Sejarah Pemegang Juru Kunci Ka’bah

Makkah — 1miliarsantri.net : Ka’bah sebagai kiblat umat Islam sedunia. Sangat wajar jika setiap muslim memiliki niatan baik dan cita-cita yang mulia untuk menggenapkan rukun Islam dengan melakukan haji atau setidaknya melaksanakan umrah. Pembahasan ini akan berbicara tentang salah satu bagian penting dari Ka’bah yang mungkin jarang diketahui banyak orang, yaitu tentang kunci Ka’bah. Lalu bagaimana sejarah, spesifikasi dan siapakah para penggenggam amanah sebagai juru kunci Ka’bah itu ? Sebagaimana kunci dan pintu pada umumnya, asal mula kunci Ka’bah selalu berkaitan erat dengan pintu Ka’bah yang bisa dibuka dan ditutup seperti yang tampak hari ini. Sedangkan secara pasti, belum ada satupun sumber yang secara rinci menyebut kapankah awal mulanya Ka’bah memiliki pintu dan kunci. Akan tetapi, keberadaan kunci Ka’bah ini diketahui ada sejak era Daulah Abbasiyah, dan masih ada hingga hari ini. Di era Abbasiyah, kunci Ka’bah terbuat dari besi dengan ukiran emas atau perak di atas gembok dan kuncinya. Begitu halnya yang ditemukan di era-era selanjutnya, seperti era Mamluk dan era Daulah Utsmaniyyah, dengan mutu ukiran yang semakin meningkat, terukir dalam gembok dan kunci tersebut ayat-ayat Al-Quran, nama penguasa masa itu dan nama pembuat ukiran. Di era Utsmaniyah, gembok dan kunci Ka’bah diketahui dibuat atas perintah dari Sultan Abdul Hamid Khan dengan angka tahun termaktub 1309 Hijriyah. Gembok dan kunci dengan ukiran nama sultan ini bertahan hingga hari ini. Kemudian di era Kerajaan Arab Saudi, Raja Khalid bin Abdul ‘Aziz memberikan perintah untuk mengganti pintu Ka’bah yang lama dengan yang lebih baru. Dengan tetap mempertahankan bentuk gembok dan kunci Ka’bah di era Sultan Abdul Hamid Khan. Ada sekitar 48 kunci Ka’bah sejak era Utsmaniyyah hingga sekarang, sebagian terbuat dari emas murni. Spesifikasi Gembok Gembok Ka’bah terbuat dari besi dengan bentuk tabung hexagonal dengan enam sisi. Panjangnya 38 cm. dan lebar keenam sisinya 3 cm. Sehingga keliling sisi-sisinya adalah 18 cm. Enam sisi tersebut terlapisi dengan kuningan yang tipis dengan panjang kuningan sekitar 8 cm dan lebar sekitar 2 cm, pada masing-masing sisi kuningan tersebut (kecuali sisi keenam) terdapat ukiran tulisan dengan tipe khat tsuluts yang diukir dengan sangat indah dengan tulisan setiap sisinya sebagai berikut: Pada lembaran kuningan yang pertama tertulis: “Laa ilaha illa Allah, Muhammadu Rasulullah”, yang bermakna “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah”. Pada bagian kedua: “nashrun min Allah wa fathun qarib” dan “inna fatahna laka fathan mubiina” yang bermakna “kemenangan dari Allah, dan kemenangan itu dekat”, dan “Kami telah memberimu kemenangan yang besar”. Pada bagian ketiga: “Amara bihadzal qafli asy-syarifi Maulana al-Mu’adzham”, yang bermakna “Gembok kehormatan ini (dibuat) atas perintah yang mulia Sultan yang agung”. Pada bagian keempat: “al-Khaqan al-Afkham, as-Sulthan al-Ghazi ‘Abdul Hamid Khan” yang bermakna “Khaqan (julukan penguasa atau raja Turk dan Tartar) paling mulia, Sultan al-Ghazi (ksatria) Abdul Hamid Khan”. Pada bagian kelima: “Khalada Allahu mulkahu ila muntaha ad-dauran” yang bermakna “Semoga Allah menjadikan kerajaannya kekal sampai urutan terakhir”. Kunci Kunci gembok Ka’bah bentuknya panjang, menyerupai gagang lesung di kedua ujungnya dengan panjang kurang dari 40 cm. Kepalanya berbentuk lingkaran berdiameter 3,5 cm, dengan tebal 1 cm. Juru Kunci Ka’bah Para juru kunci Ka’bah diwariskan dalam satu keluarga turun temurun sejak 16 abad lebih, bahkan sejak masa sebelum Islam, yaitu keluarga Bani Syaibah, yang merupakan keturunan Qushay bin Kilab. Keluarga ini memiliki tugas untuk menyimpan kunci Ka’bah, dan membukanya dalam sebuah upacara pencucian Ka’bah yang dilaksanakan sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu pada setiap tanggal 1 Sya’ban dan 15 Muharram setiap tahunnya. Upacara pencucian Ka’bah dimulai dengan shalat Subuh berjama’ah di Masjidil Haram, lalu dilanjutkan dengan membuka pintu Ka’bah dan memasukinya kemudian berlanjut dengan membersihkan bagian dalam Ka’bah dengan air Zamzam dan air perasan bunga Mawar. Lalu dilanjutkan dengan dengan pembersihan bagian luarnya dengan air bercampur wewangian, dan ditutup dengan shalat seusai pencucian Ka’bah telah selesai. (dul) Baca juga :

Read More

Masjid Qiblatain, Saksi Awal Mula Perubahan Arah Kiblat ke Ka’bah

Madinah — 1miliarsantri.net : Kota Madinah sangat kaya dengan situs bersejarah yang sering dikunjungi jamaah umrah dan haji, maupun penduduk Arab Saudi. Kota ini mengingatkan mereka akan sejarah Nabi Muhammad Saw dan penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Salah satu situs di Madinah adalah Masjid Qiblatain. Masjid ini terletak sekitar 7 km di sebelah timur laut Masjid Nabawi dan menjadi tempat ziarah penting bagi umat Islam. Awalnya, masjid ini dikenal dengan nama Masjid Bani Salamah, karena dibangun di bekas rumah Bani Salamah. Masjid Qiblatain adalah masjid yang memiliki dua kiblat. Qiblatain artinya dua kiblat. Kiblat pertama yang menghadap ke Masjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis (Palestina), dan kiblat kedua yang menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah. Masjid ini dibangun oleh Sawad bin Ghanam bin Kaab pada tahun kedua hijriah, tempat ini secara historis menjadi penting bagi umat Islam karena di sanalah turunnya wahyu Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk mengubah arah kiblat. Menurut Prof Dr KH Aswadi MAg, Konsultan Ibadah PPIH Daker Madinah, hal itu terjadi pada bulan Syakban, ketika Nabi Muhammad SAW memimpin para sahabatnya saat salat Zuhur, kemudian diturunkan wahyu untuk menghadap ke arah Ka’bah. Ketika sudah salat dua rakaat, turunlah wahyu yang memerintahkan untuk mengubah arah kiblat, maka Nabi langsung melakukan, sesegera mungkin untuk melakukan perubahan itu. “Karena itu merupakan perintah langsung di rakaat kedua atau dua rakaat bagian yang kedua. Dan langsung baginda Rasul itu mengalihkan kiblatnya itu dari Baitul Maqdis ke Ka’bah Baitullah. Ini kemudian diikuti oleh semua jema’ah,” katanya. Menurut Aswadi, ada perbedaan pendapat mengenai waktu perpindahan arah kiblat tersebut. “Itu tahun ke-2 Hijriah. Jadi, sebagian mufassir menyatakan bahwa itu terjadi di bulan Syakban. Ada yang mengatakan di bulan Rajab. Ada yang mengatakan itu adalah hari Senin. Ada yang mengatakan itu hari Selasa. Ada yang mengatakan salat zuhur, ada yang mengatakan salat Asar,” ujar guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menyatakan bahwa itu terjadi saat Salat Zuhur. “Pendapat yang paling tepat adalah salat yang dikerjakan di Bani Salamah pada saat meninggalnya Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur adalah Salat Zuhur. Sedangkan, salat yang pertama kali dikerjakan di Masjid Nabawi dengan menghadap Ka’bah adalah Salat Asar.” Kisah perpindahan arah kiblat ini bermula ketika Nabi Muhammad mengunjungi ibu dari Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur dari Bani Salamah yang ditinggal mati keluarganya. Kemudian tibalah waktu salat. Nabi pun salat bersama para sahabat di sana. Dua rakaat pertama masih menghadap Baitul Maqdis, sampai akhirnya Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pemindahan arah kiblat. Wahyu datang ketika baru saja menyelesaikan rakaat kedua. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Allah dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144). Begitu menerima wahyu ini, Rasul langsung berpindah 180 derajat, diikuti oleh semua jemaah menghadap Masjidil Haram. Pada awalnya, kata Aswadi, kiblat salat untuk semua nabi adalah Baitullah di Makkah, seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 96: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” Sedangkan Al-Quds (Baitul Maqdis) ditetapkan sebagai kiblat untuk sebagian dari para nabi dari Bani Israil. Dari Madinah, Baitul Maqdis berada di sebelah utara, sedangkan Baitullah di bagian selatan. Ketika masih di Makkah, Nabi salat menghadap Baitul Maqdis, juga sekaligus menghadap Ka’bah. Nabi menghadap ke utara, di mana posisi Ka’bah searah dengan Baitul Maqdis. Perubahan arah kiblat sendiri sudah diinginkan Nabi, karena selama di Makkah beliau salat menghadap ke Baitul Maqdis, bahkan sampai di Madinah pun, beliau masih menghadap ke sana lebih dari setahun. Namun, beliau terus memohon, mencari kepastian dan berharap agar kiblat dipindahkan ke Ka’bah, sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 144, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.” Masjid Al-Qiblatain sudah mengalami beberapa kali pemugaran hingga renovasi. Awalnya masjid ini dikelola oleh Khalifah Umar ibn al-Khatt?b. Lalu direnovasi dan dibangun kembali ketika Kesultanan Usmani berkuasa. Pada 1987 Pemerintah Kerajaan Arab Saudi di bawah Raja Fahd pernah memperluasnya, merenovasi dan membangun dengan konstruksi baru, tetapi tidak menghilangkan ciri khas masjid tersebut. Di bagian luar, arsitektur masjid terinspirasi dari elemen dan motif tradisional sehingga menampakkan citra otentik sebuah situs bersejarah. Ruang salat mengadopsi geometri dan simetri ortogonal yang ditonjolkan dengan menara kembar dan kubah kembar. Kubah utama yang menunjukkan arah kiblat yang benar dan kubah kedua hanya dijadikan sebagai pengingat sejarah. Ada garis silang kecil yang menunjukkan transisi perpindahan arah kiblat. Masjid Qiblatain awalnya memang memiliki dua arah mihrab yang menonjol yang umumnya digunakan oleh Imam salat, ke arah Makkah dan Palestina. Usai renovasi, Masjid Qiblatain dibangun dengan memfokuskan satu mihrab yang menghadap ka’bah di Makkah, sedangkan penanda kiblat lama yang ke Baitul Maqdis dipasang di atas pintu masuk ke ruang salat. Desainnya merupakan reproduksi mihrab Sulaimani seperti di ruang bawah kubah sakhrah (kubah batu) di Yerusalem mengingatkan kepada mihrab Islam tertua yang masih ada. (dul) Baca juga :

Read More

Bung Karno Lebih Memilih Membaca Al Qur’an Ketika Diancam Ditembak Mati

Surabaya — 1miliarsantri.net : Tangisan Bung Karno di pangkuan ibunya setelah memulangkan anak Tjokroaminoto, tidak seberapa. Masih kalah jauh dengan tangisan Karno dan istrinya saat tahu Bung Karno akan ditembak mati Belanda. Bung Karno mengangis tersedu-sedu bersama istrinya. Hari itu Bung Karno sudah ditahan di sebuah rumah di Brastagi, Sumatra. Istri Bung Karno, Musiah, sedang memasak serundeng ketika tentara Belanda masuk ke dapur. Mengetahui serundeng itu untuk Bung Karno, tentara itu berkata, “Heh, buat apa engkau membikin serundeng untuk Sukarno? Apakah engkau tidak tahu bahwa Sukarno besok pagi akan ditembak mati?” kata tentara Belanda itu. Setelah mendengar itu, Masiah lalu menemui Bung Karno. Lalu memeluk lutut Bung Karno dan menangis tersedu-sedu. “Kena apa engkau berdua menangis tersedu-sedu sambil memeluk-meluk lututku?” tanya Bung Karno. Masih pun lalu menceritakan kejadian di dapur saat ia didatangi tentara Belanda. Tentara Belanda itu sedang menunggu perintah resmi dari Medan untuk menghukum mati Bung Karno. “Besok pagi Sukarno akan kami tembak mati,” kata tentara Belanda itu. Bung Karno ditahan di Brastagi setelah Belanda merebut Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Pada 22 Desember 1948, Bung Karno diterbangkan k eMedan dengan pesawat B25. Dari Medan ia kemudian dibawa ke Brastagi. Sebuah rumah yang dikelilingi pagar kawat berduri disiapkan untuknya. Di rumah itu ada dua suami istri yang ditugaskan untuk menyiapkan makanan untuk Bung Karno dan kawan-kawan. Nama suami istri itu Karno dan Musiah. “Yang laki namanya seperti nama saya,” kata Bung Karno. “Karno dan Musiah adalah orang-orang yang datangnya, atau asalnya dari Pacitan,” lanjut Bung Karno. “Saudara-saudara bisa menggambarkan bagaimana keadaanku pada saat itu. Dikatakan oleh Musiah dan Karno bahwa besok pagi aku akan ditembak mati,” kata Bung Karno. Bung Karno lalu berdoa. “Ya Allah ya Robi, kalau memang itu telah dikehendaki oleh Tuhan, yah apa boleh buat.” Ia ingin menenangkan hati agar siap ditembak mati Belanda, jika memang takdirnya demikian. Bung Karno kemudian mengambil air wudlu. “Sesudah sembahyang, aku mengambil kitab Quran, Quran yang aku bawa dari Yogyakarta,” kata Bung Karno. Sebelum membuka Alquran itu, Bung Karno berharap dibukakan pada halaman yang memberikan petunjuk untuk mengatasi masalah yang sedang ia hadapi. Barulah ia membukanya. Ia baca terjemahnya. Quran itu dilengkapi terjemahan dalam bahasa Belanda. “Waarom zult gij den mes geloven waar ik kenner ben van alle dingen…,” kata Bung Karno membaca ayat di halaman yang ia buka. Artinya: Kenapa engkau percaya omongan manusia? Aku inilah yang Maha Mengetahui. Setelah membaca ayat itu, Bung Karno mengaku tiak gentar lagi. Tegak lagi jiwanya. Ia membatin, boleh saja tentara Belanda itu berkata Bung Karno akan ditembak mati. tapi bisa saja rencana itu urung, karena Allah mempunyai kehendak lain. “Saudara-saudara, Saudara melihat bahwa keesokan harinya saya tidak ditembak mati dan sampai sekarang, pada mala mini, bukan tahun 1948, tetapi tahun 1961, Alhamdulillan Sukarno masih hidup. Sukarno malahan berdiri di hadapan saudara-saudara,” kata Bung Karno pada Peringatan Nuzulul Quran di Istana Negara pada 6 Maret 1961. Kejadian di Brastagi itu, kata Bung Karno, semakin mempertebal keyakinannya kepada Allah dan Nabi Muhammad dengan mukjizat Alqurannya. Dengan keyakinan itulah, ia merasa apa yang telah direncanakan makhluknya, seperti dirinya yang akan ditembak mati Belanda, bisa saja tidak terlaksana jika Allah memiliki kehendak lain. (jeha) Baca juga :

Read More

Ketika Sultan Agung Serbu Batavia, Hingga Gubernur Jenderal Meninggal Dunia

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Boleh saja Sultan Agung kalah dalam perang melawan Kompeni. Namun patut diakui, perang itu telah membuat Gubernur Jenderal Kompeni JP Coen kalah. Ketika untuk kedua kalinya Sultan Agung menyerbu Batavia pada 1829, Gubernur Jenderal JP Coen jatuh sakit. Alih-alih berobat, JP Coen malah memimpin perang melawan tentara Mataram. Akibatnya, sakit Gubernur Jenderal JP Coen semakin parah. “Pada tanggal 20 September 1829 mendadak sakit parah dan akhirnya meninggal,” kata L van Rijckevorsel, direktur Normaalschool Ambarawa. Andai Sultan Agung tidak menyerbu Batavia saat itu, JP Coen tentu memiliki waktu untuk berobat dan beristirahat. Serbuan Sultan AGung membuat gubernur jenderal itu tidak mendapatkan perawatan memadai. Takdir berkata lain. Kalah dalam perang 1828 tak membuat Sultan Agung berhenti, hingga pada 1829 ia mengirim pasukan lagi ke Batavia. Pasukan pertama berangkat dari Ukur, dipimpin oleh Adipati Ukur pada Mei 1829. Dari Mataram, pasukan dipimpin oleh Penambahan Juminah pada Juni 1829. Pada 21 Agustus 1829, pasukan Adipati Ukur meghalau ternak milik Kompeni untuk mengacau perhatian Kompeni agar bisa selamat mendekati Batavia. Pada 31 Agustus, pasukan di bawah Panembahan Juminah juga mendekati Batavia. Mereka berkemah di sebelah barat, selatan, dan timur Batavia. Sebelum mereka tiba di sekitar Batavia, JP Coen sudah mendapat bocoran mengenai pasukan Mataram yang ini dari Raja Cirebon. Mendapat informasi Mataram akan menyerbu Batavia lagi, Gubernur Jenderal Kompeni itu kemudian juga menyiapkan diri, kendati ia sedang sakit. Tapi persiapan JP Coen ini “terganggu” oleh kedatangan Warga, utusan Sultan Agung dari Tegal. Pada 20 Juni 1829, ketika Panembahan Juminah bersama pasukananya berangkat dari Mataram, Warga sudah tiba di Batavia. Bersama Warga, ada orang tawanan yang dibawa Warga. Warga juga membocorkan informasi bahwa Sultan AGung akan menyerbu lagi Batavia. Warga juga menceritakan bahwa Tegal akan dijadikan pusat gudang perbekalan pasukan Mataram. Gubernur Jenderal JP Coen pun mengubah prioritas tindakan. Ia mengirim tiga kapal ke Tegal. Pada 4 Juli 1829 kapal-kapal Kompeni itu memusnahkan 200 kapal Sultan Agung. Kompeni juga aturun ke darat untuk memakar 400 rumah dan satu gunungan padi. Dari Tegal, tiga kapal dari Batavia itu bergerak ke Cirebon. Gunungan padi di Cirebon juga dimusnahkan oleh Kompeni. Tak ada laporan prajurit Sultan Agung yang meninggal di Cirebond dan Tegal. Maka, persiapan gudang perbekalan Mataram pun hancur. Hal itu membuat pasukan di Mataram tidak mendapatkan pasokan bekal ketika mereka mulai kehabisan bekal. Akibatnya, pasukan Mataram yang sudah berkemah di pinggiran Batavia hanya mampu bertahan selama sebulan. Pada 8 September 1829, pasukan Sultan Agung sudah mendekati benteng Hollandia di sebelah selatan Batavia. Tapi, Kompeni berhasil merusak parit-parit perlindungan yang dibuat pasukan Mataram. Ketika pada 12 September 1829 pasukan Mataram menyerbu benteng Bommel, pasukan Kompeni bisa memukul mundur mereka. Pada 17 September 1829 Kompeni menyergap pasukan Sultan Agung itu. Itu dilakukan setelah Gubernur Jenderal JP Coen melakukan inspeksi. Benteng pertahanan yang dibuat pasukan Mataram dari bambu dan kayu dibakar oleh pasukan Kompeni. Beruntung, hujan menyelamatkan pasukan Mataram. Namun, Gubernur Jenderal JP Coen tidak selamat. Tiga hari kemudian ia meninggal dunia. Pasukan Mataram untuk pertama kalinya melepaskan tembakan meriam pada 21 September 1829, sehari setelah JP Coen meninggal dunia. Tiga hari sebelumnya, Gubernur Jenderal JP Coen menginspeksi pertahanan pasukan Mataram. Saat itu, pasukan Mataram sudah menyiapkan meriam-meriamnya. Tapi, JP Coen tak bisa melanjutkan peperangan. “Pada tanggal 20 malam hari, ia mendadak sakit dan pada malam itu ia meninggal dunia pada jam satu,” tulis Dr HJ de Graaf. Pada pengepungan-pengepungan awal, pasukan Sultan Agung telah membakar gereja yang ada di selatan Batavia. Akibatnya, Gubernur Jenderal JP Coen tak bisa disemayamkan di gereja, melainkan di Balai Kota. (jeha) Baca juga :

Read More

Beberapa Makanan Kesukaan Sunan Kalijogo yang Masih Melegenda

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Garang asem merupakan salah satu menu masakan yang sangat disuka oleh Sunan Kalijaga. Tapi bukan garang asem daging ayam, melainkan garang asem daging kerbau. Bisa terbayang, Sunan Kalijaga yang pernah berdakwah pada abad ke-15 menyukai makanan garang asem tersebut. Artinya masakan seperti sup bernama garang asem itu sudah berumur berabad-abad. Hingga kini menu tradisional Jawa ini biasanya disajikan saat rangkaian prosesi penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga, terdapat makanan yang selalu tersaji di Pendopo Pangeran Wijil V, Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. Makanan tersebut dinamakan caus dahar, yang berisi garang asem tersebut. “Biasanya syukuran dilakukan setelah penjamasan bertujuan sebagai bentuk rasa syukur (ahli waris), karena telah melaksanakan tugasnya (penjamasan) yang berjalan dengan lancar,” terang Pelaksana Tugas Penjamasan Peninggalan Pusaka Sunan Kalijaga, Raden Krisnaedi, di Pendopo Pangeran Wijil V, di Kadilangu, Demak kepada 1miliarsantri.net, Selasa (28/5/2024). Seperti diketahui, ahli waris Sunan Kalijaga rutin menggelar prosesi penjamasan atau mencuci pusaka peninggalan Sunan Kalijaga dengan minyak jamas, setiap 10 Dzuhijah atau Hari Raya Idul Adha. Krisnaedi menyebutkan, selain garang asem, makanan kesukaan Sunan Kalijaga yang selalu ada usai prosesi penjamasan, dan makanan jenis lain. Seperti rasulan, atau nasi gurih. Bahan dari caus dahar tersebut, lanjutnya, yakni terdiri dari mengkudu, gereh petek (ikan asin), lele, sambel goreng, nasi dan sayur-sayuran lain. “Caus dahar ini merupakan karemenan atau kesukaan Eyang Sunan Kalijaga,” imbuhnya. Sementara salah satu kerabat, Vika Liansari mengatakan, ia mengambil nasi kuning dan caus dahar. Ia mengaku supaya mendapatkan keberkahan dari Sunan Kalijaga. “Supaya mendapat keberkahan dari Eyang Sunan Kalijaga. Dulu kan makanan kesukaannya (Sunan Kalijaga),” jelas Vika sambil mengambil makanan beberapa menu makanan caus dahar. Vika menambahkan, makanan caus dahar tersebut tidak sembarang orang yang membuat. Ia menyebut, yang memasak harus suci dari hadas. “Yang membuat atau memasak (caus dahar) tidak sembarang orang. Harus suci dari hadas,” pungkasnya. (jeha) Baca juga :

Read More

Ketika Danau Tiberias Kekeringan

Yordan — 1miliarsantri.net : Danau Tiberias dan Thabariyah yang mengering dikaitkan dengan kemunculan Yajuj dan Majuj . Pasalnya keringnya danau Tiberias disinyalir sebagai akan datangnya Yajuj dan Majuj sebagai tanda akhir zaman atau kiamat. Seperti dituliskan dalam dari Researchgate, faktanya, penyedot air di Danau Tiberias saat ini adalah Israel. Sejak tahun 1964 air danau sudah dieksploitasi secara besaran oleh perusahaan nasional Israel HaMovil haArtzi. Air danau Tiberias dialirkan ke seluruh penjuru Israel melalui pipa raksasa, pemompaan dengan skala besar, kanal dan danau buatan. Rata-rata per hari dikuras 1,7 juta m3 air dari danau itu atau 400 juta m3 per tahun. Danau Tiberias sebelumnya berada di wilayah Palestina. Tapi saat ini, telah diklaim Israel sebagai bagian wilayahnya. Danau ini pun berganti menjadi beberapa nama, yaitu Danau Galilea, Danau Genesaret, Danau Kineret, Danau Kinerot, dan disebut juga sebagai Danau Tiberias. Berbeda dengan danau laut mati atau Dead Sea yang berada di sebelah selatan danau ini, Danau Thabariyah berair tawar. Sementara, danau laut mati berair asin. Israel menjadikan danau ini sebagai suplai air minum mereka. Memiliki luas 166 km persegi. Kedalaman danau ini mencapai 43 meter. Menariknya, danau ini berada pada 211 meter di bawah permukaan laut. Karena itulah, dijuluki danau air tawar terendah di dunia. Sebagian sumber air di danau ini berasal dari mata air bawah tanah. Dan sumber utama aliran air ke danau ini adalah dari sungai Yordan yang mengalir dari utara ke selatan. Air danau Tiberias bukan hanya tawar dan segar. Tapi juga hangat. Tidak heran jika di danau ini berkembang banyak flora dan fauna. Jika dilihat dari volume normal danau ini yang akhirnya habis diminum oleh rombongan Yajuj dan Majuj, bisa dibayangkan berapa banyak jumlah Yajuj dan Majuj yang akan datang di akhir zaman itu. (luk) Baca juga :

Read More

Kisah Bung Karno Ngaku Pelagak

Jakarta — 1miliarsantri.net : Hari ulang tahun pertama Angkatan Perang akan dilakukan pada 5 Oktober 1946. Perencanaannya penuh gegap gempita. Bung Karno sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang akan melakukan inspeksi pasukan dengana cara yang megah dan mengagumkan dengan naik kuda. Padahal ia tak pernah naik kuda. Mengaku sebagai pelagak, ia akan menunjukkan hal yang layak dilakukan oleh pelagak. “Untuk pawai besok berilah saya kuda yang paling lunak, paling tua, paling jinak dan yang hampir mendekati kematiannya,” perintah Bung Karno kepada seorang perwira kavaleri. Di rumah, Fatmawati pun terheran-heran mendengar keinginan Bung Karno itu. Tentu saja, karena ia belum pernah melihat Bung Karno naik kuda. Maka, kita pun layak heran. Sebab yang sering kita lihat di foto-foto adalah Bung Karno sedang naik sepeda ontel. Baik itu naik sepeda sendirian maupun berdua bersama Fatmawati yangduduk di boncengan belakang. Kenapa inspeksi pasukan tidak menggunakan sepeda saja? Tidak. Bung karno ingin upacara peringatan Angkatan Perang itu bernagsung secara medah dan menganggumkan. Naik sepeda tidak memperlihatkan kemegahan yang ia inginkan. Maka, naik kuda menjadi pilihan utama. “Jadi bagaimana caranya?” tanya Fatmawati. “Aku hendak menghadapi kenyataan bahwa aku orang pelagak. Karena itu aku hendak melakukan apa yang diperbuat oleh orang yang pelagak. Aku akan belajar naik kuda,” kata Bung Karno. “Kan pawainya besok?” sahut Fatmawati. “Ya, saya akan belajar dalam satu hari,” jawab Bung Karno. Seorang perwira kavaleri melatih Bung Karno naik kuda. Tetapi ketika perwira itu tidak setuju Bung Karno naik kuda tua, Bung Karno yang pelagak itu menjadi grogi. “Tidak, Pak. Tidak pantas untuk Bapak. Kuda yang disediakan harus yang muda dan garang,” kata perwira itu. Sang perwira memiliki alasan kuat. Angkatan Perang harus memiliki semangat tempur. “Dia harus memperlihatkan semangat tempur yang menyala-nyala dan kuda yanag terbaik dari seluruh kelompok,” kata perwira itu. Bung Karno layak gugup mendengar pe njelasan perwira itu, karena ia memang berlum pernah naik kuda. “Di masa yang sudah-sudah, pergaulanku dengan kuda hanya sekadar menepuk-nepuk kuduknya saja,” kata Bung Karno. Bung Karno semakin grogi karena ia mendapat informasi bahwa kuda yang akan ia naiki belum pernah berbaris mengikuti irama musik. Kuda itu hanya dilatih sehari penuh untuk siap mengikuti upacara dan dinaiki Bung Karno. Seusai berlatih naik kuda, Bung Karno mendapat pijatan darfi Fatmawati. Ia mengeluh badannya pegal-pegal. “Fat, rupanya kuda itu tidak dilatih untuk tahu bahwa Presiden yang akan menunggangnya,” kata Bung Karno. “Nanti kuberitahu pelatihnya, kuda-kuda itu harus diberi pelajaran mengenal penunggangnya. Presiden, meneri, atau jenderal,” jawab Fatmawati yang disusul dengan tawa ringan. Hari-H tiba. Terompet telah dititup, genderang telah dipukul berderam-deram. Bung Karno menaiki kuda untuk memulai pawai. “Binatang itu berjalan mengikuti irama musik. Ia menjadi liar,” kata Bung Karno. Untung, Bung Karno yang sudah naik kuda itu bisa segera mengatasi situasi. Itu terjadi saat ia melihat pasukan yang berbaris rapi. “Datanglah sifatku yang congkak. Sorak-sorai dan teriakan gembira dari rakyat yang berjejal-jejal di lapangan pawai menghidupkan semangat,” kata Bung Karno yang mengaku sebagai seorang pelagak. Ia lalu menggunakan pergelangan kakinya untuk mengendalikan kudanya, seperti yang diajarkan oleh perwira kavaleri. Kuda itu menurut perintah Bung Karno, berjalan dengan langkah yang tenang dan teratur di depan pasukan Angkatan Perang. “Dan kuda yang bagus itu tak pernah menyadari bahwa tuannya lebih gentar menghadapi peristiwa itu daripada binatang itu sendiri,” kata Bung Karno. (yan) Baca juga :

Read More

Sejarah Pertama Kali Haji Dilaksanakan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Haji adalah ibadah yang diwajibkan kepada setiap umat Islam yang mampu menjalankannya. Siapa yang pertama kali menunaikan ibadah haji? Berikut beberapa pendapat mengenai hal tersebut. Perintah melakukan haji dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 97. Allah SWT berfirman, فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًاۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًاۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ Artinya: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” Menukil buku Menuju Umrah dan Haji Mabrur karya Syaiful Alim, pendapat mengenai sejarah pelaksanaan haji dapat dirujuk dari kitab As-Sirah an-Nabawiyyah fi Dhau-i al-Mashadir al-Ashliyah karya Mahdi Rizqullah Ahmad, Akhbar Makkah wa Ma Ja’ala min al-Atsar karya Muhammad bin Abdullah al-Azraqi, dan Tarikh Makkah al-Mukarramah Qadiman wa Haditsan karya Muhammad Ilyas Abdul Ghani. Sejarah Haji Dimulai dari MalaikatDikisahkan bahwa sejarah haji dimulai ketika para malaikat menggugat kebijakan-Nya dalam menciptakan manusia. Hal ini tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30. وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” Pada akhirnya, malaikat merasa bersalah. Mereka mengelilingi Arsy (tawaf) seraya menangis dan memohon ampun atas kelancangan kepada-Nya. Allah SWT pun membuat miniatur Arsy bernama Baitul Makmur (Ka’bah). Di tempat ini, para malaikat melanjutkan tawaf. Nabi Adam AS Melakukan Haji Mengikuti MalaikatDikisahkan pula bahwa setelah Nabi Adam AS dan Hawa diturunkan ke bumi, mereka segera bertobat dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas RA, Nabi Adam AS juga melakukan tawaf. Melihat Nabi Adam AS yang tengah melakukan tawaf, para malaikat menemuinya seraya berkata, “Semoga hajimu mabrur, wahai Adam. Sesungguhnya kami telah melaksanakan ibadah haji di Baitullah ini sejak 2.000 tahun sebelum kamu.” Nabi Adam AS pun bertanya kepada para malaikat, “Pada zaman dahulu, apa yang kalian baca ketika tawaf?” Mereka menjawab, “Dahulu, kami mengucapkan Subhaanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar.” Nabi Adam AS berkata, “Tambahkanlah dengan ucapan walaa hawla walaa quwwata illa billah.” Lalu, para malaikat mengikuti saran Nabi Adam AS tersebut. Nabi Ibrahim AS Menyerukan Perintah HajiKetika terjadi banjir pada masa Nabi Nuh AS, Allah SWT mengangkat Ka’bah kembali ke langit agar tidak dicemari dosa penduduk bumi. Nabi Ibrahim AS menelusuri jejaknya dan membangun Ka’bah yang baru, tetapi dengan fondasi dari Ka’bah yang lama. Hal ini diriwayatkan Qatadah sebagaimana dinukil al-Umari. Diceritakan dalam Tarikh Ka’bah karya Ali Husni al-Kharbuthli yang diterjemahkan Fuad Ibn Rusyd, setelah selesai membangun Ka’bah, Nabi Ibrahim AS mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyerukan perintah ibadah haji kepada manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 27. Allah SWT berfirman, وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْق Artinya: “(Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” Imam ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa setelah mendapat perintah tersebut Nabi Ibrahim AS berkata, “Wahai Tuhanku, suaraku tidak mampu memanggil hingga jauh.” Allah SWT menjawab, “Serulah! Aku yang akan menyampaikan.” Nabi Ibrahim AS pun menyeru, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah mewajibkan atas kamu haji ke Baitullah.” Ternyata, seluruh makhluk yang ada di bumi dan langit mendengar seruan Nabi Ibrahim AS tersebut. Imam ath-Thabari juga menceritakan bahwa setelah itu Jibril datang menemui Nabi Ibrahim AS pada hari Tarwiyah (8 Zulhijjah) dan melakukan rangkaian ibadah haji bersamanya. (rid) Baca juga :

Read More

Sosok RA Kartini yang Memiliki Hobi Gemar Membaca

Jepara — 1miliarsantri.net : RA Kartini salah satu tokoh pejuang dsn pergerakan emansipasi wanita memiliki hobi gemar membaca. Banyak buku yang sudah ia baca, tetapi ia menolak untuk membaca buku karya PJ Veth. Padahal buku karya etnolog Belanda itu mendapat penghargaan dari Kongres Geografi di Paris pada 1873. Lalu mendapat penghargaan lagi dari Kongres Geografi di Venesia pada 1881. Selain itu, Yayasan Thorbecke juga memberi penghargaan pada 1882. Buku itu, Java, terdiri dari tiga jilid terbit sejak 1875 hingga 1882. Tapi, begitu ia menemukan buku yang ia suka, ia akan membaca buku itu tanpa jeda dengan cara mengurung diri di kamar. Alasannya tentu bukan karena buku itu berbahasa Belanda, sebab RA Kartini cukup mahir berbahasa Belanda. Ia, misalnya, membaca buku De Wapens Neergelegd karya Bertha von Suttner yang pada 1905 menerima Nobel. Buku itu berbicara tentang perjuangan memenangkan perdamaian sosial. RA Kartini memang menyukai tema-tema sosialisme. Karenanya, ia juga membaca buku roman berjudul De Vrouw en het Socialisme karya August Bebel. Ia bahkan pernah mengurung diri di kamar untuk menuntaskan membaca buku roman setebal 567 halaman tanpa jeda. Roman itu berbicara tentang emansipasi perempuan, judulnya Hilda van Suylenburg, karya C Goekoop de Jong. Bahkan ia sampai mengulang membaca hingga tiga kali. “Mau aku mengorbankan segala-galanya kalau saja diperoleh hidup di masa Hilda van Suylenburg,” tulis Kartini 25 Mei 1899. Buku bertema emansipasi perempuan yang pertama ia baca ya Hilda van Suylenburg itu. Ia kagum pada dampak gerakan emansipasi perempuan di Eropa yang digambarkan buku itu. “Percayakah kau, kalau Hilda van Suylenburg itu aku tamatkan tanpa berhenti? Aku kurung diriku di dalam kamar terkunci, lupa segala-galanya, tak dapat aku melepaskan dia dari tangan, dia begitu menyeret hatiku,” tulis Kartini pada 12 Januari 1900. Setelah RA Kartini menikah, ia mengutarakan niatnya melakukan sesuatu ala Hilda van Suylenburg. Sebelumnya ia juga telah membaca buku Moderne Vrouwen terjemahan dalam bahasa Belanda dari buku Prancis. Namun, ia tidak menyukai buku itu. Ia kembali ke buku Hilda van Suylenburg. “Sekarang kami akan melakukan sesuatu ala Hilda van Suylenburg: seorang ibu dengan bayi dalam gendongan pergi bekerja,” tulis Kartini pada 8 Juni 1904. Menyukai karya-karya Barat, bukan berarti RA Kartini tidak menyukai buku yang membahas mengenai Jawa. Ia membaca Wedhatama dan Centhini, sehingga mendapat wawasan mengenai nilai-niai Jawa. Ia juga membaca buku-buku hikayat wayang. Ia pun membaca buku-buku Multatuli. Setelah menuntaskan Max Havelaar, RA Kartini lalu membaca Minnebrieven, yang diterbitkan setelah Max Havelaar. Ia membaca dua kali Minnebrieven. Dari karya Multatuli inilah muncul kesadaran kuat RA Kartini untuk membela pribumi. Ada kalimat yang ia sukai dari buku karya Multatuli, yaitu: “Tugas manusia adalah memanusiakan manusia”. Dan “Bertambah orang Jawa bekerja, bertambah banyak laba didapat oleh mereka (pembesar-pembesar dan sebagainya), oleh pemerintah, oleh nasion”. Lalu mengapa ia tak suka buku Java karya PJ Veth? Ia kecewa dengan isi buku itu yang menurutnya membahas sisi negatif orang Jawa. Ia menolak untuk membaca buku yang menimbulkan kekecewaan. Buku-buku yang ia baca adalah buku-buku yang memunculkan kesadaran baru. Bukan berarti semua buku Barat bagus. Tidak. Buktinya, ia tidak suka dengan pandangan dalam buku Moderne Vrouwen. Ini buku Prancis yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu. RA Kartini mendapat kecocokan pemikiran dalam buku Moderne Maagden karya Marcel Prevost. Ini juga buku Prancis yang telah diterbikan dalam bahasa Belanda. “Karena penemuan-penemuan kembali banyak hal yang memang telah aku pikirkan, rasakan, dan alami,” tulis Kartini 23 pada Agustus 1900. RA Kartini juga cukup antusias membaca sejarah Revolusi Prancis, selain sejarah Yunani dan Romawi. Ia menjalankan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan dalam kehidupannya sehari-hari. Hasil dari membaca buku sejarah Prancis, RA Kartini menjalankan prinsip bebebasan, persamaan, dan persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Tentang ini, ia pernah bercerita lewat suratnya tertanggal 18 Agustus 1899. Ia juga menyukai buku Buddhisme karya Fielding. Juga menyukai biografi Pundita Ramabai. Ramabai Sarasvati meruoakan pembaharu sosial di India dan belum menikah ketika berusia 22 tahun. (her) Baca juga :

Read More

Ketika Bung Karno Memulangkan Istri Pertamanya, Putri HOS Cokroaminoto

Surabaya — 1miliarsantri.net : Ketika bersekolah di HBS Surabaya, Bung Karno tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto. Pemimpin Sarekat Islam itu pun kemudian menjodohkan anaknya, Siti Utari, dengan Bung Karno. Lulus dari HBS, Bung karno melanjutkan sekolah di Technische Hoogeshool te Bandoeng (THB). Namun, setelah lulus dari THB mengapa ia ceraikan Siti Utari, istri pertamanya itu? Setelah memulangkan Siti Utari ke orang tuanya, Tjokroaminoto, Bung Karno pulang ke Blitar. Ia sungkem kepada ibunya sebelum mengutarakan isi hatinya, “Ibu, saya tidak beruntung.” Baru mengungkapkan satu kalimat, air matanya meleleh. Ibu Bung karno menjadi gusar, karena belum memahami maksud kalimat Bung Karno. “Ya anakku, kau kenapa? Bicaralah yang terang,” kata ibu Bung Karno. Lama Bung Karno tak menjawab pertanyaan ibunya. Dadanya membuncah. Ibunya terus mendesak, “Karno, bicaralah yang terang. Ibu tidak marah, ada apa?” “Utari sudah pulang kepada orangb tuanya,” jawab Bung Karno. “Oh, kenapa ia pulang? Apa kau kurang berharga untuknya?” tanya ibu Bung Karno. “Bukan begitu, Ibu. Hanya saya yang antarkan pulang,” jawa Bung Karno. “Apa ia bersalah?” “Tidak Ibu, jauh dari itu.” “Dan kenapa diantarkan pulang?” “Oh, buat keberuntungannya Utari sendiri,” jawab Bung Karno. “Oh, Kusno, engkau membuat aku jadi bingung. Tuturkanlah duduk perkaranya,” kata Ibu Bung Karno menyapanya dengan nama kecil anaknya, Kusno. Mendengar ibunya menyapanya dengan nama kecil, Bung Karno mengangkat kepalanya dari pangkuan ibunya. Setelah itu ia arahkan pandangannya ke luar jendela, lalu menarik napas panjang. Setelah mengatur hatinya, ia mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan perkataannya. Ia lalu menjelaskan kepada ibunya alasan ia ceraikan anak Tjokroaminoto, istri pertamanya. “Ibu, tentu Ibu tidak kejam untuk kemudian menyalahkan saya dalam hal ini,” kata Bung Karno. Ia lalu bercerita saat ia meminta restu kepada ibunya untuk menikahi Siti Utari. Ia menyatakan saat itu ia masih terlalu muda untuk memikirkan arti pernikahan. “Ibu, Utari juga tidka bisa disalahkan karena ia juga masih terlkalu muda,” kata Bung Karno. Tak ada yang salah dalam cinta mereka. Bung Karno mengaku sangat mencintai Utari kendati pernikahan itu karena dijodohkan oleh ayah Utara, Tjokroaminoto. Cinta itu juga masih ada ketika ia memulangkan Utari kepada orang tuanya.Demikian juga perasaan cinta Utari kepada Bung Karno, juga masih ada. “Tapi Ibu, semuanya itu bukanlah cinta sebagai suami istri. Hanya cinta sebagai cintanya orang yang bersaudara. Saya belum mengerti suatu apa ketika orang minta saya untuk menjadi suaminya Utari, cuma saya bergirang karena saya dan Utari akan menjadi teman hidup selamanya,” kata Bung Karno. Bung Karno dan Siti Utari menikah sebelum Bung karno bersekolah di Bandung. Sebelum memenuhi permintaan Tjokroaminoto, Bung Karno pulang ke Blitar, meminta pendapat dari orang tuanya. Terserah kepada engkau.” Demikian jawaban dari ayah dan ibu Bung Karno. Bung Karno pun menikah pada usia 17 tahun. Ia kemudian harus pindah ke Bandung, karena diterima di THB. Baru dua bulan di Bandung, ada kabar Tjokoraminoto ditangkap Belanda, Bung Karno pun keluar dari THB dan pulang ke Surabaya. Ia menjadi kepala rumah tangga Tjokoaminoro dengan bekerja sebagai juru tulis di Staats Spoor. Gajinya 265 gulden per bulan. Tetapi, enam bulan berikutnya, Bung Karno berselisih paham dengan ibu mertuanya, membuat Bung Karno kembali ke Bandung. Ia mendaftar lagi ke THB. Selama di Bandung, pergaulan politiknya bertambah. Ia sering bertukar pikian dengan Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Surjaningrat. Wawasannya bertambah dari tiga orang sekuler itu. Tapi hal itu justru membuat diriya berselisih dengan Tjokroaminoto, guru politik pertamanya, yang berpegang teguh pada Islam. Perselisihan kecil ini ternyata membawa pula akibat terhadap Siti Utari. Bung Karno lalu ceraikan Siti Utari, istri pertamanya. “Tapi siapa yang bisa menduga dan mengira, setelah saya bertambah umur saya memperoleh tambah keyakinan bahwa anara saya dan Romo Tjokron terdapat perbedaan azas dan paham dalam politik masyarakat pergerakan Indonesia,” kata Bung Karno kepada sang ibu. Ia telah memiliki keyakinan politik yang berbeda dengan keyakinan politik Tjokroaminoto. “Kemudian mendapat kesimpulan, tidaklah pantasn kalau dunia percaturan pergerakan politik ini nantinya akan menjadi berhadap-hadapan antara matu dan mertua. Tidak pantas, Ibu,” kata Bung Karno. Maka, Bung Karno memperkirakan Siti Utari akan lebih berpihak kepada ayahnya kepada suaminya. “Andaikata ia memilih berpihak kepada saya sebagai suaminya, saya juga sangat menyesal karena dengan demikian ia akan tercatat sebagai anak yang tidka berbakti kepada orang tuanya,” kata Bung Karno. Dengan keadaan rumah tangga seperti ini, Bung karno merasa tak bisa memiliki keluarga yang baik. “Harapan apakah yang akan kami peroleh dari anak-anak kami kemudian hari? Oleh karena itu, Ibu, saya menjadi bingung dan gelisah dan senantiasa diliputi kegala kesangsian,” kata Bung Karno. Jalan pemecahan yang didapat Bung Karno adalah: ia ceraikan anak Tjokroaminoto, Siti Utari, dengan baik-baik. Perpisahan itu itu diputuskan berdua dengan Utari. “Ibu, tidak disangka, kiranya bukan saya saja yang berpendapat demikian. Kiranya Utari pun berpendapat demikian juga. Ia pun mengetahui bahwa di antara saya dan Utari ada perpisahan jurang,” kata Bung Karno.(kur) Baca juga :

Read More