Trunojoyo Dibesarkan di Keraton Mataram, Tapi Justru Melakukan Pemberontakan

Surabaya — 1miliarsantri.net : Meski Raden Trunojoyo lahir di Madura, tetapi semenjak kecil ia diasuh di lingkungan Keraton Mataram. Ia dikenalkan kepada Putra Mahkota Mataram, yang di kemudian hari menjadi Amangkurat II dan membunuh Trunojoyo dengan keris. Pada 1656, Trunojoyo masih berusia tujuh tahun ketika ayahnya dibunuh saat Madura berperang dengan Mataram. Trunojoyo yang selamat, kemudian dibawa ke ibu kota Mataram, Plered. Pangeran (Adipati) Sampanglah yang membawa Trunojoyo masuk Keraton Mataram. Ia telah tinggal di Plered, di kemudian hari menjadi Cakraningrat II menggantikan ayahnya sebagai bupati Madura. Setelah dewasa, Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Alasannya, seperti yang ia kemukakan kepada perwira Kompeni Jacob Couper, ia mempunyai hak di Madura. Ayahnya, Demang Mloyo, jika tidak dibunuh, memiliki hak sebagai pengganti Cakraningrat I sebagai penguasa Madura. Pangeran Sampang, yang merupakan kakak dari Demang Mloyo lantas menjadi Cakraningrat II, meski sebenarnya ia tidak memiliki hak untuk itu. Terlebih, Cakraningrat II memimpin Madura dari Plered, tidak di Madura. Selain itu, ternyata juga ada persoalan pribadi antara Trunojoyo dengan Pangeran Sampang. Pangeran Sampang mencurigai Trunojoyo menjalin hubungan rahasia dengan keponakannya. Ketika Pangeran Sampang hendak menghabisi Trunojoyo, orang-orang Madura di Plered menyelamatkannya. Kepada perwira Kompeni Cornelis Speelman, Trunojoyo mengaku, “Dicurigai berbuat salah terhadap paman saya, yang ingin membunuh saya, padahal saya tidak bersalah.” Kepada perwira Jacob Couper, Trunojoyo mengaku, Pangeran Sampang hendak membunuhnya tanpa ia tahu kesalahannya. “Raja Mataram tidak menyelidiki masalah itu … tetapi juga ingin membunuh saya,” tulis Trunojoyo dalam suratnya untuk Couper. Trunojoyo juga menceritakannya kepada Putra Mahkota Pangeran Adipati Anom. “Mengapa mereka ingin merusakkan diri saya di Mataram? Saya juag diburu dan hendak dibunuh, dan itulah yang dilakukan Adipati Sampang tanpa membawa masalahnya kepada raja Mataram untuk diselidiki,” tulis Trunojoyo kepada Putra Mahkota. Dalam catatannya, Couper menyebut alasan Trunojoyo memberontak kepada Mataram. Adalah Demang Angantaka yang menjadi penyebabnya. Demang dari Balega, Madura, ini tidak mau menyerah kepada Pangeran Sampang. Ketika pada 1677 Trunojoyo menyerbu Mataram, Demang Angantaka ada di dalamnya. Demang Angantaka memiliki catatan buruk terhadap Pangeran Sampang. Pada 1673, ayah Angantaka dibunuh atas perintah Pangeran Sampang. Trunojoyo pada 1670 pulang ke Madura. Trunojoyo telah menjadi menantu Raden Kajoran. Dekat dengan Putra Mahkota, Raden Kajoran menyarankan Putra Mahkota mengirim Trunojoyo ke Madura unntuk membujuk orang-orang Madura agar tidak pergi ke Mataram, menghadap Pangeran Sampang yang sudah menjadi bupati Madura dengan gelar Cakraningrat II. Dengan cara itu, Pangeran Sampang itu akan terkucil di lingkungan keraton. Sebagai pertapa, Raden kajoran mengetahui masa depan Trunojoyo yang akan menjadi orang besar. Ia juga melihat, masa depan Mataram akan semakin surut dan Trunojoyo akan muncul. Di Madura, dengan cepat Trunojoyo memiliki pengaruh. Dan ketika ia harus memberontak terhadap Mataram, mertuanya, Raden Kajoran menjadi panglima perangnya. Penyerbuan Trunojoyo membuat Amangkurat I meninggalkan keraton secara diam-diam pada malam hari diiringi kerabatnya, termasuk Putra Mahkota. (har) Baca juga :

Read More

Goa Sentono Blora Menjadi Saksi Perang Sunan Bonang dengan Pasukan Majapahit

Blora — 1miliarsantri.net : Blora adalah kabupaten yang didirikan pada 11 Desember 1749. Dengan usianya yang kini sudah menginjak 274 tahun, tak heran jika Blora memiliki tempat-tempat wisata yang menyimpan berbagai sejarah menarik. Salah satunya adalah sebuah gua yang sering dikunjungi untuk mengisi libur akhir pekan di Kabupaten Blora. Meskipun lokasinya cukup jauh dari pusat kota, yakni sekitar 40 km, namun gua ini cukup dikenal masyarakat. Pasalnya, selain jadi tempat healing, gua tersebut juga cocok dijadikan destinasi wisata untuk mempelajari kisah-kisah sejarah yang terjadi di tempat itu. Dengan keunikan serta kisah sejarahnya itulah, gua tersebut berhasil tercatat sebagai salah satu cagar budaya di Kabupaten Blora. Terlebih, tempat bersejarah yang kini telah dibuka sebagai objek wisata itu sudah diatur dan ditata rapi untuk memberikan kenyamanan bagi para pengunjung. Gua ini sebenarnya sangat cantik, ada beberapa lubang kecil yang menjadi salah satu keunikannya. Namun, minimnya penerangan membuat pengunjung harus berhati-hati saat menyusuri gua sedalam 10 meter ini. Terlebih, bagian dalam gua yang bentuknya mengerucut membuat pengunjung harus membungkuk agar bisa menyusurinya lebih dalam. Gua yang terbentuk dari batuan karst ini lebarnya sekitar 3 meter dengan ketinggian 2,5 meter. Pada zaman dahulu, gua ini diperkirakan pernah dijadikan sebagai tempat pertapaan umat Hindu. Pendapat ini didukung dengan adanya relief atau gambar Dewa umat Hindu yang bisa ditemukan di bagian dinding gua. Gua yang terletak di kawasan lembah Bengawan Solo ini dinamakan Gua Sentono. Secara administratif, lokasinya terletak di Dukuh Sentono, Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Karena lokasinya di tepi aliran Bengawan Solo, lahan di sekitar gua tersebut dimanfaatkan penduduk lokal untuk pertanian. Oleh sebab itu, tak heran jika sekeliling gua didominasi oleh hamparan sawah yang sangat luas. Ada sebuah kisah tentang terbentuknya Gua Sentono yang masih dipercaya masyarakat sampai saat ini. Pada zaman dahulu, konon di sekitar aliran Bengawan Solo ada sebuah padepokan kecil bernama “Sentono” yang dipimpin oleh Ki Blacak Ngilo. Blacak Ngilo merupakan salah satu prajurit Majapahit yang melarikan diri dari kerajaan saat terjadi Perang Paregreg. Saat menetap di Dusun Sentono, Ki Blacak Ngilo dikenal sebagai seseorang yang berbudi pekerti luhur, mau mengajarkan cara bercocok tanam, ilmu spiritual, hingga memberikan pelajaran ilmu kanuragan pada masyarakat setempat. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, perilaku Ki Blacak Ngilo mulai berubah. Ia diketahui sering bertindak semena-mena. Misalnya, Ki Blacak Ngilo menarik pajak tinggi hingga mewajibkan warga untuk memberikan anak gadisnya agar bisa dijadikan istri olehnya. Hal ini rupanya terdengar sampai ke telinga Sunan Bonang. Ia lantas mengirim utusan kepada Ki Blacak Ngilo. Namun, Ki Blacak Ngilo malah memenggal kepala utusan tersebut dan menantang Sunan Bonang untuk bertarung. Dalam peperangan yang terjadi selama sepekan itu, Ki Blacak Ngilo kalah dan melarikan diri ke dalam tanah. Namun, Sunan Bonang selalu mengikutinya. Dari peristiwa kejar-kejaran itulah konon tercipta lubang-lubang yang berada di Goa Sentono Blora. (huz) Baca juga :

Read More

Prasasti Kuno di temukan di Desa Keben Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan

Lamongan — 1miliarsantri.net : Sebuah prasasti kuno kembali ditemukan di Lamongan. Prasasti tersebut dinamakan Prasasti Keben karena ditemukan di kawasan Desa Keben, Kecamatan Turi, Lamongan tengah yang selama ini memang jarang ditemukan. Lokasi penemuan prasasti ini tidak jauh dari balai desa setempat, tepatnya di belakang balai desa dan berdekatan dengan lapangan desa. Hanya berjarak sekitar 50 meter dari belakang balai desa, kawasan dimana prasasti ini ditemukan dikenal dengan nama Telogo Watu (telaga batu). “Dulu kawasan ini dikenal warga sebagai telogo watu dan memang dikeramatkan oleh warga,” kata Kepala Desa Keben H Abdul Kholik kepada 1miliarsantri.net, Kamis (14/12/2023). Berada di sebuah tempat yang dikenal warga dengan sebutan telogo watu, prasasti Keben memang berada di sebuah telaga kecil di belakang balai desa dan dekat dengan lapangan desa. Sebelum terlihat penampakan batu prasasti, kata Kholik, batu prasasti tersebut hanya nampak bagian atasnya saja. “Kalau musim penghujan terendam air karena memang dikenal sejak dulu sebagai telogo watu,” ujarnya. Kondisinya yang tertimbun tanah dan kerap kebanjiran memang membuat prasasti ini aman tanpa ada gangguan. Apalagi, warga masyarakat sekitar mengkeramatkan lokasi di mana telogo watu tersebut berada meski bersebelahan dengan tambak. Kholik menyebut, ada beberapa kali penggalian yang dilakukan oleh warga namun karena banjir sehingga batu prasasti tersebut kembali tertimbun tanah. “Penggalian terakhir ya waktu mau sedekah bumi sekitar bulan Oktober kemarin hingga saat ini masih bisa terlihat,” jelasnya. Kekeramatan telogo watu ini memang diakui oleh Kholik. Ia menyebut, lokasi dimana prasasti Keben berada ini kerap menjadi lokasi shooting untuk acara TV lokal yang berbau mistis. Batu prasasti yang ditemukan di Desa Keben ini memang sudah tidak utuh dan pecah menjadi beberapa bagian. Bagian atasnya pun sudah hilang dan tidak berada di tempatnya. Banyak pula peneliti yang datang ke Prasasti Keben ini. “Kalau dulu kabar-kabarnya yang ada di sana itu adalah tumbal milik dari Syeh Subakir,” imbuhnya. Prasasti Keben saat ini yang baru digali sebagian itu memang menampakkan bentuk sebagai prasasti dengan guratan aksara yang sebagian masih terlihat dan terbaca. Penggalian yang dilakukan warga pada saat sedekah bumi pun, hanya menampakkan sebagian dan belum secara keseluruhan. Sebelum digali, aku Kholik, batu prasasti yang terpendam itu hanya terlihat sebagian saja, yaitu bagian atasnya saja. “Jadi waktu sedekah bumi itu, kita gali dan menampakkan lempengan batu tersebut. Penggalian itupun karena ada saran untuk merawat telogo watu ini,” lanjutnya. Pada saat penggalian yang dilakukan warga sebelum sedekah bumi, tutur Kholik, kondisi batu tersebut tidak terlihat apapun karena mungkin masih kotor. Namun, kini kondisi prasasti sudah bersih dan bisa terlihat aksara yang muncul dari prasasti tersebut. Kalau kondisi pecah, Kholik menyebut jika hal itu memang sudah lama terjadi dan ada yang bilang jika sebagian pecahan batu tersebut dibawa entah kemana. “Saya juga kaget kok ternyata sekarang kondisinya sudah bagus seperti itu, bisa terlihat aksaranya. Padahal dulu saat digali tidak terlihat apa-apa,” ucapnya. Kholik bersama warga desa lainnya berharap agar batu prasasti yang berada di areal persawahan itu bisa diteliti dan menjadi aset budaya yang bisa dilestarikan. Untuk itu, Kholik pun sudah berkomunikasi dengan dinas instansi terkait untuk kelanjutan terhadap batu prasasti yang saat ini masih diberi nama sesuai desanya tersebut. “Kami berharap agar prasasti Keben ini bisa diteruskan proses ekskavasinya oleh dinas dan instansi terkait,” pungkasnya. (nik) Baca juga :

Read More

Karomah Sultan Agung Bisa Sholat di Mekah Dengan Hanya Melompat

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Sultan Agung merupakan raja Mataram pertama yang mengirim pasukan ke Batavia untuk menyerbu Kompeni. Ia mendapat julukan Nata Binathara ing Tanah Jawa, Raja Agung di Tanah Jawa, yang dikisahkan bisa shalat Jumat di Makkah meski berangkat dari Mataram pukul 11.00. Nama kecilnya Raden Mas Jatmiko dan ketika dewasa bernama Pangeran Rangsang. Naik tahta pada 1613, sebagai Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo Senopati ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panata Dinan Nata Binathara ing Tanah Jawi. Ia merupakan anak pertama dari Adi Prabu Anyakrawati Senopati ing Ngalogo Mataram, raja kedua Mataram. Anyakrawati memiliki nama kecil Raden Mas Jolang, anak dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram. Sultan Agung dikishkan sering bepergian sendirian, bahkan sampai ke Aceh, Makassar, Siam, Ternate, dan Turki. Ia juga sering bertapa di gunung-gunung. Cerita babad menyebut, ia berpindah dari gunung yang satu ke gunung lainnya dengan cara melompat. Yaitu, dari Gunung Lawu melompat ke Gunung Merapi, melompat lagi ke Lawu lalu melompat ke Gunung Semeru. Dari Semeru melompat ke Gunung Merbabu, lalu pulang ke keraton. Suatu ketika, dalam aktivitas bertapa dari gunung ke gunung di hari Jumat, Sultan Agung bertemu dengan sosok Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pun menanyakan aktivitas Sultan Agung berkali-kali melompati dari gunung ke gunung. “Tidak untuk maksud apa-apa. Daripada berdiam diri, sehabis sembahyang Subuh saya mencoba meniru kebiasaan Raden Arjuno. Ketika Raden Arjuno mencari kesenangan, selalu melompat dari gunung ke gunung,” jawab Sultan Agung. Sunan Kalijaga menyatakan, zaman sudah berubah, agama di Jawa sudah berganti. Lalu ia menyarankan kepada Sultan Agung, daripada melompat dari gunung ke gunung, lebih baik melompat ke Makkah untuk shalat Jumat. “Siapa tahu mendapat kemuliaan,” kata Sunan Kalijaga. Sultan Agung pun menerima saran Sunan Kalijaga itu. Ketika Sunan Kalijaga sudah menghilang dari tempat duduknya, hari itu sudah pukul 11.00. Bergegaslah Sultan Agung melompat ke Makkah. Ketika Sultan Agung masih di atas Panarukan, sebelum melompat ke Makkah, Sultan Agung mendengar suara teriakan dari bawah yang meminta untuk berhenti sejenak. Suara itu berpesan kepada Sultan Agung agar sesampainya di Makkah menemui Imam Syafii. “Mintakan izin bahwa saya hari ini tidak shalat Jumat di Makkah, karena belum selesai menyiangi rumput di kebun. Rumputnya sudah lebat,” kata suara dari bawah itu. Sultan Agung pun menanyakan nama orang itu. Tiba di Masjidil Haram, jamaah sudah penuh. Sultan Agung mencari sosok Imam Syafii. Ia pun menyampaikan pesan dari penduduk Kramatwatu yang menitip pesan kepadanya. Sultan Agung berpikir, padahal orang yang menitip pesan itu bisa meninggalkan pekerjaannya untuk berangkat ke Makkah. “Duh Nak Sultan, jangan sedih. Kanjeng Sultan ke sini hanya di hari Jumat, sementara orang Kramatwatu itu sehari lima kali sembayang di sini,” ujar Imam Syafii. Syafii menyebut, penduduk Kramatwatu itu selalu shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya, di Masjidil Haram. “Karena dia memang sudah khatam dan fasih tentang agama, maka pantas jika dia menjadi penghulu agung di Kerajaan, sehingga bisa menambah kemuliaan Kerajaan,” jawab Imam Syafii. Sultan Agung masygul, apa mungkin orang yang tadi menitip pesan bersedia diajak ke Keraton? Imam Syafii meyakinkan Sultan Agung bahwa orang di Kramatwatu itu akan mematuhi keinginan Sultan Agung. (mif) Baca juga :

Read More

Masjid Tua ini Dibangun Pasukan Sultan Agung Ketika Kalah Perang Dengan VOC

Jakarta — 1miliarsantti.net : Masjid Al-Makmur di Jl KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, merupakan salah satu dari belasan masjid tua yang masih tersisa di Jakarta. Masjid ini dibangun pada 1704 oleh para keturunan bangsawan Kerajaan Islam Mataram pimpinan KH Muhammad Asyuro. Kini masjid yang berusia lebih tiga abad itu terkepung oleh hingar bingar pusat perdagangan Tanah Abang, salah satu pusat perdagangan terbesar di Jakarta. Di kiri kanan masjid jami ini sudah tidak ditemukan lagi perumahan penduduk karena hampir seluruh daerah sekitarnya menjadi pusat kegiatan bisnis. Sejarah masjid yang cukup tersohor di Jakarta itu terjadi ketika Sultan Agung dua kali menyerang kota Batavia (1618 dan 1619). Sekalipun mengalami kegagalan tapi para bangsawan Mataram merupakan juru dakwah yang handal. Di antara mereka kemudian menetap di Jakarta menjadi da’i dan membangun masjid sejumlah masjid, yang masih kita dapati di beberapa tempat di Ibu Kota. Masjid Al-Makmur mula-mula hanya sebuah mushola berukuran 12×8 meter. Pada 1915 diperluas oleh Habib Abu Bakar Alhabsyi, pendiri organisasi Jamiatul Chaer dan pendiri rumah yatim piatu Daarul Aitam di jalan yang sama. Luas masjid menjadi 1.142 m2 ketika Habib Abubakar memberikan tanah sebagai wakaf. Tahun 1932 masjid diperluas lagi atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib. Kemudian pada tahun 1953 diperluas hingga luasnya menjadi 2.175 m2. Sayangnya, di depan masjid yang sangat bersejarah ini, di depannya tampak kumuh. Terutama oleh para pedagang kaki lima yang terkadang mangkal di depan masjid dan tumpah ruah ke jalan. Sementara mobil dan motor menjadikannya sebagai tempat parkir saat mereka hendak berbelanja ke pusat-pusat perdagangan Tanah Abang. Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al-Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak melati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara pedagang kaki lima kadang-kadang dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lengkap sudah kesendirian Masjid Al-Makmur yang makin terus dikepung. Masjid ini dikepung pertokoan, pusat bisnis, dan pedagang eceran yang makin banyak mencari doku di Tanah Abang. Tapi ketika masih ada kuburan wakaf, kini jadi rumah susun Tanah Abang, warga keturunan Arab yang meninggal dunia sebelum dimakamkan terlebih dulu jenazahnya dishalatkan di Masjid Al-Makmur. Para pedagang dan pembeli di Pasar Tanah Abang juga menjadikan masjid tua ini sebagai tempat sholat mereka terutama sholat Dzuhur dan Ashar. Makin berkembangnya bisnis di Tanah Abang, mengakibatkan Jalan KH Mas Mansyur dan sekitarnya seperti Kebon Kacang I sampai Kebon Kacang VI kini sudah berubah fungsi. Sebagian besar rumah telah menjadi tempat pertokoan, ekspedisi, dan gudang-gudang. Tidak heran kalau harga tanah yang berdekatan dengan Proyek Pasar Tanah Abang termasuk termahal di Jakarta. Seperti ketika pembangunan jembatan Metro Tanah Abang, rumah-rumah yang tergusur mendapat ganti rugi Rp 10 juta per m2. Menurut sejumlah warga, harga tanah milik mereka saat ini harganya Rp 20 juta per meter persegi. (yan) Baca juga :

Read More

Peristiwa Ketika Sultan Agung Mataram Tidak Menunaikan Puasa Ramadhan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kiai Penghulu di Keraton Mataram sedang bercengkerama dengan anak cucu di bulan Ramadhan. Dua abdi dalem (pembantu) keraton yang sedang menggunjingkan Sultan Agung mengeraskan suaranya saat melewati tempat Kiai Penghulu. Kiai Penghulu mendengar gunjingan itu dengan jelas bahwa Raja Mataram Sultan Agung tidak menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Kiai Penghulu pun mendapatkan bahan untuk menguji Sultan Agung. Keesokan harinya, Kiai Penghulu menghadap Sultan Agung. Saat itu Sultan Agung sudah siap menyantap makanan. “Ah, baru tahu, ternyata ada Ratu Wali, Panatagama, di bulan Ramadhan tidak berpuasa. E-e-e-e, mana ada kalifah yang menjadi tuntunan malah tidak bisa dipatuhi. Kitab apa yang mengajarkan hal ini?“ cerocos Kiai Penghulu. Kiai Penghulu ini adalah orang Kramatwatu di Panarukan yang dulu pernah menitip pesan untuk Imam Syafii ketika Sultan Agung hendak berangkat ke Makkah untuk shalat Jumat. Sultan Agung lalu mengangkatnya menjadi penghulu keraton atas saran Imam Syafii. “Kakang Penghulu, aku kok kurang paham dengan perkataanmu. Maksud Kakang Penghulu bagaimana?” tanya Sultan Agung yang heran karena datang tiba-tiba Kiai Penghulu berkata menyerocos. “Sekarang bulan Ramadhan, Gusti. Mengapa Panjenengan tidak menjalankan puasa Ramadhan?” jawab Kiai Penghulu. Kemarin, Kiai Penghulu mendengar gunjingan dua abdi dalem keraton yang mempermasalahkan Sultan Agung karena tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Salah satu abdi dalem bercerita bahwa Sultan AGung setiap hari makan seperti biasa. Bahkan, jumlah waktu makan di bulan Ramadhan ini melebihi jumlah waktu makan di hari-hari biasanya. “Kok malah makan sampai lima-enam kali. Apa tidak kasihan dengan para pembantu,” keluh di abdi dalem yang satu kepada temannya. “Aku tahu ini bulan puasa, namun yang berpuasa kan bulannya. Jadi, aku tak perlu ikut berpuasa,” jawab Sultan Agung. “Duh bagaimana ini, Gusti? Padahal semua abdi dalem, besar kecil, laki perempuan, yang sudah beragama Islam, menurut syariat Islam yang diajarkan Nabi Muhammad semua berpuasa. Saya yang mengajarkannya,” kata Kiai Penghulu. Kiai Penghulu pun menekankan bahwa ia mengajarkan hal itu karena perintah dari Sultan Agung yang menunjuknya sebagai penghulu keraton. “Jika rakyat mendengar bahwa Panjenengan tidak berpuasa, tentu saja nanti mereka juga tidak berpuasa,” lanjut Kiai Penghulu. “Kakang Penghulu, jangan salah terima. Aku ini kan Kalifatullah, berbeda dengan rakyat kebanyakan kan?” kata Sultan Agung. Kiai Penghulu pun membenarkan pernyataan Sultan Agung. Namun, menurutnya, menjadi kalifatullah itu adalah menjadi wakil Allah di muka bumi, yang menjadi penguasa keadilan seluruh jagad. Memiliki jasad yang sama dengan rakyat kebanyakan. Juga memiliki syahwat, memiliki keinginan untuk makan, tidur, bangun tidur. Juga bisa lupa, kaget, tertawa, sakit, meninggal, seperti haknya rakyat kebanyakan. Karena itu, menurut Kiai Penghulu, sebaiknya Sultan Agung tetap berpuasa di bulan Ramadhan karena rakyat kebanyakan juga berpuasa. Mendengar penjelasan itu, Sultan Agung tertawa. Lalu bertanya, “Puasanya rakyat kebanyakan itu seperti apa?” Kiai Penghulu pun menjelaskan, bahwa rakyat kebanyakan setiap bulan Ramadhan bangun jam tiga pagi untuk sahur. Sepanjang hari mereka tidak makan minum. “Ketika kelelawar sudah beterbangan di sore hari, itulah waktunya berbuka,” kata Kiai Penghulu. Kelelawar akan terbang mencari makan saat matahari tenggelam. “Apa sudah benar-benar berpuasa jika melakukan hal itu,” tanya Sultan Agung. Kiai Penghulu pun menjawab, seperti itulah syariat berpuasa di bulan Ramadhan. Maka Sultan Agung pun lantas berpuasa Ramadhan. (mif)

Read More

Ketika Panglima Perang Mataram Membuat Peluru dari Timah Panas dengan Tangan Kosong di Palembang

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Raja Mataram Sultan Agung sedang berkunjung ke Banten didampingi Panembahan Puruboyo. Saat di Banten itu, Panglima Perang Mataram Panembahan Puruboyo mendapat informasi jika Raja Palembang hendak menyerbu Mataram. Kanjeng Adipati Gusti Pangeran Adipati Panembahan Puruboyo merupakan kakak beda ibu dari ayah Sultan Agung, Prabu Anyokrowati. Ia merupakan panglima perang Mataram yang sakti. Babad menceritakan, ia bisa membuat peluru menggunakan tangan kosong. Ini berbeda dengan cara orang Palembang yang membuat peluru dengan cara dicetak. Pasukan Palembang sudah berlatih siang malam, segala jenis senjata sedang dibuat. Meriam, bedil, peluru dari timah, baja, besi terus dibuat. Mendapat informasi itu, Panembahan Puruboyo lalu menyamar menjadi pekatik (juru tuntun kuda raja). Ia diam-diam pergi ke Palembang. Niat Raja Palembang menyerbu Mataram lantaran Raja Palembang telah mendengar kekuatan Sultan Agung yang sering menaklukkan daerah-daerah lain. Ia ingin menguji kekuatan Mataram. Setiba di Palembang, ia mendengar banyak cerita dari rakyat Palembang mengenai persiapan Palembang menyerbu Mataram. Ia pun diam-diam mencari tahu tempat-tempat yang perlu ia datangi. Salah satu yang harus ia datangi adalah tempat pandai besi membuat senjata. Ia begitu terkejut begitu melihat para pandai besi menyiapkan senjata yang dibutuhkan untuk perang. Kehadiran Panembahan Puruboyo pun tidak ada yang mencurigainya. Begitu banyak pandai besi yang bekerja membuat senjata yang diperlukan. Panembahan Puruboyo mendengar, para pandai besi itu selama bekerja selalu membicarakan rencana penyerbuan ke Mataram. Ia pun mendekati pandai besi yang sedang membuat meriam dan peluru. Ia pun memulai pembicaraan. “Ternyata peribahasa desa mawa cara, negara mawa tata itu benar adanya. Di sini orang membuat peluru dicetak. Di tempat saya orang membuat peluru tidak dicetak,” kata Panglima Perang Mataram itu. Yang diajak bicara tertawa mendengar pernyataan Panembahan Puruboyo. “Ki Sanak ini ada-ada saja, mana ada orang membuat peluru dicetak. Seberapa besar cetakan yang diperlukan untuk mencetak orang yang membuat peluru itu?” tanya pandai besi Palembang itu. “Maksud saya, bukan orangnya yang dicetak. Di tempat saya kalau membuat peluru tidak dicetak,” kata Panembahan Puruboyo mengoreksi kata-katanya. “ Di sini pun begitu, Kalau sudah jadi peluru yang tidka dicetak. Yang dicetak itu kan bakal peluru,” sahut pandai besi Palembang. Panembahan Puruboyo merasakan pernyataannya salah lagi. Ia pun segera mengoreksinya. “Betul Ki Sanak, memang berbeda. Di tempat saya membuat peluru itu dilakukan dengan cara timah yang masih mendidih dipelintir-pelintir pakai tangan sampai bulat. Bentuk memang kasar, tetapi lebih cepat pengerjaannya,” kata Panembahan Puruboyo. Para pandai besi Palembang yang mendengar tentu pada tertawa. Bagi mereka tidak mungkin membuat peluru dilakukan dengan cara itu. Mereka pun menanyakan daerah asal dan jati diri Panembahan Puruboyo. “Saya hanya orang desa di wilayah kekuasaan Mataram yang menjadi tetangga Palembang. Nama Saya Pak Jadhug,” jawab Panembahan Puruboyo. Pandai besi Palembang lalu menduga yang bisa membuat peluru dengan tangan kosong bisa jadi hanya para pembesar di Mataram, seperti para bupati dan para panglima. “Kalau seperti Pak Jadhug mana mungkin bisa melakukannya? Beda kalau disuruh membuat klepon, pasi bisa,” kata pandai besi Palembang. Panembahan Puruboyo pun membantahnya. Kata dia, tidak hanya pembesar yang bisa membuatnya. Rakyat biasa pun bisa membuat peluru dengan tangan kosong. Mereka pun meminta bukti, lalu meminta Panembahan Puruboyo menunjukkan kebisaannya membuat peluru. Panembahan Puruboyo pun segera mengambil timah mendidih dengan kedua tangannya, lalu ia adon sampai membentuk perlu bundar. Besarnya tidak berbeda dengan peluru yang mereka buat dengan cetakan. Dalam waktu sekejap, Panembahan Puruboyo telah membuat beberapa peluru, ketika pandai besi Palembang belum menyelesaikan satu peluru yang dicetak. Pandai besi lainnya pun berkerubung melihat keahlian Panembahan Puruboyo. Mereka meninggalkan pekerjaan mereka. Penanggung jawab di pembuatan senjata itu pun marah melihat hal itu. “Setan alas Mataram,” kata dia. Ia pun menuduh Panembahan Puruboyo sebagai mata-mata Mataram. Mendengar teguran itu, Panglima Perang Mataram itu pun berusaha menjauh, seperti orang sedang ketakutan. Ia menyandar pada meriam-meriam yang ada di situ. Meriam-meriam itu pun menjadi gepeng terkena tubuh Panembahan Puruboyo. Para pandai besi yang kemudian berganti gemetaran. Orang yang tadi menegur Panembahan Puruboyo segera meminta prajurit menangkap Panembahan Puruboyo. Begitu prajurit berbondong-bondong hendak menangkapnya, Panembahan Puruboyo lalu menjentik meriam-meriam dengan jarinya. Meriam-meriam terlempar ke arah orang-orang yang mengepungnya. “Hai, para prajurit Palembang, saya tidak bersalah. Jika kalian tunduk pada saya surga imbalannya. Jika tidak, tangkaplah meriam-meriam ini,” kata Panglima Perang Mataram itu sambil menjentik meriam. Para prajurit itu pun tak berdaya. Yang masih bisa melarikan diri segera melapor ke Patih yang kemudian melapor ke Raja Palembang. (mif) Baca juga :

Read More

Sejarah Nama Jagakarsa dan Perkembangan nya Hingga Saat ini

Jakarta — 1miliarsantri.net : Disalah satu wilayah Jakarta terdapat sebuah tempat yang bernama Jagakarsa dan menjadi buah bibir setelah terbongkarnya penemuan empat jenazah yang diduga menjadi korban pembunuhan yang dilakukan ayah kandungnya sendiri PD (41 tahun). Keempat jasad tersebut adalah V (6 tahun), S (4 tahun), A (3 tahun), dan A (1 tahun) yang ditemukan di sebuah rumah kontrakan di wilayah Jagakarsa. Jagakarsa yang kini mencakut enam kelurahan, yakni Kelurahan Serengseng Sawah, Jagakarsa, Lenteng Agung, Cipedak, Tanjung Barat, dan Ciganjur, ternyata punya sejarah panjang. Nama Jagakarsa berasal dari nama seorang pangeran dari Kesultanan Mataram Yogyakarta. Seperti dirawikan Zaenuddin HM dalam buku karyanya berjudul “212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe,” yang diterbitkan Ufuk Press pada Oktober 2012, nama Jagakarsa berasal dari nama seorang panglima perang Kerajaan Mataram Yogyakarta yakni Raden Bagus Jagakarsa Surobinangun. Saat itu Raden Jagakarsa ikut berperang saat Kerajaan Mataram menyerang Belanda di Kota Batavia pada tahun 1628. Saat itu, Raden Jagakarsa menolak pulang karena gagal menaklukkan benteng Batavia. Dia menolak pulang ke Kerajaan Mataram karena takut kena hukuman penggal kepala. Ia pun memilih menetap di Batavia dan menikah dengan Putri Pajajaran yang saat itu tinggal di wilayah yang sekarang bernama Ragunan. Dari pernikahan tersebut lahir 2 anak yaitu Raden Mas Mohammad Kahfi dan Raden Mas Aria Kemang Yudhanegara. Rupanya Raden Jagakarsa mempunyai silsilah atau keturunan yang tinggal dan menetap di daerah tersebut. Pada masa lampau namanya begitu kesohor, sehingga orang-orang menyebut kawasan itu daerah Jagakarsa dan hingga kini diabadikan menjadi nama tempat tesebut. Jagakarsa dahulu adalah hutan belantara. Selepas penyerbuan tentara Kerajaan Mataram ke benteng VOC pada 1628 dan 1629, hutan-hutan di pinggiran Batavia dibabat. Pada 1628 saat pembukaan lumbung padi dari Karawang sampai wilayah selatan Batavia untuk mengepung VOC di Pasar Ikan, Jagakarsa termasuk wilayah yang dibuka. Awalnya, wilayah tersebut dijadikan sebagai tangsi dari pasukan Raden Prembun (De Haan, 1973) kemudian saat penyerbuan dan Mataram mengalami kegagalan, Jagakarsa dijadikan tempat pelarian pasukan Mataram. Pasukan VOC hanya mengejar pasukan Mataram hingga wilayah Jatinegara. Sisa-sisa pasukan di Jagakarsa dikenal sebagai istilah: Kaum Ganjuran, dari sinilah kemudian berkembang kata Ciganjur, Ganjuran adalah nama sejenis pohon Jati yang ada di sekitaran wilayah Jagakarsa. Kaum Ganjuran sendiri kemudian mengenal pemimpinnya bernama Surodipo yang dipanggil Kyai Raden Suro. Pada saat penyerbuan ke Batavia tahap dua tahun 1629, Surodipo dibawa ke Mataram dan langsung menerima titah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo untuk memimpin 15 panatus (pasukan yang terdiri 100 orang) menyerbu wilayah Batavia. Pasukan Surodipo sendiri diambil dari wilayah Karawang, Pamanukan dan Indramayu, dari sinilah kelak dialek Jagakarsa dikenal sebagai ‘betawi ora’. Pasukan Surodipo di bawah komando Tumenggung Wiroguno. Pada serangan kedua tahun 1629, Pasukan Surodipo mengalami kehancuran total. Sementara Pangeran Wiroguno melarikan diri ke wilayah yang sekarang disebut Pejaten. Surodipo saat itu ditangkap di sekitar Gunung Sahari. Dia syahid setelah kepalanya dipenggal oleh Kapten Van Smurtssen seorang perwira dari pasukan bayaran VOC. Anak Surodipo yang bernama Raden Jagakarsa saat itu masih berusia 14 tahun, berhasil menyelamatkan diri ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Duren Tiga, dulu wilayah tersebut adalah hutan yang banyak dikelilingi pohon duren yang tumbuh liar. Dari Duren Tiga, Raden Jagakarsa kemudian diselamatkan oleh gerilyawan Wiroguno dan dibawa ke Tumenggung Wiroguno. Wiroguno sendiri membangun markas perlawanan VOC selama 3 (tiga) tahun, lalu pada 1632 Wiroguno membuat sebuah keputusan bahwa wilayah di luar Wiragunan (sekarang Pejaten, Ragunan dan Cilandak) adalah milik dari Raden Jagakarsa. Lalu Raden Jagakarsa menjadi penguasa wilayah ini sampai pada tahun 1685. (wink) Baca juga :

Read More

Sejarah Ditemukannya Planet Kerdil

Surabaya — 1miliarsantri.net : Tata Surya memiliki delapan planet dan lima planet kerdil. Apa yang membedakan keduanya? Kata “planet” berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “bintang pengembara”. Hal ini lantaran selama ribuan tahun, manusia telah menyaksikan planet-planet berubah posisinya di langit malam. Begitulah cara orang dahulu menemukan lima planet: Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus. Para astronom menggunakan teleskop menemukan Uranus pada tahun 1781 dan Neptunus pada tahun 1846, dan Pluto pada tahun 1930. Sifat planet yang berubah posisinya tidak seperti bintang, yang tampak diam dan tidak bergerak jika dilihat dengan mata telanjang. Seiring waktu dan perkembangan teknologi, ilmuwan kemudian menemukan lebih banyak objek di luar Neptunus, di suatu tempat yang disebut sabuk Kuiper. Sabuk Kuiper adalah tempat di luar angkasa yang menyimpan “sisa-sisa” tata surya, khususnya benda-benda es kecil. Ilmuwan lantas menemukan tiga objek kecil yang diberi nama Eris, Haumea, dan Makemake yang ditemukan pada awal hingga pertengahan tahun 2000-an. Objek-objek ini cukup besar untuk dianggap sebagai planet. Tiga objek ini semuanya berukuran kira-kira sama dengan Pluto. Para astronom kemudian menduga bahwa kemungkinan terdapat lebih banyak benda es di sabuk Kuiper. Mereka mulai bertanya-tanya: berapa banyak planet yang bisa diidentifikasi di tata surya kita? Dua puluh? Tigapuluh? Seratus? Definisi planet kerdilPada tahun 2006, dan setelah banyak perdebatan, Persatuan Astronomi Internasional (IAU) menghasilkan definisi baru untuk sebuah planet. Pada tahun 2006 itulah istilah planet kerdil pertama kali digunakan. Menurut kesepakatan IAU, Sebuah planet harus mengorbit matahari secara langsung. Planet juga harus cukup besar untuk memiliki bentuk fisik bulat atau bulat. Selain itu, planet ini harus “membersihkan lingkungannya”. Artinya, selain bulan-bulan yang biasanya mengikutinya, planet tidak boleh berbagi orbit dengan objek lain yang berukuran sebanding. Objek yang hanya memenuhi dua kriteria pertama, namun tidak memenuhi kriteria ketiga kini disebut planet kerdil. Pluto diturunkan dari planet menjadi planet kerdilPada 2006 Pulo kehilangan statusnya sebagai planet dan kini tergolong sebagai planet kerdil. Pluto tidak memenuhi persyaratan ketiga karena ada benda-benda es lainnya di sabuk Kuiper yang berada dalam jalur orbit Pluto. Keputusan kontroversial itu masih diperdebatkan oleh para ilmuwan hingga hari ini. Pada saat yang sama Pluto diturunkan statusnya, ada objek-objek lain yang mendapat status baru. Ceres, yang dulunya dianggap sebagai asteroid, kini diklasifikasikan sebagai planet katai. Ceres berada di sabuk asteroid utama, mengorbit antara Mars dan Jupiter. Jika dijumlahkan Pluto, Ceres, Eris, Haumea, dan Makemake maka jumlah planet kerdil di tata surya kita menjadi lima. Namun kemungkinan daftar planet kerdil itu akan bertambah. Ada ratusan kandidat, hampir semuanya berada di sabuk Kuiper, berpotensi memenuhi kriteria sebagai planet katai. Karakteristik planet kerdil Planet kerdil tidak seperti Bumi. Sesuai dengan namanya, ukurannya jauh lebih kecil. Pluto dan Eris meruakan planet kerdil terbesar, memiliki diameter kurang dari seperlima Bumi. Massanya juga lebih sedikit. Bumi memiliki massa sekitar 6.400 kali lebih besar daripada Ceres. Karakteristik lain, planet kerdil memiliki sifat dingin. Suhu rata-rata Pluto sekitar minus 240 Celcius. Mungkinkah ada kehidupan di planet kerdil?Ada tiga hal yang dibutuhkan untuk kehidupan: air cair, sumber energi, dan molekul organik atau molekul yang mengandung karbon. Berdasarkan penelitian, lebih dari 161 kilometer di bawah permukaan Pluto, mungkin terdapat lautan air cair yang sangat besar. Hal ini juga mungkin ada di planet-planet kerdil di sabuk Kuiper lainnya. Ceres juga memiliki air bawah permukaan, sisa-sisa lautan global kuno. Molekul organik, yang berlimpah di seluruh tata surya kita, telah ditemukan di Ceres dan Pluto. Satu-satunya unsur yang hilang dari semua planet kerdil untuk menampung kehidupan adalah sumber energi. Sinar matahari tidak akan berfungsi, khususnya bagi planet-planet kerdil di sabuk Kuiper. Lokasi itu mereka terlalu jauh dari matahari. Untuk mencapai sabuk tersebut, cahaya harus menempuh jarak lebih dari 4,4 miliar km. Pada saat sinar matahari tiba di dunia yang jauh ini, sinar matahari sudah terlalu lemah untuk memberikan panas yang diperlukan. Selain itu, semua planet kerdil terlalu kecil untuk menampung panas dalam yang tersisa dari pembentukan tata surya. Namun, hingga saat ini para ilmuwan masih mencari kemungkinan adanya kehidupan lain di luar Bumi. Lima planet kerdil, apa saja? Ada lima planet kerdil yang diakui oleh IAU. Ilmuwan memperkirakan mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan planet kerdil mungkin ada di tata surya. PlutoPluto adalah planet kerdil yang terbesar. Ketika ditemukan pada 1930, Pluto disebut sebagai planet kesembilan. Pluto memiliki lima bulan. Orbit Pluto tidak melingkar seperti planet lain. Pluto sebenarnya melintasi orbit Neptunus. Artinya bahwa Pluto terkadang lebih dekat ke Matahari daripada Neptunus. Pluto membutuhkan waktu hampir 250 tahun untuk menyelesaikan satu perjalanan mengelilingi Matahari. ErisEris terletak di luar orbit Neptunus. Eris menyelesaikan orbit mengelilingi Matahari setiap 557 tahun.Eris berukuran lebih kecil dari Pluto namun mengandung sekitar 25 persen lebih banyak materi. Penemuan Eris pada tahun 2005 mungkin merupakan titik balik yang memaksa para astronom untuk mempertimbangkan kembali klasifikasi Pluto sebagai sebuah planet. CeresCeres merupakan objek terbesar di sabuk asteroid antara orbit Mars dan Jupiter. Awalnya Ceres dianggap sebagai asteroid. Namun, bentuknya yang hampir bulat berarti bahwa benda berbatu dan es ini tidak dianggap sebagai asteroid. Ceres membutuhkan 4,6 tahun untuk menyelesaikan orbit mengelilingi Matahari. Para ilmuwan menduga bahwa planet kerdil yang unik ini bahkan mungkin memiliki lautan air cair yang tersembunyi di bawah lapisan es. MakemakeMakemake ditemukan hanya beberapa bulan setelah Eris ditemukan oleh tim astronom yang sama. Makemake terletak di Sabuk Kuiper. Astronom mengatakan bahwa Makemake kemungkinan berwarna kemerahan, mirip dengan Pluto. HaumeaHaumea ditemukan pada 2004 di Sabuk Kuiper di luar orbit Neptunus. Butuh waktu 285 tahun bagi Haumea untuk menyelesaikan perjalanan mengelilingi Matahari, Haumea berotasi dalam waktu kurang dari empat jam. (har) Baca juga :

Read More

Perpustakaan Bayt Al Hikmah Bukti Islam Menguasai Pendidikan, Berdiri Pada Masa Khalifah Al-Ma’mun

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pada saat Dinasti Abbasiyah masih berdiri, salah satu keberhasilannya ditunjukkan dengan pendirian perpustakaan terbesar dalam sejarah Islam, yaitu Bayt Al Ḥikmah. Lalu, apa saja Fakta sejarah tentang Bayt Al Ḥikmah? Islam pernah mengalami sebuah masa kejayaan. Di mana Islam memiliki semuanya, mulai dari kerajaan yang berpengaruh dan besar, pemeluk yang banyak, dan ilmuwan dengan pengetahuan jenius mereka. Salah satu bukti sejarah bahwa Islam pernah menjadi pusat pendidikan atau pemimpin dalam bidang ilmu pengetahuan, adalah didirikannya perpustakaan terbesar bernama Bayt Al Ḥikmah. Dinasti Abbasiyah pernah mengalami puncak kejayaannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan sains. Yakni pada masa khalifah ketujuh, Khalifa Al-Ma’mun yang berkuasa pada tahun 813-833 M. Hal ini sebagaimana dinukil dari buku Filsafat Sains: Menurut Ibn Al-Haytham karya Usep Mohamad Ishaq. Kejayaan ini ditandai dengan didirikannya perpustakaan bernama Bayt Al Ḥikmah atau sering disebut juga sebagai “House of Wisdom.” Kemudian, ini adalah perpustakaan terbesar yang dimiliki dunia Islam saat itu. Sebagai perpustakaan terbesar yang berisi lebih dari 601.000 buka, tentu saja Bayt Al Ḥikmah menyimpan banyak sekali buku-buku dan kitab berbagai ilmu. Lalu, apa saja isinya? Bayt Al Ḥikmah mengoleksi setidaknya 200.000 volume buku di dalamnya. Bahkan, sumber-sumber yang lain menyebutkan, Bayt Al Ḥikmah memiliki buku dengan 601.000 volume dan ditambah dengan mushaf Al-Qur’an sebanyak 2.400 buku. Selain menyediakan buku yang lebih beragam daripada perpustakaan-perpustakaan di Basrah, Bayt Al Ḥikmah juga memiliki balai pengamatan untuk pencerapan astronomi, biro penerjemahan, penyalinan manuskrip, dan lembaga penelitian ilmuah. Ada banyak sekali koleksi terjemahan karya sarjana Yunani di Bayt Al Ḥikmah, termasuk di bidang filsafat, geometri, mekanika, musik, aritmatika, dan pengobatan. Bahkan, dalam buku Sejarah Peradaban Islam karya Akhmad Saufi dan Hasmi Fadillah menyebutkan, di dalam Bayt Al Ḥikmah yang besar ini juga disediakan tempat ruangan untuk belajar. Usaha penerjemahan buku berbahasa asing ke bahasa Arab sudah ada sejak zaman pemerintahan Abdullah Al-Muqaffa. Namun, puncak pencapaiannya baru berjalan lebih teratur dan meluas pada pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Mengutip buku Kelestarian Bidang Penterjemahan yang diedit oleh Hasuria Che Omar dan Rokiah Awang, pembangunan Bayt Al Ḥikmah berdampak pada pesatnya gerakan penerjemahan buku-buku bahasa asing, seperti Greek dan Parsi ke bahasa Arab. Gerakan penerjemahan berbagai buku ke bahasa Arab bertujuan agar masyarakat Islam bisa memahami ilmu pengetahuan dari berbagai sumber walaupun mereka tidak mahir dalam bahasa asing tersebut. Tokoh yang saat itu banyak melahirkan banyak buku terjemahan antara lain adalah Al-Masajuwaih, Al-Baktisyu’, dan Al-Hunain Ishak yang merupakan seorang Kristian. Tak hanya itu, ada banyak pula rakyat jelata yang turut andil dalam bidang penerjemahan buku di Bayt Al Ḥikmah. Tokoh-tokoh itu contohnya Musa Syakir Al-Munajjim atau Muhammad, Ahmad, dan Al-Hasan. Para penerjemah bukanlah melakukan pekerjaan ini tanpa imbalan apa pun, melainkan digaji oleh khalifah saat itu. Hunai Ishak saat itu mendapatkan upah dari Khalifah Al-Ma’mun emas seberat buku-buku yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, khalifah Al-Ma’mun juga mendorong golongan hartawan untuk memberikan upah dan hadiah kepada penerjemah yang menyumbangkan karyanya. Saat itu, anak-anak Musa Al-Munajjim membayar para penerjemah sebanyak 500 dinar sebulan. (yus) Baca juga :

Read More