Sejarah dan Perkembangan Musik Dalam Peradaban Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Belakangan, marak perdebatan soal kebolehan bermusik dalam Islam. Sudah awam sejak seribu tahun lalu, para ulama punya pandangan berbeda-beda soal tersebut. Faktanya, musik jarang sekali absen dari peradaban Islam. Menurut Philip K Hitti dalam History of The Arabs, lantunan hymne keagamaan primitif telah memberikan pengaruh saat Islam datang. Hal tersebut nampak dalam talbiyyah ritual haji, yakni ucapan “Labbaika” para jamaah haji. Selain itu, tampak juga dalam lantunan tajwid saat membaca Alquran. Dalam hal alat musik, kata Hitti, masyarakat Arab pra-Islam di Hijaz telah menggunakan duff yakni tambur segi empat, qashabah atau seruling, zamr yakni suling rumput, serta mizhar atau gambus yang terbuat dari kulit. Para penyair juga menggubah syair mereka ke dalam sebuah lagu. Ketika Rasulullah diutus mendakwahkan Islam, sebagian besar musisi justru menyeru pada berhala. Bahkan ada seorang seniman yang ingin menandingi wahyu Allah yang disampaikan Rasulullah. “Kecaman Muhammad terhadap para penyair muncul bukan karena mereka penyair, tapi karena mereka menjadi corong para penyembah berhala. Nabi mendiskreditkan musik, juga karena musik diasosiasikan dengan ritual ibadah kaum pagan,” kata sejarawan ternama itu. Dalam beberapa hadis, Rasulullah hanya memperbolehkan musik didendangkan pada dua momen saja, yakni pernikahan dan hari raya. Saat Aisyah binti Abu Bakar menikahkah seorang wanita dengan laki-laki Ansar, Rasulullah bersabda, ‘’Wahai Aisyah, tidak adakah kalian mempunyai hiburan (nyanyian). Sesungguhnya orang-orang Ansar menyukai hiburan (nyanyian).’’ (HR Bukhari dan Muslim). Hal serupa juga terjadi saat hari raya. Berdasarkan Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Aisyah mendengarkan permainan rebana (duff) anak perempuan kecil saat Idul Adha. Melihat hal itu, Rasulullah membiarkannya karena saat itu hari raya. Selain pada dua momen itu, Rasulullah diriwayatkan sangat mencegah musik dimainkan. Hal itu karena bangsa Arab menggunakannya sebagai ajakan untuk melakukan ritual berhala. Pada awal perkembangannya, jenis musik dalam Islam bisa dibedakan menurut alat musik yang digunakan. Kala itu, musik Islam hanya mengenal alat sederhana seperti rebana, rebab, seruling dan bedug. Nah, jenis musik yang berkembang pada masa ini adalah kasidah. Karena itu, kasidah bisa disebut sebagai salah satu jenis musik tertua dalam Islam. Selain itu ada gazal yang biasanya dimainkan hanya dengan menggunakan qanun dan rebab. Tema gazal adalah cinta dan kerinduan. Di kawasan Hijaz, berkembang luas musik qabus atau qanbus. Di Indonesia, musik yang melibatkan banyak alat ini dikenal dengan sebutan gambus. Di awal perkembangan musik Islam, dikenal pula nasyid, yakni jenis musik yang lebih menonjolkan lirik daripada musik. Lawannya adalah naubah, yang lebih menonjolkan unsur instrumen daripada lirik. Pada abad ke-7, hadir seorang musikus handal dari Baghdad yang kemudian hijrah ke Andalusia. Namanya Abul-Hasan Ali bin Nafi. Hitam kulitnya, merdu suaranya sehingga ia dijuluki Ziryab alias Burung Hitam. Dalam teori musik, Ziryab banyak melakukan revolusi besar. Dia, misalnya, mengatur ulang parameter dalam musik dan irama musik. Dia juga menciptakan cara-cara baru terkait ekspresi di dalam bermusik. Ziryab pernah menyusun repertoar dengan 24 nabaat. Setiap nabaat terdiri dari potongan berbagai vokal dan instrumental yang dilakukan pada sembilan gerakan. Setiap gerakan tersebut memiliki ritme tersendiri. Selain dikenal sebagai musisi andal, Ziryab pun tercatat sebagai orang pertama yang memperkenalkan oud, semacam alat musik bersenar ke Eropa. Ia juga berinovasi menempatkan senar tambahan pada oud. Dari Andalusia, alat musik sejenis kecapi itu kemudian dikenal luas ke berbagai negara di benua itu dan kini kita kenal sebagai gitar. Pada abad ke-9, hadir seorang filsuf bernama Abu Nasr Muhammad al-Farabi di Baghdad. Bukan hanya seorang filsuf ia juga terkenal sebagai musikus andal. Ia bahkan disebut sebagai penemu not musik. Penemuan not musik tersebut dijabarkan Al Farabi dalam karyanya Al Musiqa Al Kabir (Kitab Besar Musik). Buku itu lama menjadi rujukan utama para musisi klasik Barat. Ilmu dasar musik tercantum dalam karya fenomenalnya tersebut. Musik dalam pandangan Al Farabi dapat menciptakan ketenangan dan mampu mengendalikan emosi. Ia pun meneliti musik sebagai terapi penyakit psikologis. Al Farabi kemudian menciptakan prinsip-prinsip filosofis tentang musik, baik kualitas kosmik dan pengaruhnya. Ia kemudian menangani akal dengan terapi musik dan mendapati adanya efek terapi musik di jiwa. Konon, susunan musik Al Farabi sedemikian canggih hingga bisa membuat pendengarnya menangis tertawa. Pada abad ke-11, musik sudah mulai digunakan sebagai sarana oleh kaum Sufi untuk mendekatkan diri pada Allah. Imam Al-Ghazali menerangkan fenomena ini dalam kitabnya berjudul Kimia-i Sa’adah. Ia menjelaskan, para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka. Dan dengan bermusik, para sufi kerap mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani. “Maka dalam hal ini, hati para sufi menjadi sebersih perak yang dibakar di dalam tungku. Mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin walau seberat apapun.” Puncak capaian musik sufi ini mengambil tempat di anak benua India dalam bentuk qawwali. Dari wilayah itu, muncul maestro-maestro musik sufi, mendayu-dayu dan sangat piawai memainkan nada-nada setengah bahkan seperempat. Mendiang Nusrat Fateh Ali Khan, kemudian Abida Parveen sampai AR Rahman sang pemenang penghargaan Oscar kini jadi penggawa musik sufi tersebut. Sejak abad ke-17 hingga medio 19 Masehi, banyak penduduk kulit hitam dari Afrika barat yang dibawa paksa ke Amerika dan dijadikan budak. Menurut para sejarawan, sekitar 30 persen dari mereka adalah orang Islam. Sejumlah ilmuwan, termasuk Sylviane Diouf dari Pusat Kajian Budaya Kulit Hitam Schomburg New York, menunjukkan bahwa para budak Muslim itulah yang menancapkan akar musik blues di Amerika Serikat. Untuk membuktikan keterkaitan antara musik blues Amerika dengan tradisi kaum Muslim, penulis buku In Motion: The African-American Migration Experience (2005) itu menunjukkan dua rekaman kepada hadirin di sebuah seminar di Harvard University. Yang pertama adalah lantunan azan, sesuatu yang akrab di telinga orang Islam. Kemudian, Diouf memutar “Levee Camp Holler”, yakni lagu blues lawas yang pertama kali muncul di Delta Mississippi sekitar 100 tahun silam. Lirik “Levee Camp Holler” itu terdengar seperti azan karena berisi tentang keagungan Tuhan. Seperti halnya lantunan panggilan shalat, lagu tersebut menekankan kata-kata yang terdengar bergetar. Menurut Diouf, langgam yang sengau dalam lagu genre blues itu dan kemiripan liriknya dengan azan adalah bukti pertautan antara blues dan umat Islam, khususnya dari Afrika barat. Jadi, orang boleh saja berdebat soal halal-haram musik dalam Islam. Yang tak bisa disangkal, seni suara tersebut sudah sekian lama jadi latar suara jalan…

Read More

Sepak Terjang Pendiri Hamas Syeikh Ahmad Yassin

Gaza — 1miliarsantri.net : Kelompok militan Palestina, Hamas, banyak menarik perhatian dunia setelah melancarkan serangan militer ke Israel pada Sabtu, 7 Oktober 2023. Kekuatan Hamas untuk melawan Israel demi kemerdekaan Palestina tentu tidak bisa dilepaskan dari sosok pendiri Hamas yakni Syeikh Ahmad Yassin. Meski mengalami disabilitas, namun Syeikh Ahmad Yassin memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pengikutnya. Syeikh Ahmad Yassin menjadi aktor penting di balik gerakan Hamas. Berkat arahannya, Hamas kini menjadi kelompok dengan kekuatan politik maupun militer di Palestina. Lantas, seperti apa profil Syeikh Ahmad Yassin yang merupakan pendiri Hamas? Simak informasi lengkapnya di bawah ini. Mengutip buku Hamas, Ikon Perlawanan Islam Terhadap Zionisme, Syeikh Ahmad Yassin adalah pria keturunan Arab-Palestina yang lahirkan pada 1936 di desa Al-Jaurah, pinggiran kota Al- Majdal, sekitar 20 kilometer sebelah utara Jalur Gaza. Saat usianya belum genap 3 tahun, ayah Yassin wafat. Sewaktu kecil, Yassin dipanggil dengan nama Ahmad sa’dah. Nama tersebut diambil dari nama ibunya yang bernama Sa’dah Abdullah Al-Hubael. Hal ini dilakukan untuk membedakan nama Ahmad yang banyak dipakai di keluarga Yassin. Pada tahun 1948, kelompok-kelompok bersenjata Yahudi mengusir ribuan warga Palestina. Akibatnya, Yassin yang saat itu baru berusia 12 tahun bersama puluhan ribu warga Palestina lainnya pindah ke Gaza. Peristiwa pengusiran itu kemudian sangat memengaruhi gaya pemikiran dan politiknya. Sejak peristiwa itu, Yassin berpandangan bahwa berjuang di atas kaki sendiri jauh lebih berharga dibandingkan harus berpangku tangan pada bantuan negara-negara lain. Sebagai keluarga pengungsi Palestina, masa kecil Yassin dipenuhi dengan getirnya kemiskinan dan kelaparan. Demi menyambung hidup, Yassin harus putus sekolah dan bekerja sebagai pelayan sebuah restoran di Gaza. Beruntung, ia dapat melanjutkan kembali studinya yang sempat terputus. Pada 1952, Yassin mengalami sebuah kecelakaan saat berolahraga bersama teman-temannya. Kecelakaan itu menyebabkan Yassin mengalami patah tulang leher hingga mengalami kelumpuhan permanen. Meski begitu, dengan segala keterbatasan fisik, akhirnya Yasin dapat menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas pada 1958. Pada 1956, tepat di usia 20 tahun, Yassin ikut serta dalam aksi unjuk rasa di Gaza untuk menentang persekutuan segitiga musuh terhadap Mesir. Dalam peristiwa itu, ia memperlihatkan kepiawaiannya dalam berorasi dan mengorganisasi massa. Sejak saat itu, kemampuan orasi Yassin mulai melambungkan namanya di Gaza. Sayangnya, ketenaran Yassin justru menimbulkan rasa curiga para intelijen Mesir. Pada tahun 1965, ia ditangkap bersamaan dengan gelombang penangkapan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah Mesir terhadap anggota gerakan Ikhwanul Muslimin. Setelah menjalani satu bulan di penjara, Yassin akhirnya dibebaskan karena tidak ditemukan bukti keterlibatannya dengan Ikhwanul Muslimin. Sejak saat itu, secara tidak langsung Yassin mulai mengenal Ikhwanul Muslimin. Setelah kekalahan Arab dalam Perang 1967, agresi Israel di Palestina semakin meningkat, terutama di wilayah Gaza. Hal ini mendorong Yasin untuk kembali ke jalur perlawanan dan memberikan pidato-pidato. Pada saat yang sama, Yassin juga aktif dalam mengumpulkan dana bantuan untuk keluarga korban dan tahanan Palestina. Perkenalannya dengan Ikhwanul Muslimin ketika berada di penjara Mesir dulu telah membuka jalan baginya Yassin untuk menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Yassin semakin aktif dalam gerakan tersebut. Sejak saat itulah konstruksi pemikirannya Yassin tentang gerakan perlawanan terhadap hegemoni Zionis Israel mulai terbentuk. Setelah kembali dari Mesir, Yassin memilih untuk bergabung dengan sayap Ikhwanul Muslimin yang telah ada sejak akhir 1930-an. Karena kemampuannya dalam orasi dan keberaniannya yang luar biasa di antara anggota Ikhwanul Muslimin, Yassin diangkat sebagai pemimpin ketika Ikhwanul Muslimin membentuk sayap militer yang disebut Mujahidin Palestina. Keterlibatannya dalam Ikhwanul Muslimin kembali membawanya ke dalam penjara. Kali ini Yassin ditahan dengan tuduhan membentuk kelompok bersenjata dan memprovokasi kerumunan. Pada tahun 1983, Yassin dihukum 13 tahun penjara oleh Mahkamah Militer Israel. Selama masa tahanan, Yassin sering mengalami intimidasi, terutama dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini berdampak pada kesehatannya. Ia mengalami berbagai masalah kesehatan seperti kebutaan pada mata kanan, rabun mata kiri, radang telinga akut, dan penyakit kronis pada usus. Pada tahun 1985, setelah menjalani penahanan selama 11 bulan, Yassin dibebaskan dalam pertukaran tawanan antara Israel dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina. Pasca meletusnya intifadah pada 8 Desember 1987, Syekh Ahmad Yasin dan beberapa pemimpin Ikhwanul Muslimin lainnya memutuskan untuk mendirikan Hamas, sebuah organisasi Islam yang bertujuan membebaskan tanah Palestina dari pendudukan Zionis Israel. Yasin kemudian diangkat sebagai pemimpin spiritual Hamas. Seiring dengan meningkatnya aktivitas bersenjata Hamas, Yasin ditangkap kembali oleh Israel pada tanggal 18 Mei 1989 bersama dengan ratusan anggota Hamas lainnya. Tiga tahun kemudian, ia dihukum penjara seumur hidup ditambah 15 tahun atas tuduhan aktivitas politik yang dianggap radikal oleh Israel. Sosok Yasin yang sangat berpengaruh dan karismatik di organisasi mendorong Brigade Izzudin Al-Qassam, sayap militer Hamas, untuk menyandera seorang prajurit Israel dengan tujuan untuk menukarkannya dengan Yasin dan beberapa tahanan lainnya. Namun, Israel malah menyerang tempat penyanderaan tersebut di Bernepala dekat Kota Al-Quds (Jerusalem). Meskipun begitu, tekanan kuat dari para pejuang Palestina akhirnya memaksa Israel untuk membebaskan kembali Yasin. Pada tanggal 1 Oktober 1997, Syekh Ahmad Yasin berhasil dibebaskan melalui perjanjian antara pemerintah Yordania dan Israel. Dalam perjanjian tersebut, ia seringkali dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran dengan dua mata-mata Israel yang ditahan di Yordania atas percobaan pembunuhan terhadap kepala biro politik Hamas, Khaled Meshaal. Pembebasan Syeikh Ahmad Yassin disambut oleh puluhan ribu warga Palestina di Jalur Gaza. Setelah pembebasan ini, ia melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah pulang dari luar negeri tanpa mengenal kelelahan dan putus asa, Yasin berusaha untuk memulihkan struktur organisasi Hamas. Kebencian Zionis Israel terhadap Yassin mencapai puncaknya. Israel menganggap Syekh Ahmad Yassin sebagai pilar utama perlawanan rakyat Palestina yang perlu segera dihilangkan. Meskipun kondisinya sudah lumpuh dan penglihatannya terbatas, Yassin masih mampu menginspirasi semangat para pemuda Palestina. Pada suatu pagi, tanggal 22 Maret 2004, Israel akhirnya memutuskan untuk menghabisinya. Saat sedang menjalankan salat subuh, Syekh Yasin diserang dengan misil dari helikopter militer Israel. Serangan itu langsung merenggut nyawa Syekh Ahmad Yassin dan orang-orang yang sedang menjalankan shalat berjamaah bersamanya. (zul) Baca juga :

Read More

Gus Kikin : Hadratusyaich KH. Hasyim Asyari Ilmuwan dan Ulama Unggul

Malang — 1miliarsantri.net : Ketua PWNU Jatim, KH Abdul Hakim Mahfudz menjadi keynote speaker Workshop Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama di Kampus Universitas Islam Malang (Unisma), Kamis (2/5/2024). Kegiatan yang diinisiasi Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jatim ini sekaligus memperingati Hari Pendidikan Nasional 2024. Workshop menghadirkan 3 narasumber, yaitu Rektor Unisma, Prof. Dr. Maskuri, M.Si; Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Prof. Jazidie, M.Eng., Ph.D dan Prof. Slamet Wahyu, M.T., guru besar Universitas Brawijaya (Unibraw). KH. Abdul Hakim Mahfudz dalam sambutan pembukaan menegaskan sejak didirikan oleh Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari, NU selalu melakukan transformasi dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Menurut Gus Kikin (sapaan KH. Abdul Hakim Mahfudz), meski NU didirikan oleh para ulama dan menjadi tempat beraktifitas para ulama alim, namun tidak pernah berhenti melakukan transformasi. Hal ini dilakukan dalam rangka menjawab tantangan dan perubahan zaman. Ilmu-ilmu agama ditekuni secara fokus dan bersanad, sedangkan ilmu umum juga dipelajari di pesantren-pesantren agar NU selalu mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan prinsip “almuhafadzatu ‘alal qadimis sholih wal ahdu biijadidil ashlah” yang artinya, segala sesuatu yang baik akan tetap dipertahankan dengan mengadaptasi hal-hal baru yang lebih baik. Gus Kikin berharap perguruan tinggi juga melakukan transformas-transformasi dalam rangka menghadapi perkembangan zaman, termasuk menjadi perguruan tinggi yang unggul. “Hadratussyaikh sangat fokus menekuni keilmuan agama, tapi bukan berarti meninggalkan urusan berbangsa dan bernegara. Mudah-mudahan para peserta mendapatkan banyak pencerahan supaya semakin kaya khazanah keilmuan untuk bertransformasi sesuai perkembangan zaman,” ungkap pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang ini. Ketua PW ISNU Jawa Timur, Prof, M. Mas’ud Said mengatakan, dalam peta jalan abad kedua NU, pendidikan tinggi menjadi salah satu prioritas yang harus dikuatkan selain bidang kesehatan, pengkaderan dan tata organisasi. Menurutnya, akreditasi unggul menjadi kebutuhan bagi semua perguruan tinggi NU saat ini. ISNU Jatim akan melakukan pendampingan kepada perguruan tinggi NU agar bisa mendapatkan status akreditasi unggul. ”Setelah ini, kita geser ke perguruan tinggi yang lain yang mau ditempati, narasumbernya ISNU yang mengurusi. Dua tahun. Harus unggul,” tutup Direktur Pascasarjana Unisma ini. (fiq) Baca juga :

Read More

Sejarah Perjalanan Haji Waktu Tempo Dulu

Jakarta — 1miliarsantri.net : Pada abad ke-17 dan ke-18, terdapat jamaah haji (umat Islam) dari Nusantara (Indonesia) yang menunaikan ibadah haji. Hal ini tidak terlepas dari hubungan pelayaran yang terjalin antara masyarakat kepulauan Nusantara dan pedagang dari jazirah Arab yang berjualan hingga Nusantara. Akan tetapi, perjalanan haji di masa lalu dan sekarang berbeda. Dalam perjalanan menuju Tanah Suci Makkah, banyak bahaya yang harus dihadapi jamaah haji, bahkan bahaya yang bisa merenggut nyawa. Umumnya rute pelayaran menuju Makkah ditempuh melalui Selat Malaka, Samudera Pasai, dan Pidie. Wilayah tersebut sudah terkenal sejak dahulu kala sebagai pusat perdagangan internasional. Pada permulaan abad ke-16 telah dijumpai pribumi Nusantara di Makkah. Kemungkinan besar adalah pedagang yang datang ke Makkah dengan kapalnya. Sebelum abad ke-16, bangsawan dari Nusantara memang sudah melakukan pelayaran untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah, misalnya Sunan Gunung Jati yang dikenal sebagai Syekh Syarif Hdayatullah. Berdasarkan Hikayat Hasanuddin yang merupakan terjemahan bebas dari Hikayat Banten Rante-Rante yang ditulis pada 1662, 1663 dan Sajarah Banten menyebutkan bahwa dua orang penguasa kerajaan Islam di Nusantara yaitu Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) dari Cirebon dan putranya Maulana Hasanuddin yang merupakan Sultan Banten sempat menunaikan ibadah haji bersama-sama. Dikutip dari buku Sejarah Ibadah Haji Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan BPKH tahun 2023. Dijelaskan, menurut Dien Madjid, Hikayat Hang Tuah yang merupakan salah satu naskah yang ditulis pada akhir abad ke-17 mencatat rihlah orang Nusantara ke Tanah Suci, menceritakan tentang perjalanan Hang Tuah ke Istanbul dengan armadanya. Ketika itu Hang Tuah menyempatkan berhaji ditemani syahbandar pelabuhan Jeddah bernama Malik rasal. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang, sehingga harus sering berpindah kapal saat sandar di sebuah pelabuhan tertentu. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara. Jamaah haji dari Tanah Jawa misalnya, terlebih dahulu harus menuju Pelabuhan di Batavia (wilayah Jakarta saat ini). Selanjutnya menuju pelabuhan terakhir di Nusantara yakni Aceh. Di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jeddah (Arab Saudi). Perjalanan laut itu biasa makan waktu enam bulan dan bahkan lebih, karena harus berganti kapal atau mencari bekal tambahan dengan bekerja di negeri tertentu. Dalam perjalanan, para musafir tidak jarang harus berhadapan dengan berbagai macam bahaya seperti ombak yang besar. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jamaah haji dilepas kepergiannya dengan derai air mata. Karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi. Itulah sekelumit catatan tentang kaum Muslimin Nusantara zaman dahulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut tergambar bahwa ibadah haji biasanya hanya terjangkau kaum elite seperti kalangan istana atau keluarga kerajaan, karena memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji, namun tidak tercatat dalam sejarah. Kerajaan memiliki peranan penting dalam pengelolaan pemberangkatan haji. Kehadiran tata kelola haji diawali dari kalangan elite yang memiliki kebutuhan kenyamanan serta keamanan perjalanan. (jeha) Baca juga :

Read More

Kisah Sedih Pangeran Diponegoro Saat Lebaran Tiba

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pada 10 Maret 1830, dua hari setelah Diponegoro tiba di Magelang, terjadi gerhana rembulan. Bisik-bisik pun berkembang di lingkungan pengikut Diponegoro bahwa akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Hingga tiba Lebaran hari pertama semua berjalan lancar. Dari waktu sahur hingga tiba waktu Tarawih, tidak terjadi sesuatu. Tapi di hari Lebaran kedua, nelangsa amat hati Diponegoro. Ia tidak merasakan kebahagiaan di hari penuh berkah itu. Letnan Jenderal De Kock yang begitu ramah selama bulan puasa, mebjadi tidak bersahabat sama sekali. Salah satu keramahan De Kock adalah menyediakan lima ekor kerbau per hari untuk keperluan lauk makan sahur dan berbuka. Pada hari pertama Lebaran, Diponegoro berlebaran di pesanggrahan. Baru pada hari kedua, 28 Maret 1830, Diponegoro melakukan silaturahim ke Letnan Jenderal De Kock. Karena tujuannya untuk silturahim Lebaran, Diponegoro hanya mengenakan pakaian santai. Tidak mengenakan pakaian kebesarannya. Salah satu panglimanya mengusulkan dikawal oleh banyak prajurit, tapi Diponegoro menolaknya. Ia hanya diiringi beberapa orang. Tapi rupanya, De Kock sudah melsngkah jauh di depan Diponegoro. Ia sudah menunggu-,nunggu pertemuannya dengxn Diponegoro usai puasa. Sejak jauh hari ia membuat rencana tipu daya untuk menyambut Diponegoro pada hari kedua Lebaran itu. Ia siapkan tentara untuk berjaga di pesanggarah yang ditinggal Diponegoro dan di tempat pertemuan Diponegoro-De Kock. Pada waktu yang tepat, prajurit Belanda melucuti senjata para pengikut Diponegoro di pesanggrahan. Pengawal Diponegoro di tempat pertemuan juga diringkus. Diponegoro menjadi marah ketika ia tak boleh pulang setelah bersilaturahim. Letjen Hendrik Markus de Kock melarangnya pulang karena harus menyelesaikan urusan hari itu juga. Berkali-kali Diponegoro mengaku tidak siap untuk berunding. Ia meminta waktu perundingan ditentukan di lain hari, tetapi De Kock tak peduli. Ia memang tak ada rencana untuk berunding dengan Diponegoro. Karena perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah menangkap Diponegoro. Diponegoro sempat memaki-maki De Kock yang tidak ramah lagi. Ia bahkan sempat memberi kode kepada panglimanya, Basah Martonegoro, tetapi Haji Isa Badarudin mengingatkannya. Maka niat membunuh De Kock pun ia urungkan. Ia memilih menerima nasib. Di hari-hari terakhir sebelum ia bersedia berangkat ke Magelang, ia berpindah-pindah di hutan hanya ditemani seorang punakawan. Oa sedang terserang malaria pula. Orang-,orang dekatnya sudah banyak yang menyerah. Hal itu membuat Diponegoro merasa telah kehilangan pengikut. Tapi ketika ia berangkat ke Magelang, para prngikutnya berbondong-bondong hatang untuk mengiring. Harga diri Diponegoro sebagai Sultan Ngabdulkamid terangkat kembali. Tapi begitu De Kock berencana menangkapnya perasaannya terpuruk lagi. Ia merasa seperti emas yang mengambang terbawa arus air sungai. Nelangsa amat hati Diponegoro di hari Lebaran kedua kali ini. Niat baik bersilaturahim kepada Do Kock yang lebih tua darinya berakhir tidak sesuai keinginannya. Ia merasa tidak dihargai sama sekali. Pada pertemuan pertama dengan De Kock pada 8 Maret 1830, Diponegoro juga merasa tidak dihargai karena De Kock tidak menyapanya dengan panggilan sultan. De Kock lalu mengirim Diponegoro ke Semarang hari itu juga menggunakan kereta kuda yang juga sudah disiapkan jauh hari. (jeha) Baca juga :

Read More

Indonesia Uzbekistan Memilik Sejarah Yang Tak Terlupakan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Berbicara Uzbekistan, negara di Asia Tengah tersebut punya kaitan erat dengan Indonesia, salah satu kisah yang paling diingat adalah ditemukannya Makam Imam Bukhari di negara tersebut atas permintaan Presiden pertama RI, Ir Soekarno. Kisahnya bermula di era awal 1960-an di tengah situasi geopolitik global yang diwarnai Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan memiliki posisi geografis yang strategis sehingga menjadi rebutan dua negara adidaya saat itu, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Akibat kekecewaan terhadap pemerintah AS di masa Presiden Dwight D. Eisenhower, Presiden Soekarno merapat ke Blok Kiri yang dipimpin Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Bung Karno pernah dibuat murka karena saat melakukan lawatan ke Amerika Serikat, dia harus menunggu lebih dari satu jam di Gedung Putih sebelum ditemui Eisenhower. ”Mengapa presidenmu menolakku dengan kasar? Mengapa presidenmu dengan sengaja menampik dan menghinaku?” Bung Karno melampiaskan kemarahannya kepada Cindy Adam, seorang wartawan AS saat mewawancarainya untuk menulis buku biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Kemarahan Soekarno itu menjadi PR bagi Presiden John F Kennedy yang menggantikan Eisenhower pada 1961. Saat Soekarno kembali datang ke Washington DC pada 24 April 1961, Kennedy berusaha menyambut Soekarno dengan sepenuh hati. Bahkan, Kennedy menyambut langsung saat pesawat yang membawa rombongan Presiden Soekarno mendarat di Andrews Air Force Base, Maryland. Kemesraan Bung Karno dengan Kennedy membuat Pemimpin Tertinggi dan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khruschev kebakaran jenggot. Tak mau kalah mengambil hati Soekarno, Uni Soviet mengundang Soekarno datang. Saat itu, Soekarno sadar, sebagai Presiden Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin negara-negara Non Blok harus bersikap netral terhadap Blok Timur maupun Blok Barat. Tapi pada sisi lain, Soekarno juga menyadari Indonesia butuh dukungan Soviet untuk melegitimasi eksistensi negara-negara non-blok dan kesepakatan yang telah dicapai dalam Konferensi Asia Afrika I 1955. Soekarno juga menyadari membutuhkan dukungan Soviet untuk menghadapi berbagai upaya negara-negara Barat yang masih terus berusaha menjajah dan menguasai kembali Indonesia. Namun Soekarno tidak bisa begitu saja menerima undangan Uni Soviet yang berhaluan komunis, apalagi mengingat penduduk Indonesia mayoritas adalah Muslim. Bung Karno pun meminta syarat kepada Khruschev yang mengundangnya. ”Temukan makam Imam Bukhari dan saya akan ke Moskow,” pinta Soekarno. Permintaan itu disampaikan Soekarno karena beliau mengaku ingin berziarah kepada perawi hadist Rasulullah tersebut. “Aku sangat ingin menziarahinya,” kata Soekarno kepada Khruschev. Permintaan itu membuat Khruschev kelimpungan. Dia tidak mengenal siapa Imam Bukhari yang disebut Soekarno itu. Dipanggillah seluruh pejabat pemerintah Uni Soviet, termasuk pimpinan KGB (Badan Intelijen Nasional), untuk menemukan makam Imam Bukhari. Hasilnya: nihil. Khruschev saat itu nyaris menyerah dan meminta Bung Karno mengganti permintaannya. ”Temukan makam Imam Bukhari atau saya tidak pernah ke Moskow,” tegas Bung Karno. Imam Bukhari memiliki nama asli Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, seorang ulama besar dan salah seorang ahli hadis yang termasyhur. Namun bagi pemimpin negara berhaluan komunis, nama Imam Bukhari sangatlah asing. Setelah mengerahkan banyak tenaga, makam Imam Bukhari ditemukan di desa Hartang, sekitar 25 kilometer dari Samarkand yang sekarang menjadi ibu kota Uzbekistan. Pemerintah Uni Soviet pun meminta makam Imam Bukhari dipugar untuk menyambut kedatangan Presiden Soekarno. Setelah permintaanya terpenuhi, Bung Karno bersedia mengunjungi Uni Soviet. Kunjungan kali ini Soekarno mampir berziarah ke makam Imam Bukhari. Menurut Israil, muazim Masjid Imam Bukhari, menjelang kedatangan Bung Karno pada 1956, kondisi makam tidak terawat dengan baik dan berada di semak belukar hingga akhirnya pemerintah Soviet membersihkan dan memugar makam tersebut untuk menyambut kedatangan Soekarno. Penghormatan Soekarno terhadap Imam Bukhari dilakukan dengan cara melepas sepatu dan berjalan merangkak dari pintu depan menuju makam ketika turun dari mobil yang mengantarnya. “Presiden Soekarno merangkak menuju makam lalu memanjatkan doa dan dilanjutkan sholat serta membaca Al-Quran,” kata Israil. Keterangan tersebut diperkuat Muhammad Maksud, penjaga makam Imam Bukhari, bahwa atas jasa Presiden Soekarno, komplek makam Imam Bukhari kini dipugar hingga terlihat sangat megah seperti saat ini. Sehingga, komplek makam seluas 10 hektar ini menjadi wisata bagi umat Islam di dunia setelah makam Nabi Muhammad SAW di Madinah. (jeha) Baca juga :

Read More

Kisah Leluhur Sultan Agung Gagal Jadi Tamtama Demak

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Dikisahkan, Ki Ageng Selo, leluhur Sultan Agung, gagal menjadi tamtama Kerajaan Demak. Ia tidak lulus tes. Tapi, cucunya, Ki Ageng Pemanahan, menjadi pimpinan tamtama Kerajaan Pajang. Cucunya yang lain, Ki Juru Martani menjadi patih saat Sutowijoyo, anak Ki Ageng Pemanahan, menjadi adipati Mataram. Bagaimana orang-orang Selo itu menjadi pembesar di Kerajaan Pajang? Bagaimana pula akhirnya menjadi raja Mataram? Ki Ageng Pemanahan bersama saudara sepupunya — Ki Ageng Panjawi dan Ki Juru Martani — bertemu dengan Joko Tingkir ketika sama-sama menjadi murid Sunan Kalljaga. Saat Joko Tingkir menjadi santri kakek mereka, Ki Ageng Selo, mereka belum lahir. Karena Joko Tingkir pernah menjadi santri Ki Ageng Selo, maka Sunan Kalijaga meminta tiga murid dari Selo itu menganggap Joko Tingkir sebagai kakak mereka. Joko Tingkir kemudian meminta anak Ki Ageng Selo yang juga ayah Ki Ageng Pemanahan, yaitu Ki Ageng Ngenis, pindah ke Pajang. Ki Ageng Ngenis, diberi tanah di Laweyan. Ketika meninggal, Ki Ageng Ngenis juga dimakamkan di Laweyan. Ki Juru Martani menjadi penasihat bagi Pemanahan dan Panjawi. Ki Juru Martani juga menjadi pengasuh Raden Bagus Srubut, anak Pemanahan. Raden Bagus Srubut ini di kemudian hari dikenal sebagai Sutowijoyo. Pada akhirnya dikenal pula sebagai Panembahan Senopati setelah menjadi raha Mataram. Raden Bagus Srubut diangkat menjadi anak oleh Joko Tingkir. Saat itu Joko Tingkir belum memiliki anak. Maka, hubungan Joko Tingkir semakin erat dengan tiga tokoh dari Selo, Grobogan, itu. Joko Tingkir sangat menyukai orang-orang Selo itu. Joko Tingkir mengangkat Pemanahan dan Panjawi sebagai pemimpin para tamtama Pajang. Ki Juru Martani tetap menjadi penasihat mereka. Tanpa sepengetahuan Joko Tingkir, Sutowijoyo yang masih kanak diajukan untuk melawan Adipati Jipang Aryo Penangsang. Ketika Aryo Penangsang tewas di tangan Sutowijoyo, Pemanahan mengaku bahwa diirinya dan Panjawulah yang membunuhnya. Dengan cara ini, Joko Tingkir mebeoati janji memberi hadiah tanah di Pati dan huran di Mataram. Pemanahan memilih hadiah hutan dan menyerahkan Panjawi untuk memilih Pati yang sudah ramai. Setelah hutan dibuka menjadi perkampungan Mataram, akhirnya Mataram menjadi wilayah kadipaten di bawah Kerajaan Pajang. Itu terjadi setelah Pemanahan meninggal dunia. Sutowijoyo diangkat menjadi adipati Mataram oleh Sultan Pajang. Setelah Suktan Pajang meninggal, akhirnta Sutowijoyo menjadi raja Mataram setelah menyingkirkan Adipati Demak Aryo Pangiri yang nerebut tahta dari Pangeran Benowo, putra mahkota Pajang. (jeha) Baca juga :

Read More

Anggapan Orang Jawa Dahulu, Ikut Garebek (Grebeg) Besar di Demak Disebut Setara dengan Naik Haji

Demak — 1miliarsantri.net : Hingga tahun 1930-an, orang Jawa masih mempunyai anggapan: menghadiri Garebek (Grebeg) Besar di Masjid Demak setara dengan naik haji. Lho lho lho, bagaimana urusannya? Pada masa lalu, Demak disepadankan dengan Makkah. Babad Sengkala memberitakan, ada pemberontakan di Mataram pada tahun 1522 Jawa yang dilakukan Adipati Mesir. Apakah Mesir di bawah kekuasaan Mataram? Tentu saja bukan. Jika Demak adalah Makkah, maka Mesir digunakan untuk menjuluki Pati. Jika dihitung dalam kalender Masehi, pemberintakan Adipati Mesir itu tetjadi tahun 1600. Mataram masih dipimpin oleh Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung. Ada pula Madinah dan Al Quds untuk menyebut Kadilangu dan Kudus. Pada masa Kerajaan Demak, Sunan Kudus tak puas hanya menjadi penghulu keraton. Peran penghulu kurang luas. Ia menginginkan para wali memiliki peran yzng luas seperti yang berlaku di Giri. Ia mengundurkan diri sebagai penghulu lalu membangun negeri baru yang ia sebut Kudus. Kota suci ini diambil dari nama Al Quds yang ada di Palestina. Jika Kudus adalah Al Quds, mana Makkah yang menjadi kiblat bagi orang Jawa? Mana pula Madinah? Mana Mesir? Pati dirujuk sebagai Mesirnya orang Jawa. Kadilangu, tempat tinggal dan tempat makam Sunan Kalijaga sebagai Madinah. Lalu Demak menjadi Makkah bagi orang Jawa. Hingga tahun 1930-an, orang Jawa masih mempunyai anggapan: tujuh kali berturut-turut menghadiri Garebek Besar di Masjid Demak sepadan dengan naik haji. Pada 1922, penerintah kolonisl Belanda menetapkan kebutuhan minimal untuk naik haji sebesar 600 gulden-850 gulden. Pada 1927, untuk bisa makan di warung milik pengurus Muhammadiyah di Kramat, mahasiswa STOVIA di Batavia mengeluarkan 15 gulden per bulan. Penetapan kebutuhan minimal itu dilakukan agar tak ada yang nekat naik haji lalu mengandalkan belas kasihan orang lain selama hidup di Tanah Suci. Jadi, hanya orzng-orang yang mampu yang bisa pergi ke Makkah, Arab Saudi. Maka, orang-orang yang tak mampu ke Arab Saudi cukup menghadiri Garebek Besar di Makkah, Jawa Tengah, eh, di Demak, Jawa Tengah. Hingga 1937, Garebek (Grebeg) Besar di Demak itu yercatat masih selalu ramai didatangi orang. Di Demak ada masjid yang dibangun pada masa Raden Patah menjadi sultan Demak di abad ke-15. Pendirinya adalah para wali. Berbagai jenis kendaraan dari berbagai kota mengangkut, orang-orang yang ikut merayakan Garebek Besar di Masjid Demak,. Mereka seperti jamaah haji melakukan tawaf di Ka’bah, Masjidil Haram. Mereka juga melakukan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. Seperti ziarah ke makam Nabi di Madinah. Garebek Besar diadakan pada tanggal 10 bulan Besar, yaitu bulan menurut kalender Jawa. Sama dengan bulan Dzulhijjah dalam karender Hijriyah. Pada Garebek Besar 1937 itu, selain menggunakan kereta dan bus, ada pula yang menggunakan sepeda dari Semarang untuk mencapai Demak Jumlah pesepeda ini juga mencapai ribuan. Saat Garebek Besar diadakan, biasanya ada penyembelihan hewan kurban. Sekain di Demak, Garrbek Besar juga diadakan di Surakarta dan Yogyakarta. Pada Garebek Besar 1904 di Yogyakarta, ada 2.000 warga yang mfnerima dagung kurban. Ada 25 ekor kambing kurban dan 12 ekor sapi kurban yang dipotong pada saat Garebek Besar di Yogyakarta pada 1904 itu. Pada 1935 pemerintah kolonial menarik pajak pemotongan hewan kurban. Pimpinan Muhammadiyah bereaksi dengan menyerukan agar tak ada pemotongan hewan kurban karena pengenaan pajak pemotongan ini. Gambaran Garebek Besar di Demak pada 1937 juga terjadi pada 1924. Untuk mengangkut orang-orang yang akan “naik haji” ke Demak, disediakan kereta tambahan dari Semarang. Alun-alun Demak penuh dengan tenda. Bukan untuk tempat tidur para jamaah, eh pata pengunjung yang ikut merayakan Garebek (Grebeg) Besar, tapi untuk berjualan. Masyarakat Jawa memercayai, bagi yang tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke Makkah, cukup menghadiri Garebek Besar di Masjid Demak tujuh kali berturut-turut. Itu sama dengan naik haji. (san) Baca juga :

Read More

Kisah Sunan Kalijogo Nyamar Jadi Marbot Masjid dan Menemukan Emas di Kullah Masjid

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Meninggal pada tahun 1592 Masehi, ia menampakkan diri di depan Sultan Agung yang menjadi raja Mataram sejak 1613. Guru Panembahan Senopati itu memang dikenal bisa menampakkan diri di berbagai tempat dalam sekali waktu ketika masih hidup. Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung, pernah dikritik soal rumah tanpa pagar. Sebab itu tanda kesombongan. Guru kakek Sultan Agung itu adalah Sunan Kalijaga, yang pada masa mudanya adalah seorang perampok. Sebelum menjadi wali, ia suka bertapa di pinggir sungai. Dari situlah ia mendapat nama Kalijaga sebelum kemudian pergi ke Cirebon menyamar menjadi marbot masjid dan menemukan emas di kulah masjid. Apa yang kemudian ia lakukan? Saat bersemedi, jika diserang kantuk, ia mengambang menghanyutkan diri di sungai, sambil memegang obor dan seludang kelapa yang sudah kering. Ia memperoleh kesaktian berkat rajin bertapa itu. Karena kesaktiannya itu pula, obor yang ia bawa saat menghanyutkan diri di sungai, tetap menyala kendati terbenam di dalam air. Jangan salah sangka bahwa kegiatan bertapa itu selama 24 jam dalam sehari terus bersemedi. Tidak. Bertapa adalah hidup menyepi dari keramaian. Sehari-hari melakukan aktivitas biasa: makan, tidur, berkegiatan, shalat, dan sebagainya. Di sela kegiatan itu, ada kegiatan bersemedi. Sunan Kalijaga bersemedi di pinggir kali pada malam hari, sehingga ia kemudian mendapat nama Kalijaga. Semula ia adalah seorang pemuda yang hidupnya mengandalkan dari merampok. Nama kecilnya adalah Raden Said. Sebelum menjadi pertapa, Raden Said pernah mengadang Sunan Bonang di tengah jalan. “Aku sedang bekerja, pekerjaanku ialah menyamun,” kata dia sewaktu ditanya Sunan Bonang. Tak mau dirampok, Sunan Bonang lalu menyarankan Raden Said agar merampok orang yang lewat besok pagi. Sunan Bonang memberi tahu, besok pagi akan lewat seorang berpakaian hitam dengan bunga wura wari di telinga. Orang itulah yang pantas dirampok oleh Raden Said. Raden Said memenuhi saran Sunan Bonang, tapi tiga pagi berlalu tak juga lewat itu orang. Baru pada pagi keempat, orang dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Sunan Bonang itu melintas. Raden Said, yang kelak menjadi guru kakek Sultan Agung itu, pun mengadangnya. Tiba-tiba, orang itu menjadi empat, datang dari arah yang berbeda. Ketika Raden Said memandang ke timur, ke utara, ke barat ke sekatan, ia selalu terlihat sosok yang sama. Ia terduduk lemas. Lalu meminta ampun kepada empat sosok berpakaian hitam bersumping bunga wura-wari itu, lalu meminta izin dibolehkan menjadi muridnya, dan berhentik sebagai perampok. Orang sakti berpakaian hitam itu tak lain adalah otang yang empat lagi hari hendak dirampok Raden Said. Dialah Sunan Bonang. Sebelum menerima Raden Said sebagai muridnya, Sunan Bonang memberinya tombak pendek. Ia meminta Raden Said menjaganya selama ia pergi. Kepada Raden Said –yang kelak menjadi guru kakek Sultan Agung, Sunan Bonang mengatakan, jika Raden Said bersungguh-sungguh hendak berguru, ia tidak boleh pergi dari tempat itu. Raden Said menyanggupi. Tapi Sunan Bonang tidak pergi dalam satu-dua hari lalu kembali. Sunan Bonang baru kembali setahun kemudian. Tempat Raden Said menjaga tombak pendek pemberiannya sudah berubah menjadi hutan. Sunan Bonang mengucapkan sesuatu, pepohonan itu lenyap dari pandangannya, dan terlihat Raden Said sedang menjaga tombaknya. Tapi, Sunan Bonang tidak menyapa Raden Said. Ia segera pergi lagi, baru setahun kemudian datang lagi. Raden Said tetap masih ada di lokasi menjaga tombak pendek. Raden Said benar-benar teguh memegang amanah Sunan Bonang. Sunan Bonang pun menerimanya sebagai murid. Ia mengajari Raden Said ilmu tentang cara berbakti kepada Sang Pencipta. Setelah cukup, Sunan Bonang meminta Raden Said pergi. Raden Said pun pergi mencari tempat untuk bertapa. Selama setahun ia menjadi pertapa di pinggir kali. Ia selalu bersemedi tiap malam. Ia akan menceburkan diri ke kali jika kantuk menyerang. Ia kemudian dikenal sebagai Kalijaga. Selesai bertapa, guru kakek Sultan Agung itu pergi ke Cirebon dengan cara menyamar. Ia menjadi marbot masjid, yang bertugas mengisi kulah masjid. Kulah adalah bak air yang volumenya memenuhi syarat untuk bersuci. Kulah berasal dari bahasa Arab, qullah. Arti kulah, menurut KBBI: ukuran banyaknya air yang menggenang yang dapat digunakan untuk mencuci dan berwudu (dua kulah ialah banyaknya air yang menurut ukuran 1,25 hasta panjang, lebar, dan tinggi). Arti pertama di KBBI adalah: tempat menyimpan air yang dibuat dari batu; bak air. Sunan Gunungjati sangat kagum pada ketekunan marbot itu. Suatu malam, saat kulah sudah kosong, Sunan Gunungjati mengisinya dengan emas. Menjelang Subuh, Sang Marbot kaget ketika hendak mengisi kulah, ternyata kulahnya penuh dengan emas. Ia lalu memakai emas itu untuk melapisi dasar kulah. Saat Sunan Gunungjati hendak mengambil wudhu, ia melihat emasnya sudah dipakai untuk dasar kulah. Ia pun berkesimpulan bahwa marbot itu adalah Sunan Kalijaga. Dan akhirnya Sunan Gunungjati mengambilnya sebagai menantu. (jeha) Baca juga :

Read More

Ketika Sultan Agung Menjatuhkan Hukuman Mati kepada Panglima Penyerbuan Batavia

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Raja Mataram menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Suro Agul-agul. Panglima penyerbuan Batavia itu telah melakukan kesalahan besar karena salah menjalankan perintah raja. Dalam penyerbuan Batavia, Suro Agul-agul membawahkan Adipati Pekalongan Mandurorejo dan adik Adipati Pekalongan, Adipati Upo Sonto. Dua saudara kakak-beradik ini memiliki hubungan dekat dengan Raja Mataram Sultan Agung. Tapi, kedua kakak-beradik itu mendapat putusan hukuman mati dari Suro Agul-agul atas nama raja, karena dianggap telah gagal dalam perang di Batavia. Raja Mataram Sultan Agung sebenarnya memerintahkan Suro Agul-agul menjatuhkan hukuman kepada pasukan Mandurorejo, bukan kepada Mandurorejo. Mandurorejo membawa anak cucu dan penduduknya di wilayah pesisir untuk menyerbu Batavia. Iajuga membawa meriam Mataram. ”Tetapi perasaanku mengatakan meskipun menang perang, aku tidak pulang. Pasti aku tidak pulang,” kata Mandurorejo kepada anak cucu. Ketika Mandurorejo berangkat ke Batavia, ia berharap Batavia sudah hampir ditaklukkan oleh Tumenggung Baurekso yang datang terlebih dulu. Dengan begitu, Mandurorejo berharap tinggal menyita barang-barang Kompeni setibanya di Batavia. Tetapi cerita berjalan lain. Tumenggung Baurekso meninggal dan pasukannya kalah dalam peperangan di luar benteng. Pada 21 Oktober 1628, 2.866 prajurit Kompeni menyerang kemah-kemah pasukan Mataram untuk kedua kalinya. Kemah-kemah itu ada di luar benteng, yang hanya bisa dijangkau oleh Kompeni menggunakan kapal menyusuri Kali Ciliwung. Mereka menyerang dari arah sungai dan darat, mengerahkan kapal-kapal yang setiap kapal memuat 150 prajurit. Kapal-kapal itu menyusuri Kali Ciliwung untuk mencapai kemah-kemah Mataram. Kemah Tumenggung Baurekso diserang pada kesempatan kedua, dalam pertarungan jarak dekat. Sebanyak 200 tentara Mataram gugur, termasuk Tumenggung Baurekso dan putranya. Kemah-kemah Mataram di Marunda juga diserbu Kompeni. Kompeni hanya kehilangan 60 prajurit, tetapi sebanyak 140 prajurit kehilangan senjata karena direbut oleh orang-orang Mataram. Mataram mengalami kerugian lebih besar. Dari 200 kapal yang dibawa orang-orang Mataram, setelah serbuan itu tinggal 50 kapal. Kekalahan ini membuat Mandurorejo memikirkan siasat membendung Kali Ciliwung. Sebanyak 3.000 anak buahnya ia kerahkan untuk membendungnya agar kapal-kapal Kompeni tidak bisa melintasinya lagi. Pekerjaan membendung Kali Ciliwung membuat anak buah Mandurorejo kehabisan tenaga. Setok pangan juga semakin menipis. Baru berjalan sebulan, pembendungan Kali Ciliwung dihentikan karena orang-orang Mataram semakin kelaparan. Maka, dengan kekuataan seadanya, Mandurorejo mencoba melakukan serangan. Itu menjadi satu-satunya serangan yang dilakukan Mandurorejo, yaitu pada 27 November 1628. Ada 400 prajurit yang dikerahkan dalam dua gelombang serangan. Dalam perang ini, Adipati Mandujrorejo sempat mengalami luka-luka. Banyak anggota pasukannya yang gugur dan banyak pula yang melarikan diri. Dalam keadaan patah semangat, datang Panembahan Puruboyo yang mendapat tugas dari Raja Mataram Sultan Agung. Dengan kesaktiannya, Panembahan Puruboyo berhasil membuat tembok benteng Batavia retak, sehingga anak buah Manduroejo bisa masuk ke dalam benteng. Setelah memberi bantuan, Panembahan Puruboyo kembali ke Mataram. Ia melaporkan kondisi Mandurorejo yang cedera. Mendapat kabar itu, Sultan Agung meminta Mandurorejo menarik pasukannya pulang dan beristirajat di Kaliwungu. Tapi Mandurorejo diberangkatkan ke Kaliwungu sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Panglima penyerbuan Batavia Tumenggung Suro Agul-agul telah membunuhnya lewat putusan hukuman mati bersama anggota pasukan Mandurorejo. Ada yang dipancung, ditusuk keris, dan sebagainya. “Pada 1 Desember Tumenggung Suro Agul-agul memerintahkan mengikat Mandurorejo dan Upo Sonto berikut anak buahnya dan melalui pengadilan dan atas perintah Raja Mataram dihukum mati karena Batavia tidak ditaklukkannya dan karena mereka tidak bertempur mati-matian,” tulis Dr HJ de Graaf. Ada 744 prajurit Mataram yang mendapat hukuman mati bersama Mandurorejo dan Upo Sonto. Mayatnya dibiarkan begitu saja ketika sisa-sisa prajurit Mataram pulang. Mereka meninggalkan Batavia pada 3 Desember 1628. Jenazah Mandurorejo dibawa ke Kaliwungu untuk dimakamkan di Kaliwungu, sesuai perintah awal Raja Mataram Sultan Agung kepada Mandurorejo. Tapi hukuman mati yang diterima Mandurorejo tak sesuai dengan keinginan Raja Mataram Sultan Agung. (jeha) Baca juga :

Read More