Buya Yahya : 4 Cara Tumbuhkan Rasa Cinta Kepada Rasulullah SAW

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kecintaan kepada Rasulullah SAW merupakan salah satu aspek penting dalam mengamalkan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW merupakan teladan utama bagi umat Islam, dan mengembangkan rasa cinta kepadanya adalah tugas yang penting. Pengasuh Pondok Pesantren Al Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), menguraikan empat cara menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW: “Artinya hendaknya kita menjalani rutinitas sehari-hari dengan lebih khidmat dan bersungguh-sungguh, mengingat Rasulullah dalam setiap tindakan yang kita lakukan, seperti makan, tidur, berpakaian, dan lain-lain,” terang Buya Yahya dalam ceramahnya yang disiarkan secara daring, Kamis (21/09/2023). “Shalawat yang dipanjatkan dengan penuh ketaqwaan akan mengundang rahmat Allah kepada kita, dan ini merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Rasulullah,” ujar Buya Yahya. Buya Yahya menyarankan agar kita membaca sejarah Nabi dengan sungguh-sungguh dan tidak sekadar membaca rangkuman atau maulid saja. Sejarah Nabi Muhammad merupakan sumber inspirasi dan pengetahuan yang sangat berharga bagi umat Islam. “Kita juga harus berhati-hati dalam memilih kitab sejarah nabi yang akan kita baca,” tutur Buya Yahya. “Tidak hanya sebagai pemimpin dalam sejarah, tetapi juga sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari. Kita umat Nabi Muhammad SAW, dan dengan kesadaran tersebut, kita mempunyai kewajiban suci untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai Islam yang diajarkannya,” ungkap Buya Yahya. Dia mengingatkan, mengabdi kepada umat merupakan wujud nyata kecintaan dan kasih sayang kepada Rasulullah. Dalam pengabdian ini, umat Islam bisa membantu sesama untuk mengenal Nabi Muhammad SAW dan ajarannya, membantu perjalanan spiritualnya, dan pada akhirnya mendekatkan diri kepada Allah SWT. “Kita dapat menjadi bagian dalam upaya agar ajaran Rasulullah tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat, sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat mengenal dan mencintai Nabi Muhammad SAW serta mendekatkan diri kepada Allah,” pungkas Buya Yahya. (yan) Baca juga :

Read More

Dua Kali Kematian dan Dua Kali Kehidupan Yang Akan Dilalui Manusia

Surabaya — 1miliarsantri.net : Pertanyaan tentang misteri mati dan hidup yang terlontar sejak zaman filsuf Yunani hingga saat ini, masih saja relevan. Mengapa kita hidup? Dan, mengapa kemudian kita mati? Hidup dan mati, keduanya sama-sama misteri. Hari ini seseorang hidup. Tapi boleh jadi, hari ini juga, besok, atau lusa ia mati. Di beberapa ayatnya, Alquran membincangkan masalah hakikat hidup dan mati, serta tujuan dari keduanya. Masalah yang pertama dijelaskan bahwa pada hakikatnya manusia mengalami dua kali kematian dan dua kali kehidupan. Ini dapat kita mengerti dari firman Allah SWT yang menggambarkan pertanyaan orang-orang kafir di akhirat kelak. ‘ قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَىٰ خُرُوجٍ مِنْ سَبِيلٍ ‘Mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali. Sekarang kami mengakui dosa-dosa kami. Adakah jalan keluar (dari neraka)?” (QS Al-Mukmin [40]: 11). Para ahli tafsir menerangkan, mati pertama adalah fase ketika manusia masih berupa tanah, atau sebelum dilahirkan ke dunia. Sedangkan, mati kedua adalah kematian fisik sebagai akhir hidup di dunia untuk menapak ke kehidupan akhirat. Adapun kehidupan pertama manusia merupakan kehidupannya di dunia. Dan, kehidupan kedua berlangsung ketika kebangkitan kembali saat hari kiamat tiba. Penuturan ahli tafsir tersebut di atas menunjukkan, kematian bukanlah akhir dari kehidupan fisik manusia. Tetapi, kematian merupakan gerbang untuk memasuki kehidupan selanjutnya, yang menurut Alquran dan hadits, sebagai kehidupan yang sebenarnya. Konon, kehidupan itu sama sekali berbeda dengan kehidupan dunia saat ini. Sedangkan, masalah tujuan adanya hidup dan mati, Allah SWTberfirman: الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS Al-Mulk [67]: 2). Wahyu tersebut mengabarkan kepada manusia bahwasanya tujuan Allah SWT menciptakan kehidupan dan kematian adalah memberikan kesempatan kepada manusia untuk tampil sebagai makhluk moral. Yaitu, makhluk yang punya kemampuan untuk memilih, mau berbuat kebajikan ataukah keburukan. Pilihan-pilihan yang dijalankan akan kembali ditampakkan dalam kehidupan setelah kematian. Untuk itu, Islam menganjurkan hendaknya hidup ini dijalani dengan sungguh-sungguh, baik sungguh-sungguh dalam ketakwaan maupun dalam amalan. (yat) Baca juga :

Read More

Kebenaran Risalah Jin Islam

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Segala Ketentuan dari Allah adalah benar, termasuk diantaranya menjadikan kebeneran risalah Islam tidak hanya diamini golongan manusia, tetapi juga dari bangsa jin. Berikut ini sejumlah fakta terkait dengan islamnya jin terhadap Islam dan syariatnya yang dirangkum dari berbagai sumber: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS Adz-Dzaariyat [51]: 56). Ayat ini juga menunjukkan kepada umat manusia, bahwa jin yang diciptakan Allah dari api pun bisa menerima kebenaran Alquran dan Islam. Sementara, manusia yang diciptakan Allah dari tanah dan diberi kelebihan berupa akal, ternyata belum sepenuhnya menerima Islam. Seharusnya, mereka berkaca dari keterangan ayat ini. Ibnu Mas’ud menyatakan, dirinya ikut menyaksikan malam turunnya ayat Jin ini. Rasulullah SAW bersabda; ”Aku didatangi juru dakwah dari kalangan jin. Lalu kami pergi bersamanya, dan aku bacakan Alquran kepada mereka.” Setelah mereka mendengarkannya dengan sungguh-sungguh dan memahami hakikat Kalamullah (Alquran), mereka segera bertolak dan bergerak menuju kaumnya untuk memberi kabar gembira dan mengajarkan apa-apa yang telah mereka pahami dan dengarkan dari Rasulullah SAW Kendati demikian, diamnya para sahabat ini dalam merespons ayat Alquran ini masih lebih baik dibandingkan dengan orang-orang kafir Quraisy yang enggan mengimani dan meyakini kebenaran Alquran dan ajaran Islam. Baca juga :

Read More

Healing Terbaik Menurut Islam adalah Sholat

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kita semua sering mendengar kata Healing yang akhirnya menjadi populer dalam beberapa tahun ini. Kata healing sendiri diambil dari bahasa Inggris yang diartikan sebagai proses penyembuhan setelah mengalami luka fisik atau emosional. Sementara dalam istilah kekinian, healing dimaknai sebagai proses penyembuhan untuk mendapatkan jiwa dan batin yang tenang. Umumnya, konsep healing diterapkan dalam bentuk berlibur. Healing dalam Islam dicontohkan Nabi Yakub AS, dalam surat Yusuf ayat 84. Yakub AS memiliki duka mendalam setelah kehilangan anak tercintanya, Yusuf. وَتَوَلّٰى عَنۡهُمۡ وَقَالَ يٰۤاَسَفٰى عَلٰى يُوۡسُفَ وَابۡيَـضَّتۡ عَيۡنٰهُ مِنَ الۡحُـزۡنِ فَهُوَ كَظِيۡمٌ Artinya Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya). Nabi Yakub pun mengadu kepada Allah SWT saat mengalami kesedihan mendalam. Pendakwah Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym mengatakan untuk mendapatkan ketenangan hati adalah dengan mengingat Allah SWT, melalui berdzikir. “Tapi yang paling sempurna adalah dalam shalat, di mana jiwa kita mendapatkan ketenangan yang tak tergantikan,” terang Aa Gym dalam kajian MQ Dakwah Digital, dikutip Senin (18/09/2023) Seperti disebutkan dalam surat Ar-Ra’d ayat 28 yang berbunyi, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. “Karena dalam Shalat, kita menemukan kebahagiaan sejati dan ketenangan yang tidak dapat diukur dengan apapun,” lanjut pendiri Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Bandung ini. “Dalam kehidupan yang seringkali penuh dengan hiruk-pikuk dan kegelisahan, mari kita jadikan Shalat sebagai jendela menuju kebahagiaan sejati dan ketenangan yang tiada tara, sebagai cara kita mendekatkan diri kepada Allah,” pungkasnya. (yus) Baca juga :

Read More

Tunduk Total kepada Allah SWT Dapat Menemukan Kebahagiaan Hakiki

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kebahagiaan hakiki yang dimiliki manusia sejatinya hanya bisa didapatkan bila tunduk total kepada keputusan Allah SWT. Itu karena alam semesta diciptakan sedemikian kompleks untuk kebutuhan manusia. Allah SWT lalu menurunkan aturan syariat untuk mengatur hal-hal yang berkaitan kehidupan manusia. Aturan syariat itu juga selaras dengan hukum alam semesta. Misalnya, manusia punya hasrat kepada lawan jenis sebagai hukum alam semesta, maka hukum syariat mengatur agar terarah dan bisa merasakan kebahagiaan hakiki melalui pernikahan. Founder Formula Hati, Ustadz Muhsinin Fauzi, menerangkan tips agar seorang manusia bisa menemukan penghambaan total kepada Allah SWT. Di antaranya: Nilai sesuatu itu terasa pada saat tidak ada. Mungkin orang tidak memakai kacamata tidak merasakan nikmat mata sehat luar biasa. Jika manusia men-tafakuri terhadap nikmat-nikmat ini menggunakan pendekatan tazkiyatun nafs, maka keimanan akan menjadi lebih tebal. “Bagaimana hubungan dari rohani ke jasmani? Seseorang yang bahagia itu mendatangkan kebaikan baik untuk rohani maupun jasmaninya. Siapakah yang menggerakan semua itu? Semua hal yang terjadi di dalam tubuh kita itu ada zat yang Maha besar yang menggerakannya,” urai Ustadz Fauzi kepada 1miliarsantri.net, Ahad (17/09/2023). Ujian yang naik turun sering terjadi akan mengantarkan pada kesimpulan manusia tidak bisa mengendaliukan diri sendiri. Nasib manusia dan semua hal di dunia ditentukan oleh Allah SWT. “Kita hanya diberi sedikit ruang oleh Allah untuk memilih dan berusaha. Setiap diri kita tidak bisa mengendalikan orang lain maka kita bersiap untuk tidak mendapat perlakuan baik dari orang lain,” sambung Ustadz Fauzi. Rasulullah SAW akan tetap bersyukur saat lapar, begitupun saat kenyang. Rasa syukur jua terpatri saat tertimpa ujian. Itu karena konsep ujian dalam Islam merupakan cara Allah untuk memanggil hamba-Nya. “Sabda Nabi, kalau aku kenyang aku bersyukur, kalau aku lapar aku,” lanjut Ustadz Fauzi. Pertama, otak yang cerdas. Cerdas disini berarti paham. Itu karena bebal, terkadang data-data yang sudah ada itu tidak membuat orang-orang percaya atas Rabb-nya. Kedua, pengelolaan syahwat yang baik. Sekalipun sudah mengetahui kebenaran-kebenaran, terkadang seseorang masih berbuat menyalahi kebenaran. Dalam konteks ini, syahwat perlu dikelola. Ketiga, dinamika proses kehidupan. Kesadaran atas penghambaan ini bisa timbul dan tenggelam sepanjang dinamika hidup. Dengan demikian, manusia membutuhkan Allah sepanjang hidup untuk menjaga. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. [QS Fatir (35):15] Semakin seseorang memerlukan Allah, maka dia semakin mulia di hadapan-Nya. Sebaliknya, semakin tidak memerlukan Allah, maka dia semakin hina di hadapan-Nya. “Kemuliaan seseorang itu ketika ia memerlukan Allah. Orang yang tidak mau berdoa itu tidak lebih baik dibandingkan dengan orang yang terus berdoa kepada Allah,” tambah Ustadz Fauzi. Hidup bukan untuk ditanggung sendiri, karena manusia adalah hamba Allah. Setiap masalah tidak perlu dipikirkan sendiri, namun dikeluhkan kepada Allah. Ini akan terasa karena manusia adalah seorang hamba. Maka itu, ada beberapa ekspresi akhlak seseorang yang sudah kuat ketaatannya kepada Allah. Di antaranya rendah hati berarti tidak congkak dan tidak ujub, terasa ketulusannya dalam hidup, tidak perhitungan, berakhlak mudah, jinak yakni gampang taat dan diatur serta tidak menentang, hangat terhadap sesama, dan tidak menyakiti sesama. “Pekerjaan rumah bagi kita bersama adalah kemampuan untuk istiqomah dalam penghambaan kepada Allah SWT. Semoga Allah mudahkan kita semua untuk ini,” pungkas Ustadz Fauzi. (mif) Baca juga :

Read More

Buya Yahya : Rumah Tangga Ingin Harmonis, Hindari Sifat-sifat ini

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kehidupan yang harmonis, bahagia merupakan dambaan setiap pasangan rumah tangga. Namun, terkadang, ada sifat-sifat jelek yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga tersebut. Pengasuh Pondok Pesantren Al Bahjah, Prof Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) memeparkan beberapa sifat jelek yang harus dihindari pasangan rumah tangga. Jika pasangan suami-istri menjauhi sifat itu, maka rumah tangga bisa harmonis. Sifat-sifat itu di antaranya: “Tuntutan dan ekspektasi yang tidak realistis dapat membawa dampak negatif pada rumah tangga. Hindari mengorbankan kesejahteraan keluarga demi memenuhi tuntutan yang tidak masuk akal,” tutur Buya Yahya dalam ceramahnya di Al Bahjah TV, dikutip Sabtu (16/09/2023). “Berbagi dengan sukarela dan ikhlas akan menguatkan hubungan dalam rumah tangga serta memberikan manfaat lebih besar,” lanjut Buya Yahya. “Sebagai gantinya, kita harus berusaha mandiri dan hanya meminta bantuan saat benar-benar diperlukan, bukan untuk hal-hal yang seharusnya dapat kita atasi sendiri,” ungkap Buya Yahya. “Jiwa berbagi akan membawa kedamaian dan kebahagiaan dalam rumah tangga,” tambah Buya Yahya. “Kemandirian adalah pondasi kuat dalam membangun kehidupan rumah tangga yang stabil,” ungkap Buya Yahya. Buya Yahya menegaskan, dengan menghindari tuntutan berlebihan, memiliki jiwa berbagi, menghargai kemandirian, serta menghindari sifat permintaan yang berlebihan, kita dapat membangun rumah tangga yang bahagia, harmonis, dan penuh berkah. “Semua ini adalah langkah-langkah penting dalam meraih keberkahan dan kebahagiaan dalam kehidupan berkeluarga,” tutup Buya Yahya. (yan) Baca juga :

Read More

Hukum Boleh Tidaknya Muadzin Merangkap Imam Sholat

Surabaya — 1miliarsantri.net : Muadzin merupakan sebutan untuk orang yang bertugas mengumandangkan azan. Sementara, imam adalah orang yang memimpin pelaksanaan shalat berjamaah. Lalu, apakah boleh seorang muadzin merangkap jadi imam? Menurut Pakar Fikih Kontemporer, KH Ahmad Zahro, seorang muadzin boleh merangkap jadi imam masjid. Tidak ada larangan dalam hal itu. “Apakah boleh? tidak ada larangan,” terangnya kepada 1miliarsantri.net, Kamis (14/09/2023). Kiai Zahro menambahkan, sebaiknya muadzin dan imam masjid terpisah. Ada khusus yang bertugas sebagai muadzin, dan ada pula yang bertugas sebagai imam shalat. Ini bertujuan agar pahala adzan dan imam shalat tidak diborong satu orang saja. “Jadi pertanyaannya apa boleh? boleh. Tapi apa baik? itu kalau baik sebaiknya tidak. Sebaiknya yang adzan dan qamat satu orang, yang ngimami orang lain. Sebaiknya jika tidak darurat. Tapi kalau ini darurat, tidak ada yang lain, maka boleh. Kalau ada yang lain, sebaiknya berbagi pahala, supaya juga pahala ngajak shalat, pahalanya imami salat itu berbagi dengan banyak pihak,” lanjutnya. Al Hattam dalam Mawahib Al Jalil pernah berpendapat, laki-laki dapat dapat berperan sebagai orang yang mengumandangkan azan, iqamah, bahkan memimpin salat berjamaah. Kemampuan ini juga berlaku bagi mereka yang mengumandangkan azan dan iqamah hanya tanpa menjadi imam. “Barangsiapa boleh menugaskan seorang laki-laki untuk mengumandangkan adzan, iqamah dan memimpin shalat bersama mereka. Pahala yang diberikan atas usahanya mengumandangkan adzan, iqamah dan memimpin shalat di masjid, bukan hanya untuk shalat.” Senada dengan itu, Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ juga pernah memperbolehkan seorang muazin menjadi imam dalam salat berjamaah. Bahkan, ini merupakan rekomendasi menurut pendapatnya. Imam An Nawawi menambahkan, hal tersebut diperbolehkan meski tidak dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabat. Sebab, mereka melakukan hal tersebut bukan karena sibuk dengan urusan lain. Kemampuan tersebut juga disebutkan oleh Syekh Abdullah bin Jibrin dalam Fatawa Islamiyah. Menurutnya, menjadi hal yang diprioritaskan ketika muazin dinilai lebih baik dalam mengaji Al-Qur’an dibandingkan jamaah lainnya. “Iya, boleh mengumandangkan azan dan imam secara bersamaan. Begitu pula jika imam resmi dan penggantinya tidak hadir, karena bisa juga ditetapkan sebagai imam rutin,” jelasnya. Setidaknya ada tiga hukum mengenai muadzin merangkap jadi imam shalat. Di antaranya: “Bisa dilakukan ketika laki-laki berada di masjid atau majelis yang makmumnya semuanya perempuan. Atau malah keadaan yang sering terjadi dan banyak ditemui di masjid-masjid terpencil yaitu tidak ada jamaah sama sekali, maka takmir atau petugas masjid bisa sekaligus merangkap (menjadi imam) dalam upaya memakmurkan masjid,” ungkap Ustadz Ammi, dikutip dari kanal YouTube ANB Channel, dikutip Kamis (14/09/2023). Dalam kitab Mughni Muhtaj, Imam Khatib Al-Syarbini mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang memenuhi syarat untuk mengumandangkan azan dan menjadi imam untuk mengumpulkan keduanya.” (yat) Baca juga :

Read More

Penjelasan Terkait Hutang Bagi Fakir Miskin Yang Meninggal

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Dalam aturan Islam dijelaskan, setiap orang Muslim yang memiliki hutang, maka wajib hukum nya untuk melunasi hutang tersebut. Namun ketika telah meninggal, maka para ahli waris nya lah yang akan melunasi hutang orang yang meninggal. Namun bagaimana bila ahli waris tidak sanggup melunasinya, karena ahli waris juga tergolong orang tidak mampu. Lalu siapa yang terkena kewajiban menanggung utang yang meninggal itu dan apa konsekuensinya bagi almarhum bila utangnya tidak ada yang membayar? Selain itu bagaimana juga bila ahli waris memiliki ekonomi yang baik tetapi tidak bersedia melunasi utang orang tuanya yang telah meninggal? Pendakwah yang juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah Djalaluddin Pane Foundation (DPF), KH Rakhmad Zailani Kiki, mengatakan seseorang Muslim yang berutang, di dalam fiqih zakat diistilahkan dengan gharim yang merupakan salah satu golongan penerima zakat. Namun, kriteria gharim ini adalah seseorang yang berutang untuk menafkahi kebutuhan pokok hidupnya, dan Dia tidak memiliki harta untuk membayar utang tersebut. Kalaupun orang tersebut memiliki harta, harta itu hanya cukup untuk menopang kebutuhan pokoknya sehari-hari. Seperti pengertian gharim di dalam kitab Kifayatul Akhyar Jilid 1: الدين الذي لزمه لمصلحة نفسه فيعطى من الزكاة ما يقضي به دينه إن كان دينه في غير معصية Artinya, “(Pihak yang memiliki) utang dan diperuntuk kan untuk kemaslahatan diri sendiri. Orang atau pihak ini (boleh) diberi harta zakat sekadar untuk menutup utangnya jika utang tersebut dipergunakan bukan dalam rangka maksiat.” Pengertian dari kemaslahatan diri sendiri adalah untuk menafkahi kebutuhan pokok hidupnya sendiri sehari-hari. Dengan demikian, jika seseorang Muslim terlilit utang namun dia masih memiliki harta yang lebih dari kebutuhan pokok, seperti misalnya tanah, rumah kedua, properti, serta kendaraan di luar kebutuhan pokok, maka dia tidak disebut sebagai gharim atau tidak termasuk ke dalam golongan gharimin. “Maka, ketika seseorang Muslim yang berutang wafat namun utangnya belum dilunasi dan ahli warisnya juga tergolong orang tidak mampu dan dia memeneuhi kriteria sebagai gharim, maka baitul maal, badan atau lembaga amil zakat “dapat” dan boleh melunasi utang si gharim yang telah wafat ini. Pengertian dapat di sini bukanlah kewajiban karena yang berkewajiban membayar utang adalah almarhum sendiri yang kalau almarhum masih memiliki aset atau harta benda maka dapat digunakan oleh ahli waris untuk membayar atau melunasi utang almarhum,” terang Kiai Kiki kepada 1miliarsantri.net, Kamis (14/09/2023). Menurut Kiai Kiki, kebolehan membayarkan utang almarhum dengan zakat memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Yang membolehkan karena sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati. Seperti yang tertera di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi: ـ (فَرْعٌ) لَوْ مَاتَ رَجُلٌ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَا تِرْكَةَ لَهُ هَلْ يُقْضَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ فِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا صَاحِبُ الْبَيَانِ (أَحَدُهُمَا) لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ الصَّيْمَرِيِّ وَمَذْهَبُ النَّخَعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ (وَالثَّانِي) يَجُوزُ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَلِأَنَّهُ يَصِحُّ التَّبَرُّعُ بِقَضَاءِ دَيْنِهِ كَالْحَيِّ وَلَمْ يُرَجِّحْ وَاحِدًا مِنْ الْوَجْهَيْنِ Artinya: “Jika ada orang meninggal, diamempunyai tanggungan utang sedangkan ia tidak mempunyai aset yang ditinggalkan. Apakah utang boleh dibayarkan dari jatah “gharimin” (orang-orang utang)? Di sini terdapat dua wajah (dua pendapat). Pertama, tidak boleh. Pendapat ini dilontarkan oleh As-Shaimariy, mazhab An-Nakha’iy, Abu Hanifah dan Ahmad. Kedua, boleh-boleh saja sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati.” Kiai Kiki mengatakan dirinya lebih mengikuti pendapat yang membolehkan seperti pendapat Ad-Darimi yang membolehkan mengambil jatah zakat untuk melunasi utang almarhum jika memang tidak ada ahli waris yang membayarkannya. Sementara itu menurut kiai Kiki konsekuensinya bagi almarhum bila utangnya tidak ada yang membayarkan dan atau melunasi utangnya, jika semasa hidupnya dia memang punya niat kuat untuk melunasi utangnya, dia selamat dari hukuman Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang melunasi utangnya. Namun sebaliknya, jika semasa hidupnya dia memang tidak mempunyai niat melunasi utangnya atau punya niat untuk merugikan orang yang mengutanginya, Allah SWT membinasakannya atau memberikan hukuman kepadanya karena merupakan perbuatan dosa. Hal ini sesuai hadits dari sahabat Abu Hurairah: مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya.” (HR Imam Bukhari). Lebih lanjut Kiai Kiki menjelaskan bahwa sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa istilah warisan utang tidak ada dalam fiqih. Apabila almarhum meninggalkan tanggungan utang yang banyak dan dia tidak meninggalkan aset cukup, maka ahli waris tidak otomatis berkewajiban membayar utang-utang almarhum. Sehingga tidak ada konsekuensi apapun bagi ahli waris jika tidak mau membayarkan utang almarhum. “Dan konsekuensinya bagi almarhum, seperti yang dijelaskan di atas, bila utangnya tidak ada yang membayarkan dan atau melunasi utangnya, jika semasa hidupnya dia memang punya niat kuat untuk melunasi utangnya, dia selamat dari hukuman Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang melunasi utangnya. Namun sebaliknya, jika semasa hidupnya dia memang tidak mempunyai niat melunasi utangnya atau punya niat untuk merugikan orang yang mengutanginya, Allah SWT membinasakannya atau memberikan hukuman kepadanya karena merupakan perbuatan dosa. Hukumannya adalah jiwa si mayat tertahan di alam barzakh sehingga tidak dapat masuk surga,” katanya. Hal ini Bedasarkan sebuah hadits; َبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ “Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: “Jiwa seorang mukmin itu tertahan oleh sebab uutangnya sampai utang itu dilunasi.” (yus) Baca juga :

Read More

Meninggalkan Sholat, Akan Menjadi Penghalang Terkabulkan nya Doa

Jakarta — 1miliarsantri.net : Setiap Muslim memiliki kewajiban terhadap Allah SWT. Salah satu kewajiban yang dilakukan adalah mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi larangan-Nya. Tapi bagaimana jika seorang Muslim sangat rajin berdoa tapi hampir-hampir tak pernah sholat? Najmi bin Umar Bakkar dalam buku 50 Sebab Doa tidak Terkabul menjelaskan, meninggalkan kewajiban kepada Allah SWT akan menjadi penghalang terkabulnya doa.  Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 186:  وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ  الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا  لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ Yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Laits berkata bahwa Nabi Musa AS melihat seseorang yang menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Kemudian Nabi Musa berkata, “Rabbku, hamba-Mu berdoa kepada-Mu agar Engkau merahmatinya dan Engkau Zat Yang Paling Penyayang, lalu apa yang akan Engkau perbuat untuk memenuhi kebutuhan hamba itu?” Allah kemudian berfirman, ‘Wahai Musa, jika seandainya hamba tersebut menengadahkan kedua tangannya hingga selesai maka aku tidak akan melihat kebutuhannya hingga ia memperhatikan hak-Ku.” Seorang Muslim seharusnya merasa malu apabila ia terus-menerus berdoa kepada Allah SWT dan meminta kebaikan, tapi di sisi lain ia secara sadar telah meninggalkan kewajiban sholat.  Meninggalkan sholat fardhu merupakan dosa. Aun bin Abdullah bertanya kepada Abu Ishaq, “Apa yang kini tersisa pada dirimu, wahai Abu Ishaq?”  Dia pun menjawab, “Kini aku tinggal membaca Alquran dalam satu rakaat.” Aun pun berkata, “Yang tersisa pada dirimu saat ini adalah kebaikanmu, sementara keburukanmu lenyap.”  Maka dianjurkan bagi umat Islam untuk senantiasa tidak menyepelekan kewajibannya terhadap Allah SWT dan senantiasa meniru orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. (yan) Baca juga :

Read More

Beberapa Fakta Nabi Adam dan Keluarganya Setelah Berada di Bumi 

Jakarta — 1miliarsantri.net : Nabi Adam AS dan istrinya Siti Hawa diperintahkan untuk keluar dari surga dan turun ke bumi karena dianggap telah melanggar ketentuan apa yang sudah dilarang oleh Allah SWT. Maka sejak saat itulah Nabi Adam dan Hawa diturunkan ke bumi dan menjadi manusia pertama yang hidup dan tinggal di bumi. Setelah pertemuan keduanya di bumi seusai berpisah beberapa puluh tahun, keduanya pun bertemu kembali. Berikut ini sejumlah fakta terkait pertemuan keduanya setelah berada di bumi:  1. Setelah Adam dan istrinya diturunkan ke bumi, berkembanglah anak keturunannya. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran surat Al-Araf [7]: 24-25. Allah SWT berfirman:  قَالَ اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ قَالَ فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ “Allah berfirman, “Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan, kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan. Kemudian, Allah juga berfirman, “Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.” Penjelasan serupa juga terdapat dalam surah Al Baqarah [2]: 36. 3. Para ulama sepakat, sejak diturunkan ke bumi, istri Adam, yakni Hawa, melahirkan anak-anak Adam sebanyak 20 kali. Namun, setiap kelahiran selalu kembar, putra dan putri.  Dengan demikian, jumlahnya mencapai 40 orang  4. Di antara sekian banyak anak Adam, terdapat kisah yang menjadi awal mula pembunuhan di muka bumi. Pembunuhan itu dilakukan Qabil terhadap adiknya yang bernama Habil. (QS Almaidah [5]: 27-30)    5. Nabi Adam lalu pulang dan menemukan salah satu putranya telah tiada karena dibunuh oleh anaknya sendiri. Allah SWT berfirman:  إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya, Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka, semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS Al-Ahzab [33]: 72). Dialah Qabil, manusia yang tidak amanah dalam menunaikan pesan Nabi Adam AS untuk menjaga keluarganya. Demikianlah keterangan Imam Ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Jilid I, halaman 13  6. Dijelaskan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil kepada saudaranya yang bernama Habil itu terjadi di daerah Makkah. Sebab, Makkah merupakan tempat tinggal Adam dan Hawa setelah mereka turun ke bumi  Hal senada juga diungkapkan Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Athlas Al-Qur’an. Syauqi menjelaskan, pembunuhan Habil terjadi di Makkah. Inilah pendapat yang paling kuat   7. Sedangkan, Qabil, setelah membunuh Habil, pergi melarikan diri ke daerah Yaman. Demikian diterangkan Ath-Thabari dalam Qishash al-Anbiya, Qabil melarikan diri dari ayahnya (Adam) dan menuju ke daerah Yaman  8. Adapun Adam, menurut sebagian riwayat, ia hidup hingga berusia 1000 tahun. Riwayat lainnya menyebutkan, usianya antara 950-1000 tahun. Jarak antara Adam dan Nuh juga 1000 tahun atau 10 abad. Demikian keterangan Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa an-Nihayah. Ibnu Katsir menjelaskan, ada seseorang bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah Adam seorang nabi? Rasul SAW menjawab, Ya, nabi yang diberikan wahyu. Orang itu kembali bertanya, Berapa lama rentang waktu antara Adam dan Nuh? Nabi SAW menjawab, “Sepuluh abad.” (HR Muslim). 9. Dalam buku Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Sami al-Maghluts menjelaskan, Adam diperkirakan hidup tahun 5872-4942 Sebelum Masehi (SM). Sedangkan, Nabi Nuh diperkirakan hidup sekitar tahun 3993-3043 SM (usia 950 tahun). Lihat juga penjelasan Ahmad al-Usairy dalam Tarikh al-Islamy.  10. Menurut beberapa riwayat, Adam dimakamkan di Gunung Qasiyun, di daerah Damaskus. Syauqi Abu Khalil menambahkan, di Gunung Qasiyun yang menjulang tinggi di Kota Damaskus dari arah utara, terdapat satu gua yang bernama Magharatud dan yang berarti gua darah. Gua ini sangat terkenal. Oleh sebagian masyarakat umum, tempat itu diyakini sebagai tempat Qabil membunuh saudaranya, Habil.  Lokasinya terletak di sebelah kanan jalan dari arah Damaskus menuju Zabdani dan Balaudan. Sementara itu, di wilayah itu, gunung yang menjulangh tinggi di atas lembah Sungai Bardi terdapat satu kuburan yang panjangnya kira-kira 15 meter. Sebagian masyarakat meyakini, tempat itu sebagai kuburan Habil.   (yan) Baca juga :

Read More