Beberapa Ormas Islam Yang Sudah Berdiri Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ada banyak teori yang menyebutkan awal mula sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia. Teori-teori tersebut juga memiliki bukti, sehingga dipercaya sejarah masuknya Islam ke Indonesia sesuai dengan teori-teori yang ada. Berbagai teori sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia tersebut, dapat dipelajari dalam Ensiklopedi Sejarah Islam oleh Dr Raghib As-Sirjani. Misalnya teori India (Gujarat) yang dicetuskan oleh GWJ. Drewes lalu dikembangkan oleh Snouck Hurgronje dan kawan-kawan. Ada pula teori Arab (Mekah). Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Mekah) pada masa kekhalifahan. Teori ini didukung oleh J.C. van Leur hingga Buya Hamka atau Abdul Malik Karim Amrullah. Teori Persia (iran) menyatakan asal mula sejarah masuknya Islam ke Indonesia dari Negara Persia (yang sekarang bernama Negara Iran). Teori ini didukung oleh Husen Djadjadiningrat dan Umar Amir Husen. Terdapat juga teori Cina yang menyebutkan asal mula sejarah masuknya agama islam ke Indonesia berasal dari Cina. Dalam buku Islam in Cina yang ditulis oleh Jean A. Berlie (2004) menyebutkan, relasi antara orang-orang Islam dari Arab dengan orang-orang di Cina terjadi pada tahun 713 Masehi. Di balik teori-teori tersebut, sejarawan sepakat Islam masuk ke Indonesia tanpa ada peperangan. Bahkan, umat Islam memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, agama Islam di Indonesia telah mengalami lika-liku perjalanan. Jika membaca perkembangan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan secara garis besar dapat dibagi dalam dua masa, yaitu pra-kolonialisme Barat dan Jepang, lalu masa kolonialisme Barat dan Jepang. Pada periode pertama, perkembangan Islam di Indonesia mulai berkembang pesat sejak awal abad ke-13 M. Para pendakwah mulai banting setir metode dakwah dengan mengakulturasikan antara budaya Nusantara dan agama Islam, sehingga Islam dapat diterima dengan baik karena bergandengan dengan budaya lokal yang telah dimodifikasi. Pada masa kolonialisme Barat, khususnya Belanda, Islam menghadapi tantangan yang luar biasa. Mereka datang tidak hanya membawa misi perdagangan, tetapi di sisi lain juga mengemban misi Kristenisasi. Ada tiga semboyan mereka yang terkenal, gold, glory, dan gospel (harta, kuasa, dan agama). Pada masa ini muncul berbagai gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang melahirkan banyak organisasi Islam. Bahkan, ormas itu masih eksis hingga saat ini. Di antaranya: Sarekat Dagang Islam berdiri di Surakarta pada 16 Oktober 1905 M/16 Sya’ban 1323 H, yang dipelopori oleh Haji Samanhudi. SDI merupakan organisasi rahasia, karena penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda yang sangat menekan masyarakat untuk bertindak melawan mereka. Haji Samanhudi melihat kebijakan politik dan para pengambil keputusan dipengaruhi oleh masalah pasar dan ekonomi. Berdirinya SDI merupakan salah satu bentuk kesadaran umat Islam untuk menguasai kembali pasar dan perekonomian yang menjadi sarana masuknya Pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) yang ruang lingkup keanggotan serta tujuannya juga diperluas. Perubahan nama ini berawal pada 10 September 1912 di Surabaya, H.O.S Tjokroaminoto sebagai wakil dari pengurus SDI di Solo, membuat anggaran dasar organisasi yang baru. Dalam anggaran dasar itu, salah satunya berisi keputusan perubahan nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam. Pada 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah secara resmi diumumkan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat dan kerabat Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Tujuan utama dari organisasian ini adalah menegakkan dakwah Islamiah dalam arti seluas-luasnya. Hingga saat ini, organisasi masyarakat tertua di Indonesia ini masih eksis dan terus berupaya mengembangkan dakwah islam ke seluruh penjuru dunia. Fokus pergerakan Al Irsyad Al Islamiyah di bidang pendidikan dan dakwah. para tokoh di balik Al Irsyad Al Islamiyah adalah Ahmad Surkati, Syaikh Umar Mangqush, Said Mash’abi, Saleh Ubayd Abat dan Salim bin Alwad Bawa’i. Al-Irsyad lalu mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka Nahdlatul ulama didirikan lebih sistematis mengantisipasi perkembangan zaman. Akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar. Dalam AD/ART NU tercantum, tujuan NU adalah untuk menjaga berlakunya ajaran Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Lebih lanjut, Nahdlatul Ulama (NU) juga bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta alam. Di gang ini awal mulanya berdiri sebuah organisasi pembaharuan Islam yang bersemboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, serta membersihkan Islam dari khurafat, bid’ah dan seluruh pemahaman yang mengotori kesakralannya”. Organisasi ini didirikan pada 12 September 1923 oleh Haji Zamzam dan Haji Mohamad Yunus di Bandung. Organisasi ini sering berkecimpung dalam penerbitan buku-buku dan pendidikan lainnya. Organisasi ini mempunyai satu badan yang bernama “Sending Islam” yang sangat besar jasanya dalam pengislamisasikan masyarakat di Tanah Karo, Tapanuli Utara/Tengah dan Simelungun. Pemuda di organisasi ini diberi nama Washliyah. (fq)

Read More

Napak Tilas Pangeran Purbaya, Purba Sultan Agung Mataram Dalam Mesyiarkan Islam Hingga Akhir Hayat

Tegal — 1miliarsantri.net : Dahulu kala, sebuah pesantren diyakini pernah berdiri di Desa Kalisoka, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Pesantren inilah yang menjadi cikal bakal dan pusat penyebaran Islam di Tegal hingga daerah lain di sekitarnya. Tak jauh dari pesantren tersebut, terdapat sebuah masjid yang terbuat dari kayu jati. Kini keberadaan pesantren itu sudah tak berbekas. Hanya bangunan masjid yang masih kokoh berdiri dengan beberapa bagian bangunan masih asli dan digunakan masyarakat setempat untuk beribadah. Di masjid inilah jejak Pangeran Purbaya, pendiri pesantren masih bisa dijumpai. Pangeran Purbaya adalah salah satu putra dari Sultan Agung, raja Mataram yang berpusat di Yogyakarta. Pangeran Purbaya diyakini pernah hidup di Kalisoka untuk menyiarkan Islam hingga akhir hayatnya. Sosoknya juga dipercaya sebagai seorang wali yang memiliki karomah atau kesaktian yang bersumber dari Allah SWT. Di Kalisoka, Pangeran Purbaya mendirikan masjid dan pesantren untuk mendukung kegiatan syiarnya. Di masjid dan pesantrean itu rutin digelar pengajian untuk masyarakat. Keberadaan masjid dan pesantren ini membuat Desa Kalisoka juga dikenal dengan nama Kalisoka Pesantren. Pangeran Purbaya wafat dan dimakamkan di Kalisoka. Kini, makamnya masih diziarahi puluhan ribu orang setiap malam Jumat kliwon untuk berdoa dan ngalap (minta) berkah. Para peziarah datang berbagai daerah di Tanah Air. Juru kunci makam Pangeran Purbaya, Ahmad Agus Hasan Ali Sosrodiharjo (64) menjelaskan,, kedatangan Pangeran Purbaya ke Kalisoka bermula ketika dia meyanggupi tantangan ayahnya untuk menangkap Pasingsingan, orang Budha dari Jawa Barat. Raja Mataram mengeluarkan perintah penangkapan karena Pasingsingan dianggap mengganggu ketenteraman keraton. “Pada saat itu di keraton, keluarga besar Mataram mau makan diganggu oleh Pasingsingan dari luar keraton dengan kesaktiannya. Semua makanan dibuat hilang. Kanjeng Sultan Agung marah besar,” tuturnya. Lalu beliau mengumpulkan putra-putrinya dan bertanya siapa yang bisa menangkap Pasingsingan. Yang mengangkat tangan Pangeran Purbaya. Masih berdasarkan versi cerita yang didengar Ahmad leluhurnya yang juga menjadi juru kunci, Pangeran Purbaya dengan nama samaran Ki Jadug Silarong kemudian berangkat ke arah utara untuk menangkap Pasingsingan dengan membawa dua batalion pasukan keraton. Setelah melewati sejumlah daerah seperti Purworejo, Purbalingga, dan Purwokerto, Pangeran Purbaya akhirnya bertemu dengan Pasingsingan di sebuah tegalan yang kini masuk wilayah Kota Tegal. Keduanya lalu bertarung dengan kesaktian yang dimiliki masing-masing hingga Pasingsingan kewalahan dan kabur ke arah selatan Tegal, ke sebuah daerah yang kini masuk wilayah Brebes. Di daerah yang berupa pesawahan, Pasingsingan sujud dan minta maaf kepada Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya kemudian memaafkan. Sedangkan perjanjian dengan ayahnya, kalau tidak bisa menangkap Pasingsingan, Pangeran Purbaya tidak boleh kembali lagi ke keraton. “Akhirnya Pangeran Purbaya jalan lagi ke utara, dan sampai di daerah yang sekarang bernama Kalisoka. Saat itu Kalisoka masih berupa hutan. Jadi Pangeran Purbaya babat alas,” katanya. Ahmad menambahkan, Pangeran Purbaya memiliki istri yang merupakan anak dari Ki Gede Sebayu, sosok ulama yang dipercaya sebagai pendiri Kabupaten Tegal. Sebelum bisa mempersunting putri Ki Gede Sebayu, Pangeran Purbaya lebih dulu harus mengikuti sayembara bersama 24 raja dari sejumlah daerah. Sayembaranya adalah merobohkan pohon jati di sebuah wilayah yang kini bernama Adiwerna. “Sayembaranya merobohkan pohon jati tanpa alat. Tangan kosong. Ternyata yang 24 orang enggak mampu. Yang mampu hanya Pangeran Purbaya. Akhirnya Pangeran Purbaya dinikahkan dengan putri Ki Gede Sebayu, oleh Anggowono, putra Ki Gede Sebayu yang lain,” terangnya. Menurut Ahmad, pohon jati yang berhasil dirobohkan dengan cara ditendang itu kemudian diminta Anggowono untuk dibawa Pangeran Purbaya ke Kalisoka dan kayunya digunakan untuk membangun masjid. “Jadi masjid peninggalan Pangeran Purbaya terbuat dari jati yang digunakan dalam sayembara. Jati itu sangat besar. Tidak ada yang tahu bagaimana Pangeran Purbaya membawanya ke sini,” kata Ahmad yang sudah 17 tahun menjadi juru kunci ini. Ahmad mengatakan, dalam proses pembangunan masjid, Pangeran Purbaya juga berhubungan dengan Wali Songo. Bahkan dia meyakini Pangeran Purbaya adalah wali kesembilan. “Pangeran Purbaya itu wali yang kesembilan dengan nama Sayid Syekh Abdul Ghofar Assegaf,” ucapnya. Selain makam Pangeran Purbaya, di dalam kompleks makam juga terdapat makam sejumlah keturunan dan murid Pangeran Purbaya dari Brebes, Tegal, dan Pemalang. Pangeran Purbaya sendiri memiliki enam anak, namun tidak seluruhnya terlacak jejaknya. “Anak-anak Pangeran Purbaya bernama Ki Ageng Umar, Ramidin, Khanafi, Hasan Mukmin, Kiai Abdul Ghoni, dan Kiai Basar,” pungkasnya. (hud)

Read More

Diduga Gerbang Raksasa Kerajaan Kuno Ini Dibangun Tahun 930 M

Mojokerto — 1miliarsantri.net : Beberapa peninggalan kerajaan Majapahit banyak yang tersebar di Provinsi Jawa Timur (Jatim), seperti candi atau situs sejarah lainnya. Hal tersebut mengingat konon pusat kerajaan Majapahit pada saat itu terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Sebagai salah satu kerajaan terbesar di Indonesia, jelas masih banyak terdapat peninggalan Majapahit yang terkubur di wilayah Jatim. Oleh karena itu, pencarian situs-situs sejarah peninggalan Majapahit masih dilakukan oleh para ahli, baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun para arkelolog dari luar negeri. Namun, justru yang ditemukan adalah diduga gerbang raksasa yang berada di situs Gemekan peninggalan Mataram Kuno. Situs tersebut berada di Dusun Kedawung, Desa Gemekan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jatim. Lokasinya tak jauh dari pusat kerajaan Majapahit di Kecamatan Trowulan, hanya sekitar 5 kilometer. Usia dari candi yang berada di situs tersebut diduga lebih tua dari Kerajaan Majapahit. Melihat dari penemuan prasasti di situs tersebut, diperkirakan candi tersebut dibuat pada tahun 930 Masehi. Candi itu lebih tua dari berdirinya Kerajaan Majapahit, yang didirikan sekitar abad ke-12 Masehi. Situs Gemekan diduga peninggalan era Mataram Kuno yang ditemukan di area tengah persawahan warga setempat. Candi tersebut diduga dikelilingi oleh struktur pagar dengan ketebalan mencapai 58 cm. Pagar itu berbahan bata yang terlihat masih bagus dan utuh tidak lapuk oleh tanah. Selain itu, pecahan-pecahan barang berharga lainnya seperti tembikar juga ditemukan di dalam area itu. Situs Gemekan adalah peninggalan Mataram Kuno pra Majapahit era era Sri Maharaja Empu Sindok. Situs tersebut memiliki dua lapis dinding, yang di area tengahnya terdapat sebuah candi. Dari dinding luar ke dalam memiliki jarak sekitar 3 meter, dan dari candi ke dinding dalam berjarak 10 meter. Pagar situs tersebut memiliki panjang lebih dari 40 meter, yang sekilas mirip Candi Sambisari di Sleman. Candi yang diduga lebih tua dari Majapahit itu memiliki gerbang raksasa di antara pagar yang mengelilinginya. (sin)

Read More

13 Tokoh Ulama Bawean Yang Dikenal Masyarakat

Gresik — 1miliarsantri.net : Sebenarnya banyak ulama Bawean zaman dulu yang berperan dalam mensyiarkan agama Islam, baik di Bawean maupun di luar Bawean. Namun, hanya ada 13 ulama Bawean yang fotonya ditemukan dan berhasil ditelusuri jejak kehidupannya. Dalam sejarah Bawean sendiri telah terekam para ulama besar yang lahir di pulau kecil ini. Semua ini berkat penelitian yang dilakukan sejarawan Islam-Bawean, Burhanuddin Asnawi dan kita harus berterima kasih kepada. Dia adalah putra Bawean asli yang telah berhasil menulis biografi para ulama Bawean, termasuk yang berkiprah hingga ke Tanah Suci Makkah. Para ulama tersebut adalah sebagai berikut : Ulama Bawean generasi pertama ini muncul pada abad ke-19 M. Dia adalah seorang alim yang lahir di Pulau Bawean sekitar 1820-an. Ibunya berasal dari Bawean, sedangkan ayahnya berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Kiai Asy’ari menghabiskan masa mudanya dengan belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya di Tanah Jawa. Setelah itu, jejak rihlah ilmiahnya bisa ditemukan sampai ke Maroko, sebelum akhirnya hijrah ke Makkah pada 1892 dan juga ke Mesir. Kiai Asy’ari dikenal sebagai maestro ahli falak dari Nusantara. Kiai Asya’ri wafat di Pasuruan pada 1921 M. Namun, ada juga yang mencatat tahun wafatnya pada 1918 M. Jenazahnya dimakamkan di daerah Sladi Kejayan Pasuruan, tepatnya di belakang Pondok Pesantren Besuk, di samping makam Wali Kemuning. KH Dhofir merupakan putera dari pasangan Kiai Habib dengan Hj Khadijah. Keluarga ini berasal dari Desa Patar Selamat atau Dissalam yang kemudian menetap di Dusun Bengko Sobung, Desa Kota Kusuma, Kecamatan Sangkapura, Bawean, Gresik. Kiai Dhofir lahir sekitar 1885-an atau pada penghujung abad ke-19. Pada periode ini, Islam di Bawean sedang memasuki fase keemasannya. Saat itu pula lahir generasi emas Bawean yang sulit dicarikan gantinya hingga sekarang. Kiai Dhofir dikenal sebagai ulama berdarah Bawean hafal Alquran. Dia wafat di Jakarta pada 19 Agustus 1971 dan dimakamkan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, setahun kemudian, jenazahnya diterbangkan dari Jakarta menuju Surabaya, lalu dimakamkan di komplek pemakaman Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Syekh Muhammad Zainuddin al-Baweani adalah salah seorang ulama bedar yang pernah menjadi pengajar di Masjidil Haram, Makkah. Ulama beradarah Bawean ini kerap dipanggil Syekh Zein. Dia lahir di Makkah pada 1334 Hijriah atau 1915 Masehi. Ayahnya adalah Syekh Abdullah bin Muhammad Arsyad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Abdul Latif al-Baweani. Penisbatan al-Baweani merupakan keterangan berharga yang tidak bisa dipisahkan dengan nama Syekh Zein. Syekh Zein mewarisi ilmu ulama Hijaz lintas generasi. Ia adalah generasi terbaik yang telah mengharumkan nama Nusantara sebagai seorang ulama yang berpengaruh di negeri Hijaz. Syekh Zein wafat di Makkah pada 1426 Hijriah atau 2005 Masehi. KH Abdul Hamid Thabri lahir di Desa Sidogedungbatu pada 20 September 1899 M. Dia adalah putera dari KH Thabri bin Nur bin Abdul Muthallib. Dari segi usia, Kiai Hamid lebih tua dari Syekh Zein. Tetapi, Syekh Zein lebih dahulu tiba di Makkah dan sejak kecil telah menetap di Tanah Suci. Periode Makkah menjadi catatan penting bagi perjalanan karir Kiai Hamid. Dia berada di Makkah untuk pertama kalinya pada 1921-19-25 dan berguru kepada Syekh Khalid bin Halil, seorang alim asal Makkah yang kelak hijrah ke Desa Tambak, Pulau Bawean. Selain mendirikan pesantren di Bawean, Kiai Hamid juga pernah menjadi komandan Hizbullah, sebuah badan kelaskaran dari barisan pemuda NU dalam perjuangan kemerdekaan. Kiai Hamid wafat di Dusun Pancor, Desa Sidogedungbatu pada 25 April 1981. Jenazahnya dimakamkan di komplek pesarean keluarga di Pondok Pesantren Nurul Huda Pancor. KH Subhan bin Rawi juga termasuk seorang ulama Bawean yang pernah menuntut ilmu hingga ke Makkah. Kiai Subhan lahir di Dusun Iliran, Desa Daun, Kecamatan Sangkapura, Bawean. Namun, tidak diketahui tanggal dan tahun kelahirannya. Nama kecilnya adalah Asrari. Pada 1927, untuk pertama kalinya dia bertolak dari Pulau Bawean menuju Tanah Suci Makkah. Dia berangkat ke Makkah mengikuti neneknya yang bernama Hj Ruqayyah binti Anwar. Pda 1957, Kiai Subhan kemudian pulang ke Pulau Bawean dan mulai merintis pengajian. Melalui pengajian tradisional, sarjana Hijaz ini terus mengabdikan hidupnya selama lebih dari 20 tahun. Penerusnya, KH Badrus Surur kemudian mendirikan Pondok Pesantren Darussalam Daun. Kiai Subhan tutup suia pada 1978. Ia menjadi salah seorang ulama penting yang mempengaruhi tradisi keagamaan di Desa Daun dan dikenal sebagai ulama yang pakar dalam bidng ilmu Faraidh. Nama Syekh Ahmad Hasbillah bin Muhammad atau Syekh Ahmad Hasbullah bin Muhammad al-Maduri al-Habsyi ditemukan dalam silsilah tarekat Qadiriyah wan Nasqsyabandiyah. Dia adalah seorang ulama asal Makkah yang hijrah ke Nusantara dan kemudian tinggal untuk beberapa waktu di pulau Bawean. Karena itu lah dia dimasukkan sebagai ulama Bawean. Namun, dalam penelitiannya, Burhanuddin Asnawi belum berhasil mencatat tahun kelahirannya maupun tahun wafat Syekh Ahmad Hasbillah. Tahun kelahiran ulama Bawean yag satu ini juga tidak diketahui, begitu pun tahun wafatnya. Dari silsilahya, Syekh Khalid merupakan putra dari Syekh Khalil bin Khalifah. Ayahnya, Syekh Khalil kemudian menginjakkan kakinya di Pulau Bawean. Dia tinggal di Desa Tambak hingga tutup usia, sebelum kembali ke Makkah. Syekh Khalid tercatat memiliki hubungan dengan para ulama asal Pulau Bawean yang tinggal di Singapura. Karena itu, dia pun berkeinginan untuk mengunjungi Pulau Bawean. Dia juga ingin mengunjungi pusara sang ayah, Syekh Khalil yang terletak di Desa Tambak. Hingga pada akhirnya, takdir membawa Syekh Khalid ke Bawean dan menetap di Desa Tambak hingga akhir hayatnya. KH Abdul Hamid Satren juga merupakan seorang ulama keturunan Pulau Bawean. Dia adalah putra dari KH Ramli asal Desa Kebuntelukdalam, Kecamatan Sangkapura. KH Abdul Hamid kemudian menikahi seorang wanita asal Desa Diponggo, Kecamatan Tambak dan ikut tinggal bersama istrinya. Di Desa Diponggo, Kiai Abdul Hamid atau yang dikenal dengan Mas Doel, kemudian merintis pesantren. Akan tetapi, takdir berkata lain, ia harus hijrah ke Pulau Jawa, tepatnya di sebuah perkampungan bernama Satrean di Probolinggo, Jawa Timur. Karena itu lah dia dikenal sebagai Kiai Abdul Hamid Satrean. Mas Doel dikenal sebagai ulama alumni Hijaz yang aktif sebagai guru di Makkah. Namanya juga dikenang sebagai Rijal al-Makkah. Hingga akhir hayatnya, Mas Doel tidak dikaruniai anak. Dia dimakamkan di Satrean. Kiai Muhammad Amin bin Sawar merupakan tokoh kunci perkembangan kehidupan intelektual di Desa Sukaoneng, Kecamatan Tambak, Bawean, Gresik. Pada masanya, Kiai Amin pun menjadi ulama karismatik dan disegani oleh masyarakat Bawean. Dia dikenal tegas menjalankan fikih…

Read More

Kecantikan Gayatri Yang Bisa Memikat Raden Wijaya Raja Majapahit

Surabaya — 1miliarsantri.net : Raja Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya resmi menikahi Gayatri Rajapatni sebagai istri ketiganya. Pernikahan itu digelar setelah Raden Wijaya ditahbiskan sebagai raja pertama di Majapahit. Gayatri sendiri akhirnya sepakat menerima pinangan Raden Wijaya di usianya yang masih 19 tahun. Bahkan, konon disebutkan kecantikannya setara dengan Ratu Alexandria (Mesir) Cleopatra. Keduanya sepakat untuk menikah begitu Wijaya diangkat sebagai Raja Majapahit. Dalam keadaan normal, tentunya kedua orang tua Gayatri akan mencarikan jodoh yang cocok untuknya. Namun, situasi sekarang jauh dari normal. Sebagaimana dikutip dari “Gayatri Rajapatni: Perempuan Dibalik Kejayaan Majapahit”, Gayatri kini yatim piatu, dan negeri mereka Singasari baru saja hancur-lebur karena perang saudara dan serangan bangsa asing. Maka, sangat tepat pilihan untuk menerima bentuk pernikahan lain yang masih lumrah; bukan melalui perjodohan, kawin lari, atau main culik, melainkan pernikahan yang didasari pilihan pribadi. Dan keduanya saling suka sama suka. Bagi Gayatri, suaminya haruslah seseorang yang berasal dari kelas sosial ksatria seperti halnya para leluhurnya, dan juga seorang penguasa yang memiliki kepribadian dan visi yang kuat seperti ayahandanya. Mpu Triguna, seorang penyair pada masa itu, dengan jitu menyarikan bagaimana kecocokan pasangan dalam perkawinan ditentukan sesuai dengan kasta-kasta yang ada dalam masyarakat Jawa. Mpu Triguna mencatatkan bagaimana hubungan antara Raden Wijaya dan Gayatri istri ketiganya setelah Tribhuwana dan Dara Petak, yang tak kalah cantik serta berusia masih muda. ”Aku tak perlu bicara tentang perkawinan rakyat jelata karena mereka saling bersanding atas kesepakatan bersama. Ketika yang-kaya menikahi yang-kaya, harta-emas, permata dan perak-pun harus jadi mahar. ”Seorang guru agama harus menikahi gadis brahmana. Namun, bagi seorang penguasa/kasta ksatria, yang harus ditebus adalah keperkasaan dan kemauan untuk bertempur dengan gagah berani.” Di mata Gayatri, tak seorang pun mampu memberikan contoh lebih baik seorang pemimpin yang berani kecuali kekasihnya, Raden Wijaya hingga akhirnya pada 10 November 1293, upacara penasbihan Raden Wijaya sebagai raja diselenggarakan secara sekuler, menyusul upacara penyucian beberapa hari sebelumnya yang digelar secara religius. Upacara ini menandai kelahiran kerajaan baru Majapahit, yang utamanya terdiri dari negeri Kediri dan Singhasari, serta Pulau Madura, dengan Majapahit sebagai Ibu Kotanya. Raden Wijaya kini menyandang nama resmi kerajaan Kertarajasa Jayawardhana. Selanjutnya, ia menerbitkan sebuah prasasti yang menjelaskan bahwa nama yang disandangnya secara tak langsung mengacu pada program-program kerajaannya: Untuk memulihkan dan memajukan negeri yang telah dirusak oleh para pencoleng, untuk menghancurkan musuh dengan trisula (lambang kemenangan Wijaya); serta untuk memperbaiki kehidupan ekonomi dan kehidupan beragama, demi kepentingan seluruh rakyat. la juga mengumumkan siapa saja bakal menjadi penasihat utamanya dan bagaimana provinsi-provinsi Majapahit akan dikelola. Adapun bagi Gayatri, peristiwa besar dalam hidupnya adalah saat Wijaya menikahinya beberapa minggu setelah naik tahta. Melihat masalah-masalah yang dihadapi Majapahit, sebetulnya Gayatri sudah puas dengan upacara perkawinan sederhana saja. Namun, Raden Wijaya memberitahu Gayatri ia akan menggelar pesta perkawinan penuh ‘sebagai penghormatan atas mempelai mudanya yang cantik’. Ia pun telah menakar keuntungan politik yang akan diperoleh dari mengundang sebanyak-banyaknya rakyat yang lelah berperang, untuk ikut serta dalam perayaan cinta dan keluarga yang diadakan secara besar-besaran. (yan)

Read More

Penemuan Candi Megah Bawah Tanah di Trowulan Mojokerto, Harta Karun Majapahit Kembali Muncul

Mojokerto — 1miliarsantri.net : Mojokerto banyak dikenal sebagai pusat peradaban kerajaan paling ternama di nusantara pada masanya yaitu Kerajaan Majapahit. Berbagai peninggalan kerajaan tercatat rapi di Mojokerto, mulai dari prasasti, petirtaan hingga candi-candi. Mojokerto sendiri merupakan wilayah tertua ke-10 di Provinsi Jawa Timur. Sementara itu, nama Mojokerto sendiri sangat erat kaitanya dengan kerajaan Majapahit. Mojokerto juga merupakan bekas Ibu Kota Kerajaan Majapahit pada abad 13 hingga abad 15. Jejak Mojokerto sebagai daerah kerajaan semakin kuat manakala menurut catatan sejarah bahwa Mojokerto merupakan daerah pertama yang disinggahi Raden Wijaya saat mengembara menuju Lumajang. Jejak Kerajaan Majapahit di Mojokerto makin eksis dan kuat manakala hampir di setiap sudut daerah ini terdapat peninggalan kerajaan. Salah satunya yaitu berada di kawasan Trowulan, dimana di tempat ini banyak ditemukan keramik, mata uang logam, sumur kuno, candi hingga benda seperti pecahan tembikar. Melansir dari youtube channel Daftar Populer, dikabarkan bahwa sekelompok petani di Mojokerto berhasil menemukan candi megah di bawah tanah. Penemuan candi megah di bawah tanah ini bermula dari petunjuk mimpi salah satu petani tersebut. Merasa tergerak, sekelompok petani itu melakukan pencarian untuk menggali tanah hingga pada akhirnya ditemukanlah sebuah bangunan mirip candi yang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit. Kejadian tersebut terjadi pada pukul 16.00 pada tanggal 28 Oktober 2008. Meski kejadian ini sudah terjadi beberapa tahun lalu, namun sampai saat ini masih banyak pertanyaan-pertanyaan dari banyak kalangan mengenai kebenaran nya. Candi megah di bawah tanah tersebut juga terdapat makam Eyang Suro Bendo, salah seorang pengelola dan penjaga harta benda Kerajaan Majapahit. Tidak hanya makam pengelola dan penjaga harata benda Kerajaan Majapahit saja, dikabarkan di tempat yang sama juga terdapat beberapa makam lain. Penemuan candi ini berada di Trowulan kawasan cagar budaya nasional yang ada di Mojokerto, Jawa Timur. (kur)

Read More

Keris Kiai Cokro Senjata Unik Milik Pangeran Diponegoro

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pangeran Diponegoro merupakan salah satu pahlawan nasional yang berjuang melawan Penjajah Belanda. Sebagai seorang pejuang sekaligus pemimpin, Pangeran Diponegoro acap kali terlihat menyandang pusaka. Bagi sebagian besar orang, mungkin hanya mengenal beberapa pusaka Pangeran Diponegoro seperti keris Kanjeng Kyai Bondoyudo, keris Kyai Nogo Siluman, wedung Kyai Wreso Gumilar, dan lain-lain. Namun di antara deretan pusaka Pangeran Diponegoro, ada sebuah pusaka yang tak kalah istimewa. Sekretaris Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) Pandu Setyawan menyatakan, dari sekian banyak pusaka milik Pangeran Diponegoro, ada sebuah pusaka yang cukup unik dan jarang disandang Pangeran Diponegoro. Pusaka ini bernama Kanjeng Kyai Cokro. “Kanjeng Kyai Cokro merupakan pusaka piandel, di mana hanya disandang saat momen khusus. Berbeda halnya dengan keris Kanjeng Kyai Bondoyudo, yang hampir selalu terlihat dipakai, bahkan mendampingi beliau hingga akhir hayat,” ucap Pandu. Menurutnya, terdapat pendapat bahwa Kanjeng Kyai Cokro merupakan sebuah pataka, bersimbol matahari dengan empat bintang dan dua bulan. Hal ini dapat diartikan sebagai perlambang suatu perhimpunan atau pergerakan yang merefleksikan sebuah perjuangan melawan kebatilan dan kezaliman, dengan harapan keselamatan dunia serta akhirat untuk para pengikut Pangeran Diponegoro. “Nama Kanjeng Kyai Cokro sendiri merujuk pada bentuknya, berupa cakra, yang dipakai dalam prosesi pelantikan Pangeran Diponegoro menjadi Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ats Tsani Ratu Paneteg Panatagama Satanah Jawi,” jelasnya. Disebabkan seorang pangeran tak dapat memberikan perintah kepada sesama pangeran, untuk mempermudah rantai komando organisasi, maka gelar tersebut disematkan dan digunakan Pangeran Diponegoro sebagai penanda Pemimpin Tertinggi Perang Jawa. Sebagai informasi saja, ada kurang lebih 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di barisan Pangeran Diponegoro. (mif)

Read More

Mengenali Mahamenteri Kartini, 3 Pembantu Raja dalam Mengatur Kerajaan Majapahit

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 23 Juli 2023 – 06:41 WIB oleh Avirista Midaada dengan judul “Kisah Mahamenteri Kartini, 3 Pembantu Raja dalam Mengatur Kerajaan Majapahit | Halaman 3”. Untuk selengkapnya kunjungi:https://daerah.sindonews.com/read/1158175/29/kisah-mahamenteri-kartini-3-pembantu-raja-dalam-mengatur-kerajaan-majapahit-1690067227/20 Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan download aplikasi SINDOnews.– Android: https://sin.do/u/android– iOS: https://sin.do/u/ios Mojokerto — 1miliarsantri.net : Kerajaan Majapahit pernah menjadi kemaharajaan besar di Nusantara sejak akhir abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi. Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur ini memiliki struktur pemerintahan dan pembagian area dengan masing-masing pemimpinnya. Dalam menjalankan pemerintahan, ada tiga mahamenteri yang membantu sang raja. Berbagai piagam Majapahit mencatat bahwa perintah raja ditampung tiga mahamenteri, yang disebut mahamenteri kartini terdiri dari Mahamenteri Hino, Mahamenteri Halu, dan Mahamenteri Sirikan. Kemudian perintah itu disalurkan kepada para tandapakirakiran makabehan, termasuk sang panca Wilwatikta. Demikianlah kedudukan Mahâmenteri Kartini itu dalam pemerintahan negara terlalu tinggi dan mahamantri katrini sudah dikenal sejak pemerintahan raja Kertarajasa. Tetapi, ketiga mahamenteri itu tidak mempunyai wewenang dalam urusan pemerintahan negara secara langsung. Urusan pemerintahan negara ada di tangan sang panca Wilwatikta yang dikepalai oleh patih seluruh negara, seperti dinyatakan dalam Nagarakretagama pupuh 10. Sang panca Wilwatikta terdiri dari patih, demung, kanuruhan, rangga, dan tumenggung. Artinya secara kesimpulan jabatan Mahamenteri Kartini ini konon telah ada sejak awal pembentukan negara Majapahit, sebagaimana tercantum dalam Piagam Kudadu dan Piagam Pemanggungan. Jika susunan Mahamenteri Kartini dalam O.J.O. LXXXIV dibanding dengan susunan Mahamenteri Kartini pada Piagam Bendasari, terdapat dua nama yang sama, yakni Dyah Iswara dan Dyah Ipoh, tetapi berbeda kedudukannya. Dengan hilangnya Dyah Sonder, Dyah Iswara yang semula menjadi Mahamenteri Sirikan, dijadikan Mahamenteri Hino, dan Dyah Ipoh, yang semula menjadi Mahamenteri Halu, dijadikan menjadi Mahamenteri Sirikan. Dyah Kancing mengisi jabatan Mahamenteri Halu. Kiranya urutan susunan ketiga mahamenteri. Hino, Sirikan, dan Halu itu memang mengandung arti urutan pangkat. Jabatan menteri Hino adalah jabatan yang paling tinggi di antara ketiga jabatan itu, sedangkan jabatan menteri Halu adalah yang paling rendah. Dari penelitian lebih lanjut, ternyata jabatan mahamenteri Hino, Sirikan, dan Halu bukan ciptaan Majapahit. Jabatan itu telah ada sejak zaman Mataram di Jawa Tengah, kemudian dibawa ke Jawa Timur oleh Raja Sindok. Di Jawa Timur, jabatan itu masih tetap dipertahankan pada zaman Kediri dan Singasari. Kita perhatikan, siapa-siapa yang pernah menjadi Mahamenteri Kartini pada zaman Singasari. Baik piagam Pakis, 1266, maupun piagam Gunung Wilis, 1269, hanya menyebut bahwa perintah Raja Kertanagara ditampung oleh Rakryan Mahamenteri Hino, Rakryan Mahamenteri Sirikan, dan Rakryan Mahamenteri Halu, kemudian disalurkan ke bawah kepadapara tanda rakryan pakirakiran makabehan,tanpa menyebut nama pejabatnya. Sementara Piagam Gunung Wilis menyebut nama para tanda yang diserahi urusan pemerintahan negara, yakni Rakryan apatih Kebo Arema, Rakryan demung Mapanji Wipaksa, dan Rakryan kanuruhan Mapanji Anurida. Nama para Mahamenteri Kartini tidak disebut. (ton)

Read More

Keris Kiai Naga Siluman Milik Pangeran Diponegoro Yang Telah Hilang Ratusan Tahun Lalu, Akhirnya Kembali

Jakarta — 1miliarsantri.net : Keris Kiai Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro yang sempat hilang ratusan tahun telah ditemukan di Belanda dan resmi diserahkan ke Museum Nasional Indonesia di Jakarta pada 5 Maret 2020 lalu. Penyerahan keris Kiai Naga Siluman itu dilakukan Duta Besar Indonesia untuk Belanda saat itu, I Gusti Agung Wesaka Puja dan diterima langsung oleh Kepala Museum Nasional Indonesia Siswanto. “Ini momentum bersejarah dengan kembalinya keris Pangeran Diponegoro sejak keluar dari tanah air kita 150 tahun lalu,” kata I Gusti Agung Wesaka Puja dikutip dari laman BBC Indonesia. Sejarawan Belanda, Caroline Drieenhuizen mengatakan Belanda selalu ragu terkait pemulangan artefak-artefak Indonesia. “Kalaupun dikembalikan, mereka melakukannya seperti keinginan baik mereka, bukan karena Indonesia punya hak untuk mendapatkan barang itu kembali. Mereka tidak merasa itu,” kata Caroline. Keris Pangeran Diponegoro tersebut dikabarkan sempat hilang dan Caroline menyatakan museum-museum itu tidak mencari dengan benar. Ia mengatakan, pada akhirnya Belanda mencarinya karena Indonesia terus memintanya. “Banyaknya artefak-artefak dan ditambah dengan daftar inventaris yang tidak lengkap menambah sulit pencarian barang-barang tertentu yang diminta Indonesia. Jadi bukan hanya masalah politik saja tapi juga masalah penyimpanan yang tidak rapih,” imbuhnya Keris Kiai Naga Siluman diberikan Pangeran Diponegoro kepada utusan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Kolonel Jan-Baptist Cleerens, setelah dirinya ditangkap pada 28 Maret 1830. Oleh Cleerens, keris itu dihadiahkan kepada Raja Willem I pada 1831. Keris itu kemudian disimpan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) atau koleksi khusus kabinet Kerajaan Belanda. (yud)

Read More

Perjalanan Jenderal Sudirman, Mulai Guru SD Hingga Menjadi Jenderal

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : “Dan hari ini saya dengan rasa khidmat akan melantik saudara Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat kita dengan pangkat Jenderal. Kewajiban seorang panglima besar bagi kita adalah berat sekali,” Demikian ucapan Presiden Sukarno saat melantik Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 18 Desember 1945 di Markas Besar Tentara di Gondokusuman, Yogyakarta. Pengangkatan Kolonel Soedirman yang masih berumur 29 tahun menjadi orang nomor satu di TKR di luar dugaan Belanda saat itu, karena dalam pemilihan Panglima Besar TKR, Soedirman harus bersaing dengan Hamengkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Oerip Soemohardjo, Suryadarma, M Pardi, dan Nazir. Peluang Soedirman menjadi panglima besar sangat tipis. Setelah pemilihan, sebuah surat kabar Belanda mengejek dan meremehkan pengangkatan Soedirman menjadi panglima. “Republik Indonesia mengangkat seorang guru SD menjadi panglima besar. Tahu apa guru sekolah itu!” tulis media Belanda seperti dikutip dari buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang ditulis oleh Letjen (Purn) Tjokropranolo terbitan CV Haji Masagung 1993. TKR terpaksa menggelar rapat pemilihan panglima besar karena di kalangan pucuk pimpinan TKR daerah merasakan adanya satu kekurangan, yaitu Soepriyadi sebagai pimpinan tertinggi TKR yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno tidak pernah muncul. Atas dasar itu, ada keinginan kuat di kalangan pimpinan markas tinggi TKR untuk memilih dan mengangkat seorang perwira tinggi guna menggantikan Soepriyadi. Kemudian, pada 12 November 1945 di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat (MTTKR) di Gondokusuman, Yogyakarta, menggelar Konferensi Besar TKR. Selain dihadiri oleh hampir semua Komandan Divisi dan Resimen TKR, Konferensi juga dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuono IX, Sunan Pakubuwono XII, dan Mangkunegoro X. Utusan dari Sumatra yang hadir hanya seorang, yaitu Kolonel Moh Noeh mewakili enam Divisi di Sumatera, sedangkan wakil dari Jawa Timur tidak hadir lengkap karena sedang menghadapi keadaan genting sebagai akibat peristiwa 10 November. Hadir pula beberapa mantan KNIL seperti Didi Kartasasmita, Jatikusumo (KNIL dan PETA), Gatot Soebroto (KNIL dan PETA), dan Suryadarma. Awalnya, konferensi yang dipimpin Kepala Staf Umum Letjen Oerip Soemohardjo berjalan lancar. Namun, suasana tiba-tiba menjadi tegang ketika diumumkan akan dilanjutkan rapat lain yang tidak dapat ditunda, yakni memilih calon-calon yang akan dipilih menjadi pimpinan tertinggi TKR. Karena dadakan, peserta yang hadir belum siap dengan calon-calonnya. Suasana tegang menjadi tenang dan hangat setelah Soedirman meminta rapat diskors untuk memilih calon-calon. Pada saat itu sudah kelihatan kebijaksanaan dan kearifan Soedirman yang ketika itu berpangkat Kolonel dengan senjata dan pasukannya yang paling banyak. Ketika rapat dimulai lagi, rapat dipimpin oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis. Ada delapan nama calon yang tercantum di papan tulis, di antaranya Hamengkubuwono, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, M. Pardi, dan Nazir. Tata cara pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat tangan satu persatu, setelah nama-nama calon disebutkan oleh panitia. Pemilihan dilakukan tiga kali. Yang pertama dua orang calon gugur. Pemilihan selanjutnya dua orang calon juga gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, giliran nama Kolonel Soedirman disebut. Hasil hitungan menunjukkan suara terbanyak bagi calon yang namanya disebut terakhir kali. Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Soedirman dan Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi dari enam divisi di Sumatra yang mewakili enam suara memberikan seluruh suaranya itu kepada Soedirman. Dan, Soedirman yang pernah menjadi Opsir PETA itu terpilih sebagi Panglima TKR. Soedirman mengalahkan perwira-perwira yang usianya lebih tua darinya, dan hampir semua perwira Komandan Panglima di daerah-daerah berasal dari PETA dan Gyugun. Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX diusulkan menjadi Menteri Pertahanan. Oerip Soemohardjo yang usianya jauh lebih tua, diminta tetap menjadi Kepala Staf Umum TKR. Beliau dianggap mahir soal strategi militer dalam menghadapi tentara Belanda. Di kalangan perwira-perwira Jawa yang besar jumlah anggotanya, Soedirman mempunyai kelebihan daya tarik dan dipandang punya kharisma yang besar. Di zaman pendudukan Jepang, Soedirman pernah duduk sebagai anggota Dewan Daerah “Syu Sangi Kai” di Purwokerto, di Jawa Tengah, sehingga sedikit banyak punya pengalaman di dunia politik. Sesudah Proklamasi, Soedirman menjadi lebih terkenal di medan perang karena mampu memukul mundur sebuah satuan tugas Inggris di Ambarawa. Di hari-hari pertama pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyar) di Banyumas, Soedirman berhasil melakukan perlucutan senjata terhadap bala tentara Jepang dengan jalan diplomasi tanpa banyak korban. Soedirman adalah pemimpin divisi yang mempunyai persenjataan lebih banyak yang diperoleh dari hasil penyitaan dari pihak Jepang sehingga dapat membantu divisi lainnya yang kekurangan persenjataannya. Soedirman juga punya kewibawaan yang disegani oleh pihak Jepang saat menjabat sebagai Daidancho. Soedirman juga pernah menjabat sebagai guru sekolah Muhammadiyah yang memiliki sifat kebapakan. Soedirman adalah pemimpin pemuda Muhammadiyah. Soedirman adalah pemimpin Pramuka Hisbulwathon maupun KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Soedirman adalah pemimpin koperasi kabupaten. Soedirman juga menjadi anggota DPRD. Meskipun pernah mengikuti latihan PETA sebagai Daidancho, Soedirman yang lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916 adalah seorang pendiam, teguh hati, lemah lembut tetapi tegas sebagai seorang pemimpin dalam ketentaraan. Soedirman cepat mengambil keputusan yang tepat. Sekali putusan diambil, tidak dapat mudah diubah lagi oleh siapapun. “Beliau selalu tekun menjalankan agamanya, yaitu agama Islam sehingga beliau berkat rahmat dan bimbingan Allah SWT lahir sebagai seorang pemimpin bagi Tentara Indonesia yang meniti dan naik panggung sebagai Panglima Besar yang akan memenangkan perjuangan kemerdekaan. Memang itulah kenyataannya yang terjadi! Soedirman menjadi Panglima Besar,” tulis Tjokropranolo dalam bukunya. Pada 29 Januari 1950, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman wafat di Magelang, Jawa Tengah. Banyak rakyat berkumpul hingga sepanjang dua kilometer untuk ikut mengiringi prosesi pemakaman sang pahlawan revolusioner tersebut. Empat tank dan 80 kendaraan bermotor turut mengantarkan Jenderal Besar Soedirman menuju tempat peristirahatan terakhirnya di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta. (mif)

Read More