) Baca juga :

Read More

Kisah Pangeran Diponegoro Mendapat Gelar Panembahan Herucokro Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pada suatu kisah, setelah merebut keraton Kartosuro, cucu Sultan Agung, Pakubuwono I yang memerintah hingga tahun 1719 kemudian memindahkan keraton ke Surakarta Hadiningrat. Ia memiliki 11 anak, di antaranya adalah Pangeran Suryoputro, Pangeran Purboyo, Pangeran Suryokusumo, Pangeran Blitar, dan Pangeran Diponegoro. Suryoputro kemudian naik tahta menjadi Amangkurat IV pada 1719-1726. Amangkurat IV yang dekat dengan Kompeni harus berhadapan dengan saudara-saudaranya itu. Pangeran Diponegoro yang tinggal di Madiun lalu menjadi raja dengan gelar Panembahan Herucokro Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama. Ia mendapat dukungan dari para adipati mancanegara. Adipati Joyopuspito dari Surabaya yang memimpin pasukan mancanegara melawan Kompeni dan Kartosuro diberi gelar Adipati Panatagama. Joyopuspito menjadi penguasa Surabaya diangjat oleh Amangkurat III. Amangkurat III menghukum mati penguasa sebelumnya, Jayengrono, yang merupakan kakak dari Joyopuspito. Jayengroni dibunuh atas permintaan Kompeni. Joyopuspito terharu dengan tugas yang diberikan kepadanya setelah kakaknya dihukum mati. Tapi, Joyopuspito tidak memilih tunduk kepada Kompeni dan Kartosuro. Ia memimpin perlawanan terhadap Kompeni dan Kartosuro. “Hamba tahu rahasia meninggalnya Kakang Adipati. Ada yang mengkhianatinya. Kalau Raja mengizinkan, sekarang ini juga saya akan maju perang,” kata Joyopuspito kepada Patih Mataram, Sumobroto. Sumobroto melaporkan ucapan Joyopuspito kepada Amangkurat III. Sumobroto kemudian memberi tahu jika Raja tidak suka jika Joyopuspito menyiapkan pasukan di hadapan raja. Joyopuspito membawa pulang pasukannya. Kemudian meneruskan langkah ke medan perang melawan Kompeni dan Kartosuro. Hingga akhirnya mendukung penobatan Pangeran Diponegoro sebagai raja. Karena Amangkurat IV memerintah hingga 1726. Berarti Pangeran Diponegoro yang berselisih dengan Amangkurat IV dan Konoeni ini bukan Pangeran Diponegoro yang meminpin Perang Jawa 1825-1830. Untuk menjadi raja di wilayah timur, Pangeran Diponegoro mendapat restu dari ayahnya, Pakubuwono I. Di Pati, paman Amangkurat IV, Adipati Aryo Mataram, juga memberontak pada Kartosuro. Pangeran Blitar dan Pangeran Purboyo masing-masing diberi sebidang tanah dan tiga ribu penduduk. Dengan jumlah pengikut ini, kekuasaan Pangeran Blitar lebih besar dari kekuasaan Pangeran Diponegoro. Diponegoto ganya mendapat 1.000 penduduk. Diponegoro pernah dikalahkan oleh Pangeran Blitar, tetapi kemudian mereka bersekutu. Ketika Diponegoro akan naik tahta, Pangeran Blitar melaporkannya kepada Pakubuwono I. Pakubuwono I pun mengirimkan bsla bantuan kroada Pangeran Blitar agar menyerbu Pangeran Diponegoro. Ketika dua saudara itu berperang, Pakubuwono I jatuh sakit. Pangeran Blitar menghentikan penyerbuan kemudian pergi ke Kartosuro. Bersama Panembahan Herucokro, Joyopuspito meneruskan peperangan mrlawan Kompeni pada masa pemerintahan Amangkurat IV. Pangeran Blitar dan Pangeran Purboyo juga melibatkan diri. (mif) Baca juga :

Read More

Mengulik Hubungan Kisah Ratu Adil dengan Pangeran Diponegoro

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Mengulik hubungan kisah Ratu Adil dengan sosok Pangeran Diponegoro. Padahal keduanya berada di zaman yang berbeda. Pasalnya Ratu Adil diibaratkan adalah munculnya Imam Mahdi atau Mesias. Risalah Jayabaya menunjukkan kehadiran Ratu Adil dengan lambang “Tunjung Putih semune pudhak sinumpet” (seorang berhati suci yang masih disembunyikan identitasnya oleh kegaiban Tuhan). Sedangkan Pangeran Diponegoro memiliki gelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukminin Sayidina Panatagama Jawa Khalifat Rasulullah. Berikut hubungan kisah Ratu Adil dengan sosok Pangeran Diponegoro: Zaman Kala Bendhu merupakan zaman banyak orang mengejar kepentingan pribadi dan banyak dikuasai angkaramurka. Keadaan ini akan hilang dengan bergantinya jaman menjadi jaman Kala Suba, yang meruapakan jaman kegembiraan rakyat. Zaman Kala Suba dikenal dengan munculnya Ratu Amisan yang juga disebut Sultan Heru Cakra. Dalam sejarah jaman Kala Suba (1801-1900) dikenal tokoh Pangeran Diponegoro sebagai Ratu Adil yang melawan penjajah Belanda. Sebagaimana dikutip dari Peter Carey pada bukunya berjudul “Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855”, mengisahkan waktu itu sang pangeran masih sempat tinggal sepanjang malam bermain catur dengan kawan lamanya Raden Ayu Danukusumo sehari sebelum Gunung Merapi meletus. Tepat pada Minggu pagi buta 28 Desember 1822, serangkaian gempa terjadi, Gunung Merapi akhirnya mulai meletus. Aliran lahar terlihat menuruni lereng gunung diiringi hujan abu dan pasir. Pemandangan kepulan asap yang naik ke angkasa yang masih gelap itu kian pekat. Saat itulah Pangeran Diponegoro keluar pekarangan rumah Tegalrejo bersama istrinya, Raden Ayu Maduretno dan melihat ke langit. Sambil menyaksikan gunung yang sedang terbakar dan bumi berguncang akibat gempa, sang pangeran melukiskan betapa dia tersenyumnya dalam hati, karena tahu peristiwa ini merupakan pertanda kemurkaan Allah. Letusan Gunung Merapi itu memang cukup dahsyat, bahkan laporan – laporan pemerintahan kolonial Belanda kala itu mengkonfirmasi apa yang digambarkan Pangeran Diponegoro. Di lereng-lereng gunung, penduduk berhamburan meninggalkan rumah mereka dan tiga desa di Kedu hancur. Catatan sejarah kala itu memperlihatkan letusan Gunung Merapi merupakan yang terburuk setelah terakhir kali terjadi pada 1772. Peristiwa itu juga hampir dapat dipastikan meningkatkan pengharapan akan datangnya Ratu Adil. Dimana pada mitologi Jawa lokal, roh penjaga gunung bernama Kiai Sapu Jagad. Sosoknya inilah begitu dihormati di samping Ratu Kidul sebagai salah satu dari dua roh penjaga kesultanan. (mif) Baca juga :

Read More

Kisah Pangeran Diponegoro Kecewa Dengan Kebijakan Pajak yang Dilakukan Pejabat Keraton Yogyakarta

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pada suatu ketika, Pangeran Diponegoro merasa kecewa dengan kebijakan pajak yang dilakukan oleh pejabat Keraton Yogyakarta yang kemudian disetorkan ke pemerintah Inggris. Pada masa itu, Sultan Hamengkubuwono III berhasil mengumpulkan sejumlah besar uang yang kemudian diserahkan kepada pemerintah Inggris yang berkuasa di Nusantara saat itu. Sultan Yogya tersebut naik tahta pada bulan Februari 1679 dan berhasil menghimpun pajak sebesar 100 ribu dolar yang kemudian disalurkan kepada pemerintah Inggris. Di masa pemerintahannya, Sultan Hamengkubuwono III berhasil menjalankan pemerintahan dengan damai dan mencapai tingkat kemakmuran yang lumayan. Selama berkuasa di Kesultanan Yogyakarta, ia berhasil mengumpulkan sekitar 60 ribu dolar Spanyol. Menurut Peter Carey dalam karyanya “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 – 1855”, jumlah uang yang signifikan ini berhasil terkumpul dari sumber-sumber kekayaan Keraton dan pembayaran pensiun kepada anggota keluarga keraton yang dilakukan secara rutin. Pajak yang diterima dari pemerintah Inggris, termasuk pajak jalan negara dan pasar sebesar 100 ribu dolar Spanyol setiap tahun, memegang peran penting dalam keseimbangan keuangan. Berbagai rencana telah disusun untuk mengawasi pengumpulan pajak dan mengatur tindakan petugas polisi di pedesaan dan daerah terpencil, yang ingin dihapuskan oleh Pangeran Diponegoro. Bagi Pangeran Diponegoro, pejabat di Kesultanan Yogyakarta hanya menambah beban bagi pemerintahan desa. Oleh karena itu, ia berkeinginan untuk mengembalikan tatanan pemerintahan seperti pada masa pemerintahan Sultan Pertama. Meskipun Sang Ayah menyetujui usulan Pangeran Diponegoro dan memberikan waktu satu tahun untuk mengimplementasikan perubahan tersebut, Sultan Hamengkubuwono III meninggal sebelum periode tersebut berakhir. Selain dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, hasil panen di wilayah Keraton Yogyakarta juga dipengaruhi oleh faktor alam. Letusan Gunung Tambora di Sumbawa antara April dan Juli 1815 tercatat sebagai letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah, empat kali lebih besar daripada letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Akibatnya, tahun 1816 dikenal sebagai “tahun tanpa musim panas” di belahan bumi utara. Meskipun demikian, letusan tersebut memberikan keuntungan jangka pendek yang signifikan bagi panen padi pada tahun 1815. (mif) Baca juga :

Read More