Rencana Bangun Bioskop Dekat Kakbah Picu Kontroversi

Riyadh — 1miliarsantri.net : Arab Saudi berencana membangun bioskop di Mekkah. Namun, rencana tersebut menuai kontroversi karena tempat hiburan baru itu terletak di dekat Kakbah di Masjidil Haram. Sebuah video yang ramai beredar memperlihatkan seorang insinyur Saudi mendiskusikan pembangunan proyek hiburan besar itu di Mekkah memicu perdebatan di media sosial. Bioskop tersebut merupakan komponen kunci dari “Smart Mecca”, yang menurut informasi publik bertujuan untuk mengintegrasikan fasilitas hiburan modern ke dalam kota dengan tetap memperhatikan makna keagamaannya. Proyek ini dikembangkan oleh anak perusahaan Public Investment Fund (PIF), yaitu Saudi Entertainment Ventures (Seven). Perusahaan ini menjadi garda terdepan dalam upaya ekspansi hiburan di Arab Saudi. Proyek Mekkah ini adalah salah satu dari beberapa pengembangan hiburan yang dilakukan Seven di seluruh Kerajaan. Perusahaan berencana untuk berinvestasi sebesar 50 miliar riyal Saudi atau setara Rp210 triliun di 21 destinasi hiburan terintegrasi di 14 kota. Sebelumnya pada tahun 2023, Seven mendapatkan kontrak senilai 2,5 miliar dollar AS untuk berbagai proyek hiburan di seluruh Kerajaan Arab Sudi. Proyek bioskop Mekkah, senilai 347 juta dollar AS, sedang dibangun oleh perusahaan lokal Modern Building Leaders (MBL). Bioskop ini berlokasi di distrik Al Abidiyah dekat Universitas Ummul Qura di luar kompleks Masjid Ka’bah, proyek ini mencakup area seluas 80.000 meter persegi. Pembangunan bioskop di Arab Saudi menandai perubahan budaya yang signifikan. Selama 40 tahun, bioskop dilarang di Kerajaan, yang mencerminkan norma-norma sosial konservatif yang berlaku di negara tersebut. Larangan tersebut dicabut pada tahun 2018 sebagai bagian dari inisiatif Visi 2030 Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang berupaya memodernisasi perekonomian dan membuka masyarakat Saudi. Sejak pencabutan larangan tersebut, Arab Saudi dengan cepat memperluas infrastruktur bioskopnya, dengan banyak bioskop dibuka di seluruh wilayah Kerajaan. Video yang dibagikan secara luas ini menuai reaksi beragam. Beberapa orang memuji pembangunan tersebut sebagai bagian dari inisiatif Visi 2030 Arab Saudi, yang bertujuan untuk mendiversifikasi perekonomian dan meningkatkan kualitas hidup warga negara dan penduduk. Sementara yang lain menyatakan keprihatinannya karena lokasi tempat hiburan yang berdekatan dengan kompleks Masjidil Haram. Meskipun ada kontroversi, pemerintah Saudi telah menegaskan kembali komitmennya untuk memastikan bahwa pembangunan baru ini tidak membahayakan kesucian Mekkah. Para pejabat menekankan bahwa bioskop dan proyek hiburan lainnya dirancang untuk melengkapi infrastruktur modern kota tersebut sambil tetap menjaga kepentingan keagamaannya. (dul) Baca juga :

Read More

Mengenang WR Soepratman, Sang Pahlawan dengan Biola

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dalam setiap perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, lagu “Indonesia Raya” pasti berkumandang. Inilah karya dari seorang pejuang bangsa, Wage Rudolf Soepratman atau yang biasa dikenal dengan sebutan WR Soepratman. Ia lahir pada 19 Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta. Pada tahun 1914, WR Soepratman diasuh oleh kakak iparnya yang bernama WM van Eldik alias Sastromihardjo, di Mataram. Di sana, ia belajar memetik gitar dan menggesek biola. Pada 1919, WR Soepratman diangkat menjadi guru. Dalam masa itu, ia juga mendirikan grup band jazz, Black and White, di Makasar. Untuk itu, ia berada di bawah bimbingan sang kakak ipar. Setelah tahun 1924, WR Soepratman hijrah ke Surabaya (Jawa Timur) dan Bandung (Jawa Barat). Di sana, dirinya mulai terjun ke dunia jurnalistik, yakni sebagai wartawan Surat Kabar Kaoem Moeda. Saat bekerja untuk koran Sin Po, WR Soepratman rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan kebangsaan Indonesia di gedung Pertemuan Gang Kenari, Jakarta. Dari sanalah, ia mulai tergugah untuk menggubah lagu “Indonesia Raya” pada 1928. Semula, WR Soepratman menciptakan lagu tersebut dengan judul “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka.” Saat karyanya mulai beredar, alhasil dirinya dikejar-kejar polisi intel Hindia Belanda. Kongres Pemuda II di Jakarta berlangsung pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Hasilnya adalah teks dan ikrar Sumpah Pemuda. Yang istimewa bagi WR Soepratman, karyanya itu diakui sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Dalam kongres itu pula, dinyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan iringan gesekan biola WR Soepratman sendiri. Sebuah momen yang tak akan dilupakannya. Rezim kolonial merepresi kaum pergerakan. “Indonesia Raya” pun dilarang. Keadaan berubah sejak pasukan Jepang datang dan mengusir Belanda dari Nusantara. Sejak 1944, lagu itu kembali boleh dinyanyikan. WR Soepratman, sebagaimana umumnya masyarakat Indonesia saat itu, sangat merindukan tanah airnya merdeka. Sayang, usianya tidak sampai ke sana. Antara tahun 1930 dan 1937, WR Soepratman berpindah-pindah tempat tinggal. Hingga kemudian, ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya dalam keadaan sakit. Pada 7 Agustus 1938, saat sedang memimpin pandu-pandu menyiarkan lagu “Matahari Terbit” di Jalan Embong Malang, Surabaya, WR Soepratman ditangkap. Ia lalu ditahan di Penjara Kalisosok. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 17 Agustus 1938, ia wafat. Dirinya tak meninggalkan istri atau anak karena memang belum menikah. Jenazahnya dimakamkan di kuburan umum Kapas, Jalan Kenjeran, Surabaya, secara Islam. Pesan terakhir WR Soepratman: “Nasibkoe soedah begini inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ikhlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan carakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia pasti Merdeka.” (jeha) Baca juga :

Read More

Bung Karno yang Memilih Proklamasi Tanggal 17 Agustus 1945

Jakarta — 1miliarsantri.net : Bukan hanya peristiwa Pembebasan Makkah (Fath Makkah) yang terjadi pada bulan Ramadhan, tepatnya di kedelapan Hijriyah. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pun berlangsung pada bulan puasa. Momen yang amat bersejarah itu terjadi pada 17 Agustus 1945 M atau bertepatan dengan hari Jumat, pukul 10.00 WIB pada 9 Ramadhan 1364 H. Naskah teks proklamasi dituliskan oleh tangan Sukarno, dengan beberapa perbaikan kalimat atas usulan sejumlah tokoh lainnya, termasuk Ahmad Subardjo. Kemudian, hasil tulisan tangan itu diketik oleh Sayuti Melik. Setelah jadi, hasilnya ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta, keduanya atas nama bangsa Indonesia. Semua momen krusial ini dilakukan pada waktu jam makan sahur di bulan Ramadhan 1364 H. Mohammad Hatta menuturkan situasi malam itu di rumah Laksamada Tadashi Maeda, seorang Jepang yang bersimpati pada pergerakan nasionalisme Indonesia. Sang laksamana mempersilakan kediamannya dipakai oleh para tokoh Indonesia untuk mereka merumuskan teks Proklamasi RI. Beberapa jam sebelum Proklamasi Kemerdekaan, kondisi Bung Karno dan Bung Hatta sesungguhnya dalam keadaan lelah. Mereka baru tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00 WIB. Sebelumnya, kedua bapak bangsa ini berada di Rengasdengklok, akibat diculik sejumlah pemuda yang memaksa mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, yakni sebelum 17 Agustus 1945. Sebab, anak-anak muda ini- yang menurut Bung Karno dalam pengaruh Sutan Sjahrir, mengetahui bahwa Jepang telah menyerah terhadap Sekutu di Perang Dunia II. Para pemuda ini menganggap, jangan sampai Indonesia diserahkan lagi ke Belanda, sebagai salah satu negara Sekutu, dan akhirny kembali dijajah. Cerita bermula ketika Bung Karno- beserta anak dan istri dan juga Bung Hatta “diculik” ke Rengasdengklok oleh para pemuda revolusioner. Mereka berniat ingin menjauhkan Dwitunggal dari pengaruh Jepang. Jepang sudah kalah di PD II. Tidak ada gunanya lagi mengandalkan Nippon untuk mewujudkan Indonesia Merdeka. Demikian pemikiran mereka. Seperti diceritakan dalam buku autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang disusun Cindy Adams, Sukarno lalu “diintimidasi” oleh para pemuda. Mereka mendesak sang bung besar, demikian sebutan dari mereka agar mengumumkan proklamasi RI sekarang juga: pada 16 Agustus 1945. Tentu saja, Bung Karno tidak bisa diintimidasi. Seorang pemuda, Wikana, sempat menyampaikan kata-kata yang menyinggung perasaan Bung Karno karena dirinya dianggap pengecut. Langsung saja suami Fatmawati itu naik pitam. “Mereka langsung diam, dan keheningan mencekam. Tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada yang bergerak. Mereka takut. Malu, Marah. Kecewa. Aku mengangkat kepala dan, dengan sengaja, aku menatap mereka. Aku menatap langsung ke wajah mereka sehingga mereka satu demi satu menjatuhkan pandangan mereka,” kata Sukarno menuturkan kejadian malam 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok itu, dalam buku autobiografi yang disusun Adams (hlm 253). “Aku duduk lagi. Butir-butir keringat menggantung di bibir atasku. Tak ada lagi yang menyebut Sukarno pengecut. Aku menangkap mata Farmawati di bagian lain dari kusen pintu. Mukanya kelihatan murung dan tegang. Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan sungguh-sungguh,” sambung Bung Karno. Memecah keheningan, Sukarno lalu menyampaikan kepada mereka. Sewaktu para jenderal Nippon mengundang para tokoh bangsa Indonesia–termasuk dirinya ke Saigon pada 10 Agustus 1945. Ketika itulah, Bung Karno merenungi momen tepat untuk Proklamasi Indonesia Merdeka. “Yang paling penting di dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon, aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17,” kata Bung Karno kepada para pemuda. “Mengapa tanggal 17, tidak lebih baik sekarang saja atau tanggal 16?” tanya Sukarni, seorang pemuda revolusioner. “Aku percaya pada mistik,” jawab Bung Karno, “aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal, mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku.” Putra Sang Fajar lalu mengungkapkan bagaimana ilham “17 Agustus” itu sampai kepadanya. Menurut dia, saat memikirkan hal itu di Saigon dirinya seperti merasakan dalam relung hatinya. Tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah momen yang baik. “Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran, benar tidak?” “Ya.” “Ini berarti saat yang paling suci, bukan?” “Ya.” “Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” tegas Bung Karno. (jeha) Baca juga :

Read More

Ir Soekarno dan Pergerakan Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ir Sukarno (1901-1970) adalah salah satu figur sentral dalam sejarah negara Republik Indonesia. Sosok berjulukan “Penyambung Lidah Rakyat” ini merupakan seorang Proklamator RI pada 17 Agustus 1945. Menjelang peringatan HUT ke-79 RI, tak lengkap rasanya bila tidak mengenang kembali ketokohan Bung Karno. Ahmad Syafi’i Ma’arif memperlihatkan sebuah dokumen yang belum pernah dipublikasikan. Dokumen itu adalah sebuah surat yang ditandatangani Sukarno selaku konsul Dewan Pengadjaran Moehammadijah Daerah Bengkoeloe. Surat bertanggal 9 Januari 1940 itu merupakan balasan terhadap surat Tuan Guru Hasan Basri di Muara Aman. Isinya tentang penugasan Hasan Basri. Saat itu, Sukarno sedang dalam tahanan Belanda di daerah Bengkulu. Sebetulnya, jauh sebelum itu, Sukarno juga terlibat dalam pergerakan Islam, yakni Sarekat Islam, kala ia indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Inilah masa ketika dirinya masih bersekolah di HBS yang menghabiskan masa lima tahun. Adapun yang bertalian dengan pemikiran Islam, Sukarno juga bersentuhan saat ia ditahan di Ende, Flores. Ia berkorespondensi soal Islam dengan Ustaz A Hassan dari Persatuan Islam (Persis), Bandung. Bung Karno juga pernah berpolemik dengan Mohammad Natsir di surat kabar. Polemik keduanya berlangsung sangat sehat. Buktinya, tulisan Bung Karno tersebut dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat Medan pada 1938 yang diasuh orang-orang Masyumi. Selain itu, tulisan Bung Karno yang berjudul “Islam Sontolojo” yang dimuat di Pandji Islam 1940 adalah bukti kepedulian tokoh nasionalis ini pada Islam. Di situ, ia sangat marah terhadap seorang kiai yang menurutnya telah mengelabui mata Tuhan. Ini merujuk pemberitaan di sebuah surat kabar tentang kiai cabul. Tak hanya berhenti di situ. Dalam hal kehidupan pribadi pun, ada persentuhan dengan orang pergerakan Islam. Ahmad Syafi’i Ma’arif menambahkan, saat di Bengkulu, Bung Karno tertarik dengan seorang murid Muhammadiyah, Fatmawati. AR Sutan Mansyur ikut menentukan kemulusan hubungan mereka. Namun, di periode akhir hidupnya, Sukarno berseberangan politik dengan sebagian kekuatan politik Islam, yakni Masyumi. Saat Demokrasi Terpimpin, ini tak berarti hubungan dirinya dengan Islam-politik terputus. Sebab, dalam periode ini ia menggandeng Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga merekrut secara perorangan tokoh-tokoh Masyumi, yang bukan mainstream, seperti Mulyadi Djojomartono, Farid Ma’ruf, dan Marzuki Yatim dalam Kabinet 100 Menteri. Ada beberapa tonggak untuk melihat retaknya hubungan ini. Dahlan Ranuwihardjo, misalnya, melihat usai Pemilu 1955–tepatnya saat pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo II–merupakan awal. Seiring dengan pergolakan di daerah, cabang-cabang Maysumi di daerah menuntut agar Masyumi mundur dari kabinet. Hal ini diperkuat dengan Konferensi Akbar Daerah 1957 di Bandung, Jawa Barat. Akhirnya, Masyumi mundur dari kabinet. Hal ini menyebabkan kegusaran Bung Karno sehingga ia menunjuk dirinya sendiri “sebagai warga negara” untuk menjadi formatur dan membentuk kabinet. Sjafi’i Ma’arif menerangkan, ada sebab lain mengapa Masyumi keluar. Ini tak lain karena Bung Karno meminta Ali membentuk “kabinet berkaki empat” dengan memasukkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai Nasional Indonesia (PNI) masih bisa menerima usulan ini, tetapi tidak demikian halnya dengan Masyumi. Sebab berikutnya, saat terlibatnya beberapa petinggi Masyumi, seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tidak adanya tindakan organisatoris membuat Bung Karno pada 1960 mengirim surat pada ketua DPP Masyumi, Prawoto, untuk membubarkan partai. Puncaknya saat penangkapan pada tokoh-tokoh Masyumi pada 1962. Menurut Dahlan, ini adalah kesalahan besar Bung Karno karena perintah tersebut atas informasi keliru. Pasalnya, dasar perintah adalah tuduhan perencanaan makar saat mereka berkumpul di Bali. Padahal, saat itu mereka hanyalah menghadiri upacara ngaben raja Bali Sukawati, ayah Anak Agung yang menjadi sahabat tokoh Masyumi dan PNI. Namun, di masa itulah luka-luka terjadi: Masyumi dibubarkan dengan alasan memberontak, tokoh-tokoh Islam ditangkap dan dipenjarakan tanpa alasan yang jelas, dan seterusnya. Bahkan, akibat pembubaran Masyumi tersebut, dampaknya masih terlihat sampai masa-masa jauh berikutnya. Saat Pemilu 1999, misalnya, banyak yang memperbandingkannya dengan Pemilu 1955. Dari empat besar (PNI, Masyumi, NU, dan PKI) pada Pemilu 1955–dengan mengecualikan PKI yang tak lagi berpartai sampai kini–maka metamorfosis Masyumi pada Pemilu 1999 tak jelas sosoknya. Berbeda dengan NU yang ke PKB ataupun PNI yang ke PDI Perjuangan. PDI yang kemudian menjadi PDI Perjuangan pun lebih banyak berseberangan dengan aspirasi Islam. Puncaknya adalah pada Pemilu 1999 itu. Caleg PDI Perjuangan penuh diwarnai tokoh-tokoh yang berpandangan berseberangan dengan Islam-politik. Akibatnya, saat Sidang Umum MPR, Megawati gagal menjadi presiden, padahal partainya pemenang pemilu. Setelah itu, kedua belah pihak saling mengoreksi untuk memperbaiki diri. Kini, hubungan itu menjadi lebih cair. Dahlan maupun Syafi’i sepakat bahwa sebelum Demokrasi Terpimpin, hubungan Sukarno dan umat Islam relatif baik. Bahkan, pernah membentuk kabinet dengan aliansi PNI-Masyumi-NU. “Ini menguasai mayoritas mutlak di parlemen,” kata Syafi’i menyebut kabinet yang dipimpin Ali Sastroamijoyo tersebut. Namun, luka pada dekade 1960-an coba terus ditiupkan. Sehingga bagi generasi sekarang, seakan pintu para “pewaris” jika ada, untuk terbuka bergandeng tangan sudah tertutup. Istilah kaum nasionalis dan umat Islam sering diperhadapkan untuk berselisih. “Semuanya nasionalis,” kata Dahlan Ranuwihardjo menepis mitos itu. Dahlan adalah orang yang berada di perbatasan. Keponakan Mr Mohamad Roem–tokoh penting Masyumi–ini bercerita. Suatu kali, datang aktivis Masyumi dari Sumatra ke Jakarta, ke rumah Roem. Dahlan yang tinggal di rumah pamannya pun dikenalkan ke tamunya. Sang tamu terkejut bahwa Dahlan tinggal di rumah Roem dan juga keponakannya. Tamu ini mengenal Dahlan sebagai seorang yang banyak membela Sukarno. Namun, Roem adalah seorang yang moderat dan demokrat. Semua itu tak menjadi soal. Paman Adi Sasono ini memang seorang pengagum Sukarno. Bahkan, di saat PKI berkampanye untuk membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dahlan memiliki peran yang tak kecil untuk mencegahnya. Padahal, saat itu PKI banyak diberi angin oleh Sukarno. Memang ada peran kepala staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu, Ahmad Yani. Dahlan Ranuwihardjo dan Ahmad Syafi’i Ma’arif sepakat hubungan Sukarno dengan Islam politik tidak memiliki pola tertentu, tidak stabil, dan tergantung pada situasi. Mengapa? Mungkin, kita perlu merujuk pada Bernard Dahm. Penulis biografi Sukarno ini menyebutkan, sebagaimana Sukarno memanfaatkan marxisme untuk revolusi atau pemikir antikolonial untuk melawan kolonialisme, Bung Karno juga “mendekati” Islam karena agama ini dipeluk oleh mayoritas yang tentu tak bisa diabaikan. Islam ataupun marxisme, kata Dahm, hanyalah untuk membenarkan pendapat pribadinya. Tentu, tak harus sesinis itu. Sebab, menurut Syafi’i, Sukarno berjasa terhadap Islam karena ia mengajak umat untuk melakukan pembaruan lewat jargon rethinking ataupun reinterpretasi. Ia juga terkenal dengan istilah “api Islam” atau “memudakan pemahaman…

Read More

Sejarah Jilbab Dalam Peradaban Pra-Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dari sekian banyak pokok bahasan keislaman, hijab atau jilbab merupakan salah satu tema yang sering dibahas. Ada yang memandang persoalan jilbab melalui pintu literal semata. Dalam arti, bagi yang berpandangan seperti ini, apa-apa yang tercantum dalam Alquran dan hadis wajib hukumnya dilaksanakan. Husein Shahab tampaknya dapat dijadikan contoh kelompok ini. Dalam kata pengantar bukunya, Jilbab Menurut Alquran dan As-Sunnah, ia mengatakan, “Jilbab adalah satu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh wanita Muslim diwajibkan Allah SWT untuk mengenakannya. Melanggar atau tidak mengakuinya berarti mengingkari salah satu hukum Islam yang esensial.” Kelompok kedua melihat jilbab melalui pintu mistikisme. Kelompok ini meletakkan jilbab sebagai sebuah pengalaman keagamaan melalui ibadah-ibadah ritual. Sedapat mungkin mereka menjalani hidup sesuai dengan apa-apa yang diyakini dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut Dedy Mulyana dalam Islam: Antara Simbol dan Identitas, pemakaian jilbab yang dilandasi pengalaman keagamaan merupakan cermin dari inner-states yang tulus. Jilbab di sini bukan instrumen untuk menyenangkan orang lain atau sekadar memenuhi persyaratan masuk ke dalam sebuah institusi. Namun, ini sebagai perwujudan rasa nyaman yang subjektif. Tema tentang jilbab dan pengalaman keagamaan ini dikupas lebih mendalam oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya, Hijab Gaya Hidup Wanita Muslimah. Menurutnya, pemakaian hijab untuk memberikan kenyamanan diri sudah dipraktikkan sejak zaman pra-Islam atau jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Ini dapat dijumpai di peradaban-peradaban India, Persia, dan Yunani kuno. Pada masyarakat India kuno, misalnya, motif pemakaian hijab ialah kecenderungan ke arah kerahiban. Ini sebuah perjuangan melawan kesenangan dan menaklukkan ego diri. Murtadha menengarai, praktik pemakaian hijab berasal dari India. Kelompok agamawan setempat membuat batas antara wanita dan pria dalam rangka kerahiban. Konsep ini, menurutnya, lantas berkembang dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Adapun pemakaian hijab di Persia lebih didasari alasan sosial. Pada zaman dahulu, jaminan keamanan untuk wanita dan anak-anak sangat kurang. Will Durrant dalam buku History of Western Civilization menulis ihwal situasi di zaman Iran kuno. Menurutnya, hijab sudah menjadi tradisi di Iran sejak zaman lampau. Apa-apa yang biasa ditemui pada kaum wanita Iran sekarang pada dasarnya berhubungan dengan Iran pra-Islam, bukan Iran setelah Islam. Pada masa kekuasaan Imperium Sassaniyah, jika seorang raja atau pangeran mendengar kecantikan seorang wanita, ia pasti mencari dan membawanya. Gagasan mengenai hijab di Iran ketika itu berkaitan erat dengan kehormatan seorang wanita yang harus dijaga dari pria lain yang mengintainya. (jeha) Baca juga :

Read More

Ubaya dan UPN Surabaya Latih Warga Mojokerto Budidaya Tanaman Organik

Mojokerto — 1miliarsantri.net : Desa Tanjungan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Desa ini memiliki potensi besar berupa wisata alam yang cukup terkenal yaitu Ekowisata Waduk Tanjungan, berupa waduk dan hutan. Saat ini kunjungan wisatawan ke Ekowisata Waduk Tanjungan cukup tinggi, rata-rata 1.000 orang pengunjung per bulan. Sebagai desa yang mempunyai obyek wisata berbasis lingkungan dan budaya, dapat menjadi daya tarik Desa Tanjungan dan bisa menciptakan efek ganda pada aspek ekonomi. Adanya obyek wisata tersebut memberi dampak munculnya usaha kreatif baik kuliner maupun kerajinan untuk pembuatan souvenir, dan lain-lain. Sayangnya masyarakat desa belum mampu memanfaatkan potensi secara optimal. Berangkat dari kondisi ini, tim gabungan dari Universitas Surabaya (apt. Kartini, Ph.D., Dr. Idfi Setyaningrum, M.Si, dan Prof. Dr. Jatie K. Pudjibudojo, Psi.) serta Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (Dr. Ir. Ramdan Hidayat, M.S.) menggagas suatu program dengan judul “Etalase Tanaman Obat Keluarga sebagai Pilar Kemandirian Kesehatan Masyarakat Desa Tanjungan Kabupaten Mojokerto”. Program yang akan dilaksanakan selama tiga tahun ke depan ini mendapat dukungan pembiayaan dari Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui skema hibah Pemberdayaan Desa Binaan (PDB) dengan nomor kontrak 007/SPP-PPM/LPPM-02/Dikbudristek/FF/VI/2024. Salah satu kegiatannya berupa pendampingan mitra untuk membuat Etalase Tanaman Obat. Menurut Kartini selaku ketua program, etalase tanaman obat adalah sebidang tanah di area umum (public area) atau area keluarga yang ditanami tanaman obat dengan ditata atau diatur sesuai dengan potensi lahan dan dengan menerapkan nilai estetika sehingga enak dipandang mata. “Ekowisata Waduk Tanjungan masih memiliki beberapa spot area yang belum termanfaatkan, nah ini dapat digunakan untuk pembuatan Etalase Tanaman Obat. Dengan adanya spot baru ini diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan, selain hasil panennya nanti juga dapat digunakan oleh warga untuk menjaga kesehatan keluarga,” terangnya kepada 1miliarsantri.net, Sabtu (17/8/2024). Untuk membuat etalase yang benar, telah dilakukan pelatihan budidaya tanaman obat secara organik. Kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Ramdan Hidayat selaku anggota tim yang juga ahli di bidang agroteknologi. Banyak hal dipaparkan Ramdan, mulai dari potensi budidaya tanaman obat, manfaat tanaman obat untuk kesehatan, jenis tanaman obat dan sistem perbanyakannya, hingga bagaimana cara merancang etalase tanaman obat. (tin) Baca juga :

Read More

10 UIN Raih Akreditasi Unggul

Jakarta — 1miliarsantri.net : Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan tinggi Indonesia, sebuah prestasi gemilang telah berhasil diraih oleh sepuluh Universitas Islam Negeri (UIN). Pencapaian ini bukan sekadar gelar semata, melainkan pengakuan resmi atas kualitas pendidikan yang mereka tawarkan. Bagaimana ceritanya? Mari kita selami bersama! Bayangkan sebuah panggung megah, di mana hanya yang terbaik yang boleh berdiri di atasnya. Inilah gambaran dari akreditasi unggul yang diberikan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Pada 8 Agustus 2024, BAN-PT mengumumkan daftar eksklusif UIN yang berhasil meraih status elit ini. Siapa saja jagoan-jagoan kita? Dari ujung barat hingga timur Nusantara, mereka adalah UIN Ar-Raniry Banda Aceh, UIN Raden Fatah Palembang, UIN Raden Intan Lampung, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, UIN Raden Mas Said Surakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan UIN Alauddin Makassar. Apa yang membuat mereka istimewa? Layaknya chef bintang lima yang mampu mengolah bahan sederhana menjadi hidangan kelas dunia, UIN-UIN ini telah membuktikan kemampuan mereka dalam menyajikan pendidikan berkualitas tinggi. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga memadukan nilai-nilai Islam dengan sains modern, menciptakan lulusan yang siap menghadapi tantangan global. Namun, di balik kesuksesan selalu ada kisah perjuangan. Seperti atlet Olimpiade yang berlatih tanpa kenal lelah, UIN-UIN ini telah melalui proses panjang untuk mencapai level unggul. Mereka terus berinovasi, meningkatkan kualitas pengajaran, dan mengembangkan fasilitas kampus demi memberikan pengalaman belajar terbaik bagi mahasiswanya. Sayangnya, tidak semua UIN berhasil meraih status unggul. UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, misalnya, masih mendapat peringkat B. Namun, ini bukan akhir perjalanan. Justru, ini bisa menjadi motivasi bagi mereka untuk terus berbenah dan meningkatkan kualitas. Prestasi sepuluh UIN ini bukan hanya kebanggaan bagi dunia pendidikan Islam, tapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan. Mereka telah membuktikan bahwa pendidikan berbasis agama bisa berjalan seiring dengan standar akademik internasional. (rid) Baca juga :

Read More

Sosok Pencipta Sholawat Badar

Surabaya — 1miliarsantri.net : KH M Ali Manshur menerima tanda jasa dan kehormatan dari pemerintah. Pencipta Shalawat Badar ini menerima penghargaan bersama 60 tokoh lain dalam rangka HUT ke-79 Kemerdekaan RI. Siapa sebenarnya KH M Ali Manshur? Kiai ini dilahirkan pada 23 Maret 1921. Nasabnya masih menyambung ke Kiai Shidiq Jember. Kalau dari jalur ibu asli orang Tuban. Menurut putra kedua Kiai Ali, Kiai Syakir Ali, abahnya terkenal haus ilmu. Dia belajar dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai dari Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Lasem, Pesantren Lirboyo Kediri hingga Pesantren Tebuireng Jombang. Kiai Syakir mengisahkan, waktu kecil Kiai Ali belajar di Tuban. Setelah itu Kiai Ali ingin belajar ke Termas namun ia hanya punya modal sepeda onthel dan nasi jagung. Akhirnya dari Tuban ke Tremas, ia naik onthel dan bekal nasi jagung. Selama di pesantren Kiai Ali menerima jasa ojek ke pasar dan hasilnya untuk membeli kitab. “Kiai Ali suka ilmu Arrudh (Ilmu Sya’ir), dan belajar ilmu ini di Lirboyo. Ia sering diajak diskusi pengasuh masalah Arrudh. Menurut Gus Dur, Kiai Ali juga pernah belajar di Tebuireng,” ujarnya. Seusai nyantri, Kiai Ali kembali ke Tuban dan aktif berorganisasi di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Ia juga aktif sebagai seorang pegawai di bawah Kementerian Agama. Tepatnya, menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan hingga promosi menjadi Kepala Kementerian Agama (Kemenag) di tingkat kabupaten. Pada tahun 1955, Kiai Ali terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai NU Cabang Bali. Pada 1962, ia memutuskan pindah ke Banyuwangi dan dipercaya menjadi Ketua Cabang NU Banyuwangi.Selama di Banyuwangi inilah, Kiai Ali melahirkan karya fenomenal Shalawat Badar . Ada kisah yang sangat menyita perhatian sesaat sebelum Kiai Ali menulis Shalawat Badar. Kiai Ali bermimpi didatangi orang berjubah putih yang diduga para ahli perang badar. Dalam keputusan Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, Shalawat Badar dikukuhkan menjadi Mars Nahdlatul Ulama (NU). Keputusan ini ditegaskan kembali oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjabat ketua PBNU pada Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri. Pada Harlah ke-91 NU, Kiai Ali juga dianugerahi tanda jasa Bintang Kebudayaan atas karyanya ini. Diketahui, Shalawat Badar dikarang sekitar tahun 1960-an. Salawat Badar sudah menjadi syair wajib bagi nahdliyin. Hampir setiap kegiatan NU, shalawat ini dilantunkan. Bahkan sudah merambah ke genre musik pop yang dipopulerkan oleh beberapa grup band dan penyanyi religi. Tak hanya di Indonesia, Shalawat Badar juga dikenal di berbagai belahan negara Islam di dunia. “Awalnya banyak yang tidak tahu siapa penulis Shalawat Badar sebelum Gus Dur menyebutkan Kiai Ali sebagai pengarangnya. Saat itu Gus Dur takut Shalawat Badar diakui orang luar. Gus Dur minta saya bawakan data penguat bila Kiai Ali memang penulis Shalawat Badar ke Jakarta,” papar Kiai Syakir. Pasca dibahas oleh Gus Dur, nama Kiai Ali terus jadi bahan pembicaraan di kalangan para ahli sejarah dan budayawan, terutama dari kalangan Nahdliyin. Sehingga akhirnya banyak para peziarah dari berbagai daerah datang ke Desa Maibit untuk ziarah dan membuktikan kebenaran ucapan Gus Dur. Saat ini di makam Kiai Ali tertulis prasasti Shalawat Badar yang terletak di bagian barat makam. Setiap hari selalu ada yang berziarah ke makam, terutama para santri yang belajar di pesantren milik putra-putrinya di sekitar pesantren. “Saya hanya menjelaskan sesuai yang dituliskan Abah saja. Saya fotokopikan catatan abah dan tak kasih kepada yang minta,” ungkap Kiai Syakir. Sosok Kiai Ali Manshur memang unik, makamnya berada di Desa Maibit, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban. Dulu tak banyak yang tahu kalau Kiai Ali di makamkan di Desa Maibit. Bahkan beberapa warga desa setempat tak mengenal sepak terjang Kiai Ali. Makam Kiai Ali baru beberapa tahun terakhir direnovasi dan sering dikunjungi khalayak ramai. Menurut Kiai Syakir, hal ini bukan disengaja melainkan memang tak banyak orang mencari tahu. Barulah setelah Gus Dur bicara tentang Shalawat Badar banyak orang yang mencari dan menelisik sejarah Kiai Ali. Ia bersyukur Kiai Ali suka menulis dan punya catatan pribadi setiap melakukan sesuatu. Sehingga tak bingung menjelaskan kepada penanya. “Abah itu punya buku harian dan suka menulis kegiatannya di buku harian, kertas kosong dan pinggir kitab. Sampai sekarang saya masih punya catatan pribadi Kiai Ali dalam tulisan Pegon dan Latin,” tutupnya. (har) Baca juga :

Read More

Ali Ibnu Ridwan Seorang Astronom Muslim Legendaris Saksi Supernova 1006

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kairo, 17 Sya’ban 396 H/ 30 April 1006. Seorang remaja terkagum-kagum saat menatap langit malam di tanah kelahirannya. Pria yang saat itu berusia 18 tahun tersebut dicatat sebagai salah seorang saksi sejarah peristiwa astronomi yang amat dahsyat di awal abad XI: Supernova. Sebuah peristiwa meledaknya suatu bintang di galaksi yang memancarkan energi sangat besar. Cahaya ledakan bintang itu dapat disaksikan penduduk bumi yang terbentang dari daratan Eropa hingga ke Cina. Bintang yang mengalami supernova memang akan tampak sangat cemerlang — mencapai ratusan juta kali cahaya bintang tersebut saat masih aktif. Supernova menandai berakhirnya riwayat sebuah bintang di galaksi. Fenomena Supernova yang terjadi 10 abad silam itu hingga kini masih bisa dilihat para astronom – berupa awan yang mengembang dari letusan bintang. Pengalaman melihat cahaya ledakan bintang di galaksi itu begitu membekas dalam diri remaja asal Kairo itu. Saat fenomena astronomi yang langka itu terjadi, sebenarnya Ibnu Ridhwan baru saja kuliah di sekolah kedokteran. Meski begitu, ia sudah memiliki hasrat untuk mempelajari astrologi. Pada masa itu, Mesir baru saja ditaklukan oleh Dinasti Fatimiyah. Dinasti yang saat itu dipimpin Khalifah Al-Hakim berpusat di kota Kairo. Sejak menyaksikan fenomena yang luar biasa itulah, remaja bernama Ali Ibnu Ridwan itu mencurahkan hidupnya untuk mempelajari astronomi dan astrologi. Berkat ketekunan dan dedikasinya yang sangat tinggi, Ibnu Ridhwan kemudian menjelma menjadi seorang astronom besar dan kesohor di abad XI. Salah satu mahakarya yang dihasilkannya adalah merekam peristiwa-peristiwa astronomi penting selama hidupnya. Para astronom dan sejarawan di zaman modern mendapatkan informasi tentang Supernova 1006 dari buku yang ditulisnya. Sejatinya, astronom dan astrolog yang sangat berpengaruh itu bernama lengkap Abu’l Hasan Ali Ibnu Ridhwan Al-Misri (998 – 1067). Para penulis di Barat menyebutnya dengan panggilan Haly atau Haly Abenrudian. Selain berprofesi astronom dan astrolog, Ibnu Ridhwan juga dikenal sebagai seorang dokter dan kritikus kedokteran Yunani terutama Galen. Kritiknya atas karya-karya Galen – seorang tabib dari Yunani kuno – ditulis dalam buku berjudul Ars Parva. Buah karyanya itu kemudian diterjemahkan oleh Gherard of Cremona ke dalam bahasa Latin. Observasi yang dilakukannya terkait fenomena Supernova 1006 dituliskannya dalam Ptolemy’s Tetrabiblos. Dalam buku yang dituliskannya itu, Ibnu Ridhwan menyatakan bahwa cahaya yang ditimbulkan oleh fenomena Supernova 1006 itu tiga kali lebih besar dari Planet Venus. Karyanya begitu berpengaruh di peradaban Barat hingga abad ke-16 M. Karyanya yang lain diterjemahkan ke dalam bahasa Latin De revolutionibus nativitatum (The Revolutions of Nativities) oleh Luca Gaurico dan dicetak di Venicia tahun 1524. Selain itu, karyanya yang lain Treatise on the Significations of Comets in the twelve Signs of the Zodiac juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin bertajuk Tractatus de cometarum significationibus per xii signa zodiaci dicetak di Nurnberg tahun 1563. Itu berarti pemikiran Ibnu Ridhwan mampu bertahan hingga berabad-abad lamanya. Setahun sebelum fenomena Supernova ‘mengguncang’ dunia, Khalifah Al-Hakim pada tahun 1005 mulai mendirikan Dar al-‘Ilm (Rumah Pengetahuan) di Kairo. Ini merupakan universitas umum yang informal, sehingga siapa saja bisa datang untuk membaca, menyalin buku, belajar atau ikut pekuliahan berbagai bidang studi. Di tempat itu diajarkan teologi, tata bahasa, filologi, kedokteran dan astronomi. Dalam otobiografi yang ditulisnya, Ibnu Ridhwan mengisahkan perjalanan hidup masa kecilnya. Saat masih kanak-kanak, ia menikmati pendidikan dasarnya di masjid sekitar rumahnya. Di tempat itu, dia mulai belajar membaca dan menulis serta menghafal Alquran. Memasuki usia 15 tahun, Ibnu Ridwan memilih untuk bejar ilmu kedokteran dan filsafat. “Saya kurang beruntung,” cetusnya. Ia mengaku harus membiayai pendidikannya dengan keringat sendiri. “Studi saya menjadi terhambat oleh berbagai halangan dan kesulitan,” tutur Ibnu Ridhwan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Ibnu Ridhwan mengaku harus menjalankan praktik astrologi. Terkadang dia juga mempraktikkan ilmu kedokterannya. “Kemudian saya juga mengajar.” (jeha) Baca juga :

Read More

Kisah Pejuang Perang Tabuk Olok-Olok Penghafal Alquran

Jakarta — 1miliarsantri.net : Inilah kisah seorang lelaki Madinah tak bernama. Ia hanya disebut sebagai lelaki yang mengikuti Perang Tabuk. Betapa mulianya seseorang yang mengikuti perang bersama Rasulullah. Tapi sungguh sayang, kemuliaan itu tak diikuti dengan kemuliaan akhlaknya. Dengan ringan ia berkata, “Kami tak pernah melihat orang yang sama dengan para penghafal Alquran ini. Mereka paling kuat dalam urusan makan, paling sering dusta, dan pengecut di hadapan musuh.” Perkataan orang itu hendak diadukan Auf ke Rasulullah. Namun, ayat lebih dulu sampai dibanding kabar tersebut. Maka turunlah ayat, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja’. Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul -Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS at-Taubah [9]: 65). Kemudian, lelaki itu mendatangi Rasulullah sembari mengajukan pembelaannya. “Wahai Rasulullah kami hanya bercanda dan bermain, kami berbicara dengan pembicaraan dalam perjalanan guna menghilangkan rasa letih dalam perjalanan.” Umar menggambarkan saat itu posisi Rasulullah sedang di atas unta hendak bepergian. Rasulullah sama sekali tidak menoleh ke lelaki itu. Kaki lelaki tersebut digambarkan tersandung-sandung batu karena merasa bersalah dan memohon seperti tergantung-gantung di pelana unta Nabi SAW. Kisah ini mengisyaratkan umat manusia, jangan pernah coba-coba mempermainkan Tuhan. Dalam Alquran ditegaskan, “(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai olok-olokan dan senda gurau. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini.” (QS al-A’raf [8]: 51). Perangai orang-orang kafir Quraisy selalu memperolok-olokkan orang beriman. Ayat-ayat Alquran mereka jadikan bahan ejekan. Pada kenyataannya tak ada di antara mereka yang selamat atas kelakuan mereka. Akhirnya, pasti akan menemukan nasib yang sangat tragis. Islam benar-benar memperhatikan tata krama dalam bertutur kata. Jangan sampai perkataan yang terlontar mengandung unsur memperolok-olokkan. Dalam Alquran juga diterangkan bagaimana cara bertutur kata, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad), ’Raa’ina’, tetapi katakanlah, ’Unzhurna’, dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS al- Baqarah [2]: 104]. Ayat ini menerangkan secara spesifik cara bertutur kata. Raa’ina, artinya sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Kala para sahabat menggunakan kata-kata tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Yahudi pun memakainya pula, akan tetapi mereka pelesetkan. Mereka katakan ru’unah, artinya ketololan yang amat sangat. Ini sebagai ejekan terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Allah menyuruh para sahabat agar menukar perkataan raa’ina dengan unzhurna yang berarti sama. Di akhir ayat ini Allah juga mengancam orang-orang bertutur kata kasar telah dipersiapkan bagi mereka azab yang pedih. Dalam Islam, orang yang memperolok-olokkan agama disebut dengan istilah istihzaa. Sifat ini termasuk salah satu dari pembatal keislaman. Dalam syarah terhadap kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syekh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Di antaranya, juhud (pengingkaran), syirik, dan memperolok-olok agama atau sebagian dari syiar agama meskipun ia tidak mengingkarinya.” Dalam surat at-Taubah [9] ayat 64, Allah SWT berfirman, “Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, ‘Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)’. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.” Ibnu Taimiyah ketika mensyarah ayat itu mengatakan, “Ayat ini merupakan nash bahwasanya memperolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya hukumnya kafir.” (Ash Sharimul Maslul hlm. 31 dan juga Majmu’ Fatawa (XV/48). Betapa banyak saat ini orang-orang menjadikan agama sebagai bahan olok-olokan. Orang yang memakai aksesori keagamaan dan jilbab diejek sebagai orang kampungan. Mereka yang rajin beribadah diolok-olokkan. Bahkan, mereka yang menghidupkan sunah Rasulullah SAW pun menjadi bahan ejekan. Entahkah itu jenggot, siwak, kopiah, dan lainnya. Bisa saja perangai mereka mengundang murka dari Allah SWT dan memperlihatkan kuasanya. Allah SWT tak segan memperlihatkan azab bagi orang yang memperolok-olokkan agama. Seperti firman Allah SWT, “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokkan mereka.” (QS al-An’am [6]: 10). (jeha) Baca juga :

Read More