Ketika Sultan Agung Mataram Merenungkan Pilihan ‘Sunat atau Mati’ untuk Tawanan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Para utusan Kompeni yang pernah bertemu dengan Sultan Agung menggambarkan Raja Mataram itu dalam catatan-catatan mereka. Ada yang menyebut Sultan Agung memiliki keingintahuan yang tinggi, seperti singa ketika melihat sekeliling, lamban berbicara, tetapi bersifat tegas. Ketika pilihan “sunat atau mati” yang diberlakukan Sultan Agung terhadap para tawanan diprotes oleh juru mudi kapal Kompeni yang juga menjadi tawanan, Sultan Agung merenungkan isi protes itu. Para tawanan yang sedang dijemur itu kemudian diperintahkan untuk duduk di tempat yang teduh. “Ini sudah merupakan tanda pengampunan. Kemudian ia bertanya kepada apakah mereka bersedia dikhitan bila hidup mereka diperpanjang satu bulan,” tulis HJ de Graaf. Para tawanan itu lalu menyampaikan rasa terima kasihnya karena tidak jadi dihukum mati hari itu. Namun mereka tetap menyatakan memilih mati daripada harus disunat. Setelah satu bulan berlalu, ketika putusan hukuman mati belum dilakukan, para tawanan itu melarikan diri. Tetapi mereka tertangkap. Mendengar adanya tawanan yang berusaha melarikan diri, Sultan Agung meminta nama-nama mereka. Setelah membaca nama-namanya, pandangan Sultan Agung menerawang ke atas. Lalu berkata, “Orang Belanda tidak bersalah, tetapi orang-orang saya yang ditahan di Jakatra yang tidak berusaha datang kembali pada saya itu yang salah.” Lalu Sultan Agung memerintahkan agar orang-orang Belanda yang menjadi tawanan itu dijaga baik-baik. Adalah Abraham Verhulst, orang Belanda yang menjadi salah satu tawanan Mataram, yang membuat Sultan Agung merenugkan ketetapannya terhadap tawanan. Ia merupakan anak muda yang menjadi juru mudi kapal Kompeni. “Apakah agama Islam mengajarkan membunuh atau mengkhitan seseorang yang membawa hadiah bagi Raja, yang mencari damai dan yang ingin menganggap Raja sebagai sahabatnya? Raja akan berbuat aib di kalangan semua raja Islam, sebab ini bukan dalam keadaan perang,” kata Verhulst. Verhulst menyampaikan menyampaikan kata-kata protesnya itu kepada juru bahasa. Ia meminta juru bahasa meneruskannya kepada Sultan Agung. “Siapakah orang Belanda yang melarang saya berbuat demikian?” tanya Sultan Agung. “Seorang Belanda yang tidak mau dikhitan,” jawab pejabat keraton yang menyampaikan protes Verhulst kepada Sultan Agung. Lebih dari sebulan kemudian, Verhulst termasuk tawanan yang tertangkap ketika hendak melarikan diri pada 1632. Sejak 1631, Mataram memiliki tawanan orang-orang Belanda mencapai 83 orang. Verhulst dan kawan-kawan mencoba melarikan diri ketika ia dipekerjakan di kepabeanan Trayem, di perbatasan Kedu-Yogyakarta sekarang. Setelah upaya pelariannya itu, Verhulst dan kawan-kawan kemudian dipasung di dalam tahanan. Pada Januari 1635, pasung Verhulst dilepas. Bersama 10 tawanan lainnya ia dipekerjakan di kepabeanan Jogoboyo. Di kepabeanan inilah kemudian ia sukses melarikan diri bersama kawan-kawannya pada pukul tiga dini hari, Mei 1636. Ia bisa mencapai Banten, menggunakan perahu lewat laut selatan. Perahu mereka sempat terbalik, tetapi mereka bisa membalikkannya lagi. “Dari sebatang bambu dan bahan kain mereka membuat layar darurat dan melanjutkan perjalanan,” tulis De Graaf. (mif) Baca juga :

Read More

Begini Gambaran Batavia pada 1670 Yang Dituangkan Dalam Kanvas

Jakarta — 1miliarsantri.net : Sejarah ketika Batavia dikepung 10 ribu prajurit Mataram pada 1629, dituangkan dalam kanvas oleh seorang pelukis Belanda, Peter van den Boeche, yang kemudian melukis Batavia in Vogelvlucht (Batavia dalam Pandangan Mata Burung). Pada abad ke-17 itu ada beberapa pelukis Belanda yang datang. Ada Andrian Minden yang melukis Batavia in Vogelvlucht pada 1627 pada masa gubernur jenderal Kompeni JP Coen. Bagaimana gambaran kota Batavia yang dua kali diserbu pasukan Raja Mataram Sultan Agung itu? Dalam dua kali penyerbuan itu, Sultan Agung mengalami kekalahan. JP Coen berhasil mempertahankan Batavia, kendati kemudian ia jatuh sakit dan meninggal dunia. JP Coen, yang menjadi gubernur jenderal pada 1619-1623 dan 1627-1629, merupakan salah satu gubernur jenderal Kompeni yang wajahnya digambar oleh pelukis Van Meer. Pelukis lainnya, ada Andries Beekman yang datang di Batavia sebagai serdadu biasa. “Ia memberi gambaran yang bagus sekali mengenai kasil, benteng, dan loji di Banten, serta Batavia dan Jepara,” tulis sejarawan Universitas Gadjah Mada Djoko Soekiman. Ada pula pelukis J Rach yang melukis rumah dinas gubernur jenderal Kompeni Reinier de Klerck di Moleenvlet. Reinier menjabat pada 1777-1780, rumahnya sekarang menjadi Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Pelukis lainnya, ada Jacob Jansen Coeman, yang menikahi putri pelukis Rembrant, tiba di Batavia pada 1663. Ada pula pelukis Johan Nienhofs yang melukis tokoh-tokoh penting Kompeni di Batavia pada 1670-an. “Dari hasil lukisan para pelukis, ditambah keterangan tertulis para musafir atau karya sastra pada waktu itu, kita dapat merekonstruksi kembali peninggalan-peninggalaan bangunan dan gaya hidup masyarakat Indis,” tulis sejarawan Universitas Gadjah Mada Djoko Soekiman. Gambaran mengenai Batavia dikutip oleh Djoko Soekiman dari karya pelukis Johan Nienhofs pada 1670, Ini adalah tahun ketika Amangkurat II sewaktu masih menjadi putra mahkota Mataram, untuk kedua kalinya mengirim utusan persahabatan ke Batavia. Begini keterangan Nienhofs yang dikutip Djoko Soekiman: Kastil Batavia dikelilingi oleh dinding tembok dengan parit berkeliling, pada sisi luarnya terdapat empat bastion (benteng) di keempat sudutnya. Masing-masing benteng itu bernama (dari arah barat daya ke tenggara): Diamant, Robijn, Saphier, dan Parel. Di tengah-tengah kastil ini terdapat jalan yang membujur arah selaran-utara. Di sebelah selatan terletak landpoort yang mengarah ke utara, di mana terletak waterpoort ke arah laut. Di tepi jalan besar dekat landpoort terdapat lapangan kecil untuk baris-berbaris (parade pleintje) dengan ukuran 140×35 meter. Dari arah barat dari lapangan ini terdapat patung (lapangan ini disebut parade pleintje atau alarm pleintje, yang digunakan untuk berkumpul apabila kota dalam kreadaan bahaya). Di seberang jalan dari lapangan tersebut terletak Generaal Gouvernement, yaitu rumah untuk tempat tinggal gubernur jenderal, ruang sidang (raad zaal), dan sebagainya. Di sebelah kiri gedung ini terdapat rumah jaga, juga didirikan rumah tempat tinggal para penjaga (dekat landpoort). Di dekat gedung ini ada bangunan yang denahnya berisi delapan bangunan, yaitu bangunan gereja (hofkerkje), dan di arah belakang bangunan terletak rumah tempat tinggal komandan setempat yang disebut kapitein van het kasteel. Di paradeplein, setiap sore hari diadakan baris-berbaris oleh pasukan setempat. Pada peristiwa-peristiwa khusus gubernur jenderal berdiri pada bordes, misalnya untuk melihat pasukan yang akan berangkat ekspedisi. Kemudian diadakan pesta-pesta untuk menghormati mereka yang akan berangkat menjalani ekspedisi itu. Pada 1669 dengan kedatangan para utusan dari Makassar, dibuatlah rumah-rumah jaga, antara lain dibangun rumah-rumah jaga di atas hofkerkje, dan juga di atas bangunan-bangunan yang terletak di seberang jalan dari bangunan Generaal Gouvernement. (yan) Baca juga :

Read More

Ketika Kenduri di Kraton Tiba-tiba Bubar

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Ambengan (nasi hidangan untuk kenduri) sudah tersaji dengan segala lauk-pauknya. Patih, para sentana, para adipati, para bupati, sudah hadir. Namun, kenduri belum juga bisa dimulai karena penghulu belum datang. Sultan Agung pun segera meminta abdi dalem untuk menjemput Penghulu Keraton. Ketika Penghulu Keraton memimpin doa, kenduri malah bubar setelah mendapat sahutan amin yang ketiga kalinya. Sebelum penghulu datang, beberapa abdi dalem berangkat ke rumah penghulu memenuhi perintah Sultan Agung untuk menjemputnya. Tiba di rumah penghulu, keadaan sangat sepi. Pendopo rumah kosong, tak ada orang. Hal itu membuat mereka langsung menuju ke rumah utama di belakang pendopo. Namun, mereka mendapati pintu yang terkunci rapat. Memberi salam tak ada jawaban, mencoba membuka pintu tak ada yang berhasil. Melihat ke sekeliling, mereka juga tidak menemukan sesuatu. Hewan piaraan yang biasanya ada di kandang, juga tidak ada. Tiba-tiba ada suara dari dalam rumah utama. Pintu utama terbuka, disusul pintu samping dan belakang juga terbuka. Tetapi, mereka juga tidak menemukan siapa-siapa, selain rodayang terus berputar. Rumah yang biasanya ada perabot, kali ini pun kosong. Para abdi dalem itu tentu saja heran. Kemudian memutuskan untuk segera pulang, melapor kepada Sultan Agung. Ketika mereka melaporkan bahwa tidak bisa menemukan penghulu, Sultan Agung menyatakan jika penghulu sudah hadir di acara kenduri. Para abdi dalem semakin heran. Sultan Agung segera meminta Penghulu Keraton memulai kenduri. Artinya Penghulu Keraton harus segera membacakan doa. Namun, penghulu itu menolak berdoa. Ia menyatakan hanya bersedia menghadiri kenduri, tetapi tidak mau berdoa, lalu menyarankan kepada Sultan Agung agar menunjuk khatib yang berdoa. Megapa Penghulu Keraton menolak memimpin doa? “Duh Gusti, jika saya yang memimpin doa, hidangan hajat Gusti pasti tidak bisa disantap,” kata Penghulu Keraton kepada Sultan Agung. Sultan Agung menolak saran menunjuk khatib memimpin doa. Sultan Agung hanya menginginkan penghulu yang memimpin doa kenduri hari itu. Penghulu Keraton melihat Sultan Agung marah. Oleh karena itu, ia pun segera memulai memimpin doa. Baru mendapat sahutan sekali amin dari yang hadir, terdengar suara berisik dari ambengan. Mendapat dua amin, ambengan bergerak-gerak, dan pada sahutan amin ketiga, suara dari ambengan semakin riuh. Nasi telah menjadi beras lagi, ingkung menjadi ayam hidup lagi, ikan hidup lagi, besek bambu jadi bambu batangan lagi, membuat yang hadir pada kaget. Sultan Agung pun dibuat kaget karenanya. Tetapi, di dalam hati Sultan Agung memuji kehebatan Penghulu Keraton. Lalu ia meminta yang hadir untuk bubar. Juru masak akan menyiapkan ambengan lagi untuk kenduri ulang di sore hari. Kenduri akan dilakukan lagi pada jika ambengan sudah siap lagi. Orang-orang pun membicarakan kehebatan Penghulu Keraton, sebagai orang yang layak memegang hukum keraton. Penghulunya saja memiliki kesaktian luar biasa, maka mereka bangga jika saat itu Sultan Agung sudah ditakuti oleh penguasa negeri-negeri lain. Artinya, yang sakti tentu saja tidak hanya penghulu. (mif) Baca juga :

Read More

Menelusuri Sejarah Hari Ibu dan Dilaksanakan nya Kongres Perempuan Pertama di Indonesia

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Di Indonesia setiap tanggal 22 Desember kita memperingati Hari Ibu. Di berbagai postingan status bisa dipastikan diwarnai dengan puja puji kita atas jasa dan pengorbanan ibu kita. Tidak lupa disertai doa penuh cinta dari anak kepada orang tua khususnya ibu. Tentu ini harus diapresiasi dihargai karena merupakan hal yang terpuji dan juga mulia. Tapi tahukah kita bahwa Hari Ibu ditetapkan oleh SK Presiden RI Sukarno no 316 16 Desember tahun 1959. Berdasarkan penghormatan atas Kongres Perempoean Pertama 22 Desember 1928 di Pendapa Djojodipoeran Yogyakarta yang sekarang dipakai sebagai Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional DIY. Kongres tersebut yang pesertanya 1000 orang, tidak hanya dihadiri oleh para perempoean ibu-ibu, tapi tapi juga para gadis bahkan juga laki-laki sebagai peninjau. Kongres Perempoean pertama tersebut didorong oleh semangat Kaoem Perempoean atas kehidupan bangsa dan nasib perempuan pada masa itu. Semangat nasionalisme dan dorongan kepekaan atas masalah sosio kultural peran perempuan sangat menonjol. Ini bisa kita amati dengan judul pidato pidato pada Konggres tersebut. Melihat judul judul pidato diatas yang menjadi kepedulian perempoen pada waktu itu tidak hanya masalah domestik tapi juga masalah sosial, kultural bahkan kebangsaan. Perkara sekarang Hari Ibu lebih difokuskan pada seluruh pengorbanan hidup sosok ibu untuk anak dan keluarga dengan cinta seluas samudera. Tentu tidak bisa kita abaikan. Itu kongres perempoean, bahkan gadis-gadis pun yang belum jadi ibu ikut aktif terlibat. Pada waktu itupun usia misalnya Siti Mugaromah, Siti Soendari, Tien Sastrodiwirjo usianya masih 20-an tahun dan belum menjadi ibu. Masih relatif muda. Pada saat itu sudah jelas menunjukkan betapa perempuan Indonesia masa itu sudah berpikir dan bertindak melampaui jaman nya. Sadar atau tidak bahwa kehormatan manusia itu, tidak peduli laki laki atau perempuan, adalah dimilikinya kesadaran dan kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya. Memperingati hari ibu adalah memperingati hari perempuan. Memperingati hari MANUSIA dalam pengertian sadar menentukan pilihan pilihan hidupnya. (yus) Baca juga :

Read More

Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, Pejuang Wanita Aisyiyah

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Tokoh ini dikenal setelah pernikahannya dengan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Beliau lahir dengan nama Siti Walidah di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Setelah menikah, namanya lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Siti Walidah merupakan putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli. Ayahnya merupakan seorang penghulu keraton Yogyakarta. Sejak kecil Walidah selalu menjaga kehormatan sang ayah sebagai ulama yang disegani. Walidah kecil memang membatasi pergaulan dan hanya mengenyam pendidikan di rumah saja. Sebagai putri ulama keraton, ajaran Islam telah dia kenyam sedari dini. Beliau tidak belajar di sekolah formal seperti anak laki-laki pada umumnya. Namun, tekadnya untuk menuntut ilmu sangat kuat. Hampir setiap hari beliau menuntut ilmu keislaman dengan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon). Kemudian beliau menikah dengan sepupunya sendiri, KH Ahmad Dahlan. Keingintahuannya mengenai ilmu agama Islam semakin meningkat sejak menikah. Sebagai seorang wanita, beliau tidak hanya menjadi ibu rumah tangga biasa yang hanya di rumah saja. Walidah selalu ikut serta untuk berdiskusi dan menyampaikan pandangannya bersama tokoh Indonesia lainnya, seperti Jenderal Sudirman, Bung Karno, Kyai Haji Mas Mansur, dan Bung Tomo. Kepiawaiannya dalam berorganisasi dirintisnya dalam kelompok pengajian wanita dengan nama Sopo Tresno pada 1914. Meskipun belum berbentuk organisasi dengan segala macam aturannya, kelompok ini telah fokus pada kajian dakwah bagi kaum perempuan. Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat Alquran dan hadis yang membahas hak dan kewajiban perempuan. Perempuan diharapkan dapat mengetahui dan menerapkan kewajibannya sebagai manusia, istri, dan hamba Allah. Kelompok pengajian kemudian berubah nama menjadi Aisyiyah yang dicetuskan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah, antara lain, KH Muhtar, KH Ahmad Dahlan, KH Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin. Nama Aisyiyah diresmikan sebagai organisasi wanita Muhammadiyah pada 22 April 1917. Aisyiyah ketika itu diketuai oleh Siti Bariyah dan Nyai Dahlan duduk sebagai penasihat dan pelindung. Perjuangan Nyai Dahlan saat itu, yakni menghilangkan kepercayaan kolot yang dimiliki masyarakat Indonesia. Ajarannya, perempuan seharusnya dapat berjuang bersama dan duduk dalam posisi berdampingan, baik dalam institusi formal maupun dalam pendidikan. Beliau tidak hanya berdakwah, tetapi juga mengajari kaum perempuan dengan membuka asrama dan sekolah-sekolah putri serta kursus pemberantasan buta huruf bagi perempuan. Perjuangan Siti Walidah dan suaminya dalam mengembangkan organisasi tidaklah mudah. Suatu ketika saat melakukan perjalanan ke Banyuwangi, Nyai Ahmad Dahlan dan suami mendapat ancaman pembunuhan dari kelompok konservatif. Namun, tekad bajanya untuk mendidik perempuan tak pernah surut. Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi Ahmad Dahlan, yaitu Catur Pusat. Catur Pusat memiliki pengertian pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat ibadah. Organisasi Aisyiyah kemudian berkembang pesat dan saat kongres, Nyai Dahlan selalu memimpin baik di Boyolali, Purwokerto, bahkan hingga ke wilayah Jawa Timur. Saat KH Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan meneruskan perjuangan suaminya lewat Aisyiyah. Tahun 1926 saat Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai Dahlan membuat catatan sejarah. Dialah wanita pertama yang tampil memimpin kongres tersebut. Saat itu, dalam sidang Aisyiyah yang dipandunya duduk puluhan pria di samping mimbar. Mereka merupakan wakil pemerintah dan perwakilan organisasi yang belum memiliki organisasi kewanitaan dan wartawan. Seluruh pembicara dalam sidang tersebut merupakan kaum perempuan, hal yang tidak biasa pada masa itu. Pengaruhnya saat itu sempat tercatat pada media massa sebagai berita utama. Eksesnya semakin banyak kaum perempuan yang bergabung dengan Aisyiyah. Pengaruh Aisyiyah pun meluas di seluruh nusantara. Pada masa revolusi kemerdekaan, Aisyiyah sempat dilarang oleh Pemerintah Jepang saat itu. Namun, perjuangan Nyai Ahmad Dahlan beralih kepada pelayanan pejuang kemedekaan. Ia juga menyerukan kepada para siswa Muhammadiyah untuk bangkit melawan penjajah. Namun, perjuangannya harus terhenti hingga usianya mencapai 74 tahun pada 31 Mei 1946. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman di belakang Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Menteri Sekretaris Negara Mr AG Pringgodigdo dan menteri Agama Rasjidi mewakili pemerintah memberikan penghormatan terakhir saat pemakaman. Nyai Ahmad Dahlan juga mendapat anugerah Pahlawan Nasional oleh presiden Soeharto sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971. (mif) Baca juga :

Read More

Perbedaan Sifat Dua Pemimpin Muda Mataram

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Sultan Agung naik tahta menjadi pemimpin muda Mataram pada tahun 1613. Gubernur Jenderal Kompeni JP Coen menduga Sultan Agung berusia 20 tahun saat naik tahta. Pada usia 45 tahun, tahun 1628, Sultan Agung mengirim pasukan untuk menyerbu Batavia. Sebelum menyerbu Kompeni di Batavia, Sultan Agung rajin melakukan penaklukan, hingga wilayah kekuasaannya mencapai luar Jawa. Baru setahun naik tahta, pada 1614 ia menyerbu Surabaya, tetapi tidak langsung ke Surabaya, melainkan ke wilayah-wiayah sekutu Surabaya. Maka, sejak itu, penaklukan demi penaklukan dilancarkan. “Pada 1620 akan dimulai perang habis-habisan dengan Surabaya yang kuat,” tulis HJ de Graaf. Hingga akhirnya Surabaya takluk pada 1625, berarti Sultan Agung melakukan peperangan dengan Surabaya selama lima tahun. Bahkan ia sempat meminta bantuan Kompeni untuk bisa mengalahkan Surabaya, kendati Kompeni menolak permintaan itu. Sumber-sumber Jawa menyebut Sultan Agung meninggal pada 1645, tetapi De Graaf memperkirakan Sultan Agung meninggal pada pertengahan Februari 1646, setelah 32-33 tahun memerintah. “Di bawah penjagaan ketat pengawal pribadi, putra mahkota diumumkan menjadi Susuhunan Ingalaga Matara,” tulis De Graaf. Putra Mahkota Pangeran Adipati Anom telah menjadi Susuhunan Amangkurat I. Ia menjadi pemimpin muda Mataram, naik tahta pada pertengahan Februari 1646 di usia 26 tahun. Perilaku amoral pada usia 18 tahun ketika menculik istri Tumenggung Wiroguno lalu menikahinya tanpa sepengetahuan Sultan Agung tidak menghalanginya untuk menjadi raja baru. Ia tetap dipertahankan menjadi putra mahkota, lalu naik tahta setelah Sultan Agung meninggal dunia. “Mengenai putranya yang muda ini … diusahakannya dengan sangat hati-hati dan bijaksana, supayakekuasaan putranya atas kerajaan Jawa bahkan juga mendapat dukungan dari Wiroguno,” tulis De Graaf mengutip catatan utusan Kompeni Van Goens. Menurut De Graaf, van Goens memuji Sultan Agung yang meminta Wiroguno mendukung Amangkurat I kendati ia pernah punyamasalah dengan Amangkurat I. “Sebab, Sultan Agung merasa khawatir akan terjadi pertikaian antara kedua putranya dan paman mereka, Pangeran Purboyo, kakak sulungnya sendiri,” tulis De Graaf. Pada awal menjadi raja, Amangkurat I memupuk kesenangan. Ia memindahkan keraton, membangun danau disekeliling istana agar ia bisa menghabiskan waktu dengan bermain perahu di danau. Orang-orang yang menentang pemindahan ibu kota kerajaan ia ikat lalu ia jemur. Untuk membangun danau, ia kerahkan 300 ribu orang untuk bekerja secara paksa. Setahun setelah Amangkurat I menduduki tahta, Pangeran Alit pada 1647 mencoba mengkudetanya. Adik Amangkurat I ini baru berusia 19 tahun. Pangeran Alit seharusnya mengawasi pembangunan ibu kota baru, tetapi malah melakukan pemberontakan. Banyak pengikut Pangeran Alit yang sudah dibunuh oleh Amangkurat I. Ketika Pangeran Alit datang kepadanya untuk memenuhi undangannya, Amangkurat I melemparkan kepala para pengikutnya kepada Pangeran Alit. “Beginilah tampang orang-orangmu yang ingin mengangkatmu sebagai raja,” kata Amangkurat I. Amangkurat I pun meminta Pangeran Alit menyerahkan semua anak buah. Tak puas dengan langkah itu, para kiai dan santri yang mendukung Pangeran Alit dibasmi habis. Hamka menyebut ada sekitar 7.000 kiai-santri yang dibunuh. Amangkurat I meninggal pada 1677, digantikan oleh Amangkurat II, memerintah selama 31 tahun. Ia meninggal di pelarian, ketika keratonnya direbut oleh Trunojoyo. (mif) Baca juga :

Read More

Setelah Membunuh 7.000 Santri dan Kiainya, Amangkurat I Beri Imbalan 3.000 Pikul Beras kepada Kompeni

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Susuhunan Amangkurat I marah besar, lalu menangkapi para kiai dan para santrinya yang mendukung upaya kudeta. “Yang banyaknya tidak kurang dari 7.000 orang. Kemudian menyuruh mereka naik tiang gantungan,” tulis Hamka. Kemarahan Amangkurat I muncul setelah ada kudeta di Mataram yang dilakukan Pangeran Danupoyo. Namun kudeta itu gagal. Setelah pembunuhan terhadap para kiai dan santri, ketidakpuasan terhadap Amangkurat I pun muncul di mana-mana. Di Madura, misalnya, ketidakpuasan itu juga diperparah oleh Adipati Madura Cakraningrat II yang lebih berpihak kepada Mataram, mengabaikan Madura. Itulah yang melatari Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Tindakan Kompeni yang merugikan Sulawesi juga memunculkan ketidakpuasan, sehingga membuat Arung Palaka dari Sopeng dan Karaeng Galesong dari Makassar memilih lari ke Jawa mendukung pemberonatakan di Jawa. Karaeng Galesong bertemu Trunojoyo. Mereka lalu bersekutu, bersama Pangeran Giri yang mewakili kalangan ulama. Amangkurat I pun meminta bantuan kepada Kompeni. Amangkurat I menawarkan imbalan berupa 3.000 pikul beras (setara dengan 180 ton) dan uang 250 ribu riyal. Jika perangnya tidak bisa cepat selesai, Amangkurat I siap menambah imbalan 20 ribu riyal. Kompeni tidak langsung menerima. Kompeni mengajukan syarat agar dibebaskan dari pungutan cukai untuk barang-barang yang akan dimasukkan ke seluruh pelabuhan di Jawa. Itu pun belum cukup. Kompeni juga minta dibebaskan untuk membangun loji dan mendapatkan imbalan lagi 4.000 pikul beras dari pembangunan loji itu. Setelah Amangkurat I menyetujuinya, barulah Belanda membantu Mataram menumpas pemberotakan Trunojoyo dan sekutunya. Di Keraton Plered, rakyat mendukung Trunojoyo. Ada pula petinggi keraton yang memilih mendukung Trunojoyo. Tertekan, Amangkurat I diam-diam keluar dari istana Plered. Maka, posisi yang ia tinggalkan diisi oleh Pangeran Anom, menjadi Amangkurat II. Kompeni yang mengangkatnya membuat perjanjian baru dengan Amangkurat II. Semakin lemahlah posisi Mataram. “Setelah kekuasaan yang sebenarnya berada dalam tangan Kompeni dan tentara Mataram sendiri pada hakikatnya pun telah berada di bawah komando Kompeni, mulailah dilancarkan gerakan ‘membasmi pemberontak’,” tulis Hamka. Trunojoyo, Karaeng Galesong, dan Pangeran Giri terus terdesak. Kompeni juga memanfaatkan Arung Palaka yang lebih mmilih berpihak kepada Kompeni untuk melawan Karaeng Galesong. Setelah Karaeng Galesong dikalahkan oleh Arung Palaka, Kompeni dengan mudah mendesak Trunojoyo dan pengikutnya ke lereng Gunung Kelud. Di kepung tentara Kompeni, Trunojoyo akhirnya menyerah pada 27 Desember 1679. “Saya serahkan diriku kepadamu, Kapten. Karena aku lihat engkau sekarang satria yang teguh janji. Aku hanya menyerah kepadamu, bukan kepada Susuhunan. Engkau harus memperlakukan aku sebagai tawanan perang,” ujar Trunojoyo kepada Kapten Jonker, yang memimpin pengepungan terhadap Trunojoyo. Kapten Jonker adalah orang Ambon yang menjadi tentara Kompeni. Atas desakan Kompeni, Kapten Jonker tidak bisa memenuhi janjinya kepada Trunojoyo. Ia lalu menyerahkan Trunojoyo kepada Kompeni. Oleh Kompeni, Trunojoyo diserahkan kepada Susuhunan Amangkurat II. Nasib Trunojoyo kemudian ditentukan oleh keris Amangkurat II pada 1680. Kapten Jonker pun sakit hati sehingga ia berbalik menentang Kompeni di Batavia pada 1689. (mif) Baca juga :

Read More

Sejarah Ibnu Abu Ushaibiah, Seorang Dokter dan juga Menjadi Pionir Dalam Pengembangan Ilmu Oftalmologi

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dalam kilas balik sejarah Islam, terdapat sosok yang menonjol sebagai dokter muslim spesialis mata di abad ke-13. Dia adalah Ibnu Abu Ushaibiah. Beliau tidak hanya memimpin dalam bidang medis pada zamannya, tetapi juga menjadi pionir dalam pengembangan ilmu oftalmologi. Kiprah Ibnu Abu Ushaibiah sebagai spesialis mata mencerminkan kontribusi luar biasa dari dunia Islam dalam menggali pengetahuan kesehatan, khususnya dalam merawat dan memahami kompleksitas masalah mata. Mengutip buku 147 Ilmuan Terkemuka Dalam Sejarah Islam karya Muhammad Gharib Gaudah, Ibnu Abu Ushaibiah nama lengkapnya adalah Abu Abbas Ahmad bin Qasim bin Khalifah bin Yunus Al-Khazraji. Dia dikenal dengan nama Ibnu Abu Ushaibiah. Ibnu Abu Ushaibiah dilahirkan di Damaskus sekitar tahun 596 Hijriyah atau sekitar tahun 1200 Masehi, dan wafat di Sharkhand (Khan Shaykhun), Suriah pada 668 Hijriyah. Ibnu Abu Ushaibiah belajar kedokteran kepada bapaknya, Abu Hasan Al-Qasim As-Sa’di yang pernah menjabat sebagai kepala spesialis dokter mata di Rumah Sakit An-Nuri Suriah. Ibnu Abu Ushaibiah juga belajar dari Muhdzibuddin Ad-Dakhwar dan ilmuwan lainnya. Sumber sejarah lain menyebutkan bahwa, Bimaristan Al Nuri Damaskus adalah rumah sakit tertua pertama yang didirikan di kawasan Damaskus, Suriah. Bangunan utamanya didirikan pada tahun 1154 Masehi pada masa Sultan Zangid Nuruddin Mahmud bin Zangi. Ibnu Abu Ushaibiah menggeluti spesialis mata di rumah sakit An-Nuri di Suriah dan An-Nashiri di Kairo. Pada akhir karirnya sebagai dokter dia menjabat sebagai dokter pribadi pangeran Sharkhand. Ibnu Abu Ushaibiah telah menulis beberapa buku, di antaranya At Tajarub Wa Al-Fawaid, Hikayat Al-Athibba Fi’Ilajat Al-Adwa, dan lshabat Al-Munajjimin. Buku-buku tersebut berisikan kesaksian dan hal-hal langka dalam dunia kedokteran yang disadur dari pengalamannya sebagai dokter. Buku Ibnu Abu Ushaibiah yang paling penting dan berharga dalam sejarah dan ilmu kedokteran peradaban Islam adalah buku yang berjudul Uyun Al-Anba’ Fi Thabaqat Al-Athibba. Buku ini merupakan sebuah buku ensiklopedi para ilmuwan yang berisikan biografi empat ratus orang ilmuwan dan dokter Islam dan Barat terkenal. Buku tersebut rampung ditulis oleh Ibnu Abu Ushaibiah pada tahun 640 Hijriyah. Akan tetapi, dia tetap mengadakan perbaikan dan penambahan pada cetakan-cetakan berikutnya. Sehingga buku tersebut memuat banyak biografi para ilmuwan dan dokter. Penambahan dan perbaikan tersebut berakhir setahun sebelum Ibnu Abu Ushaibiah wafat. Di antara kelebihan buku itu adalah penyajian dan pemaparan yang sangat jelas tentang suasana dan kondisi kehidupan ilmiah dan sosial pada abad kejayaan Islam. (yan) Baca juga :

Read More

Syekh Abdul Karim Amrullah, Tokoh Pembawa Muhammadiyah Pertama di Sumatera

Jakarta — 1miliarsantri.net : Memasuki abad ke-20 muncul gerakan modernisme Islam di Minangkabau. Peran kaum ulama dan saudagar signifikan sekali. Mereka tidak hanya sibuk berdagang, tapi juga mendukung lalu lintas keilmuan para kaum terpelajar untuk menimba ilmu di Tanah Suci. Di lingkup internal, kalangan ulama menghadapi beberapa kecenderungan adat yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Secara eksternal, tantangan terbesarnya adalah kolonialisme yang kian pesat di masa itu. Salah seorang tokoh Minangkabau yang termasuk kalangan pembaru adalah Syekh Abdul Karim Amrullah. Dia lahir di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat, pada 1879. Sebagaimana anak-anak dari keluarga Minangkabau waktu itu, dia dahulu tidak menempuh pendidikan formal yang dikelola pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat. Saat berusia 15 tahun, Muhammad Rasul, demikian nama kecilnya, berangkat ke Makkah bukan hanya untuk beribadah haji, melainkan juga melanjutkan pengembaraan menuntut ilmu. Di Masjid al-Haram, dia belajar kepada ulama sekaligus imam besar asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib. Selain Abdul Karim Amrullah, ada pula tiga nama lain yang merupakan murid termasyhur dari Syekh al-Minangkabawi. Mereka adalah Syekh Tahir Jalaluddin al-Azhari (sepupu Abdul Karim Amrullah, lahir 1869), Syekh Muhammad Jamil Jambek (lahir 1860), dan Haji Abdullah Ahmad (lahir 1878). Tujuh tahun lamanya Abdul Karim Amrullah muda menimba ilmu-ilmu agama di Tanah Suci. Dia sempat pulang ke Tanah Air, tetapi berangkat lagi ke Makkah pada 1903. Tiga tahun kemudian, sosok reformis Islam ini kembali ke kampung halamannya di Sumatra Barat untuk mengamalkan ilmunya dan berdakwah. Ayahanda Buya Hamka ini termasuk yang paling awal memperkenalkan sistem pendidikan modern Islam di Sumatra Barat. Di sana Abdul Karim Amrullah pernah belajar tartil Alquran dengan Haji Muhammad Salih, tata bahasa Arab dengan Haji Hud at-Tarusan, Sutan Muhammad Yusuf, serta fikih dan tafsir Alquran dengan ayahandanya sendiri, Syekh Muhammad Amrullah. Syekh Abdul Karim Amrullah merupakan yang pertama memperkenalkan Muhammadiyah ke Sumatra Barat. Dia memang gemar berpergian ke luar Minangkabau, semisal, Semenanjung Malaya atau Jawa. Dalam perjalanan ke Malaya, menurut Murni Djamal, Syekh Abdul Karim kurang mendapat sambutan yang baik dari masyarakat setempat. Sebab, otoritas setempat menganggap gaya mengajarnya kurang ortodoks. Sebaliknya, di Jawa dia mendapatkan banyak sahabat, khususnya setelah menemui para pemuka Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ini wajar karena, umpamanya, KH Ahmad Dahlan selaku pendiri ormas Islam itu pun pernah satu guru dengannya selama di Makkah, yakni di bawah bimbingan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sejak 1925, Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan pesat di Bumi Minangkabau berkat rintisan Syekh Abdul Karim. Buya Hamka dalam bukunya, Ayahku, menjelaskan, sebenarnya Syekh Abdul Karim Amrullah pernah bertemu dengan HOS Tjokroaminoto pada 1917 dalam sebuah lawatan di Jawa. Sosok berjulukan raja Jawa tanpa mahkota itu kemudian menawarkan agar Syekh Abdul Karim memimpin Sarekat Islam di Sumatra. Namun, dia menolak tawaran ini. Sebab, kata Buya Hamka, dia tidak suka politik, meskipun cukup banyak murid-muridnya di Minangkabau yang terjun dalam pergerakan politik. Bukan hanya menyemarakkan Muhammadiyah di Sumatra Barat. Syekh Abdul Karim Amrullah juga merancang dan mempraktikkan cara pengajaran Islam yang lebih modern di masyarakat Minangkabau. Keberadaan surau sebagai tempat ibadah sekaligus pusat kegiatan Islami direformasinya. Hasilnya berujung pada kemunculan lembaga Sumatra Thawalib, sebuah sistem sekolah yang banyak memunculkan insan-insan Muslim yang cerdas, kritis, dan berkiprah besar bagi pergerakan Muslim antikolonialisme. Sebut saja, Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang kerap menyuarakan kecaman keras terhadap praktik-praktik penjajahan Belanda atas Pribumi. Syekh Abdul Karim Amrullah juga ikut kerap menyuarakan antikomunisme di Sumatra Barat. Menurut Buya Hamka, sikap antikomunisme itu mulai menguat sejak Syekh Abdul Karim Amrullah tamat membaca buku Arradu ‘alad Dahriyin karya Jamaluddin al-Afghani. Pada 1920, Syekh Abdul Karim Amrullah menjadi penasihat Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Atas inisiatifnya, berdirilah Sekolah Normal Islam di Padang pada 1931 yang menyediakan pendidikan dasar. Pada masa itulah pemerintah kolonial Belanda mulai bersikap keras terhadap sekolah-sekolah yang didirikan swadaya masyarakat pribumi. Keluarlah peraturan ordonansi yang mengecap sekolah-sekolah itu berstatus “liar”. Syekh Abdul Karim memimpin gerakan yang mendesak pemerintah kolonial untuk mencabut aturan tersebut pada 1932. Hingga 1939, dia kerap mengadakan lawatan ke pelbagai daerah di Sumatra untuk mengajar, berceramah, dan membangun jaringan alim ulama. Sebagai pereformasi dakwah Islam, dia memiliki karakteristik keras dan tegas, tetapi mengimbau para muridnya untuk menjaga daya kritis. Menurut uraian Murni Djamal, dia tidak berkompromi terhadap otoritas lokal (adat) dan kaum tua sehubungan dengan praktik-praktik agama. Dia pun bersikap keras terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dia dapat secara terang-terangan mengecam orang yang mempraktikkan bid’ah. Kemudian, dia banyak mengkritik sikap taklid kaum Muslim pada umumnya dan tarekat Naqshabandiyah di zamannya. Bersama dengan Syekh Abdullah Ahmad di Padang dan Syekh Djamil Djambek di Bukittinggi, Syekh Abdul Karim di Padang Panjang berdakwah untuk membersihkan Islam dari kecenderungan taklid, bid’ah, dan keterpurukan. Ketiga tokoh pembaru Islam di Minangkabau itu saling dukung untuk mengentaskan sikap taklid di kalangan umat. Dalam sebuah risalahnya, Muqaddimah, Syekh Abdullah Ahmad menulis sebagai dukungan terhadap giat dakwah Syekh Abdul Karim Amrullah yang mengimbau agar kaum Muslim tidak bersikap fanatik buta terhadap keempat mazhab fikih. Kata Syekh Abdul Karim Amrullah, “Mereka (keempat imam pemuka mazhab fikih) bahkan mengimbau para pengikutnya agar kembali kepada Alquran dan hadis bilamana fatwa-fatwa mereka ketahui bertolak belakang dengan ajaran Alquran dan hadis.” Demikian pula dengan kaum adat. Syekh Abdul Karim Amrullah menegaskan bahwa ajaran-ajaran Islam hanya akan tersebar efektif di tengah masyarakat bilamana kaum penghulu (adat) dibimbing alim ulama. Dalam pemahaman Minangkabau yang sampai kini masih kuat, “Adat bersendikan syariat; syariat bersendikan Alquran.” Dengan demikian, praktik-praktik adat tidak dibenarkan bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, Syekh Abdul Karim Amrullah menulis sedikitnya dua buku, al-Fara’id dan Sendi Aman Tiang Selamat, yang mengkritik praktik pembagian harta warisan menurut adat yang berdasarkan garis ibu. Dalam buku yang tersebut terakhir, dia membedakan adanya harta pusaka yang bisa saja tidak menuruti hukum waris Islam karena harta itu milik suku. Buah kegigihan Syekh Abdul Karim Amrullah mendapatkan apresiasi, antara lain, dari pihak Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Dia bersama dengan Syekh Abdullah Ahmad merupakan orang Indonesia yang mula-mula memperoleh gelar doktor honoris causa (doktor kehormatan) dari salah satu kampus tertua di dunia Islam itu. Dalam sebuah bukunya, Taufiq Ismail (2011) menuliskan fakta unik tentang hubungan ayah-anak, yakni Syekh Abdul Karim Amrullah dan Buya Hamka. Keduanya sama-sama mendapatkan…

Read More

Amangkurat 1 Pekerjakan Secara Paksa 300 Ribu Orang di Ibu Kota Baru Mataram, Pasca Penggantian Sultan Agung

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kerajaan Mataram bangkit berkat watak kuat Panembahan Senopati dan Sultan Agung. Tetapi demikianlah keruntuhan kerajaan tersebut disebabkan oleh sifat-sifat kejam anak-cucu mereka, yaitu Sunan Tegalwangi yang selalu curiga dan membawa malapetaka. Sunan Tegalwangi adalah julukan untuk Susuhunan Amangkurat I. Sifat kejam Amangkurat I yang dimulai dengan membunuh Tumenggung Wiroguno, berlanjut pada proyek pemindahan ibu kota mulai 1648. Saat Amangkurat I memindahkan ibu kota Mataram dari Kartosuro ke Plered, pejabat-pejabat yang tidak menyetujuinya, ia beri hukuman. Ia juga mempekerjakan secara paksa 300 ribu orang di ibu kota baru. “Beberapa pejabat tinggi yang tidak mau turut membantu dalam pekerjaan itu disuruhnya … ikat dan dibaringkan di paseban, dijemur dalam panas matahari,” tulis De Graaf mengutip catatan Winrick Kieft, utusan Kompeni yang dikirim ke Mataram pada November 1655. Untuk pembangunan ibu kota baru yang berkepanjangan itu, Amangkurat I juga mengerahkan 300 ribu tenaga kerja paksa pada 1661. Mereka diperkerjakan untuk meneruskan pembangunan danau yang belum tuntas. Danau untuk kesenangan Amangkurat I itu –tempat Amangkurat I bermain perahu– telah dibangun sejak 1651. Danau ini mengelilingi istana, sehingga tempat tinggal Amangkurat itu seperti pulau di tengah danau. Para penguasa dari pesisir juga dilibatkan dalam proyek ini. Mereka diberi tugas sebagai pengawas, sehingga tidak diperbolehkan pulang ke negerinya masing-masing. Pembuatan danau ini dilakukan dengan membendung sungai. Pada musim hujan 1661-1662, muncul banjir besar pada tengah malam, bendungan jebol. Pengerjaan danau pun berantakan, membuat Amangkurat I pusing kepala. Setahun sebelum membangun ibu kota baru, Amangkurat I menemukan kesempatan untuk menghabisi Tumenggung Wiroguno. Ini tumenggung yang istrinya pernah diculik oleh Amangkurat I sebelum naik tahta. Begitu naik tahta, ia mengambil hati Tumenggung Wiroguno dengan menaikkan jabatannya. Wiroguno menganggapnya sebagai anugerah raja, tetapi Amangkurat I menganggapnya sebagai taktik. Pada 1647 daerah taklukan Mataram di ujung timur Jawa, Blambangan, diserbu orang Bali. Amangkurat I berpura-pura marah dan menyatakan hendak berkunjung ke Blambangan. Namun, pejabat-pejabat pendukungnya tahau keinginan Amangkurat I yang sebenarnya, Mereka pun bermain drama, lalu menyarankan cukup mengutus Wiroguno untuk melihat Blambangan. Wiroguno pun pergi ke Blambangan, tetapi tidak pernah kembali. Pendukung Amangkurat I membunuh Wiroguno dengan alasan ia tidak menjalankan perintah raja secara tepat. Keluarga Wiroguno pun dihabisi. Sebelum pergi ke Blambangan, Wiroguno sempat membantu Pangeran Alit melakukan pemberontakan. Pangeran Alit yang gagal merebut posisi putra mahkota pada 1437, melakukan gerakan politik lagi pada 1647 di usianya yang ke-19. Pada tahun itu ia memerintahkan pendukungnya menyerang alun-alun selatan untuk melaksanakan kudeta. Ia mendapatkan dukungan dari kalangan santri. Namun, pemberontakannya bisa ditumpas oleh Amangkurat I dan Pangeran Alit terbunuh. Kepada rakyat, Amangkurat I menunjukkan belasungkawa atas kematian Pangeran Alit. Ia gunduli kepalanya, untuk menarik simpati kalangan santri. Namun, di balik tindakannya itu, ia mencari cara untuk membalas dendam kepada kalangan santri yang telah mendukung adiknya melakukan kudeta-gagal. Ia panggil empat orang kepercayaannya, yang sebaya dengannya, yang telah membantunya sejak ia belum menjadi raja. Mereka diinstruksikan untuk menyebar ke empat penjuru angin bersama para pengikut masing-masing. Tugasnya, jangan ada satu pun kalangan santri dan kiai yang luput dari tindakan tegas raja. Setelah mereka berada di posisi masing-masing, mereka akan bergerak setelah mendapat isyarat istana. Isyarat itu berupa bunyi tembakan senjata. “Belum setengah jam berlalu setelah bunyi tembakan, 5.000-6.000 jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan,” tulis De Graaf. Hamka menyebut angka sampai 7.000 santri dan kiainya yang menjadi korban tindakan raja ini. (mif) Baca juga :

Read More