Jusuf Muda Dalam: Koruptor Indonesia Pertama yang Dieksekusi Mati

Jakarta — 1miliarsantri.net : Jusuf Muda Dalam merupakan seorang menteri di masa pemerintahan Presiden Sukarno, akan tetapi di penghujung karirnya Ia didakwa atas berbagai kasus, salah satunya korupsi dan mengantarkannya pada vonis mati. Kasus Jusuf Muda Dalam menjadi tonggak penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu menunjukkan tekad pemerintah saat itu untuk menindak tegas para koruptor, terlepas dari jabatan dan status yang dimiliki olehnya. Teuku Jusuf Muda Dalam atau biasa dikenal sebagai Jusuf Muda Dalam lahir di Sigli, Aceh pada tanggal 1 Desember 1914. Ia memulai pendidikannya sebagai seorang mahasiswa di Economische Hogeschool Rotterdam, Belanda pada tahun 1936 hingga tahun 1938. Selama di sana ia bergabung dengan organisasi pelajar – mahasiswa Indonesische Vereeniging atau yang lebih dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia. Selama Perang Dunia II berkecamuk di seluruh dunia, khususnya di dataran Eropa pada kurun waktu tahun 1943 – 1944, Jusuf Muda Dalam bersama mahasiswa Rotterdam lainnya bergabung dengan gerakan bawah tanah komunis Belanda melawan militer pendudukan Nazi Jerman. Selain itu, ia juga bekerja sebagai seorang wartawan di harian De Waarheid milik Partai Komunis Belanda. Pasca Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1947, Jusuf Muda Dalam kembali ke Indonesia setelah 10 tahun lamanya berada di Belanda. Ia memulai karirnya di Kementerian Pertahanan pimpinan Mr. Amir Syarifuddin Harahap dan memulai karir politiknya dengan bergabung ke Partai Komunis Indonesia atau PKI. Pada tanggal 18 September 1948, Front Demokrasi Rakyat yang diisi oleh partai dan organisasi sayap kiri mendeklarasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia dan melancarkan pemberontakan. Saat terjadinya pemberontakan, Jusuf Muda Dalam ditangkap atas tuduhan keterlibatan pemberontakan dan ditahan di Desa Wirogunan, Yogyakarta. Pada tanggal 19 Desember 1948, militer Belanda melalui serangkaian operasi militer yang dinamakan Operasi Gagak atau lebih dikenal Agresi Militer Belanda II menyerbu kota Yogyakarta. Akibat serangan tersebut, Jusuf Muda Dalam berhasil melarikan diri dari tahanan. Semasa dirinya menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia, Jusuf Muda Dalam menduduki jabatan sebagai Ketua Seksi Ekonomi PKI cabang Yogyakarta. Pada tahun 1949 dan tahun 1951, ia kemudian menduduki jabatan sebagai anggota DPR mewakili fraksi PKI. Tidak lama setelahnya, Jusuf Muda Dalam merasa bahwa dirinya sudah tidak sejalan lagi dengan Partai Komunis Indonesia dan setelahnya, Ia bergabung ke Partai Nasional Indonesia atau PNI pada tahun 1954. Selama di PNI, karirnya semakin meroket. Dimulai menjadi pengurus pusat partai, anggota DPR, dan pada tahun 1956, atas ajakan Margono Djojohadikusumo Ia menjabat sebagai Staf Bank Negara Indonesia atau BNI. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1957, Jusuf Muda Dalam menduduki jabatan sebagai seorang Direktur BNI dan pada tahun 1959, Jusuf Muda Dalam mendapatkan posisi jabatan sebagai presiden direktur BNI. Puncak karir seorang Jusuf Muda Dalam terjadi pada tahun 1963. Oleh Presiden Sukarno, Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Urusan Bank Sentral di Kabinet Presiden Sukarno (Kabinet Kerja IV – Kabinet Dwikora II) merangkap jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Selama menjabat sebagai seorang Menteri Urusan Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam mengeluarkan sebuah kebijakan yang disebut konsep Bank Berjuang. Konsep Bank Berjuang merupakan kebijakan untuk merestrukturisasi dan mengintegrasikan seluruh bank-bank di Indonesia menjadi sistem bank tunggal. Tujuan adanya integrasi bank-bank tersebut yaitu untuk mendukung kelangsungan jalannya revolusi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. “Siapa yang menabur angin, akan menuai badai”, begitulah peribahasa yang menggambarkan kisah seorang Jusuf Muda Dalam. Kehidupannya yang begitu membahana dengan segala jabatan dan harta justru membuatnya begitu terlena dengan dunia. Semua berawal dari pecahnya peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965 hingga terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret pada tahun 1966 (yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966). Seminggu pasca terbitnya SP 11 Maret, tepatnya pada tanggal 18 Maret 1966, Suharto memerintahkan kepada militer untuk menangkap 15 menteri Kabinet Dwikora. Menurut Suharto, alasan penangkapan para menteri tersebut dibagi atas tiga kategori. Kategori pertama yaitu mereka yang memiliki hubungan dengan peristiwa Gerakan 30 September, kategori kedua yaitu mereka yang kejujurannya dalam membantu presiden diragukan, dan kategori ketiga yaitu mereka yang hidup amoral dan asosial di atas penderitaan rakyat. Nama – nama menteri yang ditangkap di antaranya yaitu: Kasus yang menyeret Jusuf Muda Dalam tersebut dibukukan dengan judul “Anak Penjamun di Sarang Perawan” karya Effendy Sahib dan diterbitkan pada tahun 1966. Abdul Haris Nasution dan Amir Machmud memberikan kata – kata pengantar di buku tersebut. Abdul Haris Nasution menyebut, “skandal Jusuf Muda Dalam ini bukan hanya merupakan skandal seks atau perkara korupsi biasa, melainkan skandal ini merupakan penggambaran daripada pribadi Orde Lama yang penuh dengan penyelewengan.” Amir Machmud juga menyebut, “buku ini (Anak Penjamun di Sarang Perawan) telah memberikan sumbangan kepada masyarakat, suatu kekayaan, suatu perbendaharaan sejarah, suatu catatan yang sangat penting.” Dikutip dari bab IV Anak Penjamun di Sarang Perawan, yaitu Bukan Harem 1001 Malam, disebutkan bahwa terdapat 25 wanita yang mendapatkan harta pemberian Jusuf Muda Dalam yang tidak diketahui sumbernya dari mana. Harta tersebut di antaranya terdapat uang, rumah, dan mobil. Nama – nama wanita yang disebutkan di antaranya istri – istri Jusuf Muda Dalam, yaitu Sutiasmi, Salamah, Jajah, Ida Djubaidah, Djufriah, dan Sari Narulita. Bahkan nama – nama seperti Ratna Sari Dewi, Titiek Puspa, Tina Waworuntu, dan Rieka Suatan juga terseret di kasus Jusuf Muda Dalam tersebut. Pada tanggal 30 April 1966, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dipimpin oleh Suharto kemudian membentuk Tim Pemeriksa Keuangan Negara dan diketuai oleh K.P.H. Surjo Wirjohadiputro. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Keuangan Negara, didapati beberapa fakta mengejutkan terkait kasus yang menimpa Jusuf Muda Dalam. Fakta pertama yaitu bahwa selama menjabat dalam kurun waktu tahun 1964 – 1966, Jusuf Muda Dalam melakukan perbuatan memberikan izin impor dengan cara Deferred Payment. Deferred Payment merupakan penangguhan pembayaran hingga jangka waktu tertentu, dalam hal ini kredit luar negeri dalam jangka waktu setahun yang digunakan untuk mengimpor barang. Total keseluruhannya yaitu berjumlah $270.000.000 yang melebihi keadaan devisa negara. Oleh Jusuf Muda Dalam uang tersebut dibagi – bagikan kepada kroni – kroni badan usaha, seperti PT Ratu Timur Raya sebesar $2.000.000, PT Mega sebesar $5.000.000, CV Tulus Djudjur sebesar $10.000.000, Barmansjah Trading Coy sebesar $5.000.000, dan CV Sitjintjin sebesar $5.000.000. Akibat yang ditimbulkan yaitu terjadi adanya insolvensi internasional. Fakta kedua yaitu dalam kurun waktu tahun 1964 – 1966, Jusuf Muda Dalam melakukan…

Read More

Langgar Gipo Saksi Perjuangan Islam di Surabaya

Surabaya — 1miliarsantri.net : Langgar Gipo (Musholla Bani Gipo) berjarak sekitar 1 kilometer kearah barat dari Masjid Agung Ampel di Surabaya Utara, atau tepatnya di Jalan Kalimas Udik I/51, Surabaya, Jatim (Jalan KH Mas Mansur ke barat/Masjid Serang ke kanan). Langgar Gipo sudah ditetapkan Pemkot Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya dengan SK Walikota Surabaya No. 188.45/63/436.1.2/2021 tanggal 22 Februari 2021. Tahun 2024 ini, Pemkot Surabaya memasukkan Langgar Gipo sebagai salah satu Destinasi Wisata “Kota Lama” Surabaya (Zona Arab/ Ampel) yang diresmikan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pada 15 Juni 2024. Namun, peresmian itu mendahului peresmian ketiga zona “Kota Lama” itu pada 23 Juni 2024. Dalam buku “Langgar (Bani) Gipo, ‘Markas’ Ulama-Santri (Embrio NU di Surabaya)” yang diterbitkan Yayasan Insan Keturunan Sagipoddin (IKSA/2024), Ketua Yayasan IKSA HA Wachid Zein menyebut Langgar Gipo itu didirikan oleh keluarga Sagipoddin (H. Abdul Latief Bin Kamaludddin Bin Kadirun atau H Abdul Latief Sagipodin atau Gipo) pada 1717 M (sesuai tetenger pada geladak langgar/musholla). “Jadi, Langgar Gipo sudah berusia 307 tahun pada 2024, namun sejak dibangun, Langgar Gipo baru disertifikatkan oleh anaknya Gipo yakni H Tarmidzi pada April 1830, sebagai langgar/surau keluarga. Setelah itu, H Hasan Basri Sagipoddin atau Hasan Gipo (lahir 1869 dan wafat 1934) melakukan optimalisasi fungsi langgar, karena beliau memang tokoh pergerakan, selain saudagar, diantaranya menampung jamaah haji kapal laut dan tempat singgah perwakilan Komite Hijaz untuk berangkat ke Arab Saudi lewat jalur laut,” terang H. Wachid Zein kepada 1miliarsantri.net, Senin (17/6/2024). Tahun 1996, Yayasan IKSA mulai memfungsikan Langgar Gipo sebagai tempat Halalbihalal Bani Gipo. Selain itu, pihaknya juga sudah mengurus akta notaris untuk Yayasan Insan Keturunan Sagipoddin (IKSA) pada tahun 2023 dengan Sekretariat Yayasan IKSA di Jl Ampel Magefur 46, Surabaya, yang dicatat oleh notariat Ny Erna Anggraini Hutabarat SH MSi dengan Akta Notaris No.7 Tanggal 31 Januari 2023. Pihaknya juga bersilaturrahmi ke Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi di Balai Kota Surabaya (18/3/2024) untuk mendorong Pemkot Surabaya menjadikan Langgar Gipo sebagai salah satu zona untuk destinasi wisata “Kota Lama” (Zona Arab/Ampel, China/Kembang Jepun, Eropa/ Jembatan Merah) dengan melakukan renovasi Langgar Gipo sejak awal 2024 hingga selesai pada 31 Mei 2024 (HUT Ke-731 Kota Surabaya). “Satu lagi, pengurus IKSA juga merencanakan Haul Hasan Gipo dan HUT Langgar Gipo pada setiap Bulan Maulid Nabi (Rabiul Awal) mulai tahun ini. Tahun ini (2024), Haul Hasan Gipo adalah Haul ke-90 (wafat tahun 1934 dan lahir tahun 1869) dan HUT ke-307 Langgar Gipo (berdiri tahun 1717). Rencananya, ada ikrar wakaf Langgar Gipo kepada NU, agar syiar Langgar Gipo dan Hasan Gipo sampai ke tingkat nasional, sedang Yayasan IKSA menangani urusan teknis saja,” ungkap H. Wachid Zein. Langgar/musholla dengan luas 209 meterpersegi (lebar xpanjang = 11×20) itu memiliki keramik lantai yang sama persis dengan Masjid Ampel (yang didirikan 1420 M) dan belum mengalami perubahan hingga direnovasi oleh Pemkot Surabaya pada April-Mei 2024, kecuali keramik paling belakang di langgar yang diganti, serta nama jalan yang berganti menjadi Jalan Kalimas Udik, padahal saat era Gipo disebut Jalan Kampung Baru Gipo. Kenapa Langgar Gipo itu bertempat di kawasan pergudangan di Ampel dan dekat dengan Kalimas? Sumber sejarah yang direkam IKSA mencatat Gipo memang orang kaya yang usahanya, antara lain; importir beras dari luar negeri; importer tekstil dari India; eskportir palawija ke Pakistan, India, Arab, Persia; memiliki kapal sendiri; memiliki pergudangan di wilayah Kalimas; dan memiliki penginapan di Surabaya. “Oleh karena itu, Mbah/Kakek Gipo membangun Langgar Gipo di kawasan pergudangan Kalimas Udik dan dekat Kalimas, agar para karyawan tetap melakukan ibadah di tengah kesibukan dan kondisinya memang jauh sehingga perlu langgar/surau/musholla,” sambung HA Wachid Zein. Pada era H Hasan Gipo, Langgar/surau Gipo di Jalan Kalimas Udik I/51, Ampel, Surabaya itu menjadi multi fungsi sebagai tempat perjuangan dan “pusat penggemblengan” para pejuang, sekaligus “titik temu” dari keluarga besar NU dan Muhammadiyah (KH Mas Mansur dan H Hasan Gipo), karena Hasan Gipo adalah tokoh pergerakan, selain sebagai saudagar, bahkan akrab dengan KH Wahab Chasbullah, sehingga didaulat menjadi ketua umum pertama PBNU/HBNO. Sebagai pusat penggemblengan pejuang santri saat perjuangan November 1945, Langgar Gipo memiliki kolam/sumur berbentuk segiempat (tempat berendam), gentong (air minum/kanuragan/kesaktian), dan bunker/terowongan (tempat persembunyian). Sementara itu, Langgar Gipo sebagai sentra pergerakan menjadi tempat pertemuan ulama dan tokoh-tokoh pejuang (Soekarno, HOS Tjokroaminoto, dr Soetomo, Kartosuwiryo, SK Trimurti, Musso/PKI, KH Wahab Chasbullah, KH Mas Mansur, dan sebagainya). Fakta yang paling penting terkait Langgar Gipo adalah peran “tokoh”-nya yakni H Hasan Gipo yang menjadi “tanfizdiyah” (pelaksana teknis) atau Ketua Umum PBNU yang pertama sejak muktamar pertama NU di Peneleh, Surabaya (21-13 September 1926), hingga 9 kali menjadi ketua umum (1926-1934). Rumah Hasan Gipo di sisi timur Masjid Ampel (Jalan Ampel Masjid di sisi makam Bobsaid), memang tidak jauh dari rumah mertua KH Wahab Chasbullah di Kertopaten Gang 3, Ampel, Surabaya, yang menjadi pembentukan Komite Hijaz yang akhirnya menjadi NU. (har) Baca juga :

Read More

Kisah Kurban Pertama di Dunia

Jakarta — 1miliarsantri.net : Seluruh umat Islam diseluruh dunia tengah melaksanakan Idul Adha atau hari raya kurban. Di hari besar tersebut umat Islam bersenang ria menyembelih hewan kurban dan membagikan dagingnya kepada banyak orang. Mereka kemudian menyantapnya sambil bersuka cita. Salah satu inspirasi hari kurban adalah kisah Nabi Ibrahim yang sudah bersusah payah menunggu kelahiran anak dari hasil pernikahannya dengan Sarah dan Hajar. Namun penantian itu tak juga tiba. Hingga akhirnya Ibrahim bersama Hajar diperintahkan untuk berpindah ke Hijaz. Di sanalah mereka kemudian melahirkan anak yang telah lama dinantikan. Anak yang diberi nama Ismail tersebut menjadi pelipur lara dan semakin menambah rasa cinta di antara mereka. Namun di tengah kebahagiaan tersebut, Allah menguji keimanan mereka dengan perintah menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim dan Hajar pun ikhlas melakukan itu. Khalilullah hendak menyembelih si anak di sekitar Lembah Mina, tempat yang kini menjadi area lempar jumrah jamaah haji. Ketika penyembelihan itu hendak dilakukan, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menukar Ismail dengan domba. Maka selamatlah Ismail. Kemudian dia tumbuh menjadi dewasa dan membantu Ibrahim membangun Ka’bah dan menggemakan ajakan mengunjungi baitullah untuk berhaji kepada banyak orang. Namun, kisah kurban Nabi Ibrahim bukanlah yang pertama. Ternyata ada kisah kurban yang lebih lama lagi. Ibadah ini, ternyata pernah dilakukan dua anak Nabi Adam, yaitu Qabil dan Habil, sebagaimana dijelaskan dalam al-Maidah ayat 27 وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ watlu ‘alaihim nabaabnai ādama bil-ḥaqq, iż qarrabā qurbānan fa tuqubbila min aḥadihimā wa lam yutaqabbal minal-ākhar, qāla laaqtulannak, qāla innamā yataqabbalullāhu minal-muttaqīn Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. Kurban ini bermula dari Qabil yang membantah perintah Adam untuk menikahi Layutsa. Sedangkan Habil diperintahkan untuk menikahi Iqlima. Berdasarkan penuturan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Qabil bersikeras ingin menikahi saudari perempuan yang lahir bersamanya, Iqlima, karena wanita ini memiliki paras yang lebih cantik dari Layutsa. Tapi sekali lagi, Adam melarangnya, karena Iqlima lahir bersamaan dengan Qabil. Karena keras kepala Qabil, maka turunlah perintah Allah untuk berkurban. Siapa yang kurbannya diterima, maka dialah yang berhak menikahi Iqlima. Sehari kemudian, Habil yang biasa beternak domba, membawa piaraan terbaiknya, domba yang gemuk. Sedangkan Qabil yang bertani, membawa hasil taninya yang masih hijau dan belum siap dipanen. Dikurbankanlah apa yang sudah mereka bawa. Tanda kurban yang diterima adalah terbakar. Allah memilih kurban Habil. Maka Habil menjadi pelaku kurban pertama yang diterima Allah. Meski keputusan itu tidak diterima Qabil. Dia marah lagi penuh hasad sehingga mengancam akan membunuh Habil. Keinginan buruk itu pun terjadi. Dengan potongan tulang yang dia dapati di sekitarnya, Qabil menghabisi nyawa Habil si pelaku kurban. Lelaki berakhlak mulia itu pun wafat. Nabi Adam dan Hawa sangat menyesali kepergian Habil hingga membuat dirinya berdoa, رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ Rabbanaa zalamnaa anfusanaa wa illam tagfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal-khaasiriin Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. (yan) Baca juga :

Read More

Kisah Heroik Ketangguhan Sawunggaling

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pasca mangkatnya Adipati Terung Raden Kusen di era Majapahit akhir, Adipati Surabaya di era Demak dipegang oleh Adipati Tranggana atau Pangeran Rekyana putra Raden Qasim Sunan Drajat dengan Dewi Sufiyah putri Sunan Gunung Jati. Putranya, Raden Panji Wiryakrama meneruskan sebagai Adipati Surabaya yang berkonflik dengan Pajang. Untuk mendamaikan konflik Pajang-Surabaya, Sunan Prapen dari Giri Kedhaton menikahkan putri Sultan Hadiwijaya dengan Panji Wiryakrama. Di era awal Mataram Islam Adipati Surabaya diteruskan oleh putra Panji Wiryakrama yaitu Panji Jayalengkara (1546-1625) murid Sunan Prapen. Di masanya Surabaya menjadi kota pelabuhan yang sangat ramai. Panembahan Senopati pun tergiur untuk menaklukan Surabaya. Sunan Prapen (1548-1605) kembali menjadi penengah Adipati Jayalengkara dan para adipati jawa tengah dan jawa timur yang menolak kekuasaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati (1586-1601). Putra Senopati, Panembahan Hanyakrawati (1601-1613) dari Mataram berusaha manaklukan Surabaya yang lebih makmur tetapi selalu gagal. Surabaya akhirnya takluk pada Mataram pada 1625 di era Sultan Agung. Putranya, Raden Pekik Jenggolo diangkat sebagai Adipati Surabaya (1625-1670) dan dinikahkan dengan adik Sultan Agung Ratu Pandan Sari. Beliau ditugasi untuk menggulingkan Panembahan Ageng Giri (1616-1636/cucu sunan Prapen) di Giri Kedhaton pada 1636. Pasca wafatnya Pangeran Pekik Jenggolo pada 1670, Adipati Surabaya dilimpahkan kepada Hangga Wangsa yang bergelar Djangrana I (1670-1678). Beliau adalah putra Sunan Boto Putih atau Pangeran Lanang Dangiran putra Prabu Tawang Alun, raja Blambangan di Kedhawung Jember. Adiknya, Mas Sanepo meneruskan tahta ayahnya bergelar Prabu Tawangalun II (1655-1690) di Macan Putih. Pangeran Lanang Dangiran gemar bertapa di laut sampai hanyut di pantai Sedayu Lamongan diasuh oleh Kyai Kendil Wesi dan dinikahkan dengan putri Ki Bimotjili (seorang ulama dari Cirebon). Pada tahun 1595 Pangeran Lanang Dangiran bersama istri dan anak-anaknya pergi ke Surabaya, menetap di timur kali Pegirian dukuh Botoputih untuk berguru kepada Sunan Prapen kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Botoputih sambil membantu Raden Pekik. Sunan Botoputih wafat pada 1638 di usia 70 tahun meninggalkan 7 anak, 2 putra laki-laki yang bernama Hanggawangsa dan Hanggadjaya telah dipersiapkan menjadi pemimpin. Hanggawangsa menggantikan Raden Pekik sebagai bupati Surabaya bergelar Djangrana I (1670-1678) sedangkan adiknya Hanggadjaya diangkat sebagai bupati di Pasuruan (1678-1686). Tercatat dalam sejarah Tumenggung Djangrana I dikenal sebagai bupati Surabaya yang berjasa besar membantu Amangkurat Amral melawan pemberontakan Trunajaya. Amangkurat Amral sejak kecil oleh Pangeran Pekik di Surabaya sebelum akhirnya berpindah ke kraton Plered sebagai putra mahkota. Pada 1677 Djangrana berhasil merebut meriam pusaka Nyai Setomi dari tangan pemberontak di Gresik. Beliau juga yang berhasil membebebaskan Pangeran Cakraningrat II bupati Madura yang dibuang Trunajaya di hutan Lodaya (dekat Blitar). Djangrana gugur di gapura benteng Kediri pada Desember 1678. Dimine Francois Valentina yang ikut dalam peperangan di Kediri mencatat: Satu-satunya pemberani dalam peperangan itu adalah Kiyahi Yangrono, pangeran Surabaya, yang dengan naik kuda serta menggenggam pistol terjun dalam sungai tanpa menghiraukan berondongan senapan dari musuh, menyusup dalam barisan musuh. Lima hari sesudah peristiwa itu pasukan kita dapat merebut benteng Kediri kira2 pada awal atau pertengahan Desember 1678, dan dalam penyerbuan Kediri itu, Sang Pahlawan Pangeran Surabaya tadi kedapatan mati dalam gapuro benteng kota. Adipati Jangrana lalu di makamkan di Boto Putih Surabaya. Adipati Jangrana I menurunkan 5 anak, yaitu: Adipati Djangrana II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Surabaya. Ia diangkat oleh Amangkurat II sebagai Adipati Kliwon dari pesisir Wetan bersamaan dengan di angkatnya Cakraningrat II menjadi Panembahan Madura dan Adipati Wedono seluruh pesisir wetan Jawa. Pasca pemberontakan Trunajaya,Jangrana ll ditugasi memadamkan perlawanan Tawangalun ll dari Blambangan yang dituduh membantu dana bagi pemberontakan Trunajaya. Namun ia berperang setengah-setengah karena dalam hati ia memihak Tawangalun II yang masih terhitung kakeknya sendiri. Jangrana ll ini dikenal berdedikasi dan bereputasi tinggi dibuktikan dengan keberhasilannya memadamkan pemberontakan trah Giring-Kajoran yang dilakukan oleh Ki Ageng Wanakusuma dan dua putranya Jaya Lalana dan Jaya Purusa dari Gunungkidul yg dibantu oleh Kertanadi dan Kertinegoro dari trah Kajoran terhadap Amangkurat ll di Kertasura pada 1683, ia pulang dengan meminta residen Surabaya menyambut kedatangannya menggunakan tembakan salvo. Pada saat pemberontakan Untung Surapati di Kertasura, diam-diam ia dilindungi oleh Amangkurat II di dalam keraton yang berakhir dengan terbunuhnya Kapten Tack 8 Februari 1686 dengan 20 tusukan oleh tangan Untung Suropati, ia pun menjadi buron Belanda. Pada 1686 Untung Surapati mendapat restu Amangkurat II untuk pergi ke timur merebut Pasuruan yang saat itu dipimpin Hanggadjaya. Setelah berhasil, ia pun diangkat menjadi bupati Pasuruan bergelar Tumenggung Wiranegara. Adipati Hanggajaya melarikan diri ke Surabaya meminta bantuan pada keponakannya, Jangrana lI namun tidak ditanggapinya karena Jangrana II juga tidak suka terhadap VOC. Tetapi takdir tidak bisa ditolak, pada 1690 Jangrana ll dan Cakraningrat II (bupati Madura) akhirnya mendapat tugas Amangkurat II merebut kembali Pasuruan dari tangan Untung Surapati atas perintah VOC. Keduanya pun menyanggupinya dan terjadilah perang antara kedua belah pihak. Namun perang ini hanya perang sandiwara untuk menyenangkan VOC seakan Amangkurat II tetap setia pada perintah Belanda dg menyuruh dua adipatinya. Amangkurat II wafat pada 1703 dan terjadilah perebutan tahta di Kartasura antara Amangkurat lll (Sunan Mas) dengan Pangeran Puger, pamannya. Dalam hal ini Jangrana ll memihak pada Pangeran Puger (Pakubuwana I). Pada tahun 1705 Pakubuwana I dengan bantuan VOC di Semarang berhasil merebut istana Kartasura dan mengusir Amangkurat III ke Madiun. Pada 1706 Untung Suropati bupati Pasuruan mengirim bantuan untuk melindungi Sunan Amangkurat III. Pada tahun 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya bergerak menyerang Pasuruan karena Amangkurat III dilindungi Untung Surapati. Dalam perang tersebut Jangrana ll melakukan gerakan sabotase yang merugikan Belanda, karena ia sendiri adalah sahabat Untung Surapati. Pada akhirnya, perlawanan Untung Surapati berakhir. Ia tertangkap dan wafat di Pasuruan pada 1706. Adapun Amangkurat lll menyerah di Surabaya pada 1708 dan dibuang ke Sri Langka. Pasca peristiwa itu pihak VOC ganti melaporkan pengkhianatan Jangrana ll kepada Pakubuwana I pada 1709. Jangrana ll terbukti telah merugikan VOC dalam peperangan tersebut. Djangrana II ditunjuk sebagai pemandu perjalanan pasukan gabungan Kertasura dan VOC dalam penyerbuan ke Pasuruan. Ia dengan sengaja memilih jalur yang sulit dengan melewati rawa-rawa, sehingga banyak tentara Belanda yang jatuh sakit dan mati dalam perjalanan. Jangrana ll sendiri juga dinilai bertempur setengah hati, terbukti ada satupun prajurit Surabaya yang gugur melawan pasukan Untung Surapati di Pasuruan,…

Read More

Festival Kenduri Swarnabhumi, Merayakan Warisan Budaya di DAS Batanghari

Jambi — 1miliarsantri.net : Kegiatan kebudayaan Kenduri Swarnabhumi yang berlangsung di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari memasuki tahun ketiga, diluncurkan pada Rabu (5/6/2024). Kegiatan itu mengukuhkan posisinya sebagai upaya pemajuan kebudayaan dan pelestarian lingkungan di sepanjang DAS Batanghari yang melewati kabupaten/kota se-Provinsi Jambi dan Kabupaten Dharmasraya di Provinsi Sumatra Barat. Dengan tema ‘Menghubungkan Kembali Masyarakat dengan Peradaban Sungai’, Kenduri Swarnabhumi 2024 melibatkan lebih banyak tokoh lokal dalam penyelenggaraannya. Termasuk, dengan membentuk kurator lokal yang merancang hingga memastikan konsep penyelenggaraan kegiatan di masing-masing daerah tetap berakar kuat pada tradisi kebudayaan. Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid mengatakan, Kenduri Swarnabhumi bukan hanya sekadar festival tahunan, melainkan sebagai cara masyarakat untuk memuliakan kembali Sungai Batanghari dengan terus menjaga ekosistemnya. “Kenduri Swanabhumi ini adalah ibarat sebuah kapal yang akan mengantarkan pada kebahagiaan di masa mendatang dan menuntun kita kepada kejayaan Jambi,” ucap Hilmar saat dikonfirmasi 1miliarsantri.net, Ahad (9/6/2024). Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, menuturkan, Kenduri Swarnabhumi adalah sarana penyadaran kembali kepada masyarakat luas bahwasanya pada masa lampau Jambi memiliki peradaban yang luar biasa maju. Pun beberapa kearifan lokalnya masih terus digunakan hingga saat ini. Mahendra menyebut, penyelenggaraan Kenduri Swarnabhumi yang telah dilaksanakan sejak 2022, mampu menyatukan berbagai jaringan pelaku budaya dan komunitas lingkungan di Provinisi Jambi untuk bersama-sama memajukan potensi kebudayaan yang selaras dengan pelestarian lingkungan. “Semangat kolaborasi yang sudah terjalin antara Kemendikbudristek dengan pemerintah daerah dalam menyukseskan Kenduri Swarnabhumi harus terus diperkuat, agar semangat pemajuan kebudayaan, khususunya di wilayah DAS Batanghari memiliki kebermanfaatan yang dirasakan masyarakat luas,” ujar Mahendra. (mik) Baca juga :

Read More

Napak Tilas Sejarah Masjid Parit “Jami’ al-Khandaq” di Madinah

Madinah — 1miliarsantri.net : Kota Madinah, tempat suci bagi umat Islam dan rumah bagi Nabi Muhammad (SAW), menyimpan banyak situs bersejarah yang patut diketahui oleh umat Islam. Salah satu landmark terkenal di kota ini adalah Kompleks Tujuh Masjid, yang merupakan kumpulan masjid kecil bersejarah yang menandai lokasi Perang Khandaq (Pertempuran Parit). Kompleks ini terletak di tepi barat Gunung Sila’. Di belakang Masjid Tujuh terlihat jajaran pegunungan Sila’ yang menjulang tinggi, dengan pos-pos pengintaian yang masih tampak di puncaknya. Dulunya, parit yang dibangun oleh Rasulullah dan pasukan Muslim sekarang telah berubah menjadi jalan. Parit ini, dengan panjang tiga kilometer, kedalaman lebih dari tiga meter, dan lebar 4,6 meter, dibangun dalam waktu satu bulan. Pasukan Muslim harus mengeruk batu cadas keras, dengan setiap 10 orang menyelesaikan galian sepanjang 40 meter, sehingga kecepatan menggali hanya sedikit lebih dari satu meter per hari. Untuk mengenang keberanian para sahabat yang berjuang dalam Pertempuran Khandaq pada tahun 5 H, didirikanlah masjid-masjid di lokasi ini. Meski awalnya ada tujuh masjid, kini hanya ada enam yang tersisa, namun kompleks ini masih dikenal sebagai Tujuh Masjid atau al-Masjid al-Sab, yang berarti “tujuh” dalam bahasa Arab. Lokasinya di wilayah barat Gunung Sila’ di Madinah, Arab Saudi, menjadi tempat populer untuk ziarah dan dikunjungi jutaan umat Islam setiap tahun. Jika kita bergerak dari selatan ke utara, masjid-masjid tersebut adalah Jami’ al-Khandaq, Masjid Fatima (Saad bin Muadz), Masjid Ali, Masjid Umar, Masjid Abu Bakar, Masjid Salman Farisi, dan Masjid al-Fat’h. Masjid Al-Fat’h: Pos Komando Nabi Muhammad Masjid al-Fat’h, juga dikenal sebagai Masjid A’la atau Masjid Ahzab, adalah masjid terbesar di antara Tujuh Masjid. Dibangun di atas sebuah bukit di wilayah barat Gunung Sila, masjid ini menandai lokasi Pertempuran Ahzab dan mengenang kemenangan umat Islam di Madinah. Menurut sejarah, masjid ini pertama kali dibangun pada masa Kekhalifahan Umar (RA) di lokasi pos komando Nabi Muhammad (SAW) dan direnovasi oleh Saifuddin Abu al-Hija pada 1154 H, serta dipugar kembali pada masa pemerintahan Fahad bin Abdul Aziz al-Saud. Jabir (RA) meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad (SAW) berdoa selama tiga hari dalam Pertempuran Ahzab, salah satunya: “Ya Allah, Pengungkap Kitab, cepat dalam memperhitungkan, buatlah sekutu-sekutu itu melarikan diri, ya Tuhan kalahkan mereka dan goyahkan mereka.” Masjid Salman Farisi Masjid Salman Farisi terletak 20 meter di selatan Masjid al-Fat’h. Dinamai sesuai dengan nama Salman Farisi (RA), yang memimpin pembangunan parit selama Pertempuran Khandaq. Masjid ini dibangun pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz dan direnovasi pada 1154 H oleh Saifuddin Abu al-Hija serta oleh Sultan Ottoman Abd al-Majid I. Keistimewaan masjid ini adalah ukurannya yang kecil, dengan aula sepanjang 7 meter dan lebar 2 meter. Masjid Abu Bakar Masjid Abu Bakar, terletak 15 meter barat daya Masjid Salman Farisi, dibangun di tempat Khalifah pertama, Abu Bakar (RA), memimpin salat Idul Fitri bersama Nabi Muhammad (SAW). Masjid ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Omar bin Abdul Aziz (705-709/89-91 H) dan kemudian direnovasi oleh Sultan Mahmoud II pada 1838 M/1254 H. Masjid Abu Bakar memiliki arsitektur berbentuk persegi dengan panjang sekitar sembilan meter, dibangun menggunakan batu basal hitam, dan bagian dalamnya dicat putih. Masjid ini juga memiliki menara setinggi 15 meter, halaman persegi panjang, dan kubah berornamen setinggi 12 meter. Masjid Umar Masjid Umar terletak di barat daya Masjid Nabawi dan 10 meter di selatan Masjid Abu Bakar. Masjid ini dibangun di lokasi pos komando Umar (RA) selama Pertempuran Parit. Masjid Umar memiliki arsitektur yang sama dengan Masjid al-Fat’h, menunjukkan bahwa keduanya dibangun dan direnovasi pada waktu yang bersamaan. Menurut sejarah, Umar (RA) berdoa di masjid ini pada masa kekhalifahannya. Masjid Ali Masjid Ali, berukuran lebar hanya 6,5 meter dan panjang 8,5 meter, terletak di puncak bukit paling tinggi di atas masjid-masjid lainnya dan di selatan Masjid Fatima. Dari sini, Ali (RA) ikut serta dalam Pertempuran Parit dan juga memimpin Shalat Idul Fitri pada masa kekhalifahannya. Untuk masuk ke dalam masjid, pengunjung harus menaiki anak tangga kecil. Masjid ini diyakini telah dibangun dan direnovasi bersamaan dengan Masjid al-Fat’h. Masjid Fatima atau Masjid Saad bin Muadz Masjid Fatima, juga dikenal sebagai Masjid Saad bin Muadz, adalah masjid terkecil di antara Tujuh Masjid. Terletak tidak jauh di sebelah barat Masjid Ali, masjid ini berukuran sekitar 4 x 3 meter dan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Majid I pada Era Ottoman. Masjid Jami’ al-Khandaq Masjid Parit atau Jami’ al-Khandaq, juga dikenal sebagai “Masjid Penaklukan,” adalah salah satu masjid paling modern di situs tersebut. Terletak di kaki Gunung Sila’ di Madinah, Arab Saudi, Jami’ al-Khandaq menempati bekas parit di barat laut kota Nabi Muhammad (SAW). Masjid ini mengenang Pertempuran Parit yang terjadi antara kaum kafir dan Muslim Madinah pada masa Nabi Muhammad (SAW). (dul) Baca juga :

Read More

Silsilah Kerajaan Islam Pertawa Gowa

Makassar — 1miliarsantri.net : Kerajaan Gowa Tallo atau Kerajaan Makassar merupakan kerajaan Islam di Sulawesi Selatan. Letak Kerajaan Gowa Tallo berada di wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa Tallo merupakan gabungan dari dua kerajaan yang berasal dari keturunan Kerajaan Gowa, yang didirikan oleh Tumanurung Bainea sekitar awal abad ke-14. Pada awal abad ke-15, Kerajaan Gowa dibagi menjadi dua, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo bersatu pada masa pemerintahan Raja Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna, kemudian gabungan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Gowa Tallo atau Kerajaan Makassar. Kerajaan Gowa Tallo memasuki masa Islam dan berubah menjadi kesultanan pada akhir abad ke-16. Sejarah Kerajaan Gowa Tallo pada Masa Islam Kerajaan Gowa Tallo berpusat di Sombaopu (Makassar). Lokasi Sombaopu yang strategis membuat pedagang Maluku senang singgah dan berdagang di Kerajaan Gowa Tallo. Pada akhirnya, Sombaopu menjadi penghubung Malaka, Jawa, dan Maluku. Kerajaan Gowa Tallo telah berhubungan dengan Sultan Ternate yang sudah memeluk agama Islam. Agama Islam mulai masuk ke wilayah Sulawesi Selatan disebabkan dakwah Datuk RI Bandang dan Datuk Sulaiman dari Minangkabau. Pemimpin Gowa Tallo yang pertama masuk Islam adalah I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-1639 M) yang bergelar Sultan Alaudiin I. Seluruh rakyat kemudian selesai diislamkan dua tahun setelahnya. Pada saat, Kesultanan Gowa-Tallo bercorak Islam, rakyat sangat patuh pada aturan berdasarkan ajaran Islam. Siapa Nama Tokoh yang Terkenal dari Kerajaan Islam Gowa Tallo Sultan Malikussaid (1639-1653 M) Kejayaan Kasultanan Gowa Tallo berawal dari peran Karaeng Patingalloang, seorang mangkubumi yang menjalankan kekuasaan pada tahun 1639-1654. Di mana, ia mendampingi Sultan Malikussaid yang saat itu masih kecil. Pada saat Karaeng Patingalloang menjabat sebagai mangkubumi, nama Kerajaan Makassar terkenal dan menjadi perhatian sejumlah negeri. Karaeng Patingalloang berkongsi bersama Sultan Malikussaid dengan sejumlah pengusaha dagang dari Portugis dan Spanyol. Karena kepandaiannya, Karaeng Patingalloang diuluki sebagai cendekiawan dari Kerajaan Makassar. Karaeng Patingalloang wafat pada tanggal 17 September 1654 pada saat turut serta dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Balanda. Karaeng Patingalloang telah menyiapkan sekitar 500 kapal untuk menyerang Ambon sebelum meninggal. Sultan Hasanuddin (1653-1669 M) Kerajaan Islam Gowa Tallo memasuki masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Pada saat itu, Sultan Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan dengan menguasai daerah-daerah subur dan daerah penunjang perdagangan. Daerah yang dikuasai hingga Nusa Tenggara Barat, sehingga Kerajaan Gowa Tallo dikenal sebagai negara maritim yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia Timur. Dalam bidang sosial pemerintahan, Sultan Hasanudin berhasil memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam. Alhasil, banyak murid yang belajar agama Islam ke Banten. Sultan Hasanuddin merupakan raja yang sangat anti dominasi asing. Dirinya menentang kehadiran VOC yang saat itu sudah berkuasa di Ambon. Kemudian, Sultan Hasanuddin memimpin peperangan melawan VOC di Maluku dan berhasil memporak-porandakan pasukan Belanda. Belanda yang menyadari kedudukannya semakin terdesak berupaya mengakhiri peperangan dengan melakukan politik adu domba antara Makassar dengan Kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makassar). Rupanya, siasat politik adu domba yang dilakukan Belanda berhasil hingga Raja Bone yang bernama Aru Palaka mau bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makassar. Perang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun membuat Keraaan Makassar harus mengakui kekalahannya dan menandatangani Perjanjian Bonganya tahun 1667. Banyak pasal dalam perjanjian tersebut yang merugikan Makassar, namun harus diterima Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin turun tahta setelah dua hari dari perjanjian tersebut dan menyerahkan kekuasaannya pada Sultan Amir Hamzah. Perjanjian Bonganya merupakan awal kemunduran Kerajaan Gowa-Tallo. Hal tersebut dikarenakan, raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukan raja yang merdeka dalam menentukan politik kenegaraannya. (ndro) Baca juga :

Read More

Mengenal Dokter Kamal, Arsitek Lantai Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

Jakarta — 1miliarssntri.net : Bagi umat Islam yang sudah menunaikan ibadah haji ataupun umroh, tentu sering bertanya tentang lantai di masjidil Haram dan Masjid Nabawi mengapa tidak terasa panas saat cuaca sangat panas? Terutama jamaah yang sedang menunaikan ibadah tawaf mengelilingi Ka’bah di siang hari dengan panas yang sangat terik, kaki kaki para jamaah tetap tidak merasa kepanasan. Lantai yang bisa menahan panas tersebut, karena memang didesain sejak awal untuk para jamaah agar saat ibadah tidak merasa terganggu. Arsitek yang mendesain lantai tidak panas ini adalah, ilmuan asal Mesir. Namanya Dr.Muhamad Kamal Ismail. Dr.Kamal ini yang memiliki marmer dingin, kubah listrik dan payung megah yang berada di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dr Kamal adalah anak muda dan lulusan termuda di sekolah setingkat SMA di Mesir. Dalam sejarah Mesir, dia anak muda yang terdaftar dalam sekolah teknik kerajaan pertama yang kemudian di sekolahkan ke Eropa. Ia memperoleh tiga gelar dokter di bidang arsitektur Islam. Selain itu, ia juga anak termuda yang mendapatkan sel nil dan pangkat besi dari raja. Dr Kamal, menikah di usia 44 tahun, dan istrinya melahirkan anak laki-laki, namun tidak lama kemudian istrinya meninggal dunia. Setelah ditinggal istrinya, Dr Kamal memilih menyendiri dn memfokuskan beribadah kepada Allah. Ia hampir menghabiskan usianya 100 tahun untuk melayani dua masjid suci, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Apa yang dilakukan Dr Kamal ini jauh dari sorotan media massa. Ia asalah Insinyur pertama yang melakukan perencanaan pelebaran dua masjid suci di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah. Yang juga mengagumkan, saat bekerja untuk dua masjid suci tersebut, ia menolak untuk mendapat cek pembayaran dari raja arab, Abdullah Abdul Aziz bin Saud maupun dari perusahaan bin laden atas desain arsitekturnya. Ia hanya bilang,” Untuk apa saya menerima bayaran untuk sebuah pekerjaan saya di dua masjid suci, bagaimana saya nanti kalau menghadap Allah kalau untuk dua pekerjaan di masjid suci ini saya menerima bayaran.” Dokter genius ini, adalah sosok yang menemukan bahan batu marmer yang bisa dipakai untuk melapisi lantai yang ada di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi agar lantai tersebut bisa menjadi lebih dingin sehingga membuat jamaah yang tawaf tidak merasa kepanasan. Batu marmer ini dideteksi doctor genius ini adanya hanya di gunung kecil di Yunani. Di gunung gunung lain tidak ada. Ia kemudian berangkat menuju Yunani untuk menandatangani kontrak pembelian batu marmer separo dari gunung tersebut. Meskipun marmer yang dibeli itu jumlahnya adalah separo dari satu gunung di Yunani, namun pemanfaatnya hanya untuk Masjidil Haram. Usai melakukan pembelian, Dr Kamal kembali ke Mekkah dan memulai melakukan pembangunan. Namun setelah selesai menuntaskan pembangunan di Masjidil Haram, Doktor genius ini diminta Raja Arab untuk melakukan pelapisan bahan marmer yang sama di Masjid Nabawi di Madinah. Setelah mendapat tugas dari Raja, ia merasa bingung karena bahan batu marmer itu hanya ada satu di gunung di Yunani dan separonya sudah dia beli. Tapi karena diperintah oleh Raja Arab, akhirnya ia berangkat kembali ke Yunani untuk menemui perusahaan yang menguasai gunung yang ada batu marmernya tersebut. Dia bertemu CEO perusahaan dan menyampaikan niatnya untuk membeli kembali separo sisa batu marmer dari gunung tersebut. Namun apa yang terjadi, menurut CEO, bahwa batu marmer sudah habis karena sudah dibeli semua oleh orang lain. Dokter Kamal penasaran siapa perusahaan yang membelinya. Ia bertanya kepada sekretaris perusahaan yang menjual batu marmer tersebut, namun jawabannya tidak tahu karena pembeliannya dilakukan sudah lama. Namun, sekretaris tersebut berjanji akan mencari data di filenya untuk mengetahui alamat perusahaan yang membeli separo dari sisa batu marmer di gunung Yunani tersebut dan segera melaporkan kepada Dr Kamal setelah menemukan datanya. Setelah ketemu data filenya, sekretaris perusahaan tersebut meyampaikan kepada Dr Kamal bahwa perusahaan yang membeli itu adalah perusahaan di Saudi Arabia. Dalam kondisi penasaran, kemudian ia kembali terbang ke Saudi Arabia untuk mencari perusahaan tersebut. Dan akhirnya bertemu perusahaan yang dicari. Dr Kamal ditemui oleh direktur Teknik. Namun saat ditanya tentang pembelian batu marmer dari Yunani tersebut, direktur Teknik mengatakan merasa sudah lupa karena pembeliannya dianggap sudah terlalu lama. Namun direktur Teknik mencoba menghubungi bagian Gudang dan dijelaskan bahwa batu marmer yang dibeli beberapa tahun lalu dari Yunani masih ada semua dan belum terpakai. Subhanalloh. Dokter kamal mulai menangis. Lalu dia menceritakian kisahnya mencari marmer dari Yunani tersebut yang tujuannya untuk pembangunan di dua Masjid Suci, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Saat itu, Doktor Kamal menyodorkan cek kepada direktur Teknik tersebut untuk mengisi jumlah uang yang diminta agar separo marmer dari gunung Yunani itu bisa dia beli. Ternyata Direktur Teknik tersebut tidak mau mengisi karena dia tahu ternyata batu marmer yang ada di Yunani itu memang dipersiapkan Allah untuk dua masjid suci. Direktur tersebut mempersilakan kepada Dokter Kamal untuk mengambil marmer tersebut dan dipergunakan untuk pembangunan dua masjid suci. Subhanalloh. Dr Kamal pun merasa lega karena bisa melanjutkan pembangunan di Masjid Nabawi sesuai perintah Raja Arab. Dr Kamal yang dikenal sangat religious tersebut, setelah bisa menuntaskan pembangunan di dua masjid suci, tidak lama kemudian Dr Kamal meninggal pada agustus 2008. Dan sampai sekarang jasanya bisa dinikmati seluruh umat Islam di seluruh dunia setiap menjalankan ibadah haji dan umroh. (rid) Baca juga :

Read More

Pemerintah Beri Peluang Ormas Keagamaan Kelola Sumber Daya Alam untuk Kemakmuran Rakyat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Wakil Ketua Umum MUI Anwar abbas mengatakan, dari pasal 33 ayat 3 jelas terlihat ada sebuah tugas yang diamanatkan oleh konstitusi kepada negara/pemerintah yaitu bagaimana caranya supaya lewat sumber daya alam yang ada itu pemerintah harus bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam pasal 33 ayat 3 uud 1945 dikatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Dalam sejarah perjalanan bangsa terutama sejak zaman orde baru sampai dengan keluarnya SK nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang dipercaya oleh pemerintah untuk mengelola tambang hanyalah badan usaha, koperasi atau perusahaan perseorangan saja,” terang Anwar dalam keterangan resmi, Senin (3/006/2024). Tetapi dengan keluarnya SK baru tersebut ada sebuah terobosan yang dilakukan oleh pemerintah yang perlu diapresiasi karena dalam SK itu ormas-ormas keagamaan yang selama ini sudah berbuat banyak bagi bangsa dan negara diberi kesempatan oleh pemerintah untuk ikut mengelola tambang. Hal ini jelas merupakan sesuatu yang menggembirakan karena lewat kebijakan tersebut berarti ormas-ormas keagamaan akan bisa memperoleh sumber pendapatan baru untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukannya dimana kita tahu pada umumnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh ormas-ormas keagamaan tersebut juga terkait erat dengan tugas dan fungsi pemerintah yaitu melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyat. Bahkan dalam hal yang terkait dengan usaha melindungi rakyat kita sangat sering melihat bila terjadi musibah berupa bencana alam misalnya para ormas keagamaan tersebut malah bisa lebih dahulu hadir di lokasi bencana dari pemerintah untuk membantu rakyat yang terkena musibah. Tetapi gerak mereka memang tampak terbatas karena ketiadaan dana sehingga mereka tidak mampu membeli dan menyiapkan peralatan serta hal-hal lain yang diperlukan. Begitu juga dalam hal yang terkait dengan upaya mencerdaskan bangsa. Kita tahu bahwa pemerintah sampai hari ini tampak belum sanggup untuk melakukan tugas ini secara sendiri. Disinilah kita lihat peran dari ormas-ormas keagamaan tersebut dimana mereka mendirikan sekolah dan rumah sakit yang jumlahnya ribuan secara mandiri. Memang pemerintah ada membantu tapi jumlahnya jelas masih jauh dari yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan dan lembaga kesehatan tersebut. Demikian juga dalam upaya mensejahterakan rakyat. Memang dalam konstitusi seperti tertera di dalam pasal 34 UUD 1945 dikatakan bahwa fakir miskin anak terlantar dipelihara oleh negara namun pada kenyataannya pemerintah juga punya keterbatasan-keterbatasan sehingga kita bisa melihat bagaimana besarnya peran dari ormas-ormas keagamaan dalam membantu tugas dan kewajiban dari pemerintah tersebut. Lalu timbul pertanyaan dari mana ormas-ormas tersebut mendapatkan dana? Umumnya dengan menghandalkan sumbangan dari para anggota dan simpatisan serta dari berbagai usaha yang dilakukannya. Tapi terkadang pihak ormas juga terpaksa harus “mengemis” kesana kemari agar kegiatan yang direncanakannya dapat terlaksana. Untuk itu agar ormas keagamaan ini dapat melaksanakan maksud dan tujuannya dengan sebaik-baiknya maka ormas-ormas tersebut secara finansial haruslah dibuat kuat dan saya melihat SK yang baru dikeluarkan oleh presiden jokowi ini merupakan bagian dari usaha itu sehingga diharapkan peran ormas keagamaan ini di masa depan dalam memberdayakan masyarakat dan warga bangsanya akan jauh lebih baik lagi sehingga cita-cita kita untuk membuat negeri ini menjadi negara yang maju, beradab dan berkeadilan akan dapat terwujud dan diakselerasi. (wink) Baca juga :

Read More

Isu Salafi Dinilai Mengalihkan Energi Muhammadiyah dan NU

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pakar Sosiologi Agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Abd Aziz Faiz menilai polemik salafi dan nasab Ba’alawi di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) hanya mengalihkan energi Muhammadiyah dan NU. Padahal ada isu yang lebih penting yang harus menjadi perhatian, yakni kemiskinan, isu 10 juta anak muda pengangguran, pendidikan, dan pemberdayaan umat yang lambat. Aziz mengatakan secara umum polemik salafi dan Muhammadiyah sudah berlangsung lama. Keduanya dalam banyak hal memiliki persamaan terutama soal kembali ke Alquran dan hadits. “Namun, Muhammadiyah memiliki istilah ijtihad dan tajdid yang membuat Muhammadiyah sangat berbeda dengan salafi,” terang Aziz kepada 1miliarsantri.net, Ahad (2/6/2024) Aziz mengatakan, masalahnya belakangan salafi masuk pelan-pelan melalui masjid-masjid Muhammadiyah dan menguasainya. Dalam konteks-konteks tertentu, salafi mengubah tradisi Muhammadiyah di masjid-masjid milik Muhammadiyah, dari situ polemik salafi dan Muhammadiyah semakin meruncing. “Polemik Muhammadiyah dan salafi, kemudian polemik nasab Ba’alawi di NU tampak tidak produktif, sudah terlalu berkepanjangan,” imbuh Aziz. Dia mengatakan, isu-isu internal seperti itu sangat tidak krusial untuk umat. Polemik semacam itu mengalihkan energi NU dan Muhammadiyah dari isu-isu substantif berkaitan dengan kebutuhan umat, seperti soal kemiskinan karena pinjol, investasi di beberapa daerah yang merugikan masyarakat lokal, pendidikan, dan pemberdayaan umat yang tampak melambat. “Bahkan, Gen-Z yang diisukan menganggur hampir 10 jutaan, isu-isu semacam itu yang seharusnya menjadi perhatian dua organisasi ini,” jelas Aziz. Aziz menegaskan, sudah waktunya energi dua organisasi terbesar ini diarahkan ke kebutuhan umat dari sekadar polemik dan konflik yang tidak produktif. Kemudian sambil membenahi internal organisasi masing-masing. (jeha) Baca juga :

Read More