Laskar Hizbullah Memiliki Andil Besar Dalam Kemerdekaan Indonesia

Jakarta — 1miliarsantri.net : Sebagai laskar kesatuan perjuangan semi militer umat Islam yang dilandasi dengan niat jihad fi sabilillah, Laskar Hizbullah juga memiliki semangat kebangsaan dan perannya cukup besar dalam melawan tentara sekutu yang ingin kembali menduduki Indonesia. Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, para Tentara Allah yang tergabung dalam Hizbullah memainkan peran yang cukup besar dalam perang kemerdekan, baik dalam merebut maupun mempertahankan kemerdekaan. “Perannya sangat besar itu. Hizbullah itu dapat dikatakan pada saat itu memberikan kekuatan yang sangat besar untuk menghadapi Belanda. Nah itu yang sering dilupakan orang,” urai Anhar kepada 1miliarsantri.net, Kamis (17/08/2023). Menurut Anhar, sebagai panglima besar pertama di Tentara Indonesia, Jenderal Soedirman juga memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Hizbullah. “Soedirman itu kan juga Islam. Gak ada yang bisa menyangkal. Soedirman itu adalah tokoh Muhammadiyah dan tentu saja mempunyai arti tertentu dalam posisinya sebagai seorang panglima. Jadi hubunganya dengan tokoh-tokoh Hizbullah itu sangat erat, tidak bisa disangkal. itu yg tidak pernah ditampilkan itu,” ungkap Anhar. Dia menambahkan, salah satu peran besar Laskar Hizbullah dalam perang kemerdekaan adalah pertempuran 10 November 1945. Saat itu, sekitar seribuan Laskar Hizbullah datang dari berbagai daerah menuju Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan. “Di dalam 10 November, laskar Hizbullah punya peranan tertentu. Dan waktu mempertahankan agresi I dan Agresi II itu Hizbullah sangat besar peranannya. Cuma orang tidak pernah menampilkan. Dan tidak pernah ada yang menyebutkan, padahal perannya besar sekali,” jelas Anhar. Dalam mekakukan perang gerilya, menurut dia, para Laskar Hizbullah juga memiliki peranan yang tak kalah besar. “Perang gerilya itu Hizbullah tidak bisa dilepaskan begitu saja. Hanya, yang selalu ditampilkan seakan-akan hanya perannya daripada TNI. Padahal Hizbullah punya peran penting dalam mempertahankan darerah-daerah di mana mereka berada,” imbuhnya. Dengan perannya yang besar itu, Laskar Hizbullah pada perkembangannya akhirnya diajak untuk bergabung dengan TNI. “Karena itu, sebenarnya harus ada semacam penulisan sejarah di mana menampakkan peranan dari macam-macam kekuatan, tidak hanya didominasi oleh kekuatan tertentu,” jelas Anhar. Sementara itu, dalam buku “Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia”, Zainul Milal Bizawie menjelaskan, Laskar Hizbullah dan Sabilillah menjadi bukti historis yang tidak terbantahkan dalam membela Republik Indonesia. Namun, setelah pasukan Belanda semakin banyak yang masuk ke Indonesia, pemerintah Republik Indonesia mengambil sikap yang lebih militan. Pada 1 Januari 1946, Kementerian Keamanan diganti namanya menjadi Kementerian Pertahanan dengan mendapatkan tanggung jawab yang luas. Pada saat bersamaan, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga diubah namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Namun, ternyata nama ini belum final. Pada 24 Januari 1946, nama itu diganti lagi menjadi Tentara Republika Indonesia (TRI). Bulan berikutnya, Kementerian Pertahanan kemudian membentuk Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara yang bertugas untuk menyusun tentang hal-hal yang berkaitan dengan urusan pertahanan, organisasi tentara, peralihan dari TKR menjadi TRI, dan kedudukan laskar-laskar perjuangan. Kendati demikian, dalam internal Hizbullah sempat muncul penolakan terhadap upaya penggabungan ketika kesatuan reguler masih bernama TRI. Sikap ini ditunjukkan oleh kesatuan Hizbullah yang bergabung dalam Hizbullah Sunan Ampel di bawah pimpinan Mayor Mansur Solichy. Ia khawatir dengan penggabungan itu, maka Hizbullah nantinya akan diperlakukan seperti anak tiri. Namun, pada 5 Mei 1947 akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi tentara. Pada 3 Juni 1947, Soekarno meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin Jenderal Sudirman. Dalam ketetapan itu juga menyatakan bahwa semua angkatan perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan TNI. Setelah TKR diubah menjadi TNI, maka sikap Hizbullah Sunan Ampel pun melunak. Hizbullah akhirnya lebih memilih mengikuti langkah pemerintah dan pimpinan TNI dengan berbagai pertimbangan, diantaranya karena keterbatasan persenjataan yang dimiliki. Sebagai tindak lanjut, pada 15 Juni 1947 seluruh jajaran pimpinan pusat Hizbullah mengadakan Konferensi Hizbullah se-Jawa dan Madura di Yogyakarta. Hasil konferensi didapatkan keputusan aklamasi bahwa Hizbullah bergabung ke dalam TNI. Akhirnya, kesatuan-kesatuan Hizbullah dalam TNI melebur ke dalam kesatuan setingkat brigade, resimen, batalyon, dan seksi pasukan dalam organisasi TNI. Namun, berdasarkan keterangan KH Saifuddin Zuhri, perundingan tingkat tinggi antara pimpinan kelaskaran dengan pihak pemerintah dicapai satu keputusan bahwa tidak semua anggota kelaskaran dilebur dalam TNI. Pemerintah menetapkan bahwa Hizbullah hanya mendapat satu batalyon dalam satu divisinya. KH Wahib Wahab akhirnya menyerahkan Batalyon Munasir menjadi TNI dan Munasir menjadi komandan dengan pangkat Mayor. Sedangkan devisi yang dipimpin KH Saifuddin Zuhri menyerahkan Batalyon Suroso menjadi TNI dan Suroso sebagai komandannya. Begitu juga dengan devisi-devisi Hizbullah di beberapa daerah lainnya. Keputusan yang diambil oleh kesatuan Hizbullah itu untuk membantu TNI memperkuat barisan pertahanan. Mereka bertekad untuk menjaga kemerdekaan Indonesia tanpa harus bersikukuh mempertahankan eksistensi laskar. Ketika Hizbullah dilebur ke dalam TNI, Panglima Hizbullah KH Zainul Arifin diangkat sebagai sekretaris pada pucuk pimpinan TNI atau semacam Sekretaris Jenderal Pertahanan Keamanan sekarang. Kiai Zainul Arifin sempat kecewa dan prihatin dengan banyaknya anggota Hizbullah dan Sabilillah yang tidak lulus untuk masuk TNI. (yan) Baca juga :

Read More

Indonesia Negara Yang Dibangun oleh Para Cendikiawan Muslim

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kemerdekaan serta pembangunan yang diraih Republik Indonesia merupakan kerja keras dari para pejuang, termasuk diantaranya para cendekia, aktivis muslim dan hal ini berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah yang punya kecenderungan dibangun oleh politisi lama dan para raja. Hal ini disampaikan Pakar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), Tiar Anwar Bachtiar. “Sebetulnya Indonesia sendiri memiliki potensi ke arah sana (sebagaimana Timur Tengah), dalam hal ini, Van Mook selaku Gubernur Jenderal di wilayah Hindia-Belanda saat itu mendirikan negara bagian. Konteksnya saat itu memanfaatkan politisi-politisi lama. Meski tidak semua bangsawa pro-Belanda, misalnya Sultan Yogyakarta ini kan masuk kategori pro-republik,” ungkap Tiar kepada 1miliarsantri.net, Kamis (17/08/2023). Tiar mengutip Plato, filosof Yunani klasik, yang menyatakan tampuk pimpinan harus diberikan pada kaum intelegensi, atau pemikir. Memang sejarah Indonesia berpihak ke arah tersebut. Tiar menyebut mencontohkan KH Agus Salim atau H.O.S Cokroaminoto, yang merupakan pemikir sekaligus aktivis. “Dalam hal ini, misalnya, H.O.S Cokroaminoto kan kita tahu berwacana mengenai bentuk ideal bagi Indonesia ke depannya yang menurutnya Islam dan sosialisme,” tuturnya. Sejarah mencatat, Soekarno tampil dalam rumusannya mengenai NASAKOM. Rumusan itu nantinya direalisasikan saat diri Bung Karno berada di tampuk kekuasaan. Itu menandakan Indonesia sangat didominasi oleh pemikir dan aktivis. “Jadi artinya, Indonesia ini sangat didominasi oleh para pemikir, aktivis. Gagasan keindonesiaan ini bukan dilahirkan dari pragmatisme politik yang hanya sekadar ingin mengambil keuntungan sesaat,” katanya. Tiar memaparkan, memang terdapat ketegangan yang mewarnai cakrawala perpolitikan Tanah Air. Hingga kemudian, para pemikir bersepakat dengan rumusan yang dikenal dengan Pancasila. Dalam konteks ini, para pemikir berkontestasi menawarkan hasil perenungan dan penghayatan, yang kemudian disepakati Pancasila. “Inilah hasil dari keprihatinan, dan kegelisahan para pemikir terdahulu akan kenyataan. Bukan dari pesanan, tapi bersama merumuskan visi ideal,” ucapnya. Tiar menekankan perihal relevansi Pancasila yang masih terasa bagi rakyat Indonesia. Itu karena Pancasila dirumuskan dari berbagai gagasan ideal. Maka itu, Tiar menekankan ihwal sila pertama, yakni nilai-nilai agama. “Dalam hal ini, Al-Qur’an dan sunnah Rasul, yang jangan sampai dikesampingkan. Sebab, jika demikian terjadi, akan kehilangan daya kekuatan yang begitu besar dalam upaya membangun negara. Semangat agama (Islam) itu inheren, atau menyatu dengan berbagai aktivitas pergerakan,” tuturnya. Tiar lalu mengajak para intelegensi muda untuk mengambil uswah kepada pendahulu atau pada sejarah. Pada mereka yang merancang republik Indonesia. Para pendiri bangsa telah melakukan dengan penuh ketulusan, ikhlas, pengabdian kepada Allah SWT sebagai ibadah. Kaum intelegensia ini merupakan benteng terakhir, karena mereka merupakan yang dekat dengan ilmu pengetahuan. Artinya, para pendiri bangsa harus menjadi teladan bagi generasi muda saat ini. Apalagi, Indonesia sudah memasuki usia ke-78 tahun kemerdekaan. “Jika kaum intelegensia tidak bisa menjadi uswah, tidak bisa menjadi teladan peradaban, bagaimana hidup dalam keikhlasan, dalam pengabdian, dalam upaya memberi kebermanfaatan yang lebih luas, maka saya kira, sulit untuk mencari benteng mana lagi yang akan membantu keberlangsungan bangsa ini,” jelas Tiar. Tiar menukil Firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 16, yang artinya; “Bilamana Kami berkehendak menghancurkan sebuah kota (peradaban), Kami suruh (jadikan) orang-orang yang bergelimang dalam kemewahan (al-mutrafun) dan melampaui batas, tetapi mereka durhaka, maka pantaslah mereka menerima adzab kemudian Kami menghancurkan mereka sehancur-hancurnya.” “Inilah peringatan Allah SWT yang cukup keras untuk kita semua,” ungkap Tiar. (fat) Baca juga :

Read More

Kiai Subkhi Dikenal Sebagai Guru Laskar Pejuang Islam Kemerdekaan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Fakta sejarah tak bisa dibantah bahwa umat Islam adalah pejuang utama kemerdekaan. Apalagi bagi kalangan santri dan pesantren. Dii masa kolonial, para santri selalu punya girah menyala agar kolonial enyah dari Indonesia. Bahkan kaum Muslim teguh mengikuti sikap ulama yang tak mau sedikitpun mengecap ‘manisnya hidup’ dengan pihak kolonial. Mereka rela hidup miskin karena para ulama selama masa kolonial itu melakukan politik ‘uzlah’ (memisahkan diri) dengan penguasa penjajah. Tak hanya para santri pesantren saja, para orang tua yang hidup di kampung-kampungg mereka terus mendorong agar putranya yang menuntut ilmu di pesantren ikut berjuang menjaga laskar pejuang melawan tentata kolonial. Salah satu yang fenomenal pada masa perjuangan kemerdekaan itu adalah ketika kaum santri dari seluruh pelosok Jawa beramai-ramai membuat granggang atau bambu runcing. Di kawasan Jawa misalnya para santri sebagai bekal senjata perjuangannya akan membawanya ke sebuah pesantren berpengaruh di Temanggung yang kala itu di kenal diasuh oleh KH Moh Subkhi. Bila nanti pesantren yang sudah dibuat akan dibawanya menghadap Kiai Sublhi untuk akan disuwukan (didoakan). Adanya fenomena itu, maka para kaum lelaki dari umat Islam berbondong-bondong pergi ke pesanstren itu. Akibatnya, stasiun kereta api Temanggung penumpang yang (kini sudah tidak beroperasi) kala itu selalu dipenuhi penumpang yang turun dari kereta dengan membawa bambu runcing yang dibungkus dengan kain mori (kain putih). Dan tak hanya meminta suwuk untuk bambu runcingnya, para santri di antaranya tak lupa juga meminta agar tubuhnya kebal tusukan dan sabetan senjata tajam, hingga tak mempan bila terkena terjangan peluru. Dari kisah yang beredar dari orang tua yang merupakan para mantan pejuang lasykar Hizbullah, ‘karomah’ bambu runcing Kiai Subkhi mulai terkenal saat menjelang pertempuran Ambarawa. Pada suatu pagi, seusai mengajar santrinya, Kiai Subkhi langsung ke luar rumah pergi ke tengah halaman dan menodongkan bambu runcing ke arah pesawat pengebom belanda yang dikenal dengan sebutanan ‘cocor merah’ yang tengah melintas di atas pesantrennya. Entah karena apa, akibat pesawat cocor merah diacungi bambu runcing dan teriakan ‘Allahu Akbar’ oleh Kiai Subkhi, sesaat kemudian pesawat oleng. Mesin pesawat kemudian mati dan pesawat meluncur jatuh ke area danau yang berada tak jauh dari kawasan itu yang dikenal dengan nama Rawa Pening, Pilotnya menyelematkan diri dengan cara keluar dari pesawat menggunakan kursi lontar yang dilengkapi parasut. Para santri yang melihat aksi Kiai Subkhi pun terkesima. Apalagi beberapa waktu kemudian, datang laporan dari para pejuang yang menyatakan bahwa ada pesawat Cocor Merah yang terjun ke Rawa Pening. Katanya, pesawat itu mengalami gangguan mesin sehingga pesawat pun jatuh tercebur masuk ke dalam rawa. Kisah inilah yang kemudian meluas dengan cara beredar dari mulut ke mulut. Menteri agama di era Presiden Sukarno, KH Syaifuddin Zuhri pun dalam sebuah otobiografinya kemudan mengisahkan: “Setelah itu berbondong-bondonglah barisan-barisan lasykar dan anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sundoro dan Sumbing menemui Kiai Subkhi. Para tokoh ulama, di antaranya yang paling terkenal adalah komandan Hizbullah KH Zainul Arifin dan komandan Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur.” “Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo datang dari Surabaya, “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, dan Laskar Rakyat dari sekitar Jawa Tengah di bawah pimpinan Ir. Sakirman, dan ‘Laskar Pesindo” dari kawasan ‘Mataraman’ di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah pimpinan Krissubbanu pun mendatanginya. Bahkan sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan,” tulis KH Syaifuddin Zuhri. Sejak itulah Kiai Moh Subchi dari Pondok Pesantrenn Parakan disebut ‘Kiai Bambu Runcing’. Kota Parakan oleh para pejuang dan rakyat kemudian diberi nama sebagai kota bambu runcing. Selain sebagai Kiai berpengaruh memberikan suwuk kepada para pejuang yang membawa bambu runcing, harap diketahui peran Kiai Subkhi sangat sentral dalam perjuangan gerilya yang dilakukan Panglima Besar Jendral Sudirman (Pak Dirman). Kala itu Kiai Subkhi adalah penasihat spriitual Pak Dirman yang sangat sering datang ke pesantrennya dengan diam-diam. Alhasil, amalan doa dan dzikir yang terus didaraskan bibir Pak Diriman sepanjang melakukan gerilya adalah pilihan laku amalan yang disarankan oleh Kiai Subkhi. Kenyataan ini dimengerti sebab Pak Dirman adalah seorang Muslim yang saleh dan aktivis organisasi Muhammadiyah. Sebelum menjadi tentara pada jaman Jepang, Pak Dirman adalah guru sekolah Muhammadiyah di Cilacap, Jawa Tengah. (mif) Baca juga :

Read More

Raja Airlangga Rela Membagi Wilayah Kekuasaan Untuk Kedua Putranya

Surabaya — 1miliarsantri.net : Raja Airlangga membagi wilayah kerajaannya kepada kedua putranya. Dari sanalah akhirnya muncul dua kerajaan yakni Kerajaan Janggala dan Kerajaan Panjalu, dari hasil pembagian wilayah warisan Airlangga. Menariknya kedua kerajaan awalnya sempat tarik ulur mengenai perbatasan di antaranya keduanya. Prasasti Mahasokbhya menggambarkan bagaimana Airlangga meminta tolong penasihat spiritualnya sekaligus pendeta agung bernama Mpu Bharadauntuk menetapkan batas kerajaan. Konon batas ini muncul dari air yang dituang Bharada dari kendi saktinya. Prof. Slamet Muljana pada “Tafsir Nagarakretagama” menuturkan, uraian agak jelas tentang batas Janggala dengan Panjalu ialah Nagarakretagama Pupuh 68. Cerita tentang Mpu Bharada dari Lemah Citra dengan air kendinya mirip sekali dengan cerita Arya Bharada pada prasasti Mahaksobhya, dengan tambahan bahwa penetapan batas itu dilakukan dari barat ke timur sampai laut. Beberapa sejarawan akhirnya mencoba menerka – nerka batas wilayah yang ditetapkan oleh Bharada. Sejarawan Krom menetapkan Sungai Brantas dan Pegunungan Kendeng sebagai batas kerajaan Janggala dengan Panjalu. Bahwa batas kedua kerajaan itu adalah sungai, dapat diketahui dari uraian tentang Arya Bharada dengan air kendinya. Sedangkan Berg menetapkan bahwa batas kerajaan Janggala dan Panjalu ialah Sungai Widas dan Sungai Porong, yang mengalir dari barat ke timur menuju Selat Madura. Sementara Buchari menafsirkan karena Airlangga dipusatkan di bagian utara, Panjalu pada zaman Airlangga tidak sama dengan Panjalu, Daha, Kediri zaman sekarang. Il Ibu kota Kerajaan yang didirikan Airlangga itu letaknya harus di bagian utara Jawa. Ia yakin bahwa sungai yang menjadi batas alam antara Panjalu dan Janggala ialah Sungai Lamong, yang juga mengalir dari barat ke timur menuju Selat Madura di sebelah selatan Gresik. Sungai Lamong juga mempunyai anak sungai yang bernama Lanang, artinya sama dengan Panjalu. Teori itu terbentur kepada kesulitan untuk menyesuaikan letaknya prasasti Turun Hyang, 1044, yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Garasakan dari Janggala, karena prasasti itu terdapat di Desa Truneng sebelah timur laut Pamotan dekat Sungai Porong. Desa Truneng karenanya termasuk wilayah kerajaan Panjalu, jadi daerah musuh. Maka kesimpulannya perbatasan alam antara kedua kerajaan ini ada pada Sungai Porong. Seberang utara wilayah Sungai Porong adalah wilayah Kerajaan Janggala, sedangkan Kerajaan Panjalu wilayahnya sama dengan Daha atau Kediri, seperti yang ada di selatan Sungai Porong.(din)

Read More

Inilah Sejarah Telur Asin dan Oreg Tempe Menjadi Bekal Makanan Pasukan Mataram Melawan VOC

Brebes — 1miliarsantri.net : Di Indonesia, terutama di pulau Jawa tentu sudah tidak asing lagi dengan telur asin, makanan berbahan dasar telur yang diawetkan dengan cara diasinkan (diberi garam berlebih untuk menonaktifkan enzim perombak) dan biasanya diproduksi dari telur bebek pelari (Anas platyrhynchos domesticus) atau tidak menutup kemungkinan untuk telur-telur yang lain dan memiliki ciri khas cangkang telur yang berwarna kebiru-biruan. Makanan ini bersifat praktis dan dapat dipadukan dengan berbagai masakan lain, misalnya nasi jamblang, dan nasi lengko, bahkan dapat pula dimakan tanpa nasi. Nelayan yang melaut atau orang yang bepergian untuk waktu lama biasa membawa telur asin untuk bekal. Brebes dikenal sebagai penghasil utama telur asin. Industri telur asin di Brebes cukup meluas dihampir seluruh wilayah di Brebes, terutama bagian utara. Masing-masing produsen memiliki cap sendiri-sendiri yang biasanya dapat dilihat pada kulit telur. Walaupun selera orang berbeda-beda, telur asin yang dinilai berkualitas tinggi memiliki ciri-ciri bagian kuning telur berwarna jingga terang hingga kemerahan, “kering” (jika digigit tidak mengeluarkan cairan), tidak menimbulkan bau amis, dan rasa asin tidak menyengat. Telur asin merupakan lauk pauk yang wajib disediakan oleh Warung Tegal (Warteg). Bisa dikata kurang sempurna dan kehilangan ciri khas Warteg nya jika tidak menyediakan telur asin dan oreg tempe. Dua makanan ini memang awet, telur asin bisa tahan hingga kurun waktu mingguan dan oreg tempe juga demikian, karena tempe yang banyak dikonsumsi penduduk Indonesia dimasak kering sehingga bisa tahan mingguan juga. Dan 2 jenis lauk makanan ini yang dikaitkan dengan makanan lunsum prajurit mataram ketika menyerang VOC di Batavia, yang sekarang menjadi Jakarta. Hal ini berawal dengan ditunjuknya Bupati Tegal Kyai Rangga oleh Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma, Sultan Mataram ketiga yang memerintah dari tahun 1613-1645 sebagai diplomat. Ditunjuknya Kyai Rangga di tahun 1628 M oleh Sultan Agung untuk berdiplomasi ke Batavia dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) sempat mengalami kegagalan dan akhirnya terjadi peperangan antara Kesultanan Mataram dengan VOC. Adipati Tegal akhirnya menggerakan rakyat Tegal untuk ikut berperang. Namun hal tersebut suatu keniscayaan karena jarak yang cukup jauh dari Tegal ke Batavia dan belum adanya transportasi darat yang memadai, sehingga jalur laut merupakan alternatif yang baik sebagai moda transportasi yang dipakai pada waktu itu. Tentu saja para pasukan yang berangkat ke Batavia harus menyediakan stok makanan awet yang akan dipilih sebagai bekal untuk dibawa dengan jarak cukup memakan waktu lama dari Tegal ke Batavia. Disitulah telur asin dan oreg tempe dijadikan sebagai bekal makanan praktis dan efektif. Pasca peperangan tersebut, terlebih setelah kemerdekaan tahun 1945, telur asin dan oreg tempe ternyata menjadi menu favourite dan akhirnya menjadi ikon di Warteg. Dirasa kurang sempurna dan kurang lengkap jika warteg tidak menyediakan telur asin dan oreg tempe. Kendati banyak orang dijaman sekarang ini mengetahui telur asin dan oreg tempe ini berasal dari Brebes, namun dijaman sebelum kemerdekaan, wilayah Brebes masih merupakan wilayah Tegal Barat dan belum dibentuk sebagai Kabupaten. Telur asin dan oreg tempe menjadi salah satu makanan favourite rakyat Indonesia terutama mereka yang berada di Pulau Jawa dan sudah mulai merambah pasar Internasional. Bahkan hampir di wilayah Pulau Jawa sudah mulai banyak yang memproduksi telur asin. Bukan hanya menjadi makanan yang awet, namun kandungan protein yang ada di telur asin juga cukup tinggi serta masyarakat bisa mendapatkan dengan harga yang terjangkau. (fq) Baca juga :

Read More

Raja Airlangga Dikatakan Sebagai Keturunan Dewa

Mojokerto — 1miliarsantri.net : Raja Airlangga meneruskan garis keturunan Kerajaan Mataram Kuno dan membangun kerajaan sendiri di Jawa Timur. Ia dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu dan mendapat gelar unik saat bertakhta di Kerajaan Kahuripan. Gelar tersebut amat panjang yakni Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmmawansa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Kemudian ketika mundur sebagai raja, Airlangga bergelar Aji Paduka Mpunku San Pinaka Chatra nin Bhuwana Pinaka Chatra nin Bhuwana. Gelar panjang Raja Airlangga tentu bukan tanpa makna dan arti. Sri Maharaja adalah sebutan jabatan yang disandangnya, yaitu sebagai raja. Kata Rakai Halu sebagai gelar penguasa wilayah atau daerah lungguh Halu sekaligus dapat diartikan sebagai gelar pejabat tinggi kerajaan, setingkat lebih rendah dari putera mahkota. Gelar Rakai Halu yang disandang pada awal namanya menimbulkan pendapat bahwa sebenarnya dia bukanlah putra mahkota yang dipersiapkan untuk menduduki tahta kerajaan. Dia menjadi raja karena putra mahkota yang sebenarnya yakni putri Raja Dharmamawangsa Teguh telah tewas pada saat peristiwa Paralaya, yaitu perayaan perkawinannya dengan Airlangga. Sri Lokeswara adalah nama lain dari Avalokitesvara, sebutan penguasa dunia di dalam agama Buddha. Adapun penggunaan unsur ajaran Buddha di deretan nama abhiseka Airlangga, yaitu lokeswara dapat dijelaskan bahwa Buddha adalah salah satu awatara dari Dewa Wisnu, yang mengemban tugas tertentu. Sementara kata Dharmmawansa Airlangga adalah nama dirinya. Hal ini menjadi menarik karena nama depan Dharmmawansa juga dipakai oleh lima orang raja yang pernah memerintah di Jawa dan Bali. Raja-raja tersebut adalah Dharmmawansa Teguh, yang memerintah di Jawa Timur sebelum Airlangga. Kemudian Dharmmawansa Airlangga dan Dharmmawansa Marakata Pankaja Sthanottungadewa, yaitu adik dari Airlangga yang memerintah di Bali. Dharmmawansa keempat yang berkuasa adalah Rakai Halu Sri Samarotsaha Karnakencana Dharmmawansa Kirttisi nihajayanatakatungadewa yang namanya tercantum di dalam Prasasti Batu di Surabaya pada 982 Saka. Satu nama terakhir yakni Dharmmawansa Kertawardhana yang memerintah di Bali. Sedangkan kata Ananta berarti tidak berakhir. Nama ini menjadi salah satu gelar Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai satu-satunya manusia yang hidup setelah peristiwa pralaya atau penghancuran terjadi. Vikrama diartikan sebagai berani, sedangkan Uttangadewa berarti keturunan dewa yang maha tinggi. Airlangga dianggap sebagai keturunan dewa yang maha tinggi dan kegagahberaniannya tidak pernah berakhir. Nama yang dapat berarti luas apabila dikaitkan dengan tindakan-tindakan kemudian. (tin) Baca juga :

Read More

Dibalik Kemahsyuran Ramalan Jayabaya. Ternyata Terdapat Peran Penting Ulama Dari Persia

Surabaya — 1miliarsantri.net : Bagi kita yang pernah belajar mengenai sejarah atau setidaknya pernah membaca buku tentang sejarah, khususnya sejarah raja-raja Nusantara, pasti tidak akan lupa dengan nama Raja Jayabaya. Raja yang satu ini tidak seperti Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang terkenal karena pernah menyatukan seluruh Nusantara di masa pemerintahannya. Raja atau Prabu Jayabaya terkenal karena ramalannya yang akurat. Konon di balik kemampuannya meramal masa depan Nusantara, ada sosok ulama yang ikut andil didalamnya. Prabu Jayabaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Seperti raja umumnya memiliki gelar, Jayabaya memiliki nama panjang sekaligus merupakan gelar, yaitu Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Dihimpun dari berbagai sumber, disebutkan bahwa satu dari banyak peningalan Jayabaya adalah Kitab Musyarar atau dikenal juga dengan Serat Jangka Jayabaya. Dalam Kitab Musyarar tertuang ramalan tentang masa depan Nusantara. Apa saja yang diterawang Jayabaya pada abad ke-12 itu? Pertama, Jayabaya pada abad itu sudah meramalkan bahwa suatu saat akan datang bangsa asing ke Nusantara. Kedua, ia juga menyampaikan bahwa akan berdirinya sebuah Negara yang kini kita kenal dengan Indonesia saat ini. Ketiga, Jayabaya meramalkan akan hadirnya sang ratu adil yang akan memerintah negara tersebut dengan penuh keadilan dan kedamaian. Ramalan pertama dan kedua dinilai sudah terpenuhi dengan datangnya penjajah bangsa asing. Dan setelah ratusan tahun Nusantara dijajah, terbentuklah Negara Indonesia. Menarik bahwa sejarawan tidak sepenuhnya meyakini bahwa kitab tersebut ditulis langsung oleh Prabu Jayabaya. Sebab, pada masa Jayanya ada dua pujangga terkenal, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kedua Mpu ini memiliki karya antara lain Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya. Dalam karya-karya tersebut tidak disebut sama sekali kalau Kitab Musyarar karya Jayabaya. Maka para sejarawan menduga, ada sosok lain yang menjadi pengarang Kitab Musyarar. Sosok itu adalah bernama Ranggawarsita, pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta. Hanya, biasanya Ranggawarsita menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan pada naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada Kitab Musyarar bersifat anonim. Dengan problem itu, para sejarawan sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musyarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Kembali ke Kitab Musyarar itu sendiri, Serat Jangka Jayabaya tidak lain adalah sebuah kitab yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Dalam bait pertama kitab Musyarar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut. Namun yang menarik, dalam Kitab Musyarar dikisahkan bahwa pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebutlah, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat. Diduga sosok Maolana Ngali Samsujen inilah yang menjadi sumber inspirasi bagi Prabu Jayabaya dalam membuat ramalan-ramalan jitunya tentang Nusantara. Lalu pertanyaan labuh jauh, siapakah sosok Maolana Ngali Samsujen ini? Sejarawan Agus Sunyoto dalam karya berjudul “Atlas Wali Songo” menjawab bahwa Maolana Ngali Samsujen yang dimaksud tidak lain adalah Syeikh Syamsuddin Wasil. Sosok Syeikh Syamsuddin Wasil, dalam historiografi Jawa, dikenal sebagai ulama besar asal Negeri Ngerum/Rum (Persia). Ia datang ke Nusantara, khususnya Kediri atas permintaan Raja Kediri Sri Maharaja Mapanji Jayabaya. Ia diminta untuk berdakwah membahas Kitab Musyarar yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti perbintangan (ilmu falak) dan nujum (ramal-meramal). Agus menambahkan, naskah Serat Jangka Jayabaya yang muncul pada abad ke-17 yang diyakini masyarakat Jawa sebagai karya Sri Mapanji Jayabaya dalam meramal masa depan Nusantara, berhubungan erat dengan keberadaan tokoh Syeikh Syamsuddin Wasil yang berasal dari Persia itu. Pendapat tersebut juga dikuatkan Soedjpto Abimanyu dalam buku “Babad Tanah Jawi”. Dalam buku ini Soedjpto menyebutkan bahwa Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka hingga datangnya hari kiamat kelak. Namun, jauh sebelum terkenal dengan ramalannya, Jayabaya dalam silsilah raja-raja tanah Jawa merupakan salah satu keturunan Batara Wisnu, yang melahirkan raja-raja Jawa. Pada tradisi besar Jawa, nama besar Jayabaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa. Sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Jayabaya disebutkan sebagai titisan Wisnu, negaranya bernama Widarba, yang beribukota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa. Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara, yang lahirnya dari Jaya Amijaya. Dimana ini menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit hingga Mataram Islam. Konon, sang raja Kediri ini turun tahta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannnya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat. (fq) Baca juga :

Read More

Sejarah Zakat di Indonesia

Jakarta — 1miliarsantri.net : Direktur Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah, Amelia Fauziah memaparkan sejarah zakat di Indonesia. Selain itu, berdasarkan catatan kuno yang ditulis Denys Lombard dalam Silang Budaya mengatakan, dulu zakat menjadi daya tarik dakwah, dikarenakan kondisi muslim yang minoritas saat masuknya Islam di Indonesia. “Sehingga zakat diberikan kepada kaum tapa, serta orang yang membutuhkan sehingga banyak yang mulai berfikir bahwa umat Muslim tak hanya mengurusi masalah spiritual tapi juga konteks sosial,” terang Amelia, Selasa (08/08/2023). Hal ini lalu diikuti dengan menguatnya perkembangan zakat di abad ke-13. Tercatat, dalam kitab Bustanus Salatin yang menyebutkan zakat digaungkan oleh Raja di kerajaan-kerajaan Aceh. Namun, hanya sebatas dorongan para Raja untuk membayar zakat tanpa turun langsung untuk mengelola zakat masyarakat. “Meskipun kemudian di satu sisi ada yang mengkritik, seperti kerajaan Banjar yang menganggap kerajaan tidak perlu mengurusi soal zakat. Zakat, menurutnya adalah persoalan ibadah yang menjadi urusan individual,” tutur Amelia. Ragam fenomena ini, menjadi semakin menarik, hingga di masa kolonial Belanda aktivitas berzakat ini terus berkembang dan diintervensi oleh pemerintah kolonial. Saat itu, merangsang adanya gerakan yang menentang, sehingga masyarakat sipil mempergunakan dana tersebut untuk masjid dan lainnya. Sampai pada pemerintahan kolonial tahun 1830-an, mereka seolah melepas tangan perihal zakat yaitu tidak mewajibkan dan tidak melarang bahkan mempersilakan untuk dikelola oleh muslim. Saat itu, mereka berpikir kedermawanan merupakan kewajiban agama dan bersifat pribadi, sehingga tidak perlu dikelola atau diserahkan negara. “Bahkan, salah satu penasehat pemerintah kolonial yang sedikit ‘memahami’ agama Islam secara jelas membuat aturan untuk jangan ada kekerasan dalam hal ini, selama tidak berkaitan dengan politik,” ungkap Amelia. Produk Konkret Zakat Abad XIXPerkembangan zakat terus menguat di abad XIX, setali tiga uang dengan pertumbuhan pesantren pada saat itu yang juga menggunakan dana ZISWAF sebagai sumber dana penting dalam memperkuat pendidikan. “Sebagai contoh, Pondok Pesantren Gontor yang terkenal dengan wakafnya, kemudian lahir juga organisasi keislaman seperti Muhammadiyah, NU, Syarikat Islam, Persis yang membuat sekolah-sekolah,” tutur Amelia. Tabiat pemerintah kolonial saat itu membiarkan kultur ini berkembang selama tidak masuk ke ranah politik. Bahkan, pemerintah kolonial membuat aturan tentang pendaftaran zakat dan wakaf, serta jika terjadi kekerasan dalam pengelolaan yang dalam arti lain karena besaran dana yang besar dengan keamanan yang mengkhawatirkan maka pemerintah turut mengawasi. “Peran pengawasan ini terbawa hingga awal abad 20 dan akhirnya tumbuh luar biasa sehingga berjalan sampai sekarang,” kata Amelia. Pertumbuhan ZISWAF ditandai dengan mampunya dana ini menopang negara. Banyak masyarakat menyumbang untuk negara, seperti Pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang dibeli dari uang sumbangan rakyat, diikuti dengan banyaknya kantor-kantor KUA dari tanah wakaf. Maka itu, Presiden Soeharto sempat memimpikan negara dalam kepemimpinannya mengelola dana ZISWAF. Pada 1967-an, Presiden Soeharto membuat aturan khusus dan memproklamirkan diri menjadi amil nasional. Namun sayang, idenya masih terlalu general dan tidak bisa dipahami oleh khalayak. “Tentunya pada saat itu, ada dua hal yang menyebabkan ide tersebut mental, yaitu karena tradisi zakat yang terbiasa dikelola dari dari bawah dan kedua adanya resistensi dari tokoh agama,” tutur Amelia. Pola Hubungan Ideal Antara Negara dan Masyarakat dalam Pengelolaan Dana ZISWAFTata kelola yang dibentuk pemerintah, menjadi bagian paling penting dalam pengelolaan dana sosial keagamaan, khususnya Zakat Infaq Sedekah. Itu karena, penguatan tata kelola ini, nantinya akan mempengaruhi keseimbangan antara negara dan masyarakat sipil dalam mengoptimalkan potensi zakat yang besar. “Melalui undang-undang zakat 23/2011 saat ini, meskipun sudah cukup baik pada beberapa hal namun memiliki titik rentan yang berpotensi menimbulkan conflict of interest,” tutur Amelia. Salah satunya adalah peran ganda yang dimiliki BAZNAS, yakni sebagai AMN operator zakat sekaligus regulator. Hal itu bisa menjadikan kepercayaan dari para pengelola terhadap BAZNAS menjadi lemah. Itu karena Baznas menjadi lembaga yang melahirkan regulasi, namun di saat yang sama menjadi ‘kompetitor’. Ada tiga pilihan dalam pengelolaan dana dengan potensi yang luar biasa ini. Pertama yaitu dengan dikelola negara. Contohnya, negara-negara dibawah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) seperti Pakistan dan Sudan yang mengelola dana tersebut. Namun, hanya sebatas incomenya saja. Sementara zakat memiliki banyak jenis yang harus dikelola dengan detail. Pada akhirnya setiap individu masih mengirimkan dana ZISWAF secara langsung kepada yang membutuhkan, atau komunitas hingga luar negeri. Kedua, yakni pengelolaan seluruhnya dikelola oleh masyarakat sipil, seperti Islamic charity dari UK. Ketiga, seperti di Indonesia yaitu fifty-fifty, yakni setengah pengelolaan oleh negara dan setengahnya lagi dikelola oleh masyarakat sipil. “Di satu sisi, ini menjadi jalan tengah, namun sebagaimana yang digagas di awal bahwa sebaiknya pemerintah cukup memfasilitasi di fungsinya sebagai regulasi. Kalaupun juga ingin mengelola, harus ada pemisahan fungsi diantara regulator dan operator,” ungkap Amelia. Konflik yang terjadi sekarang cukup memprihatinkan, karena banyak potensi lembaga zakat yang cukup baik seperti yang berasal dari BUMN, Universitas, Masjid tidak bisa berdaya guna dengan baik. Itu dikarenakan secara kelembagaan malah diharuskan menjadi UPZ. Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf merupakan perilaku yang berasal dari hati dan erat sekali kaitannya dengan ibadah individu, sehingga butuh strategi dan pendekatan yang khas sesuai dengan target muzakki. Dengan potensinya yang besar, ZISWAF memang mungkin saja dikelola oleh satu badan (dalam hal ini pemerintah) yang dianalogikan dengan aliran sungai yang bermuara ke satu danau. Dengan asumsi akan membesar dan bisa memberikan manfaat yang besar. “Namun, di saat yang sama hal ini juga mengkhawatirkan, karena jika tak dibarengi dengan tata kelola yang baik justru akan bahaya, akan timbul kebocoran bahkan bah. Maka tata kelola-lah yang menjadi penting. Jika saat ini masyarakat akar rumput sudah memiliki tata kelola yang kuat, tak ada salahnya jika pemerintah berlegowo untuk tak ikut dalam pengelolaan itu akan lebih baik,” pungkas. (mel) baca juga :

Read More

Sepak Terjang Bupati Madiun Dalam Melawan Penjajah

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kisah Raden Ronggo Prawirodirjo III yang gigih melawan penjajah Belanda menarik untuk dikulik. Pasalnya, setelah kabur dari Yogyakarta untuk berperang dengan Belanda, Bupati Wedana Mancanagera Timur Kesultanan Yogyakarta merangkap Bupati Madiun itu sempat diburu oleh Sultan Hamengkubuwono II. Padahal kala itu Raden Ronggo sudah bertekad untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda ke rakyatnya. Maka ia putuskan kabur dari Yogyakarta menuju Maospati. Perlawanan Raden Ronggo ini kerap disebut mengandung semangat Ratu Adil yang menjadi salah satu ciri awal gerakan perlawanan di Nusantara. Ia dibantu wakilnya, seorang keturunan Bali, Mas Tumenggung Sumonegoro, Bupati Padhangan yang kini masuk wilayah Bojonegoro, dan cucu panglima Sultan Pertama, Mas Tumenggung Malangnegoro, mengaku mendapatkan bisikan gaib bahwa Ronggo harus ber- kuasa sebagai Sunan Ingalogo di keraton Kutha Pethik, “kerajaan” Ketonggo. Dikisahkan dari “Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta : Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar 1779 – 1810”, Sultan Hamengkubuwono II mengumpulkan pasukan ekspedisi yang terdiri dari seribu prajurit yang dipimpin oleh mantan punakawannya, Raden Tumenggung Purwodipuro (sekitar 1770-1826), yang kelak dipecat akibat ketidakbecusan dan korupsi. Sultan Hamengkubuwono II juga konon mengirimkan perintah kepada semua bupati di wilayah timur Yogyakarta, untuk bekerja sama memburu Raden Ronggo, yang juga merangkap sebagai Bupati Madiun ini pada 21 November 1810. Sultan mengeluarkan maklumat khusus kerajaan berisi penetapan hukuman mati bagi Raden Ronggo, jika dia menolak kembali ke Yogyakarta. Sultan juga memberikan perintah kepada Pangeran Dipokusumo untuk memperkuat pasukan Purwodipuro dan pasukan ekspedisi Yogyakarta pada 27 November 1810. Jika Raden Ronggo tertangkap hidup-hidup, dia harus dibunuh. Sultan Hamengkubuwono II tidak mau menanggung malu jika sang Bupati Wedana dibawa kembali ke Yogyakarta dalam keadaan hidup. Namun, sang sultan mengingat janji ayahnya kepada kakek Raden Ronggo III sekaligus panglima tentara Perang Giyanti (1746-55), yaitu Kiai Ronggo Prawirosentiko (pasca-1758, Raden Ronggo Prawirodirjo I), bahwa Sultan Hamengkubuwono I tidak akan menyakiti atau menumpahkan darah keturunannya. Jika keturunan Raden Ronggo I melakukan pelanggaran, Sultan Pertama diharap senantiasa sudi mengampuni. Purwodipuro yang korup memimpin pasukan ekspedisi Yogyakarta untuk memburu Raden Ronggo III. Pasukan ini didampingi oleh seorang bintara Indo-Jerman kelahiran Batavia bernama Sersan Lucas Leberveld (1757-sekitar 1815) dan seorang letnan kelahiran Belanda, Thomas Paulus (1773-sekitar 1825). Dua-duanya dijuluki sebagai orang yang taal en land kundig atau istilah fasih bahasa Jawa dan tahu-menahu mengenai keadaan di Jawa, dalam sumber Belanda. (mif)

Read More

Kejadian Belanda Mengintervensi Kebijakan Keraton Jogja

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kematian Raden Ronggo Prawirodirjo III membuat Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono II diobok-obok oleh pemerintah kolonial Belanda. Perubahan radikal diajukan oleh Daendels, gubernur jenderal Belanda ke Keraton Yogyakarta. Pada 23 Desember 1810, ia memanggil para Residen Belanda dan patih keraton-keraton ke Semarang dan memberitahukan kepada mereka rencananya untuk memaksa Sultan turun tahta, dan menyerahkan kekuasaan kepada Putra Mahkota sebagai Pangeran Wali. Tiga hari kemudian, bersama pasukannya yang berkekuatan 3.200 serdadu, ia berderap menuju Yogya. Peter Carey dalam “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 – 1855” Daendels dan pasukannya sudah sampai di gerbang tolnya yang lama di jalan antara Tempel dan Pisangan, ketika kabar tewasnya Raden Ronggo sampai kepadanya. Meskipun tidak perlu lagi mendatangi istana Sultan dengan kekuatan militer sebesar itu, marsekal tetap bersikeras maju terus. Hal ini karena ia membutuhkan imbalan uang untuk membayar opsir-opsir dan bala tentaranya, yang dilanda desersi sampai 70 orang per hari akibat bayaran yang kurang. Alhasil mereka diberikan imbalan uang sangat besar, wakil Daendels Van Braam menerima 10 ribu dolar Spanyol atau setara dengan satu juta dolar Amerika Serikat saat ini. Pieter Engelhard dan Residen sebelumnya, Gustaf Wilhelm Wiese, keduanya ditugaskan bersama Van Braam, untuk memetakan garis demarkasi perbatasan baru antara wilayah pesisir dan kerajaan, masing – masing mendapat 5.000 dolar Spanyol (setengah juta dolar AS sekarang). Panglima Komandan Ekspedisi, Brigadir Jenderal (pasca-1821, Letnan Jenderal) Hendrik Merkus de Kock yang menjabat pada 1779 – 1845), yang nanti akan kita jumpai lagi sebagai Panglima tertinggi bala tentara Belanda selama Perang Jawa, menerima jumlah yang sama. Uang bayaran sebesar itu merupakan langkah pertama upaya pemiskinan kesultanan, suatu kondisi yang membuat mantan pejabat VOC, seperti Wouter Hendrik van Ijsseldijk yang menjabat pada 1757-1817, terkejut mengunjungi keraton-keraton setelah restorasi kekuasan Belanda di tahun 1816. Daendels tiba di Yogya pada 28 Desember dan langsung menuju kediaman Residen, seraya memanggil Sultan untuk menemuinya di sana tanpa lebih dulu berkunjung ke keraton, sesuai adat kebiasaan yang berlaku. Sungguh suatu pelanggaran etika sopan santun yang sangat kasar. Pangeran Diponegoro melukiskan bagaimana persiapan perlawanan militer dilakukan menyambut kedatangan Daendels dengan Sumodiningrat yang suka perang, berdiri paling depan, namun Sultan terlalu banyak pertimbangan untuk sesegera mungkin bertindak. Pada tanggal 31 Desember tahun yang sama, Sultan setuju tanpa protes alias setuju dengan diam pada tuntutan gubernur jenderal. Sultan menandatangani sebuah pernyataan yang menyerahkan pemerintahan Yogyakarta kepada putra mahkota, yang akan memerintah sebagai “Pangeran Wall” dengan menyandang gelar yang sudah ada sebelumnya, Raja Putro Narendro Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro. Sepintas, Daendels seperti telah membuat revolusi politik dan ia langsung sesumbar kepada Dewan Hindia di Batavia bahwa “demikianlah yang terjadi”. Namun, dalam kenyataan tidak ada perubahan apa pun. Sumber-sumber Jawa kemudian menjelaskan, bahwa Putra Mahkota bila bertindak tetaplah dengan seizin Sultan. Memang secara pemerintahan putra mahkota Sultan Hamengkubuwono III ditunjuk sebagai penguasa dan Sultan Yogya, namun kekuasaan tertinggi masih di tangan sultan sepuh dalam hal ini Sultan Hamengkubuwono II. Dia tetap memegang kendali di bidang keuangan dan tanah-tanah jabatan. Sultan juga masih tetap tinggal di keraton, sebuah konsesi yang disetujui Daendels atas permintaan langsung Putra Mahkota. (yus)

Read More