Makam Ibunda Gajah Mada Dipercaya Berada di Kabupaten Lamongan Jawa Timur

Lamongan — 1miliarsantri.net : Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dikenal memiliki beragam sejarah peradaban leluhur yang masih dilestarikan hingga saat ini. Selain makam Sunan Drajat, terdapat juga Makam ibunda Gajah Mada yang dipercaya berada di puncak bukit Gunung Ratu di Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Nama ibu Gajah Mada adalah Dewi Andongsari. Untuk menuju makam yang sudah direhab oleh Pemkab Lamongan itu, peziarah harus menaiki tangga undakan jumlahnya ratusan anak tangga harus yang dilewati untuk sampai di puncak Gunung Ratu. Setelah sekitar 30 menit, pengunjung akan sampai pada puncak bukit. Dari pusat kota Lamongan, lokasi situs Gunung Ratu berjarak sekitar 65 kilometer ke arah selatan, sementara untuk akses jalan menuju lokasi juga sudah terbilang bagus dan jalan menuju makam sudah direhab oleh pemerintah. “Situs Makam Dewi Andongsari ini dikenal oleh banyak masyarakat sebagai makam Ibunda Gajah Mada ,” terang Kepala Desa Sendangrejo, Suwaji kepada 1miliarsantri.net, Jumat (13/10/2023). Di bawah pohon besar dan dikelilingi tembok dengan atap tertutup, di sanalah makam Dewi Andongsari. Makam itu membujur ke utara dan selatan, dengan dilengkapi tiga payung warna emas dan juga berhias bendera merah putih. “Sebelum dipugar, makam ini hanya ditandai dengan tumpukan batu-batu kuno saja,” ungkap Suwaji. Selain makam Dewi Andongsari, di kompleks pemakaman yang berada di kawasan perbukitan ini juga ada 2 pusara lain berjajar. Dua pusara tersebut adalah pusara Kucing Condromowo dan Garangan (musang) Putih yang berada tepat sebelum masuk ke makam Dewi Andongsari. Kedua pusara ini, menurut Suwaji, dalam cerita yang diketahui warga, merupakan teman atau hewan peliharaan Dewi Andongsari selama dalam pengasingan di bukit itu. “Masyarakat sekitar situs percaya, Dewi Andongsari adalah nama samaran dari Indreswari, salah satu istri selir pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Diceritakan, saat itu Indreswari sedang mengandung. Karena tidak senang kehamilan Indreswari, salah satu istri Raden Wijaya kemudian memerintahkan pengusiran terhadap Indreswari dari keraton. Dalam pelariannya, Indreswari ditemani dua binatang kesayangannya, yakni, Kucing Condromowo dan Garangan Putih,” tuturnya. Selain menjadi lokasi wisata religi, Suwaji mengungkapkan, makam Dewi Andongsari atau Gunung Ratu ini biasanya menjadi tempat untuk ritual sebagai perantara untuk mencapai keinginan mereka. Terkhusus, biasanya dipakai ritual orang-orang yang punya niat untuk meningkatkan derajat, pangkat atau jabatan. “Tempat ini biasanya dipakai ritual orang-orang yang punya hajat niat meningkatkan derajat, pangkat atau jabatan,” tandasnya. (lis) Baca juga :

Read More

Masjid Jami’ Nurul Huda Bekasi, Berdiri Sejak Tahun 1882 Masehi

Bekasi — 1miliarsantri.net : Tahukah anda Masjid paling tua di Bekasi yang berdiri tahun 1882 masehi yakni Masjid Jami’ Nurul Huda yang berada di daerah Jati Makmur Pondok Gede, Bekasi Selatan. Ketua DKM Masjid Jami’ Nurul Huda, KH Abi Najwa mengatakan bahwa masjid ini didirikan turun temurun dari pihak keluarganya. “Didirikan pertama kali oleh Kiyai Haji Mukharom, kemudian anak beliau Kiyai Haji Arba’in, Kiyai Haji Abu Salam, Kiyai Haji Akhi, Kiyai Haji Abu Bakar hingga sampai saat ini turun kepada beliau,” ungkapnya kepada 1miliarsantri.net, Selasa (10/10/2023) Masjid tersebut baru pertama kali di bangun karena belum banyak masjid yang tersedia dan hanya ada di wilayah tertentu khususnya di Pondok Gede. Sementara itu untuk perawatan masjid mengutaman kebersihan yang di heandle oleh marbot serta adanya imam. Pada perkembangan nya, di awal tahun 1994 hingga sekarang, masjid ini banyak melakukan perbaikan dari bangunan dan kegiatan. Contohnya dengan adanya kegiatan pada bulan Ramadan, seperti i’tiqaf atau malam lailatul qadar, kondisi masjid akan lebih ramai. Hingga sebagain masyarakat mengetahui bahwa Masjid Jami’ Nurul Huda adalah masjid tertua yang ada di Bekasi. Kondisi jama’ah sholat Jum’at pun terlihat cukup padat. Lokasinya juga mudah karena terletak dipinggir jalan raya. Kapasitas daya tampung masjid tersebut bisa mencapai 1000 jama’ah, dan ketika memasuki bulan Ramadhan, jamaah lebih banyak yang hadir. Berbagai macam pengunjung dari daerah yang berbeda dapat mendatangi masjid tersebut, seperti Supardi yang menjadi jama’ah salat juma’at di Masjid Jami’ Nurul Huda. Dia mengatakan pendapatnya mengenai kondisi masjid saat ini. “Beberapa kali salat di sini, alhamdulillah saf penuh, terlebih saat salat Jum’at. Kondisi dalam masjid masih banyak yang perlu di renovasi, seperti perlu adanya acsessoris tambahan, penempatan lampu dan kapasitas tempat wudhu lebih diperluas,” terang Supardi. Harapan besar sebagian masyarakat adalah Masjid Jami’ Nurul Huda dapat meningkatkan fasilitas yang masih belum memadai. (fat) Baca juga :

Read More

Saksi Sejarah G30S PKI Yang Selamat, Meski Sempat Mendapat Siksaan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Peristiwa berdarah G30S PKI merupakan peristiwa kelam di Indonesia. Namun ada satu sisi menarik pada malam berdarah G30S PKI di Lubang Buaya. Seorang polisi, Sukitman, secara luar biasa, selamat dari pembunuhan. Padahal, dia tertangkap dan sempat disiksa. Dalam narasi yang beredar, Sukitman bersembunyi di kolong truk. Pasca insiden berdarah yang merenggut 6 Jenderal TNI dan disaat pagi menjemput, Sukitman baru keluar dan meminta bantuan. Itu setelah gerombolan PKI, Gerwani dan Pemuda Rakyat, pergi dari Lubang Buaya. Namun, dalam versi kisah ini, selamatnya Sukitman tak sesederhana itu. Ada sosok penyelamat yang rupanya alpa dari catatan sejarah, atau sengaja dilupakan. Dia adalah Ishak Bahar. Seorang alumni pesantren alias santri anggota pasukan pengawal Presiden Soekarno, yang kebetulan jadi sopir komandan Cakrabirawa Letkol Untung pada malam G30S PKI. Suaranya masih merdu dan tartil, meski sedikit bergetar saat melafalkan Surat Al Hadid. Siapa sangka, dia mantan anggota Cakrabirawa, kesatuan elite pengawal presiden yang disangka terlibat G30S/PKI. Namanya Ishak Bahar, lahir di Purbalingga. Ishak berlatar belakang agama yang kuat. Namun, perjalanan hidupnya membuatnya sempat dicap sebagai PKI, gara-gara menjadi anggota Cakrabirawa. Dia merupakan anak Kayim. Masa kecilnya diisi dengan banyak mengaji. Ishak juga belajar di tiga pesantren, di Jawa Tengah. Dia adalah sosok santri tulen. Usai lulus sekolah, dia mendaftar tentara. Belakangan, setelah bertugas di Kodam IV Diponegoro, dia terpilih menjadi salah satu anggota pasukan Cakrabirawa. Tugasnya di ring 1 adalah menjaga keselamatan presiden, sebagai unit yang selalu menempel ke mana pun presiden bergerak. Sebelum menjadi pengawal paling dekat Sukarno, dia adalah ajudan Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa yang akhirnya divonis mati karena dinyatakan bersalah melakukan kudeta dan menggerakkan pasukan untuk membunuh enam jenderal dan satu perwira AD pada peristiwa G30S PKI. Ishak berkisah pada Jumat, 1 Oktober 1965, sedianya ia akan mengawal Presiden Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Ia tak terlalu paham agendanya. Namun, berdasarkan informasi yang diperolehnya waktu itu, presiden hendak hadir di sebuah acara olahraga. “Sebagai prajurit, informasi detailnya yang seperti itu baru akan diberitahukan ketika akan berangkat. Kita kalau akan berangkat baru diberi pembagian tugas,” ucapnya kepada 1miliarsantri.net, Sabtu (07/10/2023) Tetapi, ia batal mengawal Presiden Sukarno. Pasalnya, pada sore 30 September 1965, tiba-tiba Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa memintanya untuk mendampinginya ke Lubang Buaya. Tempatnya digantikan oleh pengawal lainnya, Bagyo. “Kamu ikut saya saja,” Ishak menirukan perintah Letkol Untung. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, tugasnya adalah mengantar Letkol Untung, tak ada yang lain. Ketika satu kompi Cakrabirawa bertugas menjemput para jenderal, ia tetap berada di Lubang Buaya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di jipnya. Tempat parkirnya, ia sebut, relatif jauh dari pusat kegiatan, sehingga tak begitu memahami detail peristiwa yang terjadi. “Tugas Cakrabirawa saat itu, menjemput para jenderal untuk dihadapkan kepada presiden. Kalau saya tugasnya mengantar Letkol Untung. Saya tidak ikut menjemput,” sambungnya. Informasi samar-samar beredar. Enam jenderal berhasil dijemput. Namun, dua orang meninggal dunia lantaran melawan. Tak berapa lama, rentetan tembakan terdengar. Enam jenderal dan satu perwira AD meninggal dunia. “Di tengah situasi yang tak pasti itu,saya mendapat firasat yang buruk. Wah, salah ini. Lutut saya langsung lemas. Apes saya. Mati saya,” ujarnya. Selain enam jenderal dan satu perwira pertama AD, ada pula anggota polisi yang turut ditangkap dan dibawa ke Lubang Buaya. Namanya Sukitman. “Tahu polisi yang selamat dari Lubang Buaya, Sukitman kan. Sukitman saya yang menyelamatkan,” tiba-tiba Ishak, menyela, kala bercerita soal tragedi 1 Oktober 1965. Di tengah kekalutan situasi kala itu, ia diperintahkan untuk menembak mati Sukitman. Ia adalah polisi yang ditangkap di sekitar kediaman Mayor Jenderal DI Pandjaitan. Sukitman dikhawatirkan akan membocorkan lokasi penguburan para jenderal. “Saya jawab. Orang tidak salah kok ditembak,” ujarnya, menceritakan situasi kala itu. Atasan di Cakrabirawa itu, kata Ishak, lantas pergi, tanpa berbicara apa pun. Rupanya, anggota Cakrabirawa yang memberi perintah itu juga tengah kalut. Saat situasi memungkinkan, dia memerintahkan Sukitman bersembunyi di jipnya. “Lalu saya bilang ke Sukitman, sudah kamu tiduran saja di jip saya. Lalu saya bawa ke Istana Negara. Sukitman kemudian pergi,” ucap Ishak. Bertahun-tahun kemudian, Ishak dan Sukitman dipertemukan di Rutan Salemba. Kondisi terbalik kala itu. Ishak yang tadinya berbobot 73 kilogram, saat itu sudah turun menjadi 40 kilogram. Namun, polisi itu rupanya masih mengenali Ishak. “Waktu bertemu itu, Sukitman itu sampai nyembah-nyembah karena saya menyelamatkan dia,” ujarnya mengenang. (wink) Baca juga :

Read More

Assikalaibineng Kitab Kuno Suku Bugis Makassar

Makassar — 1miliarsantri.net : Suku Bugis-Makassar memiliki kitab kuno yang membahas tentang etika bercinta bagi pasangan suami istri. Kitab itu adalah Assikalaibineng. Assikalaibineng adalah kitab tuntunan malam pertama bagi pengantin baru. Kitab ini tak hanya berisi tentang cara hubungan seksual antara suami-istri, tetapi juga berisi tentang teknik sebelum dan sesudah berhubungan badan termasuk doa-doanya, teknik untuk berhubungan badan untuk untuk menentukan jenis kelamin anak atau bahkan waktu yang baik dan buruk untuk berhubungan badan. Assikalaibineng merupakan manuskrip kuno dengan tulisan aksara Lontara. Secara harafiah, Assikalaibineng terdiri dari dua suku kata bahasa bugis, yaitu Lai yang berarti lelaki atau suami, dan Bineng atau Bene yang berarti perempuan atau istri. Namun, jika diartikan secara utuh, Assikalaibineng berarti cara berhubungan suami-istri. Assikalaibineng mulanya adalah ajaran eksklusif yang hanya diajarkan secara turun-termurun di kalangan bangsawan Bugis-Makassar. Manuskripnya pun tidak utuh dan tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Profesor dari Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi, menjelaskan, Assikalaibineng merupakan kitab literasi seksualitas suku Bugis. Secara etimologi ungkapan tersebut artinya hubungan laki-laki dan perempuan (suami-istri). “Teks assikalaibineng secara umum membahas terkait konsep seksualitas, pengetahuan alat reproduksi, prosedur/ tahapan hubungan, teknik sentuhan 12 titik, teknik bertahan (hati+pikiran+gerakan), menentukan jenis kelamin, kualitas anak (generasi), tata cara pembersihan tubuh, pengendalian kehamilan, waktu yang baik hubungan suami-istri, pengobatan dan perawatan kelamin, doa-doa, dan hal-hal lainnya,” ujar Mulis dikutip Senin (02/10/2023). Sementara, Periset dari Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP), Abu Muslim, menjelaskan kasih sayang Tuhan dalam sistem pengetahuan seksualitas masyarakat Bugis melalui pembacaan kontekstual lontara Assikalaibineng. Dia menyampaikan, manuskrip assikalaibineng sebagai pusaka dalam bentuk tulisan tangan yang berisi tentang pola dan pengetahuan seksualitas masyarakat Bugis. Hal itu merupakan warisan turun temurun. Assikalaibineng ditujukan sebagai sebuah pengetahuan yang malebbi, yaitu sesuatu yang harus ditempatkan dengan cara-cara bijaksana dan mulia. Sehingga jika terdapat hal-hal yang dapat membuat sistem pengetahuan assikalaibineng ini melenceng dari sifat malebbi’ nya, maka hal tersebut dapat merancukan atau mengurangi aspek kebaikan yang ditimbulkannya. “Manuskrip Assikalaibineng secara kontekstual sebagai upaya rekonstruksi sosial budaya, intelektual, dan keagamaan yang berkembang di Tanah Bugis,” ujar Muslim. Assikalaibineng mulanya adalah ajaran eksklusif yang hanya diajarkan secara turun-termurun di kalangan bangsawan Bugis-Makassar. Manuskripnya pun tidak utuh dan tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Belakangan, Muhlis Hadrawi mengumpulkan manuskrip itu lalu menerjemahkannya dan menjadikannya sebuah buku panduan bercinta yang diterbitkan pada 2009. Buku dengan judul Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis itu didedikasikan sebagai tesis untuk meraih gelar magister Muhlis di Universitas Indonesia pada waktu itu. Pada bagian awal buku ini, Muhlis Hadrawi menyebut ada 44 manuskrip Lontara yang dikumpulkannya dan lalu dijadikan sebagai rujukan utama penulisan buku tersebut. Ke-44 naskah itu terdiri dari 28 manuskrip beraksara Lontara Bugis dan 16 lainnya beraksara Lontara Makassar. “Aksaranya macam-macam, ada Sulapa Eppa, Serang, dan Jangang-Jangang,” tulis Muhlis Hadrawi pada halaman 10 buku itu. Assikalaibineng Terinspirasi dari Ajaran IslamSejatinya, Assikalaibineng adalah kitab tuntunan berhubungan suami-istri yang diatur sesuai budaya Bugis-Makassar, tapi tak lepas dari nilai-nilai Islam. Buku ini berisi tentang tips, trik, etika bahkan doa-doa saat ingin berhubungan badan atau setelahnya. Terbukti pada salah satu bagian dalam buku ini dijelaskan dalam teks berbahasa Bugis dan ditulis dalam aksara Lontara, perihal ritual malam pertama. Seperti yang diajarkan, sang pria dianjurkan memulai dengan niat dan melihat dirinya sebagai aksara Arab Alif dan perempuan sebagai aksara Arab Ba, lalu dianjurkan memberi salam. Pada bagian lain dalam buku itu disebutkan, sang suami disebut sebagai Ali atau sahabat dan menantu Nabi Muhammad lalu perempuan disebut sebagai Fatimah yang tak lain adalah putri Nabi Muhammad. Saat pria memegang tangan perempuan, dia dianjurkan bersyahadat dan berniat Malaikat Jibril yang menikahkan dan Nabi Muhammad yang menjadi wali atas kehendak Allah Ta’ala. Kitab Persetubuhan Bugis ini juga banyak menjelaskan tentang titik-titik rangsangan pada perempuan, atau bahkan tentang siklus perubahan titik rangsangan perempuan yang sesuai dengan siklus menstruasinya. Dalam kitab itu titik pusat rangsangan tertinggi perempuan disebut Mani. “Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika hendak berhubungan dengan Fatimah. Malam Jumat dia mencium ubun-ubun sebab di situlah maninya berada, Sabtu dia mencium kepalanya, sebab di situlah maninya berada, malam Ahad, Ali mencium mata Fatimah sebab di situlah maninya berada, malam Senin diciuminya perantara keningnya,” tulis Muhlis menerjemahkan salah satu manuskrip Lontara yang dia peroleh. Di manuskrip lain disebutkan ada tujuh titik rangsangan yang menjadi daerah sensasi saat malam pertama. Ketujuh titik itu berbeda pada setiap harinya tergantung hari apa malam pertama itu berlangsung. Ketujuh titik itu adalah Buwung atau ubun-ubun pada malam Jumat, Ulu atau Kepala pada malam Sabtu, mata pada malam Ahad, Lawa Anning atau perantara alis pada malam Senin, Inge’ atau hidung pada malam Selasa, Pangolo atau payudara pada malam Rabu, dan Uluwati atau Ulu Hati pada malam Kamis. “Efek rangsangan terbaik bila dilakukan pada rangkaian titik peka itu, diraba, lalu selalu diiringi ciuman, sebelum masuk ke tahap penetrasi, yang diikuti beberapa mantra dalam bahasa Arab dan Lontara,” jelas Muhlis Hadrawi dalam buku yang ditulisnya itu. (hen) Baca juga :

Read More

Sunan Bejagung Lor, Sosok Yang Bisa Mengalahkan Maha Patih Gajah Mada

Mojokerto — 1miliarsantri.net : Pada abad ke-14, Nusantara memiliki seorang maha patih dari Kerajaan Majapahit yang menjadi legenda di masyarakat pada masa itu hingga saat ini. Dialah Gajah Mada. Selain seorang Mahapatih, Gajah Mada dikenal juga sebagai ahli strategi perang dengan kesaktian dan kekuatan yang mampu menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara. Pencetus Sumpah Palapa ini memegang peranan penting dalam masa kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk untuk misinya menyatukan Nusantara. Mengarungi berbagai pertarungan dan kemenangan, Gajah Mada ternyata pernah mengalami kekalahan ketika hendak menjalankan misinya. Lantas, siapakah yang bisa mengalahkan Gajah Mada, sang maha patih yang terkenal dengan taktik jitunya itu? Sosok itu ialah Sunan Bejagung Lor atau Syekh Abdullah Asyari, seorang wali yang mampu mengalahkan Gajah Mada dengan kesaktiannya. Sunan Bejagung Lor merupakan seorang penyebar agama Islam pada masanya yang tinggal di Desa Bejagung, Semanding, Tuban. Keduanya memulai pertarungan setelah diturunkannya titah Raja Majapahit, Hayam Wuruk, kepada Gajah Mada untuk menjemput Kusumawardhani, putri sang Raja yang akan meneruskan tahta, karena ia tidak terima putrinya berguru kepada Sunan Bejagung Lor. Gajah Mada akhirnya datang ke Bejagung untuk menjemput Putri Kusumawardhani dengan membawa pasukan gajah dan menyerang padepokan Sunan Bejagung Lor. Saat itu, Gajah Mada percaya diri dapat mengalahkan sang wali sehingga pertarungan pun tak terhindarkan. Namun, ia tak pernah mengira kalau ternyata Sunan Bejagung Lor memiliki ilmu kanuragan dan kesaktian tinggi. Setelah terlibat dalam pertarungan yang sengit, Sunan Bejagung Lor menggunakan kesaktiannya untuk mengubah pasukan gajah yang dibawa oleh Gajah Mada sehingga menjadi batuan besar. Bahkan hingga kini, bebatuan besar tersebut yang dilegendakan merupakan pasukan gajah Maha Patih Gajah Mada masih ada. Bebatuan tersebut disebut sebagai watu gajah (batu gajah) oleh para warga sekitar Tuban yang terletak sekitar 2 km di utara makam Sunan Bejagung Lor. Kembali ke dalam pertarungan, Gajah Mada tentunya marah melihat pasukan yang dibawanya diubah menjadi batu oleh Sunan Bejagung Lor sehingga terus melakukan perlawanan. Dikisahkan bahwa di tengah perkelahian, tubuh Gajah Mada menghantam pohon kelapa yang berada di lokasi pertarungan. Buah kelapa pun turut berjatuhan akibat dari kerasnya hantaman. Melihat hal tersebut, Sunan Bejagung Lor berayun ke atas pohon kelapa lain hingga batangnya melengkung dan ujung atasnya menyentuh tanah. Sang wali lalu memetik sebutir kelapa dan memberikannya kepada Gajah Mada. Tak selesai di situ, adu kesaktian tetap dilanjutkan dengan pertaruhan untuk membawa ikan yang diambil dari laut dan ke darat dalam keadaan masih hidup. Saat mencobanya, Gajah Mada berhasil mengambil ikan di laut. Namun, ikan tersebut mati ketika ia membawanya ke daratan. Saat giliran Sunan Bejagung, ia menggunakan daun waru dan timba yang sudah terisi air untuk mengambil ikan. Hal ini membuat ikan yang diambil dapat tetap hidup hingga sampai di daratan. Gajah Mada pun harus dihadapkan dengan kekalahan sebanyak dua kali. Ia terpaksa kembali ke Majapahit dan gagal dalam menjalani misinya untuk membawa pulang putri Kusumawardhani. (tin) Baca juga :

Read More

Kisah Perjalanan Raden Wijaya Dalam Merebut Istana Singasari dari Jayakatwang

Mojokerto — 1miliarsantri.net : Suatu kisah menyebutkan, Raden Wijaya dan pasukannya nyaris kembali merebut istana Kerajaan Singasari usai diserang dan dikuasai Jayakatwang dan tentaranya. Hal ini karena kelengahan dan kurang siap siaganya pasukan Jayakatwang. Saat itu, pasukan Jayakatwang tengah menggelar pesta pora di istana Singasari ketika malam menjelang. Mereka mengira pasukan Singasari seluruhnya berhasil ditaklukkan. Terlebih ketika siang hari Raden Wijaya dan pasukannya melarikan diri. Di ibu kota kerajaan, sebagaimana dikutip dari buku “Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit” karya dari Prof. Slamet Muljana, pengepungan istana Singasari dengan sisa-sisa tentara yang ada membuat banyak yang meninggal di kedua belah pihak. Tampaknya pasukan Raden Wijaya yang jumlahnya sedikit tak bisa dianggap remeh oleh lawan. Namun, putri Gayatri tertangkap oleh tentara musuh, kemudian diangkut ke Kediri. Putri Tribuwana tinggal bersembunyi. Pada petang itu ia keluar benteng akan melarikan diri. Ia melintasi api unggun, bekas bediang tentara musuh. Pada momen kegelapan yang ditembus nyala api itu putri Tribuwana terlihat oleh raden Wijaya, disangka musuh, kemudian dihampiri. Demikianlah ia dapat diselamatkan oleh Raden Wijaya. Selanjutnya atas nasehat Lembu Sores, Raden Wijaya bersama sang putri dan para pengikutnya mundur keluar kota, menuju arah utara. Tidak akan ada gunanya melanjutkan perang, yang pasti akan membawa kekalahan, karena jumlah tentara Kediri jauh lebih besar. Mereka berjalan ke jurusan utara menuju Madura dengan maksud akan minta bantuan adipati Banyak Wide alias Arya Wiraraja, yang sebenarnya adalah aktor intelektual pemberontakan di Kerajaan Singasari. Namun hal itu tidak diketahui oleh Raden Wijaya. Menantu Kertanagara, penguasa Singasari ini memilih melarikan diri ke Arya Wiraraja, yang berseberangan dengan Kertanagara karena diturunkan jabatannya dari pejabat di istana, lantas ‘dibuang’ menjadi Adipati. (tin) Baca juga :

Read More

Kisah Putra Abu Lahab Tewas Diterkam Macan, Setelah Hina Rasulullah SAW

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Abu Lahab memiliki putra bernama Utbah. Putra Abu Lahab ini tewas diterkam singa setelah melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Kisah ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Suatu kali, Abu Lahab dan Utbah melakukan persiapan untuk pergi ke Syam (Levant). Lalu Utbah berkata, “Demi Tuhan, aku akan menemui Muhammad.” Utbah pun pergi hingga menemui Nabi Muhammad SAW. Setelah bertemu, Utbah berkata kepada Nabi SAW, “Ya Muhammad, aku telah kafir terhadap Allah.” Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi) (QS. An Najm ayat 8-9). Utbah meledek Nabi Muhammad SAW dengan menyebut bahwa dia ingkar terhadap firman Allah, yang dalam hal ini adalah Surat An Najm ayat 8-9. Riwayat lain menyebutkan, setelah itu Utbah meludahi Nabi SAW dan menceraikan putri Nabi SAW yang dinikahkan dengan Utbah saat masih di masa jahiliyah. Kemudian Nabi Muhammad SAW berdoa kepada Allah SWT dengan ucapan berikut ini: “اللهم سلِّط عليه كلبًا من كلابك” “Ya Allah, kirimkan kepadanya salah satu dari anjing-anjing-Mu.” Utbah pun pulang dan kembali menemui ayahnya, Abu Lahab. Abu Lahab bertanya soal apa perkataan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad. Lalu Utbah menyebutkan apa yang dia katakan kepada Nabi SAW. Lantas Abu Lahab bertanya lagi, “Lalu apa yang dia katakan kepadamu?” Dijawablah oleh Utbah, “Dia (Nabi Muhammad) berkata, ‘Ya Allah, kirimkan kepadanya salah satu dari anjing-anjing-Mu.’” Abu Lahab berkata lagi, “Wahai anakku, demi Tuhan, doanya itu tidak akan membuatmu aman!” Mereka pun melakukan perjalanan menuju Syam dan berhenti di Sharat, sebuah daerah yang banyak singanya. Lalu Abu Lahab berkata, “Demi Tuhan, kalian tahu usia lanjutku, dan anakku telah didoakan dengan doa yang membuat dia tidak akan selamat. Maka, kumpulkan barang-barang kalian di sekeliling kita, dan lindungi anakku.” Di waktu malam, singa datang dan mengendus wajah orang-orang yang berada dalam kafilah bersama Abu Lahab dan Utbah, tetapi mereka tidak diterkam oleh singa tersebut. Utbah ada di atas tumpukan barang-barang, dan giliran dia yang diendus oleh singa. Saat itulah, singa menerkam Utbah hingga kepalanya terputus. Abu Lahab pun berkata, “Saya tahu dia tidak akan bisa menghindari doa Muhammad.” (mif) Baca juga :

Read More

Mengetahui Suku Quraisy Sebagai Asal Usul Rasulullah SAW

Surabaya — 1miliarsantri.net : Suku Quraisy adalah suku yang menjadi asal usul Nabi Muhammad SAW. Suku Quraisy dikenal sebagai salah satu suku terhormat di kalangan masyarakat Arab pada masa itu. KH Moenawar Chalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW (2001) menjelaskan beberapa hipotesis tentang itu. Sebuah riwayat menyebut, perkataan quraisy berasal dari qarisy yang berarti ‘hiu.’ Sebab, kakek ke-12 Nabi SAW, yakni an-Nadhar bin Kinanah dikisahkan pernah naik kapal bersama suatu rombongan. Dalam pelayaran itu, tiba-tiba seekor hiu besar muncul. Para penumpang kapal panik, tetapi putra Kinanah ini dengan gagah berani menombak hewan tersebut. Kepala ikan karnivor itu dipotong, lalu dibawanya ke Makkah. Sejak itu, Nadhar digelari al-Quraisy karena berhasil membunuh hiu yang berbahaya. Allah SWT memuliakan suku Quraisy sebagaimana disebutkan dalam Alquran, berikut ini sejumlah fakta terkait dengan kemuliaan Quraisy. عن واثلة بن الأسقع رضي الله عنه ، قال: قال رسول اللالله صلى الله عليه وسلم : «إنَّ اللهَ اصْطَفى كِنانَة من وَلَد إسماعيل، واصْطَفى قُريشًا من كِنانة، واصْطَفى بَني هاشم مِنْ قُرَيش، واصْطَفاني مِنْ بني هاشم، فأنا سَيِّدُ وَلَد آدم ولا فَخْر، وأوَّلُ مَن تَنْشَقُّ عنه الأرض، وأوَّلُ شافع، وأوَّل مُشَفَّع Wāṡilah bin Al-Asqa’ -raḍiyallāhu ‘anhu- berkata, Rasulullah -ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sungguh Allah telah memilih Kinānah di antara anak keturunan Ismail, lalu Allah memilih Quraisy di antara kabilah Kinānah, lalu memilih Bani Hāsyim di antara kabilah Quraisy, lalu memilihku di antara anak keturunan Hāsyim. Aku adalah pemimpin anak keturunan Adam, tanpa ada kesombongan. Aku adalah yang paling pertama dibangkitkan dari kubur, pemberi syafaat pertama, dan paling pertama diterima syafaatnya.” Di tempat ini, mereka mengambil barang dagangan berupa kain sutera, barang pecah belah, rempah-rempah, bahan kapur barus, dan lainnya untuk kemudian dikirim ke Syam (Suriah sekarang) pada saat musim panas (ash-shaif) untuk dijual. Demikian sebaliknya, mereka mengambil barang dagangan berupa gandum untuk bahan membuat roti dan buah-buahan dari Syam kemudian dibawa ke Yaman untuk di jual. “Dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, ‘Para Imam (pemimpin) itu dari Quraisy. Jika mereka memerintah, mereka adil. Jika berjanji, mereka memenuhinya, dan jika mereka diminta belas kasihan, mereka akan berbelas kasih. Siapa saja di antara mereka yang tidak berbuat demikian, maka dia akan mendapatkkan laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima taubat dari mereka dan tidak diterima pula tebusan (azab) dari mereka’.” (HR Bukhari dalam Al-Anbiya’, Abu Dawud, dan Imam Ahmad). (yat) Baca juga :

Read More

Ponpes Al Hamid Jakarta Merupakan Gagasan Gus Miek

Jakarta — 1miliarsantri.net : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Al Hamid, Cilangkap, Jakarta Timur. Di pesantren ini para ulama akan membahas sejumlah agenda penting menyangkut keumatan dan kebangsaan. Mengapa pesantren ini dijadikan tuan rumah munas dan konbes? Berikut profil Pesantren Al Hamid diolah dari berbagai sumber. Pesantren Al Hamid didirikan oleh seorang saudagar bernama H Hamid Djiman. Pendirian pesantren ini sebagai upaya memenuhi keinginan kiai yang sudah dianggap sebagai gurunya, yakni KH Chamim Thohari Djazuli atau yang dikenal dengan sapaan Gus Miek. Pesantren Al Hamid saat ini diasuh oleh KH Lukman Hakim Hamid, salah seorang putra H Hamid Djiman. Ia merupakan Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta masa khidmah 2021-2026. Kiai Lukman pernah mengenyam pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Tebuireng, Cukir, Jombang, Jawa Timur. Kiai Lukman juga merupakan menantu dari keluarga Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, Jawa Timur. Ia menikah dengan seorang putri dari KH Munif Djazuli, adik dari Gus Miek, yang notabene merupakan guru dari orang tuanya. H Hamid sendiri merupakan seorang jamaah Jantiko Mantab, majelis semaan Al-Qur’an yang diasuh Gus Miek. Ketika sang guru punya keinginan untuk mendirikan pesantren di ibukota Jakarta, ia pun langsung berupaya untuk mewujudkannya. Ia pun berhasil membebaskan sejumlah tanah untuk didirikan pesantren harapan gurunya. Guna memenuhi administrasi, ia pun membuat Yayasan Mantab Sejahtera yang juga diambil dari nama pengajian gurunya, Jantiko Mantab. Pada 2007, nama yayasannya berubah menjadi Yayasan Mantab Al Hamid. Kata Mantab tetap dipertahankan sebagai bentuk tafaulan, mengikuti gurunya. Tidak hanya membebaskan tanah dan mendirikan bangunan fisiknya, H Hamid juga berikhtiar mendirikan pesantren tersebut dengan mengirimkan anak-anaknya ke sejumlah pesantren untuk dapat mengisi dan mengembangkan pendidikannya. Di antara anak-anaknya itu ada yang dikirim ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur; Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur; Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Malang, Jawa Timur; hingga Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kudus, Jawa Tengah. Pada tahun 2002, pesantren ini mulai membuka pendaftaran santri dan siswa. Saat ini, Pesantren Al Hamid menerima santri dan siswa mulai dari tingkat kanak-kanak, ibtidaiyah (dasar), tsanawiyah (menengah pertama), hingga aliyah (menengah atas), yakni Taman Kanak-Kanak Islam Al Hamid, Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Al Hamid, Madrasah Tsanawiyah Al Hamid, dan Madrasah Aliyah Al Hamid. Meskipun pesantren ini terletak di ibukota, tetapi pendidikan keagamaannya diberikan seperti di pesantren lainnya. Sebagaimana di pesantren-pesantren lain, para santri juga dibekali pengetahuan keagamaan berbasis kitab-kitab kuning karya para ulama klasik. Para santri juga dibiasakan untuk melakukan ibadah tertentu, tahlil, shalawat, dan latihan berpidato di hadapan publik, selain ekstrakurikuler lainnya. (rid) Baca juga :

Read More

Menelusuri Sejarah Awal Diadakan Peringatan Maulid Nabi

Surabaya — 1miliarsantri.net : Memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW atau biasa dikenal sebagai Maulid Nabi telah menjadi tradisi bagi umat Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Peringatan Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal ini menjadi momen untuk membangkitkan dan menjaga semangat Nabi dalam diri umat. Kendati telah menjadi tradisi, namun masih terjadi silang pendapat tentang kapan sebenarnya Maulid Nabi mulai diperingati umat Islam. Jika ditelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak ditemukan pada masa sahabat, tabiin, hingga tabiit tabiin, dan empat imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad). Mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad SAW. Mereka pula kalangan yang paling bersemangat dan menghayati setiap ajaran-ajaran yang diwariskan olehnya. Beberapa kalangan berpendapat bahwa Maulid Nabi pertama kali muncul pada zaman Shalahuddin al-Ayyubi (1193 M). Shalahuddin disebut menganjurkan umatnya untuk melaksanaan perayaan Maulid Nabi guna membangkitkan semangat jihad kaum Muslim. Kala itu, Shalahuddin dan umat Islam memang berada dalam fase berperang melawan pasukan atau tentara Salib. Kendati demikian, pendapat tersebut juga masih diperdebatkan. Mereka yang menolak bahwa Shalahuddin sebagai pelopor maulid beralasan, tidak ditemukan catatan sejarah yang menerangkan perihal Shalahuddin menjadikan Maulid Nabi sebagai bagian dari perjuangannya dalam Perang Salib. Menurut beberapa pakar sejarah Islam, peringatan dan perayaan Maulid Nabi dipelopori oleh Dinasti Ubadiyyun atau disebut juga Fatimiyah (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Al Maqrizi, salah satu tokoh sejarah Islam mengatakan, para khilafah Fatimiyah memang memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Antara lain perayaan tahun baru, hari Asyura, Maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Ali Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Syaban, perayaan malam pertama Ramadan, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, perayaan malam Al Kholij, perayaan hari Nauruz (tahun baru Persia), dan lainnya. (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146) Asy Syekh Bakhit Al Muti’iy, seorang mufti dari Mesir, dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal.44) juga menyebut, yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid, salah satunya adalah Maulid Nabi adalah Al Mu’izh Lidnillah (keturunan Ubaidillah dari Dinasti Fatimiyah) pada 362 Hijriah. Selain mereka, dalam beberapa buku sejarah juga disebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah memang yang menginisiasi perayaan Maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya, pemerintahan Fatimiyah berdiri pada 909 Masehi di Tunisia. Enam dekade kemudian, mereka memindahkan pusat kekuasaan ke Kairo, Mesir. Dua tahun setelah masuknya Shalahuddin al-Ayubbi ke Mesir, yakni sekitar tahun 1171, Dinasti Fatimiyah runtuh. Adanya perayaan Maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah disebutkan antara lain oleh dua sejarawan dan ilmuwan pada masa Dinasti Mamluk, beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin. Salah satu sejarawan tersebut adalah yang telah disebutkan sebelumnya, yakni al-Maqrizi (1442) dan al-Qalqashandi (1418). Al-Qalqashandi menyebutkan tentang perayaan Maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas dalam kitab Subh al-A’sya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Da’i al-Du’at, dan para pembesar kota Kairo dan Mesir. Acara tersebut diterangkan dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran dan khutbah oleh tiga penceramah. Kendati terdapat sumber referensi yang menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah yang pertama kali menghelat Maulid Nabi, tetapi hal tersebut juga masih diperdebatkan. Sebab, Ibn Jubair ketika melakukan perjalanan hajinya melalui Mesir pada tahun 1183, tidak menyebutkan ada kebiasaan maulid di sana. Saat itu sudah dua belas tahun sejak runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah diperintah oleh Shalahuddin. Pada Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (w. 1217) masih belum menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid di Mesir merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk kemudian ia tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla). Menurut J Knappert dalam The Mawlid, para sufi sering merayakan Maulid Nabi di beberapa negara. Melalui perayaan ini mereka ingin mengajak umat Islam mengingat kembali ajaran Nabi dan beberapa pejuang Muslim. Namun, perayaan maulid ini dilakukan dengan akulturasi budaya setempat. Sehingga, perayaan Maulid di satu negara akan berbeda dengan negara lainnya. Maulid dirayakan dengan cara karnaval, prosesi di jalanan atau rumah, dan masjid yang dihiasi. Selain itu, dalam perayaan maulid juga dilakukan pembagian makanan, dan menceritakan kehidupan Muhammad yang diriwayatkan dengan pembacaan puisi oleh anak-anak. Ulama dan penyair merayakan maulid dengan membaca kasidah al-Burda Syarif,/ puisi terkenal abad ke-13 oleh Sufi dari Mesir Imam al-Bushiri. Al-Burda berisi sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan. Pembacaan syair al-Burda banyak digunakan oleh beberapa negara dalam perayaan maulid, termasuk Indonesia. (yat) Baca juga :

Read More