
Jusuf Muda Dalam: Koruptor Indonesia Pertama yang Dieksekusi Mati
Jakarta — 1miliarsantri.net : Jusuf Muda Dalam merupakan seorang menteri di masa pemerintahan Presiden Sukarno, akan tetapi di penghujung karirnya Ia didakwa atas berbagai kasus, salah satunya korupsi dan mengantarkannya pada vonis mati. Kasus Jusuf Muda Dalam menjadi tonggak penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu menunjukkan tekad pemerintah saat itu untuk menindak tegas para koruptor, terlepas dari jabatan dan status yang dimiliki olehnya. Teuku Jusuf Muda Dalam atau biasa dikenal sebagai Jusuf Muda Dalam lahir di Sigli, Aceh pada tanggal 1 Desember 1914. Ia memulai pendidikannya sebagai seorang mahasiswa di Economische Hogeschool Rotterdam, Belanda pada tahun 1936 hingga tahun 1938. Selama di sana ia bergabung dengan organisasi pelajar – mahasiswa Indonesische Vereeniging atau yang lebih dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia. Selama Perang Dunia II berkecamuk di seluruh dunia, khususnya di dataran Eropa pada kurun waktu tahun 1943 – 1944, Jusuf Muda Dalam bersama mahasiswa Rotterdam lainnya bergabung dengan gerakan bawah tanah komunis Belanda melawan militer pendudukan Nazi Jerman. Selain itu, ia juga bekerja sebagai seorang wartawan di harian De Waarheid milik Partai Komunis Belanda. Pasca Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1947, Jusuf Muda Dalam kembali ke Indonesia setelah 10 tahun lamanya berada di Belanda. Ia memulai karirnya di Kementerian Pertahanan pimpinan Mr. Amir Syarifuddin Harahap dan memulai karir politiknya dengan bergabung ke Partai Komunis Indonesia atau PKI. Pada tanggal 18 September 1948, Front Demokrasi Rakyat yang diisi oleh partai dan organisasi sayap kiri mendeklarasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia dan melancarkan pemberontakan. Saat terjadinya pemberontakan, Jusuf Muda Dalam ditangkap atas tuduhan keterlibatan pemberontakan dan ditahan di Desa Wirogunan, Yogyakarta. Pada tanggal 19 Desember 1948, militer Belanda melalui serangkaian operasi militer yang dinamakan Operasi Gagak atau lebih dikenal Agresi Militer Belanda II menyerbu kota Yogyakarta. Akibat serangan tersebut, Jusuf Muda Dalam berhasil melarikan diri dari tahanan. Semasa dirinya menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia, Jusuf Muda Dalam menduduki jabatan sebagai Ketua Seksi Ekonomi PKI cabang Yogyakarta. Pada tahun 1949 dan tahun 1951, ia kemudian menduduki jabatan sebagai anggota DPR mewakili fraksi PKI. Tidak lama setelahnya, Jusuf Muda Dalam merasa bahwa dirinya sudah tidak sejalan lagi dengan Partai Komunis Indonesia dan setelahnya, Ia bergabung ke Partai Nasional Indonesia atau PNI pada tahun 1954. Selama di PNI, karirnya semakin meroket. Dimulai menjadi pengurus pusat partai, anggota DPR, dan pada tahun 1956, atas ajakan Margono Djojohadikusumo Ia menjabat sebagai Staf Bank Negara Indonesia atau BNI. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1957, Jusuf Muda Dalam menduduki jabatan sebagai seorang Direktur BNI dan pada tahun 1959, Jusuf Muda Dalam mendapatkan posisi jabatan sebagai presiden direktur BNI. Puncak karir seorang Jusuf Muda Dalam terjadi pada tahun 1963. Oleh Presiden Sukarno, Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Urusan Bank Sentral di Kabinet Presiden Sukarno (Kabinet Kerja IV – Kabinet Dwikora II) merangkap jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Selama menjabat sebagai seorang Menteri Urusan Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam mengeluarkan sebuah kebijakan yang disebut konsep Bank Berjuang. Konsep Bank Berjuang merupakan kebijakan untuk merestrukturisasi dan mengintegrasikan seluruh bank-bank di Indonesia menjadi sistem bank tunggal. Tujuan adanya integrasi bank-bank tersebut yaitu untuk mendukung kelangsungan jalannya revolusi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. “Siapa yang menabur angin, akan menuai badai”, begitulah peribahasa yang menggambarkan kisah seorang Jusuf Muda Dalam. Kehidupannya yang begitu membahana dengan segala jabatan dan harta justru membuatnya begitu terlena dengan dunia. Semua berawal dari pecahnya peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965 hingga terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret pada tahun 1966 (yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966). Seminggu pasca terbitnya SP 11 Maret, tepatnya pada tanggal 18 Maret 1966, Suharto memerintahkan kepada militer untuk menangkap 15 menteri Kabinet Dwikora. Menurut Suharto, alasan penangkapan para menteri tersebut dibagi atas tiga kategori. Kategori pertama yaitu mereka yang memiliki hubungan dengan peristiwa Gerakan 30 September, kategori kedua yaitu mereka yang kejujurannya dalam membantu presiden diragukan, dan kategori ketiga yaitu mereka yang hidup amoral dan asosial di atas penderitaan rakyat. Nama – nama menteri yang ditangkap di antaranya yaitu: Kasus yang menyeret Jusuf Muda Dalam tersebut dibukukan dengan judul “Anak Penjamun di Sarang Perawan” karya Effendy Sahib dan diterbitkan pada tahun 1966. Abdul Haris Nasution dan Amir Machmud memberikan kata – kata pengantar di buku tersebut. Abdul Haris Nasution menyebut, “skandal Jusuf Muda Dalam ini bukan hanya merupakan skandal seks atau perkara korupsi biasa, melainkan skandal ini merupakan penggambaran daripada pribadi Orde Lama yang penuh dengan penyelewengan.” Amir Machmud juga menyebut, “buku ini (Anak Penjamun di Sarang Perawan) telah memberikan sumbangan kepada masyarakat, suatu kekayaan, suatu perbendaharaan sejarah, suatu catatan yang sangat penting.” Dikutip dari bab IV Anak Penjamun di Sarang Perawan, yaitu Bukan Harem 1001 Malam, disebutkan bahwa terdapat 25 wanita yang mendapatkan harta pemberian Jusuf Muda Dalam yang tidak diketahui sumbernya dari mana. Harta tersebut di antaranya terdapat uang, rumah, dan mobil. Nama – nama wanita yang disebutkan di antaranya istri – istri Jusuf Muda Dalam, yaitu Sutiasmi, Salamah, Jajah, Ida Djubaidah, Djufriah, dan Sari Narulita. Bahkan nama – nama seperti Ratna Sari Dewi, Titiek Puspa, Tina Waworuntu, dan Rieka Suatan juga terseret di kasus Jusuf Muda Dalam tersebut. Pada tanggal 30 April 1966, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dipimpin oleh Suharto kemudian membentuk Tim Pemeriksa Keuangan Negara dan diketuai oleh K.P.H. Surjo Wirjohadiputro. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Keuangan Negara, didapati beberapa fakta mengejutkan terkait kasus yang menimpa Jusuf Muda Dalam. Fakta pertama yaitu bahwa selama menjabat dalam kurun waktu tahun 1964 – 1966, Jusuf Muda Dalam melakukan perbuatan memberikan izin impor dengan cara Deferred Payment. Deferred Payment merupakan penangguhan pembayaran hingga jangka waktu tertentu, dalam hal ini kredit luar negeri dalam jangka waktu setahun yang digunakan untuk mengimpor barang. Total keseluruhannya yaitu berjumlah $270.000.000 yang melebihi keadaan devisa negara. Oleh Jusuf Muda Dalam uang tersebut dibagi – bagikan kepada kroni – kroni badan usaha, seperti PT Ratu Timur Raya sebesar $2.000.000, PT Mega sebesar $5.000.000, CV Tulus Djudjur sebesar $10.000.000, Barmansjah Trading Coy sebesar $5.000.000, dan CV Sitjintjin sebesar $5.000.000. Akibat yang ditimbulkan yaitu terjadi adanya insolvensi internasional. Fakta kedua yaitu dalam kurun waktu tahun 1964 – 1966, Jusuf Muda Dalam melakukan…