Terdapat 3 Tokoh Ulama Indonesia Yang Menjadi Rujukan Umat Islam Dunia

Jakarta — 1miliarsantri.net : Sejak abad ke-18, Indonesia mengirimkan banyak ulama untuk belajar di wilayah Hijaz, termasuk ke Tanah Suci. Mereka dikirim untuk menimba ilmu, bermukim, hingga menjadi imam di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Setidaknya ada tiga ulama Nusantara yang dihormati dunia Islam. Tidak hanya di Tanah Air, namun ketiga ulama itu juga disegani masyaraka Arab Saudi hingga menjadi rujukan umat Islam dunia, diantaranya : Syeikh Junaid bermukim di Mekkah sejak 1834 dan meninggal dunia pada 1840 di usia 100 tahun. Berkat keluasan ilmunya, ia dikenal sebagai syaikhul masyaikh para ulama mazhab Syafi’i. Syekh Ahmad Khatib memilih tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Alquran. Awal kisahnya menjadi Imam Masjidil Haram saat ia sholat berjamaah di belakang Syarif Aunur Rafiq yang saat itu menjadi imam. Syekh Ahmad Khatib membetulkan bacaan Syarif Aunur yang salah. Syarif Aunur Rafiq pun mengangkat Syekh Ahmad Khatib menjadi Imam Masjidil Haram. Sepanjang hayat, Syekh Ahmad Khatib sudah menulis berbagai buku agama berbahasa Arab dan Melayu seperti fikih, ushul fikih, tasawuf. Sama seperti dua sahabatnya, Syekh Nawawi dan Syekh Junaid, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi meninggal dunia dan dimakamkan di Mekkah pada 1916. Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani yang menimba ilmu di Mekkah sekitar 30 tahun itu sudah menulis 115 kitab, yang meliputi kitab ilmu fikih, tauhid, tafsir, tasawuf dan hadis. Beliau meninggal dunia di Mekkah pada 1897. (yan) Baca juga :

Read More

Angklung Sebagai Warisan Budaya Indonesia Yang Mendunia Hingga Dibuat Tampilan Google Doodle

Jakarta — 1miliarsantri.net : Google Doodle menampilkan alat musik angklung untuk memperingati Hari Angklung. Pada 18 November 2010 di Nairobi Kenya, Organisasi Pendidikan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) secara resmi menyatakan angklung sebagai warisan budaya dunia. UNESCO mengukuhkan angklung sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. “Doodle animasi ikut merayakan Angklung, alat musik Indonesia yang terbuat dari bambu,” tulis Google. Google Doodle adalah tampilan di beranda halaman pencarian Google. Bisanya Doodle memberikan penampilan khusus untuk mengenang tokoh atau perayaan hari besar. Dalam tampilan Google Doodle hari ini terlihat ada enam orang pria dan perempuan yang sedang memainkan angklung. Yang menarik, Google Doodle menyelipkan satu orang difabel yang duduk di kursi roda sebagai bentuk respek. Keenam orang itu terlihat sedang menggetarkan angklung secara bergantian. Jika Sedulur klik gambar Doodle tersebut, Sedulur akan diarahkan ke pencarian dengan kata kunci “Angklung”. Angklung adalah alat musik dari budaya Sunda yang terdiri dari dua bagian tabung dan satu bagian atas. Angklung berbentuk tabung dengan ukuran berbeda yang pada akhirnya menentukan nada angklung. Cara memainkan angklung dengan menggoyangkan dan mengetuk pangkal bambu dengan lembut. Cara ini akan menghasilkan nada yang lembut. Namun memainkan angklung tidak bisa sendiri. Sebab, satu angklung hanya bisa mengeluarkan satu nada bunyi, sehingga angklung harus dimainkan secara berkelompok untuk menciptakan melodi yang berbeda. Angklung sendiri bukan alat musik baru, sebab sudah ada sejak empat abad atau 400 tahun lalu di Jawa Barat. Penduduk di bumi Parahyangan percaya suara bambu bisa menarik perhatian Dewi Sri, dewi padi dan kemakmuran. Karena itu, saban tahun pengrajin terbaik di masing-masing desa menggunakan bambu hitam khusus untuk membuat angklung guna menghasilkan nada lembut dan indah. Di musim panen, angklung tersebut dimainkan dengan harapan dewa akan memberkati mereka dengan hasil panen yang subur. Sebagai warisan budaya, angklung sering digunakan di berbagai acara. Baik di Jawa Barat atau sebagai pertunjukan ketika ada tamu kehormatan di Istana Kepresidenan. Seperti dinukil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata “angklung” berasal dari Bahasa Sunda “angkleung-angkleungan”. Artinya gerakan pemain angklung dan suara “klung” yang dihasilkannya. Secara etimologis, angklung berasal dari kata angka yang berarti nada, dan lung yang punya arti pecah. Sehingga angklung bisa diartikan nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap. Seperti dijelaskan sebelumnya, angklung sudah ada sejak 400 tahun lalu sejak zaman Kerajaan Sunda. Bahkan angklung disebut sudah dimainkan sejak abad ke-7. Dari akar sejarah, angklung bukan murni sebagai alat kesenian saja, tetapi juga berfungsi sebagai ritual keagamaan. Angklung digunakan sebagai pengganti genta (bel) yang dipakai oleh seorang pedanda (pendeta Hindu) dalam acara keagamaan. Pada masa Kerajaan Pajajaran yang menganut agama Hindu, angklung malah dijadikan sebagai alat musik korps tentara kerajaan. Seperti pada perang Bubat, angklung dipakai untuk membangkitkan semangat prajurit. (Iin) Baca juga :

Read More

Perjanjian Hudaibiah Memiliki Dampak Yang Sangat Besar

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Perjanjian Hudaibiah antara kaum kafir Quraisy dan Muslim memiliki dampak yang sangat besar. Secara umum perjanjian ini menunjukkan diakuinya keberadaan kaum Muslimin di Madinah dan ini merupakan kemenangan tersendiri bagi kaum Muslimin. Seperti dikutip dari Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah SAW disarikan dari kitab ar-Rahiq al-Makhtum, Sekaligus dengan adanya perjanjian tersebut dapat menghalangi keangkuhan dan kezaliman kaum musyrikin yang selalu berupaya menyerang kaum Muslimin. Di sisi lain, dengan adanya perjanjian tersebut, membuka peluang yang sangat besar bagi kaum Muslimin untuk melancarkan dakwahnya yang selama ini banyak disibukkan peperangan-peperangan bersama kaum Quraisy. Dan nyatanya kemudian hal tesebut terbukti, di mana kaum muslimin sebelum perjanjian tersebut berjumlah tak lebih 3.000 orang, namun dua tahun setelah perjanjian tersebut pada peristiwa Fathu Makkah pasukan kaum Muslimin sudah berjumlah 10 ribu orang. Adapun pasal yang menyatakan bahwa penduduk Makkah yang kabur ke Madinah harus dikembalikan oleh Rasulullah SAW ke Makkah, sedangkan penduduk Madinah yang kabur ke Makkah tidak dikembalikan, sepintas perjanjian tersebut menguntungkan kaum musyrikin. Namun jika diamati dengan seksama, hal tersebut ternyata dapat dipahami. Karena orang yang beriman tidak mungkin akan kabur ke Makkah untuk minta perlindungan, maka jika ada yang kabur, pastilah dia orang kafir yang telah nyata kekafirannya. Untuk orang seperti itu, tidak ada ruginya bagi kaum Muslimin jika mereka kabur dari Madinah. Sedangkan kaum Muslimin di Makkah jika dia hendak kabur, maka Madinah bukanlah satu satunya tujuan untuk itu. Bumi Allah SWT amatlah luasnya, maka dia dapat mencarinya selain Madinah. Hal itu kemudian terbukti, ada seorang sahabat yang bernama Abu Bashir kabur dari Mekkah ke Madinah. Namun Rasulullah SAW berdasarkan perjanjian tersebut tidak menerimanya, maka beliau menyerahkannya kepada dua utusan Quraisy yang menjemputnya. Tetapi di tengah perjalanan Abu Bashir berontak, tidak bersedia kembali ke Makkah, dua orang utusan Quraisy tersebut dibunuh olehnya. Akhirnya dia mencari lokasi di tepi pantai sebagai tempat tinggalnya. Hal tersebut kemudian diikuti Abu Jandal yang tinggal dan bergabung bersamanya. Begitulah seterusnya satu demi satu kaum Muslimin yang berada di Makkah kabur ke tempat itu, dan lama kelamaan akhirnya membentuk komunitas tersendiri. Hal ini ternyata menyulitkan kaum Quraisy sendiri, karena kafilah dagang mereka sering diganggu kaum Muslimin yang berada di tempat tersebut sebagai pembalasan atas perlakuan aniaya yang mereka terima selama ini dari kaum musyrikin. Di kalangan para sahabat sendiri, pada awalnya timbul keberatan dengan isi perjanjian tersebut. Karena secara lahir, perjanjian tersebut berpihak kepada kaum musyrikin. Namun akhirnya mereka menyadari bahwa keputusan Rasulullah SAW akan selalu mendatangkan kemaslahatan, karena semuanya berasal dari Allah Ta’ala. Apalagi tidak lama kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat Nya : اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (QS al-Fath ayat 1) Maka bergembiralah para sahabat dengan kabar gembira kemenangan yang gilang gemilang. Pada awal tahun ke tujuh, setelah disepakatinya perjanjian tersebut, sejumlah tokoh Quraisy masuk Islam, di antaranya Amr bin Ash, Kholid bin Walid dan Utsman bin Talhah. (mif)

Read More

Menara Syahbandar Sleko, Bukti Kejayaan Kota Semarang

Semarang — 1miliarsantri.net : Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah selesai merevitalisasi Menara Syahbandar Sleko di Kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah. Bangunan cagar budaya besejarah yang dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1825 tersebut direvitalisasi PT Pertamina Gas Negara Tbk (PGN). Tujuan revitalisasi sebagai upaya menghidupkan pelestarian cagar budaya dan meningkatkan kunjungan wisatawan di Kota Semarang. Menara Syahbandar Sleko diharapkan mampu menjadi ikon baru dan daya tarik wisata Kota Semarang. Sebelum direvitalisasi, kondisi bangunan Menara Syahbandar Sleko mengenaskan. Seluruh atap menara, jendela, dan pintu telah hilang dan hanya tersisa bangunan batu bata rapuh. Dari arah Kali Semarang, terlihat lahan bangunan Menara Sleko semakin menyempit. Alasannya karena munculnya bangunan-bangunan baru yang berdiri di pinggir kali. Dalam peresmian revitalisasi, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu datang bersama Direktur Utama PT Pertamina Gas Negara (PGN) Arief Setiawan Handoko. Mereka datang untuk meninjau ruangan bangunan cagar budaya Menara Syahbandar Sleko yang menjadi saksi kejayaan jalur perdagangan di Kota Semarang. Menara Syahbandar Sleko merupakan salah satu bangunan di Kota Lama Semarang yang berdiri pada 1825. Bangunan saksi sejarah pada masa kolonial Belanda ini terletak di Jalan Sleko tepat di tepi Kali Semarang dan dijadikan titik 0 kilometer. Disitat dari situs resmi Kemendikbud, keberadaan Menara Syahbandar Sleko di Semarang menjadi sebuah bukti bahwa dahulu Kota Semarang adalah kota niaga yang ramai. Kota pesisir di Indonesia merupakan bagian dari sebuah jalur gerbang alami untuk perdagangan antarpulau (Asnan, 2011). Semarang sebagai kota pesisir utara Jawa juga dijadikan pelabuhan terkenal pada masa kolonial. Sungai dijadikan jalur transportasi yang dilengkapi dengan kanal-kanal. Pelabuhan Semarang bermuara di Laut Jawa dan terbentuk dari Kali Semarang yang membelah Kota Semarang. Peranan Kali Semarang sebagai jalur perdagangan sudah ramai sejak masa kekuasaan Kerajaan Demak. Di pelabuhan yang terletak di tepi Kali Semarang inilah terjadi aktivitas perdagangan dengan banyak pedagang lokal dan bangsa luar, seperti Cina, Arab, India, dan Portugis. Karena ramainya perdagangan di Semarang, dibangunlah sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perdagangan, salah satunya Menara Syahbandar Sleko. Kota Semarang juga dahulu menjadi pusat perdagangan dan perindustrian dengan pelabuhan terbesar di Jawa. Semarang berperan sebagai tempat penyuplai kebutuhan pokok untuk perbekalan kapal-kapal, seperti beras, hasil bumi, rempah-rempah, berbagai jenis kain, dan kerajinan. Berdasarkan catatan sejarah, pelabuhan laut Semarang mulai berfungsi pada 2 Mei 1547. Waktu itu bersamaan dengan penobatan Bupati Semarang pertama, yaitu Pandan Arang II. Pada 1677, wilayah pantai utara dan wilayah pedalaman Mataram diserahkan kepada VOC sebagai balas jasa atas pemadaman pemberontakan Trunojoyo. Jalur perdagangan di Kota Semarang beralih di bawah kekuasaan VOC. Menara Sleko dulu disebut Kleine Boom en Uitkijk. Menara Sleko berfungsi sebagai pelabuhan kecil untuk mengatur bongkar muat pedagang kecil dan penghubung pelayaran atau pelabuhan ke luar Semarang. Dinukil dari Jurnal Pengembangan Kota, Konservasi Menara Sleko Menuju Lansekap Kawasan Kota Kuno Semarang, karya Rukayah, R. S., Abdullah, M., & Etenia, A. (2021), nama “Sleko” berasal dari bahasa Belanda dengan arti ‘gerbang kota’. Menara Sleko Semarang dilengkapi dengan gardu pandang serta memiliki halaman untuk istirahat para pedagang. Para pedagang yang memasuki Semarang saat melewati Menara Sleko perlu membayar retribusi (Rukayah et al., 2021). Pada masa kejayaan Belanda, Menara Sleko Semarang memiliki peran penting dalam perniagaan antarpulau dan negara lain. Menara Sleko menghubungkan jalur laut untuk saling berhubungan dengan antarkapal dan pedagang di jalur darat. Seluruh kapal yang berlabuh atau transit di Kota Semarang wajib melapor ke Menara Sleko. Menara Syahbandar Sleko dapat dikatakan sebagai menara pengawas serta dijadikan juga sebagai kantor kongsi niaga Belanda. (hud) Baca juga :

Read More

Sejarah Partai Syarikat Islam, Sebelum Terlahirnya Boedi Oetomo dan Sumpah Pemuda

Solo — 1miliarsantri.net : Pada 118 tahun lalu, dentuman meriam Jepang yang bertalu-talu dalam pertempuran dengan Angkatan Laut Rusia di Selat Thusima yang menyebabkan AL Rusia bertekuk lutut kepada Jepang di Port Arthur pada 1905. Kemenangan Jepang atas Rusia itu telah membangkitkan semangat dan harga diri bangsa-bangsa Timur bahwa mereka juga mampu melawan penjajahan (Barat) dan mengusir mereka dari bumi Timur. Peristiwa itu dijadikan momentum oleh seorang pemuda Lawean, Solo, asal Klaten, untuk mencetuskan ide yang selama ini tersimpan dalam jiwanya: menyusun kekuatan guna mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Pemuda itu kemudian dikenal sebagai tokoh Perintis Kemerdekaan: Kiai Haji Samanhudi. “Dialah hero yang sebenarnya bagi pergerakan Indonesia,” tulis mantan tokoh Masyumi 1950-an, KH Firdaus AN dalam buku Dosa-dosa Politik Orla dan Orba. Samanhudi atau sering disebut Kiai Haji Samanhudi lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, 1868. Beliau adalah pendiri Sarekat Dagang Islam, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta. Nama kecilnya ialah Sudarno Nadi. Semasa hidupnya, Samanhudi menimba ilmu di sejumlah pesantren. Seperti Pontren KM Sayuthy (Ciawigebang), Pontren KH Abdur Rozak (Cipancur), Pontren Sarajaya (Kab Cirebon), Pontren (di Kab Tegal, Jateng), Pontren Ciwaringin (Kab. Cirebon) dan Pontren KH Zaenal Musthofa (Tasikmalaya). Samanhudi dikenal sebagai santri yang sangat tadzim terhadap guru-gurunya, terlebih terhadap Asysyahid KH Zainal Mushtofa (Pahlawan Nasional). Ia banyak bercerita tentang heroisme perjuangan gurunya yang satu ini ketika berjuang melawan penjajah Jepang, hingga beliau gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa di depan regu tembak serdadu Jepang. Makbaroh gurunya ini telah dipindahkan ke Taman Pahlawan Sukamanah, Tasikmalaya. Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh penguasa Hindia Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas beragama Islam dengan pedagang Tionghoa pada 1905. Karena itu Samanhudi merasa pedagang pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada 1905, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya. KH Samanhudi meninggal di Klaten, Jawa Tengah, 28 Desember 1956 dan dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo. Sejarah Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan kelahiran Budi Utomo, 20 Mei 1908, telah diperingati secara meriah. Padahal sebenarnya tiga tahun sebelum lahirnya Budi Utomo telah berdiri Syarikat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905 di kota Solo. Beberapa tahun kemudian untuk menonjolkan Islam, kata ‘dagang’ dihilangkan. Setelah HOS Tjokroaminoto masuk dalam jajaran pimpinan Syarikat Islam (SI), kemajuan SI makin hebat dengan semangat berkobar-kobar sehingga SI dipandang sebagai ‘Ratu Adil’. Kemajuan Syarikat Islam yang pesat saat itu membuat penasehat pemerintah kolonial, Snouck Hurgronye, menulis dalam majalah Indologen Blad, meminta pemerintah mewaspadai kebangkitan gerakan Islam ini dan jangan sampai lengah. Belanda awalnya menolak kehadiran SI. Namun mereka kemudian mengakui Syarikat Islam sebagai badan hukum pada 10 September 1912. Anggota Syarikat Islam sendiri memandang tanggal 16 Oktober 1905 sebagai kelahiran SI yang sejati. Tanggal inilah yang diperingati kaum SI setiap tahun. Setelah menjadi badan hukum, SI bertambah maju, melompat-lompat ke depan menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan Tjokroaminoto yang bergelar ‘raja tanpa mahkota’. Kaum reaksioner Belanda menjadi saling menyalahkan satu sama lain. SI yang dilahirkan di Solo tahun 1905 dengan sifat nasional dan dasar Islam yang tangguh, merupakan organisasi Islam terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air. Dengan sifat nasionalnya SI meliputi seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Ini tercermin pada wajah para tokoh pemimpin SI dari berbagai kepulauan di Indonesia. Di bawah pimpinan trio politikus yang terkenal — Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis — SI menjadi organisasi massa pertama yang bukan hanya menuntut tapi memperjuangkan kemerdekaan RI. Kemudian menyusul berdirinya Muhammadiyah pada 1912 yang diketuai oleh KH Ahmad Dahlan yang berjuang di lapangan sosial dan pendidikan demi kecerdasan umat. Muncul pula Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923 di bawah pimpinan KH Zamzam dan kemudian diperkuat oleh A Hassan. Persis bergerak dalam pelurusan akidah. Lahir pula NU pada tahun 1926 yang dimotori oleh para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Ashari. Muncul pula PERTI di Bukittinggi pada 20 Mei 1930 yang juga dipelopori oleh para ulama bermazhab Syafi’i. Bangkit pula Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang bergerak di bidang politik pada 1930 yang bersikap non-kooperator dengan Belanda. Setelah lahir berbagai organiasi Islam lainnya yang terus melakukan perlawanan terhadap penjajah. Pada 1937 lahirlah MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian menjadi Masyumi. (ruk) Baca juga :

Read More

Perang Quraidhah terjadi Karena Pengkhianatan Kaum Yahudi Bani Quraidhah

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Perang Bani Quraidhah terjadi pada tahun ke-5 Hijriyah, Dzulqaidah. Perang terjadi karena pengkhianatan yang dilakukan kaum Yahudi Bani Quraidhah. Seperti dikutip dari Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah SAW disarikan dari kitab ar-Rahiq al-Makhtum, sehari setelah kepulangan Rasulullah di Madinah, tepat pada waktu Zuhur, datang malaikat Jibril menemui Rasulullah SAW yang sedang akan mandi di rumah Ummu Salamah. Diapun berkata : “Apakah kamu sudah meletakkan senjata? Sesungguhnya malaikat belum meletakkan senjata mereka dan saya tidak akan kembali sebelum menyerang suatu kaum. Bangunlah engkau sekarang bersama sahabat sahabatmu menuju Bani Quraidhah, saya akan berjalan di depanmu untuk menggoncangkan benteng benteng mereka dan menebarkan ketakutan di dada mereka.” Maka berangkatlah Jibril bersama pasukannya dari kalangan malaikat. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan seseorang meng umumkan kepada masyarakat untuk segera berangkat ke perkampungan Bani Quraidhah dan berpesan agar mereka tidak sholat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah. Beliaupun memerintahkan Abdullah bin Ummi Maktum untuk menjaga kota Madinah, lalu beliau menyerahkan bendera perang kepada Ali bin Thalib. Rasulullah SAW segera berangkat bersama beberapa orang pasukannya. Para sahabat yang masih berada di Madinah bergegas pergi menyusul Rasulullah menuju Bani Quraidhah agar mereka dapat sholat Ashar di sana. Namun di tengah perjalanan (sebelum tiba di Bani Quraidhah), waktu Ashar telah tiba. Mengingat pesan Rasulullah SAW di atas, maka sebagian di antara para sahabat menunda sholat Ashar mereka hingga tiba di Bani Quraidhah di akhir waktu Isya. Sementara sebagian lainnya melakukan sholat Ashar saat itu juga karena berpendapat bahwa yang dimaksud Rasulullah SAW, adalah untuk segera berangkat, (bukan untuk mengakhirkan shalat). Walaupun telah terjadi perbedaan pandangan, hal itu tidak membuat mereka saling bertikai. Begitulah, sekelompok demi sekelompok tentara kaum Muslimin berangkat menuju Bani Quraidzah. Mereka berjumlah 3.000 orang. Setibanya di sana, mereka segera melakukan pengepungan terhadap suku tersebut. Pengepungan terus berlangsung selama 25 hari. Sebenarnya Bani Quraidzah dapat bertahan dalam pengepungan tersebut dalam waktu lebih lama, mengingat kuatnya benteng mereka dan tersedianya bahan makanan dan minuman di dalamnya. Sementara di sisi lain, udara dingin tanpa perlindungan menghadang kaum muslimin disertai rasa lapar yang sangat. Namun peperangan ini lebih bersifat perang urat saraf dan karena mereka telah dihantui rasa takut oleh kekuatan kaum Muslimin, akhirnya kaum Yahudi Bani Quraidzah tunduk dan mereka menyerahkan keputusannya kepada Rasulullah SAW. Orang-orang Anshar menghadap Rasulullah SAW untuk meminta keringanan hukuman terhadap Bani Quraidzah, mengingat hubungan baik mereka selama ini. Maka dengan bijaksana Rasulullah SAW menunjuk seorang sahabat dari kalangan Anshar yang bernama Sa’ad bin Mu’adz untuk menetapkan hukuman untuk mereka. Sa’ad bin Mu’adz memberikan ketetapannya berupa hukuman mati kepada setiap laki-laki dewasa dari Bani Quraidzah, sedangkan kaum wanitanya ditawan dan harta-harta mereka dibagi-bagikan. Mendengar keputusan tersebut, Rasulullah SAW berkomentar, “Engkau telah menetapkan hukum Allah dari atas tujuh lapis langit.” Maka segeralah dilaksanakan ekskusi hukuman mati dengan memenggal kepala orang dewasa dari Bani Quraidzah yang berjumlah antara 600 hingga 700 orang, termasuk di dalamnya tokoh Yahudi Bani Nadir, Huyay bin Akhthab, bapak dari Shafiah Ummul Mu’minin radhiallahuanha, yang saat itu juga ikut berlindung di benteng Bani Quraidzah. Hukuman yang sepintas sangat keras ini, sebenarnya sangat layak diberikan kepada Bani Quraidzah, mengingat penghianatan mereka di saat-saat Rasulullah SAW sangat membutuhkan bantuan mereka berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. Apalagi ternyata diketahui kemudian, setelah kaum Muslimin memeriksa benteng mereka, didapati di dalamnya perlengkapan perang lengkap yang sangat banyak. Hal itu menunjukkan bahwa mereka memiliki rencana lebih besar lagi terhadap kaum Muslimin. Pada masa kini, mereka layak dikatakan sebagai penjahat perang yang harus dihukum mati. (mif) Baca juga :

Read More

Kesaktian dan Kedigdayaan Ki Ageng Selo, Cicit Raja Brawijaya V

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Cicit Raja Majapahit Brawijaya V, Ki Ageng Selo, dikenal sebagai sosok sakti. Ia selalu memakai ikat kepala, yang hingga dikini masih disimpan di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Pada waktu masih remaja, dengan tangan kosong ia bisa mengalahkan banteng dalam sekali hantam. Kemudian ia juga bisa menangkap petir yang sering mengganggu petani. “Kepada siapa saja yang mempunyai niat jelek kepada Ki Ageng Selo, jika Ki Ageng Selo menarik tunggul wulung dari kepalanya kemudian dikebutkan di muka orang yang berniat jahat, seketika sang penjahat menjadi buta,” tulis T Wedy Utomo. Tunggul wulung adalah nama ikat kepala Ki Ageng Selo. Tapi tidak ada yang bisa menceritakan bagaimana bentuk ikat kepala itu. Pun tak ada yang tahu sebesar besar ukurannya. Untuk warna, dipastikan berwarna hitam, karena wulung –yang berasal dari bahasa Jawa– hitam. Jika ikat kepala Aji Saka ketika dibuka bisa melebar menutupi Pulau Jawa, tidak ada cerita demikian mengenai ikat kepala Ki Ageng Selo. Aji Saka adalah tokoh legenda yang menjadi Raja Medang Kamulan di wilayah Grobogan. Ia meminta sebidang tanah seluas ikat kepalanya. Permintaan itu ia ajukan kepada RaJa Medang Kamulan sebelumnya, sewaktu Aji Saka pertama kali datang di Medang Kamulan. Setelah dibuka, ternyata ikat kepala itu terus melebar, menutup Pulau Jawa. Raja Medang Kamulan yang memegangnya ketika harus mengukir bidang tanah dengan ikat kepala itu akhirnya terlempar ke laut selatan. Namun, ikat kepala Ki Ageng Selo berbeda dengan ikat kepala Aji Saka. Ki Ageng Selo tidak bisa menggunakan ikat kepalanya untuk mendapatkan kekuasaan. Yang mendapatkan kekuasaan justru cucunya. Sutowijoyo, sang cucu, mendirikan Kerajaan Mataram, tapi juga tidak dengan menggunakan ikat kepala warisan kakeknya. Ikat kepala Ki Ageng Selo tetap disimpan di Selo. Kotak yang digunakan untuk menyimpan ikat kepala itu dikunci rapat. Tidak ada yang berani membukanya. Jadi, tidak ada yang tahu bagaimana kondisi ikat kepal itu sekarang. “Mungkinkah telah begitu hancur dimakan ngengat?” tanya T Wedy Utomo. Atau masih utuh karena kesaktiannya? “Atau barangkali hanya tinggal dongeng saja,” lanjut T Wedy Utomo. T Wedy Utomo bercerita, masyarakat Desa Selo percaya, jika ada yang berani membuka kotak itu, si pembuka kotak akan buta. Bagaimana bisa tahu yang berani membuka kotak akan buta? Cerita ini pada 1980-an masih beredar di Selo. Menurut T Wedy Utomo, pernah ada tiga orang mengalami buta mendadak setelah nekat membuka kotak itu. Ini juga cerita yang dicatat T Wedy Utomo. Pada 1948-1949 pernah ada tentara KNIL yang ingin memiliki ikat kepala itu. Ia ingin memiliki kesaktian dengan ikat kepala itu sehingga akan selamat dalam setiap peperangan. Saat rumah tempat menyimpan kotak itu sednag kosong, si tentara KNIL masuk lewat atap rumah. “Hai, jangan dekati aku. Awas aku tembak kau. Mana tunggul wulung yang kuambil tadi,” teriak Parmo kepada teman-temannya. Pada saat kejadian itu, penduduk Tawangharjo pulang dari bergerilya. Teman-teman Parmo kocar-kacir. “Sedangkan Parmo akhirnya menjadi korban kekonyolannya sendiri,” lanjut T Wedy Utomo. (yud) Baca juga :

Read More

Sejarah Syiar di Kepulauan Maluku

Ternate — 1miliarsantri.net : Kalangan sejarawan umumnya sepakat, Islam sudah berkembang pesat di Maluku ketika Portugis datang pada 1512 M. Salah satu kerajaan terbesar di sana, Ternate, telah diperintah oleh seorang raja Muslim. Kesultanan itu akhirnya mengetahui bahwa Portugis tidak hanya menjalankan perdagangan rempah-rempah secara curang, tetapi juga berkedok menyebarkan agama Kristen. Pemimpin dan rakyat setempat pun bahu-membahu untuk memerangi bangsa Eropa tersebut. Jejak kejayaan Islam di Maluku tampak dari pelbagai bangunan setempat yang telah berumur ratusan tahun. Salah satunya ialah Masjid Wapauwe di Kaitetu, Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Hingga kini, tempat ibadah tersebut masih tegak berdiri walau usianya telah melewati enam abad. Inilah masjid tertua se-Indonesia timur. Untuk sampai ke sana, pengunjung dari pusat Kota Ambon bisa menggunakan transportasi darat dengan menempuh waktu satu jam perjalanan. Masjid Wapauwe didirikan pada 1414 M. Semula, namanya adalah Masjid Wawane. Disebut begitu karena lokasi pendiriannya ada di lereng Gunung Wawane. Pendirinya merupakan Pernada Jamilu, seorang bangsawan Kesultanan Jailolo dari Moloko Kie Raha (empat gunung Maluku). Jamilu tidak hanya bertindak sebagai elite kerajaan. Bahkan, perannya besar sebagai mubaligh di tengah masyarakat. Sekitar tahun 1400 M, ia menyambangi Tanah Hitu untuk menyebarkan Islam. Ada lima desa (negeri) di kaki Gunung Wawane yang menerimanya, yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly. Sebelumnya, agama tauhid cenderung dikenal hanya di daerah pesisir, khususnya yang berinteraksi dengan para pedagang Arab. Perpindahan Masjid Wawane ke lokasi yang ada sekarang tak lepas dari konteks perang melawan kolonialisme. Pada 1580, Belanda di bawah bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai berupaya menguasai Tanah Hitu. Memasuki tahun 1600-an, kongsi dagang yang juga disebut Kompeni itu tidak mengurangi gangguannya terhadap penduduk lokal. Akhirnya, pada 1634 perang pun pecah antara kedua belah pihak. Dengan alasan keamanan, Muslimin di kaki Gunung Wawane bersepakat untuk memindahkan Masjid Wawane ke lokasi baru. Tempat ibadah itu pun dipindah pada 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak sekira 6 km arah timur Wawane. Nama baru pun dipilih untuk bangunan tersebut. Antara lereng Gunung Wawane dan Tehala terdapat bentangan daratan yang marak ditumbuhi pepohonan mangga hutan atau mangga berabu. Buah itu dalam bahasa Kaitetu disebut sebagai wapa. Terinspirasi dari itu, masyarakat setempat pun menyebut masjid ini sebagai Masjid Wapauwe. Artinya, masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu. Pada tahun 1646 Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda kemudian melakukan proses penurunan penduduk dari daerah pegunungan, tidak terkecuali warga kelima negeri tadi. Proses pemindahan itu berlangsung hingga tahun 1664. Pada saat itu pula, Desa Kaitetu dibentuk. Corak arsitektur yang ditampilkan Masjid Wapauwe barangkali tampak sederhana. Akan tetapi, ada keunikan di sana bila diperhatikan dengan saksama. Masjid ini dibangun tanpa paku. Sebagai gantinya, pasak-pasak kayu digunakan untuk menyambung antarsetiap bagian bangunan. Alhasil, setiap bagian-bagiannya dapat dibongkar pasang. Inilah salah satu keunikannya sehingga memungkinkan masjid tersebut bisa dipindah-pindah dari satu area ke area lain. Bentuk masjid ini seperti bujur sangkar. Ukuran tidak begitu luas, hanya 10×10 meter persegi. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini tidak memiliki serambi. Dalam renovasi dilakukan penambahan beranda berukuran 6,35 x 4,75 m persegi. Banyak bagian bangunan tersebut yang menerapkan pola tradisional Maluku. Sebagai contoh, dinding masjid tersebut yang terbuat dari gaba-gaba, yaitu pelepah sagu yang dikeringkan. Setengah dinding itu, termasuk yang telah dipugar, didirikan dengan bahan campuran kapur. Mimbar Masjid Wapauwe berukuran 2×2 m persegi. Bentuknya seperti sebuah kursi yang berbahan dasar kayu. Untuk menambah ketinggian, alasnya ditambahi dengan anak tangga. Pada bagian atasnya, terdapat lengkungan dan ukiran bermotif floris. Seperti umumnya masjid-masjid tua di Jawa, Masjid Wapauwe pun dilengkapi dengan beduk. Benda yang digantung pada sebuah balok itu terbuat dari gelondongan kayu utuh dengan diameter dua meter. Kulit beduk diikat dengan tali rotan yang kencang. Seni cipta bangunan Jawa terlihat mempengaruhi Masjid Wapauwe. Sisi interiornya memiliki saka guru atau empat pilar yang menyangga bagian atap. Atapnya pun berupa tajug bertingkat, sehingga lagi-lagi menampilkan kekhasan Jawa. Penutup atas bangunan itu terbuat dari daun-daun rumbia kering. Pada puncaknya, terdapat ukiran kayu berbentuk silindris dengan alur-alur dan molding. Di antara atap di atas dan atap yang di bawah terdapat lubang jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Bagian paling bawah atapnya menjorok ke luar dan membentuk sebagian dari elips seperti daun. Di setiap ujungnya terdapat ukiran yang menampilkan lafaz “Allah” dan “Muhammad.” Keunikan lainnya dari Masjid Wapauwe ialah fungsinya yang juga sebagai tempat penyimpanan benda historis. Diketahui, terdapat lembaran-lembaran Alquran yang diperkirakan sebagai mushaf tertua se-Indonesia di sana. Mushaf itu selesai ditulis tangan oleh Imam Muhammad Arikulapessy pada 1550. Naskah yang ada tanpa hiasan atau iluminasi. Tidak hanya itu, Masjid Wapauwe juga menyimpan Mushaf Nur Cahya. Teks itu selesai ditulis pada 1590, tanpa iluminasi pula. Mushaf yang tergurat pada kertas Eropa itu ditulis oleh seorang cucu Imam Arikulapessy. Ada pula sebuah kitab Barzanji dan sekumpulan naskah khutbah. Dari tarikh yang ada, manuskrip tersebut berasal dari masa 1661 M. (uud) Baca juga :

Read More

Mengenal Sosok Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi, Kakek Proklamator Mohammad Hatta

Jakarta — 1miliarsantri.net : Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi lahir pada 1783 M di Desa (Nagari) Batuhampar–kini bagian dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat. Ada pula yang menyebut, tahun kelahirannya ialah 1777 M. Sang alim wafat pada 23 Oktober 1899. Seperti tampak pada gelarnya, tokoh tersebut merupakan seorang pemimpin aliran tarekat, tepatnya Naqsyabandiyyah Khalidiyah. Dalam sejarah, namanya juga dicatat sebagai kakek sang proklamator RI, Mohammad Hatta. Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi merupakan anak tunggal dari pasangan Abdullah alias Rajo Intan dan Ibu Tuo Tungga. Menurut Mansur Malik dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (1981), sejak kecil Abdurrahman sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan. Abdurrahman muda mengadakan rihlah intelektual ke berbagai kota pusat keagamaan Islam; mulai dari daerah Minangkabau hingga Aceh Darussalam. Bahkan, dirinya pun pernah belajar di Makkah al-Mukarramah, Jazirah Arab. Abdurrahman pertama kali berpamitan kepada ibundanya untuk pergi menuntut ilmu saat berusia 15 tahun. Setelah mendapat restu dari sang ibu, ia pun berangkat ke Batusangkar untuk belajar kepada Syekh Galogandang. Bekal yang ia bawa saat itu hanya berupa sedikit beras, uang sepiak, dan satu mushaf Alquran. Setelah bertahun-tahun belajar kepada Syekh Galogandang, Abdurrahman kemudian pamit, untuk menuju Tapak Tuan, Aceh. Dirinya hendak berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkil. Usai delapan tahun belajar kepada Syekh Abdurrauf, pemuda ini memulai perjalanan haji. Kemudian, ia berguru pada sejumlah masyayikh termuka di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hingga tujuh tahun lamanya, putra daerah Batuhampar tersebut menuntut ilmu di Tanah Suci. Bila ditotal, 48 tahun lamanya Syekh Abdurrahman belajar dari satu guru ke guru lainnya. Usai nyaris setengah abad menghabiskan usia dalam tholabul ‘ilmi, ia akhirnya pulang ke kampung halaman. Kala itu, umurnya mencapai 63 tahun. Satu hal yang merisaukannya, masyarakat Batuhampar saat itu masih jauh dari akhlak Islam. Banyak warga setempat yang sering bermaksiat secara terang-terangan. Sebagai seorang alim, hatinya tergerak untuk membina umat. Dalam berdakwah, Syekh Abdurrahman melakukan pendekatan secara bertahap. Sikap ramah dan pemurah menjadi langkah awal baginya untuk mendekati masyarakat. Syekh Abdurrahman menjalankan misi dakwahnya dengan lembut. Syiar Islam disampaikannya dengan sopan santun. Alhasil, orang-orang yang diajaknya untuk berbuat baik tak merasa sedang dihakimi. Dalam tulisannya yang berjudul “Dakwah Kelembutan Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi Batuhampar”, Apria Putra menuturkan sebuah kisah. Pernah suatu ketika, ada segerombolan pemuda datang kepada Syekh Abdurrahman. Mereka membawa beberapa ayam aduan. Kepada sang alim, mereka meminta doa agar ayam-ayam itu nantinya menang di gelanggang. Bukannya marah, Syekh Abdurrahman justru hanya tersenyum. Dengan ramah, ia menerima kedatangan mereka. Mulailah dipegang ayam-ayam itu. Lisannya tampak menggumamkan sesuatu. Namun, doa yang dirapalkan Syekh Abdurrahman sejatinya adalah munajat kepada Allah SWT, agar para pemuda tersebut diberikan hidayah. Setelah didoakan, ayam-ayam itu diserahkan kepada mereka. Amatlah gembira orang-orang itu. Sesampainya di arena aduan, ayam yang telah “didoakan” itu ternyata menang. Anak-anak muda ini semakin percaya dan hormat kepada Syekh Abdurrahman. Rasa respek itu menimbulkan kedekatan. Dan, lambat laun, hari demi hari perangai mereka berubah menjadi lebih baik. Kebiasaan sabung ayam ditinggalkannya sama sekali. Untuk kepentingan syiar Islam, Syekh Abdurrahman mendirikan kompleks pendidikan tradisional Islam. Kalau di Jawa, lembaga demikian disebut sebagai pesantren. Namun, orang-orang Sumatra Barat menamakannya surau. Pembangunan surau itu sangat didukung masyarakat Nagari Batuhampar. Mereka bergotong royong untuk mewujudkannya. Rumah-rumah penduduk menjadi ramai karena diinapi santri Syekh Abdurrahman. Karena sudah tak muat di rumah penduduk, sang alim pun memperluas kompleks surau itu. Kawasan ini perlahan namun pasti menyerupai sebuah desa baru, yang akhirnya dinamakan Kampung Dagang (kampung para perantau; perantau penuntut ilmu). Kampung Dagang memiliki fasilitas yakni surau gadang (masjid utama). Di depannya, terdapat kolam ikan. Kemudian, di sekitarnya sebuah rumah gadang didirikan. Pada sekeliling surau dan rumah gadang itu, ada surau-surau kecil yang umumnya bertingkat dua. Jumlahnya mencapai 30 unit. Puluhan surau kecil itu menjadi tempat tinggal anak-anak muda yang menuntut ilmu pada Syekh Abdurrahman. Mereka disebut sebagai orang siak–sepadan dengan sebutan santri. Mereka tidak dimintai biaya. Menurut Mansur Malik, jumlah murid yang belajar pada Syekh Abdurrahman mencapai dua ribu orang. Dalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Prof Azyumardi Azra menjelaskan, sistem yang dibangun Syekh Abdurrahman merupakan surau besar. Secara garis besar, metode pengajaran yang diterapkan di sana tak ubahnya kebanyakan pesantren di Jawa. (yan) Baca juga :

Read More

Benarkah Lahirnya Ratu Adil Berasal dari Solo

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Setelah HOS Tjokroaminoto masuk dalam jajaran pimpinan Syarikat Islam (SI), kemajuan SI makin hebat dengan semangat berkobar-kobar sehingga SI dipandang sebagai ‘Ratu Adil’. Kemajuan Syarikat Islam yang pesat saat itu membuat penasehat pemerintah kolonial, Snouck Hurgronye, menulis dalam majalah Indologen Blad, meminta pemerintah mewaspadai kebangkitan gerakan Islam ini dan jangan sampai lengah. Belanda awalnya menolak kehadiran SI. Namun mereka kemudian mengakui Syarikat Islam sebagai badan hukum pada 10 September 1912. Anggota Syarikat Islam sendiri memandang tanggal 16 Oktober 1905 sebagai kelahiran SI yang sejati. Tanggal inilah yang diperingati kaum SI setiap tahun. Setelah menjadi badan hukum, SI bertambah maju, melompat-lompat ke depan menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan Tjokroaminoto yang bergelar ‘raja tanpa mahkota’. Kaum reaksioner Belanda menjadi saling menyalahkan satu sama lain. Mereka menyalahkan Gubernur Jenderal Indenburg yang mengakui Syarikat Islam secara resmi dalam politik. Mereka bahkan memelesetkan SI sebagai Salahnya Indenburg. Berbeda dengan Syarikat Islam yang sejak 1912 telah menuntut kemerdekaan Indonesia, Budi Utomo (BU), menurut mantan tokoh Masyumi 1950-an, KH Firdaus AN dalam buku Dosa-dosa Politik Orla dan Orba, merupakan perkumpulan kaum ambtenaar, yaitu para pegawai negeri yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Pertama kali Budi Utomo diketuai Raden T Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, yang dipercaya Belanda. Ia memimpin Budi Utomo sejak 1908 sampai 1911. Kemudian dia digantikan oleh Pangeran Arjo Noto Dirojo dari Istana Paku Alam, Yogyakarta. Dengan dipimpin oleh kaum bangsawan yang inggih selalu, tidak mungkin BU akan dapat melangkah maju untuk mengadakan aksi massa. Sulit rasanya BU berjuang guna mengubah nasib mereka yang menderita di bawah telapak kaki penjajah Belanda. Dengan sifat kebangsawanan yang pasif dan setia kepada Belanda itu, juga membuat BU terjauh dari rakyat. Menurut Firdaus AN, BU bukan bersifat kebangsaan yang umum bagi seluruh Indonesia, tetapi bersifat regional, kedaerahan dan kesukuan yang sempit. Keanggotaan Budi Utomo selalu terbatas bagi kaum ningrat aristokrat. Anggota mereka hanya terbatas bagi suku Jawa dan Madura. SI yang dilahirkan di Solo tahun 1905 dengan sifat nasional dan dasar Islam yang tangguh, merupakan organisasi Islam terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air. Dengan sifat nasionalnya SI meliputi seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Ini tercermin pada wajah para tokoh pemimpin SI dari berbagai kepulauan di Indonesia. Di bawah pimpinan trio politikus yang terkenal — Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis — SI menjadi organisasi massa pertama yang bukan hanya menuntut tapi memperjuangkan kemerdekaan RI. Kemudian menyusul berdirinya Muhammadiyah pada 1912 yang diketuai oleh KH Ahmad Dahlan yang berjuang di lapangan sosial dan pendidikan demi kecerdasan umat. Muncul pula Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923 di bawah pimpinan KH Zamzam dan kemudian diperkuat oleh A Hassan. Persis bergerak dalam pelurusan akidah. Lahir pula NU pada tahun 1926 yang dimotori oleh para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Ashari. Muncul pula PERTI di Bukittinggi pada 20 Mei 1930 yang juga dipelopori oleh para ulama bermazhab Syafi’i. Bangkit pula Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang bergerak di bidang politik pada 1930 yang bersikap non-kooperator dengan Belanda. Setelah lahir berbagai organiasi Islam lainnya yang terus melakukan perlawanan terhadap penjajah. Pada 1937 lahirlah MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian menjadi Masyumi. Begitu besar jasa SI dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, menurut KH Firdaus AN, sungguh aneh dan ajaib, bukan SI yang menjadi patokan hari Kebangkitan Nasional, tetapi Budi Utomo yang sama sekali tidak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, pengurusnya tidak pernah masuk penjara dan tidak dibuang ke Digul. ”Apakah ini bukan manipulasi sejarah,” tulis KH Firdaus AN. (mif) Baca juga :

Read More