Syi’ir Kiai Ahmad Rifa’i Kalisalak Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Penjajah

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Berbagai bentuk perlawanan menghadapi penjajah selalu ditempuh dengan berbagai cara oleh para ulama Nusantara jaman dulu. Selain mengangkat senjata seperti di Perang Padri (1821-1835) di Sumatera dan Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa, ulama Nusantara juga mengangkat pena (dakwah karya tulis) sebagai salah satu bentuk perlawanannya. Salah satu ulama Nusantara yang menggunakan metode tersebut ialah Kiai Ahmad Rifa’i. Beliau ulama yang gigih melakukan perlawanan melalui dakwah dan protes sosial sampai akhir hayatnya. Ia merupakan seorang ulama yang lahir pada hari Kamis tanggal 9 Muharram 1200 H, atau 12 November 1785 Masehi di desa Tempuran, Kabupaten Kendal. Kiai Ahmad Rifa’i dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama Siti Rahmah, buah cintanya dengan Raden KH Muhammad Marhum. Jika melihat tahun kelahirannya, ia seangkatan dengan Pangeran Diponegoro (lahir 1785). Ahmad Rifa’i diasuh oleh kedua orang tuanya kandungnya sendiri sejak lahir hingga ayahnya wafat saat ia berusia enam tahun. Menurut kalangan Rifa’iyah, ia kemudian diasuh dan dididik oleh pamannya yang bernama KH Asy’ari, seorang ulama terkemuka di daerah Kaliwungu. Diasuh oleh KH Asy’ari menjadikan Ahmad Rifa’i tumbuh dewasa kental dengan ilmu agama Islam. Sejak kecil ia sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Tak heran jika kelak ia menjadi ulama besar. Perjuangan dakwah Kiai Ahmad Rifa’i dilakukan sejak beliau muda. Pada usia 30-an tahun, tepatnya tahun 1833 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah dan menetap di sana selama delapan tahun untuk menimba ilmu. Ia bertemu dengan para ulama besar di sana. Saat itu jaringan ulama dunia berpusat di Makkah. Pertemuan tersebut membuatnya semakin bersemangat menimba ilmu. Salah satu gurunya adalah Isa al-Barawi. Iai juga pernah berguru kepada Ibrahim al-Bajuri, seorang ulama dari Mesir meskipun kepergian Kiai Ahmad Rifa’i ke Mesir masih diragukan. Namun, karena pada masa itu banyak ulama yang beraktivitas di Makkah dan Madinah, bisa jadi Kiai Rifa’i bertemu Syaikh Ibrahim al-Bajuri di sana. Pada saat Kiai Ahmad Rifa’i menimba ilmu di tanah haram, beliau bertemu dengan beberapa ulama Nusantara, seperti Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Kholil Bangkalan. Ketiga ulama tersebut menjadi sahabat karib dan sempat melakukan diskusi terkait dakwahnya kelak. Dari hasil diskusi tersebut ketiganya bersepakat, Syaikh Kholil Bangkalan akan fokus pada masalah tasawuf dalam dakwahnya, Syaikh Nawawi Banten pada masalah usuluddin, sementara Kyai Ahmad Rifa’i pada masalah fiqih. Sesampai di tanah air Kiai Ahmad Rifa’i memulai dakwahnya di sebuah desa terpencil yakni Kalisalak, sekarang masuk di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Pada masa itu Nusantara sedang terpuruk karena penjajahan dan kebodohan. Ia sangat prihatin melihat kondisi masyarakat. Karena saat kehidupan sosial rakyat sangat tertindas oleh penjajah, para birokrat pribumi banyak yang bersekutu dengan penjajah. Melihat kondisi tersebut ia mendirikan pondok pesantren di Kalisalak yang digunakan sebagai tempat berdakwah dan mengajar agama Islam. Ia menilai bahwa budaya Islam di masyarakat harus diubah agar terhindar dari budaya yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah. Selain mengajar di pondok, ia juga sering berdakwah ke tempat lain seperti Wonosobo, Pekalongan, Kendal. Dari dakwahnya tersebut menjadikan pondok pesantrennya diketahui banyak orang. Hal itu membuat banyak orang berbondong-bondong ke pondok pesantren Kalisalak untuk menyantri pada Kiai Ahmad Rifa’i. Melihat kondisi tersebut ia mendirikan pondok pesantren di Kalisalak yang digunakan sebagai tempat berdakwah dan mengajar agama Islam. Ia menilai bahwa budaya Islam di masyarakat harus diubah agar terhindar dari budaya yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah. Selain mengajar di pondok, ia juga sering berdakwah ke tempat lain seperti Wonosobo, Pekalongan, Kendal. Dari dakwahnya tersebut menjadikan pondok pesantrennya diketahui banyak orang. Hal itu membuat banyak orang berbondong-bondong ke pondok pesantren Kalisalak untuk menyantri pada Kiai Ahmad Rifa’i. Materi dakwahnya tidak selalu tentang hukum Islam, tapi juga protes sosial karena ia melihat pemerintah kolonial yang selalu menindas masyarakat. Protes sosial ia masukkan dalam ajaran dan kitab yang ditulisnya. Ia meyakini pemerintah kolonial adalah kafir dan harus diperangi. Keyakinan tersebut diajarkan kepada santri-santrinya agar tidak tunduk terhadap penjajah dan birokrat pribumi yang bersekutu dengannya. Tidak hanya itu, Kiai Ahmad Rifa’i juga mengajarkan kepada santrinya bahwa melawan pemerintah kolonial merupakan Perang Sabil. Kiai Rifa’i termasuk ulama yang sangat produktif dalam bidang penulisan. Kebanyakan karyanya adalah syi’ir atau nazam. Salah satu syi’ir ini menggambarkan pendapatnya pada pribumi yang mau bekerjasama dengan penjajah. “Ghalib alim lan haji pasik pada tulung, marang raja kafir asih pada junjung. Ikulah wong alim munafik imane suwung, Dumeh diangkat drajat dadi tumenggung. Lamun wong alim weruho ing alane wong takabur, mengko ora tinemu dadi kadi miluhur.” Artinya: Ghalib alim dan haji fasik menolong, raja kafir dan senang mendukungnya. Itulah orang alim yang munafik yang kosong imannya, Merasa diangkat derajatnya jadi tumenggung. Jika orang alim menunjukkan jeleknya orang takabur, nanti tidaklah mungkin dapat kadi terkenal. Pada syair di atas bisa kita lihat bagaimana kerasnya terhadap penjajah dan orang-orang pribumi yang bekerjasama dengan mereka. Perlawanan dalam mengusir penjajah dari para pahlawan sangat beragam dengan situasi dan kondisi pada masa itu. Kiai Ahmad Rifai lebih memilih menggunakan metode dakwah secara lisan dan tulisan yang dirangkum dalam kitab-kitabnya. Metode tersebut memiliki keunikan tersendiri karena membentuk kesadaran masyarakat bahwa mereka sedang tertindas. Ia juga menanamkan pada masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai fondasi dan jalan hidup yang benar. Dengan kitab Tarjumah yang ia buat menjadikan santri-santri lebih mudah memahami ajarannya karena ditulis dengan Arab pegon yang umumnya berbahasa Jawa. Karena melihat kondisi masyarakat pada saat itu yang belum familiar dengan bahasa Arab. Selain mengajarkan agama Islam, dalam kitabnya, Kiai Ahmad Rifai memasukkan pesan-pesan untuk melawan penjajah dengan sekuat tenaga dan kemampuan masing-masing. Slameta dunya akhirat wajib kinira nglawen raja kafir sakuasnu kafikira Tur perang sabil luwih kadene ukara Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara. Artinya: Keselamatan dunia akhirat wajib diperhitungkan Melawan raja kafir sekemampuannya perlu dipikirkan Demikian juga perang sabil lebih daripada ucapan Cukup tidak menggunakan pasukan yang besar. Pada syair di atas kita menghayati keteguhan Kiai Ahmad Rifa’i dalam dakwahnya melalui pena melawan penjajah dan sekaligus kebodohan. (sar)

Read More

Kemajuan Perekonomian Kerajaan Perlak di Tangan Putri Nurul A’al

Aceh Timur – 1miliarsantri.net : Sejarah tentang kerajaan-kerajaan Nusantara memang tak akan ada habisnya untuk dipelajari. Karena hingga sekarang ini belum banyak tergali informasi-informasi penting yang berguna untuk generasi mendatang, termasuk diantara nya adalah Kesultanan Perlak. Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dalam berbagai catatan sejarah disebutkan bahwa kerajaan ini berkuasa antara 840 hingga 1292 M. Sultan pertama yang memimpin kerajaan ini adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah. Di Kesultanan Perlak, selain para Sultan, ada juga sosok perempuan yang perannya tak kalah dari Sultan. Ia merupakan srikandi sebelum lahirnya tokoh Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang lahir setelahnya. Seperti Puteri Nurul A’al. Ia salah satu tokoh penting di dalam sejarah Kesultanan Perlak. Tidak banyak yang mengangkat kiprahnya secara detil baik dalam bentuk tulisan maupun lainnya. Sehingga sedikit yang mengetahui tentang sejarak sosok ini. Ismail Fahmi Arrauf Nasution dan Miswari dalam artikel pendahuluannya yang dimuat di Paramita: Historical Studies Journal menyebutkan bahwa Kesultanan Perlak terkenal dengan daerah penghasil kayu perlak. Kualitasnya bagus dan cocok untuk pembuatan kapal. Kualitas kayu tersebut yang menarik para pedagang dari berbagai daerah di luar Nusantara untuk membelinya. Seperti dari Gujarat, Arab, dan India. Mereka berbondong-bondong pergi ke daerah Kesultanan Perlak. Daerah ini kemudian menjelma menjadi kawasan bandar niaga yang sangat maju pada awal abad ke-8. “Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat,” tulisnya. Perkawinan campur ini menjadi faktor berkembang pesatnya Islam di Kerajaan Perlak. Dan pada masa Puteri Nurul A’la ini Islam disebut-sebut mencapai puncaknya. Saat itu, dia menjabat sebagai Perdana Menteri perempuan. Puteri Nurul A’la memegang peranan penting di bidang ekonomi. Pada masa itu, ia menjabat sebagai ketua bendahara kerajaan (baitul mal). Putri Nurul A’la adalah putri dari Sultan Perlak kesebelas yaitu, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (1078-1108). Jabatan yang didudukinya sebagai perdana menteri yaitu meneruskan perjuangan ayahnya. Selain jabatan tersebut, Puteri Nurul A’la disebutkan juga menjabata sebagai panglima perang. Ia digambarkan sebagai panglima perang yang gagah berani pada masanya. Rakyat Aceh tidak asing dengan cerita tentang sosok Puteri Nurul A’la. Sehingga cerita rakyat yang dikenal dengan Hikayat Puteri Nurul A’la adalah cara rakyat Aceh mengenang riwayat Puteri Nurul A’la. Hikayat tersebut menceritakan bahwa zaman dulu terdapat seorang raja yang berkuasa di Perlak dimana wilayahnya terletak di Blang Perlak antara Muara Krueng Tuan dan Krueng Seumanah. Setelah lama menikah, raja tersebut belum dikaruniai keturunan. Lalu dia bernazar jika diberi putera, dia akan memandikan putera tersebut di laut dekat Kuala Perlak. Tak lama kemudian, raja tersebut dikaruniai seorang putera yang diberi nama Ahmad Banta dan seorang puteri yaitu Puteri Nurul A’la. Puteri Nurul A’la dikenal sebagai pedagang kayu perlak. Sehingga tak heran jika ekonomi sangat maju ketika dia menjabat sebagai perdanan menteri Kesultanan Perlak. Sistem koperasi sudah dijalankan pada masa itu, khususnya di bidang peternakan dan pertanian yang berbasis pinjaman modal dengan pengembalian melalui cara dicicil. Selain ekonomi, Puteri Nurul A’la juga disebut-sebut berkiprah dalam kemajuan dibidang pendidikan. Tetapi tak banyak sumber yang menjelaskan lebih detil tentang kiprah baik dibidang pendidikan maupun lainnya. Peran Puteri Nurul A’la tersebut patu menjadi contoh bagi generasi saat ini. Semangatnya dalam membangun ekonomi perlu ditiru. Namun yang jelas bahwa perempuan bisa ikut mengambil peran yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang. (zak)

Read More

Pengorbanan dan Perjuangan Nyai Hj. Madichah di wilayah Banten

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sejarah kisah perjuangan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh kaum perempuan, ternyata sangat menarik untuk diangkat kisah nya, seperti hal nya kisah dua pendekar perempuan Banten, yakni Nyimas Gamparan dan Nyimas Melati. Keduanya adalah dua tokoh yang sangat terkenal di masa itu. Nyimas Gamparan dikenal dalam perang Cikande yang terjadi sekitar 1892 hingga 1830. Nyimas Gamparan dikenal pejuang yang sangat gigih dalam melawan kolonial Belanda. Sementara Nyimas Melati tak kalah heroiknya dalam melawan Belanda. Ia tercatat dalam sejarah perjuangan sebagai pahlawan perempuan dalam merebut kemerdekaan di wilayah Tangerang. Di luar dua tokoh pejuang tersebut, ada satu tokoh lainnya dari Cilegon Banten yang patut dijadikan panutan bagi perempuan-perempuan sekarang ini. Ia adalah Nyi Hj. Madichah, seorang ulama yang memiliki ilmu agama yang mumpuni. Nyi Madichah memiliki nama panjang Nyi Hj. Madichah binti KH. Abdul Latief. Ia adalah salah satu putri KH Abdul Latief dari penikahan istri kedua yakni Nyi Hj. Rahmah binti KH. Anhar. KH. Abdul Latief mendapatkan sokongan moral dan materil dari mertuanya dalam membangun pesantren, tarbiyatul athfal dan majelis taklim. Sosok Nyi Madichah sangat dikenal di Cilegon karena aktivitasnya memberikan bimbingan melalui majelis taklim ibu-ibu dan pengajaran di madrasah serta pesantren. Kiprah Nyi Madichah dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kiprah ke dalam dan ke luar. Kiprah ke dalam adalah aktivitasnya mengasuh 300 santriwati dari pagi hingga malam. Sedangkan kiprah ke luar yaitu kegiatannya dalam mengisi pengajian di berbagai majelis taklim. Nyi Madichah juga mempunyai pemikiran nasionalisme yang kuat. Pemikirannya tersebut tampak dalam aktivitasnya di Muslimat NU. Namun sulit menemukan jejak pemikiran nasionalisme karena sumber yang terbatas. Sedangkan jejak pemikirannya tentang Islam Nusantara dapat ditelusuri dalam karya-karyanya yang bertulisan Arab dengan bahasa Nusantara. Dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten, Nihayatul Maskuroh dalam artikelnya berjudul “Nyi Hj. Madichah: Ulama Perempuan Cilegon dan Tradisi Maulid Fatimah menyebut Nyi Madichah merupakan ulama perempuan berpengaruh di Banten. Menurut Maskuroh tak ada catatan secara khusus yang menjelaskan kapan dan di mana Nyi Madichah dilahirkan. Hanya saja terdapat disebutkan bahwa KH Badul Latief menikah dengan Nyi Rahmah sepulang dari perjalanan ibadah haji di Makkah. KH Abdul Latief berada di Makkah selama 6 tahun dan berada di sana sejak tahun 1912 lalu kembali ke Indonesisa pada 1918. Dalam rentan waktu antara 1918 sampai 1924, KH Abdul Latief memberikan pengajian kepada masyarakat di Cibeber, Cilegon. Banyak masyarakat yang tertarik untuk mengikuti pengajiannya, bahkan dari masyarakat luar Banten, tapi juga dari daerah luar lain sering mengikuti pengajian nya. Sehingga tahun 1924, KH Abdul Latief mendirikan pesantren atas sumbangan mertuanya. Dari pernikahannya dengan Nyi Rahmah, hanya disebutkan bahwa dikaruniai empat orang anak yakni Nyi Hj. Ma’ajah, Nyi Hj. Madichah, KH. Ahmad Najiullah Latiefie dan KH. Ridwan Abdul Latief. “Dari penjelasan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Nyi Hj. Madichah merupakan putri kedua dari KH. Abdul Latief. Nyi Hj. Madichah lahir 4 tahun kemudian setelah pernikahan kedua orang tuanya pada penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda,” tukas Maskuroh. Dari data tersebut, Maskuroh memperkirakan Nyi Madichah lahir pada tahun 1922. Menurutnya, pada waktu itu belum banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan formal kecuali dari kalangan bangsawan. Nyi Madichah waktu itu hanya mengenyam pendidikan nonformal yaitu di pesantren orang tuanya. Akibatnya, ia disebutkan tak bisa menulis latin dan hanya bisa menulis tulisan Arab. Ayah Nyi Madichah merupakan sosok yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangannya. Mulai dari di pesantren hingga kegiatan majelis taklim, ia mendapatkan ilmu dari ayahnya. Ia selalu ikut kegiatan majelis taklim ayahnya baik di daerah di Cibeber maupun di luar Cibeber. Materi yang diberikan oleh ayahnya tentang pemikiran madzhab as-Syafi’yah yaitu berhaluan dengan ahlusunnah wal jama’ah. Dari ilmu-ilmu yang didapatkan dari ayahnya tersebut, Nyi Madichah kemudian meneruskan peran ayahnya tersebut baik di madrasah maupun di majelis taklim. Sekitar tahun 1970-an ia telah membina santriwati sekitar 300 orang. Ia lalu dinikahkan dengan salah satu putra dari murid ayahnya, KH Ahmad Matin, yakni KH Arifudin dari Jombang. Kendati sudah menikah dan sibuk mengurus keluarga, Nyi Madichah tetap tidak meninggalkan aktivitas mengajarnya di pesantren dan di majelis-majelis taklim. (her)

Read More

Guru Besar Wanita Pertama Indonesia

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Berbicara tentang kiprah perempuan dalam sejarah perjalanan Indonesia tak dapat dipisahkan dengan kantong-kantong organisasi perempuan. Sebab dari situ lahir kartini-kartini penting yang berpengaruh besar terhadap kehidupan organisasi, secara khusus ataupun secara luas kepada masyarakat umum. Prof Siti Baroroh Baried, perempuan kelahiran Yogyakarta pada 23 Mei 1923 adalah sosok penting yang tercatat dalam sejarah perjalanan organisasi Aisyiyah maupun prestasinya di bidang akademik. Siti Baroroh sangat menonjol di bidang akademik. Semangatnya untuk belajar sangat tinggi waktu itu. Ia bahkan mempunyai semboyan tentang semangat mencari ilmu yaitu “Hidup saya harus menuntut ilmu”. Semboyan tersebut ia ucapkan di hadapan kedua orang tuanya. Ayah dia adalah Tamimi bin Dja’far yang merupakan kemenakan Siti Walidah, istri KH Ahmad Dahlan. Sehingga tak heran apabila ia mencapai prestasi akademiknya hingga puncak yaitu perempuan pertama di Indonesia yang menjadi guru besar. Bahkan pencapaian tersebut ia dapatkan ketika baru berusia 39 tahun. Riwayat pendidikannya ia mulai di SD Muhammadiyah. Lalu ia melanjutkan berturut-turut di MULO HIK Muhammadiyah dan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Keduanya merupakan tingkat sarjana. Pada tahun 1953 sampai 1955, ia pergi ke Kairo, Mesir untuk belajar bahasa Arab. Pada masa itu, pergi ke luar negeri untuk menempuh pendidikan merupakan sesuatu yang langka. Baru pada 1964 ia diangkat sebagai guru besar ilmu Bahasa Indonesia UGM. Karena saat pengangkatan guru besarnya masih usia muda, maka ia pun mendapatkan sorotan banyak pihak waktu itu. Ia mengajar di fakultas sastra sejak 1949 dan pernah menjadi dekan fakultas sastra UGM selama dua periode yaitu tahun 1965-1968 dan 1968-1971. Ia bahkan menjabat sebagai Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM tahun 1963-1975. Ia mempunyai banyak karya yang dapat dinikmati baik dibidang filologi, kebudayaan, pranata, sejarah dan bahasa. Diantara karyanya adalah Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970), Pengantar Teori Filologi (1985), dan Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia (1985). Abd. Rahim Ghazali dalam artikelnya dalam Geotimes mengatakan bahwa jika Kartini dimaknai sebagai perjuangan secara kolektif bukan individua, maka Aisyiyah termasuk salah satu Kartini tersebut. Di dalam Aisyiyah tersebut, nama Siti Baroroh adalah srikandi-srikandi dalam Kartini perjuangan kolektif tersebut. Selain Siti Baroroh, terdapat srikandi lainnya yang tak kalah peranannya dalam organisasi maupun perjuangan perempuan. Sebut saja Nyai Walidah Dahlan sebagai tokoh utama, Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Busyro, Siti Dawingah, Siti Badilah Zuber, dan Siti Dalalah. Selain dikenal perjuangannya di bidang pendidikan, namun Siti Baroroh juga aktif diberbagai organisasi. Di Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), ia juga terlibat aktif. Di Aisyiyah sendiri ia pernah menjabat sebagai Pimpinan Cabang Aisyiyah Gondomanan sampai Pimpinan Pusat Aisyiyah. Ia merupakan perempuan yang menjabat sebagai ketua PP Aisyiyah paling lama selama lima periode dari tahun 1965 hingga 1985. Sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua Biro Hubungan Luar Negeri, Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan serta Ketua Bagia Paramedis. Berkat kepemimpinannya, Aisyiyah menjadi organisasi perempuan yang diperhitungkan di luar negeri. Sehingga banyak akademisi maupun penulis yang mempelajari organisasi ini. Ia menikah dengan seorang dokter spesialis bedan yaitu dr. Baried Ishom. Ia menikah dengannya sebelum gelar guru besarnya diperolehnya. Suami dari Siti Baroroh kemudian menjabat sebagai Direktur RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Dari pernikahanya tersebut dikaruniai dua orang anak satu putra dan satu putri. Ia meninggal pada hari Ahad 9 Mei 199. Ketika ia mangkat, Siti Baroroh menjabat sebagai pimpinan umum Majalah Suara Aisyiyah dan penasehat PP Aisyiyah. (mif)

Read More

Tiga Tokoh Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Besar Masjidil Haram

Jakarta – 1miliarsantri.net : Setidaknya ada tiga nama ulama Indonesia yang tercatat dalam sejarah pernah menjadi Imam Besar Masjidil haram. Mereka para alim ulama dengan keluasan ilmu di bidang fikih, syariah, tasawuf, dan masyhur karena tawadhu. Berkat hal tersebut, ketiga ulama tersebut dijadikan imam besar di Masjidil Haram. Itu merupakan pencapaian mulia, sebab Masjidil Haram merupakan tempat suci umat Islam seluruh dunia, dan tidak sembarang orang bisa menjadi imam masjid di sana. Berikut tiga Indonesia yang pernah menjadi imam Masjidil Haram: Syekh Junaid Al-Batawi merupakan ulama Betawi yang namanya masyhur di Tanah Suci Makkah, Arab Saudi. Dia menjadi ulama pertama asal Indonesia yang menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Ulama kelahiran Pekojan, Jakarta Barat itu bermukim di Mekkah sejak 1834 sejak berusia 25 tahun. Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe, mengatakan, nama Betawi baru populer pada abad ke-19 saat Syekh Junaid Al-Batawi mengajar di Masjidil Haram. Dia memiliki ilmu yang luas dan disebut-sebut sebagai syaikhul masyaikh para ulama mazhab Syafi’i. Seperti dikutip dari Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Jakarta Islamic Centre, disebutkan, satu-satunya ulama Betawi yang memiliki pengaruh di dunia Islam pada awal abad ke-19 serta menjadi poros atau ujung utama silsilah ulama Betawi masa kini adalah Syekh Junaid Al-Batawi. Syekh Junaid memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Tanah Air bahkan dunia Islam. Di antaranya Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab lainnya hingga syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani merupakan murid dari Syekh Junaid Al Batawi di Masjidil Haram. Beliau dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815. Namanya masyhur hingga sekarang dengan karyanya yang banyak. Di Mekah, beliau memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya selama kurang lebih 30 tahun. Semakin hari semakin masyurlah hasil pemikiran Syekh Muhammad Nawawi. Beliau juga menulis banyak kitab berbahasa Arab dan jadi rujukan khususnya dalam ilmu fiqih, di seluruh dunia. Ketika menetap di Syi’ib ‘Ali, Mekah, Syeikh Muhammad Nawawi memiliki murid yang banyak dan berasal dari berbagai bangsa. Namanya kemudian tersohor sebagai Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani. Puncaknya, ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti imam Masjidil Haram. Syekh Nawawi meninggal di Mekah pada 1897. Beliau adalah guru ulama-ulama pesantren di Indonesia. Salah satu keturunannya saat ini menjadi Wakil Presiden yakni KH Ma’ruf Amin yang juga pernah menjabat Rais Aam PBNU. Ulama ini juga dikenal dengan nama Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Beliau lahir di Sumatera Barat, tepatnya di Koto Tuo, Agam pada 26 Juni 1860. Kecerdasan beliau sudah terlihat sejak kanak-kanak. Ayahnya Syaikh Abdul Latif mengajaknya ke Mekah pada usia 11 tahun (1871) untuk menunaikan ibadah haji. Namun Ahmad tidak ikut pulang, ia tinggal di Mekah untuk menuntaskan hafalan Al-Qurannya. Selain menghafal Alquran, Ahmad berguru dengan beberapa ulama di antaranya Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Kealiman Syekh Ahmad Khatib dibuktikan ketika dia diangkat menjadi imam dan khatib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Syekh Ahmad Khatib mempunyai banyak murid yang kemudian menjadi ulama-ulama besar, di antaranya Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka, ulama termasyhur Indonesia. Lalu ada K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), serta masih banyak lagi. (jqf)

Read More

Penderitaan KH Ali Alhamidi Semasa Menjadi Tahanan Politik Orde Lama

Jakarta – 1miliarsantri.net : Ketika masa pemerintahan Orde Lama (Orla), terdapat beberapa organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki banyak tokoh ulama ternama, diantaranya Organisasi Persatuan Islam (Persis) yang memiliki banyak ulama produktif. Di antara nama-nama yang cukup masyhur adalah Ustaz A Hassan (1887-1958) dan Syekh Ahmad Surkati (1875-1943). Dari sekian banyak nya tokoh ternama, ada satu figur lagi yang patut dikenang sebagai ahli prolifik. KH Muhammad Ali Alhamidi, seorang penggerak Persis di Tanah Betawi. Di sepanjang hayatnya, tokoh yang akrab disapa Kiai Ali Alhamidi Matraman ini telah menghasilkan banyak karya tulis. Di antaranya adalah Jalan Hidup Muslim, Islam dan Perkawinan, Perbaikan Akhlak, Ruhul Mimbar, Adabul Insan fil Islam, Hidayatullah, Manasik Haji, Al-Wahyu wa Al-Qur’an, serta Godaan Sjetan. Menurut Ketua Divisi Kajian Aliran Pemikiran PP Persis Ustaz Artawijaya, kepiawaian tokoh tersebut dalam menulis muncul terutama berkat persahabatannya dengan A Hassan. Pada masa pemerintahan presiden Sukarno, KH Ali Alhamidi termasuk ulama yang vokal menyuarakan kegelisahan umat Islam. Terlebih lagi, sejak 1960-an Bung Karno cenderung memerintah secara otoriter. Pada saat yang sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) kian merapat dan terkesan dilindungi oleh penguasa Orde Lama tersebut. KH Ali Alhamidi pernah merasakan dinginnya sel penjara. Ia menjadi tahanan politik yang dibelenggu Orde Lama dengan tuduhan yang tidak jelas. Ustaz Artawijaya mengungkapkan, penangkapan atas tokoh Persis itu terjadi karena hasutan kelompok kiri, terutama PKI pada waktu itu. Nasib yang sama juga terjadi pada tokoh-tokoh Muslim lainnya. Sebut saja, Prof Buya Hamka, yang dituduh ikut merencanakan plot pembunuhan terhadap Bung Karno. Bahkan hingga tumbangnya sang presiden, tudingan itu tidak pernah terbukti, apalagi dibawa ke pengadilan. Pada puncak kekuasaan, Orde Lama memang begitu terpengaruh oleh agitasi kaum komunis. Dalam hal KH Ali Alhamidi, pemenjaraan terhadapnya begitu janggal. Bukan hanya ketiadaan bukti-bukti yang mendukung penahanan. Antara dirinya dan Bung Karno pun sesungguhnya terjadi hubungan pertemanan yang baik. Pada era 1950-an, Kiai Ali turut berjuang mengobarkan api revolusi kemerdekaan RI. Ia pun ikut mendampingi Bung Karno dalam rapat-rapat akbar bersama rakyat di Jakarta, semisal pidato presiden tersebut di Lapangan IKADA pada 1957. “Pak Kiai (Ali Alhamidi) berkawan dengan Bung Sukarno meski akhirnya Bung Karno yang memenjarakannya. Bung Sukarno itu pernah main ke rumah Pak Kiai di Matraman Dalam II Nomor 56,” terang Ustad Artawijaya kepada 1miliarsantri.net, Kamis (25/5/2023). Seperti halnya Buya Hamka, KH Ali Alhamidi pun tetap produktif menulis di dalam penjara. Bila ulama Minangkabau tersebut menghasilkan karya monumental Tafsir al-Azhar dari dalam rumah tahanan, dai Persis itu menulis beberapa karangan. Salah satunya adalah buku berjudul Godaan Sjetan. Buah penanya itu lahir saat dirinya ditahan di Gedung Departemen Kepolisian, Kebayoran Baru, serta Rindam Condet, Jakarta. Saat di penjara ini lah Kiai Ali Alhamidi melahirkan sebuah buku berjudul Godaan Sjetan. Menurut Ustaz Artawijaya, buku tersebut adalah salah satu karya Kiai Ali Alhimidi yang terkenal. “Ini adalah buah karya beliau yang ditulis dari balik ruang tahanan rezim Nasakom. Hanya tiga bulan, buku setebal 230 halaman yang cukup best seller pada masanya ini, ditulis oleh beliau. Sampul buku ini pun sudah beberapa kali mengalami perubahan,” urai Ustad Artawijaya. Dalam bagian pengantar buku tersebut, Kiai Ali Alhamidu menyampaikan bahwa karya ini disusun dalam kamar tahanan polisi. Dimulai dari tanggal 28 Juni 1962 jam 8 pagi, dan berakhir pada tanggal 1 Agustus 1962 jam 07.00 pagi. Lebih lanjut, Kiai Ali Alhamidi menceritakan suasana ruang tahanan, tempat buku ini ditulis. “Di dalam kamar tahanan polisi, di Departemen Kepolisian Kebayoran Baru, Jakarta, seluas kira-kira tiga meter persegi lebih, disinari lampu listrik yang cukup terang, diperlengkapi dengan kakus dan bak mandi yang bersih serta selalu tersedia air, dan satu dipan tempat tidur,” tulisnya. “Di dalam kamar yang sederhana itu, dan mendapat penjagaan yang cukup kuat, tidak bisa bertemu anak isteri dan kawan sahabat, sehingga waktu saya tidak tertanggu, maka dengan memohonkan perlindungan dan permohonan kepada Allah SWT, mulailah saya mengarang.” Kiai Ali Alhamidi mengatakan, “Saya ditahan karena fitnah, bukan karena bersalah. Lamanya tiga bulan sepuluh hari, atau seratus hari.” Selain Kiai Ali Alhamidi, Ustaz Artawijaya juga menyebut kehebatan tokoh Masyumi lainnya, Buya Hamka. Peraih doktor honoris causa dari Universitas al-Azhar Mesir itu juga melahirkan karya besar dari dalam tahanan rezim Nasakom,yakni Tafsir Al-Azhar. Selain aktif di Persis, Kiai Ali Alhamidi juga ikut menjadi aktivis Partai Masyumi dan banyak menulis artikel di Suara Masjumi. Semasa hidupnya, ia juga terlibat dan aktif dalam kegiatan dakwah di Masjid Said Naum Tanah Abang, Petojo, Pedurenan, Pos Pengumben, dan di Masjid Jami’ Matraman. Sang tokoh wafat pada 22 Agustus 1985. Jenazahnya dikebumikan di Kompleks Permakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Pusat. (Zak)

Read More

Syekh Quro Penyebar Agama Islam Pertama di Tanah Sunda

Karawang – 1miliarsantri.net : Sebagian besar masyarakat Jawa Barat, terutama Kabupaten Karawang, pasti sudah tidak asing lagi mendengar nama Syekh Quro, yang memiliki nama asli Syekh Hasanuddin atau Syekh Qurotul Ain atau Syekh Mursahadatillah. Beliau adalah salah satu ulama penyebar agama Islam pertama di tanah Sunda sekitar abad 15, makam nya terletak di Pulo Bata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang Karawang, diperkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu, dan beliau memberikan surat pernyataan Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII. Dalam sejarah diceritakan mengenai penyebaran Islam di Karawang bermula ketika Syekh Quro mendirikan Pondok Pesantren yang bernama Pondok Quro, yang memiliki arti tempat untuk belajar Alquran pada tahun 1418 M atau 1340 Saka. Di Pesantren inilah pertama kali dibangun sebuah masjid di Karawang yang sekarang menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi yang datang ke Karawang bersama para santrinya yakni, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putri dari Ki Gedeng Karawang, dari pernikahan itu lahirlah seorang putra yang bernama Syekh Akhmad, yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro memiliki seorang santri yang berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syekh Abdulah Dargom alias Syekh Darugem bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan RA yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan mereka mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci. Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, Syekh Quro menugaskan santri–santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Islam seperti, Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur, untuk menyebarkan ajaran Islam ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke Kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang. Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syekh Bentong ikut bersama Syekh Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang, untuk menyebarkan ajaran Islam dan bermunajat kepada Allah SWT. Di Pulo Bata Syekh Quro dan Syekh Bentong membuat sumur yang bernama Sumur Awisan, yang sampai saat ini sumur tersebut masih dipergunakan. Syekh Quro akhirnya meninggal dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Sebelum meninggal Syekh Quro berwasiat kepada santri – santrinya. “Ingsun Titip Masjid Langgar Lan Fakir Miskin Anak Yatim Dhuafa”. Sepeninggal Syekh Quro, perjuangan penyebaran Islam di Pulo Bata diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong. Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha ditugaskan oleh Kesultanan Cirebon untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro. (fil)

Read More

Para Tokoh Penggagas Lahir nya Boedi Oetomo

Surabaya – 1miliarsantri.net : Pergerakan Budi Utomo merupakan organisasi yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indiische Artsen) pada 20 Mei 1908 di Jakarta. Sejumlah tokoh penggagas dan pendorong terlahirnya Budi Utomo, di antaranya adalah Dr Soetomo, Seoradji Tirtonegoro, dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Lahirnya Budi Utomo juga tidak lepas dari peran dr. Wahidin Soedirohusodo. Untuk mengampanyekan gagasan mengenai bantuan dana bagi pelajar berprestasi yang tidak mampu sekolah, dr. Wahidin Soedirohusodo kerap berkeliling kota-kota besar di Jawa. Berikut ini adalah tokoh penggagas dan pendorong lahirnya Budi Utomo yang dikutip dari laman Kebudayaan Kemdukbud dan beberapa sumber lainnya. Pada awal pembentukan organisasi, Soetomo menjadi ketua Budi Utomo. Kemudian susunan kepengurusan organisasi dirombak dalam Kongres Pertama Budi Utomo pada Oktober 1908. Dalam kongres tersebut, ketua Budi Utomo yang ditetapkan adalah Tirtokusumo yang saat itu adalah bupati Karanganyar. Pada 27 Desember 1961 Soetomo ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pada awal pembentukan organisasi, Soelaiman menjadi wakil ketua Budi Utomo. Setelah Kongres Pertama Budi Utomo, jabatan wakil ketua organisasi ini diduduki oleh dr. Wahidin Sudirohusodo. Kemahirannya itu dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan awal Budi Utomo melalui tulisan-tulisannya. Gondo Soewarno menegaskan agar Budi Utomo menjadi pelopor bagi Algemeen Javaancshe Bond (Persatuan Seluruh Jawa). Ia adalah pendiri sekaligus penggerak organisasi Budi Utomo yang sangat dekat dengan Soetomo. Saking dekatnya, ketika Goenawan meninggal pada 1929, Tjipto menyebut bahwa Soetomo telah kehilangan “dalang”-nya. Raden Angka termasuk di antara tokoh intelektual yang tidak terjun ke kancah perjuangan dan pergolakan politik. Semasa hidupnya, Raden Angka mengabdikan diri sebagai dokter rakyat dan pendidik. Pada masa revolusi fisik, M Saleh bahu-membahu bersama rakyat mempertahankan kemerdekaan dengan caranya yakni sebagai dokter di Probolinggo, Jawa Timur. Ia memiliki peran penting dalam melakukan pendekatan dengan bupati-bupati untuk mendukung organisasi Budi Utomo. Usulan tersebut disampaikan Soeradji dan Soetomo kepada dr. Wahidin Soedirohoesodo saat mengunjungi STOVIA. Kemudian, nama Boedi Oetomo atau Budi Utomo dipilih dan dijadikan nama resmi perkumpulan para pelajar STOVIA. Dalam organisasi Budi Utomo, ia berperan sebagai komisaris (Pembantu Umum) bersama komisaris-komisaris lainnya. (fq)

Read More