Tata Taufik : Tak Mudah Mengajak Pesantren Ikut Program Muadalah

Jakarta — 1miliarsantri.net : Presiden Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia (P2I) KH M Tata Taufik, mengatakan masih ada beberapa kendala dan evaluasi dalam pengembangan program pesantren muadalah. Namun beberapa kendala yang ditemui masih dalam tahap wajar dan dapat dimaklumi. Salah satunya terkait dengan birokrasi pemerintahan. Misalnya pada saat melakukan sosialiasi mengenai muadalah terinformasi dengan baik oleh pihak Kemenag di kabupaten/kota tapi tidak beberapa lama kemudian ada pergantian pejabat. Sehingga pihak Kemenag Kabupaten tersebut bakal bertanya lagi terkait dengan muadalah. Tentu saja meski bukan kendala berarti tapi cukup memakan waktu untuk kembali mensosialisasikan pesantren muadalah. “Jadi mereka akan mempertanyakan hal baru lagi, makhluk apa Muadalah dan seterusnya, Baru mereka studi tentang aturan-aturannya dan ini memakan waktu yang agak lama untuk bisa memahami,” ungkap Tata Taufik. Tata Taufik menambahkan, mengenai kendala teknis, seperti persyaratan-persyaratan yang harus disiapkan. Mulai dari badan hukum, rekomendasi-rekomendasi dari kantor urusan agama (KUA) dan lain sebagainya san untungnya semuanya bersifat online. Sementara animo atau keinginan pesantren untuk muadalah sangat tinggi. Bisa juga kendala berikutnya, karena berbagai kesibukan dari pemerintah misalnya. “Tapi saya pikir itu bukan kendala yang berarti. Karena itu kan wajar dalam sebuah birokrasi seperti itu,” kata Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash tersebut. Kendati demikian, kata Tata Taufik, semangat dan keyakinan daripada para pesantren untuk memuadalahkan tetap harus dijawab. Sebab hal itu merupakan hak dari para pesantren untuk memilih model pendidikan yang ingin dikembangkannya. Hanya saja memang belum semua pihak memahami atau mengetahuinya. Sehingga diperlukan kerja keras, karena sebagai entitas baru tentu butuh perjuangan untuk sosialisasi. Selain itu, menurut Tata Taufik, evaluasi yang harus dilakukan adalah percepatan proses. Karena misi P2i maupun di organisasi kepesantrenan adalah mengangkat model pendidikan pesantren sebagai model pendidikan yang memang asli Indonesia. Terlepas dari kritikan dan lain sebagainya, model pendidikan pesantren ternyata diakui memiliki keunggulan. Terutama di era kemajuan digital dan gawai sangat mudah didapatkan seperti saat ini. “Di era digital ini kan dengan pesantren itu bisa membuat semacam diet lah. Kalau lagi liburan kan mereka punya kesempatan untuk itu (bermain gawai) tapi ketika mereka di pesantren lagi mereka tidak. Di beberapa pesantren dan di mayoritas pesantren tidak mengizinkan penggunaan gedget,” jelas Tata Taufik. Saat ini sudah ada 254 pondok pesantren yang telah mengikuti program muadalah. Namun angka tersebut, kata Tata Taufik, masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah seluruh pesantren yang tersebar tanah air berkisar 30 ribu pondok pesantren. Dari 254 pondok pesantren sebanyak 75 diantaranya adalah pesantren muadalah dengan pola muallimin dan sisanya adalah pesantren berbasis Salafiyah. (ifa)

Read More

Provinsi Jawa Tengah Raih Juara Umum MQKN 2023

Lamongan — 1miliarsantri.net : Perhelatan acara Musabaqah Qira’atil Kutub Nasional (MQKN) 2023 telah selesai dilaksanakan di Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Jawa Timur. Propinsi Jawa Tengah meraih Juara Umum dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, M. Ali Ramdhani dalam siaran pers yang diterima 1miliarsantri.net, Senin malam (17/07/2023). Kafilah Provinsi Jawa Tengah berhasil menyabet Juara Umum MQKN 2023 dengan memboyong 40 predikat juara. Terdiri dari perolehan juara 1 sebanyak 21 piala, juara 2 sebanyak tiga piala, juara 3 sebanyak sembilan piala, dan juara harapan sebanyak tujuh piala. “Perlu kami laporkan, dewan hakim MQKN menetapkan juara umum MQKN 2023 adalah Provinsi Jawa Tengah. Disusul Jawa Timur di posisi kedua dan Jawa Barat di posisi ketiga,” jelas Ali Ramdhani. Secara berurut, peringkat 10 besar adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra Utara, Aceh, Sumatra Barat, Yogyakarta, Riau, Lampung, dan Sumatra Selatan. Juara umum kafilah Ma’had Ali adalah kafilah Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang, Jawa Timur. Disusul berikutnya, Pesantren Al Munawaroh Kota Pekan Baru, Riau, dan juara ketiga Ma’had Ali Sengkang Wajo, Sulawesi Selatan. Ali juga melaporkan, berdasarkan rekapitulasi MQKN, terdapat tiga pesantren yang mendapat juara 1 terbanyak, yaitu Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, Kediri, Jatim; Pesantren Raudhatul Ulum, Pati, Jawa Tengah; dan Pesantren Darul Ulum, Amsilati Pati Jepara, Jateng. “Santri putra dan putri yang memperoleh juara satu masing-masing berjumlah 26 orang. “Ini menandakan antara ulama laki-laki dan perempuan sama-sama hebatnya,” sambung Ali. Hadir dalam malam penutupan MQKN 2023, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Wamenag Saiful Rahmat Dasuki, Pimpinan Ponpes Sunan Drajat Lamongan, para staf khusus dan staf ahli Menag, serta para kiai pimpinan pondok pesantren seluruh Indonesia. Saat membacakan sambutan, Menteri Agama, Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengatakan salah satu kekhasan pesantren yang tidak dimiliki oleh entitas pendidikan lainnya adalah tradisi keilmuannya yang kuat dan mengakar dari generasi ke generasi. “Tradisi keilmuan tersebut berupa pengajaran kitab kuning (turats) yang telah lama ada dan hingga kini bertahan di pesantren,” urai Menag. Melalui tradisi pembacaan dan pengkajian kitab kuning seperti itu, doktrin-doktrin dalam kitab kuning yang bersumber dan merujuk Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama, menjadi ruh dan jiwa yang menggerakkan dan mengarahkan kehidupan pesantren. Ia juga mengharapkan perhelatan MQKN mampu memotivasi dan meningkatkan kemampuan santri dalam melakukan kajian dan pendalaman ilmu-ilmu agama Islam. Terutama yang bersumber dari kitab kuning. “Ini bagian dari proses kaderisasi ulama dan tokoh masyarakat di masa depan, serta terjalinnya silaturahmi antarpesantren seluruh Indonesia untuk memperkukuh persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkasnya. (ali)

Read More

Hikmah Tahun Baru Islam, Pesan Dari Ma’la Untuk Umat Dunia

Makkah — 1miliarsantri.net : Sejumlah kiai mengiringi ulama kharismatik KH Abuya Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani berziarah ke pemakaman Ma’la di Makkah, Arab Saudi. Mereka hendak berziarah ke salah satu makam ulama besar nusantara, yakni Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani. Di antara ulama yang mengiringi KH Abuya Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftah Faqih. Kiai Miftah mengingatkan kembali pesan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab yang ditulisnya. Kiai Miftah mengatakan, guru-guru spiritual dan keilmuan serta hampir semua ulama Nusantara mempunyai hubungan keilmuan dengan Syekh Nawawi al-Bantani. Mereka bertemu dengan Syekh Nawawi al-Bantani di Tanah Suci dan di Banten. Namun, memang lebih banyak ulama yang bertemu di Tanah Suci. “Dengan demikian kita patut bangga, dan kita harus menggali betul pikiran cerdas beliau (Syekh Nawawi al-Bantani) seperti di dalam kitab Nashaihul Ibad itu,” kata Kiai Miftah saat kepada media di pemakaman Ma’la, Makkah, Senin (17/07/2023). Kiai Miftah menjelaskan, kitab Nashaihul Ibad yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani pada halaman pertamanya langsung menyampaikan hadis yang disampaikan gurunya. Pada hadis tersebut terdapat pesan kemanusiaan. Hadis yang disampaikannya panjang sekali, singkatnya seperti ini. “Kita ini telanjang, tapi diberi pakaian oleh Allah. Kita ini manusia maka kita tidak boleh menzalimi satu dengan yang lain. Kita berangkat dari satu rahim maka kita harus bersaudara, kita harus menghadirkan ketenteraman bagi yang lain, itu mukadimah kitab Nashaihul Ibad,” terang Kiai Miftah. Kiai Miftah menegaskan, kitab Nashaihul Ibad ini seharusnya menjadi kitab pertama yang harus dikaji oleh para santri di pesantren salaf. Kiai Miftah menambahkan, Syekh Nawawi al-Banteni adalah sosok kiai kharismatik dari Pulau Jawa karena disebut Al Jawi, beliau sudah sangat terkenal di Tanah Suci Makkah. “Tidak ada satu pun pada masanya, orang (ulama) dari Jawa dari Nusantara tidak berguru kepada beliau, maka saat ini kita hanya bisa menziarahi makamnya, mengirim Al-Fatihah, tabarruk kepada beliau, agar gerak langkah kita bersambung dengan yang dilakukan Syekh Nawawi,” ujar Kiai Miftah. Ia menyampaikan, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Maskumambang, dan kiai lainnya juga ada komunikasi ada hubungan murid dengan Syekh Nawawi. Di pemakaman Ma’la, pemakaman tertua di Makkah, sejumlah ulama yang mengiringi Abuya Kiai Haji Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani, termasuk Kiai Miftah, berziarah juga ke makam Siti Khadijah istri dari baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka juga berziarah ke makam KH Maimun Zubair yang akrab disapa akrab dipanggil Mbah Moen. (dul)

Read More

Diantara Deretan Walisongo Yang Dianggap Keturunan Tionghoa

Surabaya — 1miliarsantri.net : Peranan Wali Songo dalam penyebaran Islam di tanah Jawa pada abad 15 dan 16 tercatat dalam sejarah perkembangan Islam Nusantara. Setiap wali dipanggil dengan sebutan sunan, yang berasal kata susuhunan, yaitu sebutan bagi orang yang dihormati. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, gelar Sunan untuk Wali Songo disebabkan para wali itu dianggap memiliki karamah atau kemampuan di luar kelaziman. Dalam menyebarkan agama Islam, para waliyullah yang merupakan kumpulan para ulama tersebut menamakan dirinya Dewan Dakwah yang melakukan pendekatan masyarakat melalui strategi budaya, pernikahan, maupun pendidikan. Berikut nama-nama sembilan wali yang dikenal dan diketahui sebagian besar masyarakat : Dinukil dari buku Prof Hembing Pemenang The Star of Asia Award oleh Siti Nafsiah, empat dari sembilan tokoh Wali Songo masih mempunyai hubungan dengan keturunan Tionghoa, yaitu Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Pengetahuan mengenai beberapa wali dari Wali Songo yang dianggap sebagai orang keturunan Tionghoa juga diungkapkan oleh Profesor Kong Yuanzhi, seorang profesor Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Indonesia Universitas Peking, diantaranya : Menurut Lee Khoon Choy, Sunan Ampel sebenarnya adalah Bong Swee Hoo, yaitu seorang muslim Tionghoa yang menganut mazhab Hanafi yang tiba Indonesia pada tahun 1445. Sunan Ampel tinggal di muara Sungai Brantas, Jawa Timur pada 1447-1451. Kemudian pindah ke Ampel. Sunan Ampel sangat bersahaja dan piawai serta sederhana. la termasuk perintis berdirinya Kerajaan Demak Bintaro. Sunan Ampel juga berjasa dalam mengharumkan nama Glagah Wangi yang kemudian menjadi pusat pengajaran Islam pada masa itu dan ikut memprakarsai pembangunan Masjid Demak bersama Sunan Kalijaga. Menurut S. Wardi dalam bukunya yang diterbitkan oleh surat kabar Wahyu, dituturkan bahwa terdapat seorang Tionghoa yang bernama Oei Tik To yang berputra seorang bupati Tuban yang bernama Wirotikto. Selanjutnya, Wirotikto ini memiliki putra yang bernama Oei Sam lk atau biasa dipanggil dengan nama Said atau kini dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Selain pandai dalam bidang agama Islam, Sunan Kalijaga juga sangat pandai bergaul, baik dengan rakyat jelata maupun kalangan atas dan para pemikir karena memang ia seorang politikus, ahli tasawuf, dan filosof. Berkat perjuangannya bersama para wali yang lain, Islam berhasil disebarkan kepada 75 persen sampai 90 persen masyarakat Jawa. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Dengan demikian, dapat dikatakan Sunan Muria masih memiliki hubungan dengan keturunan Tionghoa. Daerah penyebaran Islam Sunan Muria, yaitu sekitar Gunung Muria, meliputi pantai utara daerah Jepara, Tayu, Pati, Juana, dan Kudus Dakwah yang dilaksanakannya disampaikan secara lunak, terutama kepada rakyat jelata yang dianggap sebagai kaum sudra oleh para kaum ningrat saat itu. Sunan Gunung Jati adalah Tung A Bo yang berayahkan Tung Ka Lo, seorang muslim Tionghoa. Sunan Gunung Jati/Tung A Bo melaksanakan ibadah haji pada tahun 1521. Sunan Gunung Jati berhasil melaksanakan dakwah dengan menaklukkan hati masyarakat Banten, termasuk Adipati Banten. Mereka tertarik untuk masuk Islam antara lain setelah memahami mengenai ajaran jihad yang menjelaskan bahwa yang harus dilawan bukan hanya musuh, tetapi juga hawa nafsu. Data mengenai Wali Songo di atas juga telah dibahas oleh H.J. de Graaf dan kawan-kawan dalam bukunya Chinese Muslims in Java in the 15 and 16″ Centuries, the Malay Annals of Semarang and Cirebon. Meski demikian, masih dibutuhkan pengkajian lebih lanjut untuk mengungkap sejarah yang diketahui memiliki banyak versi. Syiar Islam di Indonesia memang tidak terlepas dari peran para etnis Tionghoa yang telah terjalin pembauran sejak dahulu. Ketika berbicara mengenai penyebaran Islam di Indonesia oleh warga keturunan Tionghoa, pikiran akan tertuju kepada seorang muslim dari China yang menurut sejarah sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Indonesia. Muslim Tionghoa yang dimaksud, yaitu Cheng Ho atau dikenal juga dengan nama Sam Po Kong. Sejarah Islam Indonesia dengan sejarah Cheng Ho demikian terkaitnya meskipun kunjungan muhibah Cheng Ho ke Indonesia telah berlalu hampir enam abad yang lalu. Cheng Ho adalah seorang muslim dari Yunnan yang berayah-ibu haji. Sejak usia 12 tahun Cheng Ho tinggal di Nanjing. Pada masa hidupnya Cheng Ho telah melakukan tujuh kali pelayaran ke berbagai penjuru dunia. Pada kesempatan pelayaran itulah Cheng Ho singgah di Indonesia, salah satunya yaitu di Pulau Jawa, kemudian berdakwah. Pada masa selanjutnya, Cheng Ho disebut-sebut sebagai seorang muslim yang memiliki andil besar dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara. Dalam masa-masa persinggahan, Cheng Ho telah menebarkan benih-benih seni budaya, pendidikan, dan benih-benih persahabatan serta perdamaian. Pada awal abad ke-15 Cheng Ho singgah di Semarang kemudian menyebarkan agama Islam di sekitar daerah Gedong Batu. Pada saat itu, Cheng Ho dibantu oleh seorang pembantu utama yang juga sangat taat terhadap ajaran agama Islam. la mengajarkan penduduk bercocok tanam dan mengembangkan pelayaran niaga pantai sambil mengajarkan ajaran agama Islam. (fq)

Read More

Ini Kenapa Bulan Muharram Dijadikan Sebagai Awal Tahun Baru Hijriah

Jakarta — 1miliarsantri.net : Banyak yang mengira bahwa penetapan bulan Muharram sebagai awal tahun Hijriyah adalah karena peristiwa Hijrah Rasulullah SAW ke Madinah terjadi pada bulan itu. Benarkah demikian? Dikutip dari Buku Bulan Muharram Hukum dan Pelajaran, Perkiraan tersebut keliru, karena Rasulullah SAW memulai perjalanan Hijrahnya pada akhir bulan Shafar dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabi’ul Awal. Akan tetapi memang benar adanya bahwa peristiwa hijrah dijadikan sebagai patokan untuk memulai penanggalan Hijriah, di mana tahun kejadiannya dijadikan sebagai tahun pertama dalam penanggalan hijriah. Maka kalau sekarang dikatakan sebagai tahun 1427 H, hal itu berarti telah berlalu 1427 tahun sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Namun penetapan Muharram sebagai awal bulan dalam tahun Hijriyah adalah karena alasan lain. Ketika dimusyawarahkan pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang bulan apa yang akan dijadikan sebagai bulan pertama dalam penanggalan Hijriah, pada awalnya yang diusulkan adalah bulan Rabi’ul Awal, ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun akhirnya yang disepakati adalah bulan Muharram. Hal ini karena pada bulan ini kaum muslimin telah pulang dari melaksanakan ibadah haji yang merupakan akhir dari rukun Islam yang lima. Di samping itu terkait dengan peristiwa hijrah karena bulan Muharram dianggap sebagai awal dari keinginan Hijrah, mengingat peristiwa Bai’atul Aqabah kedua terjadi pada pertengahan bulan Dzulhijjah, dan karenanya diperkirakan bahwa pada bulan Muharram keinginan untuk melakukan hijrah sudah bulat. Hanya saja secara praktis hal tersebut baru dapat direalisasikan pada bulan Safar. (git)

Read More

Penampakan Nyi Roro Kidul Saat Pengajian Gus Miftah di Lampung

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pimpinan Pondok Ora Aji, Sleman, Miftah Maulana Habiburrahman atau yang akrab disapa Gus Miftah, buka suara terkait video penampakan seorang wanita bermahkota yang sempat diunggah di Instagram pribadinya saat menghadiri acara pengajian di Lampung. “Oh iya mas, kemarin saya pengajian di Lampung ada anak kecil ngerekam di belakang itu ada muncul sosok pakai mahkota. Lha saya bongso klenik itu nggak begitu ngeh lah (macam klenik begitu tidak begitu memperhatikan-Red), karena saya orangnya rasional,” ujar Gus Miftah kepada 1miliarsantri.net, Selasa (18/07/2023). Gus Miftah mengatakan, seorang temannya yang mengetahui perihal tersebut, mengatakan bahwa sosok penampakan itu menyerupai Nyi Roro Kidul. Namun, ia malah bersyukur apabila sosok tersebut ikut mengaji padanya. “Beberapa teman yang memang dunianya seperti itu bilang kayak kanjeng Nyi Roro Kidul, ya saya bilang Alhamdulillah Nyi Roro kidul mau ikut mengaji sama saya,” imbuhnya. Menurutnya, setelah video tersebut tersebar sempat terjadi keributan. Ia mengatakan bahwa video tersebut direkam saat dirinya mengadakan salah satu pengajian di daerah Lampung pada, 15 Juli lalu. “Di Lampung tanggal 15 malam. Itu rame di Lampung geger, kok ada. Itu yang ngerekam anak kecil makanya videonya goyang-goyang, gak fokus,” katanya. Gus Miftah mengaku ia mendapatkan video itu dari salah satu pengurus pondok tempat pengajian tersebut. Ia juga mengaku baru mengalami kejadian tersebut untuk pertama kalinya. “Baru ini pertama kali itu. Saya itu orang rasional, percaya dengan alam ghaib ya percaya saja nggak sampai mendalami atau fokus ke itu. Tahu dari kiai pengasuh ponpes saya dikirimi dibilang: Gus, viral di belakangnya itu ada sosok,” tutupnya. (mif)

Read More

Napak Tilas Makam Sunan Amangkurat 1

Tegal — 1miliarsantri.net : Jika kita nerkunjung ke wisata religi Sunan Amangkurat I di Tegal, terlihat tidak seperti berkunjung ke pemakaman pada umumnya. Wisata religi Sunan Amangkurat I memiliki pesona Islam yang terlihat masih religius. Bukan hanya itu, di dalam wisata religi ini juga menyimpan peninggalan kerajaan mataram. Di area wisata religi ini terlihat rapi dan bersih, bahkan jauh dari kata seram. Dari luar, bangunan ini dikelilingi oleh tembok bata dengan luas sekitar 1,1 Ha. Tempat ini bukanlah lahan biasa, namun di lahan yang diberi nama Tegal Arum tersebut terdapat petilasan dan makam Raja Mataram Sunan Amangkurat I, yang pernah berjasa membangun pemerintahan Mataram serta menyebarkan ajaran Islam hingga ke wilayah Barat. Area makam yang masih mempertahankan bangunan lama dengan pagar dinding dari bata merah masih tertata rapi, bahkan jalan setapak menuju makam telah dipaving. Sehingga nampak bersih dan dibalut pepohonan yang rindang serta hamparan rerumputan, menambah lingkungan tersebut menjadi bersih dan nyaman untuk di kunjungi para peziarah yang datang secara periodik. Bangunan yang tercatat sebagai petilasan Raja-raja Mataram ini dilindungi oleh undang-undang cagar budaya Indonesia yang harus dirawat keberadaannya. Untuk menjaga keaslian tempat tersebut masih mempertahankan pagar dan ornamen bangunan dengan bata merah meski telah mengalami pemugaran pada 1982 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr Daoed Joesuf. Ornamen tersebut dipertahankan karena ada kesamaan ciri khas, seperti di kerajaan Kasultanan Plered, di Cirebon Jawa Barat. Di Plered inilah Sunan Amangkurat I pernah berkuasa. Memasuki kompleks makam raja Mataram ini kita harus melewati tiga pintu, masing masing pintu memiliki makna filosis yang masih bercampur dengan ajaran Kejawen. Pintu pertama dijadikan penanda awal kehidupan manusia dan pintu kedua sebagai perlambang kehidupan selanjutnya. Di pintu kedua ini juga terdapat makam keturunan Sunan Amangkurat dan orang-orang yang pernah dekat dengan Sunan Amangkurat. Di sini banyak ditumbuhi pohon sawo kecil sebagai pertanda kebaikan dari orang-orang yang disemayamkan di tempat tersebut, sedangkan pintu ketiga merupakan pintu pembatas dunia dan akhirat. Pada pintu kamu akan menuju makam utama yang berbentuk bangunan Joglo dengan dinding kayu jati yang kokoh dan terletak di gundukan tanah tinggi yang konon berbau harum. Sedangkan di sekitar makam utama di tanah datar disemayamkan juga Ratu atau isteri pertama Sunan Amangkurat dan dua anak Sunan Amangkurat yaitu Klenting Kuning. Sunan Amangkurat I merupakan putra ke sepuluh dari Sultan Agung yang lahir pada tahun 1619. Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin. Pada tahun 1645 beliau diangkat menjadi Raja mataram menggantikan ayahnya dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi pada tahun 1646, gelarnya menjadi Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Pada masanya, terjadi banyak pemberontakan dan persekongkolan. Sunan Amangkurat I dan beserta istri dan putra – putranya meninggalkan Keraton Mataram menuju kearah Batavia. Dalam pelariannya, Sunan Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Beliau berwasiat untuk dimakamkan di dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan yang kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek. Sultan Agung sendiri merupakan anak kedua dari permaisuri kedua, Raden Ayu Wetan. Sedangkan Sunan Amangkurat atau nama asli beliau yaitu Raden Mas Sayidin dilahirkan pada tahun 1619. Ibunya adalah puteri keturunan Kerajaan Batang yang menjadi permaisuri pertama menggantikan Ratu Emas Tinumpak (Kangjeng Ratu Kulon) . Setelah diusir dari keraton dengan alasan yang tidak diketahui. Raden Mas Sayidin memiliki saudara seibu yang bernama Raden Mas Alit. Ketika diangkat sebagai putera mahkota Raden Mas Sayidin secara resmi diberi nama Pangeran Aria Mataram. Sejak umur 5 – 15 Tahun (1624-1634) Sunan Amangkurat I pada masa awal pemerintahannya memang dikenal sangat kontroversial pada zamannya. Pada saat memerintah kehidupan politik Sunan Amangkurat I diwarnai oleh konflik dan konspirasi politik yang berkepanjangan. Sunan Amangkurat I pada waktu itu tidak dapat dipisahkan dengan responnya terhadap situasi konflik dan persekongkolan yang terjadi. Banyak persekongkolan politik yang menurut berbagai sumber bertujuan untuk menyingkirkannya atau bahkan membunuhnya. Persengkongkolan itu melibatkan orang-orang dekat Sunan Amangkurat I, seperti: Pangeran Purbaya, Pangeran Alit, Adipati Anom, para ulama, Pangeran Kajoran, Trunojoyo dan sebagainya. Di masa ini serangkaian suksesi berdarah, yang mewarnai pergeseran kekuasaan di Jawa pasca runtuhnya imperium Majapahit. Kerajaan Mataram oleh Amangkurat I mampu menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang bertebaran di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca berakhirnya imperium Majapahit. (rim)

Read More

Masjid Jaffali Jeddah Dikenal Sebagai Masjid Qisas

Jeddah — 1miliarsantri.net : Jika anda melakukan perjalanan Umrah, pasti sudah mengenal Masjid Jaffali. Masjid ini merupakan salah satu masjid yang cukup terkenal di Jeddah, Arab Saudi. Masjid berwarna putih yang dihiasi kubah-kubah kecil di atasnya dan satu menara menjulang tinggi itu terletak di dekat Danau Al-Arbaeen dan taman kecil Masjid Jaffali memiliki halaman yang luas, menyatu dengan area parkiran kendaraan. Dulu, tempat parkir kendaraan di dekat Masjid Jaffali berupa area lapang, di tengahnya terdapat tenda berukuran sekitar 4 meter x 4 meter, di sampingnya agak jauh terdapat pula tenda yang menghadap ke tenda di tengah. Di tenda berukuran 4 meter x 4 meter itulah orang-orang yang berbuat kejahatan di Arab Saudi dieksekusi mati dengan cara dipancung. Dalam syariat Islam, hukuman mati tersebut dikenal dengan hukum qisas. Tenda di sampingnya yang letaknya agak berjarak dari tempat hukum qisas adalah tempat hakim membacakan keputusan dan tempat pihak keluarga penuntut. Syamsul Arif, seorang mukimin yang sudah sekitar 22 tahun tinggal di Arab Saudi menceritakan, masyarakat Indonesia yang telah melaksanakan ibadah haji atau umroh biasanya main ke Jeddah. Mereka jamaah haji atau umroh Indonesia mengenal Masjid Jaffali sebagai Masjid Qisas. “Padahal nama aslinya Masjid Jaffali, bukan Masjid Qisas, Masjid Jaffali ini tidak ada hubungannya dengan hukum qisas yang ada di halaman parkirnya,” urai Syamsul di halaman Masjid Jaffali, Jeddah, Senin (17/07/2023). Syamsul menceritakan, mungkin sebelum Masjid Jaffali dibangun seperti sekarang, hukum qisas di tempat yang sekarang dijadikan area parkiran ini sudah ada. Jadi tidak ada hubungannya antara Masjid Jaffali dengan hukum qisas. Jamaah haji dan umroh dari Indonesia menyebut Masjid Jaffali sebagai Masjid Qisas karena ada hukum qisas yang biasa berlangsung di halaman parkirnya. Menurut Syamsul, hukum qisas dilaksanakan di halaman parkir Masjid Jaffali hanya sampai tahun 2017. Sejak 2017 hingga sekarang, hukum qisas tidak lagi dipertontonkan ke publik seperti sebelum tahun 2017. Kini, hukum qisas hanya dilangsungkan di penjara. Menurut informasi yang didapat mukimin, kebijakan hukum qisas tidak dipertontonkan lagi karena khawatir anak-anak yang melihatnya menjadi trauma. Karena itu hukum qisas sekarang dilakukan di penjara. Syamsul menguraikan, suatu ketika ada jamaah umroh Indonesia yang sedang main ke Jeddah. Jamaah umroh tersebut tertarik dengan kerumunan orang yang berada di halaman parkir Masjid Jaffali untuk menyaksikan hukum qisas. Jamaah umroh tersebut sudah diperingatkan agar tidak menonton hukum pancung, khawatir tidak kuat menyaksikannya. Tapi dia tetap memaksa ingin melihatnya. “Jamaah umroh menyaksikan hukum qisas, kepala dipenggal, darahnya muncrat, kepala menggelinding. Akhirnya selama satu pekan, jamaah umroh itu tidak bernafsu makan,” ujar Syamsul. Menurut cerita mukimin, hukum qisas biasanya dilangsungkan setelah sholat Jumat agar banyak orang menontonnya. Tujuannya agar orang-orang yang menyaksikan tidak berbuat jahat. Hukum qisas biasanya dijatuhkan kepada orang yang membunuh orang lain dan pengedar narkoba. Namun jika ada keluarga korban mengampuni dan meminta tebusan, meski pedang algojo telah diangkat di atas leher pelaku pembunuhan, maka hukum qisas tidak jadi dilaksanakan. “Kalau keluarga korban mengampuni dan meminta tebusan kepada pelaku, misalnya 2 Juta Riyal, pelaku tidak jadi dihukum pancung, hakim akan membatalkan hukum qisas itu,” imbuhnya. Kini area parkir tempat dulu hukum pancung berlangsung sudah ditata ulang. Di buat semacam taman kecil dan ditanami pohon-pohon di area parkir tersebut. Tenda tempat hukum pancung dan hakim pun sudah tidak ada lagi. (dul)

Read More

Habib Nabiel : Momentum Tahun Baru Hijriah, Pemimpin Bangsa Harus Banyak Bertobat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Pimpinan Majelis Rasulullah SAW sekaligus Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habib Nabiel Almusawa, mengajak setiap elemen bangsa menjadikan momentum tahun baru Islam 1 Muharam 1445 Hijriah untuk bermuhasabah dan melakukan perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Pesan saya untuk para penguasa, hendaknya momentum hijrah ini digunakan untuk bertobat, Istighfar. Jangan sampai rakyat kita jadi ngga percaya dengan penguasa, ngga percaya dengan pemimpin. Kita disuruh taat kepada Ulil Amri, tetapi bukan yang korup, bukan yang mengkhianati rakyat, bukan yang menyebarkan fitnah, bukan yang seperti itu,” imbau Habib Nabiel kepada media di Jakarta, Selasa (18/07/2023). Ia berharap di tahun baru 1445 H, para pemimpin bangsa semakin mengayomi rakyat dan menjadi teladan yang baik bagi rakyat. Habib Nabiel juga mengajak umat Muslim di Tanah Air agar menjadikan momentum tahun baru Islam tidak hanya untuk memperbaiki dan meningkatkan sisi spiritual, namun juga memperbaiki diri dalam kehidupan berbangsa. Ia mengajak agar masyarakat menghormati jasa para pahlawan, yang sebagian besar dimotori oleh para ulama dan para habib, dalam memperjuangkan NKRI. Ia mengatakan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, justru sebaliknya setiap sila merupakan ajaran pokok dalam Islam. “Jadi saya ingin sampaikan bahwa pancasila Bhineka Tunggal Ika itu tidak ada masalah dengan islam. Oleh sebab itu masyarakat harusnya mensyukuri itu. Jadi jangan kemudian bikin Negara islam, NII, lalu ada aliran sesat akhirnya kemarin itu. Yang seperti itu ngga syukur namanya. (Pancasila) ini yang sudah disepakati oleh para pahlawan yang juga para ulama,” pungkasnya. (rid)

Read More

Mengenal Rofiqoh Dharto Wahab, Umi Kultsum Indonesia

Jakarta – 1miliarsantri.net : Bagi generasi millenial saat ini bisa jadi belum pernah mendengar nama Rofiqoh. Dia adalah perempuan pertama yang mewarnai grup kasidah di Indonesia masuk dapur rekaman. Perempuan asal Pekalongan, Jawa Tengah ini wanita pertama menembus Istana Negara dengan lagu qasidah, lalu mempopulerkan. Dia memulai semua itu saat kondisi politik negara sedang mencekam. Pada 1960-an, saat organisasi Islam ditekan oleh pemerintahan Orde Baru, Rofiqoh memperkenalkan genre musik gambus atau kasidah berbahasa Arab kepada masyarakat. Liriknya berisi pujian-pujian kepada Tuhan yang diiringi alat musik. Dalam setiap penampilannya selalu menggunakan kebaya, kerudung, dan batik ciri khas perempuan Jawa pada masanya. Ia muncul pertama kali di depan publik pada tahun 1964 dan mencoba hijrah ke Jakarta pada tahun 1965. Pada tahun yang sama ia menikah dengan Dharto Wahab seorang wartawan yang beralih profesi menjadi pengacara. Ia pernah tampil di Istana Negara membawakan kasidah ‘Habibi Ya Rasulullah’ dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad, sebelum meletusnya pergerakan G30S/PKI. Suatu ketika Rofiqoh dikejutkan oleh suara sirine panjang di Istana Negara menjelang pecahnya Gestapu atau G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia). Saat itu dia baru selesai melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Dari podium dia leluasa melihat kecamuk di wajah para tamu perhelatan Isra Miraj di bulan September tahun 1965 itu. “Saya melihat pak Harto (Soeharto) melaporkan sesuatu ke pak Soekarno. Dan para tamu mulai berdiri dari kursi, saling pandang. Bingung ada apa? Saya juga khawatir,” ujar Hj Rofiqoh Dharto Wahab, saat itu dalam sebuah wawancara bersama wartawan, 2021 silam. Beberapa hari setelah insiden sirine itu, meletuslah G30S PKI. Peristiwa politik paling kelam yang menjadikan fitnah sebagai mesiu mematikan. Puluhan tahun kemudian, tepatnya hari ini aroma dupanya masih saja dihembus-hembuskan. “Waktu itu pak Karno naik ke podium ngasih pengumuman untuk menenangkan para tamu istana. Jadi selain saya, ada pak Karno dan Duta Besar Aljazair di atas podium,” lanjut Rofiqoh. Pengumuman yang disampaikan Presiden Soekarno saat itu, lebih mengejutkan Rofiqoh. “Pak Karno bertanya, apakah yang mengaji bisa bernyanyi? Saya bilang bisa. Lalu saya diminta bernyanyi,” ujar Rofiqoh yang lebih dari setengah usianya dihabiskan untuk berdakwah dan pendidikan umat. Karir sebagai penyanyi kasidah dimulai sejak ia duduk dibangku kanak-kanak. Selain itu ia juga dikenal sebagai qoriah (Pembaca Al-Quran). Rofiqoh pernah menjuari perlombaan MTQ tingkat Provinsi di Yogyakarta lalu beberapa tahun kemudian dia menjuarai di tingkat Jawa Tengah, tepatnya di Kota Semarang. Rofiqoh muncul pertama kali dalam acara keagamaan di Pekalongan. Pada tahun 1965, Rofiqoh berpindah di Jakarta dan menemukan pasangan hidupnya yaitu seorang wartawan yang bernama, Darto Wahab. Lalu ia dilirik oleh Rustam dari RRI lalu membawanya ke dapur rekaman piringan hitam dan mengisi acara program kasidah di RRI dan tanpa iringan musik. Pada tahun 1970 lahirlah kasidah modern Rofiqoh menjalani rekaman bersama Orkes Bintang-Bintang Ilahi pimpinan Agus Sunaryo dan juga laris di pasaran di bawah pimpinan Agus Sunaryo. Lagu-lagu yang dibawakannya terjual ribuan hingga ratusan ribu kopi. Hitsnya seperti ‘Hamawi Yaa Mismis’ atau ‘Ya Asmar Latin Tsani’ telah menjadi lagu klasik dalam genre kasidah yang terus direkam dan diperdengarkan hingga sekarang ini, lebih-lebih dalam versi daur ulangnya. Kesuksesannya masuk dapur rekaman dan sambutan penggemar yang luas saat itu juga menjadi pembuka jalan bagi kehadiran berbagai jenis kasidah. kasidah pop, kasidah dangdut, kasidah modern, dan lain-lain pada masa-masa berikutnya. Tahun 1966 didukung oleh grup musik Al-Fata (Pemuda) pimpinan A Rahmat, ia masuk dapur rekaman dan piringan hitamnya beredar ke penjuru Indonesia. Lagu-lagunya seperti Hamawi Yaa Mismis, Ya Asmar latin Sani, Ala ashfuri, dan Ya Nabi salam alaik kemudian dengan cepat menjadi populer. Apalagi lagu-lagu itu berulang-ulang disiarkan di RRI dan ia pun beberapa kali tampil di TVRI. Tahun 1971, rekamannya telah muncul dalam bentuk kaset yang makin memudahkan orang untuk memperolehnya. Rofiqoh mencuat sebagai bintang dan menjadi semacam ‘Ummi Kultsum’-nya Indonesia saat itu. Dalam dua dekade awal karirnya, hampir setiap dua bulan ia mengeluarkan album rekaman terbarunya, baik berupa pembacaan Qur’an maupun lagu-lagu kasidah dan gambus. Tak ada catatan pasti berapa album yang telah ia telurkan hingga kini. Yang jelas, sampai tahun 1990-an ia masih mengeluarkan album baru, meski sebagian besar daur ulang lagu-lagu lamanya yang sukses. (fq)

Read More