Hari Santri dan “Cermin Retak” di Layar Televisi

Dengarkan Artikel Ini

(Sebuah Refleksi dari Kasus Xpose Uncensored Trans7)

Kediri – 1miliarsantri.net | BEBERAPA hari menjelang Hari Santri Nasional, publik dikejutkan oleh tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7. Program itu menampilkan kehidupan pesantren dengan cara yang dianggap merendahkan. Narasinya menggambarkan santri dan kiai secara sinis—seolah tradisi pesantren penuh kepatuhan buta dan kemewahan tersembunyi. Tayangan berdurasi singkat itu langsung memantik gelombang protes. Tagar #BoikotTrans7 menggema di media sosial, suara santri dan alumni pesantren menyeru satu hal: “Marwah pesantren bukan bahan tontonan.”

Kontroversi ini datang di momen yang tak biasa—tepat menjelang peringatan Hari Santri (22 Oktober), hari di mana bangsa Indonesia mengenang peran para santri dalam menjaga agama dan negara. Ironisnya, di saat publik seharusnya merayakan jasa dan ketulusan mereka, muncul justru tayangan yang menampilkan pesantren dengan kacamata salah. Namun, di balik riuhnya amarah publik, ada cermin yang seharusnya kita pandang lebih jernih: apa makna kesantrian di tengah derasnya arus media modern?

Ketika Pesantren Disalahpahami

KH. M. Anwar Manshur, masyayikh Lirboyo

Pesantren selama ini dikenal sebagai tempat lahirnya generasi berakhlak dan berilmu. Di balik tembok sederhana, para santri belajar makna ta’dzim (hormat), tawadhu’ (rendah hati), dan khidmah (pengabdian). Tradisi mencium tangan kiai, duduk sopan, bahkan minum sambil jongkok bukan simbol feodalisme, tapi latihan adab—sebuah pendidikan karakter yang sulit ditemukan di sekolah modern. Sayangnya, tayangan “Xpose Uncensored” menampilkan semua itu sebagai sesuatu yang lucu, kaku, bahkan kuno.

Inilah tantangan zaman bagi dunia santri. Di tengah era digital yang serba cepat, nilai-nilai kesederhanaan dan kehormatan kerap disalahartikan. Media kadang lebih tertarik menyorot hal yang “aneh” ketimbang makna yang dalam. Padahal, pesantren bukan sekadar tempat tinggal para santri—ia adalah pusat peradaban moral bangsa.

Baca juga: Aksi Damai Himpunan Alumni Santri Lirboyo di Brebes Warnai Gelombang Protes Nasional terhadap Trans7

Pelajaran dari Layar Kaca

Kasus ini memberi pelajaran berharga, bukan hanya bagi Trans7, tetapi bagi kita semua. Media punya kekuatan luar biasa untuk membentuk persepsi publik. Sedikit kelalaian bisa berubah menjadi penghinaan terhadap nilai luhur. Di sisi lain, santri pun belajar bagaimana merespons kritik dan kesalahan dengan adab. Alih-alih membalas dengan kebencian, para santri menuntut klarifikasi dengan cara bermartabat—melalui surat terbuka, doa bersama, dan seruan moral.

Tindakan ini sejalan dengan semangat Hari Santri: berjuang dengan ilmu dan akhlak. Sebagaimana dulu santri berjuang melawan penjajahan dengan keberanian dan doa, kini mereka menghadapi penjajahan gaya baru—yakni dominasi opini yang bisa membelokkan citra Islam jika tidak dilawan dengan kecerdasan dan ketenangan.

Refleksi Hari Santri

Hari Santri bukan sekadar peringatan sejarah, tapi pengingat agar bangsa ini tak kehilangan arah moralnya. Jika dulu santri menjaga tanah air dengan darah dan doa, kini mereka menjaga marwah agama dan nilai-nilai kemanusiaan di tengah hiruk pikuk digital. Kasus “Xpose Uncensored” menjadi alarm moral bahwa kita hidup di zaman di mana adab bisa hilang di balik tawa, dan kebenaran bisa kabur oleh sensasi.

Namun, justru di sanalah keindahan nilai santri terlihat: sabar dalam ujian, lembut dalam menegur, dan tegas dalam menjaga kehormatan. Ketika sebagian orang menilai tradisi pesantren sebagai “kolot”, para santri menjawabnya dengan ketenangan dan karya—menulis, berdakwah, dan terus menebar nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Hari Santri tahun ini seolah berbisik lembut kepada kita semua: jangan biarkan layar kaca mengaburkan pandangan tentang kemuliaan akhlak. Dunia boleh berubah, tetapi nilai kesantrian—ketulusan, kedisiplinan, dan adab—harus tetap menjadi cahaya di tengah gelapnya arus informasi. Karena sejatinya, santri bukan sekadar orang yang mondok, tetapi mereka yang menjaga hati, pikiran, dan bangsa dari kebodohan dan kehinaan.

Dan dari cermin retak di layar televisi itu, kita belajar: tugas santri hari ini bukan hanya membaca kitab, tetapi juga menjaga nurani bangsa agar tak ikut retak. Wallahu a’lam.

Penulis: Abdullah al-Mustofa

Editor: Toto Budiman

Sumber: NU Online dan lainnya.

Foto: Tempo, LP2M Corong, MUI


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca