Sepak Terjang Raden Wijaya, Raja Pertama Sekaligus Pendiri Kerajaan Majapahit

Surabaya — 1miliarsantri.net : Raden Wijaya merupakan raja pertama sekaligus pendiri dari Kerajaan Majapahit yang berkuasa antara 1293-1309 M. Sebelum merintis Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya pernah menjadi panglima perang di Kerajaan Singasari. Dalam sejarahnya, Majapahit menjadi salah satu Kerajaan Hindu Budha terbesar yang ada di Nusantara. Sebagai pendiri kerajaan terbesar, Raden Wijaya telah melalui proses yang sangat panjang. Mulai dari tahap pendirian hingga bisa mempertahankan keutuhan kerajaan dari serangan musuh. Raden Wijaya merupakan keturunan Raja Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari, melalui putranya Mahisa Campaka. Dia juga menikahi empat putri Kertanegara, raja terakhir Singasari, yaitu Tribhuwaneswari, Prajnaparamita, Narendraduhita, dan Gayatri Rajapatni. Pada saat itu, dia membangun benteng pertahanan di daerah Tarik dan Madura untuk melawan Jayakatwang, raja Kediri yang menggulingkan Singasari. Raden Wijaya juga bersekutu dengan pasukan Mongol yang dikirim oleh Kubilai Khan untuk menghukum Kertanegara karena menolak upeti. Raden Wijaya memanfaatkan kekacauan yang terjadi akibat serangan pasukan Mongol untuk mengalahkan Jayakatwang dan merebut kembali tahta Singasari pada tahun. Ia kemudian mengusir pasukan Mongol dengan tipu muslihat dan menetap di daerah Trowulan yang menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Raden Wijaya diangkat sebagai raja pertama Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Ia membangun candi-candi untuk menghormati leluhurnya dan mendirikan pemerintahan yang berdasarkan sistem wangsa. Kerajaan yang didirikannya itu langsung berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar dan memiliki wilayah yang sangat luas. Sebab, Raden Wijaya terkenal sebagai pemimpin yang pandai mengambil hati para penduduk. Namun pada awal mendirikan kerajaan, ia telah menghadapi beberapa pemberontakan dari kerabat dan bawahan yang tidak puas dengan kebijakannya, seperti Ranggalawe, Sora, Nambi, dan Kuti. Namun, ia berhasil menumpas pemberontakan tersebut dengan bantuan pasukannya. Tidak hanya itu, ia juga telah melakukan ekspansi dengan menaklukan kerajaan tetangganya. Kemudian Raden Wijaya mulai menjalin hubungan baik dengan kerajaan lain di Nusantara melalui perdagangan dan diplomasi. Raden Wijaya kemudian meninggal pada tahun 1309 dan dimakamkan di Simping, Blitar. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Jayanegara dengan gelar Sri Maharajadiraja. Untuk mengenang pendiri dari Kerajaan Majapahit, dibuatlah patung Raden Wijaya yang kemudian dijadikan candi di Antahpura dengan arca Jina serta di Simping dengan arca Siwa. Kerajaan Majapahit semakin jaya serta berkembang ketika dipimpin oleh cucunya, Hayam Wuruk dengan gelar Sri Rajasanagara. Ia didampingi oleh seorang mahapatih bernama Gajah Mada yang kemudian memiliki ikrar terkenal dengan nama ‘Sumpah Amukti Palapa’. (kur) Baca juga :

Read More

Mengapa Bangsa Romawi Sering Diabadikan dalam Alquran

Surabaya — 1miliarsantri.net : Allah SWT menyebutkan Bangsa Romawi dalam Alquran surat ar-Rum ayat 2-4. Penyebutan ini tentu mempunyai sejulah rahasia.  غُلِبَتِ الرُّومُ فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ “Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” (QS Ar-Rum [30]: 2-4)   Ayat di atas, sebenarnya mengungkapkan tentang kekalahan bangsa Romawi atas Persia. Ketika itu, peperangan antara kedua bangsa itu terjadi di masa Rasulullah SAW, yakni sekitar tahun ke-8 Hijriyah.  Seperti diungkapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Bangsa Persia dipimpin oleh Raja Sabur, dan Romawi dipimpin Heraclius. Saat peperangan berlangsung, Sabur berhasil mendesak Heraclius hingga membuatnya berlindung ke Konstantinopel. Mendengar kekalahan bangsa Romawi, kaum Muslim bersedih, sebaliknya bangsa Persia bergembira. Sebab, bangsa Romawi memeluk agama Nasrani dan dikenal sebagai kelompok Ahlul Kitab, sedangkan Persia beragama Majusi, menyembah api dan berhala-berhala.  Maka, selama masa perlindungan itu, Romawi menyusun kekuatan untuk kembali melawan Persia. Hasilnya, tak berselang lama sejak kekalahan tersebut, kurang lebih 7-8 tahun (Bidh’i sinin), Romawi akhirnya mampu mengalahkan Persia, di negeri terdekat (Adna al-Ardhi), yakni di dekat Laut Mati.  Penyebutan nama Romawi ini tentu memiliki makna tersendiri. Berikut ini beberapa fakta terkait dengan alasan mengapa Romawi disebutkan dalam Alquran. 1. Bangsa ini dikenal memiliki peradaban yang sangat tinggi. Dan, bukan hanya itu, salah satu surah dalam Alquran juga dinamakan dengan surah Ar-Rum [30]. Ini menunjukkan bahwa bangsa ini memang dikenal hebat dan terkenal sejak dahulu kala. 2. Romawi merupakan tempat kuno di Eropa yang menjadi sumber kebudayaan Barat. Bangsa Romawi terletak di Semenanjung Apenina, yakni Italia sekarang ini. Pada bagian sebelah Utara semenanjung Apenina bersambung dengan daratan Eropa yang terdapat pegunungan Alpen sebagi batas alam yang memanjang. Di sebelah Utara memisahkan Italia dengan Swiss dan Austria. Sedangkan di sebelah Barat Laut memisahkan Italia dengan Prancis dan sebelah Timur Laut dengan Yugoslavia. 3. Entah siapa yang pertama kali menjadikan Kota Roma sebagai pusat pemerintahan Romawi. Sebuah legenda menyebut bahwa Kota Roma didirikan oleh dua orang bersaudara yang merupakan keturunan Aenas dari Yunani.  Kedua orang itu bernama Remus dan Romulus. Ada yang menyebutkan, keduanya mendirikan kota tersebut sekitar tahun 750 Sebelum Masehi. Remus dan Romulus adalah putra dari Rhea Silvam keturunan Aenas, seorang pahlawan Troya yang melahirkan diri sewaktu Troya dikalahkan oleh Yunani. 4. Bangsa Romawi sudah ada sejak abad ke-9 Sebelum Masehi (SM). Bangsa Romawi mendominasi Eropa Barat dan wilayah sekitar Laut Tengah. Konon, kekuasan Romawi dulu, bertahan hingga 1000 tahun atau 10 abad. Yakni, 500 tahun sebelum kelahiran Isa Al-Masih dan 500 tahun sesudahnya. Namun, ada pula yang menyebutkan selama 12 abad. Sebagaimana disebutkan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Athlas Tarikh al-Anbiya wa ar-Rusul, negara ini dinamakan dengan Romawi karena dikaitkan dengan ibu kota dan tempat titik tolak peradabannya di Kota Roma, Italia. Pada abad keenam sebelum masehi, Roma mengadakan ekspansi hingga menguasai keseluruhan Italia. Masa ini disebut dengan masa Romawi Kuno. Kemudian, wilayahnya meluas hingga negeri-negeri Yunani, semenanjung Balkan, Asia Kecil, Syam, dan Mesir sampai Carthage di Tunisia. Namun, karena beberapa faktor, akhirnya kekuasaannya menyusut dan terpecah menjadi dua. Bagian barat kekaisaran, termasuk Hispania, Gaul, dan Italia, menjadi kerajan merdeka. Sedangkan kekaisaran Romawi timur diatur dari Konstantinopel. 5. Peradaban Romawi sering kali disandingkan dengan peradaban Yunani Kuno, Mesir Kuno, Persia, dan lainnya. Hal ini dikarenakan bukti-bukti peradabannya dalam bidang bangunan memiliki corak yang hampir sama. Dan memang, peradaban Romawi mengadopsi dan meniru bentuk-bentuk peradaban Yunani. Mereka membangun teater, mausoleum, arena pertunjukan, jembatan, taman-taman, hingga tempat tinggal. Mereka juga sangat mahir dalam seni ukiran patung dan gambar. Selain itu, sastra komedi juga berkembang dengan pesat dalam peradabannya. Namun demikian, peradaban Romawi Kuno menyumbangkan banyak kepada pengembangan hukum, perang, seni, literatur, arsitektur, dan bahasa dalam dunia Barat, dan sejarahnya terus memiliki pengaruh besar di dunia sekarang ini. (yat) Baca juga :

Read More
Masjid Al-Utsmani, Masjid Tua di Jombang Yang Didirikan Ratusan Tahun Lalu

Masjid Al-Utsmani, Masjid Tua di Jombang Yang Didirikan Ratusan Tahun Lalu

Jombang — 1miliarsantri.net : Jombang Kota Santri, tampaknya memang layak disematkan pada kabupaten Jombang. Selain terdapat beberapa Pondok Pesantren (Ponpes) kuno, Kabupaten Jombang juga memiliki sejumlah bangunan tua yang menjadi bukti perjuangan kaum santri dalam syi’ar Islam. Salah satunya adalah Masjid Al-Utsmani yang beralamat di Tambakberas Timur, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Masjid ini terlihat masih sangat kental mempertahankan model klasiknya. KH Fatkhullah Malik, Pimpinan sekaligus Masjid Al-Utsmani mengatakan, masjid ini diperkirakan dibangun sekitar 1830-an Masehi oleh KH Usman. Namun, dirinya tidak mengetahui persis tahun berdirinya masjid tersebut. Tapi dapat merujuk ke pendirinya yaitu Kiai Usman, menantu Kiai Abdus Salam atau Soihah yang mulai hidup Tambakberas di era tahun 1825 M. Sama dengan berdirinya Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas. “Namun, kemungkinan lainnya yaitu Masjid Al-Utsmani ini berdiri di atas tahun 1830-an. Ada versi lain yaitu 1838 M,” terangnya kepada 1miliarsantri.net, Minggu (10/09/2023). Pengasuh Ribath al-Utsmani ini menambahkan, Masjid Al-Utsmani juga dikenal dengan nama Masjid Gedang. Saat ini posisinya berada di Kompleks Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang. “Dari depan terlihat atap masjid berbentuk limas, ciri khas bangunan-bangunan lama. Terdapat dua limas pada atap yakni, limas berukuran besar yang merupakan atap bagian luar dan dalam masjid, serta limas berukuran agak kecil yang merupakan atap tempat imam,” imbuhnya. Beberapa sisi masjid juga terdapat ornamen kayu ukiran menyerupai buah nanas. Ini terdapat di atas corong masjid. Bentuk kubah masjid terbuat dari logam berbentuk unik seperti mahkota bersusun tiga. Selain itu, sebelum di renovasi Masjid Al-Utsmani juga memiliki bentuk lengkungan khusus serta unik di serambi dan di tembok dalam masjid. “Keaslian bangunan masih dijaga hingga saat ini. Beberapa bagian memang direnovasi, karena termakan usia,” lanjutnya. KH Fatkhullah mengatakan, kubah masjid berbentuk bunga melati dan disangga enam kayu jati setinggi 6 meter dengan lebar 20×30 sentimeter sebagai pilar utama di bagian tengah masjid. Di awal pembangunan, bangunan masjid terbuat dari batu bata, gamping, dan santan kelapa sebagai perekat pengganti semen. Tepi pintu dan jendela masih terbuat dari kayu serta bagian tengah berupa tralis besi yang ditata rapi. Pagar samping bagian luar pun masih nampak jelas sangat kokoh terbuat dari kayu jati. Di teras masjid terdapat beduk model lama. “Dulu masjid ini digunakan untuk mengaji tasawuf oleh KH Usman beserta santrinya. Bahkan Kiai Hasyim Asy’ari pernah ngaji di sini,” terangnya. Ia menambahkan, saat ini kegiatan masjid tetap digunakan untuk syi’ar Islam dengan kegiatan shalat lima waktu, ngaji kitab kuning dan kegiatan santri. Di bagian utara masjid ada komplek asrama santri bernama Ribath Ustmani yang diasuh oleh KH Fatkhullah beserta istri. KH Fatkhullah merupakan keturunan dari KH Soihah jika diurutkan ke atas. “Masjid ini tidak dipakai Jumatan, hanya untuk ngaji dan shalat lima waktu,” katanya. Dikatakan, masa kecil hingga remaja pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Muhammad Hasyim Asy’ari hidup di sekitar Masjid Al-Utsmani. Dikarenakan secara nasab, Kiai Hasyim bersambung ke Kiai Usman. Garis nasab tersebut terpampang di makam Kiai Usman yang berada di sisi timur Masjid Al-Utsmani. “Makam Kiai Usman ada di timur Masjid Al-Utsmani. Leluhur Kiai Hasyim. Bangun makan di oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Setiap hari ada peziarah,” pungkasnya. (tin) Baca juga :

Read More

Kecantikan Dyah Petak Membuat Kepincutnya Raden Wijaya

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Siapa yang tidak pernah mendengar nama Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit ini dikenal memiliki drama kisah cinta yang sangat menarik diikuti. Ia memiliki lima orang istri, empat di antaranya merupakan anak dari Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singasari. Satu istri merupakan hasil durian runtuh dari ekspedisi di Kerajaan Singasari, dimana sebelum runtuh Kerajaan Singasari di bawah kekuasaan Kertanagara melakukan perluasan ke Semenanjung Melayu. Ekspedisi ini dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Kepulangan pasukan yang ternyata tak tahu Kerajaan Singasari sudah lenyap membawa persembahan raja dari Melayu. Dua putri dari Raja Melayu memang sengaja dipersembahkan ke Raja Singasari. Namun karena Singasari sudah lenyap, Raden Wijaya pun akhirnya mengawininya tanpa sepengetahuan istri lainnya, sedangkan satu lagi yakni Dara Jingga dinikahi oleh pemimpin pasukan ekspedisi. Sosok Dyah Petak, putri dari Raja Melayu yang dinikahi Raden Wijaya memiliki paras cantik jelita. Kecantikannya konon mengundang nafsu sang Raja Majapahit ini hingga pernah mencumbunya di sebuah bangunan suci pura. Naskah kuno Kidung Panji Wijayakrama sebagaimana dituliskan Slamet Muljana pada bukunya ”Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit”, mengisahkan bagaimana persaingan antara istri dan selir Raja Raden Wijaya. Kala itu Raden Wijaya memang memiliki seorang istri yang menjadi permaisuri yakni Tribhuwana. Tetapi di sisi lain sang raja juga tercatat memiliki empat selir dengan persaingan antar istri cukup keras. Kidung Panji Wijayakrama menyatakan bahwa Dyah Dara Petak dianggap sebagai istri tertua. Perempuan bergelar Indreswari ini memanaskan persaingan perempuan yang jadi istri – istri sang raja. Suatu ketika Dyah Dara Petak diterima dalam pura dan bercumbu – cumbu dengan sang raja Raden Wijaya di dalam pura, ia disebut Sri Tinuheng Pura. Sudah pasti bahwa Dyah Dara Petak memiliki persaingan dengan putri Gayatri yang terkenal sebagai kekasih Sri Baginda Raden Wijaya, putri bungsu raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari. Tetapi putri Tribhuwana yang telah dikawin Raden Wijaya lebih dahulu. Persaingan itu pun juga tampak pada Dyah Dara Petak, putri Melayu, yang lebih pandai mengambil hati Raja Kertarajasa. Dyah Dara Petak alias Indreswari dijadikan istri tertua, meski status sebenarnya adalah selir. Dari sudut ini, dapat dipahami mengapa raden Kala Gemet dapat naik tahta Kerajaan Majapahit, meksipun menurut Kidung Rangga Lawe, baik Tribuwana maupun Gayatri masing-masing mempunyai putra yakni Kuda Amrata dan Cakradakusuma. Persaingan antara istri raja untuk memperoleh hak atas tahta bagi keturunannya juga dikenal dalam wiracarita Ramayana antara istri raja Dasarata dari Ayodya, Dewi Kekayi yang menang dalam persaingan ini. Akibatnya, sang Rama dan Laksmana tidak mendapat hak atas tahta kerajaan, bahkan dibuang ke hutan untuk menghindarkan pemberontakan. Kuda Amrata dan Cakradakusuma, menurut Kidung Rangga Lawe, masing-masing dijadikan pangeran (raja) Kahuripan dan Daha. Pada Negarakertagama pupuh 48/1 sendiri, Raja Kertarajasa atau Raden Wijaya meninggalkan seorang putra dan dua orang putri. Putranya bernama Jayanegara, sedangkan nama dua putrinya tidak disebutkan. Hanya dinyatakan bahwa mereka lahir dari prawararajapthny anupama, yang satu menjadi rani jiwana atau rani Kahuripan, yang lain rani Daha atau Kediri. Pada kitab Pararaton, rani Kahuripan bergelar Bhreng Kahuripan, rani Daha bergelar Bhreng Daha. Bhreng Kahuripan dalam piagam disebut Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani, sedangkan di Negarakertagama pupuh 4, rani Daha disebut Rajadewi Maharaja. Suaminya ialah raja Wengker bernama Wijayarajasa. Jelas sekali bahwa Rani Kahuripan kawin dengan Sri Kertawardhana. Dari perwakinan itu lahir prabu Hayam Wuruk, baik rani Daha maupun rani Kahuripan masih hidup ketika Prapanca menjadi pembesar urusan agama Buddha di Kerajaan Majapahit. (mif) Baca juga :

Read More

Indologi, studi mengenai India, dirintis oleh ilmuwan Muslim bernama al-Biruni.

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : George Sarton dalam magnum opus-nya, Introduction to the History of Science, memuji sosok al-Biruni. Ilmuwan Muslim serba bisa dari abad ke-10 M itu dipandangnya turut meletakkan tonggak penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan, serta merintis era modern. “Semua pasti sepakat bahwa al-Biruni adalah salah seorang ilmuwan yang sangat hebat sepanjang zaman,” tulis profesor Harvard University itu. Tokoh ini bernama lengkap Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni. Ia lahir pada tahun 362 H/973 M di Beruniy, sebuah distrik region Asia tengah. Pada masa itu, daerah tersebut termasuk wilayah Negeri Khwarazmi—kini Republik Uzbekistan. Salah satu peran penting al-Biruni terletak pada upaya merintis Indologi. Sebutan ini mengacu pada kajian ilmiah mengenai Anak Benua India. Saat berusia 44 tahun, al-Biruni mendampingi Sultan Mahmud Ghazni dalam ekspedisi ke Anak Benua India. Kala itu, raja tersebut baru saja mendirikan ibu kota baru bagi negerinya, Ghaznawiyah, di Kabul (kini Afghanistan). Kepergian sang sultan ke India tentunya bertujuan meneguhkan ekspansi wilayahnya. Bagaimanapun, al-Biruni memiliki agenda yang agak berbeda. Saintis tersebut menggunakan kesempatan ini untuk melakukan studi lapangan mengenai masyarakat dan kebudayaan India. Ia juga mulai belajar menguasai Sanskerta, yakni bahasa kebanyakan masyarakat setempat. Perjalanan selama beberapa tahun itu membuahkan karya, Kitab fii Tahqiq maa li’l Hind min Ma’qulatin fil ‘Aql aw Mardhula (Kajian atas Hal yang Disampaikan Masyarakat India, Baik Rasional Maupun yang Tertolak). Dengan menulis buku ini, al-Biruni membuka jalan bagi Indologi sebagai sebuah studi keilmuan baru. Ia tetap menegakkan kaidah-kaidah ilmiah dalam menyelidiki kebudayaan setempat. Dalam arti, subjek masyarakat didekatinya tanpa menaruh prasangka terlebih dahulu (free of prejudices). Karena itu, kecenderungannya selalu objektif dan imparsial dalam menulis. Dalam menulis buku tersebut, al-Biruni menerapkan metode kronologis. Ia pun mengkritik cara sejumlah cendekiawan India pada masanya yang kurang begitu tertarik pada penulisan sejarah yang rasional, objektif, dan merujuk pada urutan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa historis. “Sayangnya, orang-orang India tidak begitu memerhatikan urut-urutan (peristiwa) sejarah. Mereka kurang hati-hati dalam menghubungkan secara kronologis, misalnya, suksesi kepemimpinan raja-rajanya. Saat dicecar mengenai informasi atau gagap menjelaskan (mengenai sebuah peristiwa masa lalu –Red), mereka cenderung akan mendongeng,” tutur al-Biruni dalam karyanya, Kitab fii Tahqiq maa li’l Hind, seperti dinukil dari MS Khan dalam artikelnya, “Al-Biruni and the Political History of India” (1976). Para peneliti pada era modern memuji al-Biruni. Sebab, dirinya begitu teliti dalam memilah antara yang fakta dan yang fiksi ketika mempelajari kultur masyarakat India. Ketelitian itu tentu lebih jelas ketika sang sarjana Muslim melakukan riset non-humaniora, semisal fisika, astronomi, atau matematika. Karena itu, banyak sejarawan mengakuinya sebagai peletak dasar metode ilmiah. Menurut al-Biruni, metode yang tepat untuk menulis historiografi, di samping kronologi, adalah komparasi. Peradaban India pun dibandingkannya dengan peradaban atau kebudayaan lain yang pernah dipelajarinya, semisal Yunani Kuno, Persia pra-Islam, Kristen, atau Yahudi. Dalam pengamatannya, kebudayaan India tidak jauh berbeda dengan beberapa tradisi tersebut. Umpamanya, panteisme yang ditemukan dalam kepercayaan Hindu, juga tampak indikasinya dalam tradisi Yunani. Fenomena kasta yang diterapkan masyarakat India ditemukan pula polanya dalam Persia. Keduanya meyakini bahwa manusia terbagi ke dalam strata sosial sejak lahir. Tentunya, al-Biruni tidak melewatkan topik sumbangsih peradaban India bagi khazanah ilmu secara global. Contohnya, sistem angka India, anka, yang dibaca secara deretan—dari kiri ke kanan. Ia menilai, sistem numeral itu jauh lebih praktis dibandingkan sistem bilangan Romawi. Selama mengikuti misi Sultan Mahmud di India, al-Biruni tidak meninggalkan kegiatan penelitiannya dalam bidang sains alam. Ia menemukan berbagai metode untuk, antara lain, mengukur ketinggian matahari serta keliling dan radius bumi. Astronom yang juga ahli geografi tersebut juga memperkenalkan pembagian jam ke dalam perhitungan 60-an (sexagesimal), yakni menit dan detik. Sebagai fisikawan, dirinya selalu mengandalkan eksperimen. Misalnya membuktikan berat jenis benda-benda walaupun dalam beberapa hal teorinya masih cenderung mendukung Aristotelian. Al-Biruni merupakan seorang ilmuwan multitalenta (polymath) yang penuh dedikasi. Mahmud mengistimewakannya di antara para cerdik cendekia di lingkungan istana. Salah satu karyanya adalah Al-Qanun al-Mas’udi. Buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab itu menghimpun berbagai pemikirannya tentang ilmu falak, geografi, dan teknik sipil. Seperti tampak pada judulnya, buku tersebut dipersembahkannya untuk reputasi sang raja Ghaznawiyah. Sebagai balasan, sang sultan memberikannya koin perak sebanyak bobot yang bisa diangkut seekor gajah. Akan tetapi, hadiah itu ditolaknya dengan halus seraya menyebutkan kebaikan-kebaikan yang sudah diperolehnya dari negara. Pada 1030 M, Sultan Mahmud meninggal dunia. Kedudukan penguasa ini digantikan oleh pangeran yang bernama Muhammad. Dalam masa pemerintahan raja-baru tersebut, al-Biruni menyelesaikan sebuah karyanya untuk bidang geologi, Al-Jamahir fii Ma’rifat al-Jawahir. Beberapa bulan sebelum wafat, sarjana ini menerbitkan buku tentang ilmu medis, Kitab al-Sadala fi’l Thibb. Menurut Riaz Ahmad dalam “Al-Biruni: A Great Muslim Scientist, Philosopher and Historian (973-1050 AD)”, jumlah karya yang dihasilkan al-Biruni di sepanjang hayatnya mencapai 180 judul. Dari total tersebut, sebanyak 103 judul diterbitkan pada masa hidupnya. Terlepas dari itu, pada 1948 M sekelompok peneliti menghimpun 15 naskah peninggalan al-Biruni perihal astronomi dan matematika ke dalam buku Rasa’il al-Biruni. Sang saintis terus menginspirasi di lintas zaman. Banyak pihak merayakan legasinya. Pada 1986, sebuah kawah di bulan dinamakan “9936 al-Biruni.” Gugusan pulau di dekat Antartika pun diberi nama Kepulauan Biruni. Di Iran, tanggal kelahiran sang “guru banyak ilmu”, 4 September, ditetapkan sebagai hari persatuan insinyur survey. Al-Biruni berpulang ke rahmatullah pada 1050 M di Ghazna. Dirinya meninggalkan banyak maslahat untuk dunia menuju era modern. (yus) Baca juga :

Read More

Cucu Pangeran Antasari ini Sangat Tangguh Melawan Belanda

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Ratu Zaleha atau Djaleha lahir di Muara Lawung, tahun 1880. Dia adalah putri dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari, yang gigih berjuang mengusir Belanda dalam Perang Banjar, melanjutkan perjuangan Pangeran Antasari. Sejak kanak-kanak, Zaleha telah merasakan getirnya perjuangan bersama ayahnya dan kakeknya melawan penjajah Belanda. Saat ditinggal mati kakeknya, Pangeran Antasari, Zaleha sangat kehilangan. Ketika beranjak dewasa, Zaleha bersama ayahnya gencar mengusir penjajah dan selalu dikejar-kejar Belanda sampai masuk hutan ke luar hutan. Sebelum ayahnya meninggal, Gusti Zaleha diberi cincin kerajaan dari ayahnya. Sejak itu pula dia menggantikan ayahnya sebagai Sultan dan Pemimpin Perang Tertinggi, lalu diberi gelar Ratu Zaleha. Bersama sang suami, Gusti Muhammad Arsyad, Zaleha melanjutkan perjuangan ayahnya. Ratu Zaleha dapat menghimpun kekuatan dari suku-suku Dayak Dusun, Kenyah, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai, Suku Banjar. Dia berjuang bersama seorang wanita pemuka Dayak Kenyah bernama Bulan Jihad atau Wulan Djihad. Ada juga nama Illen Masidah dan lain-lain. Selama masa perjuangan fisik, Ratu Zaleha bersama Bulan Jihad juga memberikan pelajaran baca tulis (Arab Melayu) dan ajaran agama Islam kepada anak-anak Banjar. Keduanya juga memberi penyuluhan kepada perempuan-perempuan Banjar tentang peranan perempuan, ajaran agama Islam, dan ilmu pengetahuan. Ratu Zaleha sangat murka ketika suami dan pasukannya dilumpuhkan Belanda. Suaminya ditangkap, lalu diasingkan ke Buitenzorg atau Bogor pada 1 Agustus 1904. Zaleha tidak patah arang. Bersama pengikutnya, dia membangun pertahanan di Benteng Manawing dan Tambang Batu Bara Oranje Nassau untuk mengadang gempuran pasukan Belanda yang memiliki persenjataan lengkap. Meski menderita kelelahan fisik dan batin luar biasa karena menjadi buruan Belanda, Ratu Zaleha menolak menyerah. Ia terus melawan. Bahkan, senjata kelewang Ratu Zaleha disebut pernah memotong leher serdadu Belanda dalam suatu pertempuran di Barito. Anggraini Antemas dalam artikelnya di Harian Utama edisi 26 September 1970 yang berjudul “Mengenang Kembali Perjuangan Pahlawan Puteri Kalimantan Gusti Zaleha” menyebutkan, dalam suatu medan perang di lembah Barito, Ratu Zaleha terkepung pasukan Belanda. Hutan di sekitarnya dibakar oleh pasukan Belanda hingga menjadi lautan api. Di bawah desingan peluru dan kepungan api yang membakar, Ratu Zaleha keluar mempertahankan hidupnya yang terakhir. Rambutnya yang cukup panjang dan disanggul rapi telah putus dilanda peluru. Lengannya yang kiri ditembus pula oleh peluru yang lain sehingga badannya bergelimang merah darah. Baju dan celana compang-camping, darahnya mengalir membasahi tubuh, namun air matanya tak pernah jatuh setetes pun menyesali perbuatannya itu. Wasiat almarhum ayah dan suaminya sebelum masuk perangkap Belanda tetap dipegang teguh. Namun, pada tahun 1906, Ratu Zaleha ditangkap Belanda di salah satu rumah penduduk di Banjarmasin. Konon, pemilik rumah telah bersekongkol dengan Belanda. Zaleha akhirnya menyerahkan diri. Saat itu, fisiknya lemah dan salah satu lengannya terkena tembakan Belanda saat bergerilya di hutan sebelum ia bersembunyi di rumah penduduk. Setelah tertawannya Ratu Zaleha, berakhirlah Perang Banjar yang dimulai tahun 1859. Belanda dengan leluasa menjajah bumi Kalimantan ini. Setelah Zaleha ditangkap, ia diasingkan ke Bogor dan bertemu dengan suaminya. Kurang lebih 31 tahun Zaleha dan keluarganya hidup di pengasingan. Di masa tuanya, Ratu Zaleha kembali ke kampung halaman. Dia meninggal 23 September 1953 dan dimakamkan di Kompleks Makam Raja-Raja Banjar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. (mif) Baca juga :

Read More

Kisah Kesaktian Mbah Gendon yang Tak Bisa Ditembus Peluru

Pekalongan — 1miliarsantri.net : Sosok ulama asal Kabupaten Pekalongan yang dikenal sakti pada zaman dahulu yakni Mohammad Arshal atau Wali Gendhon. Ulama yang lebih dikenal sebagai Mbah Gendhon tersebut dikenal sakti karena tirakatnya yang luar biasa. Ahli waris Makam Mbah Gendhon, M Arifin, menceritakan, kehidupan Mbah Gendhon sekitar tahun 1868-1960 Masehi. Mbah Gendhon merupakan anak pasangan Tarab dan Takumi. “Beliau (Mbah Gendhon) lahir di Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi, Pekalongan. Mbah Gendhon merupakan anak satu-satunya,” katanya. Menurutnya, sejak kecil Mohammad Arshal dikenal sebagai sosok yang pendiam, mengalah dan pemaaf. Kedua orang tuanya juga mendidik Mbah Gendhon dengan cara sederhana dan mandiri. “Sehari-hari menggembala ternak milik orang lain. Sampai remaja dan dewasapun sifatnya tidak berubah. Bahkan malah semakin menjauhi duniawi,” terangnya. Sampai pada akhirnya, lanjut dia, kedua orang tua Mohmmad Arshal mengenalkannya kepada seorang perempuan sebagai pendamping hidupnya. Namun tidak seperti pernikahan pada umumnya, setelah menikah Mohammad Arshal bersama rombongan pengantar malah kembali ke rumah orang tuanya. “Ternyata beliau (Mbah Gendhon) belum memiliki keinginan untuk berumah tangga. Namun masih ingin memperdalam ilmu agama atau mondok,” ungkapnya. Sehingga, Mbah Gendhon kemudian berpamitan kepada kedua orang tua serta sanak saudara untuk berangkat mondok ke Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Akhirnya kedua orang tuanya merestui kepergiannya dengan memberikan bekal dan sedikit uang. “Mbah Gendhon mondok di Kyai Munir. Selama di pondok, sifatnya juga tidak berubah. Hal itu juga membuat sejumlah teman tidak menyukainya,” terangnya. Sekitar lima tahun menimba ilmu di rantau tersebut, lingkungan sekitar terserang wabah gatal-gatal. Sehingga pengasuh ponpes setempat menyarankan untuk mandi di sebuah sendang yang berair hangat. “Namun Mohammad Arshal hanya ditepian saja. Sehingga teman-temannya yang iseng lantas mendorongnya ke dalam sendang. Namun setelah tercebur ke dalam sendang, beliau tak muncul kembali. Teman-temannya sudah mencari, bahkan air sendang sudah dikeringkan, namun Mohammad Arshal tidak ditemukan,” jelasnya. Sehingga, hal itu membuat pengasuh pondok pesantren berkunjung ke Desa Kesesi, untuk memberikan kabar tersebut kepada keluarga Mbah Gendhon. Kedua orang tuanya tetap tawakal dan sabar mendapat kabar tersebut dan berharap masih hidup. “Namun hingga puluhan tahun tak ada kabar keberadaan Mohammad Arshal tersebut. Sampai suatu saat musim kemarau tiba, tanaman kering dan mati semua. Bisa dikatakan saat itu paceklik,” ungkapnya. Tiba-tiba, lanjut dia, saat malam saat sunyi muncul angin kencang menerbangkan semua yang dilewatinya. Kedatangan angin disertai kilat dan suara keras petir. Sehingga tidak ada warga yang berani keluar rumah. “Kemudian rumah kedua orang tuanya tiba-tiba terdengar suara diketuk-ketuk. Karena ketakutan, pintu tetap tidak dibuka. Baru setelah mengucapkan salam dan menyebutkan namanya, ayahnya membukakan pintu,” paparnya. Hal itu membuat kedua orang tuanya terkejut bercampur bahagia. Sebab, anaknya yang hilang puluhan tahun akhirnya pulang. “Namun saat pulan itu pakaian beliau (Mbah Gendhon) tak lazim, yakni auratnya hanya tertutup oleh akar-akaran yang dianyam. Jenggotnya lebat dan rambutnya terurai panjang,” terangnya. Selama menghilang, Mbah Gendhon tinggal di hutan dan goa ditemani sejumlah hewan. Dia hanya mengkonsumsi petai cina dan bunga pohon jati. “Selama perjalanan, dia ditemani seorang harimau dan ular yang membantunya menyeberangi sungai,” katanya. Kedatangan Mohammad Arshal itu membuat warga setempat berbondong-bondong mendatangi rumahnya karena penasaran. Namun tiba-tiba dan tanpa sebab, Mbah Gendhon malah naik ke pohon kelapa. “Beliau tidak makan dan minum di atas pohon kelapa itu selama berbulan-bulan. Meskipun dirayu keluarga, tetap tidak bersedia turun. Hingga sekitar setahun kemudian turun tanpa ada yang meminta, dan beliau turun menaiki pelepah kelapa yang sudah kering dan meluncur ke bawah. Pelepah itupun yang digunakannya untuk duduk selama berbulan-bulan lagi. Musim hujan juga tidak menggoyahkannya. Hingga keluarga membuatkan tempat untuk berteduh,” ungkapnya. Kabar kepulangan Mohammad Arshal itu akhirnya sampai ke pengurus ponpes tempat dia menuntut ilmu agama. Sehingga pengurus ponpes beserta sejumlah santri berkunjung ke rumah orang tua Muhammad Arshal. “Saat tiba di Kesesi, para pengurus pondok tersebut lantas melakukan pertemuan khusus dan akhirnya pengasuh ponpes mengatakan logat Cirebon ‘Cung kiye Mohammad Arshal wes balik, sira susah pikir, bingung pikir sowan nang Moh. Arshal julukane Wali Gendhon’. Baru setelah ada kunjungan dari ponpesnya belajar dulu, Mbah Gendhon bersedia masuk kembali ke rumah,” jelasnya. Lebih lanjut dikatakan, Mohammad Arshal juga memiliki peranan dalam kemerdekaan RI. Sebab, saat penjajahan Belanda, Mbah Gendhon juga ikut berjuang melawan penjajah Belanda. “Saat itu, rumah Mbah Gendhon digunakan untuk persembunyian para pejuang saat melawan Belanda. Mengetahui hal itu, Belanda lantas mengepung rumah beliau dan memborbardinya. Namun hanya menggunakan perisai berupa tampah, dengan izin Allah, rumah dan lingkungannya selamat dari serangan itu,” terangnya. “Pernah juga ditantang untuk membuktikan kewaliannya, dengan ditembak. Jika benar beliau wali Allah, maka tidak akan terluka jika ditembak. Saat senapan kompeni meletus, secepat kilat Mbah Gendon tak terlihat. Baru setelah kepulan asap senapan itu menipis, Mbah Gendhon memperlihatkan telah menangkap peluru itu,” jelasnya. Bahkan, lanjut dia, Mbah Gendhon juga memiliki peran mengusir Belanda dari lingkungannya. Mbah Gendhon hanya mengelilingi markas Belanda, para pasukan kompeni secara tiba-tiba tewas tanpa sebab. “Akhirnya markas itu bubar dan ditutup. Sejumlah kejadian itu, membuat masyarakat yang awalnya tidak percaya, akhirnya percaya bahwa Mbah Gendhon memiliki kelebihan karomah dari Allah SWT,” terangnya. Menurut M Arifin, ketenaran Mbah Gendhon tidak hanya sekitar Pekalongan saja. Namun hampir seluruh Nusantara sudah mengenal sosok Mbah Gendhon tersebut. “Saat itu sekitar tahun 1990-an, warga Malaysia itu berkunjung ke makam Mbah Gendhon didampingi adiknya warga Pangkal Pinang. Dia mengaku bertemu Mbah Gendhon dan diajar mengaji. Setelah itu, Mbah Gendon memberi alamat tinggalnya di Kesesi ini (makamnya) kepada warga Malaysia itu. Ya kaget saat tiba di sini, karena baru mengetahui kalau ternyata Mbah Gendhon sudah meninggal sekitar tahun 1960’an,” paparnya. Warga Lampung juga hampir sama ceritanya. Namanya Pak Sodikin kalau tidak salah. Dia ke sini sekitar tahun 2000’an. “Dia cerita kalau tiga bulan sebelumnya bertemu Mbah Gendhon di hutan, ngobrol-ngobrol dan kemudian dikasih alamat di Kesesi ini. Kaget juga setelah sampai sini, karena ternyata Mbah Gendhon sudah meninggal,” tambahnya. Diungkapkan, setiap tahun selalu diadakan khaul Mbah Gendhon tersebut. Khaul tersebut biasanya diadakan setiap Ahad Legi Jumadil Awal. “Setiap khaul biasanya jamaahnya sampai puluhan ribu. Penuh semua sini. Makam yang pertama kami pindah karena tergerus air sungai. Jaraknya tidak jauh dari makam yang sekarang. Lokasi yang sekarang ini juga atas permintaan beliau (Mbah Gendon). Sebab…

Read More

Kisah Keperkasaan Hang Tuah Menjaga Kerajaan Malaka

Surabaya — 1miliarsantri.net : Sebagian besar masyarakat pasti sudah pernah mendengar nama Hang Tuah, seseorang pahlawan dan tokoh legendaris Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Diceritakan bahwa dirinya adalah seorang pelaut dengan pangkat laksamana, dan juga petarung yang hebat di laut maupun di daratan. Pada cerita Sulalatus Salatin disebutkan, bahwa ia dahulunya adalah seorang nelayan miskin. Dimasa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya yakni Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendhara atau yang sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang, dari Melaka mengetahui kehebatan mereka, dan mengambil mereka untuk berkerja di istana. Dari sinilah Hang Tuah mendapatkan nama besar dan menjadi seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu, pada masa pemerintahan Kesultanan Melaka pada abad ke-15, yakni di Kesultanan Melayu Melaka yang bermula pada abad ke-15. “Tak akan Melayu hilang di bumi,” begitu sumpah Hang Tuah dalam Sulalatus Salatin. Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa, yang terkenal dengan sebutan Taming Sari. Dari kejadian inilah Hang Tuah tidak terlepas dengan Keris Taming Sari, senjata yang dikenal dimiliki Hang Tuah. Keris ini sendiri awalnya adalah keris yang dipunyai oleh Taming Sari. Hang Tuah mengambil keris ini dari Taming Sari, setelah dia berhasil mengalahkannya dalam sebuah pertempuran. Ketika Melaka diserang Portugis pun, Melaka meminta bantuan ke Kesultanan Demak penerus Majapahit setelah runtuh. Hang Tuah difitnah berzinah dengan pelayan raja, dan di dalam keputusan yang cepat, raja menghukum mati laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendhara. Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah yakni Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja. Hal tersebut mengakibatkan semua rakyat menjadi kacau-balau. Raja menyesali hukuman mati yang dijatuhkannya pada Hang Tuah. Namun, pada kejadian ini, Hang Jebat justru mengambil kesempatan atas ketidakberdayaan raja melawannya, karena Hang Jebat memegang Keris Taming Sari dari sahabatnya yakni Hang Tuah. Untuk mengatasi hal tersebut, raja memanggil lagi Hang Tuah untuk menghentikan tindakan Hang Jebat. Bendahara memanggil kembali Hang Tuah dari tempat persembunyiannya, dan dibebaskan secara penuh dari hukuman raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat dan berhasil membunuhnya. Sesudah kejadian Hang Tuah membunuh teman seperjuangannya yakni Hang Jebat gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali. Kehebatan dari Hang Tuah ini, menginspirasikan masyarakat untuk tetap mengabadikan namanya. Selain digunakan untuk nama jalan, namanya juga dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan bahari. Nama Hang Tuah digunakan untuk beberapa institusi pendidikan kemaritiman, antara lain Universitas Hang Tuah di Surabaya, serta Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pelayaran Hang Tuah di Kediri, Jawa Timur. Selain itu salah satu kapal perang Indonesia, juga menggunakan namanya yaitu, KRI Hang Tuah . Di Batam sendiri, ada juga nama perumahan yang diberi nama Hang Tuah yang terletak di kawasan Batam Center. Sementara itu, di kawasan Batubesar, Nongsa yang memang terkenal adalah kawasan suku asli Batam, yakni Melayu, juga ada pasar tradisional yang diberi nama pasar Hang Tuah. (har) Baca juga :

Read More

Kisah Hudzaifah, Pemegang Rahasia Rasulullah SAW

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Diantara sekian banyak sahabat Rasulullah SAW terdapat satu nama yang cukup dikenang oleh para sahabat lain. Namanya Hudzaifah bin Hasal bin Jabir Al-Absi, berjuluk Abu Abdullah, sedang Al-Yaman adalah gelarnya Hasal. Beliau adalah Sahabat yang termasuk pemimpin penakluk negeri dan pemegang rahasia Rasulullah SAW tentang nama-nama orang-orang munafik. Tidak satupun yang mengetahui kecuali ia. Ketika Umar radhiyallahu anhu memegang jabatan khilafah, ia berkata, “Apakah bawahanku ada orang munafik?” Hudzaifah radhiyallahu anhu menjawab, “Ya, satu.” Umar bertanya, “Siapakah ia?” Hudzaifah radhiyallahu anhu menjawab, “Aku tidak bersedia mengatakannya.” Sesudah itu Hudzaifah radhiyallahu anhu menyampaikan pembicaraan tersebut setelah beberapa lama, ia berkata, “Orang tersebut telah dicopot oleh ‘Umar radhiyallahuanhu, seolah-olah ada yang menunjukkan kepada ‘Umar”. Dan apabila ada orang yang meninggal dunia, ‘Umar bertanya apakah Hudzaifah menshalatkannya? Jika ia menshalatkannya, maka ‘Umar radhiyallahu anhu menshalatkannya. Namun jika tidak, maka ia tidak menshalatkannya. Umar radhiyallahu anhu mengangkatnya menjadi gubernur Madain. Kebiasaan ‘Umar radhiyallahu anhu ketika mengangkat seseorang adalah menulis di dalam perjanjiannya, “Aku telah mengangkat fulan dan memerintahkannya begini.” Tetapi ketika mengangkat Hudzaifah radhiyallahuanhu, ia menulis di dalam perjanjiannya, “Dengarkan ia, taatilah, dan berikanlah kepadanya yang ia minta.” Ketika ia tiba di Madain, para pemuka daerah menyambutnya dan membaca perjanjiannya. Mereka berkata, “Mintalah kepada kami apa yang engkau inginkan.” Hudzaifah radhiyallahu anhu hanya meminta bahan makanan secukupnya. Hudzaifah tinggal bersama mereka dan membangun negeri mereka. Kemudian Hudzaifah radhiyallahu anhu wafat di Madain pada tahun 36 H, bertepatan dengan 656 M. dan Hudzaifah radhiyallahu anhu telah meriwayatkan hadits Rasulullah SAW sebanyak 225 hadits. (yus)

Read More

Makam Imogiri Yang Dianggap Makam Ghaib Sultan Agung

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Keberadaan Keraton Yogyakarta yang sampai saat ini berdiri tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Mataram. Perjalanan Kerajaan Mataram dimulai dari raja pertama Panembahan Senopati hingga raja yang cukup terkenal yaitu Sultan Agung . Dalam kepemimpinan Sultan Agung, tercatat Mataram sempat menyerbu Batavia, yang menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda, di tanah Nusantara, dan pusat gurita bisnis VOC yang mencengkeram kekayaan Nusantara, selama ratusan tahun. Sebuah sejarah besar dari Sultan Agung ini juga berkaitan dengan rencana makam yang diidam-idamkan sang raja. Untuk menentukan tanah yang akan dijadikan pemakaman dirinya, Sultan Agung pun melempar batu yang berasal dari Makah. Batuan yang dilempar dengan kekuatan besar ini akhirnya sampai di Giriloyo , Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul. Sebuah bukit kecil ini akhirnya menjadi menjadi idaman Sultan Agung untuk menjadi tempat peristirahatan kekalnya kelak. Karena lokasi yang sejuk dan juga penuh daya magis, serta lokasi jatuhnya batu yang dilemparnya, paman Sultan Agung , yakni Pangeran Juminah pun meminta izin untuk bisa dimakamkan di komplek tersebut. Keeinginan sang paman meskipun tidak mengenakkan, akhirnya juga diizinkan. Akhirnya Pangeran Juminah meninggal terlebih dahulu dan dimakamkan di lokasi tersebut. Sultan Agung sedikit kecewa, akhirnya dia memilih lokasi di Pajimatan atau dikenal dengan makam raja-raja Imogiri. Menurut Juru kunci makam Giriloyo, Muh Syifa, makam Giriloyo didirikan tahun 1628-1829. Makam ini terdiri atas empat bagian, yaitu makam di sayap kiri (barat), makam di sayap kanan (timur), makam di luar pagar keliling, dan masjid. Untuk menuju makam sayap kiri (barat) harus melewati 25 anak tangga. Tokoh Kerajaan Mataram , yang dimakamkan di sayap kanan (timur) antara lain Kiai Ageng Giring, Kiai Ageng Sentong, dan Sultan Cirebon V. Tokoh yang dimakamkan di sayap kiri (barat) antara lain Kanjeng Ratu Pembayun (istri Amangkurat), makam Kanjeng Ratu Mas Hadi (ibu Sultan Agung ), dan Kanjeng Panembahan Juminah (paman Sultan Agung ). “Meskipun tidak menjadi makam Sultan Agung. Namun di kompleks makam muncul keanehan. Yaitu hadirnya kramat tiban atau sekaran sepen,” ungkapnya beberapa waktu lalu. Sekaran sepen inilah yang dipercaya makam ghaib Sultan Agung . Sebuah makam pindahan dari kompleks makam raja-raja Imogiri, kembali ke pemakaman yang dicita-citakan Sultan Agung . “Di sini juga ada batuan yang dipercaya sebagai batu Makkah, yang dilempar Sultan Agung ,” ulasnya. Sebagai makam sejarah, banyak warga juga sering melakukan ziarah di lokasi ini. Hal ini termasuk keturunan raja-raja Cirebon. “Karena salah satu makam di sini ada makam Sultan Cirebon yang wafat ketika di Mataram, dan dimakamkan di sini,” ujarnya. Lokasi makam Giriloyo , juga berada di sisi utara makan raja-raja Imogiri. Untuk menuju lokasi juga harus melalui jalan di Giriloyo, kemudian naik ke tangga menuju masjid. Sebuah masjid gaya Mataram ini, dibangun oleh Sultan Agung. Para peziarah biasanya istirahat setelah berjalan dari bawah sambil mengambil air wudlu, dan salat kemudian melanjutkan perjalanan ke atas menuju makam dengan tangga kecil, dan lokasi menanjak. Di masjid ini juga bisa diskusi dengan juru kunci dan bisa diantar menuju ke makam. (mif) Baca juga :

Read More