Kaum Pertama yang Menyembah Berhala usai Banjir Nabi Nuh

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kaum Nabi Hud Alaihissalam adalah bangsa Arab yang mendiami bukit-bukit pasir yang terletak di Yaman, mulai dari Aman sampai Hadramaut. Suatu wilayah yang dekat dengan laut yang disebut Asy-Syahr. Mereka tinggal di tenda-tenda bertiang besar. Mereka adalah kaum Aad yang pertama. Kaum Aad tinggal di kota yang disebut Iram. Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah Wan-Nihayah yang diringkas Ahmad Al Khani menjelaskan, ada pendapat yang mengatakan bahwa Kota Iram adalah kota yang berpindah-pindah di muka bumi, terkadang ada di Syam, Yaman, Hijaz, dan terkadang di tempat lain. Pendapat tersebut adalah sesuatu yang jauh dari kebenaran dan perkataan yang tidak diperkuat dengan dalil. Di dalam sebuah hadis yang panjang di dalam kitab Shahih karya Ibnu Hibban, diriwayatkan dari Abu Dzarr tentang para Nabi dan para Rasul, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Di antara mereka empat orang dari Arab yaitu Hud, Shaleh, Syuaib, dan Nabi kamu wahai Abu Dzarr. Kaum Aad adalah kaum yang pertama menyembah berhala setelah banjir di zaman Nabi Nuh Alaihissalam. Allah kemudian mengutus saudara mereka, Nabi Hud untuk menyeru kaum Aad agar menyembah Allah. Mereka adalah orang-orang Arab yang masih kafir dan menyembah berhala serta suka keras kepala, Nabi Hud diutus kepada mereka, akan tetapi mereka mendustakannya. Akhirnya Allah sebagai Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa, menyiksa mereka. Azab yang pertama diberikan kepada kaum Aad adalah tanah mereka dijadikan sangat tandus. Mereka lalu minta diturunkan hujan. Mereka menyaksikan sesuatu yang muncul di langit yang dikira air, sebagai rahmat, tetapi ternyata itu adalah siraman azab yang datang dalam bentuk badai, laksana lidah api. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus, maka kamu melihat kaum Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). (QS Al-Haqqah: 7). Allah mengumpamakan mereka dengan tunggul-tunggul pohon kurma yang telah tidak berkepala lagi. Hal itu karena badai yang bertiup menuju salah seorang dari mereka, lalu membawanya terbang dan menjadikan kepalanya tertunduk hingga akhirnya pecah berantakan, sehingga ia menjadi tidak berkepala lagi. Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, bahwa ia pernah menyebutkan ciri-ciri kuburan Nabi Hud yang terletak di negeri Yaman. Ada pula yang mengatakan bahwa makam Nabi Hud berada di Damaskus, di dalam masjid agung yang terdapat suatu tempat di tembok bagian depan, yang dikatakan bahwa di dalamnya adalah makam Nabi Hud Alaihissalam. (jeha) Baca juga :

Read More

Sejarah Sultan Selim I Meneguhkan Kedaulatan Turki

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kemenangan dalam Perang Reydaniyya pada 1517 membuka jalan bagi Sultan Selim I untuk meneguhkan kedaulatan Turki Utsmaniyah di dunia Islam. Sebab, Dinasti Mamluk yang berhasil dikalahkannya mau tak mau mesti menyerahkan kepadanya kendali pemerintahan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah. Berdasarkan catatan sejarah, Selim I tidak meneruskan titel yang biasa digunakan para penguasa Mamluk, yakni “Penguasa Dua Kota Suci” (Hakimu’l Haramain). Alih-alih demikian, sultan kesembilan Dinasti Utsmaniyah itu memilih gelar yang lebih bernada rendah hati: “Sang Pelayan Dua Kota Suci.” Dengan menguasai Haramain, Turki Utsmaniyah pun layak mengenakan julukan khilafah. Transisi kekhilafahan dari Dinasti Mamluk ke Turki ditandai dengan upacara simbolis di Konstantinopel (Istanbul) pada 1517. Mamluk diwakili al-Mutawakkil III, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah yang berlindung di Kairo setelah bangsa Mongol membumihanguskan Baghdad pada 1258—sehingga dirinya hanya menjadi “boneka” Dinasti Mamluk belaka sejak saat itu. Dalam perjalanannya ke ibu kota Turki, al-Mutawakkil III didampingi keluarganya. Selim I memperlakukan rombongan ini dengan penghormatan yang semestinya diberikan kepada kalangan ningrat. Menurut catatan sejarah tradisional Turki, upacara tersebut diiringi penyerahan beberapa lambang kekhilafahan Islam, seperti pedang dan mantel yang diyakini sebagai milik Nabi Muhammad SAW, dari khalifah lama kepada penguasa baru. Namun, narasi tentang prosesi tersebut sesungguhnya baru muncul di berbagai manuskrip pada 1780-an atau sesudah Perjanjian Kucuk Kaynarca yang mengakhiri perang antara Turki Utsmaniyah dan Rusia pada 1774. Cerita itu juga sering kali dikaitkan sebagai klaim yurisdiksi atas wilayah Muslim di luar Imperium Turki Utsmaniyah. Apa pun fakta sejarahnya, yang jelas jantung dunia Islam, yakni Makkah dan Madinah, sudah berhasil dikuasai Turki Utsmaniyah selama berabad-abad sejak kesuksesan Sultan Selim I dalam menaklukkan Mamluk. Ia pun menyadari perannya sebagai khalifah bagi umat Islam, minimal dalam melindungi dua kota mulia tersebut dari segala macam ancaman dan gangguan. Pemimpin Turki itu juga selalu berupaya menjamin keamanan dan kenyamanan jamaah dari berbagai penjuru dunia yang melaksanakan haji dan umrah di Tanah Suci. “Pelayan Dua Kota Suci” tidaklah semata-mata gelar, tetapi juga tugas untuk dijalankan sebaik-baiknya. Menurut H Erdem Cipa dalam The Making of Selim: Succession, Legitimacy and Memory in the Early Modern Ottoman World (2017), sejumlah penulis pada abad ke-16 mengenang kepemimpinan Sultan Selim I sebagai masa yang penuh kedamaian dan keadilan bagi negerinya. Mevlana Isa yang menulis pada zaman Sultan Suleiman I al-Qanuni bahkan mengibaratkan, pada zaman Selim I “kumpulan domba dan serigala dapat berjalan beriringan tanpa saling bertengkar, dan begitu juga tikus terhadap kucing.” (jeha) Baca juga :

Read More

Selim, Peneguh Status Kekhalifahan Turki Utsmaniyah

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kemenangan dalam Perang Reydaniyya pada 1517 membuka jalan bagi Sultan Selim I untuk meneguhkan kedaulatan Turki Utsmaniyah di dunia Islam. Sebab, Dinasti Mamluk yang berhasil dikalahkannya mau tak mau mesti menyerahkan kepadanya kendali pemerintahan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah. Berdasarkan catatan sejarah, Selim I tidak meneruskan titel yang biasa digunakan para penguasa Mamluk, yakni “Penguasa Dua Kota Suci” (Hakimu’l Haramain). Alih-alih demikian, sultan kesembilan Dinasti Utsmaniyah itu memilih gelar yang lebih bernada rendah hati: “Sang Pelayan Dua Kota Suci.” Dengan menguasai Haramain, Turki Utsmaniyah pun layak mengenakan julukan khilafah. Transisi kekhilafahan dari Dinasti Mamluk ke Turki ditandai dengan upacara simbolis di Konstantinopel (Istanbul) pada 1517. Mamluk diwakili al-Mutawakkil III, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah yang berlindung di Kairo setelah bangsa Mongol membumihanguskan Baghdad pada 1258—sehingga dirinya hanya menjadi “boneka” Dinasti Mamluk belaka sejak saat itu. Dalam perjalanannya ke ibu kota Turki, al-Mutawakkil III didampingi keluarganya. Selim I memperlakukan rombongan ini dengan penghormatan yang semestinya diberikan kepada kalangan ningrat. Menurut catatan sejarah tradisional Turki, upacara tersebut diiringi penyerahan beberapa lambang kekhilafahan Islam, seperti pedang dan mantel yang diyakini sebagai milik Nabi Muhammad SAW, dari khalifah lama kepada penguasa baru. Namun, narasi tentang prosesi tersebut sesungguhnya baru muncul di berbagai manuskrip pada 1780-an atau sesudah Perjanjian Kucuk Kaynarca yang mengakhiri perang antara Turki Utsmaniyah dan Rusia pada 1774. Cerita itu juga sering kali dikaitkan sebagai klaim yurisdiksi atas wilayah Muslim di luar Imperium Turki Utsmaniyah. Apa pun fakta sejarahnya, yang jelas jantung dunia Islam, yakni Makkah dan Madinah, sudah berhasil dikuasai Turki Utsmaniyah selama berabad-abad sejak kesuksesan Sultan Selim I dalam menaklukkan Mamluk. Ia pun menyadari perannya sebagai khalifah bagi umat Islam, minimal dalam melindungi dua kota mulia tersebut dari segala macam ancaman dan gangguan. Pemimpin Turki itu juga selalu berupaya menjamin keamanan dan kenyamanan jamaah dari berbagai penjuru dunia yang melaksanakan haji dan umrah di Tanah Suci. “Pelayan Dua Kota Suci” tidaklah semata-mata gelar, tetapi juga tugas untuk dijalankan sebaik-baiknya. Menurut H Erdem Cipa dalam The Making of Selim: Succession, Legitimacy and Memory in the Early Modern Ottoman World (2017), sejumlah penulis pada abad ke-16 mengenang kepemimpinan Sultan Selim I sebagai masa yang penuh kedamaian dan keadilan bagi negerinya. Mevlana Isa yang menulis pada zaman Sultan Suleiman I al-Qanuni bahkan mengibaratkan, pada zaman Selim I “kumpulan domba dan serigala dapat berjalan beriringan tanpa saling bertengkar, dan begitu juga tikus terhadap kucing.” (jeha) Baca juga :

Read More

Kisah Al-Fatih, Sang Penakluk dari Turki Utsmani

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dimasa modern ini, siapa yang tak kenal sosok Al-Fatih? Sosok raja belia penguasa Turki Utsmani yang juga penakluk tanah suci bangsa Romawi, yakni Konstantinopel. Nama besarnya adalah Muhammad al-Fatih yang berarti Muhammad Sang Penakluk. Nama panggilannya adalah Mehmed II, ia merupakan anak dari Murad II yang juga merupakan penguasa Turki Utsmani, selain menjadi sosok ayah Murad II juga adalah guru bagi Mehmed II. Murad II selalu menanamkan kepada Mehmed II sikap-sikap sebagai pemimpin yang layak bagi kaum muslimin dan menjadi sosok yang kelak akan menaklukkan Konstantinopel. Konstantinopel adalah tanah suci bangsa Romawi yang juga merupakan puncak mimpi tertinggi para pemimpin muslim. Bagaimana tidak? Sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW, kota ini adalah kota yang digadang-gadang hanya bisa ditaklukkan oleh sebaik-baik pemimpin dan sebak-baik pasukannya pula. Hal inilah yang membuat banyak para pemimpin muslim dari zaman dahulu berlomba-lomba melakukan ekspedisi besar-besaran dalam rangka merealisasikan nubuwat tersebut.Secara geografis, Konstantinopel adalah kota yang berada diantara Eropa dan Asia. Tanahnya yang subur dan berada di tempat yang strategis, membuat kota ini menjadi layak diperebutkan oleh banyak bangsa lainnya. Konstantinopel juga merupakan kota sebagai pusat pedagangan dunia yang melalui jalur laut. Selat Borphorus merupakan ‘pintu gerbang’ jalur perdagangan laut sebagi tempat keluar-masuknya kapal-kapal para pedagang dari atau ke Asia-Eropa. Tingkat ekonomi yang luar biasa maju sekalilagi membuatnya menjadi kota yang layak ditaklukkan. Ketika al-Fatih menduduki takhta kerajaan Utsmani menggantikan ayahnya Murrad II, beliau langsung mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk melakukan penaklukan. Mulai dari perbekalan logistik untuk para pasukan selama masa penaklukkan, persenjataan lengkap bagi para pasukannya, baik berupa senjata ringan seperti pedang, busur dan anak panahnya, bahkan hingga meriam raksasa yang kelak menjadi kunci kemenangan pasukannya. Salah satu momen paling memorable adalah ketika al-Fatih membuat keputusan diluar nalar untuk melayarkan kapalnya melintasi gunung di pinggiran Selat Bhorporus. Keputusan ini ia ambil dikarenakan saat itu kapal-kapal pembawa logistik pasukan tidak dapat melewati selat karena dihadang oleh rantai raksasa yang membentang melintangi selat. Al-Fatih memerintahkan para pasukannya untuk menarik kapal-kapal logistik melintasi gunug di malam hari agar ketika siang hari datang, para pasukan Konstantin terkejut dan diharapkan dapat melemahkan semangat juang mereka. Siapa sangka ternyata hal ini berhasil, bahkan efeknya tak hanya menimpa para pasukan lawan, seluruh penduduk kota merasa terkejut bahkan hingga putus asa ketika mendengar hal diluar nalar ini. Pada 29 Mei 1453, Muhammad al-Fatih dan para pasukannya berhasil menaklukkan Konstantinopel. Ia dan 80.000-200.000 pasukannya, artilerinya, dan 320 kapal perangnya berhasil menaklukkan Konstantinopel setelah berjuang selama 53 hari menyerang dan membombardir benteng kokoh kota tersebut. Mehmed II dan para pasukannya akhirnya berhasil membuktikan dan merealisasikan nubuwat tersebut sekaligus menjadi sebaik-baik pemimpin dan para pasukannya juga menjadi sebaik-baiknya pasukan. Pemimpin yang selalu mengamalkan setiap sunnah nabinya, pasukan yang selalu mendambakan surga penciptanya adalah perpaduan yang layak dan sempurna untuk menyandang gelar pemimpin dan pasukan terbaik. (jeha) Baca juga :

Read More

Sayyidina Ali bin Abi Thalib: Balasan Orang yang Bersedekah

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kisah ini diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad, dengan sanad dari ayah dan kakeknya. Suatu hari, kakek Ja’far, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pulang ke rumahnya setelah bersilaturahmi dengan Rasulullah. Di rumah, ia mendapati istrinya, Sayyidah Fathimah, sedang memintal benang, sementara Salman al-Farisi duduk di depannya, membantu menggelar wol. “Wahai istri tercinta, adakah makanan yang bisa kau berikan pada suamimu?” tanya Ali. “Demi Allah, aku tidak punya apapun, kecuali enam dirham dari Salman karena aku memintal wol untuknya,” jawab Fathimah. “Uang ini sebenarnya ingin aku belikan makanan untuk Hasan dan Husain.” Ali meminta uang tersebut dan bergegas keluar untuk membeli makanan. Namun, di jalan ia bertemu seorang laki-laki yang meminta bantuan. “Siapa yang mau memberikan pinjaman karena Allah yang Maha Menguasai dan Mencukupi?” ujar seorang laki-laki. Tanpa ragu, Ali menyerahkan enam dirhamnya. Ketika kembali tanpa membawa makanan, Fathimah menangis, tetapi ia menerima tindakan Ali dengan ikhlas. Ali pun keluar lagi, kali ini untuk menemui Rasulullah. Di jalan, ia bertemu dengan seorang Badui yang menawarkan unta. “Beli unta ini dariku,” kata Badui. “Aku tak punya uang,” jawab Ali. “Tidak apa-apa, kau bisa bayar nanti. Harganya seratus dirham,” kata si Badui. Ali setuju untuk membeli unta itu. Tak lama kemudian, ia bertemu seorang Badui yang menanyakan apakah unta tersebut dijual. Ali menjawab “iya“ kemudian Badui itu membelinya seharga tiga ratus dirham secara tunai. Ali segera pulang dengan membawa uang, membuat Fathimah tersenyum senang mendengar kisah yang baru saja terjadi. Kemudian, Ali pergi ke masjid dan disambut oleh Rasulullah. Nabi tersenyum dan bertanya, “Hai Ali, kau yang ingin memberitahu kabar padaku, atau aku yang memberimu kabar?” Ali menjawab, “Engkau saja yang memberiku kabar, wahai Rasulullah.” Nabi berkata, “Tahukah kau siapa seorang laki laki yang menjual unta kepadamu dan seorang Badui yang membelinya darimu? Itu adalah malaikat Jibril dan Israfil (dalam riwayat lain, Mikail). Allah telah mengganti enam dirham yang kau berikan dengan 300 dirham, 50 kali lipat.” Kisah dari kitab al-Aqthaf ad-Daniyah ini menunjukkan betapa tulusnya Ali dalam membantu orang lain, meski dengan mengorbankan kebutuhannya sendiri. Kisah ini mengajarkan kita bahwa keikhlasan dalam memberi, meski dalam keterbatasan, akan selalu diganjar dengan balasan yang berlipat ganda oleh Allah. Seperti Sayyidina Ali yang tak ragu mengutamakan kepentingan orang lain, jadikan sedekah sebagai bagian dari hidup kita. Dengan bersedekah, kita tak hanya membantu sesama, tetapi juga membuka pintu rezeki yang lebih luas dan keberkahan yang tak terduga. (yan) Baca juga :

Read More

Apakah Nabi-Nabi Sebelum Rasulullah SAW Beragama Islam?

Surabaya — 1miliarsantri.net : Rasulullah Muhammad SAW memiliki hubungan yang kuat dengan semua Nabi yang diutus sebelumnya. Beliau menyampaikan pesan yang sama dan memimpin jalan yang sama seperti nabi sebelumnya, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Isa. Beliau adalah mata rantai terakhir dalam rantai para Nabi yang diberkahi. Hubungan ini sangat ditekankan baik dalam Alquran maupun biografi Nabi sebagai ikatan misi bersama, cinta, dan rasa hormat. Alquran menjelaskan dengan jelas bahwa pesan Nabi bukanlah hal baru bagi umat manusia: Allah SWT berfirman: قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ وَمَآ اَدْرِيْ مَا يُفْعَلُ بِيْ وَلَا بِكُمْۗ اِنْ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا يُوْحٰٓى اِلَيَّ وَمَآ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara para rasul dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat (Allah) kepadaku dan kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” (QS Al-Ahqaf [46]:9) Di sini, menurut Imam Ar-Razi, Nabi bersabda: “Aku hanyalah seorang manusia seperti halnya semua pembawa pesan Tuhan yang mendahuluiku”. Artinya, inti pesan semua Nabi sejak Adam sampai Muhammad SAW adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Keesaan Tuhan. Pesan ini pun secara efektif dirangkum dalam kata bahasa Arab, yaitu “Islam”, yang secara harfiah berarti penyerahan diri. Alquran juga menyatakan bahwa satu-satunya jalan hidup yang diterima dan diridhai Allah adalah ‘berserah diri kepada-Nya’: اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (Ali Imran [3]:19) Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa Islam adalah jalan hidup yang diterima Allah dari umat-Nya. Dalam ayat-ayat lain, Alquran menegaskan bahwa Islam adalah risalah yang dibawa oleh setiap Nabi. Allah SWT berfirman: وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku”. (QS Al-Anbiya’ [21]:25) Nabi Nuh, misalnya, berkata: يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ “Wahai kaumku, sembahlah Allah (karena) tidak ada tuhan bagi kamu selain Dia.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah) aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (hari Kiamat). (QS Al-A‘raf [7]:59) Nabi Nuh juga dengan lugas menyatakan bahwa dia adalah seorang Muslim: فَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَاَلْتُكُمْ مِّنْ اَجْرٍۗ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ ۙوَاُمِرْتُ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ Artinya: “Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta imbalan sedikit pun darimu. Imbalanku tidak lain hanyalah dari Allah dan aku diperintah agar aku masuk ke dalam golongan orang-orang muslim.” (QS Yunus [10]:72) Bapak para Nabi, Ibrahim As, juga mengemban misi menjadi seorang Muslim: مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ Artinua: “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang hanif98) lagi berserah diri (muslim). Dia bukan pula termasuk (golongan) orang-orang musyrik.” (QS Ali Imran [3]:67) Demikian pula anak-anak Nabi Yaqub meyakinkan ayah mereka bahwa mereka akan terus tunduk dan menyembah Tuhan yang Esa, yaitu Tuhan Ibrahim, Ismail dan Ishaq: اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ Artinya: “Apakah kamu (hadir) menjadi saksi menjelang kematian Ya‘qub ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu: Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri.” (QS Al-Baqarah [2]:133) Senada dengan itu, Nabi Musa juga meminta kaumnya untuk menyembah Satu Tuhan: وَقَالَ مُوْسٰى يٰقَوْمِ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّسْلِمِيْنَ Artinya: “Musa berkata, “Wahai kaumku, jika kamu sungguh-sungguh beriman kepada Allah, bertawakallah hanya kepada-Nya apabila kamu benar-benar orang-orang muslim (yang berserah diri kepada Allah).” (QS Yunus [10]:84) Nabi Isa tidak berbeda dengan Musa sebagaimana dijelaskan dalam Alquran. Allah SWT berfirman: ۞ فَلَمَّآ اَحَسَّ عِيْسٰى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ اَنْصَارِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ نَحْنُ اَنْصَارُ اللّٰهِ ۚ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ ۚ وَاشْهَدْ بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ Artinya: “Ketika Isa merasakan kekufuran mereka (Bani Israil), dia berkata, “Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawari (sahabat setianya) menjawab, “Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim”. (QS Ali Imran [3]:52) Hal ini tentu saja menjelaskan bahwa ikatan antara Rasulullah Muhammad SAW dengan para Nabi sebelumnya adalah ikatan yang memiliki misi yang sama, yakni Lailaha illallah: Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. (yat) Baca juga :

Read More

Alquran Menyebutkan Soal Pernikahan Beda Agama

Jakarta — 1miliarsantri.net : Alquran menyebutkan soal pernikahan beda agama. Ini tercantum dalam Surat Al Baqarah ayat 221. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS Al Baqarah ayat 221) Siddiq Hasan Khan Al Qonuji dalam kitab tafsirnya berjudul Fathul Bayan fii Maqasid Al Qur’an, memaparkan, nikah yang dimaksud dalam ayat itu ialah yang dengan akad, bukan persetubuhan. Dijelaskan bahwa dalam Alquran, tidak ada satu pun penjelasan yang menyebutkan bahwa makna pernikahan adalah persetubuhan, sekalipun yang melakukannya adalah orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itu, dalam Islam, pengertian nikah merujuk pada akad pernikahan. Adapun dalam ayat 221 Surah Al Baqarah, juga disebutkan mengenai larangan menikahi perempuan musyrik. Dalam hal ini, yang dimaksud perempuan musyrik adalah perempuan ahli kitab, karena ahli kitab termasuk musyrik. Dari keumuman ayat 221 Surah Al-Baqarah itu, Allah SWT mengharamkan pernikahan kepada perempuan musyrik dan perempuan ahli kitab. Lalu turunlah ayat 5 Surah Al Maidah. Allah SWT berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” Hal tersebut sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Malik, Sufyan bin Said, Abdurrahman bin Amr dan al-Awza’i. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat 221 Surah Al Baqarah membatalkan ayat 5 Surah Al Maidah, sehingga, menurut pendapat ini, haram menikah dengan perempuan ahli kitab dan perempuan musyrik. Ini adalah salah satu dari dua pendapat Imam Syafi’i dan sebagian ulama lain juga berpendapat demikian. Namun, pendapat tersebut menghadapi fakta bahwa Surah Al-Baqarah ayat 221 itu lebih dulu diturunkan, dari Surah Al Maidah ayat 5 yang diturunkan setelahnya. Pendapat pertama seperti yang telah disebutkan di atas, merujuk pada riwayat dari Utsman bin Affan, Thalhah, Jabir, Hudzaifah, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubair, Al Hasan, Tawus, Ikrimah, Al Sha’bi dan Al-Dhahhak. Diriwayatkan oleh Al-Nahhas dan Al-Qurthubi. Sementara itu, Ibn Al-Mundzhir juga meriwayatkan dari dua sahabat dan Umar bin Khattab, yang berkata, “Tidak benar bahwa ada ulama di masa awal yang melarang itu (pernikahan dengan perempuan ahli kitab).” Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kata musyrik tidak merujuk pada ahli kitab. Sebab, Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu. Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Dan Allah pemilik karunia yang besar.” (QS Al Baqarah ayat 105) Dari ayat itu, dapat diketahui bahwa kata musyrik bersifat umum. Dengan demikian, keumuman tersebut sebagai bentuk penjelasan khusus untuk ayat 5 Surah Al Maidah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Muqhatil bin Hayyan. Muqhatil bin Hayyan mengatakan, ayat tersebut diturunkan ketika sahabat bernama Abu Martsad al-Ghanawi meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk menikah dengan perempuan dari kafir Quraisy bernama Anaq. Setelah itu, Allah SWT menurunkan ayat 221 Surah Al Baqarah, yang berisi tentang larangan menikah dengan perempuan musyrik. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari Ibnu Umar, yang berkata, “Allah melarang pernikahan perempuan musyrik dengan seorang Muslim. Aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari seorang perempuan mengatakan Tuhannya adalah Isa atau hamba Allah.” (jeha) Baca juga :

Read More

Aplikasi Qur’an Kemenag Kini Dilengkapi Terjemahan Bahasa Gayo

Aceh — 1miliarsantri.net : Aplikasi Qur’an Kemenag ada menu baru, yaitu terjemahan dalam Bahasa Gayo. Terjemahan Al-Qur’an Bahasa Gayo ini sudah dirilis Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kemenag bersama IAIN Takengon. Rilis terjemahan ini dikemas dalam bentuk sosialisasi yang diikuti mahasiswa dan akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, serta pemerhati Al-Qur’an di Takengon. Hadir sebagai narasumber, Ketua Tim Penerjemah Zulkarnain. Menurutnya, masyarakat Gayo, yang tersebar di berbagai negara, menyambut gembira inisiatif ini. “Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Gayo sangat diperlukan untuk menjaga dan memahami ajaran Islam bagi komunitas kami,” terangnya. Pj Bupati Aceh Tengah, Subandi, menyatakan bahwa peristiwa ini menandai sejarah baru. Sebab, ini adalah terjemahan Al-Qur’an pertama dalam Bahasa Gayo. Ia berterima kasih kepada Kementerian Agama yang telah menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Gayo, salah satu dari sepuluh bahasa yang ada di aplikasi Qur’an Kemenag. “Ini adalah titik tolak untuk pengembangan dan pelestarian bahasa dan budaya Gayo,” jelas Subandi. Rektor IAIN Takengon, Ridwan Nurdin, menambahkan bahwa terjemahan ini bukan hanya sekadar teks, tetapi juga menjadi panduan yang paling dekat dengan masyarakat Gayo. “Ini adalah produk pendidikan dan akan menjadi rujukan bagi perkembangan bahasa Gayo di masa depan. Dan kita patut bangga karena terjemah ini sudah masuk dalam bentuk digital pada aplikasi Qur’an Kemenag,” katanya. Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Menejemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Moh Isom, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses ini. Ia berharap, ke depan, terjemahan ini menjadi langkah awal untuk pengembangan lebih lanjut dan memberikan dampak positif bagi masyarakat Gayo dan sekitarnya. Aplikasi Qur’an Kemenag menjadi sarana yang tepat dan cepat dalam sosialisasi bagi terjemahan bahasa daerah yang terpercaya karena produk resmi Kementerian Agama. Kini hadir dengan berbagai versi android, IOS, website dan Add in Word untuk membantu masyarakat memahami kandungan Al-Qur’an dengan mudah dan praktis. (mik) Baca juga :

Read More

Mengenal Sosok Waliyullah yang Dipuji Gus Dur

Surabaya — 1miliarsantri.net : Kiai Abdullah Zain Salam merupakan seorang teladan Muslimin Indonesia, khususnya bagi warga Nahdliyin. Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bahkan memujinya sebagai ulama besar. Cucu Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari itu memandang Kiai Abdullah Zain Salam sebagai seorang wali Allah yang memiliki makrifat. Mbah Dullah–demikian sapaaan akrabnya–dipandang sebagai satu dari tiga ulama pesantren panutan Gus Dur. Adapun dua nama lainnya adalah KH Abdullah Abbas dan KH Abdullah Faqih. Masing-masing berasal dari Cirebon (Jawa Barat) dan Tuban (Jawa Timur). KH Abdullah Zain Salam atau Mbah Dullah lahir di Kajen, Margoyoso, Pati (Jawa Tengah), pada 1920. Namun, ada sumber lain yang menyebut bahwa tokoh ini lahir pada 1910 atau 1915. Setelah menyelesaikan pendidikan di Kajen, Abdullah kemudian melanjutkan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari. Ia juga pernah melakukan safari keilmuan ke Kudus, Jawa Tengah, khususnya untuk menimba ilmu qira’ah sab’ah dari KH Arwani Amin Said. Di samping itu, dirinya belajar kepada seorang ulama-sufi, KH Abdul Hamid, asal Pasuruan. Setelah itu, barulah lelaki ini kembali ke Kajen untuk mengajar di Perguruan Islam Matholi’ul Falah sekaligus mengasuh Pondok Pesantren Mathali’ul Huda. Mbah Dullah masyhur sebagai pakar kajian dan tafsir Alquran. Dalam hal ini, ia sukses melakukan kaderisasi ilmu kepada sejumlah santrinya. Hal itu dilakukannya dengan penuh disiplin dan ketegasan. Dari orang-orang terdekatnya, bermunculan tokoh-tokoh umat yang disegani dan penuh keteladanan. Seorang di antaranya adalah KH Sahal Mahfudz, rais aam PBNU periode 1999-2014 dan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2000-2010. Kiai Sahal merupakan keponakan Mbah Dullah. Sama seperti pamannya, ia lahir di Kajen, Pati. Mbah Dullah masyhur sebagai pakar kajian dan tafsir Alquran. Dalam hal ini, ia sukses melakukan kaderisasi ilmu kepada sejumlah santrinya. Hal itu dilakukannya dengan penuh disiplin dan ketegasan. Dari orang-orang terdekatnya, bermunculan tokoh-tokoh umat yang disegani dan penuh keteladanan. Seorang di antaranya adalah KH Sahal Mahfudz, rais aam PBNU periode 1999-2014 dan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2000-2010. Kiai Sahal merupakan keponakan Mbah Dullah. Sama seperti pamannya, ia lahir di Kajen, Pati. Mbah Dullah bukan hanya sosok hafidzul qur’an, tetapi juga sudah sampai pada taraf hamilul qur’an. Sebab, dirinya piawai dalam memahami dan mengamalkan kandungan Alquran. Ia juga merupakan sosok mufassir dan ahli fikih sehingga menjadi tempat orang-orang bertanya. Kiai Abdullah Zain Salam wafat pada 11 November 2001. Kepergian bapak sembilan orang anak itu menyisakan duka yang mendalam tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga seluruh santri, ulama, dan masyarakat Muslimin pada umumnya. (jeha) Baca juga :

Read More

Wadi Ranuna menjadi lokasi shalat Jumat pertama Rasulullah SAW

Jakarta — 1miliarsantri.net : Buku Hayatu Muhammad karya Husein Haykal mengungkapkan lokasi shalat Jumat pertama yang didirikan Rasulullah SAW. Tempat yang dimaksud adalah Wadi Ranuna. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari Masjid Quba atau 4 km dari Madinah al-Munawarah. Hanafi al-Mahlawi dalam bukunya, Al-Amakin al-Masyhurah Fi Hayati Muhammad, menerangkan isi khutbah Nabi Muhammad SAW di Wadi Ranuna kala itu sebagai berikut. “Segala puji bagi Allah, kepada-Nya aku memohon pertolongan, ampunan, dan petunjuk. Aku beriman kepada Allah dan tidak kufur kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Dia telah mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar, dengan cahaya dan pelajaran, setelah lama tidak ada rasul yang diutus, minimnya ilmu, dan banyaknya kesesatan pada manusia di kala zaman menjelang akhir dan ajal kian dekat. Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah mendapatkan petunjuk. Dan, barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah melampaui batas dan tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh. Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah. Itulah wasiat terbaik bagi seorang Muslim. Dan, seorang Muslim hendaknya selalu ingat akhirat dan menyeru kepada ketakwaan kepada Allah. Berhati-hatilah terhadap yang diperingatkan Allah. Sebab, itulah peringatan yang tiada tandingannya. Sesungguhnya ketakwaan kepada Allah yang dilaksanakan karena takut kepada-Nya, ia akan memperoleh pertolongan Allah atas segala urusan akhirat. Barangsiapa yang selalu memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah, baik di kala sendiri maupun di tengah keramaian, dan ia melakukan itu tidak lain kecuali hanya mengharapkan ridha Allah, maka baginya kesuksesan di dunia dan tabungan pahala setelah mati, yaitu ketika setiap orang membutuhkan balasan atas apa yang telah dilakukannya. Dan, jika ia tidak melakukan semua itu, pastilah ia berharap agar masanya menjadi lebih panjang. ‘Dan Allah memperingatkan kamu akan siksa-Nya. dan Allah Mahasayang kepada hamba-hamba-Nya’ (QS Ali Imran [3]: 30). Dialah Zat yang benar firman-Nya, melaksanakan janji-Nya, dan semua itu tidak pernah teringkari. Allah berfirman, ‘Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku’ (QS Qaf [50]: 29). Karenanya, bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan sekarang maupun yang akan datang, dalam kerahasiaan maupun terang-terangan. ‘Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya’ (QS At-Thalaq [65]: 5). ‘Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, sungguh ia telah memperoleh kemenangan yang besar’ (QS Al-Ahzab [33]: 71). Sesungguhnya ketakwaan kepada Allah menghindarkan dari kemarahan, hukuman, dan murka-Nya. Takwa kepada Allah akan membuat wajah bersinar terang, membuat Allah rida, dan meninggikan derajat. Lakukanlah dengan sepenuh kemampuan kalian, dan jangan sampai kurang di sisi Allah. Dia telah mengajarkan kepada kalian dalam kitab-Nya dan membentangkan jalan-Nya, untuk mengetahui siapa yang benar dan untuk mengetahui siapa yang dusta (QS Al-Ankabut [29]: 3). Maka, berbuat baiklah, sebagaimana Dia berbuat baik kepada kalian, dan musuhilah musuh-musuh-Nya. Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Dia telah memilih dan menamakan kalian sebagai Muslim (QS Al-Hajj [22]: 78). Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (QS Al-Anfal [8]: 42). Tiada daya upaya, kecuali hanya dengan kekuatan Allah. Karenanya, perbanyaklah mengingat Allah, dan beramallah untuk kehidupan setelah mati. Sesungguhnya orang yang membangun hubungan baik dengan Allah, Allah pun akan membuat baik hubungan orang itu dengan manusia lainnya. Karena Allah yang memberi ketetapan kepada manusia, sedang manusia tidak mampu memberi ketetapan kepada-Nya. Dia menguasai manusia, sedang manusia tidak bisa menguasai-Nya. Allah itu Maha Agung. Tiada daya dan kekuatan selain dengan kekuatan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung.” (yan) Baca juga :

Read More