Setelah Bertemu Wahidin, Lahirlah Budi Utomo dan Hari Kebangkitan Nasional

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Setelah berkeliling ke berbagai wilayah, dokter Wahidin Soedirohoesodo beristirahat di Batavia pada pertengahan 1907. Dokter Soetomo berkesempatan bertemu dengannya. Soetomo menyimak cerita Wahidin dengan penuh seksama. Pertemuan inilah yang mendorong Soetomo mewujudkan pendirian Budi Utomo pada 1908. Delapan pendiri Budi Utomo tindak tanduknya dinilai Douwes Dekker sangat tenang, kurang cocok dengan kondisi zaman saat itu. Tapi, sekarang tanggal lahir Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wahidin bercerita mengenai upaya penggalangan beasiswa yang dihalang-halangi pihak Belanda. Saat ia tiba di suatu daerah sudah tersiar kabar para priyayi tak akan menghadiri pertemuan dengan Wahidin. Para priyayi itu dihalang-halangi oleh asisten residen agar tidak menemui Wahidin. Wahidin pun bergegas menghadap asisten residen itu. Soetomo, yang dikutip Ketua Budi Utomo periode 1917-1918, menceritakannya sebagai berikut: Sesoedahnja masoek didalam kantor toean Ass.-Resident itoe, tinggallah beliau berdiri dengan diam, hingga toean Ass.-Resident menengok padanja. Toean Ass.-Resident mendjadi sabar, seketika itu djoega, moekanja mendjadi manis dan tersenjoem poela. Maka kata Toean Ass.-Resident padanja: “Dokter, maksoedmoe haroes ditoendjang sekoeat-koeatnja. Baiklah berbitjara pada hari malam conferentie, hingga sekalian ambtenaar saja dapat mendengarnja.” Maka dengan bantoean toean Ass.-Resident ini, jang moela asalnja bermaksoed akan merintangi kemaoeannja itoe, dapatlah beliau perhatian jang loear biasa besarnja. Kesediaan Wahidin menghadap asisten residen dan berdiam diri selama belum disapa, memberikan gambaran bahwa sebagai orang Jawa Wahidin bisa menunjukkan sikap anak kepada bapak agar keinginannya dituruti orang tua. Demikianlah, sebab orang-orang Belanda memang memosisikan dirinya sebagai “bapak” bagi bangsawan Jawa. Dengan kesadaran barunya, Soetomo bersama tujuh pemuda bangsawan Jawa yang menempuh studi di STOVIA mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Di kemudian hari, tanggal kelahiran Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Budi Utomo yang tenang menggambarkan karakter para pendirinya. Dengan tenang, Budi Utomo memperjuangkan perluasan pendidikan bagi orang Indonesia seperti yang telah diperjuangkan oleh dokter Wahidin Soedirohoesodo, tapi tujuh tahun kemudian, mulai 1915, menekuni urusan politik juga. Ketenangan Budi Utomo yang didirikan dokter Soetomo itu khas bangsawan Jawa. Itu membuat EFE Douwes Dekker perlu menyentilnya. Douwes Dekker menganjurkan agar anggota Budi Utomo tidak memakai kain saat mengadakan pertemuan. Sebagai anak bangsawan, mereka selalu mengenakan kain dan blangkon dengan mondolan di bagian belakang ketika belajar di STOVIA dan di dalam pertemuan-pertemuan Budi Utomo. Itu merupakan cara berpenampilan yang baik bagi bangsawan muda Jawa yang mau bangkit pada saat itu, sehingga tanggal lahir Budi Utomo dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Penampilan lahiriah ini penting selain juga harus menjaga ucapan. Sastrawan dan budayawan Yogyakarta, Iman Budhi Santosa, mengutip Serat Sasanasunu yang ditulis pujangga Surakarta, Yasadipura II, pada 1820: Dalam Sasanasunu pupuh 3 bait 16, terdapat ajaran mengenai berbusana sebagai berikut: “Rehning anom sawatawis/bareo bareo aja/iku bangsat panganggone/lan den nganggo masa kala/lulungan pasamuwan/jingkengan sawetareku/pepenyon amomondholan.” Artinya: “Karena masih muda, baiklah rapi tetapi secukupnya saja/jangan boros dalam hal pakaian/karena seperti itu cara berpakaiannya penjahat/berpakaian rapi perlu melihat situasi/seperti sewaktu bepergian atau pesta/ikat kepala diatur semestinya/dengan mondolan dan bentuk penyunya.” Tetapi, menurut Douwes Dekker, penampilan lahiriah pemuda bangsawan Jawa itu tidak bisa mewakili karaker pemuda yang diperlukan saat itu. Maka, kepada para siswa STOVIA anggota Budi Utomo itu, pada 1912 Douwes Dekker berkata, ”Hilangkan dan buanglah itu semua.” Roeslan Abdoelgani pernah menanyakan alasan Douwes Dekker menyarankan hal itu. “Och, Roeslan, onze jongens moeten brutal zijn even brutal als de Nederlanders,” jawab Douwes Dekker. Roeslan Abdoelgani menceritakan hal itu pada pembentukan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Cabang Bandung, 15 Juli 1963. Arti jawaban Douwes Dekker: “Oh, Roeslan, pemuda kita harus kurang ajar seperti kurang ajarnya pemuda Belanda.” Kain dan mondolan blangkon itu pernah menjadi bahan poyokan orang pesisir utara. Mereka masuk Yogyakarta di zaman revolusi kemerdekaan. Melihat mondolan di blangkon –seperti diceritakan Sukarno dalam suratnya kepada Douwes Dekker— orang pesisir utara itu menceletuk, “Apa itu, zaman perjuangan, granatnya tidak dilempar, tetapi disimpan di belakang kepala.” Berbeda dengan para pemuda di Batavia, para pemuda Indonesia yang berada di Leiden, Belanda, sudah mengenakan celana pantalon dan jas. Pada tahun 1917 mereka mulai mengenal nama “Indonesia” yang kemudian dibawa pulang ke Batavia, jauh sebelum Soetomo bertemu Wahidin Soedirohoesodo. Maka, ketika Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo, mereka belum mengenal kata “Indonesia”. tapi tanggal lahir Budi Utomo kemudian menjadi Hari Kebangkitan Nasional bagi bangsa Indonesia. Di Batavia, pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda, nama “Indonesia” itu dipakai secara informal untuk mengganti nama resmi yang dipakai Belanda: Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Inilah contoh dari kuasa bahasa dalam pepatah Belanda: Taal is macht. Bahasa adalah kekuatan. Bahasa adalah kuasa. (jeha) Baca juga :

Read More

Kisah Sunan Amral Mengenakan Baju Kompeni Saat Menjemput Pakubuwono 1

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pakubuwono I menuruti permintaan Adipati Urawan mengirim utusan untuk menghadap Amangkurat II. Urawan saat itu menyamar sebagai tukang rumput menemui Pakubuwono I sebagai utusan Amangkurat II untuk menghentikan perang kakak adik berebut keraton Mataram. Dalam suratnya yang dititipkan kepada utusan, Pakubuwono I menyerahkan hidup matinya kepada Sunan Amral alias Amangkurat I. Setelah membaca surat itu Sunan Amral pun berniat menjemput adiknya, Pakubuwono I. Saat menjemput, Sunan Amral mengenakan pakaian Kompeni. Prajurit Mataram pengiring Pakubuwono I pun bersiaga, Sunan Amral hampir fiserbu lagi karena dikira musuh. Sebelum penjemputan dilakukan, Sunan Amral memerintahkan kepada Patih Nerangkusumo untuk menyiapkan tempat tinggal untuk Pakubuwono I. Tempat tinggal itu tidak boleh jauh dari keraton. Selama tujuh hari tempat tinggal dipersiapkan di sebelah barat pasar. Semua perlengkapan didatangkan dari keraton. Saat hari penjemputan tiba, Sunan Amral naik gajah. Pakubuwono I meminta para prajurit mengikat tombak. Tembang kodhok ngorek bergema dari gamelan, genderang bergemuruh. Gara-gara Sunan Amral datang dengan mengenakan pakaian Kompeni, prajurit Pakubuwono I melepas tombak-tombak dari ikatannya. Mereka bersiap menyerbu Sunan Amral, membuat prajurit Kartosuro yang mengiring Sunan Amral kalang kabut. Pakubuwono I kaget dibuatnya sehingga bertanya kepada punggawanya. Ia mendapat jawaban jika ada yang datang mengenakan pakian Kompeni. Itulah yang membuat para prajurit bersiaga. Pakubuwono I pun segera meminta Adipati Urawan menemui Sunan Amral untuk memberi tahu bahwa penampilannya membuat prajurit Mataram terkejut. Mereka menganggap yang datang adalah musuh. Prajurit Kartosuro yang sudah melarikan diri menduga, Pakubuwono I hanya pura-pura menyerah. Mereka menduga Pakubuwono I akan mengamuk begitu sudah dekat dengan Sunan Amral. Maka, meliihat prajurit Mataram membuka ikatan tombak dan bersiaga untuk menyerbu Sunan Amral yang mengenakan pakaian Kompeni, prajurit Mataram melarikan diri. Mereka tak mau menjadi korban perang saudara berebut keraton Mataram. Tiba di hadapan Sunan Amral, Adipati Urawan menyampaikan pesan Pakubuwono I bahwa prajurit Mataram terkejut melihat Sunan Amral datang mengenakan pakaian Kompeni. Dikira, musuh yang datang, Sunan Amral hampir diserbu lagi. Sunan Amral lalu memerintahkan Urawan kembali kepada Pakubuwono I. Pakubuwono I pun meminta para prajurit mengikat kembali tombak mereka laku berangkat menemui Sunan Amral. Begitu tiba di hadapan Sunan Amral, Pakubuwono I turun dari kuda. Ia langsung sungkem dan Sunan Amral segera memeluknya. Mereka menangis haru. Kepada para adipati, Sunan Amral meminta agar mereka juga berbakti kepada Pakubuwono I. Para adipati segera msju untuk menyampaikan sembah bakti. Mereka kemudian bersama-sama berangkat ke keraton. Pakubuwono I mrnyerahkan keraton Mataram kepada Sunan Amral. Sunan Amral kemudian memberikan gelar baru buat adiknya, yang merupakan wasiat dari Amangkurat I, yaitu Pangeran Adipati. Pangeran Puger yang menjadi Pakubuwono I kini menjadi Pangeran Adipati Puger. Oleh Sunan Amral, Pangeran Adipati Puger diserahi tanggung jawab terhadap 12 ribu orang Matatam. (jeha) Baca juga :

Read More

Ketika Sultan Agung Buatkan Kelompok Orang Kalang Permukiman

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Di Jawa ada kelompok masyarakat yang disebut sebagai orang Kalang, dimana mereka hidup di tengah hutan yang berprofesi sebagai tukang kayu yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah undagi. Kelompok masyarakat ini sudah ada sejak abad ini ke-8, pada masa Sultan Agung Mataram mereka dibuatkan permukiman. Tujuannya agar mereka tidak berpindah-pindah tinggal di hutan. Permukiman itu dibangun pada 1636. Lokasinya ada di dalam dan di luar ibu kota Mataram. Selama abad ke-8 hungga ke-15, mereka tunggal berpindah-pindah di tengah hutan. Meski mengasingkan diri, mereka berknteraksi juga dengan masyarakat luar hutan. Kemahiran mereka mengolah berbagai peralatan dari kayu dibutuhkan oleh masyarakat di luar kelompok mereka. Dalam perkembangannya, wilayah jelajah mereka mskin berkurang, setelah terjadi pembabatan hutan untuk berbagai keperluan. Hutan di wilayah pesisir semakin terbuka setelah diperlukan banyak kayu untuk membuat kapal. Maka mereka yang pelan-pelan semakin masuk ke dalam hutan skhirnya ke luar hutan juga setelah hutan semakin berkurang. Sultan Agung memahami kesulitan mereka sehingga membuatkan permukiman. Kampung mereka disebut Kalangan atau Pekalangan. Di antara mereka ada juga yang dijadikan sebagai abdi dalem di keraton. Sebagai abdi dalem, tugasnya membangun rumah, masjid, mrmbuat gerobak pedati, dan sebagainya. Dengan tugas itu, maka mereka juga harus mencari kayu jati di hutan. Lalu membawanya keluar hutan untuk dipakai sebagai bahan berbagai peralatan dan bangunan. Sebelum digunakan, kayu-kayu itu dikumpulkan di alun-alun. Kayu-kayu itu kemudian mereka olah sesuai kebutuhan. Tapi di lingkungan masyarakat keraton saat itu, keberadaan orang Kalang dianggap hina. Meski sudah dibuatkan perkampungan sejak zaman Sultan Agung, mereka masih biasa berpindah-pindah. Mereka bongkar rumah mereka, lalu diangkut dengan gerobak pedati, yaitu gerobak yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Peralatan untuk mengolah katu juga mereka bawa pindah ke permukiman baru. Pada masa Amangkurat I, orang-orang Kalang tercatat bermukim di Jipang dan Lamongan. Pada masa Amangkurat II, 7.000 orang Kalang yang menjadi tanggung jawab Tumenggung Sosrowijoyo. Mereka tidak lagi tinggal di hutan. Sosrowijoyo memiliki tugas memelihara konpleks keraton. Di bawah Sosrowijoyo, orang-orang Kalang itu bejerja menelihara kompleks keraton Kartosuro. Ketika Mataram dibagi dua menjadi Yogyakarta dan Surakarta, orang Kalang juga dibagi dua. Yogyakarta dapat 3.000 orang Kalang, Surakarta juga mendapat 3.000 orang Kalang. Pada awal-awal mereka dibuatkan permukiman, Sultan agung melalukannya dengan setengah memaksa. Jika tidak, mereka tak akan pindah dari hutan. “Sangat mungkin hal itu dilakukan untuk memudhkan pengawasan dan juga untuk menghubungi mereka jika diperlukan,” ujar Agus Aris Munandar. (jeha) Baca juga :

Read More

Kisah Tukang Rumput Damaikan Sunan Amral dan Pakubuwono I yang Perang Berebut Keraton Mataram

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Perang kakak adik berebut keraton Mataram tak terhindarkan. Hal itu terjadi karena laporan palsu utusan Pakubuwono I yang dikirim untuk menemui Amangkurat II. Amangkurat II alias Sunan Amral, berkeraton di Kartosuro, Pajang. Ia menyerbu keraton Mataram di Plered yang sudah dikuasai adiknya, Pangeran Puger alias Pakubuwono I. Tukang rumput mendamaikan kakak adik yang perang berebut keraton Mataram akibat kesalahpahaman itu. Untuk menyudahi kesalahpahaman itu, Sunan Amral mengirim utusan untuk menemui Pakubuwono I. Ia diutus untuk membujuknya. “Jangan membawa teman seorang pun. Bujuklah adindaku itu,” kata Sunan Amral alias Amangkurat II. Utusan itu berangkat dengan menanggalkan pakaian kebangswanannya. Ia lalu mengenakan pakaian santri. Utusan itu lalu berbaur dengan tukang rumput. Tukang rumput yang mengurusi kuda-kuda Pakubuwono I pun bertanya kepada tukang rumput gadungan itu. Ia menjawab sebagai tukang rumput Ki Tambakboyo. Ia harus melarikan diri karena habis dipukuli. Oleh karena itu ia bergabung dengan para tyjang rumput raja. Jika ia kembali, ia takut akan dipukuli lagi. Tukang rumput raja merasa kasihan, sehingga menerimanya bergabung. Ia diminta membawa dedak. Saat tiba di pesanggrahan, Pakubuwono I sedang memeriksa kudanya . Selama perang, Pakubuwono I telah meninggalkan keraton Mataram di Plered. Tukang rumput gadungan utusan Sunan Amral alias Amangkurat II itu segera menyembah. “Aduh Gusti, abdi Paduka seperti bermimpi,” kata tukang rumput gadungan itu sambil menangis. Pakubuwono I kaget melihat orang yang sedang menyembah di hadapannya. Ia kenal dengan orang itu. “Apa tugasnya sehingga sakit menangis?” tanya Pakubuwono I, yang telah melakukan perang melawan kakaknya berebut keraton Mataram. “Duhai Gusti, bunuhlah hamba kalau Paduka masih berselisih dengan kakanda Paduka. Bagaimana jadinya bumi ini?” kata tukang rumput gadungan. Sebelum Pakubuwono I menyela, ia melanjutkan perkataannya. “Siapa yang akan mengurusi Tanah Jawa selain Paduka Gusti bersama kakanda Paduka?” tanya tukang rumput gadungan. Ia lalu menyatakan telah banyak raktat kecil tewas dalam perang berebut keraton Mataram itu. Ia meminta bekas kasihnya agar tak ada lagi rakyat yang menjadi korban “Siapa yang kehilangan jika Tanah Jawa rusak? Ya tentu Pafuka Gusti dan kakanda Paduka,” kata tukang rumput gadungan. Jika Mataram aman dan makmur, lanjut dia, tentu Pakubuwono II dan Sunan Amral yang menikmatinya. “Kalau Paduka menghendaki naik tahta, mintalah baik-baik dan bertemulah dengan kakanda Paduka,” kata tukang rumput gadungan memberi saran. Pakubuwono I tersentuh dengan kata-kata tukang rumput gadungan itu. Ia lalu menuruti kata-katanya. “Sampaikan sembah baktiku kepada Kakanda dan mohonkan maaf untuk semua kekeliruanku,” kata Pakubuwono I. Tapi tukang rumput gadungan itu tidak mau pulang. Ia meminta agar mengirim utusan menemui Amangkurat II. Tukang rumput gadungan Sunan Amral itu akan pulang bersama Pakubuwono I, jika Pakubuwono sudah siap untuk pulang. Pakubuwono I kemuduan mengutus tiga orang untuk menyampaikan surat keoada Sunan Amral alias Amangkurat II. Lewat surat itu, Pakubuwono I menyatakan menghentikan perang berebut keraton Mataram. Ia menyerahkan hidup matinya kepada Sunan Amral. Sang Raja pun memerintahkan kepada Patih Nerangkusumo agar menyiapkan tempat tinggal untuk adiknya, Pakubuwono I. Pakubuwono I kemudian pulang dan menjadi Pangeran Puger lagi. Adipati Urawan, utusan Sunan Amral yang menyamar sebagai tukang rumput, melaporkan bahwa Pakubuwono I sudah siap bertemu dengan Sunan Amral. Sang adik sungkem dan kemudian memeluk sang kakak. “Air mata mengucur deras,” tulis Babad Tanah Jawi. (jeha) Baca juga :

Read More

Turki Kembali Jadikan Gereja Kuno Ikonik Menjadi Masjid

Istanbul — 1miliarsantri.net : Turki kembali membuka gereja kuno bernama Chora, salah satu bangunan Bizantium paling terkenal di Istanbul, untuk ibadah umat muslim setelah sebelumnya digunakan sebagai museum selama lebih dari 70 tahun. Presiden Turki Tayyip Erdogan telah meresmikan pembukaan Gereja Chora, atau Kariye sebagai mesjid pada Senin (6/5/2024) setelah dilakukan restorasi. Gereja yang dibangun pada abad ke-4 ini sempat menjadi museum pada 1945. Meskipun dijadikan Mesjid, Erdogan tetap menjadikan aula luar sebagai museum, sehingga pengunjung dapat melihat mosaik berharga yang menghiasi langit-langit Turki. Salah satu turis asal Inggris, Ferdy Simon mengatakan, dia lebih suka bangunan itu tetap dijadikan museum agar orang bisa melihat mosaik dan lukisan dinding di sana. “Sepertinya ini merupakan langkah politik,” katanya, berbicara di luar Chora. “Agak disayangkan kalau melihat perempuan-perempuan taat datang ke sini untuk salat dan mereka diberitahu tidak boleh masuk ke area utama narthex,” imbuhnya merujuk pada fakta bahwa bagian area utama diperuntukkan bagi laki-laki, seperti di semua masjid. Di sisi lain, seorang pria Turki yang datang untuk salat bernama Ugur Gokgoz, mengatakan bahwa digunakannya Gereja Chora sebagai masjid adalah hak masyarakat Turki. Pemerintah pun tidak menghilangkan artefak yang ada dan tetap melestarikannya. “Ada bagian kecil yang diperuntukkan untuk salat. Bahkan mereka (pemerintah) tidak merobohkan semua bangunan dan mengubahnya menjadi masjid secara utuh,” ujarnya. Sebagai informasi, Erdogan seorang pejuang Muslim yang saleh di Turki dan ketua partai yang berpegang teguh pada islam, sebelumnya juga telah mengubah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid pada 2020 dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh puluhan ribu orang. Langkah tersebut dikritik oleh para pemimpin gereja dan beberapa negara Barat, yang mengatakan bahwa mengubah kembali Hagia Sophia berisiko memperdalam perpecahan agama. Erdogan pun menepis kritikan tersebut dan mengatakan langkah tersebut adalah campur tangan terhadap hak kedaulatan dan dia bertekad untuk melindungi hak-hak umat Islam. (hur) Baca juga :

Read More

Keturunan dari Raja yang Punya Banyak Anak Jadi Raja tanpa Cawe-cawe Orang Tua

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Anak-anak muda ini jadi raja tanpa bantuan orang tua. Sebut saja nama Pangeran Jimbun, Joko Tingkir, Sutowijoyo, Raden Wijaya, Ken Arok, dan Jayakatwang. Pangeran Jimbun meniadi Raja Demak dikenal dengan nama Raden Patah. Joko Tingkir menjadi Raja Pajang dengan nama Sultan Hadiwijoyo, dan Sutowijoyo menjadi raja Mataram dengan nama Panembahan Senopati. Raden Wijaya menjadi raja Majapahit, Ken Arok menjadi raja Singosari, dan Jayakatwang menjadi raja Kediri. Mereka keturunan dari raja yang punya banyak anak, sehingga mereka bukan putra mahkota. Lantas, bagaimana mereka bisa menjadi raja tanpa cawe-cawe orang tua, bahkan menjadi pendiri kerajaannya? Tapi ada yang memakai cara licik. Pangeran Jimbun adalah anak raja terakhir Majapahit, Brawijaya V. Ibunya diuang oleh Brawijaya V saat mengandung dirinya, diberikan kepada Adipati Palembang Arya Damar. Joko Tingkir juga masih keturunan dari Brawijaya V. Kakeknya, Ki Ageng Pengging I (Andayaningrat) merupakan menantu Brawijaya V. Sutowijoyo juga masih keturunan dari Brawijaya V. Brawijaya V memiliki anak yang diramalkan akan mengalahkan nama besar Brawijaya V, karenanya ia dibuang ke Tarub, Grobogan, semasa masih kecil. Nama anaknya Bondan Kejawan, yang kemudian diambil menantu oleh Joko Tarub yang menikahi bidadari. Sutowijoyo merupakan keturunan kelima dari Bondan Kejawan. Raden Wijaya merupakan keturunan keempat dari Ken Arok dan Ken Dedes dari pihak ibu. Sedangkan Ken Arok merupakan anak dari pembantu adipati pada masa Kerajaan Kediri. Ayahnya bernama Gajah Para dan ibunya bernama Ken Endok. Dari nama-nama yang disebut di atas, hanya Ken Arok yang bukan keturunan dari raja. Ken Arok harus berjuang keras untuk bisa menjadi raja setelah hidup dalam pengasuhan penjudi karena bapaknya meninggal saat ia masih di kandungan. Tapi cara yang ia lakukan untuk ukuran sekarang dianggap cara licik. Saat raja terakhir Singosari Kertanegara mendapat perlawanan dari Bupati Gelang-gelang Jayakatwang, Raden Wijaya mendapat tugas menumpas pemberontakan itu. Tetapi para pemberontak berhasil membunuh Kertanegara. Jayakatwang yang merupakan keturunan dari raja terakhir Kediri, Kertajaya. Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Ken Arok berjuang cukup lama dengan cara untuk ukuran sekarang disebut licik. Kediri surut, ken Arok menjadi Singosari tanpa cawe-cawe orang tua. Raja terakhir Singosari, Kertanegara, adalah mertua Raden Wijaya. Empat putri Kertanegara dinikahi oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya bukan termasuk raja yang punya banyak anak. Saat Jayakatwang merebut Singosari, Raden Wijaya melarikan diri. Di kemudian hari ia menyusun siasat, mengaku menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Jayakatwang menerimanya. Raden Wijaya lalu meminta kawasan hutan untk berburu, yaitu hutan tarik di sebelah timur Kediri. Saat membuka hutan didapati buah yang rasanya pahit. Itu adalah buah maja, sehingga kampung yang dibangun Raden Wijaya diberi nama Majapahit. Raden Wijaya kemudian merebut kekuasaan dari Jayakatwang dengan memanfaatkan kedatangan tentara Mongol. Majapahit kemudian menjadi kerajaan, bertahan hingga 1478. Raja terakhir Majapahit Brawijaya V tertarik dengan nama pemuda dari Bintoro. Pemuda itu adalah Pangeran Jimbun, yang ternyata adalah anaknya dari istri yang ia berikan kepada Arya Damar. Ia kemudian mengangkatnya sebagai adipati Bintoro. Ketika Majapahit semakin surut, Pangeran Jimbun menjadikan Demak Bintoro sebagai kerajaan baru, tanpa cawe-cawe dari orang tuanya. Sultan ketiga Demak, Sultan Trenggono, memiliki menantu bernama Joko Tingkir yang sebelumnya menjadi santri Ki Ageng Selo di Desa Selo, Grobogan. Ki Ageng Selo adalah cucu dari Bondan Kejawan dan kakek dari ayah Sutowijoyo. Saat sultan terakhir Demak Sultan Prawoto dibunuh Adipati Jipang Aryo Penangsang, Joko Tingkir mendapat tugas untuk menyingkirkan Aryo Penangsang. Ayah Sutowijoyo, Ki Ageng Pemanahan, yang menjadi penasihat Joko Tingkir bisa menyingkirkan Aryo Penangsang dengan menggunakan Sutowijoyo. Ia mendapat hadiah hutan Mentaok di Mataram. Ia lalu membukanya dan membangun permukiman baru di sana. Sutowijoyo yang diangkat sebagai anak oleh Joko Tingkir, kelak diangat menjadi adipati Mataram, ketika Joko Tingkir sudah menjadi Sultan Pajang. Joko Tingkir menjadikan Pajang sebagai kerajaan setelah tak ada keturunan Raden Patah yang meneruskan pemerintahan Kerajaan Demak. Sebagai menantunya, ia melanjutkannya sebagai raja di Pajang, dan menjadikan Demak sebagai wilayah Kadipaten. Sutowijoyo kemudian menjadikan Mataram sebagai kerajaan dan ia menjadi rajanya dengan nama Panembahan Senopati. Pajang juga ia jadikan sebagai wilayah kadipaten. Sutowijoyo kemudian punya banyak anak. Mereka semua bukan putra mahkota, tetapi keturunan dari raja yang punya banyak anak. Kecuali Ken Arok, yang dianggap sebagai keturunan Betara Brahma. Mereka berhasil menjadi raja tanpa cawe-cawe orang tua, kendati ada yang mencapainya dengan cara licik. (jeha) Baca juga :

Read More

Perlawanan Budak di Masyarakat Kolonial Batavia

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Kompeni menguasai Jayakarta. JP Coen menghancurkan lokasi penguasa Jayakarta dan masjid-masjid, lalu membangun benteng untuk masyarakat kolonial. Orang Sunda dan Jawa yang semula menjadi penghuni Jayakarta sejak 1619 dikeluarkan dari Batavia, nama baru untuk Jayakarta. Penduduk pribumi yang tinggal hanyalah para budak dan gundik. Kehidupan para budak ini memprihatinkan, banyak yang meninggal karena kekurangan gizi. banyak yang melakukan perlawanan, tapi mendapat hukuman berat, yang terkenal adalah Untung Suropati. Yang bisa bebas adalah mereka yang digaji cukup sehingga bisa membeli kekebasannya. Atau mereka telah memeluk agama Kristen lalu dibebaskan oleh tuannya, atau seperti Untung Suropati. Budak didatangkan oleh para pedagang senior di Batavia, baik itu budak laki-laki ataupun budak perempuan. Budak perempuan ada yang kemudian menjadi gundik. Pada 1620, JP Coen mencatat, penduduk yang tinggal di dalam tembok Batavia hanya 2.000 orang. Sebanyak 10 ribu sampai 15 ribu tinggal di luar tembok. Budak-budak yang merdeka diberdayakan sebagai milisi Kompeni sejak 1622. Tugasnya melakukan jaga malam. Maka, budaya dominan orang-orang Eropa yang memiliki gundik adalah budaya Asia. Bukan budaya Eropa. Maka, anak-anak mereka akan kehilangan hak untuk pulang ke Belanda dan kehilangan hak mendapat pendidikan di Eropa. Perempuan pribumi yang semula menjadi budak, kemudian menjadi nyonya di keluarga laki-laki Eropa yang menikahinya. Tapi, mereka yangtetap sebagai budak, selain kekurangan gizi, juga tidak mendapat tinggal yang layak. Akibatnya, banyak budak yang melawan tuannya. Budak yang melawan biasanya akan mendapat hukuman yang berat. Untung Suropati, yang semula menjadi perwira Kompeni yang baik. Suropati berasal dari Bali. Ia dibeli oleh Kapten Van Beber di Makassar saat ia masih berusia tujuh tahun. Kompeni menguasai Makassar pada 1669, Kapten Van Beber pulang, membawa Untung Suropati ke dalam kehidupan masyarakat kolonial di Batavia. Van Beber kesulitan keuangan, Van Beber menjual budak-budaknya. Untung Suropati dijual kepada Kapten Moor. Kapten Moor di kemudian hari dikenal sebagai perwira Kompeni yang bersahabat dengan raja Mataram. Kapten Moor naik pangkat dan menjadi anggota Dewan Hindia. Moor juga menyukai Suropati yang pekerja keras. Tapi setelah remaja, Untung Suropati mencintai anak Moor, tetapi mengapa kemudian melakukan perlawanan? Rupanya, Moor marah kepada Untung Suropati yang tidak tahu diri itu. Maka, Untung Suropati dijebloskan ke penjara bawah tanah. Tapi ia berhasil kabur dari penjara bawah tanah, lalu menjadi buron. Ia kemudian menjadi pimpinan orang-orang Bali merdeka, karena tak ada yang bisa mengalahkanya. Karena keandalannya ini, ia kemudian direkrut menjadi perwira Kompeni. Itu terjadi setelah Untung Suropati dan kawan-kawannya menyerang benteng Kompeni di Tanjungpura. Ketika ia mendapat tawaran bergabung di ketentaraan Kompeni, serta-merta ia menyanggupi. Ia ingin membalas dendam kepada Kapten Moor yang telah menjebloskannya ke penjara. Dalam satu kasus, Untung Suropati tersinggung karena ada perwira Kompeni yang pangkatnay leih rendah darinya tidak menuruti perintahnya. Maka ia pun mengerahkan anak buahnya untuk menyerang perwira itu. Apalagi, perwira itu juga menyatakan Suropai adalah budak buron. Setelah penyerangan itu, Suropati meminta perlindungan ke Mataram. Ia berhasil membunuh perwira Kompeni Kapten Tack pada 1686 di Mataram. Kapten Tack merupakan perwira yang menjadi utusan Kompeni menangkap Suropati. Untung Suropati juga mendapat tugas menyelesaikan urusan utang Raja Mataram, Amangkurat II. Amangkurat II memiliki utang cukup banyak sejak ia naik tahta pada 1677. Perlawanan Untung Suropati dan kawan-kawannya memang membuat masyarakat kolonial di Batavia cemas. Maka, Kompeni pun membatasi impor budak laki-laki dewasa untuk kategori tertentu. Budak dari Makassar dan Bali masuk kategori ini, sehingga tidak lagi dibolehkan dibawa ke Batavia. “Setelah 1685, tidak ada budak laki-laki di atas usia 12 tahun dari kedua suku tersebut yang diizinkan untuk dibawa ke Batavia,” ujar Jean Gelman Taylor. Kompeni lebih cemas lagi setelah Untung Suropati membunuh Kapten Tack. Kesiagaan dilakukan dikota-kota yang ada orang Belandanya. (jeha) Baca juga :

Read More

Ketika Pejabat Belanda Berkelakuan Buruk

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pejabat-pejabat Belanda di Yogyakarta berkelakuan buruk. Sebelum meletus Perang Jawa, Asisten Residen PFH Chevallier memiliki hubungan gelap dengan wanita-wanita keraton. Residen Yogyakarta Baron de Salis disebut selingkuh dengan Ratu Ageng. Residen AH Smissaert juga diisukan selingkuh dengan wanita-wanita keraton. Diponegoro juga pernah memergoki Residen Nahuys van Brugst pada 1821 sedang bercumbu dengan istri Asisten Residen RCN d’Abo. Di sisi lain, Asisten Residen PFH Chevallier seljngkuh dengan salah satu selir Diponegoro. “Diponegoro agak jengah dan kikuk, hingga Ny. D’Abo sambil tertawa kecil mengecup Nahuys, satu hal yang membuat Pangeran Jawa itu terheran-heran …,” kata Vincent JH Houben. Nahuys menjadi residen Yogyakarta dan Surakarta pada 1816-2822. Baron de Salis menjadi residen pada 1825-1826. Salis menggantikan Antonie Hendrik Smissaert yang menjadi residen pada 1823-1825. Chevallier menjadi asisten residen pada masa residen Yogyakarta dijabat oleh Smissaert (1823-1825). Isu tentang Smissaert, pernah diungkap lewat surat kaleng. Isinya menyebut Smissaert memiliki hubungan, salah satunya dengan Raden Ayu Gondoresmi. Smissaert kemudian dicopot dari jabatannya. Tetapi ia membantah tuduhan itu. Sekretaris sekaligus penerjemah di kantor Residen Yogyakarta, JG Dietree juga disebut selingkuh dengan wanita-wanita keraton. Pergaulan Dietree dengan wanita-wanita keturunan raja disebut-sebut sebagai sangat berbahaya. Kelakuan-kelakuan seperti yang pernah disaksikan langsung oleh Diponegoro itu tak melulu milik orang-orang Belanda. Ratu Ageng disebut memberi contoh untuk lingkungan keraton. “Kecabulan yang terjadi di keraton, yaang mendapat teladan dari Ratu Ageng, yang menjalankan segala macam kemaksiatan,” kata KRT Hatdjonagoro mengutip catatan Belanda. Babad Cakranegara, menurut Hardjonagoro, juga mencatat isu selngkuh pejabat Belanda dengan wanita keraton. Ratu Ageng, ibunda Hamengkubuwono V, sering disebut mengundang Residen Yogyakarta ke keraton. Bagaimana Ratu Ageng melakukannya di masa Diponegoro memimpin perang? Ia akan mengirim utusan untuk mengundang Residen Yogyakarta. Babad Cakranegara menyebutnya Residen Bongos. Ketika Residen Bongos tiba, Ratu Ageng meminta para abdi keraton menyiapkan tempat yang sepi untuk menerima Residen. “(Mereka) duduk berdekatan,Segala tinggah lau mereka menimbulkan curiga, …,” kata Hardjonagoro mengutip Babad Cakranegara. Siapa Residen Bongos? “Menurut sumber-sumber Belanda ialah Baron de Salis yang menjadi residen Yogyakarta pada waktu itu,” tulis KRT Hardjonagoro dan kawan-kawan. Baron de Salis juga datang di keraton untuk menemui Ratu Ageng pada malam hari. Tak ada yang berani menghalanginya. Patih Danurejo menjadi abdi Belanda yang baik. Ia tak keberatan dengan hubungan De Salis dengan Ratu Ageng. Apalagi panglima perang Tumenggung Wiroguno, tinggal menurut saja. Patih Danurejo dan Tumenggung Wiroguno pernah bermasalah dengan Diponegoro. Yaitu pada saat Patih Danurejo menetapkan pengangkatan petugas pajak. Dalam proyek ini, Tumenggung Wiroguno yang menyediakan prajurit sebagai penarik pajaknya. Banyak keluhan usng disampaikan kepada Fiponegoro. Diponegoro pun menyampaikan protes kepada Hamengkubuwono IV. Danurejo rupanya memang pengabdi sejati Belanda. Danurejo pula yang mengerahkan anak buahnya untuk menjalankan proyek pelebaran jalan yang dibuat oleh residen. Proyek jalan itu mengambil tanah Diponegoro. Danurejo tanpa membicarakannya dengan Diponegoro. Kasus ini diselesaikan dengan senjata, sehingga membuat Diponegoro memilih jalan perang. Selama Perang Jawa berlangsung, Danurejo pun masih mengabdi kepada Belanda, menyetujui segala tindakan residen selingkuh dengan Ratu Ageng. Selir Diponegoro ada juga yang nakal. Ia menjalin hubungan dengan Asisten Residen PFH Chevallier. (jeha) Baca juga :

Read More

Selo Grobogan Istimewa, tak Bisa Diambil Belanda Setelah Diponegoro Ditangkap

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Setelah Diponegoro ditangkap, Belanda mengambil wilayah mancanegara dari Keraton Yogyakarta fan Surakarta. Residen Semarang mengusulkan agar wilayah Kuwu, Selo, Wirosari, yang ada di wilayah Grobogan juga diambil. “Menjelang akhir Oktober 1830 Sunan Pakubuwono VII dibujuk untuk menyetujui pfngambilalihan atas gugus-gugus wilayah itu,” kata Vincent JH Houben. Tapi akhirnya Selo yang luas wilayahnya hanya 150 cavah itu tak bisa diambil oleh Belanda. Apa yang membuat Selo menjadi istimewa dan tak bisa diambil oleh Belanda? Pada mulanya, Gubernur Jenderal Van den Bosch menginginkan wilayah mancanegara dengan batas sebelah barat Kali Progo fan sebelah timur Kali Madiun. Van fen Bosch menginginkan batas wilayah yang sederhana: aliran sungai. Tapi keinginan ini harus berhadapan dengan keklgigihan dua keraton. Wilayah sebelah barat Kali Progo dianggap Yogyakarta sebagai wilayah inti Mataram seekum dipecahmenjadi Yogyakarta dan Surakarta. Akhirnya Belanda mendapat wilayah Kediri dan Madin, Begelen, dan Banyumas. Belanda memberi kompensasi atas wilayah-wilayah itu. Untuk Kediri dan Madiun, Belanda memberi 64 tibu gulden kepada Surakarta dan 27 ribu gulden kepada Yogyakarta. Untuk Begelen, Surakarta dan Yogyakarta masing-masing mendapat 120 gulden. Sedangkan untuk Banyumas, Belanda memberi 80 ribu gulden kepada Surakarta. Yogyakarta mendapat 10 ribu gulden untuk kompensasi Banyumas. Jumlah kompensasi itu di bawah dari hasil perhitungan lapangan yang dilakukan Komisi Kerajaan-Kerajaan. Komisi ini dipimpin oleh Jenderal HM de Kock untuk melakukan perundingan dengan Yogyakarta dan Surakarta. “Tentu saja kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda yang dangat memalukan pada waktu itu berperan dalam hal ini,” ujar Vincent JH Houben. Belanda kemudian memberikan pembayaran senentara. Belanda untung dengan cara ini: pertama, mencegah pemberontakan baru; kedua, meringankan keuangan yang sedang tidak bagus setelah Perang Jawa yang dimulsi oleh Diponegoro. Kesulitan keuangan yang dialami Belznda mendorong Belanda mencari keuntungan dari wilayah-wilayah mancanegara. Itulah sebabnya Belanda mengambil wilayah-wilayah di pinggiran Keraton Surakarta dan Yogyakarta itu setelah Diponegoro ditangkap, tapi Selo di Grobogan tak bisa diambil oleh Belanda Belanda juga mendapat keuntungan lain dari pembayaran semfntara kompensasi wilayah yang diambilnya. Jika hasil perhitungan dari keraton lebih tinggi dari perhitungan dari Komisi, pemerintah Hindia Belanda akan memakai hasil perhitungan Komisi. Hasil perhitungan Surakarta atas kompensasi Bageln dan Banyumas memang lebih tinggi dari hasil perhitungan Komisi. Tapi Surakarta tak mendapatkan kompensasi senilai hasil perhitungan mereka. Selama perundingan berlangsung, Surakarta harus menghadapi juga masalah internal. Pakubuwono VI yang tidak puas dengan perundingan ditangksp Belanda lalu dibuang ke Ambon. Raja baru harus dipilih. Setelah itu perundingan-perundingan dilakukan dengan Pakubuwono VII. Pengambilan wilayah msncanegara yak langsung sekesai pada 1830 atau 1840. Brlanda memiliki kesabaran yang luar biasa, sehingga pengambilalihan wilayah di Karesidenan Semarang baru tuntas di oengujung abad ke-19. “Gugus-gugus wilaysh lain ketajaan itu fi Karesidanan Semarang tetap dipertahankan, mungkin demi menjaga gar tidak muncul letupan-letupan ketidakpuasan baru di kedua keraton,’ ujar VincentJH Houben. Belanda baru mendapatkan wilayah-wilayah di Karesidenan Senarang pada 1899. Bagaimana dengan wilayah Selo? “Pengecualian diberikan atas bagian dari Selo,’ kata Vincent JH Houben. Selo tetap menjadi wilayah keraton. Selo dianggap sebagai tanah pusaka. Selo merupakan wilayah peninggalan Ki Ageng Selo, leluhur raja-raja Mataram. Ki Ageng Selo merupakan keturunan dari Bondan Kejawan, anak Raja Majapahit terakhir, yang dibuang ke Tarub, Grobogan. Itulah alasan yang membuat Selo tak bisa diambil oleh Belanda setelah pemimpin Perang Jawa Diponegoro ditangkap. Untuk Selo, Surakarta menguasai tanah seluas 100 cacah. Sedangkan Yogyakarta mendapat tanah seluas 50 cacah. Di makam Ki Ageng Selo disimpan api abadi yang merupakan api dari langit. Api petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Yogyakarta dan Surakarta mengambil api dari Selo untuk upacara tahunan di keraton. (jeha) Baca juga :

Read More

Kompeni Bunuh 15 Calon Haji yang Dibiayai Sultan Agung

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Peristiwa 11 Juli 1642 itu benar-benar membuat Sultan Agung marah besar. Ia lalu membalasnya dengan melempar tawanan ke kolam buaya. Belum sebanding memang, 15:1. Sebanyak 15 orang Jawa tak bersalah dibunuh Kompeni, hanya satu tawanan yang dibunuh Sultan Agung sebagai balasan. Kompeni memang biadap. Sultan Agung mengirim 18 jamaah calon haji (calhaj) ke Tanah Suci, Kompeni menyergapnya: tiga ditawan, 15 dibunuh. Sungguh biadab. Apa salah 18 calhaj yang berangkat ke Tanah suci atas biaya Sultan Agung itu? Tak ada. Tapi, orang Belanda yang jadi tawanan itu dilrmpar ke kolam buaya karena memberi cincin sebagai hadiah kepada Sultan Agung, dan Sultan Agung jatuh sakit. Konpeni menyergap 18 calhaj itu hanya karena mereka diberangkatkan menggunakan kapal Inggris, Reformation. Padahal sebelumnya, Kompeni sudah tiga kali menawarkan diri akan mengirim calhaj Mataram ke Tanah Suci. Tapi Sultan Agung mengabaikannya. Kompeni menggunakan penawaran itu sebagai imbalan jikaSultan Agung bersedia membebaskan tawanan. Sultan Agung memilih menggunakan kapal Inggris untuk memberangkatkan 18 calhaj itu. Utusan Inggris telah menawarinya untuk mengirimkan calhaj ke Surat, India, lalu lanjut ke Tanah Suci. Tentu saja Inggris mengatakan bukan Inggris yang menawarkan diri. Inggris menyebut, Sultan Agung yang meminta bantuan. Tawanan di Mataram, Antonie Paulo, mendengan rencana ini. Ia lalu berkirim informasi ke Batavia. Maka, ketika kapal Inggris tiba di sebelah barat Pulau Onrust pada 11 Juli 1642, Kompeni menyergapnya. Satu orang Inggris dibunuh dan empat lainnya luka-luka. Saat Kompeni menangkap 18 calhaj yang diberangkatkan oleh Sultan Agung di atas kapal, 15 calhaj melawan. Akhirnya, 15 calhaj itu dibunuh Kompeni di kapal. Sungguh biadab. Tiga calhaj lagi dibawa turun. Mereka menjadi tawanan di Batavia, tapi diberi tunjangan. Calhaj disergap, sehingga gagal berangkat naik haji. Ini membuat Sultan Agung marah besar, apalagi 15 di antaranya dibunuh. Mereka bukan calhaj biasa. Mereka sekaligus sebagai wakil Sultan Agung untuk menyedekahkan sekitar 6.000 riyal logam ke makam Nabi di Madinah. Mereka juga mendapat tugas mengusahakan gelar sultan dari Makkah untuk Sultan Agung. Saat itu Sultan Agung masih memakai gelar Susuhunan: Susuhunan Anyokrowati. Sultan Agung lalu membalas perlakuan Kompeni itu dengan menghukum mati tawanan..Kebetulan yang mendapat hukuman adalah Antonie Paulo. Antonie Paulo telah diangkat oleh Kompeni sejak 1639 sebagai pimpinan orang-orang Belanda yang ditawan di Matatam. Hukuman mati diberikan sepertinya karena alasan ini. Sultan Agung membunuh pimpinan tawanan agar Konpeni juga merasakan sakit. Seperti halnya rasa sakit akibat 15 calhaj dibunuh Kompeni. Kebetulan, Antonie Paulo juga yang membocorkan rencana pengiriman calhaj Mataram menggunakan kapal Inggris. Kebetulan pula ia pernah menghadiahkan cincin kepada Sultan Agung. Sultan Agung jatuh sakit setelah menerima hadiah cincin itu. Antonie Paulo pun dituduh telah mengirim guna-guna kepada Sultan Agung. Juga kebetulan, Antonie Paulo telah menolak disunat. Para tawanan yang bersedia disunat akan dibebaskan oleh Sultan Agung, yang menolak akan dibunuh. Dari 83 tawanan sejak 1832, pada 1641 tinggal 40 orang, termasuk Antonie Paulo, kepala perdagangan Kompeni. Tercatat ada delapan yang sudah disunat. Antonie Paulo harus menjadi korban akibat tindakan biadab Kompeni membunuh 15 calhaj di atas kapal Inggris. Hubungan Kompeni drngan Sultan Agung pun makin memburuk. (jeha) Baca juga :

Read More