Ketika Rasulullah SAW Pernah Menahan Ruku untuk Menunggu Ali Bin Abi Thalib

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Islam mengajarkan kita untuk senantiasa menghormati orang yang lebih tua. Sebagaimana hal tersebut merupakan tuntunan agung Rasulullah SAW. عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما مرفوعاً: ليس منا من لم يَرحمْ صغيرنا، ويَعرفْ شَرَفَ كبيرنا Dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Āṣ -raḍiyallāhu ‘anhumā- secara marfū, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui kemuliaan orang tua di antara kami.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad) Dalam sebuah riwayat disebutkan, Ali bin Abi Thalib terburu-buru pergi dari rumahnya untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah di masjid Nabi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki Yahudi tua, yang berjalan menuju arah yang sama. Ali, karena kemuliaan dan keluhuran akhlaknya, berusaha memberikan hormat kepada orang yang lebih tua darinya itu, sehingga ia tidak mau mendahului Yahudi tersebut, walau jalannya sangat lamban. Sesampainya ia masjid, sholat berjamaah sudah dimulai, bahkan Nabi SAW sudah dalam keadaan ruku bahkan hampir berdiri dari ruku nya tersebut. Namun, dengan perintah Allah, Jibril turun, lalu meletakkan tangannya di atas bahu Nabi SAW. Jibril menyuruh beliau menahan ruku nya, agar Ali tidak sampai kehilangan rakaat pertama. Setelah shalat selesai dilaksanakan, yang kemudian dilanjutkan dengan zikir, doa, serta mengajarkan ilmu-ilmu dari Alquran kepada sahabat, beliau berpaling kepada Jibril, lalu bertanya tentang sebab gaib yang membuatnya harus memperpanjang ruku. Jibril menjawab bahwa sangat tidak patut jika Ali bin Abi Thalib kehilangan pahala yang terdapat pada rakaat pertama sholat Subuh, karena sikap hormat yang ditunjukkannya kepada seorang Yahudi tua yang ditemuinya di tengah perjalanan menuju masjid Nabi. Setiap manusia, siapapun dia, memiliki hak untuk dihargai, dihormati dan diperlakukan sesuai kedudukan serta kapasitas dirinya. Ada yang layak dihormati karena ilmunya, seperti halnya para ulama, cerdik cendekia, para guru, ilmuwan, dan sebagainya. Ada yang harus dihormati karena sebab hubungan darah dengannya, misal orang tua, kakak, paman, bibi, serta saudara-saudara lainnya. Ada pula yang dihormati karena sebab usianya, di sini ada orang yang lebih tua, ada yang seusia, ada pula yang lebih muda. Semuanya harus diperlakukan secara proporsional sesuai haknya. Ada pula urutan-urutan prioritas dalam proses hormat-menghormati ini, mana yang paling layak dihormati, mana yang harus lebih dulu dihormati, mana pula yang paling wajib memberi penghormatan dibanding yang lainnya. Misalnya, yang berkendaraan lebih wajib memberi salam kepada yang berjalan kaki. Yang berjalan kaki memberi salam kepada yang duduk. Yang sendirian lebih wajib memberi salam kepada yang berkumpul, dan sebagainya. (HR Muttafaqun ‘Alaih). Jika kita menelaah kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat, maka kita akan menemukan nuansa keadilan dalam pergaulan hidup mereka. Setiap orang diperlakukan sesuai dengan kedudukannya, dalam arti dipenuhi haknya, serta diberi keleluasaan untuk menunaikan kewajibannya. Akibatnya, lahirlah proses timbal balik, di mana setiap orang akan berusaha memberikan yang terbaik untuk yang lainnya. Dalam kondisi seperti inilah, konsep persaudaraan yang diungkapkan dalam Alquran dan hadits benar-benar teraplikasikan secara optimal. Sejatinya, apa yang dicontohkan Ali bin Abi Thalib dalam kisah ini, adalah gambaran puncak bagaimana seorang manusia menunaikan hak-hak yang dimiliki manusia lainnya, siapa pun orang tersebut. Di mana yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Seorang anak harus menaati orangtuanya. Seorang murid harus memuliakan gurunya. Walau pun ada tuntutan bagi yang lebih tua untuk menghargai, mengayomi, serta memberi teladan yang baik pula kepada yang muda. Sesungguhnya, mudah saja bagi Ali untuk mendahului Yahudi tua tersebut, toh ia hanya seorang Yahudi tua kafir, tidak bisa melihat, serta berjalan bukan untuk ke masjid. Ia pun tidak terkena dosa jika mendahului jalannya. Namun Ali tidak melakukan hal tersebut. Mengapa? Karena beliau tidak ingin mencederai hak orang lain. Biarlah orang lain tidak balas menghormati, biarlah orang lain tidak melihat apa yang dilakukannya, yang penting ia telah menunaikan kewajibannya sebaik mungkin. Sebab, bagaimana pun keadaannya, Yahudi tersebut tetaplah orang yang harus dihargai nilai kemanusiaannya. Inilah yang dinamakan ihsan. Dalam arti, tidak sekadar melakukan yang baik, namun melakukan yang terbaik. Karena sikapnya itu, Ali beroleh bonus luar biasa dari Allah SWT. Betapa tidak luar biasa, Allah SWT sampai memerintahkan Rasulullah SAW untuk memperlama rukunya, sebagaimana Dia perantarakan pesan-Nya kepada Malaikat Jibril. Berkaca dari peristiwa ini, Imam Bakr bin Abdullah Al Mazni mengungkapkan sebuah prinsip hidup terkait hubungan interpersonal. Prinsip ini layak kita jadikan pegangan dalam bergaul. Katanya, Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih tua, katakanlah, orang ini lebih dahulu daripadaku dalam hal keimanan dan amal saleh. Ia lebih baik dariku. Jika engkau bertemu dengan orang yang usia lebih mudanya, katakanlah, aku telah mendahuluinya dalam dosa dan kesalahan. Jadi, ia lebih baik dariku. (yus) Baca juga :

Read More

Berikut 3 Amalan Yang Bisa Dilakukan di Bulan Safar

Jakarta — 1miliarsantri.net : Bulan Safar 1445 H tahun ini diawali pada hari Jumat (18/8/2023) lalu. Bulan kedua kalender Hijriah ini perlu banyak kita isi dengan berbagai amalan yang dapat memberikan pahala besar. Setidaknya ada tiga amal berlipat ganda yaitu(1) amal kebaikan yang pahalanya 10 kali lipat;(2) amal kebaikan yang pahalanya 700 kali lipat; dan(3) amal kebaikan yang pahalanya sangat banyak lebih dari 700 kali lipat. Pertama, amal kebaikan yang nilai pahalanya mencapai 10 kali lipat.Imam an-Nawawi menyampaikan, setiap kebaikan itu pasti pahalanya dilipatgandakan sampai 10 kali lipat atas dasar rahmat Allah. Maka amal kebaikan apapun pahalanya otomatis 10 kali lipatnya. Ini seiring dengan firman Allah QS Al-An’am ayat 16. Kedua, amal kebaikan yang pahalanya 700 kali lipat, di antaranya sebagai berikut. Donasi untuk perjuangan jihad fi sabilillahHal ini sebagaimana disabdakan langsung Nabi Muhammad SAW, “Siapa saja yang mengirim donasi infak untuk perjuangan jihad fi sabilillah sementara ia sendiri hanya diam di rumah (tidak ikut berangkat berjuang), maka baginya setiap donasi satu dirham mendapatkan pahala 700 dirham.” (Hadits riwayat Ibnu Majah dan Al-Mundziri). Amal apa saja sesuai dengan tingkat keikhlasan, kekhusyukan, kemanfaatan bagi orang lain dan semisalnya Hal ini sesuai dengan penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari, juz II halaman 326 dan sabda Nabi Muhammad saw, “Setiap amal manusia dilipatgandakan pahalanya 10 sampai 700 kali lipat.” (Hadits riwayat Imam Muslim). Ketiga, amal kebaikan yang pahalanya mencapai lebih dari 700 kali lipat bahkan tak terhingga. Di antara amalan itu adalah membaca dzikir masuk pasar. Dalam konteks sekarang masuk mall, dan semisalnya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw berikut. Artinya, “Siapa saja yang masuk ke pasar lalu membaca dzikir yang artinya: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian, Allah Dzat yang menghidupkan dan yang membinasakan, Allah Dzat adalah Yang Maha Hidup yang tidak akan pernah binasa, hanya pada kekuasan-Nya lah kebaikan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’; maka Allah pastikan bagi orang yang membacanya itu sejuta kebaikan, Allah lebur darinya sejuta keburukan, dan Allah angkat baginya sejuta derajat.” (Hadits riwayat al-Hakim). (yan) Baca juga :

Read More

Kiamat Dalam Surat Ghafir Ayat 15 Disebut Yaum Al Talaq

Kairo — 1miliarsantri.net : Mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar cabang Assiut, Mukhtar Marzuk Abdul Rahim mendapat pertanyaan dari salah satu jamaah tentang satu ayat dalam Surat Ghafir, yakni ayat 15. Allah SWT berfirman: رَفِيْعُ الدَّرَجٰتِ ذُو الْعَرْشِۚ يُلْقِى الرُّوْحَ مِنْ اَمْرِهٖ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِۙ “(Dialah) Yang Mahatinggi derajat-Nya, yang memiliki ’Arsy, yang menurunkan wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, agar memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari Kiamat).” (QS Ghafir ayat 15) Dalam surat tersebut, ada frasa ‘Yauma Al Talaq’ dan diartikan dengan Hari Kiamat. Lantas, mengapa hari kiamat disebut Yaum Al Talaq? Syekh Marzuk menjelaskan, Allah SWT telah menamakan hari kiamat di Surat Ghafir dengan nama Yaum Al Talaq. Pada hari di mana manusia dibangkitkan, tidak ada yang dapat bersembunyi dari Allah SWT. Alasan mengapa disebut Yaum Al Talaq salah satunya karena di saat itu hari di mana bertemunya penduduk langit dan bumi, sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf bin Mahran dari Ibnu Abbas RA. Kedua, pertemuan tersebut merupakan yang pertama dan yang terakhir. Ini didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas RA juga. Ketiga, karena itu merupakan hari pertemuan antara makhluk dan Sang Pencipta. Dasarnya ialah riwayat Qatadah dan Muqatil. Keempat, adalah karena itu merupakan hari pertemuan antara mereka yang tertindas dan yang menindas. Ini menurut riwayat Maimun bin Mahran. Karena itu, ayat tersebut juga menjadi peringatan keras bagi para penindas atau para pemakan uang haram. Sebab, Syekh Mukhtar Marzuk menyampaikan, hak-hak mereka akan tertunda selama tidak bertaubat dengan mengembalikan hak tersebut atau memohon ampunan atau maaf dari pemilik hak tersebut. Rasulullah SAW bersabda: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «اﻟﻈﻠﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﻓﻈﻠﻢ ﻻ ﻳﻐﻔﺮﻩ اﻟﻠﻪ ﻭﻇﻠﻢ ﻳﻐﻔﺮﻩ ﻭﻇﻠﻢ ﻻ ﻳﺘﺮﻛﻪ .ﻓﺄﻣﺎ اﻟﻈﻠﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻐﻔﺮﻩ اﻟﻠﻪ ﻓﺎﻟﺸﺮﻙ ﻗﺎﻝ اﻟﻠﻪ: {ﺇﻥ اﻟﺸﺮﻙ ﻟﻈﻠﻢ ﻋﻈﻴﻢ}, ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻈﻠﻢ اﻟﺬﻱ ﻳﻐﻔﺮﻩ ﻓﻈﻠﻢ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺭﺑﻬﻢ .ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻈﻠﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺘﺮﻛﻪ اﻟﻠﻪ ﻓﻈﻠﻢ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻌﻀﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﺪﺑﺮ ﻟﺒﻌﻀﻬﻢ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ» . “Kezaliman itu ada tiga. Pertama adalah kezaliman yang Allah tidak akan mengampuninya. Kedua, kezaliman yang Allah akan mengampuninya. Ketiga, kezaliman yang Allah tidak akan membiarkannya. Kezaliman yang Allah tidak akan mengampuninya adalah kesyirikan. Allah SWT berfirman, ‘Sesungguhnya kesyirikan adalah benar-benar kezaliman yang besar’. Adapun kezaliman yang Allah akan mengampuninya adalah kezaliman para hamba terhadap diri-diri mereka sendiri dalam perkara antara mereka dengan Tuhan mereka. Sedangkan kezaliman yang Allah tidak akan membiarkannya adalah kezaliman para hamba, antara sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, sehingga Allah mengurus untuk sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. (rum/aaz) Baca juga :

Read More

Semangat Tauhid Harus Selalu Tertanam Dalam Mengisi Kemerdekaan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kabid Sosial dan Pemerdayaan Umat BPMI, Laksma TNI (Pur) KH Asep Saepudin, menilai, masyarakat Indonesia perlu memaknai kemerdekaan dengan bingkai ketauhidan. “Sebagaimana para pejuang dahulu berjuang dengan bingkai ketauhidan seperti kumandang kalimat tasbih, tahmid, dan takbir serta yakin akan kekuatan yang dimiliki Allah SWT akan diberikan kepada orang-orang yang bertauhid,” ujar Asep usai melaksanakan sholat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta (18/08/2023). Menurut Asep, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam memaknai kemerdekaan dengan bingkai ketauhidan: Menurut Asep, hal utama yang harus dilakukan masyarakat Indonesia adalah meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat kemerdekaan Indonesia. Dengan rasa syukur itu, diharapkan Allah SWT menambah dan membantu masyarakat Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim: 7) Masyarakat Indonesia, terkhusus umat Islam, perlu meningkatkan Iman dan Takwa kepada Allah SWT. Itu agar kemerdekaan yang dinikmati menjadi berkah untuk bangsa Indonesia. وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96) Masyarakat Indonesia perlu m engisi Kemerdekaan dengan membangun keseimbangan antara kepentingan akhirat dan dunia. Keseimbangan itu dilakukan dengan berbuat berbagai kebaikan dan yang bermanfaat bagi umat manusia. “Di antaranya turut melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta tidak membuat kerusakan di muka bumi ini karena Allah subhanahu wata’ala tidak suka kepada orang yang suka berbuat kerusakan,” ujar Asep. وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qasas: 88) (rid) Baca juga :

Read More

Menjaga Marwah Masjid Agar Tetap Pada Fungsinya

Jakarta — 1miliarsantri.net : Program Masjid Pelopor Moderasi Beragama (MPMB) telah di launching Kementerian Agama (Kemenag) RI pada 13 Nopember 2022 lalu. Melalui program ini, masjid diharapkan mengalami transformasi dan revitalisasi sehingga makin profesional manajemennya, kian moderat cara pandang dan paham keagamaan seluruh ekosistemnya, serta kian berdaya masjidnya dan akhirnya mampu memberdayakan umatnya. Sejak kelahirannya, institusi masjid memiliki peran sentral dalam rangka pembentukan, pengembangan dan kemajuan komunitas Muslim, di luar sebagai tempat ibadah. Inilah bangunan yang mendapat prioritas pertama untuk didirikan, begitu Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Masjid pertama, Quba (23 September 622) menjadi simbol eksistensi Islam, sekaligus pertanda umat Islam mulai tumbuh dan bersiap membangun peradaban baru. Kata masjid berasal dari sa-ja-da, disebut dalam al-Qur’an sebanyak 28 kali. Secara harfiyah, masjid bermakna tempat sujud. Tetapi, masjid bukan hanya berfungsi untuk sujud saja (place for worship). Pada dasarnya, masjid merupakan tempat melakukan berbagai aktifitas (center for community) yang mengandung makna kepatuhan kepada Allah Swt (Shihab, 2012: 247), dalam makna yang luas. Peran masjid sebagai pusat aktifitas komunitas muslim akhirnya melebar hingga menyentuh aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan juga—yang tak mungkin dihindari—politik. Karena itu, Allah Swt (QS, 9: 18) mensyaratkan orang-orang tertentu yang mampu menjadi pemakmur (takmir) masjid, baik dalam konteks idarah (manajemen), imarah (berbagai kegiatan yang dirancang) maupun ri’ayah (pemeliharaan dan pemenuhan berbagai fasilitas). Kualifikasi takmir tersebut adalah beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, menunaikan shalat dan zakat serta orang-orang yang hanya takut kepada Allah SWT. Di luar itu, masjid mungkin akan disalahgunakan fungsinya. Pada zaman Rasulullah SAW, masjid digunakan untuk berbagai keperluan yang positif. Selain sebagai tempat shalat dan dzikir, masjid juga digunakan untuk sebagai pendidikan, santunan sosial, konsultasi dan komunikasi berbagai persoalan umat, latihan militer, pengadilan, tempat tahanan, penerangan dan lain-lain. Peran dan fungsi masjid sangat strategis dan sentral bagi umat Islam. Karakternya terbuka, egaliter dan ramah terhadap siapa saja. Orang yang berada di masjid selalu dianggap pasti baik. Bukan hanya Rasulullah SAW yang ingin membangun masjid, bahkan kaum munafiq Madinah juga membangun masjid dengan motif politik yang membahayakan umat Islam. Masjid itu disebut masjid al-Dhirar (QS, al-taubah: 107), dibangun persis disebelah masjid Quba. Ibn Katsir (VII, 188-90) menyebut, masjid Dhirar dibangun oleh 12 (dua belas) orang munafiq (Khidzam bin Khalid, dkk). Riwayat lain menyebut, masjid ini dibangun oleh Bani Ghanim bin Auf. Sejak awal, masjid ini dibangun dengan niat yang tidak baik: membahayakan Nabi Muhammad SAW dan menimbulkan perpecahan umat Islam. Agar legitimatif, para pendirinya, berharap dan menghendaki agar Nabi Muhammad SAW berkenan shalat di masjid ini. Untungnya Nabi Muhammad SAW menolak, dan menjanjikan pasca peristiwa Tabuk, beliau akan mendatangi masjid tersebut. Di tengah perjalanan pulang, Allah SWT mengingatkannya melalui QS: 9,107-110. Sejak zaman dulu, masjid merupakan tempat yang ramah untuk semua orang, termasuk non-Islam. Orang bebas keluar-masuk masjid, termasuk tidur dan menginap didalamnya. Masjid termasuk ‘tempat favorit’ terjadinya kejahatan, apalagi saat shalat berlangsung. Dari kejahatan ringan hingga berat. Tercatat dalam sejarah, Umar bin Khattab meninggal di masjid disaat shalat shubuh di tangan Abu Lu’luah, sahaya Mughirah bin Syu’bah (Siyar al-salaf al-shalihin: 46). Mughirah merupakan gubernur Kufah yang diangkat oleh Umar bin Khattab. Ali bin Abi Thalib mewarisi kekacauan politik masa sebelumnya, pasca meninggalnya Utsman bin Affan. Terjadilah perang saudara yang mengenaskan. Perang Jamal terjadi antara Ali bin Abu Thalib melawan Aisyah binti Abu Bakar. Perang Shiffin Meletus di mana Ali bin Abu Thalib harus berhadapan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang Nahrawan tak bisa dihindari, di mana kelompok Khawarij melawan Ali bin Abu thalib). Ali bin Abu Thalib wafat di tangan pendukungnya sendiri, Abdurrahman bin Muljam (seorang ahli ibadah dan al-muqri’) ketika sedang menuju Masjid jelang shalat Subuh pada 17 Ramadhan. Mimbar Jumat masjid pernah menjadi ajang caci maki kepada para shahabat pada Dinasti Umayyah. Di masa Umar II, tradisi ini dihilangkan, diganti dengan kalimat yang jauh lebih baik. Al-Dasuqi dalam Hasiyah-nya meriwayatkan, Umar II adalah orang pertama yg mengutip QS al-Nahl: 90 sebagai penutup khutbah. Cerita sejarah ini harus diingat oleh umat Islam dan jangan sampai terulang. Sebagai tempat ibadah dan tempat berkumpulnya umat Islam untuk berbagai keperluan yang positif, masjid harus dijaga sesuai titahnya. Secara manajemen, masjid harus dikelola secara profesional. Pada akhirnya, masjid dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam. Masjid harus menyatukan dan ikut menyelesaikan berbagai masalah, bukan malah memecah belah umat dan membuat berbagai masalah. Melalui mimbar-mimbarnya, masjid mesti membumi dan merasakan nafas kehidupan umat dan bangsa. Masalah masjid merupakan masalah bangsa, dan masalah bangsa juga meruapakan masalah masjid. Program MPMB sejatinya untuk mendorong agar masjid menjadi bagian dari solusi persoalan keumatan dan kebangsaan. Sebagaimana dimaklumi, intoleransi masih menjadi persoalan bangsa ini. Begitu pula dengan radikalisme. Hasil kajian lembaga riset dan temuan beberapa lembaga negara, menunjukkan jamaah masjid tidak tertutup kemungkinan terpapar intoleransi dan radikalisme. Masjid digunakan untuk menyebarkan ajaran yang justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Untuk membuktikannya, tidak sulit. Cukup didengarkan saja bagaimana isi ceramah atau khutbah yang disampaikan oleh khatib di masjid tersebut. Ceramah yang mengajarkan intoleransi, provokasi dan ujaran kebencian kepada kelompok yang berbeda, dan pemanfaatan masjid untuk kegiatan politik praktis, merupakan beberapa indikasi yang patut kiranya diwaspadai. Karena itu, takmir dan jamaah masjid harus terlibat dalam upaya menjaga agar masjid menjadi tempat yang khusuk untuk beribadah dan sejuk untuk bermuamalah. Dari masjid, kita harus menguatkan tekad dan semangat untuk membangun bangsa dan negara agar seluruh komponen bangsa berketuhanan, berprikemanusiaan, menjaga persatuan dan kesatuan, bermusyawarah-mufakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan serta berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Program MPMB merupakan wasilah menuju ke sana. (Iin) Baca juga :

Read More

Makna Sejarah dalam Islam, Beda dengan History ala Sekuler

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dalam masyarakat yang tidak bertuhan alias sekuler, sejarah didekati melalui tiga sisi. Pertama, pandangan siklus, artinya sejarah itu berjalan seperti sebuah siklus dan mengalir alami. Tidak ada tuhan atau tujuan dibalik kejadian itu. Pandangan Yunani kuno ini masih diminati oleh Nietzsche atau Spangler. Kedua, pandangan providensial, artinya sejarah itu sepenuhnya dibimbing oleh Tuhan, dan manusia tidak punya peran yang berarti. Ini bersifat Deterministik. Tapi, pandangan ketiga yang juga deterministik adalah pandangan deterministik Sekuler. Artinya sejarah itu diciptakan bukan oleh kekuatan manusia tapi oleh motif-motif ekonomi (Marxis, Hegel). Dalam ketiga pendekatan tersebut, manusia dianggap tidak berkehendak, tidak bercita-cita, tidak bertanggungjawab, tidak pula bermoral alias tidak hidup. Pendiri dan Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) dan Center of Islamic and Occidental Studies (CIOS), Hamid Fahmy Zarkasyi, menjelaskan, dalam Islam makna sejarah sejalan dengan makna realitas. “Terdapat pandangan dualitas yang tidak dualistis dan bukan pula dualisme. Di satu sisi ada Tuhan yang menciptakan, ada alam semesta yang diciptakan,” kata Hamid. Akan tetapi, Tuhan tidak menjadi bagian dari alam, karena Dia transenden. Tuhan mengatur dunia tanpa menjadi bagian daripadanya. Di sisi lain terdapat manusia yang juga diciptakan. Manusia, meski diciptakan, ia bukan benda mati. Manusia diberi petunjuk dan janji, diberi akal dan kehendak, serta diberi kebebasan untuk memilih arah perjalanan hidupnya (sejarahnya). Hanya saja ia juga menggendong amanah, tugas serta kewajiban. Dengan itu semua manusia bebas berinteraksi dengan-Nya. Sejarah adalah eksposisi fakta dan realitas masa lalu kata James Fenimore Cooper (1789 -1851), seorang novelis dari Amerika. Tapi, James masih kurang teliti, sebab eksposisi atau ekspresi masa lalu bukan sepenuhnya reproduksi dari realitas. Pikiran sangat berperan dalam melakukan eksposisi, karena memiliki pandangan terhadap realitas. Pandangan itu adalah worldview. Oleh sebab itu, penulis sejarah itulah yang mengarahkan jalannya perjalanan sejarah di masa lalu. Jadi siapa berkuasa atau yang memenangkan wacana yang menulis sejarah. Persis seperti kata Alex Haley (1921–1992), seorang penulis Amerika bahwa History is written by the winners. Maka dari itu Norman Davies, sejarawan dan penulis Inggris, menasehatkan dengan tegas “Semua sejarawan harus menuturkan ceritanya dengan meyakinkan, kalau tidak maka akan dilupakan”. Ketika seseorang menulis sejarah ia secara otomatis akan memasukkan data dan fakta secara selektif. Data dan fakta yang sesuai diambil yang tidak dibuang. “Fakta sejarah”, kata Carl Becker (1873 – 1945) sejarawan Amerika, “Tidak ada kecuali diciptakan oleh sejarawan, dan setiap bagian yang diciptakannya itu beberapa bagian dari pengalaman pribadinya pasti masuk”. Bagi sejarawan Inggris A. J. P. Taylor (1906 -1990), menjadi sejarawan di Perancis, katanya, sama dengan menjadi tentara, politisi dan dalam pengertian kuno menjadi seperti nabi dan guru spiritual dan moral. Artinya, sejarawan menentukan banyak hal. Sejarah Amerika Serikat yang ditulis oleh pendatang akan jauh berbeda dari yang ditulis oleh suku Amerika asli. Orang kulit putih pasti akan memulai sejarah Amerika, misalnya, dari Declaration of Independence. Sementara, penulis dari suku asli akan menggali sejak terjadinya pembunuhan masal oleh pendatang. Jadi sejarawan adalah sobyektif. Masing-masing penulis memiliki worldview sebagai basis sobyektifitasnya. Muhammad Rasulullah sebagai Nabi terakhir adalah fakta. Namun, dia tidak akan menjadi fakta sejarah, kecuali terdapat sejarawan yang mendudukkannya. Bagi sejarawan Muslim, selain fakta ini terdapat fakta metafisis (berdasarkan wahyu) bahwa Tuhan sebelum itu telah mengutus nabi-nabi dengan kitab-kitab. Hal ini menunjukkan terdapat interaksi antara manusia dengan Tuhan. Manusia memerlukan petunjuk dan Tuhan mengetahui hal itu dan kemudian memberi petunjuk. Tapi, petunjuk Tuhan yang tertulis diakhiri dengan Al-Quran sebagai kitab penutup, Nabi Muhammad sebagai Nabi pamungkas dan Islam sebagai agama yang disempurnakan. “Akhir dalam pengertian menunjukkan sebuah perjalanan dari awal. Dari fakta-fakta empiris dan non-empiris, dapatlah diangkat sebagai fakta sejarah bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir,” ujar Hamid. (Iin) Baca juga :

Read More

Bahaya Pujian Terdapat 6 Perkara Menurut Imam Al Ghazali

Surabaya — 1miliarsantri.net : Sang Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) menjelaskan tentang bahaya pujian dalam kitabnya yang berjudul Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdah as-Salikin. Menurut dia, dalam beberapa kasus, pujian justru menjadi tindakan terlarang. “Dalam beberapa kasus, pujian menjadi tindakan terlarang karena ia mengandung enam bahaya. Empat di antaranya ada pada orang yang memuji dan dua lainnya ada pada orang yang dipuji,” kata Al Ghazali dikutip dari buku terjemahan kitab itu yang diterbitkan TuRos, Hidup di Dunia Apa yang Kau Cari?. Imam Ghazali menjelaskan, bahaya pertama yang akan diterima orang yang memuji adalah kadang kala ia berlebihan dalam memuji hingga berujung pada dusta. Kedua, bisa jadi pujian itu mengandung riya. Karena dengan pujian tersebut ia bermaksud menunjukkan rasa senang, padahal tidak demikian. Atau, bisa jadi ia meyakini semua yang ia katakan hingga menjadi orang yang riya dan munafik. Ketiga, mungkin saja ia mengatakan apa yang belum ia pastikan, sampai-sampai ia berdusta, dan membersihkan orang yang tidak dibersihkan Allah adalah bentuk kehancuran. Bahaya keempat, bisa jadi ia membuat senang orang yang dipuji, padahal ia memuji orang yang zalim atau fasik. Sikap ini tidak diperbolehkan karena Allah akan murka manakala orang fasik dipuji. “Adapun bahaya bagi orang yang dipuji ada dua hal,” jelas Al Ghazali. Pertama, yaitu karena pujian itu akan melahirkan sikap ujub dan takabur. Keduanya adalah sikap yang merusak. Kedua, jika ia dipuji dengan kebaikan, ia akan merasa senang, lalu terlena dan ridha terhadap dirinya. Pada akhirnya, ia tak lagi giat dalam urusan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika mendengar seseorang dipuji, قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ “Engkau telah memenggal leher kawanmu.” Namun demikian, lanjut Al Ghazali, jika pujian-pujian itu terhindar dari bahaya-bahaya di atas, maka tidak menjadi masalah, bahkan dianjurkan atau sunnah. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW memuji para sahabat dengan bersabda, “Andai aku tidak diutus, tentulah engkau yang akan diutus, wahai Umar.” Pujian apalagi yang melebihi pujian ini. Sebuah pujian yang keluar dari kejujuran dan mata hati tertinggi yang dapat memunculkan kesombongan atau sikap ujub. “Dengan demikian, memuji manusia itu adalah perilaku buruk karena hal itu mengandung kesombongan dan kebanggaan, kecuali jika pujian itu termasuk tidak melahirkan kebohongan dan ujub,” kata Al Ghazali. (har)

Read More

Cukuplah kita berharap kepada Allah SWT

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dalam kehidupan manusia, kesulitan dan tantangan kerap kali muncul dan merupakan dua hal yang secara konstan akan selalu ada. Setiap fase kehidupan yang dijalani memiliki tantangan dan ujiannya masing-masing. Imam Shamsi Ali menyebut, pada akhirnya kehidupan ini harus dipahami sebagai “tantangan” (challenge). Hidup itu adalah tantangan. “Dan kita hidup juga untuk tertantang. Mungkin itulah salah satu makna dari tangisan setiap bayi di saat terlahir ke atas dunia ini. Selama sembilan bulan merasakan kenyamanan dalam rahim sang ibu., kini harus keluar untuk menghadapi tantangan sepanjang hayatnya,” terangnya. Dalam dua tiga bulan terakhir ini misalnya, secara pribadi ia merasakan betapa hidup itu penuh dengan tantangan. Apa yang ia coba perjuangkan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan bagian dari perjuangan di jalan dakwah. Selama berusaha mewujudkan pondok pesantren yang masih dirintis di Amerika Serikat, ia merasakan betapa dunia itu sering sumpek dan terasa tidak bersahabat. Ada sahabat yang menyambut dengan senyuman, ada pula yang menjaga jarak dengan kecurigaan seolah ia mengejar sesuatu untuk kepentingan pribadi. “Baru kali ini saya merasakan betapa mengharap, apalagi “mengemis” itu pahit dan menyakitkan (painful). Tiba-tiba saja perasaan minder bahkan ada semacam kehinaan yang terasa mencengkram,” lanjutnya. Bahkan, dia merasa seolah-olah tengah digerogoti oleh perasaan bersalah. Menjadikan sebagian orang khawatir, bahkan menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu. Dalam prosesnya, menghadapi tantangan hidup seringkali menjadikan dada terasa terhimpit dan sesak dan pikiran berkecamuk. Ragam kekhawatiran dan kegalauan terasa merampok ketenangan dan ketentraman hidup, membuat tidur di malam hari tidak lagi nyenyak. Bahkan, hal ini disebut berdampak pada kesehatan fisik, mental dan pikiran (well being). Namun, di sisi lain semua itu menjadi proses penyadaran tentang kenyataan. Nyatanya, tidak semua orang di sekitar kita harus tahu segala permasalahan dan kesulitan yang sedang dihadapi, termasuk mereka yang dianggap deket. “Ada permasalahan dan kesulitan hidup yang hanya Allah SWT dan diri kita sendiri yang tahu. Biarlah itu menjadi rahasia kita dengan sang Pencipta,” kata salah satu ulama Indonesia yang lama tinggal di Amerika ini. Di momen-momen seperti itu, manusia disebut sedang diingatkan dan tersadarkan oleh keterbatasan segalanya. Keterbatasan diri sendiri dan keterbatasan semua yang ada di sekitar kita. Orang-orang sekitar disebut tidak tahu, bahkan ada yang tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. “Semua ini sekaligus menyadarkan kita akan Dia Yang Qadiir. Dia Yang Maha menguasai alam semesta tiada batas. Di saat orang lain tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahkan di saat orang lain menjaga jarak seraya menumbuhkan ragam kecurigaan. Dia, Allah Yang Mahaqariib, justru sedang melambai mengajak hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya untuk bersegera dan semakin mendekat,” ucap dia. Imam Shamsi Ali menyebut Allah SWT tidak pernah menjauh, malah selalu memberikan jalan keluar. Memang, di dunia ini hanya Allah SWT yang memiliki jalan-jalan kemudahan itu. Allah SWT menjanjikan solusi kepada manusia-manusia yang terperangkap oleh permasalahan hidup. Bukan cuma itu, Allah SWT juga yang berkuasa untuk membuka pintu-pintu kemudahan bagi mereka yang kesulitan. Pengalaman hidup banyak mengajarkan bahwa berharap dari makhluk hanya akan menjatuhkan kehormatan dan mendatangkan kehinaan. Berharap dan meminta kepada makhluk, hanya semakin menumbuhkan rasa minder dan tak percaya diri. Sebaliknya, berharap kepada Allah SWT itu hal yang pasti dan akan mendatangkan kemuliaan. Maka, ia menyebut jika meminta hendaknya meminta kepada Allah SWT dan jika berharap, berharaplah kepada-Nya. “Allah tempat kita kembali. Hanya pada-Nya semata segala cita dan harapan kita gantungkan. Kepada-Nya kita bertawakal dan kepada-Nya pula kita semua akan kembali. Mengharap kepada makhluk mengecewakan dan menghinakan. Mengharap kepada Allah memuaskan dan memuliakan,” pungkasnya. (rid) Baca juga :

Read More

Obat Dari Pengendalian Kerasnya Hati Adalah Dzikir

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Dzikir dengan selalu mengingat Allah ﷻ memiliki banyak faedah bagi muslim. Salah satu manfaatnya yakni sebagai obat bagi kerasnya hati. Seperti dikutip dari buku Tazkiyatun Nafs, Seseorang menemui Hasan Al-Bashri rahimahullah, dan berkata “Aku mengadukan kerasnya hati ini, kepadamu.” Lalu Hasan rahimahullah menjawab, “Lunakkan ia dengan dzikir!” Makhul bertutur, “Mengingat Allah itu obat, sedangkan mengingat manusia itu penyakit.” Seseorang bertanya kepada Salman, “Amal apakah yang utama?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau baca ayat Alquran, ولذكرالله أكبر “Dan dzikrullah itu (amal) terbesar.” Abu Musa Al-Asy’ariy meriwayatkan, Rasul ﷺ bersabda, Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dengan yang tidak berdzikir itu seperti orang yang hidup dengan orang yang mati. (HR. Bukhari) Abdullah bin Busr meriwayatkan, Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya pintu kebajikan itu banyak. Sedangkan aku tidak mampu untuk memasuki semuanya. Maka, tunjukkanlah kepadaku, terserah kepadamu mana-mana yang aku mampu memasukinya dan jangan banyak-banyak, sebab aku bisa lupa!” Rasulullah ﷺ menjawab, لا يزال لسانك رطبا بذ كر الله “Pastikan lisanmu selalu basah dengan dzikrullah!” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim) Sebagai bagian dari adab, umat Islam dianjurkan untuk senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dan berdoa. Adakah ciri yang nampak terlihat dari orang yang rajin berdzikir dan berdoa? Pakar Ilmu Alquran KH Ahsin Sakho menjelaskan, membaca doa dalam keseharian umat Islam begitu ditekankan. Bahkan mulai dari bangun tidur, menjalankan aktivitas, hingga kembali tidur pun terdapat doa-doa harian yang menyertainya. “Apabila doa-doa harian senantiasa dibaca dan diresapi, seorang hamba (cirinya) akan selalu diliputi rasa syukur dan ketenangan. Auranya tenang,” kata Kiai Ahsin dalam kajian live streaming, di Ahsin Sakho Center, Jumat (23/6/2023). Membaca doa dan wirid merupakan adab dan akhlak umat Islam. Di balik itu, terdapat sejumlah alasan mengapa umat Islam perlu membaca doa dan wirid dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Beliau menjelaskan, Allah memerintahkan manusia untuk senantiasa mengingat Diri-Nya. Dalam kondisi apapun, manusia dituntut untuk mengingat Allah SWT. Dan cara untuk mengingat Allah dapat ditempuh dengan menghaturkan doa serta membaca wirid harian. “Allah menyuruh kita untuk memperbanyak ingat kepada Allah, perbanyak dzikir. Karena kita itu adalah makhluk ciptaan Allah. Allah inginkan agar hubungan kita dengan Allah tercipta dalam hubungan yang harmonis, hubungan yang bagus,” ujarnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Ahzab ayat 41: “Ya ayyuhalladzina amanuu-dzkuruullaha dzikran katsiran.” Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kamu semuanya dengan sebanyak-banyak zikir (mengingat Allah).”(yus) Baca juga :

Read More

Mampu Menahan Amarah Merupakan Ciri Orang Kuat Iman Menurut Rasulullah SAW

Jakarta — 1miliarsantri.net : Menjadi pribadi yang mampu menahan amarah merupakan sebuah pencapaian mulia, mengukuhkan seorang muslim sebagai individu yang penuh ketakwaan. Kemampuan ini bukan hanya tentang menghindari ledakan emosi, melainkan juga tentang menjaga harmoni dengan sesama. Marah bukan hal yang perlu dihilangkan, tetapi dikendalikan atau diproporsionalkan. Puncaknya adalah kemampuan untuk marah bukan karena diri sendiri, melainkan karena agama. Menahan amarah sebagai akhlak mulia ditegaskan dalam Surah Ali Imran ayat 133-134. “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 133-134). Termasuk juga dalil yang menegaskan kebaikan sifat menahan amarah yakni, Rasulullah SAW bersabda, “Orang kuat itu bukanlah orang yang jago bergulat. Akan tetapi, orang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” (Muttafaq ‘Alaihi: Hadits Shahih Bukhari no.6114 dan Muslim no.2609) Founder Formula Hati, Ustadz Muhsinin Fauzi, menjelaskan, beberapa faktor yang memicu kemudahan marah. Di antaranya lemahnya diri dan kapasitas intelektual yang terbatas, membuat kesulitan dalam menemukan solusi yang tepat. “Proses pembiasaan dari lingkungan yang tidak baik juga berperan, terutama jika tumbuh dalam keluarga yang pemarah,” ungkap Ustadz Fauzi kepada 1miliarsantri.net, Kamis (10/08/2023). Selain itu, mudah marah juga bisa dipengaruhi perbuatan maksiat dapat mengerasi hati, menjauhkannya dari kelembutan dan merangsang kemarahan. Terlalu besar harapan pada orang lain, komunikasi yang tidak efektif, dan target yang padat juga dapat menjadi pemicu kemarahan. Akan tetapi, ada marah yang diperbolehkan dengan catatan. Kemarahan yang muncul akibat sebab yang tepat, terutama yang berkaitan dengan urusan agama, dapat dianggap wajar. Namun, cara ekspresi marah harus tepat, mengingat Rasulullah menunjukkan ekspresi marah dengan wajah memerah. “Waktu, objek, dan tujuan dari kemarahan juga haruslah tepat,” tutur Ustadz Fauzi. Menurut Ustadz Fauzi, untuk mencapai kondisi kemarahan terkendali, diperlukan latihan dan pembiasaan. Pendekatan agama memiliki peranan penting dalam hal ini, melalui dzikir yang rajin, tilawah Al-Quran, perluasan ilmu, dan latihan mengelola hawa nafsu dengan diam. Ketika marah memuncak, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Jika kemarahan hampir meledak, beberapa langkah sederhana dapat membantu meredakan gejolak. “Taawudz, wudhu, dan sholat adalah langkah-langkah yang telah diajarkan oleh agama untuk membantu mengendalikan diri dalam momen-momen kritis,” pungkas Ustadz Fauzi. (win) Baca juga :

Read More