Kisah Pangeran Diponegoro Menendang Komandan Pasukan Keraton Yogyakarta di Depan Sultan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kala itu, Diponegoro menjewer telinga Tumenggung Wiroguno. Tak hanya itu, Diponegoro pun menendang komandan pasukan keraton itu. Diponegoro melakukannya di depan Sultan Hamengkubuwono IV. Saat itu, Tumenggung Wiroguno dipanggil untuk urusan pengangkatan 60 pemungut pajak yang gajinya diambil dari pajak yang dipungut itu. Tumenggung Wiroguno dan Patih Danurejo sangat patuh Residen Yogyakarta Nahuys. Mereka membuat surat pengangkatan 60 pemungut pajak lalu meminta Sultan Hamengkubuwono IV membubuhkan cap. Kepada Hamengkubuwono IV disampaikan jika para pangeran dan bupati sudah menyetujui. Residen Nahuys juga sudah mengizinkan. Atas dasar itulah Hamengkubuwono IV membuhukna capnya. Namun, Diponegoro menerima keluhan dari para pangeran dan bupati. Mereka belum diajak bicara mengenai pengangkatan pemungut pajak yang mereka nilai akan menambah kesengsaraan rakyat itu. Diponegoro pun lalu menanyakan hal itu kepada Hamengkubuwono IV, yang merupakan adiknya sendiri. Hamengkubuwono IV dinobatkan menjadi sultan ketika berusia 10 tahun dan Pakualam ditunjuk sebagai walinya. Hamengkubuwono IV sejak kecil tidka pernah lepas dari Diponegoro. Namun, ketika perwalian Pakualam sudah selesai, Hamengkubuwono IV lebih banyak dapat pengaruh dari Danurejo dan Wiroguno. Dari Danurejo dan Wiroguno pula Hamengkubuwono IV mengenal pesta-pesta ala Barat dengan mauk-mabukan. Resah dengan kelakuan Sultan yang mendapat pengaruh buruk dari Danurejo dan Wiroguno, para pangeran dan bupati melapor kepada Diponegoro. “Ini ada masalah apa? Ibu kenapa tidak memberi tahu saya? Menyusahkan semua orang,” tanya Diponegoro ketika tiba di keraton bertemu dengan sang ibu. Sang ibu mengaku tidak mengetahui adanya kesepakatan yang dibuat Danurejo dan Wiroguno serta Residen dalam hal pengangkatan pemungut pajak. Diponegoro pun lantas menanyakan keberadaan Sultan, adiknya. Mendapat informasi mengenai keberadaan Hamengkubuwono IV, Diponegoro pun segera menghampirnya di bangsal panggung. Lalu ia menanyakan pengangkatan pemungut pajak. Hamengkubuwono IV pun menjawab pengangakatan pemungut pajak itu atas usul Danurejo dan Wiroguno, karena petugas yang ada tidak mencukupi. Ia menyetujui karena katanya sudah atas persetujuan Diponegoro juga. “Itu pasti menipu,” kata Diponegoro. “Sultan, kalau kau tidak tahu, menurut perasaanku itu sangat kelewat durjana. Pada akhirnya besok akan membuat kesusahan pada rakyat kecilnya,” lanjut Diponegoro. Diponegoro membuat perumpaaan mengenai kesengsaraan yang akan ditimbulkan. Para pemungut pajak itu, jika tidak mengeruk hasil bumi pasti akan mengeruk gunung. Karenanya, ia meminta Hamengkubuwono IV membatalkannya. “Sudah telanjur itu. Cap saya ini sudah dipakai untuk mengecap surat perintah kepada desa-desa,” jawab Sultan. “Sultan, cabutlah. Undanglah Wironegoro,” kata Diponegoro. Ketika Wironegoro menghadap, Hamengkubuwono IV langsung memarahinya. Wironegoro dianggap telah berbohong jika pengangkatan 60 pemungut pajak sudah disetujui para pangeran dan bupati, termasuk Diponegoro. Wironegoro hanya bisa menunduk. Ketika Hamengkubuwono IV meminta suratnya dikembalikan, Wironegoro menjawab bahwa surat sudah dikirim ke Residen, tak mungkin ia mengambilnya. “Bagaimana menjawabnya? Dalam kitab juga berbunyi demikian, nasi kalau sudah ditelan ya sudah salam. Kalau raja sudah berkata, tidak dapat dikembalikan ucapannya,” kata Wiroguno. Mendengar kelancangan itu, Diponegoro marah. Ia lalu menjewer telinga Wiroguno dan kemudian menendangnya dengan keras. “Hai, kau Mukidin. Caramu menasihati dari kitab yang kau sembunyikan, kau lebih bisa. Orang banyak tidak ada yang mengetahui, baik-buruk kamu yang tahu,” bentak Diponegoro. Diponegoro pun meminta ketegasan dari hamengkubuwono. Jika keputusan pengangkatan pemungut pajak itu berasal dari Sultan itu terjadi karena sudah tertulis di lauh mahfud. Tapi jika itu atas ide orang lain, setan yang melakukannya. Hamengkubuwono IV mengulang kembali jawabannya yang sudah diberikan kepada Diponegoro sebelumnya. Bahwa pengangkatan pemungut pajak itu merupakan ide dari Danurejo dan Wiroguno yang katanay sudah disetujui Diponegoro. “Itu sudah jelas kalau setan membuat rencana, kitab sebagai pelindung,” kata Diponegoro. “Kalau kau masih berani, mengenai kitab itu aku ingin mengetahui,” kata Sultan Hamengkubuwono IV kepada Wiroguno mengenai kitab rujukan Wiroguno. Wiroguno diam seribu bahasa. (mif) Baca juga :

Read More

Pangeran Abdullah Qadhi Abdussalam Pendiri Masjid Pertama di Afrika Selatan

Cape Town — 1miliarsantri.net : Pada tahun 1767, Pangeran Abdullah Qadhi Abdussalam dari Indonesia diasingkan ke Tanjung Harapan (Cape Town Ibukota Afrika Selatan saat ini) oleh Belanda, yang sedang menjajah wilayah sejumlah wilayah di Nusantara. Pangeran Tuan Guru Imam Abdullah Qadhi Abdussalam lahir di Tidore pada tahun 1712 dan meninggal di Cape Town pada tahun 1807 pada usia 95 tahun. Tidore adalah kota yang berada di wilayah Provinsi Maluku Utara, Indonesia. Dulu berdiri Kesultanan Tidore atau Kerajaan Islam Tidore yang berpusat di kota Tidore. Selama Tuan Guru Imam Abdullah Qadhi Abdussalam diasingkan di Afrika Selatan, dia menulis salinan Alquran dari hafalannya. Musfah Alquran yang dia tulis masih disimpan di Cape Town hingga saat ini. Setelah dibebaskan dari status tahanan pada tahun 1793, Tuan Guru Imam Abdullah Qadhi Abdussalam mendirikan madrasah pertama di Afrika Selatan. Madrasah itu menjadi sangat populer di kalangan budak dan komunitas pribumi kulit hitam saat itu. Pada era kolonial itu, orang kulit putih masih menjadikan sebagian orang kulit hitam dan asia sebagai budak. Dilansir dari laman Muslim Hands, diriwayatkan bahwa Tuan Guru Imam Abdullah Qadhi Abdussalam kemudian menjadi imam pertama di Masjid Auwal, yang terletak di lingkungan Bo-Kaap di Cape Town. Masjid Auwal dikenal sebagai masjid pertama yang didirikan di Afrika Selatan. Masjid ini dibangun di atas tanah milik Coridon Van Ceylon, seorang budak Muslim kulit hitam yang telah dibebaskan. Masjid Auwal adalah masjid pertama yang melaksanakan sholat berjamaah, sekaligus sebagai tempat bahasa Arab-Afrika pertama kali diajarkan. Tuan Guru Imam Abdullah Qadhi Abdussalam dimakamkan di Pemakaman Tana Baru, di Bo-Kaap, Cape Town, Afrika Selatan yang merupakan pemakaman Muslim pertama di negara tersebut. Kemudian, imigrasi umat Islam dari India pada awal tahun 1800-an yang dimotori oleh Inggris membantu penyebaran Islam ke seluruh Afrika Selatan. Umat ​​Islam ini segera mendirikan Masjid Jumu’ah, masjid pertama di Jalan Gray di Kota Durban, Afrika Selatan pada tahun 1881. Kemudian Masjid Jalan Kerk juga dikenal sebagai Masjid Jumu’ah di Kota Johannesburg, Afrika Selatan didirikan pada tahun 1906. Islam adalah salah satu agama dengan pertumbuhan tercepat di Afrika Selatan. Muslim di Afrika Selatan sangat berhutang budi atas dedikasi dan komitmen para pemukim Muslim awal yang tetap teguh pada keyakinan mereka dan terus bertawakal kepada Allah SWT meskipun dalam keadaan yang sangat sulit di era penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Awal masuknya Islam di Afrika Selatan dapat ditelusuri kembali ke abad ke-17, di tempat yang sekarang disebut Cape Town. Belanda sering mengasingkan para pemimpin Muslim dari Hindia Timur (Indonesia) ke Tanjung Harapan (Cape Town) yang juga mereka kuasai. Orang-orang buangan politik biasanya adalah orang-orang Muslim yang berpangkat tinggi dan kaya, yang diasingkan karena merupakan ancaman terhadap stabilitas pemerintahan Belanda di tempat yang dijajahnya. Salah satu pemimpinnya adalah Abadin Tadia Tjoessoep atau yang dikenal sebagai Syekh Yusuf. Dia tiba di Afrika Selatan melalui kapal bernama De Voetboog pada tanggal 2 April 1694, bersama keluarga dan pengikutnya. Belanda mencoba mengisolasi pemimpin umat tersebut jauh dari orang lain dengan menempatkannya di sebuah peternakan di Zandvliet, sebagai tahanan. Namun hal itu tidak berhasil, dan Syekh Yusuf mulai menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW kepada budak-budak di dekatnya. Islam segera menjadi sangat populer di kalangan budak lain dan majikan mereka. Para budak menggunakan ajaran tersebut untuk mendapatkan posisi yang lebih baik di rumah majikan mereka, sementara tuan budak belajar betapa pentingnya memperlakukan budak mereka dengan baik. Segera, komunitas Muslim membuat persatuan pertama di Afrika Selatan didirikan di Zandvliet. Syekh Yusuf meninggal di Zandvliet pada tanggal 23 Mei 1699 dan daerah tersebut berganti nama menjadi Macassar untuk menghormati tempat kelahiran Syekh Yusuf. Syekh Yusuf dimakamkan di perbukitan Faure, menghadap Macassar dan masih dianggap sebagai pendiri dan bapak Islam di Afrika Selatan. (yat) Baca juga :

Read More

Tata Ruang Hunian Sekarang Banyak Mengadopsi Konsep Bangunan Jaman Majapahit

Mojokerto — 1miliarsantri.net : Sejak jaman dahulu, masyarakat Majapahit dalam mendirikan rumah dikenal dengan menggabungkan nilai filosofis dan fungsi efisiensi. Dimana bangunan yang baik-baik seperti tempat ibadah ada di bagian depan, yang buruk semacam kamar mandi dan tempat sampah letaknya di belakang. Mirip konsep interior rumah sekarang. Menurut Budayawan Putut Nugroho, konsep penataan secara terperinci itu bahkan sudah berkembang sejak sekitar 200 tahun sebelumnya. Tata ruang bangunan rumah di era abad ke 13 sampai 16 itu mengadopsi tata ruang kota Kerajaan Majapahit. ’’Konsep arsitektur dalam penataan posisi bangunan berikut isinya mengacu pada tataran filosofis tiga penyebab kebahagiaan,’’ ungkapnya. Tiga nilai penting dalam ajaran Hindu-Budha itu meliputi hubungan harmonis antara manuasia dengan tuhan, antarmanusia, dan manusia dengan alam. Nilai ini diterapkan dalam konsep pembagian area tiga zona yang oleh masyarakat Bali disebut dengan Tri Mandala. Pedoman pembagian ruang itu menyangkup bagian utama, madya, dan nista. Utama adalah bagian bangunan yang berhubungan dengan spiritualitas, yakni tempat ibadah. Bangunan ini biasanya menjadi satu area dengan rumah dan posisinya berada di depan. ’’Masyarakat saat itu punya keyakinan bahwa posisi tempat ibadah harus pakem,’’ ujarnya. Putut mengatakan, konsepsi yang berpadu dengan kultur Jawa kuno melahirkan gaya baru arsitektur. Dalam tradisi rumah adat Joglo misalnya, bisa ditemui bagian senthong yang memiliki fungsi sakral sebagai tempat sembahyang atau bermeditasi Selanjutnya, area madya yang berupa pelatan utama rumah atau sekarang mirip dengan ruang tamu, kamar, sampai dapur. ’’Yang terakhir adalah area nista, seperti tempat untuk kamar mandi dan tempat sampah,’’ tandas perupa asal Kota Mojokerto itu. Dalam penerapannya, konsepsi tata ruang hunian ini juga mempertimbangkan peran efisiensi yang berhubungan dengan perilaku. Tingginya tingkat spiritualitas masyarakat di zaman 700 tahun lalu itu membuat fungsi ibadah menjadi yang utama. Dan, menutupi urusan-urusan yang berkonotasi buruk seperti membuang sampah dan membuang kotoran sehingga posisinya di belakang. Situs cagar budaya yang diyakini sebagai kompleks tempat tinggal ditemukan di sejumlah tempat. Salah satunya Situs Watesumpak, Kecamatan Trowulan, yang menunjukkan sebagai area hunian bangsawan Majapahit. Terdapat pula kompleks bangunan suci yang dikelilingi permukiman di Situs Klinterejo dan Bhre Kahuripan di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko. (tin) Baca juga :

Read More

Kisah Mpu Sindok dan Selirnya Membangun Tiga Bendungan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Perintah pembangunan di masa Kerajaan Mataram kuno era Mpu Sindok, konon tak hanya datang dari sang raja saja. Bahkan dikisahkan permaisuri atau seorang selir Raja Mpu Sindok konon pernah memerintahkan pembangunan tiga bangunan bendungan. Bangunan bendungan ini tercantum dalam Prasasti Wulig tahun 856 Saka atau sama dengan 935 Masehi. Di dalam Prasasti Wulig itu disebutkan perintah Rakryan Binihaji Rakryān Mangibil, permaisuri atau salah seorang selir Pu Sindok, kepada Samgat Susuhan agar memerintahkan penduduk Desa Wulig, Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan Busuran untuk membuat bendungan. Menariknya dalam perintahnya itu permaisuri Mpu Sindok memperingatkan jangan ada yang berani mengusik atau mengganggu pembangunan dan selama beroperasi, dengan menyatukan bendungan tersebut. Tak hanya itu, peringatan agar penduduk sekitar tidak mengambil ikan di bendungan tersebut sewaktu siang juga menjadi isi dari prasasti tersebut. Dikutip dari “Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno” pada tanggal 8 Januari 935 M, Rakryan Binihaji meresmikan ketiga bendungan yang ada di Desa Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya. Nama permaisuri Mpu Sindok ini pun muncul pula di dalam prasasti Géwég tahun 855 Saka atau sama dengan 933 M dan prasasti Cunggrang tahun 851 Saka atau sama dengan 929 M. Di dalam prasasti Geweg itu Mpu Sindok tidak memakai gelar mahārāja, tetapi rakryan sri mahamantri dan sang permaisuri disebut Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani pu Kbi. Di dalam prasasti Cunggrang sang permaisuri disebut Rakyan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Tapi ada tafsiran dari sejarawan Stutterheim yang berpendapat, tokoh Rakryan Binihaji, bukanlah permaisuri Mpu Sindok, melainkan neneknya. Akan tetapi, karena kata kbi itu didahului oleh pu dan dyah, yang biasa mendahului nama orang, agak sulit menerima tafsiran Stutterheim itu. Sebab di sini lebih condong untuk menerimanya sebagai permaisuri atau rakryan binihaji parameswari, yang namanya Pu atau Dyah Kebi. Prasasti Cunggrang juga menyatakan bagaimana Mpu Sindok memerintahkan Desa Cunggrang, yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan langsung dari Wahuta Wungkal, dengan penghasilan pajak sebanyak 15 süwarna emas, dan kewajiban kerja bakti. Tapi adanya bangunan suci tempat pemujaan arwah Rakryan Bawang yang telah diperdewakan, yaitu ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah Kebi, membuat Mpu Sindok memutuskan membebaskan wilayah tersebut dari pajak atau daerah sima. Ia pun menugaskan penduduk daerah yang dijadikan sima atau wilayah yang bebas dari pajak itu bisa memelihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pancuran i pawitra). Di sisi lain Mpu Sindok konon memberikan hadiah kepada permaisurinya, yang ikut dijadikan sima sebagai sumber pembiayaan pemujaan arwah mertua raja Rakryan Bawang di Prasada, dan biaya pemujaan di pertapaan di Tirtha pada tanggal 3 tiap bulan, serta biaya persembahan caru setiap harinya. (mif) Baca juga :

Read More

Kisah Ibnul Mubarak yang Berguru Pada 4.000 Ulama

Surabaya — 1miliarsantri.net : Abdullah ibnu Al Mubarak bin Wadlih Al Handzali Al Marwazi atau dikenal dengan sebutan Ibnul Mubarak, adalah seorang ulama besar yang lahir di Kota Marwa, Khurasan, pada tahun 118 H. Dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala, Syamsuddin az-Zahabi, Jilid 8, halaman 379, dijelaskan bahwa Ibnu Mubarak merupakan ulama terkemuka pada masanya, yang dikenal dengan keilmuannya yang luas, kesalehannya, dan sifat zuhudnya. Ayahnya, Al Mubarak, berasal dari Turki, sedangkan ibunya berasal dari Khwarezmia (sekarang Khiva) yang dulunya termasuk bagian Khurasan atau sebelah barat Uzbekistan. Ibnul Mubarak lahir dari pasangan suami istri yang taat dalam menjaga dan mengamalkan nilai-nilai ketakwaan agamanya. Ibnul Mubarak tumbuh menjadi anak yang cerdas dan gemar belajar. Sejak kecil, ia sudah mempelajari ilmu agama dari ayahnya dan ulama-ulama lainnya di Marwa. Ia juga berguru kepada ulama-ulama besar di berbagai kota di dunia Islam, seperti Basrah, Baghdad, dan Damaskus. Guru pertama yang ditemui Ibnul Mubarak adalah Rabi’ bin Anas al-Kharasyi. Ia berusaha untuk menemuinya di penjara dan mendengar sekitar 40 hadits darinya. Kemudian, melakukan perjalanan pada tahun 141 H dan mengambil hadits dari para tabi’in yang ditemuinya. Menurut catatan Syamsuddin az Zahabi, dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala, Ibnul Mubarak berguru kepada banyak ulama, bahkan lebih dari 4.000 orang. Sementara Imam bin Hanbal menuturkan bahwa Ibnul Mubarak adalah ulama yang sangat giat mencari ilmu. Ia rela merantau ke berbagai negeri untuk belajar kepada para ulama. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk menimba ilmu. Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata, “Pada zamannya, tak ada seorang pun yang lebih giat menimba ilmu melebihi Ibnu Al-Mubarak.” Ibnu Al-Mubarak pernah belajar kepada 4.000 orang guru di berbagai negeri. ad Di antara gurunya dari kalangan tabi’in lainnya, seperti Sulaiman at-Taimi, ‘Ashim al-Ahwal, Humaid at-Tawwal, Hisyam bin ‘Urwa, al-Jariri, Ismail bin Abi Khalid, al-A’masy, Buraidah bin Abdullah bin Abi Burdah, Khalid al-Khudhari, Yahya bin Sa’id al-Anshari. Kemudian Ibnul Mubarak juga pernah berguru pada Abdullah bin Aun, Musa bin Uqbah, Ajlajah al-Kindi, Husain al-Mu’allim, Hanzhalah as-Sadusi, Huyawah bin Syarih al-Misri, Kahmas, al-Auza’i, Abu Hanifah, Ibnu Juraij, Ma’mar, at-Tsauri, Syu’bah, Ibnu Abi Dzi’b, Yunus al-Ili, al-Hammadan, Malik, al-Laits, Ibnu Lahi’ah, Hisyam, Ismail bin ‘Iyasy, Ibnu ‘Uyainah, dan Baqi’ bin al-Walid. Semasa hidupnya, Ibnul Mubarak banyak melakukan perjalanan dan mengembara hingga ia meninggal dunia dalam pencarian ilmu. Ia pernah mengunjungi berbagai kota di Irak, Suriah, Hijaz, dan Yaman. Saat mengunjungi Irak, ia berguru kepada para ulama besar seperti Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, dan Abu Hanifah. Di Suriah, ia berguru kepada para ulama besar seperti Yahya bin Sa’id al-Ansari, Abu Hazim al-A’raj, dan Malik bin Dinar. Di Hijaz, ia berguru kepada para ulama besar seperti Urwah bin Zubair. Di Yaman, ia berguru kepada para ulama besar seperti Syu’bah bin al-Hajjaj dan Hammad bin Zaid. ad Kesaksian Tabi’in tentang Abdullah Ibnu Mubarak Berdasarkan penuturan para ulama semasanya, sosok Ibnul Mubarak digambarkan sebagai ulama dan ahli hadits yang sangat mulia akhlaknya. (yat) Baca juga :

Read More

Perang Salib Bentuk Agresi yang Cenderung Melakukan Pembantaian Muslim

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kebanyakan sejarawan Muslim pada akhir Abad Pertengahan menilai Perang Salib sebagai serangan brutal yang dilakukan orang asing (alien intruders) kepada penduduk lokal, yakni warga Baitul Makdis dan sekitarnya. Perang Salib merupakan serangkaian pertempuran yang terjadi secara periodik antara 1095 dan 1291 Masehi. Palagan yang memakan waktu nyaris dua abad itu dilatari ambisi para pemimpin agama dan politik Kristen Eropa Barat. Mereka berhasrat merebut Baitul Makdis atau Yerusalem dari tangan Muslimin. Pasukan Salib yang memasuki Yerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Haddad Wadi Z dalam artikelnya, The Crusaders through Muslim Eyes, menjelaskan para ahli sejarah itu juga menyoroti perbedaan Salibis dengan agresor lainnya pada masa itu. Kaum penjajah dari Eropa Barat ini terkesan datang bukan untuk merampas suatu wilayah, lalu memerintah dan menarik pajak dari seluruh masyarakat lokal. Alih-alih begitu, mereka justru lebih suka mendirikan koloni di wilayah taklukannya setelah membantai semua orang setempat yang berlainan iman dengannya. Dapat disimpulkan, tentara Salibis dalam perspektif sejarawan Muslim adalah gerombolan ekstremis. Bagaimanapun, yang cukup menarik perhatian adalah bahwa tidak satu pun ahli sejarah itu yang menyebut mereka sebagai pasukan salib atau namanama lain yang menunjukkan identitas keagamaan tertentu, semisal Kristen. Para agresor itu disebutnya bangsa Frank (al-Faranj atau al-Ifranj) yang menandakan asal negeri, bukan agama, mereka. Dengan demikian, apa yang dinamakan sejarawan modern kini sebagai tentara Salib, itu diidentifikasi para sarjana Muslim abad pertengahan lebih sebagai orang asing. Walaupun memang, lanjut Haddad Wadi, ada kalanya balatentara itu disebut sebagai orang kafir, seperti pada saat pertempuran berlangsung antara kedua belah pihak. Haddad meneruskan, banyak dinasti Muslim yang memerangi Romawi Timur (Bizantium) sebelum gelombang Salibis terjadi. Artinya, pertempuran melawan bangsa asing yang non-Islam bukanlah sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, fenomena yang dihadirkan Pasukan Salib membuka mata mereka tentang perangai barbar yang datang dari luar dunia Islam. Mereka menyaksikan dengan sedih, bagaimana Salibis tidak beretika dalam melancarkan perang. Saat menduduki Antiokia, Akra, Haifa, Jubail, dan puncaknya Baitul Makdis, gerombolan tersebut bertindak tanpa perikemanusiaan sedikit pun. Mereka membasmi semua orang Islam setempat dan membumihanguskan rumah-rumah warga sipil. Karena itu, ketika Sultan Salahuddin membebaskan Tanah Suci pada 1187, kebijakan yang diambil sang pemimpin Dinasti Ayyubiyah bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Salibis berpuluh-puluh tahun silam. Di Masjid al-Aqsa terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.” Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” (David R Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999). (yus) Baca juga :

Read More

Kerusuhan Aksi SARA Sudah Terjadi di Era Cokro Aminoto Tahun 1920 di Surabaya

Surabaya — 1miliarsantri.net : Persoalan penistaan ajaran agama di Indonesia semenjak dahulu itu sangat serius. Soal ini yang termasuk dalam isu sangat sensitif, SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), telah terbukti memicu kerusuhan. Kasus Arya Dwikarma misalnya harus segera diselesaikan. Di zaman kolonial pemerintah Hindia Belanda kala itu pun bertindak sangat tegas, bahkan keras ketika muncul soal ini. Persoalan ini misalnya terjadi pada tahun 1920-an tatkala meletus isu SARA di Surabaya. Waktu itu kalangan umat Islam membuat aksi besar-besaran memprotesnya. Kalau dipadankan mirip aksi 212 yang terjadi beberapa tahun silam. Rusuh di Surabaya itu terjadi pada bulan Februari 1920. Keributan sudah berubah menjadi aksi kekerasan yakni berupa pembakaran tempat ibadah. Golongan etnis tertentu jadi sasaran amuk massa. Untunglah saat itu ‘Pak Tjokro’ (HOS Tjokro Aminoto) sebagai pemimpin Islam turun tangan. Tjokro pun berusaha keras untuk menentramkan suasana. Aparat keamanan pemerintah kolonial saat itu pun bertindak sangat tegas dengan menangkap banyak orang dan memasukannya ke bui. Tak hanya pemerintah kolonial Hindia Belanda, rezim yang sekuler pun di zaman Orde Baru. Presiden Soeharto tak pernah mau mentoleransi soal isu SARA. Pak Harto memang semenjak awal kekuasaannya dia selalu bertindak tegas bila muncul soal SARA. Pak Harto menjalankan aturan dengan melaksanakan Peraturan Presiden (Pepres) N0 1 tahun 1965 yang dibuat oleh Presiden Soekarno. Isi aturan hukum ini adalah tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Tak hanya itu, Perpres tersebut kemudian menetapkan untuk menambahkan pasal penodaan agama di dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, Pasal 156 a KUHP. Tujuannya diantaranya adalah untuk menjaga tertib sosial di masyarakat. Tapi pertanyaan nya kemudian: Apakah sinisme terhadap agama –di antaranya Islam– menjadi berhenti? Jawabannya ternyata tidak! Sinisme (bahkan bisa disebut phobia) terus berlanjut. Sebagai ujian pertama ‘keampuhan’ aturan hukum ini terjadi pada bulan Agustus 1968 atau di masa awal Orde Baru. Majalah sastra termuka yang diasuh HB Jassin –Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 – mempublikasikan cermin kontroversial ‘Langit Makin Mendung’ karya sesorang yang menyebut dirinya sebagai Ki Panji Kusmin yang mengolok nabi Muhammad SAW dan Jibril turun di kawasan Pasar Senin. Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam saat itu merasa tersinggung dengan cerpen tersebut yang dianggap menghina Islam. Ki Panji Kusmin dihukum. Dan HB Jassin selaku penanggung jawab Majalah Sastra dihukum percobaan selama dua tahun. (har) Baca juga :

Read More

Sejarah dan Legenda Candi Prambanan

Sleman — 1miliarsantri.net : Candi Prambanan atau yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang merupakan situs bersejarah yang berlokasi di Sleman, Yogyakarta. Candi ini dibangun dengan arsitektur yang indah dan ramping dengan memiliki ketinggian yang mencapai 47 meter. Prambanan sebagai candi Hindu terbesar di Indonesia dan salah satu yang tercantik di Asia Tenggara, Candi Prambanan telah diakui sebagai warisan dunia oleh organisasi Internasional yang bergerak pada bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO). Candi Prambanan dikaitkan dengan legenda tentang kutukan Bondowoso terhadap Roro Jonggrang. Di mana, legenda Roro Jonggrang menceritakan tentang candi-candi yang dibangun oleh Bandung Bondowoso dan tidak selesai. Salah satu candinya dikenal sekarang sebagai Candi Sewu. Dalam legenda ini, Arca Durga yang berada di ruang utara candi utama dianggap sebagai perwujudan Rara Jonggrang yang dikutuk menjadi batu karena tidak memenuhi janji. Tidak hanya cerita Roro Jonggrang, candi ini juga dikaitkan dengan sejarah perebutan kekuasaan antara Dinasti Syailendra dan Sanjaya untuk berkuasa di Jawa Tengah. Pada tahun 850 Masehi, Rakai Pikatan memulai pembangunan candi ini sebagai tandingan untuk Borobudur dan Candi Sewu. Kemudian, Raja Lokapala dan Raja Balitung Maha Sambu melakukan perluasan kompleks candi ini. Selain itu, Prasasti Siwagrha pada tahun 856 M menyebutkan bahwa pembangunan ini untuk memuliakan Dewa Siwa sehingga menjadikan kompleks ini dikenal juga sebagai Siwagrha atau Rumah Siwa dan Siwalaya yang berarti Ranah Siwa atau Alam Siwa. Diketahui, Candi Prambanan dibangun secara berkelanjutan disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram, seperti raja Daksa dan raja Tulodong hingga menjadikannya kompleks. Para raja-raja tersebut tidak hanya memperluas kompleks dengan pembangunan ratusan candi tambahan di sekitar candi utama, namun juga menggunakan kawasan ini untuk menyelenggarakan berbagai upacara penting bagi kerajaan Mataram. Kompleks candi Prambanan sendiri terdapat sebuah kumpulan bangunan suci yang memiliki berbagai fitur dan struktur yang tersusun secara khusus. Pertama-tama, kompleks ini memiliki empat arah penjuru mata angin, dengan bangunan utamanya menghadap ke arah timur, sehingga pintu masuk utamanya adalah gerbang timur. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa jenis candi yang disusun dalam susunan yang teratur: Terkait itu, terdapat 224 Candi Perwara yang tersusun dalam empat barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam hingga terluar adalah 44, 52, 60, dan 68. Sehingga jumlah keseluruhan candi di kompleks Prambanan adalah 240 candi. Arsitektur Candi Prambanan memiliki keunikan tersendiri, mengikuti prinsip arsitektur Hindu yang tercatat dalam kitab Wastu Sastra. Di mana denah dan bentuk candi mengikuti pola mandala, dengan bentuk candi yang menjulang tinggi sebagai ciri khas arsitektur Hindu. Bentuk candi Prambanan juga meniru struktur gunung suci Mahameru, yakni tempat di mana para dewa diyakini bersemayam. Model kompleks candi Prambanan juga mencerminkan konsep kosmologi Hindu yang membagi alam semesta menjadi beberapa lapisan tanah atau loka. (mif) Baca juga :

Read More

Mengenang Presiden Pelukis yang Fenomenal, Penyampai Gerakan Demokrasi

Jakarra — 1miliarsantri.net : KP Hardi Danuwijoyo (1951-2023). Lahir di Blitar, 6 Mei 1951. Ia kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta dan mendapat beasiswa untuk kuliah di Jan Van Eyc Academie, Maastricht, Belanda. Ia adalah salah seorang perancang “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Namun pada 28 Desember 2023, pelukis Hardi yang ekspresif dan fenomenal meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pukul 09.00 WIB di rumahnya, di kawasan Joglo, Jakarta Barat. Namanya menjadi populer saat ditangkap oleh Laksuda Jaya pada Desember 1978, karena lukisan foto dirinya, dengan pakaian jendral berbintang berjudul “Presiden tahun 2001, Soehardi”. Lukisan tersebut sebagai bentuk protes yang sangat lantang di tengah pemerintah Orde Baru yang sangat represif dan militeristik, juga sebuah perlawanan, sekaligus tantangan yang cukup menantang kepada penguasa. Ia juga begitu peduli dengan kondisi sosial, politik dan hukum serta hak asasi manusia. Acara diskusi kebudayaan ini adalah sebuah upaya untuk mengenang kiprah beliau dalam pergerakan sosial melalui kiprahnya dalam dunia Senirupa . Menurut sang putri Oriana Titisari, ayahnya meninggal dalam keadaan tidur. Penyakit radang meningitis menyerang Hardi. Penyakit radang selaput otak ini merupakan peradangan pada meningen, yaitu lapisan pelindung otak dan saraf tulang belakang, gejala awalnya mirip dengan flu, demam dan sakit kepala. Penyebabnya bisa infeksi bakteri, virus, jamur atau parasit sehingga membuat daya tahan tubuh melemah. Hardi dimakamkan di TPU Tanah Kusir ba’da azar. Pelukis yang mahir ilmu silat Bangau Putih itu, wafat dengan kondisi yang berbeda dari tubuh sebelumnya di mana Hardi terlihat gempal, berotot, sehat berkat ilmu silat yang ditekuninya. Akibat penyakit meningitis itu, ingatan Hardi mulai menurun. Ia sempat dirawat di RS Pusat Otak Nasional (PON) dan dirawat di sana selama sepuluh hari akibat terjatuh dari tangga. Sepeninggal sang istri, Susan yang wafat Oktober tahun lalu, kesehatannya mulai menurun. Hardi merupakan tokoh seni rupa penting Indonesia. Ia merupakan Pelopor Gerakan Seni Rupa Indonesia yang mewarnai dinamika kesenian khususnya seni lukis di Tanah Air. Anggota Gerakan Seni Rupa, terdiri dari FX Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna. Karyanya dikoleksi Keluarga Cendana, menteri-menteri kabinet Orde Baru dan Orde Reformasi, tokoh-tokoh nasional, kalangan pengusaha dan rekan-rekan seniman. Selain lembaga-lembaga bergengsi seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi, Balai Senirupa DKI, Dinas Kebudayaan DKI, TIM, LBH, Wisma Seni Nasional, Bentara Budaya, PT. Coca Cola, Museum Neka Ubud-Bali, Yayasan Pengembangan Bisnis Indonesia. Ia salah satu pelukis aliran ekspresionis yang terkenal dengan berbagai aktivitas lintas seni dan kebudayaan di Indonesia. Hardi mengawali kariernya pada 1970 di Ubud, Bali. Ia melukis bersama W. Hardja, Anton Huang, kemudian kuliah di Akademi Seni Rupa Surabaya. Tahun 1971-1974, Hardi kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta, berlanjut tahun 1975-1977 kuliah di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda. Dalam bidang senirupa Hardi berguru kepada Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Hans Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman Gunarsa, dan Drs Sudarmadji. Untuk mengenang pelukis Hardi, akan diadakan diskusi kebudayaan yang bertempat di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada Rabu 3 Januari 2024, pukul 15.00-18.00 WIB. Adapun pembicara yg akan menjadi pemantik diskusi adalah, Aidil Usman (Ketua Komite Senirupa DKJ), Bambang Asrini Wijanarko (Kurator Senirupa), Fanny J Poyk (Novelis) & Yusuf Susilo Hartono (Kritikus Seni) dengan moderator, Amien Kamil. (Iin) Baca juga :

Read More

Kisah Arungbinang dan Cikal Bakal Menjadi Kota Kebumen

Kebumen — 1miliarsantri.net : Kisah Arungbinang di Kebumen ini dikutip Nusantara62 dari buku Cerita Rakyat Jawa Tengah, yang diterbitkan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (2013). Berikut Kisah Arungbinang di Kebumen, Cerita Rakyat Jawa Tengah: Di wilayah Kebumen, nama Tumenggung Arungbinang menjadi tokoh yang melegenda. Tumenggung Arungbinang adalah cikal bakal bupati Kebumen yang memerintah secara turun temurun. Setelah meninggalnya Sultan Agung Hanyokrokusumo di tahun 1645, kekuasaan Mataram diserahkan kepada Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat I bersifat otoriter, keras kepada siapa saja yang menentangnya. Keadaan ini menjadikan Mataram tidak menentu. Melihat kondisi kerajaan yang tidak menentu, para pemimpin Mataram, termasuk dewan penasihatnya, berjalan sendiri-sendiri. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan kebijakan raja. Kelompok yang setuju hidup dengan nyaman tinggal di wilayah kerajaan. Kelompok yang tidak setuju, sebagian berdiam diri dan lainnya menyingkir ke luar kota supaya terhindar dari hukuman. Salah satu anggota dewan penasihat yang menyingkir adalah Pangeran Bumidirjo yang merupakan salah satu adik Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pangeran Bumidirjo pergi ke arah barat. Tujuannya untuk menghindari pengejaran dan penangkapan petugas kerajaan. Salah satu caranya adalah dengan melepaskan seluruh jabatan dan pakaian kerajaan serta mengganti nama dirinya dengan sebutan Ki Bumi. Perjalanan Ki Bumi sampai ke wilayah Panjer yang saat itu dipimpin oleh Ki Gede Panjer II. Oleh Ki Gede Panjer II, ia diberi tanah di sebelah utara Sungai Luk Ulo untuk dijadikan tempat tinggal. Kepergian Pangeran Bumidirjo diketahui oleh Sunan Amangkurat I. la lalu mengirim utusan untuk mencari Pangeran Bumidirjo dengan tugas membawanya kembali ke Mataram. Perjalanan utusan itu sampai ke wilayah Panjer. Mereka menyebar orang untuk mencari informasi keberadaan Pangeran Bumidirjo. Akhirnya salah satu dari mereka pun menemukannya di wilayah Panjer. “Maafkan kami, Pangeran, Sunan Amangkurat menghendaki Pangeran kembali ke Mataram,” kata utusan tersebut. “Engkau pasti tahu, Prajurit. Aku tidak mungkin kembali ke Mataram selama Sunan Amangkurat masih bersikap sewenang- wenang” jawab Pangeran Bumidirjo atau Ki Bumi tegas. “Tetapi kami harus membawa Pangeran pulang” kata utusan itu lagi. “Pulanglah kalian! Sia-sia kalian membujukku kembali ke Mataram. Aku tidak mungkin kembali,” ucap Pangeran Bumidirjo. Utusan itu semakin bingung. Di satu sisi, sebenarnya ia sangat menghormati Pangeran Bumidirjo, namun di sisi lain ia juga takut dengan hukuman Sunan Amangkurat I jika pulang tanpa membawa hasil. Akhirnya karena takut dihukum mati, utusan tersebut memilih tidak kembali ke Mataram. la kemudian menjadi pengikut Pangeran Bumidirjo atau Ki Bumi. Karena sudah diketahui keberadaannya, Ki Bumi dan pengikutnya pindah ke arah timur dan sampai di Lerep. Sepeninggal Ki Bumi, pimpinan di daerah itu diserahkan kepada pembantu setianya, yaitu Diporejo, Basek, Tromo, Taman, Banar, Mangun, dan Ketug. Diporejo tinggal di rumah Ki Bumi, sedangkan yang lainnya tersebar di sekitarnya. Bekas tempat tinggal Ki Bumi dinamakan Kabumian. Awalan ka- dan akhiran -an itu dalam bahasa Jawa berarti tempat. Dengan demikian, kata kabumian berarti tempat Ki Bumi. Selanjutnya, Kabumian dalam lidah Jawa disebut Kabumen, atau Kebumen. Tempat tinggal Basek menjadi Kebasekan. Tempat tinggal Tromo menjadi Ketraman. Tempat tinggal Taman menjadi Ketamanan. Tempat tinggal Ba- nar menjadi Kebanaran. Tempat tinggal Mangun menjadi Ke- mangunan. Demikian pula tempat tinggal Ketug menjadi Ke- tugan. Sementara itu, dari Lerep Ki Bumi pindah ke Desa Lundong. Di desa ini ia tinggal sampai akhir hayatnya. Jenazahnya dimakamkan di Desa Lundong, Kecamatan Kutowinangun. Ki Bumi sendiri memiliki anak bernama Kyai Gusti, Nyai Ageng, dan Kyai Bekel. Kedudukan Ki Bumi digantikan oleh Kyai Bekel. Selanjutnya, Kyai Bekel berputra Kyai Ragil. Kyai Ragil berputra Ki Hanggayuda. Ki Hanggayuda ini menjadi demang di Kutowinangun. Anak Ki Bumi yang lain, yaitu Nyal Ageng kawin dengan Demang Wernagaya dari Wawar dan melahirkan dua orang putri. Putri yang pertama menjadi istri Demang Hanggayuda. Sefangkan Putri yang kedua menjadi istri Pangeran Puger dari Mataram. Dari perkawinan putri Nyai Ageng dengan Pangeran Puger itu lahirlah seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Jaka Sangkrib yang semasa kecil nya diasuh oleh Demang Hanggayuda. Akan tetapi, karena memiliki penyakit kulit, Jaka Sangkrib dikucilkan oleh saudara-saudaranya. Akibat perlakuan itu, Jaka Sangkrib mengembara untuk menyembuhkan penyakitnya. Setelah mengalami berbagai peristiwa dan bertapa di perut kerbau serta mandi air Bejl Kuwarasan, ia sembuh dari penyakitnya. Setelah sembuh, Jaka Sangkrib melanjutkan pengembaraannya. la mengunjungi Gua Menganti, Karangbolong, Pantai Brecong, dan menyusuri pantal selatan untuk menambah ilmu kesaktiannya. Pengembaraan itu berakhir saat bertemu dengan ibunya di Kademangan Wawar. Jaka Sangkrib kemudian membantu memadamkan pemberontakan Demang Pekacangan terhadap Demang Hanggayuda di Kutowinangun. Beberapa saat kemudian, Jaka Sangkrib mengembara kembali dengan tujuan masuk ke istana Mataram. Pada waktu bertapa di Gunung Bulupitu, Jaka Sangkrib bertemu dengan Dewi Nawangwulan. Dewi Nawangwulan bersedia membantunya untuk bertemu dengan ayahnya di Mataram. Saat itu Pangeran Puger sudah menjadi raja di Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwana I. Dewi Nawangwulan memberi cara kepada Jaka Sangkrib, yaitu dengan mencegat petugas pembawa upeti yang akan ke istana Mataram. Jaka Sangkrib juga berganti nama menjadi Surawijaya. Usaha ini berhasil melancarkan perjalanannya ke istana Mataram. Sebelum diakui sebagai keluarga istana, Surawijaya diminta memadamkan pemberontakan di Banyumas. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan itu, Jaka Sangkrib atau Surawijaya diangkat menjadi Mantri Gradag dengan gelar Hangabehi Hanggawangsa. Selanjutnya, Hangabehi Hanggawangsa diberi gelar Tumenggung Arungbinang. Tumenggung Arungbinang memiliki jasa yang besar, salah satunya mencari tempat untuk memindahkan istana Mataram dari Kartasura. Sesuai dengan perhitungan, Tumenggung Arungbinang menetapkan Solo sebagai ibu kota yang baru. Dinasti Arungbinang berlangsung dalam delapan turunan. Arungbinang I dan Arungbinang II menjadi bupati Sewunumbakanyar di Surakarta. Arungbinang III menjabat bupati Gunung di Kutowinangun. Arungbinang IV-VIII menjadi Bupati Kebumen.(hen) Baca juga :

Read More