Mengenal Tradisi Rebo Wekasan Secara Keseluruhan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Rebo Wekasab atau Rabu Pungkasan menjadi salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura. Rebo Wekasan dipercaya sebagai sumber datangnya penyakit dan marabahaya. Tahun 2023 ini, Rebo Wekasan jatuh pada Rabu, 13 September 2023 atau 28 Safar 1445 Hijriah. Lantas apa saja mitos larangan di Rebo Wekasan? Simak penjelasannya berikut ini! Rabu Pungkasan atau Rebo Wekasan merupakan istilah Jawa merujuk pada tradisi yang dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Islam. Rebo dalam bahasa Jawa adalah hari Rabu, sedangkan Wekasan artinya terakhir. Rabu Wekasan dianggap menjadi hari paling sial sepanjang tahun sehingga perlu dilakukan ritual untuk memohon perlindungan pada Allah. Rebo Wekasan merupakan hasil perpaduan kearifan lokal dengan nilai-nilai agama Islam. Tradisi Rebo Wekasan yang merupakan tradisi Jawa dilakukan dengan ritual keagamaan Islam. Sejarah Rebo Wekasan dapat ditelusuri dari masa penyebaran Islam di Indonesia. Masyarakat Jawa meyakini hari Rabu terakhir pada Bulan Safar merupakan hari naas dari kepercayaan lama kaum Yahudi. Kemudian pada Bulan Safar di tahun 1602 M, beredar kabar rencana penjajahan Belanda di Jawa. Masyarakat melaksanakan serangkaian ritual menolak kedatangan penjajah tersebut. Ritual tersebut berkembang menjadi tradisi Rebo Wekasan. Asal mula tradisi Rebo Wekasan berhubungan erat dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Abdul Hamid Quds berpendapat bahwa terdapat 32.000 bala yang diturunkan Allah ke bumi pada hari Rabu terakhir setiap tahun di Bulan Safar. Wali Songo berperan dalam mengembangkan tradisi ini. Menurut kepercayaan masyarakat Desa Suci, Kabupaten Gresik. Sunan Giri memberikan petunjuk sumber air ketika kekeringan dan berpesan untuk mengadakan upacara adat Rebo Wekasan. Cara masyarakat Indonesia merayakan Rebo Wekasan beraneka ragam, tergantung pada wilayahnya, sehingga terdapat variasi dalam amalan dan ritual yang dilakukan dalam memperingati hari tersebut. Beberapa tradisi Rebo Wekasan dari berbagai wilayah Indonesia meliputi: Meskipun dasar dari sholat tolak bala adalah unsur-unsur agama Islam, dalam pelaksanaannya terkadang mencerminkan nuansa lokal yang khas di berbagai daerah. Ritual yang dilakukan adalah shalat dengan empat rakaat. Setiap rakaat, setelah membaca surat Al-Fatihah, diikuti dengan membaca surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali. Lalu, surat Al-Falaq dan surat An-Naas masing-masing sekali. Ritual ini ditutup dengan membaca doa setelah salam sebagai bentuk permohonan perlindungan dan keamanan. Biasanya dilakukan perjamuan bersama dengan makanan tradisional. Akan tetapi, ada yang melemparkan hasil panen ke laut atau ada orang lain yang membagikan hasil pertanian melimpah kepada masyarakat sekitar. Setelah menjalankan ibadah puasa atau sholat tolak bala, dianjurkan untuk memanjatkan doa sapu jagat untuk tolak bala. Pelaksanaan ibadah tanpa dasar syariat Islam dianggap tidak sah, tetapi masyarakat merasa perlu menjaga warisan budaya ini. Menurut kepercayaan dan tradisi lokal, terdapat beberapa pantangan saat Rebo Wekasan, di antaranya adalah sebagai berikut: Menikah pada hari Rebo Wekasan dianggap membawa sial dan dapat membuat rumah tangga tidak harmonis. Diyakini hari Rebo Wekasan terdapat energi atau kekuatan gaib yang membawa bencana atau masalah pada yang melakukan perjalanan jauh. (fq) Baca juga :

Read More

Gus Mus : Jadilah Muslim Yang Tidak Pernah Menyakiti Saudara Sendiri

Rembang — 1miliarsantri.net : Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Raudlatut Thalibien Leteh Rembang, sekaligus Mustasyar Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), mengungkapkan salah satu ciri muslim sejati dalam pandangan Al-Qur’an dan Sunnah yakni seseorang bisa dikatakan muslim sejati jika mampu menjaga keselamatan lisan maupun perbuatan. Artinya, dia tidak pernah menyakiti saudaranya sendiri, baik dalam lingkup keluarga maupun saudara sesama muslim maupun saudara dalam ikatan sosial masyarakat. “Muslim yang sempurna itu orang Islam yang tidak pernah melukai muslim lainnya. Muslim di kanan dan kirinya selamat. Tidak pernah terlukai, tidak pula sakit hati. Karena dia tidak menyakiti saudaranya yang Muslim, baik dengan lisan maupun tangannya,” terang Gus Mus kepada 1miliarsantri.net, Kamis (24/08/2023). Gus Mus menjelaskan, orang Islam yang mulut dan tindakannya menyakiti orang lain, belum menjadi seorang muslim sejati. Orang seperti itu hanya mengaku muslim saja. “Itu ngakunya saja Islam, tapi tidak sempurna. Bukan Muslim yang kamil,” lanjutnya. Sama halnya dengan hijrah. Belakangan banyak orang menggunakan istilah hijrah untuk menandai perubahan mencolok dari seseorang. Misalnya seorang selebritas yang tadinya tidak mengenakan hijab, tiba-tiba berpakaian syar’i. Gus Mus menjelaskan, hijrah berarti ‘man haajara maa nahallaahu ‘anhu. Jadi, yang dinamakan muhajir (pehijrah) itu bukan transmigran atau imigran. Orang yang hijrah adalah orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang dilarang Allah SWT. “Ada yang hijrah itu pikirnya, pokoknya kalau memakai jilbab sudah hijrah. Asalnya tidak memakai jilbab, lalu memakai jilbab: ‘Ini sudah hijrah.’ Begitu,” ungkapnya. Menurut Gus Mus, justru ada yang lebih konyol lagi. Asalnya orang Islam ini sudah baik dengan tetangga, lalu memusuhi tetangganya yang tak seagama itu dengan dalih dia telah hijrah. “Hijrah itu man hajara maa nahallaahu ‘anhu, ini namanya hijrah. Ini menurut Kanjeng Nabi Muhammad SAW: orang yang menjauhi larangan Allah swt. Yang dilarang Allah apa (ditinggalkan), itu namanya muhajir (orang yang hijrah),” tegasnya mengutip hadits. Gus Mus mencontohkan, orang yang hijrah, yaitu orang yang selama ini tenang saja melanggar larangan Allah swt, kemudian dia berhenti meninggalkan itu. “Misalnya kemarin itu menjadi peminum mabuk-mabukan, kemudian tahu bahwa ini dilarang oleh Allah swt, lalu ditinggalkan, ini muhajir (orang yang hijrah). Tidak sekadar memakai kerudung, terus dikatakan muhajir,” pungkas Gus Mus. (hud) Baca juga :

Read More

Masjid Dubai Pearl Terinspirasi dari Mutiara dan Kerang

Dubai — 1miliarsantri.net : Dubai Pearl merupakan konsep masjid yang dirancang sangat modern dan unik oleh LYX Arkitekter dan terinspirasi dari mutiara dan kerang yang menjadi sumber utama kehidupan sepanjang sejarah daerah ini. Bangunan itu diusulkan pada 2018 di Dubai, Uni Emirat Arab. Mengutip The Great Mosques, masjid ikonik Dubai desain “Dubai Pearl” pada dasarnya terinspirasi dari mutiara dan kerang yang merupakan sumber utama kehidupan di masa tua Dubai. Kedelapan gerbang pada masjid itu diilhami dari kepercayaan bahwa ada delapan gerbang menuju surga dalam Islam serta delapan malaikat yang memegang singgasana. Menara itu muncul dari bumi untuk menghilang di langit menjadi bentuk layar. Tujuan dari konsep ini untuk memadukan tradisi lokal UEA, warisan Islam , dan mencerminkan visi modern Dubai. Dari tradisi Lokal, desainnya terinspirasi dari mutiara dan kerang. Seperti yang Anda ketahui, penyelaman mutiara pernah menjadi profesi paling terkenal di Uni Emirat Arab dan merupakan bagian dari budaya UEA yang berusia sekitar 7.000 tahun. Hal itu menyebabkan arsitek membentuk selubung utama masjid sebagai cangkang yang membawa mutiara besar yang membentuk kubah masjid. Itu juga bertindak sebagai skylight di siang hari untuk menerangi ruang shalat utama. Kemudian, itu akan diubah menjadi lentera yang memberi suasana yang menarik ke Dubai Creek di malam hari. Dari segi warisan Islam, delapan gerbang terinspirasi dari kepercayaan, ada delapan gerbang ke surga dalam Islam serta delapan malaikat yang memegang singgasana. Delapan lengkungan gerbang ini akan membentuk cangkang dan akan bergabung menjadi satu untuk disatukan di mihrab tempat imam berdiri untuk memimpin shalat. Kemudian, visi modern Dubai, untuk memadukan tradisi lokal dan simbolisme Islam menjadi bentuk ikon modern adalah sebuah tantangan. Abstraksi ide menjadi solusi yang diikuti para arsitek dalam desain ini. Bentuknya disederhanakan menjadi tiga elemen, cangkang yang membentuk delapan gerbang, mutiara yang berfungsi sebagai kubah dan cahaya langit, akhirnya menara yang muncul dari bumi menghilang ke langit. Hal itu menciptakan bentuk layar yang menyampaikan pesan damai pemuja dan mengubahnya menjadi ikon spiritual yang ditambahkan ke ketenangan Dubai Creek . Proyek ini memiliki luas bangunan 10.000 m² yang terdiri dari masjid utama. Masjid ini dapat menampung 7500 jamaah, blok akomodasi, dan ruang bawah tanah yang meliputi pusat budaya, wudhu, dan parkir. Ada pula museum seluas 3.405 m² dan 460 tempat parkir. (dul)

Read More

Ketika Rasulullah SAW Pernah Menahan Ruku untuk Menunggu Ali Bin Abi Thalib

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Islam mengajarkan kita untuk senantiasa menghormati orang yang lebih tua. Sebagaimana hal tersebut merupakan tuntunan agung Rasulullah SAW. عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما مرفوعاً: ليس منا من لم يَرحمْ صغيرنا، ويَعرفْ شَرَفَ كبيرنا Dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Āṣ -raḍiyallāhu ‘anhumā- secara marfū, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui kemuliaan orang tua di antara kami.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad) Dalam sebuah riwayat disebutkan, Ali bin Abi Thalib terburu-buru pergi dari rumahnya untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah di masjid Nabi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki Yahudi tua, yang berjalan menuju arah yang sama. Ali, karena kemuliaan dan keluhuran akhlaknya, berusaha memberikan hormat kepada orang yang lebih tua darinya itu, sehingga ia tidak mau mendahului Yahudi tersebut, walau jalannya sangat lamban. Sesampainya ia masjid, sholat berjamaah sudah dimulai, bahkan Nabi SAW sudah dalam keadaan ruku bahkan hampir berdiri dari ruku nya tersebut. Namun, dengan perintah Allah, Jibril turun, lalu meletakkan tangannya di atas bahu Nabi SAW. Jibril menyuruh beliau menahan ruku nya, agar Ali tidak sampai kehilangan rakaat pertama. Setelah shalat selesai dilaksanakan, yang kemudian dilanjutkan dengan zikir, doa, serta mengajarkan ilmu-ilmu dari Alquran kepada sahabat, beliau berpaling kepada Jibril, lalu bertanya tentang sebab gaib yang membuatnya harus memperpanjang ruku. Jibril menjawab bahwa sangat tidak patut jika Ali bin Abi Thalib kehilangan pahala yang terdapat pada rakaat pertama sholat Subuh, karena sikap hormat yang ditunjukkannya kepada seorang Yahudi tua yang ditemuinya di tengah perjalanan menuju masjid Nabi. Setiap manusia, siapapun dia, memiliki hak untuk dihargai, dihormati dan diperlakukan sesuai kedudukan serta kapasitas dirinya. Ada yang layak dihormati karena ilmunya, seperti halnya para ulama, cerdik cendekia, para guru, ilmuwan, dan sebagainya. Ada yang harus dihormati karena sebab hubungan darah dengannya, misal orang tua, kakak, paman, bibi, serta saudara-saudara lainnya. Ada pula yang dihormati karena sebab usianya, di sini ada orang yang lebih tua, ada yang seusia, ada pula yang lebih muda. Semuanya harus diperlakukan secara proporsional sesuai haknya. Ada pula urutan-urutan prioritas dalam proses hormat-menghormati ini, mana yang paling layak dihormati, mana yang harus lebih dulu dihormati, mana pula yang paling wajib memberi penghormatan dibanding yang lainnya. Misalnya, yang berkendaraan lebih wajib memberi salam kepada yang berjalan kaki. Yang berjalan kaki memberi salam kepada yang duduk. Yang sendirian lebih wajib memberi salam kepada yang berkumpul, dan sebagainya. (HR Muttafaqun ‘Alaih). Jika kita menelaah kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat, maka kita akan menemukan nuansa keadilan dalam pergaulan hidup mereka. Setiap orang diperlakukan sesuai dengan kedudukannya, dalam arti dipenuhi haknya, serta diberi keleluasaan untuk menunaikan kewajibannya. Akibatnya, lahirlah proses timbal balik, di mana setiap orang akan berusaha memberikan yang terbaik untuk yang lainnya. Dalam kondisi seperti inilah, konsep persaudaraan yang diungkapkan dalam Alquran dan hadits benar-benar teraplikasikan secara optimal. Sejatinya, apa yang dicontohkan Ali bin Abi Thalib dalam kisah ini, adalah gambaran puncak bagaimana seorang manusia menunaikan hak-hak yang dimiliki manusia lainnya, siapa pun orang tersebut. Di mana yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Seorang anak harus menaati orangtuanya. Seorang murid harus memuliakan gurunya. Walau pun ada tuntutan bagi yang lebih tua untuk menghargai, mengayomi, serta memberi teladan yang baik pula kepada yang muda. Sesungguhnya, mudah saja bagi Ali untuk mendahului Yahudi tua tersebut, toh ia hanya seorang Yahudi tua kafir, tidak bisa melihat, serta berjalan bukan untuk ke masjid. Ia pun tidak terkena dosa jika mendahului jalannya. Namun Ali tidak melakukan hal tersebut. Mengapa? Karena beliau tidak ingin mencederai hak orang lain. Biarlah orang lain tidak balas menghormati, biarlah orang lain tidak melihat apa yang dilakukannya, yang penting ia telah menunaikan kewajibannya sebaik mungkin. Sebab, bagaimana pun keadaannya, Yahudi tersebut tetaplah orang yang harus dihargai nilai kemanusiaannya. Inilah yang dinamakan ihsan. Dalam arti, tidak sekadar melakukan yang baik, namun melakukan yang terbaik. Karena sikapnya itu, Ali beroleh bonus luar biasa dari Allah SWT. Betapa tidak luar biasa, Allah SWT sampai memerintahkan Rasulullah SAW untuk memperlama rukunya, sebagaimana Dia perantarakan pesan-Nya kepada Malaikat Jibril. Berkaca dari peristiwa ini, Imam Bakr bin Abdullah Al Mazni mengungkapkan sebuah prinsip hidup terkait hubungan interpersonal. Prinsip ini layak kita jadikan pegangan dalam bergaul. Katanya, Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih tua, katakanlah, orang ini lebih dahulu daripadaku dalam hal keimanan dan amal saleh. Ia lebih baik dariku. Jika engkau bertemu dengan orang yang usia lebih mudanya, katakanlah, aku telah mendahuluinya dalam dosa dan kesalahan. Jadi, ia lebih baik dariku. (yus) Baca juga :

Read More

Berikut 3 Amalan Yang Bisa Dilakukan di Bulan Safar

Jakarta — 1miliarsantri.net : Bulan Safar 1445 H tahun ini diawali pada hari Jumat (18/8/2023) lalu. Bulan kedua kalender Hijriah ini perlu banyak kita isi dengan berbagai amalan yang dapat memberikan pahala besar. Setidaknya ada tiga amal berlipat ganda yaitu(1) amal kebaikan yang pahalanya 10 kali lipat;(2) amal kebaikan yang pahalanya 700 kali lipat; dan(3) amal kebaikan yang pahalanya sangat banyak lebih dari 700 kali lipat. Pertama, amal kebaikan yang nilai pahalanya mencapai 10 kali lipat.Imam an-Nawawi menyampaikan, setiap kebaikan itu pasti pahalanya dilipatgandakan sampai 10 kali lipat atas dasar rahmat Allah. Maka amal kebaikan apapun pahalanya otomatis 10 kali lipatnya. Ini seiring dengan firman Allah QS Al-An’am ayat 16. Kedua, amal kebaikan yang pahalanya 700 kali lipat, di antaranya sebagai berikut. Donasi untuk perjuangan jihad fi sabilillahHal ini sebagaimana disabdakan langsung Nabi Muhammad SAW, “Siapa saja yang mengirim donasi infak untuk perjuangan jihad fi sabilillah sementara ia sendiri hanya diam di rumah (tidak ikut berangkat berjuang), maka baginya setiap donasi satu dirham mendapatkan pahala 700 dirham.” (Hadits riwayat Ibnu Majah dan Al-Mundziri). Amal apa saja sesuai dengan tingkat keikhlasan, kekhusyukan, kemanfaatan bagi orang lain dan semisalnya Hal ini sesuai dengan penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari, juz II halaman 326 dan sabda Nabi Muhammad saw, “Setiap amal manusia dilipatgandakan pahalanya 10 sampai 700 kali lipat.” (Hadits riwayat Imam Muslim). Ketiga, amal kebaikan yang pahalanya mencapai lebih dari 700 kali lipat bahkan tak terhingga. Di antara amalan itu adalah membaca dzikir masuk pasar. Dalam konteks sekarang masuk mall, dan semisalnya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw berikut. Artinya, “Siapa saja yang masuk ke pasar lalu membaca dzikir yang artinya: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian, Allah Dzat yang menghidupkan dan yang membinasakan, Allah Dzat adalah Yang Maha Hidup yang tidak akan pernah binasa, hanya pada kekuasan-Nya lah kebaikan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’; maka Allah pastikan bagi orang yang membacanya itu sejuta kebaikan, Allah lebur darinya sejuta keburukan, dan Allah angkat baginya sejuta derajat.” (Hadits riwayat al-Hakim). (yan) Baca juga :

Read More

Kiamat Dalam Surat Ghafir Ayat 15 Disebut Yaum Al Talaq

Kairo — 1miliarsantri.net : Mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar cabang Assiut, Mukhtar Marzuk Abdul Rahim mendapat pertanyaan dari salah satu jamaah tentang satu ayat dalam Surat Ghafir, yakni ayat 15. Allah SWT berfirman: رَفِيْعُ الدَّرَجٰتِ ذُو الْعَرْشِۚ يُلْقِى الرُّوْحَ مِنْ اَمْرِهٖ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِۙ “(Dialah) Yang Mahatinggi derajat-Nya, yang memiliki ’Arsy, yang menurunkan wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, agar memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari Kiamat).” (QS Ghafir ayat 15) Dalam surat tersebut, ada frasa ‘Yauma Al Talaq’ dan diartikan dengan Hari Kiamat. Lantas, mengapa hari kiamat disebut Yaum Al Talaq? Syekh Marzuk menjelaskan, Allah SWT telah menamakan hari kiamat di Surat Ghafir dengan nama Yaum Al Talaq. Pada hari di mana manusia dibangkitkan, tidak ada yang dapat bersembunyi dari Allah SWT. Alasan mengapa disebut Yaum Al Talaq salah satunya karena di saat itu hari di mana bertemunya penduduk langit dan bumi, sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf bin Mahran dari Ibnu Abbas RA. Kedua, pertemuan tersebut merupakan yang pertama dan yang terakhir. Ini didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas RA juga. Ketiga, karena itu merupakan hari pertemuan antara makhluk dan Sang Pencipta. Dasarnya ialah riwayat Qatadah dan Muqatil. Keempat, adalah karena itu merupakan hari pertemuan antara mereka yang tertindas dan yang menindas. Ini menurut riwayat Maimun bin Mahran. Karena itu, ayat tersebut juga menjadi peringatan keras bagi para penindas atau para pemakan uang haram. Sebab, Syekh Mukhtar Marzuk menyampaikan, hak-hak mereka akan tertunda selama tidak bertaubat dengan mengembalikan hak tersebut atau memohon ampunan atau maaf dari pemilik hak tersebut. Rasulullah SAW bersabda: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «اﻟﻈﻠﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﻓﻈﻠﻢ ﻻ ﻳﻐﻔﺮﻩ اﻟﻠﻪ ﻭﻇﻠﻢ ﻳﻐﻔﺮﻩ ﻭﻇﻠﻢ ﻻ ﻳﺘﺮﻛﻪ .ﻓﺄﻣﺎ اﻟﻈﻠﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻐﻔﺮﻩ اﻟﻠﻪ ﻓﺎﻟﺸﺮﻙ ﻗﺎﻝ اﻟﻠﻪ: {ﺇﻥ اﻟﺸﺮﻙ ﻟﻈﻠﻢ ﻋﻈﻴﻢ}, ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻈﻠﻢ اﻟﺬﻱ ﻳﻐﻔﺮﻩ ﻓﻈﻠﻢ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺭﺑﻬﻢ .ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻈﻠﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺘﺮﻛﻪ اﻟﻠﻪ ﻓﻈﻠﻢ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻌﻀﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﺪﺑﺮ ﻟﺒﻌﻀﻬﻢ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ» . “Kezaliman itu ada tiga. Pertama adalah kezaliman yang Allah tidak akan mengampuninya. Kedua, kezaliman yang Allah akan mengampuninya. Ketiga, kezaliman yang Allah tidak akan membiarkannya. Kezaliman yang Allah tidak akan mengampuninya adalah kesyirikan. Allah SWT berfirman, ‘Sesungguhnya kesyirikan adalah benar-benar kezaliman yang besar’. Adapun kezaliman yang Allah akan mengampuninya adalah kezaliman para hamba terhadap diri-diri mereka sendiri dalam perkara antara mereka dengan Tuhan mereka. Sedangkan kezaliman yang Allah tidak akan membiarkannya adalah kezaliman para hamba, antara sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, sehingga Allah mengurus untuk sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. (rum/aaz) Baca juga :

Read More

Semangat Tauhid Harus Selalu Tertanam Dalam Mengisi Kemerdekaan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kabid Sosial dan Pemerdayaan Umat BPMI, Laksma TNI (Pur) KH Asep Saepudin, menilai, masyarakat Indonesia perlu memaknai kemerdekaan dengan bingkai ketauhidan. “Sebagaimana para pejuang dahulu berjuang dengan bingkai ketauhidan seperti kumandang kalimat tasbih, tahmid, dan takbir serta yakin akan kekuatan yang dimiliki Allah SWT akan diberikan kepada orang-orang yang bertauhid,” ujar Asep usai melaksanakan sholat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta (18/08/2023). Menurut Asep, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam memaknai kemerdekaan dengan bingkai ketauhidan: Menurut Asep, hal utama yang harus dilakukan masyarakat Indonesia adalah meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat kemerdekaan Indonesia. Dengan rasa syukur itu, diharapkan Allah SWT menambah dan membantu masyarakat Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim: 7) Masyarakat Indonesia, terkhusus umat Islam, perlu meningkatkan Iman dan Takwa kepada Allah SWT. Itu agar kemerdekaan yang dinikmati menjadi berkah untuk bangsa Indonesia. وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96) Masyarakat Indonesia perlu m engisi Kemerdekaan dengan membangun keseimbangan antara kepentingan akhirat dan dunia. Keseimbangan itu dilakukan dengan berbuat berbagai kebaikan dan yang bermanfaat bagi umat manusia. “Di antaranya turut melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta tidak membuat kerusakan di muka bumi ini karena Allah subhanahu wata’ala tidak suka kepada orang yang suka berbuat kerusakan,” ujar Asep. وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qasas: 88) (rid) Baca juga :

Read More

Menjaga Marwah Masjid Agar Tetap Pada Fungsinya

Jakarta — 1miliarsantri.net : Program Masjid Pelopor Moderasi Beragama (MPMB) telah di launching Kementerian Agama (Kemenag) RI pada 13 Nopember 2022 lalu. Melalui program ini, masjid diharapkan mengalami transformasi dan revitalisasi sehingga makin profesional manajemennya, kian moderat cara pandang dan paham keagamaan seluruh ekosistemnya, serta kian berdaya masjidnya dan akhirnya mampu memberdayakan umatnya. Sejak kelahirannya, institusi masjid memiliki peran sentral dalam rangka pembentukan, pengembangan dan kemajuan komunitas Muslim, di luar sebagai tempat ibadah. Inilah bangunan yang mendapat prioritas pertama untuk didirikan, begitu Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Masjid pertama, Quba (23 September 622) menjadi simbol eksistensi Islam, sekaligus pertanda umat Islam mulai tumbuh dan bersiap membangun peradaban baru. Kata masjid berasal dari sa-ja-da, disebut dalam al-Qur’an sebanyak 28 kali. Secara harfiyah, masjid bermakna tempat sujud. Tetapi, masjid bukan hanya berfungsi untuk sujud saja (place for worship). Pada dasarnya, masjid merupakan tempat melakukan berbagai aktifitas (center for community) yang mengandung makna kepatuhan kepada Allah Swt (Shihab, 2012: 247), dalam makna yang luas. Peran masjid sebagai pusat aktifitas komunitas muslim akhirnya melebar hingga menyentuh aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan juga—yang tak mungkin dihindari—politik. Karena itu, Allah Swt (QS, 9: 18) mensyaratkan orang-orang tertentu yang mampu menjadi pemakmur (takmir) masjid, baik dalam konteks idarah (manajemen), imarah (berbagai kegiatan yang dirancang) maupun ri’ayah (pemeliharaan dan pemenuhan berbagai fasilitas). Kualifikasi takmir tersebut adalah beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, menunaikan shalat dan zakat serta orang-orang yang hanya takut kepada Allah SWT. Di luar itu, masjid mungkin akan disalahgunakan fungsinya. Pada zaman Rasulullah SAW, masjid digunakan untuk berbagai keperluan yang positif. Selain sebagai tempat shalat dan dzikir, masjid juga digunakan untuk sebagai pendidikan, santunan sosial, konsultasi dan komunikasi berbagai persoalan umat, latihan militer, pengadilan, tempat tahanan, penerangan dan lain-lain. Peran dan fungsi masjid sangat strategis dan sentral bagi umat Islam. Karakternya terbuka, egaliter dan ramah terhadap siapa saja. Orang yang berada di masjid selalu dianggap pasti baik. Bukan hanya Rasulullah SAW yang ingin membangun masjid, bahkan kaum munafiq Madinah juga membangun masjid dengan motif politik yang membahayakan umat Islam. Masjid itu disebut masjid al-Dhirar (QS, al-taubah: 107), dibangun persis disebelah masjid Quba. Ibn Katsir (VII, 188-90) menyebut, masjid Dhirar dibangun oleh 12 (dua belas) orang munafiq (Khidzam bin Khalid, dkk). Riwayat lain menyebut, masjid ini dibangun oleh Bani Ghanim bin Auf. Sejak awal, masjid ini dibangun dengan niat yang tidak baik: membahayakan Nabi Muhammad SAW dan menimbulkan perpecahan umat Islam. Agar legitimatif, para pendirinya, berharap dan menghendaki agar Nabi Muhammad SAW berkenan shalat di masjid ini. Untungnya Nabi Muhammad SAW menolak, dan menjanjikan pasca peristiwa Tabuk, beliau akan mendatangi masjid tersebut. Di tengah perjalanan pulang, Allah SWT mengingatkannya melalui QS: 9,107-110. Sejak zaman dulu, masjid merupakan tempat yang ramah untuk semua orang, termasuk non-Islam. Orang bebas keluar-masuk masjid, termasuk tidur dan menginap didalamnya. Masjid termasuk ‘tempat favorit’ terjadinya kejahatan, apalagi saat shalat berlangsung. Dari kejahatan ringan hingga berat. Tercatat dalam sejarah, Umar bin Khattab meninggal di masjid disaat shalat shubuh di tangan Abu Lu’luah, sahaya Mughirah bin Syu’bah (Siyar al-salaf al-shalihin: 46). Mughirah merupakan gubernur Kufah yang diangkat oleh Umar bin Khattab. Ali bin Abi Thalib mewarisi kekacauan politik masa sebelumnya, pasca meninggalnya Utsman bin Affan. Terjadilah perang saudara yang mengenaskan. Perang Jamal terjadi antara Ali bin Abu Thalib melawan Aisyah binti Abu Bakar. Perang Shiffin Meletus di mana Ali bin Abu Thalib harus berhadapan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang Nahrawan tak bisa dihindari, di mana kelompok Khawarij melawan Ali bin Abu thalib). Ali bin Abu Thalib wafat di tangan pendukungnya sendiri, Abdurrahman bin Muljam (seorang ahli ibadah dan al-muqri’) ketika sedang menuju Masjid jelang shalat Subuh pada 17 Ramadhan. Mimbar Jumat masjid pernah menjadi ajang caci maki kepada para shahabat pada Dinasti Umayyah. Di masa Umar II, tradisi ini dihilangkan, diganti dengan kalimat yang jauh lebih baik. Al-Dasuqi dalam Hasiyah-nya meriwayatkan, Umar II adalah orang pertama yg mengutip QS al-Nahl: 90 sebagai penutup khutbah. Cerita sejarah ini harus diingat oleh umat Islam dan jangan sampai terulang. Sebagai tempat ibadah dan tempat berkumpulnya umat Islam untuk berbagai keperluan yang positif, masjid harus dijaga sesuai titahnya. Secara manajemen, masjid harus dikelola secara profesional. Pada akhirnya, masjid dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam. Masjid harus menyatukan dan ikut menyelesaikan berbagai masalah, bukan malah memecah belah umat dan membuat berbagai masalah. Melalui mimbar-mimbarnya, masjid mesti membumi dan merasakan nafas kehidupan umat dan bangsa. Masalah masjid merupakan masalah bangsa, dan masalah bangsa juga meruapakan masalah masjid. Program MPMB sejatinya untuk mendorong agar masjid menjadi bagian dari solusi persoalan keumatan dan kebangsaan. Sebagaimana dimaklumi, intoleransi masih menjadi persoalan bangsa ini. Begitu pula dengan radikalisme. Hasil kajian lembaga riset dan temuan beberapa lembaga negara, menunjukkan jamaah masjid tidak tertutup kemungkinan terpapar intoleransi dan radikalisme. Masjid digunakan untuk menyebarkan ajaran yang justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Untuk membuktikannya, tidak sulit. Cukup didengarkan saja bagaimana isi ceramah atau khutbah yang disampaikan oleh khatib di masjid tersebut. Ceramah yang mengajarkan intoleransi, provokasi dan ujaran kebencian kepada kelompok yang berbeda, dan pemanfaatan masjid untuk kegiatan politik praktis, merupakan beberapa indikasi yang patut kiranya diwaspadai. Karena itu, takmir dan jamaah masjid harus terlibat dalam upaya menjaga agar masjid menjadi tempat yang khusuk untuk beribadah dan sejuk untuk bermuamalah. Dari masjid, kita harus menguatkan tekad dan semangat untuk membangun bangsa dan negara agar seluruh komponen bangsa berketuhanan, berprikemanusiaan, menjaga persatuan dan kesatuan, bermusyawarah-mufakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan serta berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Program MPMB merupakan wasilah menuju ke sana. (Iin) Baca juga :

Read More

Makna Sejarah dalam Islam, Beda dengan History ala Sekuler

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dalam masyarakat yang tidak bertuhan alias sekuler, sejarah didekati melalui tiga sisi. Pertama, pandangan siklus, artinya sejarah itu berjalan seperti sebuah siklus dan mengalir alami. Tidak ada tuhan atau tujuan dibalik kejadian itu. Pandangan Yunani kuno ini masih diminati oleh Nietzsche atau Spangler. Kedua, pandangan providensial, artinya sejarah itu sepenuhnya dibimbing oleh Tuhan, dan manusia tidak punya peran yang berarti. Ini bersifat Deterministik. Tapi, pandangan ketiga yang juga deterministik adalah pandangan deterministik Sekuler. Artinya sejarah itu diciptakan bukan oleh kekuatan manusia tapi oleh motif-motif ekonomi (Marxis, Hegel). Dalam ketiga pendekatan tersebut, manusia dianggap tidak berkehendak, tidak bercita-cita, tidak bertanggungjawab, tidak pula bermoral alias tidak hidup. Pendiri dan Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) dan Center of Islamic and Occidental Studies (CIOS), Hamid Fahmy Zarkasyi, menjelaskan, dalam Islam makna sejarah sejalan dengan makna realitas. “Terdapat pandangan dualitas yang tidak dualistis dan bukan pula dualisme. Di satu sisi ada Tuhan yang menciptakan, ada alam semesta yang diciptakan,” kata Hamid. Akan tetapi, Tuhan tidak menjadi bagian dari alam, karena Dia transenden. Tuhan mengatur dunia tanpa menjadi bagian daripadanya. Di sisi lain terdapat manusia yang juga diciptakan. Manusia, meski diciptakan, ia bukan benda mati. Manusia diberi petunjuk dan janji, diberi akal dan kehendak, serta diberi kebebasan untuk memilih arah perjalanan hidupnya (sejarahnya). Hanya saja ia juga menggendong amanah, tugas serta kewajiban. Dengan itu semua manusia bebas berinteraksi dengan-Nya. Sejarah adalah eksposisi fakta dan realitas masa lalu kata James Fenimore Cooper (1789 -1851), seorang novelis dari Amerika. Tapi, James masih kurang teliti, sebab eksposisi atau ekspresi masa lalu bukan sepenuhnya reproduksi dari realitas. Pikiran sangat berperan dalam melakukan eksposisi, karena memiliki pandangan terhadap realitas. Pandangan itu adalah worldview. Oleh sebab itu, penulis sejarah itulah yang mengarahkan jalannya perjalanan sejarah di masa lalu. Jadi siapa berkuasa atau yang memenangkan wacana yang menulis sejarah. Persis seperti kata Alex Haley (1921–1992), seorang penulis Amerika bahwa History is written by the winners. Maka dari itu Norman Davies, sejarawan dan penulis Inggris, menasehatkan dengan tegas “Semua sejarawan harus menuturkan ceritanya dengan meyakinkan, kalau tidak maka akan dilupakan”. Ketika seseorang menulis sejarah ia secara otomatis akan memasukkan data dan fakta secara selektif. Data dan fakta yang sesuai diambil yang tidak dibuang. “Fakta sejarah”, kata Carl Becker (1873 – 1945) sejarawan Amerika, “Tidak ada kecuali diciptakan oleh sejarawan, dan setiap bagian yang diciptakannya itu beberapa bagian dari pengalaman pribadinya pasti masuk”. Bagi sejarawan Inggris A. J. P. Taylor (1906 -1990), menjadi sejarawan di Perancis, katanya, sama dengan menjadi tentara, politisi dan dalam pengertian kuno menjadi seperti nabi dan guru spiritual dan moral. Artinya, sejarawan menentukan banyak hal. Sejarah Amerika Serikat yang ditulis oleh pendatang akan jauh berbeda dari yang ditulis oleh suku Amerika asli. Orang kulit putih pasti akan memulai sejarah Amerika, misalnya, dari Declaration of Independence. Sementara, penulis dari suku asli akan menggali sejak terjadinya pembunuhan masal oleh pendatang. Jadi sejarawan adalah sobyektif. Masing-masing penulis memiliki worldview sebagai basis sobyektifitasnya. Muhammad Rasulullah sebagai Nabi terakhir adalah fakta. Namun, dia tidak akan menjadi fakta sejarah, kecuali terdapat sejarawan yang mendudukkannya. Bagi sejarawan Muslim, selain fakta ini terdapat fakta metafisis (berdasarkan wahyu) bahwa Tuhan sebelum itu telah mengutus nabi-nabi dengan kitab-kitab. Hal ini menunjukkan terdapat interaksi antara manusia dengan Tuhan. Manusia memerlukan petunjuk dan Tuhan mengetahui hal itu dan kemudian memberi petunjuk. Tapi, petunjuk Tuhan yang tertulis diakhiri dengan Al-Quran sebagai kitab penutup, Nabi Muhammad sebagai Nabi pamungkas dan Islam sebagai agama yang disempurnakan. “Akhir dalam pengertian menunjukkan sebuah perjalanan dari awal. Dari fakta-fakta empiris dan non-empiris, dapatlah diangkat sebagai fakta sejarah bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir,” ujar Hamid. (Iin) Baca juga :

Read More

Bahaya Pujian Terdapat 6 Perkara Menurut Imam Al Ghazali

Surabaya — 1miliarsantri.net : Sang Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) menjelaskan tentang bahaya pujian dalam kitabnya yang berjudul Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdah as-Salikin. Menurut dia, dalam beberapa kasus, pujian justru menjadi tindakan terlarang. “Dalam beberapa kasus, pujian menjadi tindakan terlarang karena ia mengandung enam bahaya. Empat di antaranya ada pada orang yang memuji dan dua lainnya ada pada orang yang dipuji,” kata Al Ghazali dikutip dari buku terjemahan kitab itu yang diterbitkan TuRos, Hidup di Dunia Apa yang Kau Cari?. Imam Ghazali menjelaskan, bahaya pertama yang akan diterima orang yang memuji adalah kadang kala ia berlebihan dalam memuji hingga berujung pada dusta. Kedua, bisa jadi pujian itu mengandung riya. Karena dengan pujian tersebut ia bermaksud menunjukkan rasa senang, padahal tidak demikian. Atau, bisa jadi ia meyakini semua yang ia katakan hingga menjadi orang yang riya dan munafik. Ketiga, mungkin saja ia mengatakan apa yang belum ia pastikan, sampai-sampai ia berdusta, dan membersihkan orang yang tidak dibersihkan Allah adalah bentuk kehancuran. Bahaya keempat, bisa jadi ia membuat senang orang yang dipuji, padahal ia memuji orang yang zalim atau fasik. Sikap ini tidak diperbolehkan karena Allah akan murka manakala orang fasik dipuji. “Adapun bahaya bagi orang yang dipuji ada dua hal,” jelas Al Ghazali. Pertama, yaitu karena pujian itu akan melahirkan sikap ujub dan takabur. Keduanya adalah sikap yang merusak. Kedua, jika ia dipuji dengan kebaikan, ia akan merasa senang, lalu terlena dan ridha terhadap dirinya. Pada akhirnya, ia tak lagi giat dalam urusan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika mendengar seseorang dipuji, قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ “Engkau telah memenggal leher kawanmu.” Namun demikian, lanjut Al Ghazali, jika pujian-pujian itu terhindar dari bahaya-bahaya di atas, maka tidak menjadi masalah, bahkan dianjurkan atau sunnah. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW memuji para sahabat dengan bersabda, “Andai aku tidak diutus, tentulah engkau yang akan diutus, wahai Umar.” Pujian apalagi yang melebihi pujian ini. Sebuah pujian yang keluar dari kejujuran dan mata hati tertinggi yang dapat memunculkan kesombongan atau sikap ujub. “Dengan demikian, memuji manusia itu adalah perilaku buruk karena hal itu mengandung kesombongan dan kebanggaan, kecuali jika pujian itu termasuk tidak melahirkan kebohongan dan ujub,” kata Al Ghazali. (har)

Read More