Kampung Gelgel, Kampung Tertua Islam di Bali

Klungkung – 1miliarsantri.net : Jika anda berwisata ke Pulau Bali, jangan lewatkan untuk singgah ke Kampung Gelgel, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Bali. Adalah salah satu pemukiman Islam tertua di wilayah Bali. Kawasan tersebut juga dikenal sebagai salah satu objek wisata religius. Desa Gelgel juga dikenal memiliki toleransi antarumat beragama yang kuat sehingga banyak dikunjungi oleh wisatawan asing ataupun domestik. Salah satunya bentuk toleransi yang masih dirawat hingga hari ini adalah aktivitas makan bersama yang dikenal dengan megibung. Tradisi megibung berasal dari kata gibung yang berarti kegiatan duduk dan makan bersama dalam satu wadah yang disebuh sagi. Sagi adalah nampan berbentuk lingkaran berbahan enamel. Sagi yang berisi makanan akan ditata rapi di atas deretan lantai ubin putih di teras depan Masjid Nurul Huda di Desa Gelgel. Megibung juga dikenal dengan nama ngaminang yakni setiap orang hanya boleh makan apa yang tersaji di depannya dan tidak boleh mengambil makanan milik teman sebelahnya. Jika sudah kenyang dan makan pun selesai, kita tak boleh beranjak dari sagi. Kegiatan tersebut bertujuan untuk duduk bersama dan saling berdiskusi serta berbagi pendapat tanpa tersekat oleh berbagai perbedaan status sosial dan kasta. Acara megibung dilakukan saat buka puasa bersama pada 10 hari kedua Ramadhan di masjid desa. Sigi akan diisi nasi beserta lauknya seperti ikan, ayam goreng, sate lilit berbahan daging ayam, sayur dan sambal matah juga kerupuk dan beberapa botol air mineral. Tak ketinggalan buah-buahan seperti beberapa sisir pisang ambon, jeruk, dan salak ikut disajikan di dalam sagi, kemudian ditutup dengan tudung atau saap warna merah yang di atasnya diletakkan sekotak kurma. Tak jarang Raja Klungkung juga berkunjung ke desa tersebut untuk ikut berbuka puasa dengan warga Desa Gelgel yang mayoritas beragama Islam. Tradisi kunjung sang raja telah dipertahankan sejak ratusan tahun silam. Desa Kampung Gelgel memang memiliki perhatian khusus dari Raja Klungkung. Hal ini tak lepas dari sejarah panjang yang dilewati Kerajaan Klungkung dan prajurit Majapahit yang dikirim ke Bali. Kedekataan Kerajaan Klungkung dengan masyarakat Muslim di Bali tak lepas dari kisah Dalem Ketut Nglesir, Raja Gelgel yang memerintah pada tahun 1383. Awalnya Kerajaan Gelgel berada di Samprangan Gianyar. Lalu oleh Dalem Ketuk Nglesir, pusat pemerintahan dipindah ke Klungkung. Dalem Ketut Ngelesir sendiri naik tahta menggantikan sang kakak, Dalem Samprangan. Kala itu kerajaan mereka berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit. Dalam berbagai literasi disebutkan Dalem Ketut Ngelesir menghadiri sebuah konferensi di Majapahit yang diadakan Prabu Hayam Wuruk pada 1384. Raja Gelgel Dalem Ketut Ngelesir mendapat keistimewaan. Prabu Hayam Wuruk mempersembahkan 40 prajurit pilihan Majapahit untuk mengawal kepulangan Dalem Ketut Ngelesir ke Pulau Dewata. Ternyata 40 prajurit dari Majapahit ini beragama Islam. Sebagai bentuk terima kasih, Dalem Ketut Ngelesir memberikan sebidang tanah di sisi timur kerajaan di Klungkung untuk tempat tinggal 40 prajurit dari Majapahit. Pada awal abad ke-14, para prajurit Majapahit itu mendirikan Masjid Nurul Huda. Masjid itu sempat beberapa kali mengalami perbaikan sebelum akhirnya dibangun ulang berkonstruksi beton 2 lantai pada 1989. Mimbar khotbah masjid terbuat dari kayu jati berukir khas Bali, motif daun-daunan, dan sudah dipertahankan sejak 1836. Sementara itu, para prajurit yang sebagian menetap ini kemudian menikah dengan perempuan setempat. Dan seiring waktu, mereka tinggal menyebar karena beranak pinak dan menjadi penyebar Islam ke sejumlah kawasan di Bali. Misalnya, ke Kampung Lebah, Kamasan, Kusamba, Pagayamanan, dan Kampung Toyapakeh di Pulau Nusa Penida. Sementara itu dikutip dari buku Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya, arkeolog Hasan Djafar menuliskan jika agama Islam diketahui sudah ada di Kerajaan Hindu-Buddha itu sejak 1281 Masehi dan 1368 Masehi. Hal tersebut berdasarkan penemuan makam Islam kuno di Desa Tralaya, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, yang lokasinya tak jauh dari pusat Kerajaan Majapahit. Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, di dalam kota Majapahit, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis Hasan Djafar. Hingga saat ini toleransi di Kampung Gelgel terus bertahan. Terlebih sekitar 200 meter dari Masjid Nurul Huda yang berada di Jl Waturenggong berdiri pula Pura Kawitan Pusat Pasek Gelgel Dalem Siwa Gaduh. Toleransi tak hanya sebatas ngaminang. Warga juga kerap menjalankan tradisi ngejot atau saling berkirim makanan saat masing-masing memperingati hari raya keagamaan. Mereka seperti paham bahwa dalam setiap makanan, misalnya, tidak mengandung daging sapi ketika akan diberikan ke warga beragama Hindu. Begitu pun sebaliknya, warga Hindu atau agama lainnya hanya mengirimkan makanan halal kepada saudaranya yang Muslim. Saat warga Hindu memperingati Nyepi, maka warga Desa Kampung Gelgel akan membantu tugas para pecalang mengamankan wilayah. Sebaliknya, jika warga Muslim menggelar salat Idulfitri dan Iduladha, maka warga umat lain akan turun tangan mengatur arus lalu lintas di sekitar lokasi salat. (rch)

Read More

Sejarah Sutowijoyo Dibelokkan Penjajah dan Akan Segera Diungkap Fakta Kebenarannya

Sukoharjo – 1miliarsantri.net : Pada saat itu ada seorang wali yang bernama Ki Ageng Sutowijoyo yang juga merupakan murid Sunan Kalijaga. Bermula dari pertemuan dengan Sunan Kalijaga saat dirinya melarikan diri dari kerajaan berakhir dengan ditugaskannya untuk menyebarkan agama Islam di bukit Maja Asto yang kini menjadi tempat pemakamannya. Ia membangun masjid yang juga ada di daerah tersebut dan menjadi peninggalan bersejarah. Sebuah peninggalan yang menjadi bukti dari adanya jejak penyebaran agama Islam di sana. Ada sebuah prasasti di gapura masjid yang diperkirakan sesuai dengan tahun pembangunannya yaitu pada tahun 1587-1653 Masehi. Bahkan, pembangunan masjid ini dijadikan sebagai tempat untuk melakukan dakwah memberikan pengetahuan tentang Islam kepada penduduk desa. Meskipun berlangsung secara perlahan, selain hanya ada sedikit penduduk yang memeluk agama Islam juga karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang Islam sebelumnya. Dakwah yang dilakukannya adalah dengan selalu mengingatkan untuk menjadi orang yang menegakkan keadilan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Makam Ki Ageng Sutawijaya merupakan peninggalan sejarah yang jadi jejak adanya penyebaran Islam di Desa Majasto. Berada di sebuah bukit batu yang makamnya hanya memiliki kedalaman yang dangkal, tidak membuat makam menimbulkan bau tidak sedap. Berdasar catatan naskah, Peguron Agung – Bumi Arum Majasta, yang berada di wilayah Desa Majasta, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, ternyata memberikan sumbangsih yang sangat luar biasa untuk perjuangan, bukan hanya Pangeran Dipanegara tatkala melawan penjajah, yang kemudian perjuangan tersebut kita kenal dengan sejarah “Perang Jawa.” (1825-1830) tapi juga konon sekaligus dijadikan nya Padepokan bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu Persaudaraan dan Kecintaan Pada Sang Khalik. Nilai kecintaan tersebut terlihat dari loyalitas masyarakat pada saat itu, bukan hanya harta yang akan diserahkan! Bahkan Peguron Agung, Mesigit Bumi Arum, Ulama dan Santri, masyarakat setempat yang tidak seluruhnya beragama Islam, rela mempersembahkan nyawanya untuk mewujudkan cita-cita bersama sebagai masyarakat pribumi yang merdeka. Salah satu tokoh masyarakat Majasto yang menolak disebutkan namanya, mengungkap, Perihal “Perang Jawa” tentu bukanlah perang Agama, namun menyangkut kehormatan dan harga diri suatu bangsa yang hendak menegakkan kedaulatan. “Memang Wong Jawa sejak berabad-abad dicatat dalam sejarah, sangat anti pati penjajahan! Termasuk para Wong Majasta,” terangnya kepada 1miliarsantri.net, Selasa (27/06/2023) Terlebih lagi Ibunda Pangeran Dipanegara yakni Raden Ayu Mangkarawati berdarah pribumi Majasta, Putri dari seorang Ulama setempat yang tidak lain masih keturunan Ki Ageng Majasta (dalam naskah dicatat dengan nama Ki Ageng Para Ampelan) tentu merupakan hal yang lazim bila dukungan masyarakat pribumi Majasta terbilang bersih dari kepentingan politis. Artinya dukungan dahsyat tersebut sangatlah tulus atas azas sebagai sesama anak pribumi Majasta. “Sampai suatu hari paska penangkapan Pangeran Dipanegara, kemudian Peguron Agung Bumi Arum Majasta dan Masjidnya dibakar. Dihancurkan sehancur-hancurnya oleh Kolonial dibantu antek-anteknya. Sungguh tragis dan berdarah-darah!,” sambungnya. Tak hanya itu! Dibalik hitam kelamnya sejarah Peguron Agung Bumi Arum Majasta, dalam naskah juga diriwayatkan banyak para Begal bertobat dan minta di ajari Sholat dengan harapan diperbolehkan ikut perang melawan Penjajahan. Semboyannya: “Jika kami mati dalam peperangan, semoga dosa kami sudah terampuni dan meraih sahid.” Hingga saat ini, berbagai macam misteri sejarah masih menyelimuti adanya peranan penting Ki Ageng Sutowijoyo ini sebelum terbentuk nya Kerajaan Mataram Kuno. “Semua bukti sejarah yang sudah dibelokkan oleh Penjajah waktu itu, akan kami buka bulan Suro nanti, disertai adanya acara arak-arakan Pusaka Mbah Sutowijoyo dan beberapa peninggalan lain nya akan kami tampilkan kepada masyarakar dan kami berharap kebenaran sejarah ini bisa terungkap,” pungkasnya. (yus)

Read More

Napak Tilas Tebuireng dan Perjuangan Mbah Hasyim Asy’ari

Jombang – 1miliarsantri.net : Nama Tebuireng memang sudah terkenal seantero Nusantara. Tebuireng merupakan sebuah pesantren yang berdiri tahun 1899 di Wilayah Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur. Namun, untuk mencapai kejayaan seperti sekarang, jalan terjal harus ditempuh oleh pesantren yang didirikan KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) yang merupakan tokoh nasional, sekaligus pendiri organisasi Nahdatul Ulama (NU). Salah satu perjuangan beratnya adalah saat para santri Tebuireng harus melawan kelompok pendekar hitam pimpinan dukun sakti Wiro yang menguasai tempat maksiat bernama Kebo Ireng. Kebo Ireng merupakan sebuah lokalisasi yang berada di areal pabrik gula Desa Cukir. Di mana untuk mengikat warga supaya mau menyerahkan tanah dan menjadi buruh pabrik, pemerintah Belanda sengaja mendukung berdirinya tempat maksiat Kebo Ireng. Setiap malam para buruh pabrik selalu mengunjungi dan menghabiskan uang di lokalisasi Kebo Ireng, terlebih usai menerima gaji sebagai buruh. Akibatnya, warga banyak yang terjerat hutang, karena kalah berjudi maupun main perempuan. Kondisi itu tentu membuat Belanda senang, karena dapat terus mengikat warga menjadi buruh pabriknya. Sehingga apapun keputusan Wiro beserta anteknya, Belanda selalu berada dibelakang mereka. Dalam memimpin wilayah Kebo Ireng, selain dibantu oleh para pendekar didikannya, Wiro juga didampingi seorang wanita cantik penari tayub bernama Sartini. Meski lembut dan cantik, Sartini dikenal cerdik dan merupakan wanita yang paling berpengaruh dalam setiap keputusan yang akan diambil Wiro. Kondisi Desa Cukir yang semakin suram dengan meningkatnya kriminalitas seperti perampokan, serta kemiskinan yang parah, membuat seorang Kiai bernama Sakiban prihatin. Sehingga kiai yang juga terkenal piawai mendalang itu mendatangi Mbah Hasyim untuk membantu menyelamatkan warga Desa Cukir dari cengkraman maksiat Kebo Ireng. Setelah mendengar cerita Kiai Sakiban dengan seksama, Mbah Hasyim akhirnya bersedia mendirikan pesantren di wilayah utara Pabrik Cukir demi menyelamatkan warga dari kemaksiatan Kebo Ireng yang didukung Belanda. Namun untuk membangun pesantren tidaklah mudah, apalagi Belanda sangat alergi dengan yang namanya pesantren. Sebab, sebelumnya di wilayah tersebut pernah ada sebuah pesantren bernama Sumoyono yang memberontak kepada Belanda. Sehingga untuk menyamarkan kegiatan pesantrennya, Mbah Hasyim mendirikan padepokan silat. Dimana untuk mengisi padepokan tersebut, MbahbHasyim melalui Kiai Sakiban memanggil beberapa santri pendekar dari Cirebon yang tentunya memiliki ilmu kanuragan mumpuni. Di samping menyamarkan pesantrennya menjadi padepokan silat, demi menarik masyarakat Mbah Hasyim Asy’ari juga melakukan dakwah terselubung melalui praktek pengobatan secara Islam melalui wirid atau zikir. Setidaknya ada sekitar 28 santri yang belajar di pesantren berkedok padepokan silat tersebut. Setiap malam Jumat seusai Salat Isya, di padepokan itu diadakan atraksi pencak silat serta debus untuk menarik masyarakat datang. Terbukti acara pencak silat tersebut mampu menarik masyarakat untuk datang. Sehingga secara tidak langsung membuat lokasi Kebo Ireng sepi. Tidak hanya itu pengobatan yang dilakukan oleh Mbah Hasyim juga mampu membuat warga beralih dari Wiro, dukun sakti yang terkenal bisa mengobati semua penyakit. Ketenaran Mbah Hasyim dengan padepokan silatnya tentu saja membuat Wiro terganggu dan cemas karena akan kehilangan pamor. Bahkan Wiro sempat beberapa kali menyusupkan anak buahnya untuk melihat atraksi pencak silat yang diadakan padepokan Mbah Hasyim. Mengetahui Wiro menyusupkan anak buahnya, Mbah Hasyim merasa senang, karena dengan begitu bisa memastikan jika Wiro tidak akan berani menggangu padepokannya secara langsung setelah mengetahui kemampuan ilmu silat putih santri-santrinya. Benar saja, Wiro tidak berani melakukan perlawanan terbuka pada padepokan Mbah Hasyim. Melalui anak buahnya, Wiro melakukan provokasi dengan melempari pondok, bahkan pernah anak buah Wiro melepaskan panah api yang membakar atap pondok padepokan. Namun Mbah Hasyim yang terkenal anti kekerasan itu melarang keras anak buahnya membalas provokasi tersebut. Bahkan kepada anak buahnya Mbah Hasyim selalu menyarankan agar selalu bersikap sopan terhadap semua orang, terutama masyarakat luar. Beberapa kali santri padepokan di provokasi oleh anak buah Wiro saat belanja di Pasar Cukir, hingga diajak berkelahi, tapi para santri tidak pernah terpancing. Sikap para santri semakin menarik simpati masyarakat dan membuat Wiro kian berang. Sehingga Wiro terus mengganggu padepokan dengan berbagai cara licik. Sikap licik Wiro yang terus menggangu padepokan lewat provokasi, akhirnya membuat Kiai Sakiban mengambil langkah untuk segera mengakhiri kekuasaan Wiro dan menyalamatkan warga dari kemaksiatan Kebo Ireng. Kiai Sakiban mengambali keputusan untuk menantang Wiro bertarung secara jantan dengan santri padepokan, karena Kiai Sakiban yakin santri padepokan mampu mengalahkan Wiro. Sebelum menjalankan rencananya, Kiai Sakiban terlebih dulu mengutarakan maksudnya kepada Mbah Hasyim. Meski awalnya sempat menolak rencana Kiai Sakiban karena dinilai membahayakan. Namun atas dukungan para santri yang bermaksud ingin menyelamatkan warga dari Kebo Ireng pimpinan Wiro, Mbah Hasyim akhirnya menyetujui rencana tersebut. Keputusan mengundang Wiro uji tanding sengaja diambil untuk menghindari hukum Belanda saat itu. Karena jika pertarungan dilakukan di luar padepokan, Belanda akan menangkap para santri serta menutup padepokan dengan tuduhan penyerangan. Dan diutuslah dua santri oleh Kiai Sakiban untuk menemui Wiro. Setelah menemui Wiro di warung kopi Pasar Cukir tempat dirinya biasa duduk mengawasi anak buahnya, dua Santri utusan Kiai Sakiban langsung mengutarakan maksudnya. “Kami menyampaikan salam dari Kiai Sakiban untuk kang Wiro,” ujar salah satu santri. Mendengar itu, Wiro hanya menanggapi sinis.“Ada apa Kiai Sakiban menyampaikan salam kepadaku,” jawabnya sinis. Kemudian salah satu santri kembali menyampaikan maksudnya.“Kiai Sakiban minta kang Wiro beserta anak buahnya tidak menggangu padepokan kami. Kalau memang bersedia sebaiknya diadakan tanding terbuka saja, jangan mengganggu dengan cara pengecut seperti perempuan,” sebut Santri itu. Mendengar ucapan santri sontak mata wiro merah membara dan emosi.“Kurang ajar! Berani sekali kalian menghina murid padepokanku seperti perempuan. Apa Kiai Sakiban tidak tahu siapa Wiro?” ujar Wiro dengan mata melotot. Dua santri tersebut tidak menjawab, mereka hanya menunggu kata-kata Wiro selanjutnya. Dalam hati mereka merasa senang karena rencana memancing Wiro keluar bakal berhasil. “Bilang sama Kiai Sakiban, atur tempat pertarungan. Wiro sendiri yang akan turun,” kata Wiro masih dengan nada emosi. Usai Wiro berbicara dua santri pun pamit dan menyampaikan pesan kepada Kiai Sakiban serta Mbah Hasyim. Kabar bakal adanya pertarungan antara Wiro dengan santri padepokan cepat menyebar luas. Dan malam Jumat selepas Isya dijadikan waktu untuk uji tanding. Para santri padepokan pun sudah menyiapkan lokasi tanding, ratusan warga terlihat mendatangi lokasi, Wiro membuktikan ucapanya, dia datang dengan didampingi Sartini serta puluhan anak buahnya. Pertarungan pun di mulai, dari pihak padepokan dipilih Abdullah, santri asal Cirebon yang berperawakan sedang namun memiliki kanuragan mumpuni. Saat keduanya…

Read More

Masjid Kudus Terinspirasi Dari Al Quds Palestina

Kudus – 1miliarsantri.net : Awal mula pendirian masjid Kudus, ketika Ja’far Shoddiq atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus kembali ke Tanah Jawa, setelah memperdalam ilmu agama Islam di Palestina dan mendirikan masjid di daerah Kudus pada tahun 1956 Hijriyah atau 1548 Masehi. Semula masjid tersebut diberi nama Al Manar, namun karena terinspirasi dari nama Al Quds maka masjid itu kemudian diberi nama Masjid Al Aqsho, meniru nama Masjid di Yerussalem yang bernama Masjidil Aqsho. Kota Yerussalem juga disebut Baitul Maqdis atau Al-Quds. Dari kata Al-Quds tersebut kemudian lahir kata Kudus, yang kemudian digunakan untuk nama Kota Kudus hingga saat ini. Sebelum mendirikan masjid, Sunan Kudus pernah menetap di Baitul Maqdis untuk belajar agama Islam. Kala itu, disana sedang terjangkit wabah penyakit, sehingga banyak orang yang mati. Namun berkat usaha Ja’far Shoddiq, wabah tersebut dapat diberantas. Atas jasa-jasanya, maka Amir di Palestina memberikan hadiah berupa Ijazah wilayah, yaitu pemberian wewenang menguasai suatu daerah di Palestina. Pemberian wewenang itu bahkan tertulis pada batu yang ditulis dengan huruf arab kuno, dan sekarang masih utuh terdapat di atas Mihrab Masjid Menara Kudus. Mendapat kehormatan itu, kemudian Sunan Kudus memohon kepada Amir Palestina yang sekaligus sebagai gurunya untuk memindahkan wewenang wilayah tersebut ke Pulau Jawa. Permohonan tersebut disetujui dan Ja’far Shoddiq pulang ke Jawa dan mendirikan masjid. Kini masjid tersebut terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang dan berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Namun jauh sebelum mendirikan masjid Alaqso, dalam babad Jawa dan hikayat Melayu, nama Sunan Kudus muncul saat perang jihad pertama di Jawa yang terjadi antara Kerajaan Islam Demak dengan Kerajaan Hindu Majapahit, pada 1524 dan 1526. Saat itu, Sunan Kudus mendampingi imam masjid Demak keempat yang tidak lain merupakan ayahnya sendiri, memimpin peperangan melawan Majapahit. Dalam pertempuran sengit itu, ayah Sunan Kudus gugur. Sunan Kudus kemudian diangkat menjadi imam masjid Demak. Menurut Hikayat Hasanudin, Sunan Kudus adalah imam masjid Demak kelima. Pada 1526 dan 1527, Raja Demak Sultan Trenggana memerintahkan Sunan Kudus menyerang Majapahit. Serangan itu dipimpin langsung oleh Sunan Kudus dan berakhir dengan kemenangan Kerajaan Demak. Setelah itu, Sunan Kudus kembali dengan aktivitas keagamaannya di masjid Demak, yakni membumikan ajaran agama Islam. Suatu ketika, Raja Demak meminta Sunan Kudus mendatangi kerajaan kecil yang dipimpin Raja Pengging, di kaki Gunung Merapi. Misi Sunan Kudus saat itu adalah meminta Raja Pengging mengakui kekuasaan Demak dan meninggalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Permintaan Sunan Kudus ini ditolak mentah-mentah oleh sang Penguasa. Raja Pengging tetap dengan kepercayaannya. Sunan Kudus merasa terhina permintaannya ditolak. Dia lalu menyuruh pasukannya untuk membunuh sang raja. Bersama wali sembilan, Sunan Kudus kemudian menyidang Syekh Siti Jenar. Ajaran mistik Syekh Siti Jenar dianggap menyimpang oleh Sunan Kudus dan menyesatkan umat Islam. Sunan Kudus lalu meminta kepada sembilan wali Jawa lainnya untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar. Sunan Kudus juga mendakwa dua ulama lainnya, yakni Syekh Jangkung dan Syekh Maulana. Syekh Jangkung dituduh ingin membangun masjid tanpa izin dan Syekh Maulana yang merupakan murid Sunan Gunung Jati, juga disidang karena bersebrangan paham dengan Sunan Kudus. Pada 1546, terjadi kegemparan di Kerajaan Demak. Sultan Trenggana tewas dalam perang jihad di Jawa Timur. Selepas kepergian Sultan Trenggana, Kerajaan Islam Demak terpecah ke dalam beberapa fraksi yang ingin merebut takhta kerajaan. Fraksi pertama dipimpin oleh Sunan Kali Jaga yang mendukung Sunan Prawata sebagai raja dan fraksi kedua di pihak Sunan Kudus yang mendukung Pangeran Jipang menjadi raja. Dalam persaingan perebutan kekuasaan ini, Sunan Prawata tewas dibunuh. Konon, pembunuhan terhadap Sunan Prawata dilakukan atas perintah dari Sunan Kudus. Meski berhasil menyingkirkan Sunan Prawata, tetapi Pangeran Jipang tidak sempat menikmati singasananya sebagai Raja Demak. Dia keburu tewas dibunuh Jaka Tingkir yang ingin mendirikan Kerajaan Pajang. Dalam riwayat lain yang periodenya tidak disebutkan, Sultan Trenggana terlibat perselisihan dengan Sunan Kudus. Sumber perselisihan adalah penentuan hari pertama puasa di bulan Ramadan. Perselisihan itu membuat Sunan Kudus meninggalkan Demak. Dari Demak, Sunan Kudus pergi menuju Tajug, tempat kakeknya Kalipah Husain pernah menetap. Di sana, dia mendirikan sebuah kota baru yang diberi nama Kudus, diambil dari kata Quds atau Yerusalem. Sunan Kudus juga membangun masjid yang diberi nama Al Aqsa. Pendirian kota suci itu tercatat pada 1549. Saat mendirikan kota baru itu, Sunan Kudus memimpikan berdirinya sebuah negara dengan sistem politik yang ideal. Kebebasan politik yang dibangun Sunan Kudus di Yerusalem hanya berlangsung setengah abad saja. Saat Yerusalam berdiri di Tanah Jawa, Sunan Kudus merasa sangat leluasa dalam menjalankan ajaran-ajarannya. Selain peninggalan masjid, Sunan Kudus juga meminta kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini. Sunan Kudus adalah Ulama dan Panglima perang Kesultanan Demak yang termasuk dalam anggota dewan Wali Songo. Nama lahirnya adalah Ja’far Ash-Shadiq. Dia adalah putra Sunan Ngudung dan Dewi Sari binti Ahmad Wilwatikta. Pada tahun 1550, Sunan Kudus wafat saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus. (hud)

Read More

Kesaktian Sunan Gunung Jati Menaklukkan Pasukan Prabu Siliwangi

Cirebon – 1miliarsantri.net : Sunan Gunung Jati atau bernama asli Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil dikenal memiliki karomah yang tak bisa dilogika manusia, dimana kesaktian nya tersebut mampu membuat orang yang hendak menyerang nya bisa lumpuh seketika dan membuat sebanyak 100 pasukan Kerajaan Pajajaran yang setia kepada Prabu Siliwangi, bersama seorang patih yang juga dikenal dekat dengan raja, memilih memeluk Islam dan mau belajar menimba ilmu kepada Sunan Gunung Jati. Proses ratusan pasukan Pajajaran dalam memeluk Islam ini, diwarnai peristiwa tak logis akal manusia. Dikisahkan dalam “Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Mertasinga”, terjemahan Amman N. Wahju, Prabu Siliwangi awalnya sering melihat cahaya yang sangat terang di arah timur laut. Cahaya terang ini kian menganggu pikiran Prabu Siliwangi, sebab di sisi lain Ki Kuwu Carbon tak lagi mau membayar pajak terasi ke Pajajaran. Tersiar kabar, Ki Kuwu telah tunduk kepada Syekh Maulana sebutan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, sehingga terhentinya pembayaran pajak itu, dan dia telah membangkang kepada pemerintah Pajajaran. Dua peristiwa itu mengganggu betul di alam pikiran Prabu Siliwangi. Oleh karenanya sang penguasa Pajajaran ini, memerintahkan anak buahnya untuk mengecek sumber cahaya terang terlebih dahulu. Sang patih bernama Patih Lembusasrah dan 100 pasukannya berangkat untuk memeriksa cahaya itu. Patih Lembusasrah tiba di Carbon pada tengah malam, dan ternyata cahaya itu datang dari arah Gunung Jati. Sang patih Pajajaran dan 100 prajuritnya melanjutkan perjalanannya, dan telah tiba di Gunung Patuhunan. Keseratus prajuritnya yakin bahwa cahaya yang terlihat itu adalah cahayanya Bathara Luhung. Setibanya di Gunung Sembung kemudian mereka maju menyerbu, akan tetapi senjatanya menjadi tidak berfungsi lagi, tombak dan rencong menjadi hancur lebur. Ki Patih lalu memerintahkan pasukannya untuk mengamuk dan menghancurkan musuh, akan tetapi ternyata popor dan bedil semuanya tidak berbunyi. Pasukan Pajajaran mencoba mendaki Gunung Kentaki, akan tetapi para prajurit itu kemudian menjadi tidak dapat bergerak, mereka menjadi tak berdaya terguguk-guguk terpaku di tempatnya. Keesokan harinya Syarif Hidayatullah turun bersama Patih Keling, dan menjumpai pasukan Pajajaran yang telah lumpuh menjerit-jerit mohon ampun. Mereka memohon untuk dibiarkan hidup dan dipulihkan dari kelumpuhannya. Dengan tenang kemudian Syarif Hidayatullah menasehati pasukan itu sambil berkata “Ada obat yang mujarab berama dua Kalimah Syahadat, terimalah ini”. Pasukan itu menerima wejangan Kalimah dua syahadat dan mereka pun pulih kembali dan masuk agama Islam. Alhasil sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat, 100 orang ini tidak mau pulang kembali ke negaranya, mereka memutuskan untuk tinggal berbakti kepada Syarif Hidayatullah an melupakan rajanya. Dengan demikian pengikut Syekh Maulana sekarang menjadi empat ratus orang banyaknya, 100 orang dari Keling, 100 orang dari Cangkuang, 100 orang dari Kawu Carbon itu, dan 100 lagi dari pasukan Pajajaran, semuanya menjadi pengikutnya di Gunung Jati. (rin)

Read More

Napak Tilas Penyebaran Islam di Tanah Borneo

Jakarta – 1miliarsantri.net : Jika seorang raja memeluk Islam, maka Islam-lah seluruh rakyatnya. Mungkin kaidah tersebut tak hanya terjadi di kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa. Pentingnya kedudukan penguasa di tengah masyarakat Banjar juga membuat hal yang sama berlaku di tanah Borneo. Sejak berdiri, Kesultanan Banjar memang telah memiliki ikatan kuat dengan Kesultanan Demak di Jawa. Hal tersebut rupanya berdampak besar bagi pembentukan Kesultanan Banjar. Mengutip dari Hikayat Banjar, disebutkan bahwa sistem pemerintahan Kesultanan Banjar memiliki banyak kemiripan dengan yang diterapkan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Sistem tersebut terutama kondisi di mana istana merupakan miniatur kosmos dengan sultan sebagai pusat atau intinya. Dengan adanya filosofi tersebut, kedudukan sultan menjadi sangat penting bagi rakyatnya. Hal tersebut pun berdampak positif dalam penyebaran Islam yang dilakukan Kesultanan Banjar. Maka, makin luas kekuasaan kerajaan, makin luas pula agama Islam itu diterima. Dalam situs resmi Kesultanan Banjar disebutkan luasnya wilayah kekuasaan Banjar. Wilayah tersebut menggeser seluruh posisi kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan. Wilayah inti kesultanan meliputi lima negeri besar, yakni Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Mengutip Hikayat Banjar, sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi kawasan barat hingga negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno). Kemudian, kawasan ujung timur hingga negeri Karasikan (Kerajaan Tidung kuno). Seluruh kawasan tersebut lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda. Dilihat dari wilayah kekuasaannya, maka tampak jelas meluasnya penyebaran Islam di Kalimantan. Belum lagi melihat suku Banjar yang merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan. Bahkan, dibanding para pendatang, suku Banjar telah menguasai wilayah Kalimantan lebih dahulu. Maka tugas sebagai juru dakwah pun dipegang oleh mereka. “Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina,” tulis web resmi Kesultanan Banjar. Sebagai penyebar Islam di Kalimantan, Kerajaan Banjar juga memiliki ulama ternama yang menjadi ujung tombak dakwah. Tak sedikit ulama yang lahir dari Banjar kemudian menjadi dai nusantara. Disebutkan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia, pada abad ke-18 tercatat ada seorang ulama besar di Kerajaan Banjar. Ulama tersebut yakni Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari (1710-1812). Dia lahir di Martapura. Sang ulama dikirim dan dibiayai pihak kesultanan untuk menempa ilmu agama ke Tanah Suci. Saat itu Kesultanan Banjar tengah dipimpin Sultan Tahlil Allah. Saat pulang dari Haramain, sang ulama pun ditugasi menyebarkan dakwah Islam di Banjarmasin. Kedudukan Islam sendiri bagi kerajaan Banjar sangatlah penting. Kesultanan Banjar menjadikan Islam sebagai agama negara. Hukum Islam ditegakkan. Bahkan secara politis, islamnya Kesultanan Banjar telah membawa kemajuan bagi kerajaan tersebut. Menurut Hikayat Banjar, hubungan baik dengan kesultanan Islam Demak telah memberikan keuntungan dengan pengamanan dari ancaman pedalaman Kalimantan. Islam sebagai agama negara juga menjadikan Kesultanan Banjar dapat menjalin hubungan erat dengan berabagai kerajaan Islam di nusantara. Melawan penjajah Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia, masuknya tangan kolonial di wilayah Kesultanan Banjar bermula sejak awal abad ke-17. Pada 7 Juni 1607, seorang pedagang Belanda, Gilis Michielse-zoon, mendarat di Banjarmasin. Namun, ia dibunuh dan kapalnya dirampas. Pada 1612, VOC datang membalas dendam. Kota Banjarmasin dihancurkan dengan senjata api. “Akhirnya, Sultan Marhum Panembahan memindahkan pusat kerajaan ke Kayu Tangi,” ujarnya. Pemerintahan di Kayu Tangi menjadi era baru bagi Kesultanan Banjar. Namun, VOC terus saja berusaha menduduki Kalimantan Selatan dengan memonopoli perdagangan. Kendati terus terjepit oleh Belanda, Kesultanan Banjar terus bertahan. Hingga pergantian kekuasaan Banjar dicampuri penjajah Belanda. Istana mulai goyah. Tak lama kemudian, Kesultanan Banjar dihapus oleh Pemerintah Belanda pada 11 Juni 1860. Namun, kegigihan para pejuang Banjar untuk mengusir penjajah terus bergulat terutama pada 1859 hingga 1863. Banyak tokoh pejuang bermunculan. Di antara mereka terdapat satu yang sangat terkenal, yakni Pangeran Antasari. Menurut laman resmi Kesultanan Banjar, Pangeran Antasari diangkat menjadi Sultan Banjar pada 14 Maret 1862. Ia menggantikan Pangeran Hidayatullah II yang diasingkan ke Cianjur. Bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, Pangeran Antasari sangat gigih mengusir para penjajah. Ia dibantu seorang panglima perang bernama Tumenggung Surapati. Pusat perjuangannya berada di Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Nama Antasari hingga kini harum bagi bangsa Indonesia. Sang hero pun diberi gelar pahlawan nasional RI. (pang)

Read More

Pesona Tan Eng Kian Yang Rela Belajar dan Masuk Islam

“Raden, bimbinglah saya untuk memeluk agama Islam, saya merasa cocok dengan Islam, seperti yang Raden Arya Damar dan Dewi Dilah lakukan.” tutur Dewi Kian di hadapan Arya Damar dikutip dari buku Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit. Itulah momen puncak dari proses pembelajaran agama Islam oleh Tan Eng Kian (Dewi Kian) sang selir cantik Raja Majapahit Prabu Brawijaya V di Palembang yang diarahkan langsung oleh Arya Damar menemui titik terang. Dewi Kian benar benar menyatakan keislamannya dengan tulus kepada Raden Arya Damar. “Alhamdulillah akhirnya Tuan Putri mendapatkan hidayah juga,” ujar Raden Arya Damar menyukuri karunia hidayah bagi Dewi Kian. Begitulah, akhirnya Dewi Kian secara tulus menyatakan syahadat di depan para ulama Kadipaten Palembang, terutama disaksikan langsung oleh Arya Damar. Dewi Kian berpindah agama dari Buddha ke agama Islam tanpa paksaan dari siapa pun. Dengan demikian, seiring dengan semakin dekatnya Dewi Kian akan melahirkan, ia semakin intens mendalami risalah ajaran Islam, terutama menelaah kandungan Al-Quran. Dewi Kian yang dikenal tidak hanya cantik tapi pintar ini pun hanya mempelajari beberapa bulan saja tentang Islam, namun dia sudah menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang sangat pesat. Bukan saja belajar membaca dengan ilmu tajwid, tetapi juga memperdalam kandungan isi Al-Quran dari para ulama Palembang, dan terutama Raden Arya Damar. Sang Dewi merenungkan dalam-dalam pernyataan Arya Damar bahwa janin yang dibacakan Al-Quran akan menjadi cerdas. Istri selir Prabu Brawijaya V yang baru tergolong mu’alaf itu menyadari terhadap kemurahan ajaran Islam, misalnya terkait dengan menjalankan ibadah salat. Dari khazanah yang ia pelajari, misalnya seseorang tidak bisa berdiri ketika salat, hendaknya ia duduk. Jika duduk pun tak mampu, maka ia boleh menunaikan ibadah sholat sambil berbaring. Jika berbaring pun tak kuasa, ia bisa menjalankan salat dengan mempergunakan isyarat mata. Nah, kalau isyarat mata pun tak bisa dikerjakan, maka ia akan disalatkan. Walaupun tengah hamil besar, namun hal itu tak sampai menghalangi semangat Dewi Kian untuk mendapatkan penjelasan mengenai esensi agama Islam. Suatu hari Dewi Kian bertanya kepada Arya Damar mengenai Nabi dan Rasul. “Apa itu Nabi dan Rasul?” tanya Dewi Kian. “Kalau Nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu dari Allah, tetapi untuk dirinya sendiri. Sementara Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dari Allah, selain untuk dirinya sendiri juga diperuntukkan umat manusia,” jelas Arya Damar. Dewi Kian pun mengangguk sembari memikirkan pertanyaan selanjutnya. Tapi sepertinya Arya Damar tahu apa yang sedang dipikirkan Dewi Kian seraya menerangkan tentang Siddharta Gautama (Buddha) dan Nabi Muhammad SAW. “Sidharta Gautama itu diperkirakan salah seorang Nabi di antara 124.000 orang (Nabi) di dunia, sedang Rasul berjumlah 314 orang dan hanya 25 orang Rasul saja yang disebutkan di dalam Al-Quran. Tapi dalam hal ini Nabi Muhammad bukan saja seorang Nabi, tetapi juga Rasul Allah yang terakhir. Artinya, setelah Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi utusan Tuhan karena sudah disempurnakan dalam agama Islam!” terang Arya Damar. “Kalau begitu, apakah wahyu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu seperti wahyu yang diterima Sidharta Gautama dulu saat bersemadi di bawah pohon body?” tanya Dewi Kian denga polos. “Ya seperti itulah kira-kira.” jawab Arya Damar. Arya Damar pun berharap setidaknya penjelasannya yang sangat singkat itu dapat membantu Dewi Kian untuk cepat memahami agama Islam dengan baik. Lalu siapa sebenarnya Dewi Kian, dia adalah seorang putri dari Raja Dinasti Ming (diperkirakan Kaisar Zheng Tong). Di awal abad ke-15, Kerajaan Majapahit dan Dinasti Ming China memiliki hubungan yang baik. Maka atas keharmonisan ini sang Raja Dinasti Ming mengutus seorang putri yg sangat cantik, terpelajar, halus, dan bertatakrama ke Trowulan (Ibu Kota Majapahit) yang bernama Tan Eng Kian atau biasa populer dengan nama Dewi Kian. Raja Majapahit yang kala itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya V. Memang kala itu Sang Prabu terpesona akan keanggunan sang putri dari Tiongkok itu karena cantik, pintar, dan nyaris tanpa cacat, siapa yang sanggup menolak. Dikutip dari buku Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit, Pernikahan mereka pun terlaksana namun di titik tertentu pernikahan mereka mengalami pasang surut. Pada saat itu Prabu Brawijaya V sudah dikaruniai seorang bayi yang sudah dikandung oleh Dewi Kian yang kemungkinan berjenis kelamin laki-laki. Hal yang membahagiakan bagi Sang Prabu. Tetapi sang permaisuri Ratu Dewi Dwarawati tidak membiarkan pernikahan mereka berjalan baik-baik saja. Sang Ratu mendesak agar Dewi Kian segera keluar dari lingkungan istana Majapahit. Jika tidak dikabulkan oleh Prabu Brawijaya V, Ratu Dewi Dwarawati mengancam akan meninggalkan Sang Prabu kembali ke Negeri Cempa (Thailand). Hal tersebut rupanya membuat Prabu Brawijaya V tak berdaya, dengan begitu ia harus merelakan kepergian dari Dewi Kian menuju tanah Sumatera. “Benarkah saya harus berpisah dengan Kanda Prabu? Jadi, kami tidak lagi tinggal di kaputren istana Majapahit!”?” ujar Dewi Kian. “Bersabarlah Dewi! Sungguh semua ini demi kebaikan kita semua, termasuk putra kita” hibur Prabu Brawijaya V. Dewi Kian merasa ini seperti kompetisi, tak hanya merebut hati Sang Prabu, tetapi juga untuk merebutkan gelar Permaisuri sejati. Dewi Kian pun luluh dan mengaku kalah dan menerima kenyataan harus pindah ke Sumatera “Baiklah Kanda Prabu, jika saya memang harus hengkang dari istana Majapahit, maka akan saya terima semua ini sebagai kenyataan yang mesti hamba jalani.” tujarnya. Prabu Brawijaya V merasa lega atas kelapangan hati Dewi Kian, ia berharap suatu saat nanti calon putra yang sedang dikandung oleh Dewi Kian akan menjadi pemimpin besar. (sin)

Read More

Sejarah Syekh Abdul Muhyi Penemu Goa Pamijahan

Tasikmalaya – 1miliarsantri.net : Nama Syekh Abdul Muhyi sudah tak asing lagi dikalangan masyarakat, terutama para warga di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat karena dikenal sebagai salah satu Wali Allah yang mempunyai segudang karomah. Dia merupakan anak dari Sembah Lebe Warta Kusumah yang masuh keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik. Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Gresik. Saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun. Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana dua tahun. Setelah itu diajak Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Ketika sampai di Baitullah, Syekh Abdul Rauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rauf sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah itu, Syekh Abdul Rauf menyuruh pulang Abdul Muhyi ke Gresik untuk minta restu dari kedua orangtua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di salah satu daerah di Jawa Barat. Sebelum berangkat mencari gua, Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III. Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun. Kabar tentang menetapnya Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana. Di samping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan). Di sini dia bermukim selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah Lebe Warta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan. Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M). Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas Gunung Kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi. Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati. Pada suatu hari, Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasaan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Di sanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya gua. Sewaktu Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan diyakini adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak gua ditemukan Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Di samping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tarekat. Di dalam Gua Pamijahan ada ‘Kopiah Haji’, yaitu lekukan-lekukan bulat atap gua yang menyerupai peci. Konon jika ada yang pas saat berdiri, Insya Allah akan bisa naik haji. ada juga lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi ‘jalan tembus menuju Banten, Cirebon, sampai Makkah’. Wallahu a’lam bishawab. Sekian lama mendidik santrinya di dalam gua, kemudian Syekh Abdul Muhyi mulailah menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama Kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim. Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syekh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, “Bolehkah saya meminjam kailnya?” Orang itu…

Read More

Napak Tilas Perjalanan Ki Ageng Gribig

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Kerajaan Mataram Islam era Sultan Agung menjadi awal mula ekspansi atau perluasan wilayah secara masif. Perluasan wilayah ini juga membawa misi penyebaran agama Islam, hingga ke Malang. Ki Ageng Gribig menjadi salah satu tokoh Kerajaan Mataram Islam yang ditugaskan melakukan ekspansi sekaligus menyebarkan agama Islam ke wilayah timur selatan Pulau Jawa. Sosoknya konon merupakan penyebar agama Islam hingga akhir hayat nya di wilayah Pasuruan dan Malang. Kini Ki Ageng Gribig dimakamkan di pemakaman dan jalan yang juga dinamakan sesuai dengan namanya, Ki Ageng Gribig. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pesarean Ki Ageng Gribig Malang Devi Nur Hadianto menyatakan, sosok yang dimakamkan di sini merupakan salah satu tokoh ulama dari Kerajaan Mataram Islam. Sosoknya konon terkait dengan kesultanan di masa era Sultan Agung hingga Sultan Amangkurat I atau di kisaran tahun 1600-an hingga 1700-an. “Beliau ini adalah sosok penyebar agama Islam pada masa awal peradaban Mataram Islam masuk ke Malang. Malang di sini Malang Raya, di mana pada masa tersebut masih ada sisa-sisa peradaban dari masa sebelum Islam,” ucap Devi Nur Hadianto. Banyak cerita muncul dari sosok Ki Ageng Gribig itu, konon sosoknya merupakan seseorang dari Bagelan, Purworejo yang kemudian menyebarkan Islam hingga Pasuruan dan Malang raya. Tak cuma sebagai pemuka agama saja, Ki Ageng Gribig juga dikenal sebagai umara’ atau pemimpin di masanya. “Ki Ageng Gribig ini awalnya ditugaskan di Pasuruan, makanya kaitan erat Pasuruan kota besar di waktu itu. Sementara Malang adalah kota bawahan dari Pasuruan saat itu, setelah beliau ditugaskan atau mungkin, jadi umara’ di Pasuruan, terus dia bergeser ke Malang ini sekarang pun masyarakat Pasuruan masih mempunyai keterikatan emosional dengan Ki Ageng Gribig yang ada di lokasi saat ini,” paparnya. Ki Ageng Gribig disebutnya bukanlah merupakan nama asli, melainkan sebutan dengan nama asli konon ada dua versi. Versi pertama nama asli Ki Ageng Gribig yakni Raden Ario Pamoetjong dan versi kedua bernama Raden Mosi Bagono, yang konon merupakan keturunan Menak Koncar, ksatria dari Mataram. “Nama khas banget dari kulon Ario Mosi Bagono, Mosi Bagono itu nama-nama khas Mataram Islam. Beberapa tetua kami juga mengatakan beliau ini hidup pada masa mulai banyak dikirimnya senopati (prajurit) senopati Mataram ke arah wetan (timur),” ungkapnya. Nama Ki Ageng Gribig konon muncul karena sosoknya ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di kampung yang bernama Gribig. Kampung di sekitar pemakaman itu konon jauh lebih ada sejak dahulu, bahkan sejak zaman era Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Raja Tribhuwana Tunggadewi. “Ada yang mengatakan beliau ini karena sudah kampungnya kampung gribig. Tapi ada juga analisa mengatakan rumah-rumah di sini itu atapnya gribig, gribig itu dari ijuk tebal,” ujarnya. Bahkan ada istilah penyebutan Gribig sendiri berasal dari kata istilah bahasa Arab Al Maghribi, konon istilah ini juga berkaitan dengan nisan yang ditemukan seperti di Kesultanan Demak. Apalagi di kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig saat ini juga terdapat beberapa makam dengan nisan bertuliskan bahasa Arab yang konon juga terkait asal usul Ki Ageng Gribig. “Ada juga sebenarnya kalau menurut tulisan bukan Ki Ageng Gribig, tapi Kyai Ageng Gribig. Jadi sosok yang boleh dikatakan sepuh lebih ke kyai atau umaro. Gribig ada yang menerjemahkan nggrebek, penyampaian syiar Islamnya ramai,” terangnya. Tetapi analisa sejarah itu disebut Devi masih belum memiliki catatan yang pasti. Sebab ada beberapa segmen sejarah yang masih belum terungkap dan menjadi misteri. Terlebih catatan mengenai sosok Ki Ageng Gribig sendiri masih minim, tetapi bisa dipastikan sosoknya merupakan penyebar agama Islam dari kawasan sekitar Yogyakarta, yang dahulu menjadi basis Kesultanan Mataram Islam. (fq)

Read More

Mengenali 10 Raja Kesultanan Mataram Islam

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Pada awal berdirinya Kesultanan Mataram Islam terletak di Alas Mentaok yang berada di antara Kali Opak dan Kali Progo. Tanah tersebut hadiah yang diberikan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan. Tanah itu kemudian dikembangkan oleh Ki Ageng Pemanahan dan berkembang menjadi Kerajaan Mataram dan berlanjut Kesultanan Mataram. Sejak saat itu, Mataram Islam telah dipimpin oleh sejumlah raja yang pernah mempertahankan kedaulatannya. Berikut 10 raja yang pernah memimpin kesultanan mataram islam: Pada masa kekuasaannya, ia berhasil menaklukan beberapa wilayah yang ada di sekitar Mataram Islam seperti Madiun, Surabaya, dan Kadiri. Untuk memperluas daerah kekuasaannya, ia juga berhasil menguasai daerah Priangan dan menjalin kerjasama dengan Cirebon. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai seorang sultan yang ahli dalam menyelesaikan pemberontakan. Namun ketika pemerintahannya berjalan dengan rukun dan damai, secara mengejutkan Raden Mas Jolang meninggal di hutan Krapyak. Sehingga namanya dikenal dengan Panembahan Seda ing Krapyak. Sultan yang satu ini memiliki masa jabatan hingga 32 tahun lamanya. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai sosok sultan yang banyak meninggalkan perkembangan budaya. Sultan Agung dikenal sebagai pendiri kalender, penulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing dan menyempurnakan bahasa di Pulau Jawa. Tidak jauh dari sang ayah, ia juga memiliki jabatan yang lama sebagai sultan yakni 31 tahun. Pada masa kepemimpinannya, Raden Mas Sayidin memiliki kebijakan yang berbeda dengan sang ayah. Ia memilih untuk menjalin hubungan baik dengan pihak kolonial Belanda. Namun tindakannya tersebut salah yang mengakibatkan timbulnya pemberontakan hingga dirinya meninggal. Selama memimpin Mataram Islam, dirinya dikisahkan sebagai pemimpin yang berhati lemah dan mudah dipengaruhi oleh VOC. Sama halnya dengan sang ayah, Pangeran Adipati Anom ini juga kembali mendapatkan serangan dari pihak kolonial. Amangkurat II meninggal pada saat berusaha memperbaiki hubungan dengan pihak VOC. Pada era kepemimpinan Adipati Anom ini pusat kekuasaan berpindah ke Kartasura, dan raja atau sultan kemudian berganti dengan gelar Susuhunan (Sunan). Kemunduran pemerintahan Amangkurat III terlihat ketika Pangeran Puger mendeklarasikan diri sebagai sunan Kartasura dengan gelar Pakubuwana I. sejak saat itu Amangkurat III terpaksa melarikan diri dan menyerahkan Kartasura. Bahkan ia pernah mengeksekusi Adipati Jangrana atas perintah VOC. Era kepemimpinan Pakubuwana I memang tergolong singkat. Ia meninggal pada tahun 1719 dan digantikan oleh putranya. Namun seluruh pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dengan bantuan dari pihak kolonial Belanda. Sama halnya dengan sang ayah, putra dari Pakubuwana I ini juga menjabat dalam waktu yang singkat karena wafat akibat diracun pada tahun 1726. Pada saat itu pula Mataram pernah dikuasai oleh VOC karena sakit pada 1747, dan menunjuk raja baru sesuai izinnya.

Read More