Ini yang Dilakukan Warga Gaza Ketika Gencatan Senjata

Gaza — 1miliarsantri.net : Gencatan senjata dan jeda kemanusiaan telah memberi kesempatan bagi warga kota Gaza untuk merasakan kenikmatan sementara tidur, makan dan pemulihan diri dari cidera fisik dan mental selama perang berlangsung. Warga Gaza mengatakan mereka berharap dapat kembali berjalan di jalanan, sementara yang lain akan mencari jasad orang-orang terkasih di bawah reruntuhan. Selama tujuh pekan, Hussam Saleem hidup di bawah suara bom yang terus berdentum di sekitar rumahnya di Kota Gaza. Ketika gencatan senjata sementara yang disepakati antara Israel dan Hamas dimulai pada hari Jumat (24/11/2023), salah satu prioritas pertama pria berusia 60 tahun ini adalah tidur. “Kami sangat membutuhkan istirahat ini. Kami ingin tidur, pergi ke pasar, mencari kebutuhan dasar yang tidak dapat kami berikan kepada anak-anak kami selama beberapa pekan terakhir,” kata Saleem kepada Middle East Eye, Sabtu (25/11/2023). Akhirnya, Saleem dan 2,3 juta warga Palestina lainnya di Jalur Gaza akan mendapatkan jeda beberapa hari. Dengan jeda pertempuran selama empat hari tersebut, memungkinkan pertukaran 50 tawanan Israel dan 150 tawanan Palestina. Atau begitulah harapan mereka. Gencatan senjata seharusnya dimulai pada Kamis, (23/11/2023), tetapi telah ditunda karena masalah “logistik” karena negosiasi yang penuh dengan penuh ketegangan akan terus berlanjut. Israel telah melancarkan kampanye pengeboman tanpa henti di Jalur Gaza sejak serangan yang dipimpin Hamas terhadap komunitas Israel pada tanggal 7 Oktober yang menewaskan lebih dari 1.200 orang. Pengeboman tersebut, dibalas Israel dengan blokade dan serangan darat, telah merenggut nyawa lebih dari 14 ribu warga Palestina, termasuk lebih dari 5.000 anak-anak. Setelah empat hari berakhir, gencatan senjata dapat diperpanjang satu hari untuk setiap 10 tawanan yang dibebaskan, dengan batas waktu 10 hari. Sekitar 240 orang yang diculik oleh pejuang Palestina pada tanggal 7 Oktober diyakini masih berada di Gaza. Saleem percaya bahwa jeda waktu tersebut terlalu singkat. Dia mengatakan bahwa ia dan keluarganya berharap Israel dan Hamas menggunakan waktu ini untuk merundingkan gencatan senjata yang lebih lama untuk mengakhiri perang ini. “Kami tidak ingin jeda saja, kami ingin perang ini berakhir apapun yang terjadi. Kami sudah lelah, Jalur Gaza sudah hancur, kami tidak bisa menerima lebih banyak pembunuhan dan kehancuran,” ungkapnya. Israel telah memutus sama sekali akses masuknya makanan, bahan bakar dan air ke daerah kantong pesisir tersebut, dan memaksa ratusan ribu warga Palestina di Gaza utara, termasuk Kota Gaza, untuk mengungsi ke daerah selatan. Perjanjian gencatan senjata akan memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan, serta kesempatan bagi warga Palestina untuk bergerak bebas lagi. Meskipun warga Gaza tidak dianjurkan kembali ke sektor utara yang diminta Israel untuk mengungsi. Rimas Muhammad adalah seorang gadis berusia 13 tahun yang tetap tinggal di Kota Gaza bersama keluarganya meskipun ada ancaman dari tentara Israel, yang kini menduduki sebagian besar wilayah kota tersebut. Dia mengatakan kepada MEE bahwa jeda waktu akan memberinya kesempatan untuk mengunjungi teman-teman dan kerabatnya yang masih tersisa di sana. “Saya akan berjalan di jalan-jalan Gaza karena saya rindu berjalan-jalan tanpa rasa takut. Saya akan pergi ke toko-toko jika mereka buka,” katanya. Meskipun jeda dari perang disambut baik, beberapa orang di Gaza merasa terganggu dengan persyaratan perjanjian tersebut. Seorang warga Gaza, yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan bahwa kesepakatan gencatan senjata itu mengejutkan, karena tampaknya jelas-jelas lebih menghargai nyawa warga Israel daripada warga Palestina. “Empat hari gencatan senjata ini tidak sebanding dengan banyaknya orang yang terbunuh dan terluka, rumah-rumah yang hancur, dan banyaknya orang yang mengungsi atau kehilangan tempat tinggal,” ulasnya. Hamas mengatakan, mereka mencapai kesepakatan tersebut karena “tanggung jawab” mereka terhadap rakyat Palestina, yang bertujuan untuk “meringankan penderitaan mereka, menyembuhkan luka-luka mereka” dan memperkuat tekad mereka untuk melawan Israel. Namun, warga Gaza itu mengatakan bahwa “sangat memalukan” mengetahui bahwa dia tidak dapat kembali ke rumahnya di utara sementara para pemimpin Hamas di luar daerah kantong dapat melakukan perjalanan dengan bebas antara Beirut dan Qatar “Gencatan senjata ini hanyalah sebuah kebohongan besar. Ini akan memberi Israel lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi putaran kekerasan berikutnya, yang akan memakan lebih banyak korban,” tambahnya. Jumlah korban tewas di Gaza diperkirakan akan meningkat tajam selama gencatan senjata, seiring dengan ditemukannya ribuan warga Palestina yang terkubur di bawah reruntuhan bangunan yang dibom. Otoritas kesehatan di Gaza mengatakan pada Selasa, mereka menghadapi tantangan dalam mendokumentasikan jumlah korban gugur secara akurat. Hingga Rabu malam, jumlah korban gugur yang dilaporkan oleh kantor media pemerintah di Gaza mencapai 14.532 orang, termasuk hampir 6.000 anak-anak. Tujuh ribu warga Palestina dilaporkan hilang di Jalur Gaza, termasuk lebih dari 4.700 perempuan dan anak-anak. Runtuhnya sistem kesehatan di sebagian besar daerah kantong dan kerumitan dalam mengambil jenazah dari daerah-daerah di bawah kendali Israel juga menghambat kemampuan mereka untuk menghitung jumlah korban. Warga Kota Gaza, Khalaf Sobhi, menunggu gencatan senjata agar dia dapat memeriksa rumah kakeknya, yang baru-baru ini dibom. Tak seorang pun dapat mengakses jenazah kerabatnya sejak rumah itu dibom. “Kami tidak akan pergi ke selatan meskipun diizinkan, karena kami pikir selatan akan menjadi target invasi darat Israel berikutnya,” kata Khalaf. Hamas mengatakan bahwa 40 persen dari warga Palestina yang terbunuh selama tujuh minggu terakhir berada di wilayah selatan dan tengah yang diperintahkan oleh Israel untuk dipindahkan demi keamanan. Beberapa orang juga dilaporkan ditangkap dan dibunuh oleh pasukan Israel ketika mereka melewati “koridor aman” yang ditentukan oleh Israel. Meskipun pertempuran belum berhenti, badan PBB untuk pengungsi Palestina, Unrwa, pada hari Rabu mulai mendistribusikan tepung di Gaza selatan untuk pertama kalinya sejak perang dimulai. Unrwa mengatakan 1,7 juta warga Palestina telah mengungsi di Gaza. Salah satu dari mereka, Nour Ahmed, mengungsi ke selatan, dan mengatakan kepada MEE bahwa ia berharap jeda ini akan memberinya kesempatan untuk mencari informasi tentang orangtuanya, yang masih berada di Kota Gaza. Meskipun Israel tidak mengizinkannya kembali ke kota, teman-temannya telah berjanji kepadanya bahwa mereka akan mampir ke rumah orangtuanya untuk melihat apakah mereka masih hidup. Sementara itu, dia akan menggunakan waktu jeda untuk membeli tepung untuk anak-anaknya, yang sudah berpekan-pekan tidak diberi makan. “Satu kantong tepung sekarang harganya lebih dari 200 shekel (53 dolar AS), sementara kami biasa membelinya dengan harga kurang dari 40 shekel sebelum perang. Saya berharap lebih banyak bantuan kemanusiaan akan membantu memberikan makanan yang dibutuhkan anak-anak saya,” pungkasnya. (zul/AZ) Baca juga…

Read More

Pasukan Zionis Israel Tembaki Warga Gaza yang Pulang ke Utara

Gaza — 1miliarsantri.net : Terdapat ribuan penduduk Palestina di Jalur Gaza yang sebelumnya mengungsi ke wilayah selatan, memutuskan pulang ke rumah mereka di wilayah utara saat diumumkan nya gencatan senjata antara Hamas dan Israel dimulai pada Jumat (24/11/2023). Daerah utara merupakan medan pertempuran utama Israel dengan Hamas. Namun pasukan zionis Israel telah mengancam bahkan menyerang seluruh warga Gaza yang coba kembali ke kampung halaman nya ke utara selama gencatan senjata berlangsung. Dalam sebuah video Aljazirah, tampak ribuan warga Gaza berlarian menghindari tembakan peringatan yang dilakukan oleh tentara Israel. Tentara Israel menembak untuk memblokir warga yang mengungsi dari selatan kembali ke rumahnya di utara Gaza. Sedikitnya tujuh orang terluka akibat tembakan tersebut. Menurut PBB, sekitar 1,7 juta dari 2,4 juta penduduk Gaza telah mengungsi selama hampir 50 hari agresi Israel ke wilayah tersebut. Israel telah menyatakan bahwa gencatan senjata selama empat hari dengan Hamas hanya bersifat sementara. Hal itu mengisyaratkan bahwa Israel akan melanjutkan perangnya di Gaza. Selama masa gencatan senjata, Hamas akan membebaskan 50 warga Israel yang mereka sandera sejak 7 Oktober 2023. Sebagai balasannya, Israel juga akan membebaskan 39 warga Palestina yang mendekam di penjara-penjara Israel. Sejak melancarkan agresinya pada 7 Oktober 2023, serangan Israel telah membunuh lebih dari 14.500 warga Gaza. Mereka termasuk 6.000 anak-anak dan 4.000 perempuan. Sementara korban luka telah melampaui 39 ribu orang.(zul/AZ) Baca juga :

Read More

Israel Ancam Akan Menyerang Siapa pun Warga Gaza Yang Kembali ke Utara.

Gaza — 1miliarsantri.net : Ribuan penduduk Palestina di Jalur Gaza yang sebelumnya mengungsi ke wilayah selatan, memutuskan pulang ke rumah mereka di wilayah utara saat gencatan senjata antara Hamas dan Israel dimulai pada Jumat (24/11/2023). Daerah utara merupakan medan pertempuran utama Israel dengan Hamas. Pasukan Israel telah mengancam akan menyerang siapa pun warga Gaza yang kembali ke utara selama gencatan senjata berlangsung. Hal itu pun benar-benar dilakukan ketika warga Gaza berusaha kembali ke kampung halamannya. Dalam sebuah video Aljazirah, tampak ribuan warga Gaza berlarian menghindari tembakan peringatan yang dilakukan oleh tentara Israel. Tentara Israel menembak untuk memblokir warga yang mengungsi dari selatan kembali ke rumahnya di utara Gaza. Sedikitnya tujuh orang terluka akibat tembakan tersebut. Video shows forcibly displaced Palestinians fleeing as Israeli forces opened fire to stop them returning to northern Gaza during the temporary truce. Menurut PBB, sekitar 1,7 juta dari 2,4 juta penduduk Gaza telah mengungsi selama hampir 50 hari agresi Israel ke wilayah tersebut. Israel telah menyatakan bahwa gencatan senjata selama empat hari dengan Hamas hanya bersifat sementara. Hal itu mengisyaratkan bahwa Israel akan melanjutkan perangnya di Gaza. Selama masa gencatan senjata, Hamas akan membebaskan 50 warga Israel yang mereka sandera sejak 7 Oktober 2023. Sebagai balasannya, Israel juga akan membebaskan 39 warga Palestina yang mendekam di penjara-penjara Israel. Sejak melancarkan agresinya pada 7 Oktober 2023, serangan Israel telah membunuh lebih dari 14.500 warga Gaza. Mereka termasuk 6.000 anak-anak dan 4.000 perempuan. Sementara korban luka telah melampaui 39 ribu orang. (zul/AF) Baca juga :

Read More

Ini Penyebab Benjamin Netanyahu Menunda Gencatan Senjata

Tell Aviv — 1miliarsantri.net : Israel dan Hamas telah menyepakati adanya gencatan senjata selama empat hari. Kabinet Israel mendukung kesepakatan tersebut setelah pembicaraan yang dimediasi Qatar berlanjut hingga Rabu (22/11/2023) dini hari lalu. Media Israel melaporkan terjadi perdebatan sengit antarmenteri di pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pada akhirnya, hanya tiga dari 38 anggota kabinet yang memberikan suara menentang gencatan senjata, yaitu Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan dua anggota partai politik sayap kanan lainnya. Gencatan senjata ini sudah beberapa kali dibahas tetapi selalu ditolak Israel. Hamas menuding Israel sengaja terus menerus menunda pembahasan gencatan senjata tersebut. Lalu apa yang membuat Netanyahu berubah pikiran? Netanyahu diduga mendapatkan tekanan dari keluarga sandera. Terlebih lagi beberapa laporan yang dikonfirmasi Hamas menyebutkan bahwa sandera tewas bukan karena perlakuan para pejuang Palestina melainkan pengeboman Israel yang tak berhenti. Hamas bahkan sempat merilis video yang menunjukkan dua sandera dibawa ke RS Al Shifa untuk mendapatkan perawatan. Namun, mereka tewas saat pengeboman terjadi. “Keputusan yang sulit, tapi merupakan keputusan yang tepat,” ujar PM Israel, Benjamin Netanyahu kepada para menterinya, dikutip laman Al Arabiya. Media Israel membeberkan rincian perjanjian gencatan senjata. Menurut laporan stasiun televisi Channel 12, kesepakatan tersebut diperkirakan mulai berlaku Kamis atau Jumat pekan ini. Berdasarkan perjanjian yang ditengahi Qatar itu, 50 warga Israel yang ditahan Hamas akan dibebaskan dengan imbalan pembebasan 150 tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel. Kesepakatan itu juga meliputi jeda pertempuran selama empat hari dan masuknya 300 truk berisi bantuan kemanusiaan, termasuk bahan bakar, ke Jalur Gaza. Perjanjian tersebut juga memungkinkan gencatan senjata diperpanjang dan kemungkinan pembebasan anak dan perempuan yang ditahan oleh kedua belah pihak yang lebih banyak. Saluran TV tersebut melaporkan bahwa warga Israel yang akan dibebaskan meliputi 30 anak-anak, 8 ibu, dan 12 perempuan lainnya. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan tiga tahanan Palestina dengan imbalan setiap orang Israel yang dibebaskan. Sementara itu, menurut laporan Channel 13, antara 12 dan 13, sandera Israel akan dibebaskan setiap hari selama empat hari gencatan senjata. Sebanyak 20 sandera Israel lainnya bisa dibebaskan jika gencatan senjata diperpanjang selama dua hari, kata lembaga penyiaran itu. Israel memperkirakan 30 sandera lainnya dibebaskan dari tawanan Hamas. “Tentara Israel akan terus mengendalikan bagian utara Jalur Gaza. Bahan bakar hanya akan diizinkan masuk Gaza selama periode gencatan senjata,” lapor Channel 13. Channel 12 juga melaporkan bahwa 10 sandera Israel akan dibebaskan pada tahap pertama, yang akan diikuti dengan pembebasan kelompok tahanan Palestina yang pertama. “Ini adalah kesepakatan terbaik yang bisa Anda dapatkan saat ini,” demikian laporan saluran televisi tersebut, mengutip seorang pejabat keamanan Israel yang tidak disebutkan namanya. Semua sandera yang akan dibebaskan oleh Hamas adalah yang berkewarganegaraan Israel, kata sumber politik Israel kepada lembaga penyiaran publik KAN. “Jika Hamas melepaskan warga negara asing, itu di luar kesepakatan. Selama periode gencatan senjata, serangan udara akan dihentikan selama enam jam sehari,” tutup sumber tersebut. (zul/AZ) Baca juga :

Read More

Catatan Kelam Jurnalis Peliput Perang Gaza dan Beberapa Bentuk Pembunuhan Terhadap Wartawan

Gaza — 1miliarsantri.net : Dalam unggahan di akun pribadinya, salah satu wartawan Palestina yang kerap mengabarkan kondisi terkini di Gaza, Palestina, menulis pesan mengharukan. Ia berpesan, “Dulu, saya selalu memakai rompi Press dan helm saya. Tapi, akhir-akhir ini saya merasa tidak aman di Gaza, bahkan saat tidur saya merasa tidak aman. Saya berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Saya berharap kita tidak lagi kehilangan jurnalis,” tulisnya via @byplestia. Postingan itu disertai gambar rompi Press berwarna biru muda. Rompi Pers berdarah itu milik wartawan yang menjadi korban pemboman Zionis. Sebagaimana diketahui, Genosida tak hanya membunuh orang dewasa. Tapi juga paramedis, jurnalis, semua yang tak bersenjata, bahkan anak dan bayi-bayi tak berdosa. Genosida di Gaza mencatatkan sejarah kelam bagi dunia Barat. Genosida di Gaza, membuka topeng kemunafikan Barat. Begitu sindir Jubir Brigade Al Qassam, Abu Ubaidah. Meski staf PBB, dokter sampai jurnalis pelbagai media tewas, tapi sampai detik ini tak ada sanksi apapun untuk Israel. Organisasi nonprofit Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York, Amerika Serikat menyebut bertambahnya kematian jumlah jurnalis dan pekerja media yang telah dikonfirmasi tewas di Gaza, menjadi 48 orang sejak 7 Oktober lalu. Namun, hanya selang hari, jumlah itu bertambah lagi menjadi 60 orang. Hal itu terungkap lewat laporan saluran berita Aljazirah yang berbasis di Qatar, pada Minggu (19/11/2023). Kementerian Luar Negeri Palestina menyampaikan lewat media sosial bahwa dua jurnalis Palestina, Sari Mansour dan Hassouneh Salim, telah dimakamkan pada Minggu. Mereka terbunuh dalam serangan udara Israel di kamp pengungsi Bureij yang terletak di bagian tengah Jalur Gaza, sehari sebelumnya. Sementara itu kantor berita resmi Palestina Wafa melaporkan, serangan udara Israel terhadap sebuah rumah di Kota Gaza menyebabkan beberapa warga Palestina gugur, termasuk jurnalis perempuan Alaa’ Taher al-Hasanat. Artinya, jumlah jurnalis tewas bertambah lagi, lebih dari 60 jiwa. Pembunuhan terhadap wartawan di Gaza, seakan menjadi hal biasa. Padahal dalam hukum internasional, wartawan perang yang meliput di area konflik, berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh disakiti. Apalagi dibunuh. Tapi di Gaza, seakan itu semua tak berlaku. Bukan saja jurnalis yang dibunuh, tapi juga keluarga mereka. Beberapa kali dikabarkan, rumah-rumah jurnalis menjadi sasaran pemboman Zionis Israel. Para penjajah itu seakan ingin menutupi kekejian mereka dengan membunuh semua jurnalis yang meliput kondisi realtime di Gaza. Kalau dulu, kita hanya mendapat informasi dari media-media Barat, kini di Gaza berbeda. Para wartawan Palestina di sana, kerap menyiarkan siaran langsung melalui akun pribadinya. Ada pula yang membuat channel Telegram, mengabarkan waktu ke waktu apa yang baru saja terjadi di sana. Publik mendapat kabar terhangat tanpa sensor, langsung dari Gaza. Yang tentu saja, hal itu membuat Zionis Israel kesal. Kebiadaban mereka begitu telanjang di depan mata dunia. Bahkan dampak liputan dan unggahan-unggahan wartawan di Gaza, memantik aksi damai nyaris di seluruh dunia. Beberapa membawa poster berisi foto-foto wartawan Gaza, dan mengapresiasi mereka. Media pro Israel, menjadi bullyan karena kerap kali hanya menyiarakan narasi sesuai keinginan Zionis. Tapi, apa yang dilakukan wartawan di Gaza berbayar mahal. Mereka tak hanya kehilangan nyawa. Tapi juga nyawa keluarganya. Entah sampai kapan pembunuhan wartawan di sana terus terjadi. Entah siapa yang akan melindungi mereka. Entah kapan pula Zionis Israel mendapat sanksi atas segala kebiadabannya. Dulu, dunia sempat dikejutkan atas kabar kematian Caruana Galizia, jurnalis investigatif yang berpulang setelah mobilnya diledakan dalam satu insiden pada Oktober 2017. Ia dikenal kerap membongkar skandal politik dan kejahatan finansial yang dilakukan elit dan politisi. Usai insiden berdarah itu, Perdana Menteri Malta Joseph Muscat mengundurkan diri. Tewasnya Caruana, menambah daftar panjang pembunuhan terhadap jurnalis yang kritis. Meski kasusnya sudah lama, tetapi bukan berarti pembunuhan terhadap wartawan tidak ada. Di Denmark, bahkan seorang jurnalis ditemukan dalam kondisi tubuh dimutilasi. Kim Wall tewas setelah menghilang. Jasadnya ditemukan tanpa kaki, tangan dan kepala. Pembunuhan terhadap Caruana dan Wall, masih kalah mengerikan dibanding yang dialami jurnalis investigatif di Meksiko. Pada Maret 2017, di bulan itu pula empat jurnalis dibunuh. Sepanjang rentang 2000-2016, sedikitnya 99 jurnalis Meksiko tewas dibunuh. Bahkan, pembunuhan yang marak itu sampai menyebabkan surat kabar Norte, tutup. Media yang telah berdiri selama 27 tahun itu terpaksa ditutup lantatan awak medianya banyak yang dibunuh. Pembunuhan terakhir sebelum media itu ditutup, menimpa jurnalis Norte, bernama: Miroslava Breach. Ia tewas setelah ditembak delapan peluru saat berkendara. Usai tewas, ditemukan surat dalam kendaraan Breach. Sejak tahun 2000 sampai 2021, tercatat sedikitnya 150 kasus pembunuhan wartawan terjadi di Meksiko. Catatan hitam itu menunjukkan aksi pembunuhan wartawan terus berlanjut. Meksiko bisa dibilang menjadi negara terbesar dalam kasus pembunuhan terhadap jurnalis. Para wartawan di sana kerap menjadi sasaran aksi kekerasan kartel narkoba Meksiko, yang berusaha mengintimidasi dan memanipulasi liputan soal aktivitas dan saingan mereka. Bahkan impunitas dalam pembunuhan itu mencakup lebih 90% kasus. (zul/AZ) Baca juga :

Read More

Israel Masih Mengepung Beberapa RS di Gaza, Termasuk RS Indonesia

Gaza — 1miliarsantri.net : Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak agar pemerintah dan warga global untuk tidak diam atas serangan-serangan zionis Israel ke fasilitas kesehatan di Gaza. Israel kembali melakukan serangan dan pengepungan ke rumah sakit, Rumah Sakit Indonesia yang juga menjadi target setelah sebelumnya Rumah Sakit al-Shifa. “Dunia tidak boleh tinggal diam ketika rumah sakit-rumah sakit ini, yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang aman, berubah menjadi tempat kematian, kehancuran, dan keputusasaan,” ujar pernyataan badan kesehatan PBB itu pada Rabu (22/11/2023). WHO mengingatkan kepada pihak-pihak yang berkonflik mengenai kewajiban untuk mengikuti aturan berdasarkan Hukum Humaniter Internasional. Mereka seharusnya menghormati kenetralan, dan secara aktif melindungi fasilitas kesehatan. “Pelayanan kesehatan bukanlah sebuah target,” kata WHO. WHO pun mengaku terkejutkan dengan serangan terhadap Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara. Peristiwa itu dikabarkan membunuh sedikitnya 12 orang termasuk pasien dan pendampingnya yang berada di rumah sakit tersebut. Terdapat banyak serangan yang terus menerus terhadap fasilitas kesehatan dalam enam minggu terakhir. Serangan itu mengakibatkan evakuasi massal secara paksa dari rumah sakit. Banyak korban jiwa serta korban jiwa di antara pasien, pendamping, dan mereka yang mencari perlindungan di rumah sakit. Rumah Sakit Indonesia dilaporkan mengalami kerusakan akibat setidaknya lima serangan sejak 7 Oktober. Menurut laporan yang diterima WHO, puluhan orang terluka dalam serangan itu, termasuk beberapa orang yang mengalami luka kritis dan mengancam jiwa. “Petugas kesehatan dan warga sipil tidak boleh mengalami kengerian seperti itu ingin, terutama saat berada di dalam rumah sakit,” kata keterangan WHO. Kabar terkini, menurut WHO, RS Indonesia terus dikepung. Tidak ada seorang pun yang diizinkan masuk atau keluar rumah sakit dengan laporan penembakan terhadap mereka yang mencoba keluar. Kondisi ini memperburuk kondisi rumah sakit tersebut. Rumah sakit Indonesia sama seperti rumah sakit lainnya di Gaza utara dan Gaza City yang mengalami pemadaman listrik sejak generator utama dan sekunder berhenti berfungsi beberapa minggu lalu karena kekurangan bahan bakar. Kapasitas tempat tidur rumah sakit di Gaza telah turun dari 3.500 tempat tidur sebelum 7 Oktober menjadi 1.400 tempat tidur. Dampak ini akibat dari serangan-serangan dan kekurangan bahan bakar, obat-obatan, dan air bersih, serta sumber daya penting lainnya. “Meninggalkan kesenjangan yang sangat besar bagi pasien yang mengalami cedera dan penyakit lainnya yang memerlukan rawat inap,” ujar WHO. WHO mencatat, terdapat 335 serangan terhadap layanan kesehatan di wilayah pendudukan Palestina sejak 7 Oktober, termasuk 164 serangan di Jalur Gaza dan 171 serangan di Tepi Barat. Terdapat juga 33 serangan terhadap fasilitas kesehatan Israel pada 7 Oktober. (dwi/AZ) Baca juga :

Read More

Semua Bukti Jelas Memperlihatkan dan Israel Akui Telah Membunuh Rakyatnya Sendiri pada Festival Musik 7 Oktober

Tel Aviv — 1miliarsantri.net : Pasukan zionis Israel terbukti telah membunuh beberapa warganya sendiri saat berlangsung nya festival musik yang dihadiri ribuan warga Israel pada 7 Oktober. Hal tersebut dinyatakan menurut penyelidikan polisi Israel yang menyelidiki festival musik Nova di dekat perbatasan Gaza, Haaretz, Selasa (21/11/2023). Dengan kata lain, Israel telah berbohong dan telah menggunakan serangan kejutan 7 Oktober oleh Hamas sebagai alasan untuk melanjutkan pengeboman tanpa henti di daerah Gaza, yang sejauh ini telah merenggut nyawa sekitar 13.300 warga Gaza, Palestina. Laporan menyebutkan, sebuah helikopter tempur Israel dikirim dari pangkalan Ramat David untuk menargetkan para pejuang Hamas yang telah menyeberangi perbatasan dari Gaza ke Israel. Helikopter ini menjalankan misi Operasi Badai Al Aqsa yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana menewaskan total 364 orang warga Israel. Namun, sebuah sumber kepolisian kini telah mengkonfirmasi bahwa helikopter tersebut juga menembaki dan menewaskan beberapa pemukim Israel yang menghadiri festival musik tersebut. Pengakuan ini menandai pengakuan pertama bahwa pasukan pendudukan Israel (IOF) bertanggung jawab atas sebagian kematian di festival tersebut. Sebelumnya militer Israel telah menentang tuduhan itu, dan menyebut semua kematian korban adalah akibat dari pembunuhan yang disengaja yang didalangi oleh kelompok Hamas. Sedangkan laporan-laporan sebelumnya di media Israel telah mengisyaratkan bahwa pasukan Israel yang telah menyebabkan jatuhnya korban sipil warga Israel yang berada di dekat perbatasan Gaza. Di Be’eri, sebuah pemukiman yang dekat dengan perbatasan, pasukan Israel membunuh warga sipil Israel dan pejuang Hamas dengan peluru tank ketika mereka menanggapi serangan Hamas. Skenario serupa terjadi di Sderot, di mana para pejuang Hamas menguasai kantor polisi setempat dan mendorong pasukan Israel untuk menembakkan peluru tank, yang mengakibatkan beberapa korban di kedua belah pihak. Haaretz juga melaporkan “penilaian yang berkembang di pihak keamanan” bahwa para pejuang yang menargetkan festival tersebut “tidak mengetahui sebelumnya tentang festival Nova yang diadakan di dekat Kibbutz Re’im. Dan pihak Hamas baru memutuskan untuk datang ke tempat itu setelah mengetahui bahwa sebuah acara massal sedang berlangsung di sana.” Sedangkan pejabat keamanan senior Israel percaya bahwa para pejuang Hamas mengetahui keberadaan festival tersebut melalui pesawat tanpa awak dan mengarahkan para pejuangnya ke lokasi dengan menggunakan sistem komunikasi mereka, menurut Haaretz. Sebuah video dari kamera tubuh seorang pejuang Hamas yang tertangkap mendukung penilaian sebelumnya, karena ia terdengar bertanya kepada seorang warga Israel yang tertangkap untuk meminta petunjuk arah untuk mencapai festival tersebut. Sedangkan unsur yang mendukung teori bahwa Hamas sudah mengetahui festival ini adalah bahwa para pejuang Hamas pertama tiba di festival Nova dari arah jalan 232, bukan dari arah pagar perbatasan Gaza, seperti yang diasumsikan sebelumnya. Penyelidikan atas insiden festival Nova telah meninggalkan ketidakpastian tentang rincian korban yang tepat antara yang disebabkan oleh Hamas dan yang disebabkan oleh tentara Israel sendiri. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang penolakan pasukan Israel untuk bernegosiasi dalam pembebasan tawanan, yang menambah kerumitan tentang pihak mana yang bertanggung jawab atas kematian pada tanggal 7 Oktober. Awalnya, Israel mengklaim bahwa Hamas membunuh 1.400 warga Israel selama serangan 7 Oktober, kemudian merevisi jumlah tersebut menjadi 1.200 orang. Juru bicara Israel, Mark Regev, mengakui adanya kesalahan, dengan menyatakan bahwa 200 korban yang diduga adalah pejuang Hamas atau warga Palestina yang pada awalnya diasumsikan sebagai warga Israel karena luka bakar yang parah. Dalam sebuah wawancara dengan MSNBC baru-baru ini, Regev mengatakan, “Kami membuat kesalahan. Sebenarnya ada mayat-mayat yang terbakar sangat parah sehingga kami mengira itu adalah mayat kami, namun pada akhirnya ternyata mereka adalah Hamas.” Rezim Israel telah menggunakan serangan 7 Oktober oleh Hamas sebagai alasan untuk melanjutkan pemboman tanpa henti di daerah kantong Gaza, yang sejauh ini telah merenggut nyawa setidaknya 13.300 warga Palestina, termasuk 5000an anak-anak. Sebanyak 26 dari 35 rumah sakit di Gaza tidak lagi beroperasi karena kerusakan akibat serangan udara Israel atau kekurangan bahan bakar. Rumah sakit yang tersisa “beroperasi dengan kapasitas melebihi maksimum”, Wafa melaporkan. Menteri Kesehatan Palestina Mai Alkaila mengatakan bahwa Israel “melakukan genosida terhadap seluruh sistem perawatan kesehatan di Jalur Gaza, termasuk rumah sakit, dokter, dan pasien.” “Di manakah sikap para dokter dan tenaga kesehatan profesional di seluruh dunia terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap rekan-rekan mereka di sektor kesehatan Palestina di Gaza dan Tepi Barat? Mereka dulunya adalah rekan-rekan Anda di Amerika Serikat, Eropa, Rusia, dan negara-negara Arab,” ujar Alkaila dalam sebuah konferensi pers di Ramallah. Pada hari Sabtu (18/11/2023), tentara Israel memberikan waktu satu jam kepada ratusan pasien di rumah sakit Al Shifa untuk mengungsi. Sumber-sumber medis mengatakan kepada Wafa bahwa 150 pasien yang sakit kritis, lebih dari 30 bayi prematur, dan lima dokter masih berada di rumah sakit karena ketidakmampuan mereka untuk bergerak. Empat dari 39 bayi yang berada di dalam inkubator meninggal pekan lalu setelah rumah sakit kehabisan oksigen dan listrik akibat pengepungan Israel di Gaza. Beruntung 20 bayi prematur yang masih selamat akhirnya berhasil dikeluarkan dari jalur Gaza dan kini sebagian mendapat perawatan di wilayah Mesir. (zul/AZ)

Read More

Menebang Pohon dan Mencari Kayu Bakar Menjadi Alternatif Bertahan Hidup Para Warga Jalur Gaza

Gaza — 1miliarsantri.net : Meski saat ini hampir sebagian besar warga Jalur Gaza berada dalam ancaman zionis Israel, namun tak menyurutkan warga Jalur Gaza untuk memiliki kreativitas dalam menghadapi situasi sulit seperti yang terjadi. Mereka memiliki ribuan cara untuk bertahan hidup meski zionis Israel memberlakukan blokade total. Lumrah melihat pemuda, anak-anak, bahkan orang tua berkeliaran di jalanan untuk mencari kayu bakar. Memanfaatkan kayu bakar hanyalah satu cara dari ribuan cara warga Gaza bertahan hidup. Tapi yang pasti, mereka tidak pernah mengeluh. Di dalam pemakaman tua Ansar di kota Deir al-Balah, puluhan pemuda berpindah dari satu pohon ke pohon lain sambil membawa kapak dan gergaji, dengan tujuan menebang sebanyak mungkin cabang pohon tua. Mereka mencari pohon tua yang sudah mati lalu ditebang menggunakan kapak atau geregaji. Hal itu terpaksa dilakukan untuk kebutuhan memasak roti. Sejak dini hari, banyak warga Gaza berkeliaran di jalan mencari kayu dan dedaunan kering untuk digunakan memasak roti. Abdullah Abu Khalil misalnya, ketika sedang menebang batang pohon dengan kapak, dia datang dari kamp Nuseirat ke pemakaman di Deir al-Balah ini. Dia menempuh jarak lebih dari 10 kilometer dengan sepeda untuk mengumpulkan kayu bakar dan menebang pohon. Pekerjaan Abu Khalil bisa dianggap mengandung banyak risiko. “Saya jatuh dari pohon dan terkena risiko patah. Pekerjaan kami juga sangat melelahkan, dan kami juga terkena pemboman Israel saat bekerja. Kami menebang pohon untuk menyalakan api, memasak roti, membuat teh dan makan, berbuka puasa, dan makan siang,” ungkapnya. Pasca pengeboman terus menerus yang dilakukan zionis Israel secara otomatis membuat mayoritas toko roti sudah tutup dan sulit membeli dari sedikit toko roti yang buka karena padatnya orang. Hal itu akhirnya memaksa sebagian besar warga terpaksa harus membeli tepung dan membuat roti dengan menggunakan kayu bakar. “Jika kami tidak datang untuk mendapatkan kayu bakar, kami akan mati kelaparan. Kami Ingin Memberi Makan Anak-anak kami,” tutunya. Di sisi barat kuburan yang sama, pemuda Muhammad Abu Halawa, yang berasal dari kamp Al-Maghazi (sebelah timur kota Deir Al-Balah), sedang menebang pohon. “Kami mencari kebutuhan hidup, yaitu gas, listrik, dan air, dan semuanya hilang karena perang. Kami datang ke pekuburan atau tempat mana pun yang terdapat kayu. Orang-orang biasa berteduh di bawah pohon. Kami mengorbankan pohon agar kami dapat hidup dan anak-anak kami dapat hidup. Kami mencari makanan untuk anak-anak kami. Kami tidak mempunyai kebutuhan hidup apa pun,” ujarnya. Di dalam kebun anggur, sebelah barat kamp Nuseirat di Jalur Gaza tengah, pemuda tersebut, Abdul Hadi Al-Najri, sedang mencari sisa-sisa pohon kering untuk dikumpulkan di gerobak yang ditarik oleh seekor keledai. “Kami telah mencapai tahap mengumpulkan kayu bakar dari jalanan, dan Tuhan mencukupi kami bagi siapa pun yang membawa kami ke tahap ini, tapi syukurlah kami menemukan kayu bakar untuk dimasak dan dipanggang sehingga kami bisa makan. Kami lebih baik dari yang lain. Orang lain tidak dapat menemukan kayu bakar dan terpaksa membelinya. Ini sangat sulit. Masyarakat tidak punya uang karena perang ini, dan kami juga membutuhkan kayu bakar dalam jumlah besar setiap hari,” ujar Al-Najri. Berbeda dengan Bassem al-Taweel, seorang warga dari kota Deir al-Balah, dia mengumpulkan kayu dan memotongnya menjadi potongan-potongan kecil untuk membantu orang. Bassem bersama putranya menebang dahan pohon dan meletakkan di depan rumah secara sukarela, dengan tujuan untuk menyediakan kayu bakar bagi warga yang membutuhkan. “Kami memecahkan kayu bakar, membantu orang memecahkannya, dan mengirimkannya kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengamankan situasi mereka karena kekurangan gas dan listrik. Tidak ada alternatif selain kayu dan kayu bakar, dan ada banyak orang yang membutuhkan, dan kami berdiri bersama mereka dalam keadaan sulit ini dengan menyediakan sedikit kayu bakar. Saya bekerja sebagai sukarelawan,” ungkap Bassem. (zul/AZ) Baca juga :

Read More

Beberapa Rumah Sakit yang Menjadi Sasaran Target Zionis Israel

Gaza — 1miliarsantri.net : Serangan militer Israel di Gaza, Palestina menargetkan fasilitas umum, tak terkecuali rumah sakit. Sejumlah rumah sakit di Gaza dilaporkan kolaps akibat serangan zionis Israel dan menyebabkan pasokan bahan bakar yang menipis. Salah satu nya adalah Rumah Sakit Al-Shifa, pusat medis terbesar di Gaza ini pun tak luput dari serangan zionis Israel. Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan bahwa buldoser dan tank Israel telah menyerbu kompleks medis tersebut dari pintu barat. Sementara itu, Direktur Jenderal Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, serangan militer Israel ke RS Al-Shifa sama sekali tidak dibenarkan. Ia menegaskan, rumah sakit bukanlah medan pertempuran. “Rumah sakit bukanlah medan pertempuran. Kami sangat khawatir dengan keselamatan staf dan pasien. Melindungi mereka adalah hal yang terpenting,” ungkap Tedro pada konferensi pers di Jenewa. Dia menyatakan, WHO telah kehilangan kontak dengan petugas kesehatan di RS Al-Shifa. Baginya, fasilitas kesehatan, petugas kesehatan, ambulans dan pasien harus dijaga dan dilindungi tidak hanya dari segala tindakan perang, tetapi juga selama perencanaan militer. Berikut beberapa kondisi RS di Gaza yang kolaps imbas dari serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 RS Al-ShifaSerangan udara dan kurangnya pasokan medis, makanan, air bersih, dan bahan bakar telah mengganggu sistem kesehatan di Gaza. Rumah sakit telah beroperasi jauh melebihi kapasitasnya, lantaran melonjaknya jumlah pasien serta pengungsi warga sipil yang mencari perlindungan. Al-Shifa, rumah sakit dengan kapasitas 700 tempat tidur itu telah berada di bawah kepungan Israel selama sepekan terakhir, sejak Kamis (9/11/2023). Dilansir WAFA, Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan bahwa buldoser dan tank Israel telah menyerbu kompleks medis tersebut dari pintu barat. WHO bahkan mengatakan, pihaknya telah kehilangan kontak dengan petugas di RS Al-Shifa selama tiga hari terakhir. WHO belum menerima informasi terkini mengenai jumlah kematian atau cedera di Gaza sehingga mempersulit mereka untuk mengevaluasi fungsi sistem kesehatan. Setidaknya terdapat 2.300 orang yang masih berada di dalam rumah sakit, sekitar 650 pasien, 200-500 staf dan sekitar 1.500 orang yang berlindung. RS Indonesia RS Indonesia yang terletak di Beit Lahiya, Gaza Utara lumpuh setelah pasokan bahan bakar dan persediaan obat-obatan habis. Direktur RS Indonesia Atef al-Kahlot mengatakan, rumah sakit dengan 110 tempat tidur itu hanya beroperasi pada 30-40 persen dari kapasitasnya. Ia kemudian meminta bantuan komunitas internasional. “Kami menyerukan kepada orang-orang terhormat di dunia, jika ada di antara mereka yang masih tersisa, untuk memberikan tekanan pada pasukan pendudukan untuk memasok Rumah Sakit Indonesia dan rumah sakit lainnya di Jalur Gaza,” katanya. Sementara itu, dalam laporan MER-C, Israel kembali membombardir area sekitar RS Indonesia, pada Selasa (14/11/2023) malam, waktu setempat. Lebih dari 3.000 warga Palestina mengungsi ke rumah sakit tersebut. RS Al-QudsRS Al-Quds juga terkena imbas dari perang Israel di Gaza. Menurut Organisasi Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS), pertempuran berlangsung di dekat RS Al-Quds ketika sedang dilakukan upaya untuk mengevakuasi pasien dari rumah sakit terbesar kedua di wilayah itu. RS Al-Quds telah berjuang untuk merawat pasien, dengan akses terhadap obat-obatan, makanan dan air yang terbatas. Mereka menutup pintunya untuk pasien baru pada Ahad (12/11/2023). “Rumah sakit dibiarkan mengurus dirinya sendiri di bawah pemboman Israel yang terus-menerus, sehingga menimbulkan risiko besar bagi staf medis, pasien, dan warga sipil yang kehilangan tempat tinggal,” kata PRCS dalam sebuah pernyataan, dikutip Al Jazeera. PRCS, yang mengelola RS Al-Quds sejak 2001, meminta pertanggungjawaban komunitas internasional dan penandatangan Konvensi Jenewa Keempat atas kehancuran total sistem pelayanan kesehatan di Gaza dan krisis kemanusiaan yang mengerikan yang diakibatkannya. Rumah sakit lainnya di Gaza Utara Beberapa rumah sakit di wilayah Gaza Utara seperti RS Anak Al-Nasr dan RS Khusus Anak Al-Rantisi tidak dapat lagi berfungsi tanpa akses terhadap bantuan medis. Mereka juga berada di bawah serangan Israel. Pada Jumat (10/11/2023), puluhan pasien anak dan orang tua dievakuasi dari RS Al-Rantisi ke rumah sakit di negara tetangga, Mesir dan Yordania. Menurut PBB, masih belum jelas apa yang terjadi pada 30 anak yang masih dirawat di RS Al-Nasr. Rumah sakit anak-anak lainnya, RS Kamal Adwan di Gaza Utara juga menghentikan operasinya setelah generator utamanya kehabisan bahan bakar,” terang Direktur Rumah Sakit Ahmed al-Kahlout. Sementara itu, RS Al-Awda telah kehabisan bahan bakar. RS Persahabatan Turki-Palestina, yang dikelola oleh Universitas Islam Gaza berhenti beroperasi pada Senin (30/10/2023) setelah serangan udara, lalu kehabisan bahan bakar dan obat-obatan. (zul/AZ) Baca juga :

Read More

Iran Tegaskan Tidak Mau Ikut Terlibat Perang Gaza

Teheran — 1miliarsantri.net : Pemerintah Iran menegaskan bahwa eskalasi regional bukanlah prioritasnya. Karenanya mereka tidak akan ikut berperang di Gaza. Iran telah mengatakan kepada Amerika Serikat (AS) bahwa mereka tidak ingin konflik antara Israel dan Hamas menyebar. Tetapi serangan Israel lebih lanjut di Gaza dapat memicu konflik regional. “Selama 40 hari terakhir, pesan-pesan telah dipertukarkan antara Iran dan AS, melalui kedutaan besar Swiss di Teheran,” terang Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian dalam sebuah wawancara dengan Financial Times, Jumat (17/11/2023). Menurutnya, kejahatan terhadap rakyat Gaza dan Tepi Barat jika tidak dihentikan, segala kemungkinan dapat dipertimbangkan, dan konflik yang lebih luas dapat menjadi tidak terelakkan. Iran selalu mengatakan bahwa mereka tidak diberitahu tentang serangan 7 Oktober terhadap Israel, sesuatu yang juga disetujui oleh Washington. Amirabdollahian juga menolak gagasan bahwa Iran mengendalikan kelompok-kelompok regional seperti Hamas, Hizbullah di Lebanon, atau Houthi di Yaman. Masing-masing kelompok ini memiliki identitas politiknya sendiri yang berakar di negaranya, tetapi ia memperingatkan bahwa Iran “tidak acuh terhadap pembunuhan terhadap rekan-rekan Muslim dan Arab mereka di Palestina”. Amirabdollahian menepis bahwa AS telah mengancam Iran dengan serangan jika Hizbullah melancarkan serangan terhadap Israel. Sebaliknya, ia memperingatkan bahwa Washington menambah bahan bakar ke dalam api regional sambil meminta Iran “untuk menahan diri”. Amirabdollahian menambahkan bahwa ancaman Amerika terhadap Hizbullah tidak akan berhasil dan kelompok Lebanon itu akan membuat keputusan sendiri. “Para pejabat militer kami berpendapat bahwa pengerahan kapal induk AS di dekat wilayah kami, yang membuat mereka dapat diakses, bukanlah sebuah keuntungan bagi AS. Sebaliknya, hal itu membuat mereka lebih rentan terhadap kemungkinan serangan. Fakta bahwa tentara Houthi Yaman menyerang wilayah Palestina yang diduduki Israel dengan rudal dan pesawat tak berawak berarti perang telah mulai meluas. Fakta bahwa Hizbullah bertempur dengan sepertiga tentara Israel menunjukkan bahwa perang telah meluas,” ungkapnya. Menurut sebuah laporan dari Reuters minggu ini, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan kepada pemimpin Hamas Ismail Haniyeh pada awal bulan ini bahwa Teheran tidak akan ikut berperang melawan Israel. Mengutip “tiga pejabat senior,” Reuters melaporkan bahwa Iran hanya akan memberikan dukungan politik dan bukannya “melakukan intervensi secara langsung”. Reuters menambahkan bahwa Khamenei mengatakan kepada Haniyeh bahwa ia harus “membungkam suara-suara” di dalam kelompok yang ingin membawa Iran dan Hizbullah ke dalam pertempuran di Gaza dengan kekuatan penuh. Sejauh ini, Iran dan sekutunya di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman telah memberikan dukungan yang tidak terlalu besar, tanpa sepenuhnya terlibat dalam perang. (yon/REU) Baca juga :

Read More