Ekonomi Hijau dan UMKM: Sinergi Baru untuk Pembangunan Berkelanjutan

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau semakin menjadi fokus utama di berbagai sektor. Di sisi lain, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, menghadapi tantangan sekaligus peluang baru untuk bertransformasi. Sinergi antara prinsip ekonomi hijau dan potensi UMKM bukan hanya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tetapi juga mendorong terciptanya model bisnis yang lebih ramah lingkungan, efisien, dan berdaya saing global. Isu ekonomi hijau semakin menjadi fokus utama dalam perencanaan pembangunan nasional. Indonesia yang tengah menghadapi tantangan perubahan iklim dan transisi energi, melihat ini sebagai peluang besar. Pemerintah Indonesia bersama berbagai pemangku kepentingan mendorong langkah konkret agar UMKM tidak tertinggal dalam arus transformasi ini. Mulai dari akses pembiayaan hijau, pelatihan teknologi ramah lingkungan, hingga integrasi dalam rantai pasok industri hijau menjadi strategi yang tengah dijalankan. UMKM sebagai Tulang Punggung Ekonomi Nasional UMKM selama ini dikenal sebagai pilar utama ekonomi Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan lebih dari 65 juta unit UMKM tersebar di seluruh nusantara dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga tidak kecil, mencapai lebih dari 60%. Namun, di tengah dominasi besar tersebut, UMKM menghadapi tantangan serius: keterbatasan akses teknologi, modal, dan pasar. Di sisi lain, tuntutan global untuk menerapkan prinsip ramah lingkungan semakin kuat. Pasar internasional, terutama Eropa dan Amerika, mulai menerapkan standar keberlanjutan yang ketat. Produk tanpa jejak karbon rendah atau tanpa praktik ramah lingkungan perlahan terpinggirkan. Dalam konteks inilah, transformasi ekonomi hijau menjadi kebutuhan mendesak. UMKM tidak bisa lagi sekadar memproduksi dengan cara lama. Mereka harus menyesuaikan diri agar tetap kompetitif dan bisa masuk dalam rantai pasok global. Langkah awal yang kini banyak dilakukan adalah edukasi dan literasi mengenai pentingnya produksi berkelanjutan. Misalnya, UMKM di sektor fesyen mulai beralih menggunakan bahan ramah lingkungan, seperti serat bambu atau kain daur ulang. UMKM makanan dan minuman juga mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, beralih ke kemasan biodegradable, dan menerapkan sistem produksi hemat energi. Dukungan Pemerintah dalam Akselerasi Ekonomi Hijau Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi perubahan besar ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa kali menegaskan pentingnya transisi hijau dalam pembangunan ekonomi nasional. Berbagai instrumen kebijakan keuangan diarahkan untuk mendukung pembiayaan hijau, termasuk bagi UMKM. Salah satu program yang digencarkan adalah green financing, di mana lembaga keuangan diberikan stimulus untuk menyalurkan kredit kepada pelaku usaha yang mengembangkan produk dan layanan ramah lingkungan. Misalnya, UMKM yang beralih menggunakan energi terbarukan, mendaur ulang limbah, atau menciptakan produk rendah emisi karbon bisa mendapatkan insentif khusus. Selain itu, pemerintah juga menjalin kerja sama dengan lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB), untuk memperluas dukungan pendanaan transisi hijau. Program pendampingan teknis juga disiapkan agar UMKM tidak hanya mendapatkan modal, tetapi juga pengetahuan dalam mengembangkan produk hijau yang berstandar global. Tak hanya soal pendanaan, dukungan regulasi juga menjadi hal penting. Pemerintah mendorong perizinan yang lebih cepat bagi UMKM hijau, memberikan insentif pajak, dan membuka jalur ekspor lebih mudah bagi produk ramah lingkungan. Contoh nyata dukungan ini dapat dilihat dari inisiatif pemerintah daerah yang mulai mengintegrasikan konsep hijau dalam program pengembangan UMKM lokal. Beberapa kota, seperti Surabaya dan Bandung, kini aktif mendorong UMKM kreatif yang berbasis daur ulang, energi terbarukan, dan produk ramah lingkungan untuk masuk ke pasar digital dan internasional. Sinergi Hijau: Membangun UMKM Tangguh dan Berkelanjutan Integrasi UMKM dengan konsep ekonomi hijau bukan sekadar tuntutan global, tetapi juga peluang besar bagi ketahanan ekonomi nasional. UMKM yang bertransformasi ke arah ekonomi hijau diyakini akan lebih tangguh menghadapi krisis. Mereka tidak hanya mengandalkan pasar domestik, tetapi juga bisa menembus pasar ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi. Sebagai contoh, produk fesyen ramah lingkungan dari Bali, kini mampu menembus pasar Eropa karena memenuhi standar keberlanjutan. Begitu pula produk kopi organik dari Jawa Barat yang mendapatkan harga premium di pasar global karena diproduksi dengan sistem ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain itu, konsep ekonomi hijau juga membantu UMKM mengurangi biaya produksi dalam jangka panjang. Dengan efisiensi energi, pengelolaan limbah yang baik, serta penggunaan bahan baku lokal yang berkelanjutan, UMKM bisa menekan biaya operasional. Hal ini membuat usaha mereka lebih efisien sekaligus ramah lingkungan. Namun, tantangan tetap ada. Banyak UMKM yang masih melihat transformasi hijau sebagai beban tambahan. Biaya awal untuk investasi teknologi hijau dianggap terlalu mahal, sementara literasi mengenai keberlanjutan masih rendah. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, dan masyarakat menjadi kunci utama. Keterlibatan generasi muda juga menjadi faktor penting. Kaum milenial dan Gen Z yang kini mendominasi pasar konsumen semakin sadar akan pentingnya produk ramah lingkungan. Mereka cenderung lebih memilih produk hijau meskipun dengan harga sedikit lebih tinggi. Tren ini memberikan peluang besar bagi UMKM untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar. Ke depan, jika transformasi ini berhasil, UMKM Indonesia bukan hanya menjadi motor ekonomi nasional, tetapi juga aktor penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dengan begitu, cita-cita Indonesia menuju net zero emission 2060 tidak sekadar wacana, melainkan bisa terwujud melalui langkah-langkah nyata di tingkat akar rumput. (***) Penulis: Glancy Verona Editor : Toto Budiman Foto by AI

Read More

Kopi Spesialti dan Industri Minuman Lokal yang Tumbuh Jadi Gaya Hidup

Malang – 1miliarsantri.net: Setiap pagi, Fulan selalu menyempatkan diri mampir ke sebuah kafe kecil dekat kosnya di Malang. Ia menyebutnya sebagai ritual KoPag (kopi pagi), yang bukan hanya untuk membuka mata, melainkan juga menjadi penanda hari dimulai dengan rasa akrab. Di kafe itu, ia mendapatkan lebih dari sekadar kopi spesialti, atmosfer hangat, obrolan ringan, dan identitas komunitas yang melekat kuat. Fenomena KoPag semacam ini kini menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup Gen Z, terutama di kota-kota yang sedang tumbuh sebagai pusat budaya baru, salah satunya Malang. Jika dulu minum kopi identik dengan generasi lebih tua yang menikmati kopi tubruk di warung sederhana, atau pelanggan tetap di gerai besar seperti Starbucks, kini tren tersebut berubah. Industri minuman lokal tumbuh jadi gaya hidup. Gen Z justru menghidupkan kembali semangat lokal dengan mendatangi kafe-kafe kecil, personal, dan dekat dengan komunitas. Bagi mereka, kopi spesialti bukan sekadar minuman, melainkan simbol identitas dan sikap. Tak heran jika nama besar seperti Starbucks mulai dijauhi, bahkan muncul kecenderungan boikot di kalangan anak muda yang ingin menunjukkan keberpihakan pada produk lokal. Malang sebagai Pusat Baru Kopi Spesialti Kota Malang kini perlahan membentuk reputasi sebagai salah satu pusat kopi spesialti di Indonesia. Ekosistemnya unik: kota mahasiswa dengan harga relatif terjangkau, komunitas kreatif yang berkembang pesat, serta atmosfer yang mendorong lahirnya kafe-kafe baru. Barista muda bermunculan dari kafe kecil, banyak di antaranya belajar otodidak atau bermodalkan semangat. Mereka membuktikan bahwa untuk menjadi barista andal tidak harus berasal dari sekolah perhotelan atau magang ke luar negeri. Fenomena ini mengingatkan pada kutipan dari film Ratatouille: “Semua orang bisa memasak.” Dalam dunia kopi, filosofi itu berubah menjadi: “Semua orang bisa bikin kopi.” Artinya, siapa pun bisa menjadi bagian dari ekosistem kopi spesialti, baik sebagai barista, pemilik kafe, maupun konsumen yang kritis terhadap rasa. Fulan dan Fulanah hanyalah contoh kecil. Dari pelanggan, mereka kemudian tertarik meracik sendiri kopi di rumah. Mulai dari membeli dripper murah, bereksperimen dengan biji lokal, hingga mengikuti workshop singkat. Beberapa bahkan kemudian bekerja paruh waktu di kafe, menciptakan lingkaran hidup baru di mana penikmat berubah menjadi pembuat, lalu kembali lagi sebagai bagian dari kultur yang terus berputar. Industri kopi lokal pun makin tersegmentasi. Ada kafe skena dengan musik indie dan suasana temaram, kafe cutesy dengan estetika pastel untuk nongkrong sekaligus berfoto, hingga kopitiam bernuansa nostalgia dengan menu sederhana namun autentik. Semuanya berdampingan, saling melengkapi, dan memperluas pilihan konsumen. Tren Kopi Spesialti sebagai Identitas Gen Z Kopi spesialti kini menjadi simbol gaya hidup generasi muda yang lebih kritis. Mereka tidak sekadar membeli minuman karena viral, tetapi juga memperhatikan asal-usul biji, proses penyeduhan, hingga narasi yang menyertainya. Cerita tentang petani kopi di lereng Gunung Bromo atau di Toraja bisa menjadi nilai tambah, membuat secangkir kopi terasa lebih bermakna. Menurut Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), konsumsi kopi domestik tumbuh sekitar 8 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Porsi terbesar justru datang dari generasi muda di kota besar. Pada 2023, industri kopi nasional diperkirakan bernilai lebih dari Rp15 triliun, dengan kontribusi signifikan dari jaringan kafe modern dan brand kopi grab-and-go. Angka ini memperlihatkan bahwa tren kopi spesialti bukan sekadar gaya hidup, melainkan juga motor penggerak ekonomi baru. Data terbaru bahkan menunjukkan geliat lebih besar. Ekspor kopi olahan Indonesia selama Januari–September 2024 mencapai USD 1,49 miliar (sekitar Rp23 triliun), naik hampir 30 persen dibanding tahun sebelumnya. Di sisi hulu, produksi kopi pada awal 2025 meningkat hingga 60 persen, menandakan pertumbuhan yang nyata. Dengan kata lain, industri kopi Indonesia bukan hanya soal gaya hidup urban, tetapi juga fondasi ekonomi yang menopang mata rantai dari petani hingga pemilik kafe. Kopi Lokal sebagai Motor Ekonomi dan Budaya Daya tarik kopi spesialti tidak bisa dilepaskan dari peran UMKM dan kafe kecil yang tumbuh di berbagai kota. Mereka membuka lapangan kerja baru, mendukung petani lokal, sekaligus memperkuat budaya konsumsi yang lebih sadar. Setiap cangkir yang dibeli dari kafe lokal berarti mendukung ekosistem yang lebih luas: petani di lereng gunung, pengrajin peralatan kopi, hingga kurir pengantar pesanan. Gen Z yang semakin sadar akan isu keberlanjutan melihat kopi sebagai ruang untuk mengekspresikan identitas sekaligus kepedulian sosial. Membeli kopi lokal bukan hanya tentang rasa, melainkan juga sikap: berpihak pada petani, mendukung usaha kecil, dan menolak dominasi merek besar yang dianggap hanya mengejar keuntungan. Industri kopi spesialti, dengan segala variasinya, kini menjadi refleksi perubahan mendasar dalam cara generasi muda membangun ruang sosial. Ritual minum kopi bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi juga sarana berbagi cerita, membangun jejaring, dan merayakan identitas komunitas. Dari sudut kafe kecil di Malang hingga ekspor kopi olahan bernilai miliaran dolar, wajah baru gaya hidup urban Indonesia terus terbentuk lewat aroma kopi. (**) Penulis: Faruq Ansori Editor: Toto Budiman dan Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Investasi Gen Z: Dari Saham hingga Aset Digital yang Jadi Identitas Baru

Surabaya – 1miliarsantri.net: Generasi Z hadir dengan cara pandang baru dalam mengelola uang. Jika dulu investasi identik dengan sesuatu yang rumit, eksklusif, dan hanya bisa diakses kalangan tertentu, kini justru menjadikan investasi Gen Z bagian dari gaya hidup. Dari saham, reksa dana, hingga aset digital seperti kripto dan NFT, pilihan instrumen investasi bukan sekadar soal mencari keuntungan, tetapi juga menjadi medium untuk menunjukkan identitas, nilai, dan aspirasi mereka. Di layar ponsel anak muda kota besar hari ini, bukan hal aneh jika aplikasi yang paling sering dibuka bukan lagi sekadar Instagram atau TikTok. Sebaliknya, nama-nama seperti Bibit, Stockbit, hingga aplikasi exchange kripto semakin menempati ruang utama. Gen Z tumbuh dalam ekosistem digital yang membuat informasi soal investasi jauh lebih mudah diakses dibanding generasi sebelumnya. Jika dahulu belajar saham identik dengan seminar berbiaya tinggi atau membaca koran bisnis, kini cukup sekali klik tersedia analisis, grafik, hingga rekomendasi produk investasi yang telah dipersonalisasi. Fenomena ini menjadi penanda pergeseran cara generasi muda memandang uang. Bagi banyak anak Gen Z, investasi bukan lagi sekadar aktivitas orang kaya atau kalangan profesional finansial. Aktivitas ini kini menjelma sebagai bagian dari gaya hidup sehari-hari, bahkan tak jarang dijadikan simbol status baru. Jika teman sebaya sudah rutin menyetor dana ke reksa dana pasar uang atau membeli saham bank digital, maka ada rasa tertinggal jika tidak ikut mencoba. Saham, Reksa Dana, hingga Kripto Jadi Pilihan Investasi Gen Z Populer Platform investasi digital seperti Bibit dan Stockbit memainkan peran besar dalam membentuk tren ini. Bibit, misalnya, hadir dengan tagline “Memudahkanmu Berinvestasi” melalui algoritma yang menyesuaikan rekomendasi produk dengan profil risiko pengguna. Sementara itu, Stockbit menggabungkan pasar saham dengan media sosial, memungkinkan penggunanya berdiskusi, berbagi rekomendasi, hingga membentuk komunitas investor muda yang aktif. Ekosistem digital inilah yang membuat investasi terasa lebih inklusif, tidak lagi berjarak, serta mampu menghilangkan kesan eksklusif yang sebelumnya melekat. Selain saham dan reksa dana, aset digital seperti kripto juga menjadi pintu masuk utama investasi bagi Gen Z. Meski tren NFT sempat meredup, kripto tetap bertahan sebagai instrumen dengan daya tarik tinggi. Volatilitas ekstrem, harga yang bisa melonjak tajam dalam semalam lalu anjlok keesokan harinya, menciptakan sensasi tersendiri. Bagi sebagian anak muda, risiko besar justru menjadi adrenalin tambahan, seolah-olah sedang bermain gim dengan uang nyata. Namun tidak semua yang masuk ke dunia ini benar-benar memahami risikonya. Di media sosial, konten tentang kripto atau forex kerap dikemas glamor dengan narasi “cepat kaya”. Padahal, peluang kerugian tak kalah besar dari potensi keuntungan. Tak sedikit cerita anak muda kehilangan tabungan hanya karena ikut-ikutan tanpa analisis mendalam. Fenomena ini mencerminkan paradoks investasi di era digital: informasi melimpah, tetapi kemampuan menyaring informasi kredibel masih menjadi tantangan besar. Identitas Digital dan Dinamika Sosial Baru Investasi kini bukan hanya soal angka atau keuntungan, melainkan juga menjadi bagian dari identitas digital generasi muda. Di X (dulunya Twitter) atau Instagram, portofolio saham kerap dipamerkan, hasil keuntungan dibagikan, dan diskusi seputar pilihan investasi berlangsung terbuka. Aktivitas ini melahirkan dinamika baru, di mana investasi tidak sekadar memiliki nilai ekonomi, melainkan juga fungsi sosial: medium eksistensi dan personal branding. Seperti outfit, playlist musik, atau hobi tertentu, portofolio investasi menjadi simbol gaya hidup yang ingin ditampilkan ke publik. Hal ini terlihat jelas dalam komunitas digital, di mana membicarakan saham pilihan atau tren kripto tertentu bisa menjadi cara anak muda menegaskan identitas sosialnya. Tokoh publik juga memberi warna dalam tren ini. Salah satunya Timothy Ronald, figur populer di kalangan Gen Z dengan konten viral di TikTok dan YouTube. Meski sering menuai kontroversi karena gaya bicaranya yang blak-blakan, ia berhasil menarik perhatian dengan mengajak generasi muda berpikir lebih kritis soal keuangan. Ucapannya yang menyebut orang “ngegym itu goblok” sempat menghebohkan publik, meski maksudnya adalah agar anak muda tidak hanya fokus pada fisik, melainkan juga membangun aset untuk masa depan. Cara komunikasi yang lugas ini justru relevan bagi Gen Z yang terbiasa dengan percakapan langsung tanpa basa-basi. Namun, tren ini juga menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah investasi yang diperlakukan sebagai gaya hidup benar-benar sehat? Dari satu sisi, keterlibatan Gen Z jelas positif karena menunjukkan literasi finansial yang semakin tinggi. Mereka tidak hanya memikirkan konsumsi, tetapi juga mencari cara menumbuhkan uang. Namun dari sisi lain, banyak yang terjun terlalu cepat tanpa bekal pemahaman mendalam, terutama dalam instrumen berisiko tinggi seperti kripto atau forex. Tantangan Literasi dan Arah Jangka Panjang Literasi keuangan sejati bukan sekadar tahu cara membuka akun atau menekan tombol beli. Ia menuntut pemahaman fundamental, mulai dari prinsip diversifikasi, membaca laporan keuangan, hingga mengenali pola scam yang kerap muncul dalam dunia digital. Tanpa pemahaman tersebut, investasi bisa menjelma perjudian modern yang berisiko menjerumuskan anak muda dalam kerugian besar. Gen Z tumbuh di era aplikasi, di mana kecepatan dan akses menjadi segalanya. Tak heran jika preferensi mereka lebih cair, mudah berpindah dari satu instrumen ke instrumen lain sesuai tren. Saham, reksa dana, kripto, bahkan forex hanyalah medium. Yang lebih penting adalah bagaimana generasi ini membangun kebiasaan berpikir jangka panjang. Ekonomi digital memang membuka peluang luas bagi Gen Z untuk mandiri secara finansial. Namun, peluang ini datang dengan tuntutan kedewasaan dalam pengambilan keputusan. Keberanian generasi muda untuk mencoba sudah terbukti, kini tantangannya adalah bagaimana mengasah ketajaman analisis agar investasi benar-benar menjadi jalan menuju kemandirian, bukan sekadar euforia sesaat. Pada akhirnya, perjalanan investasi Gen Z adalah refleksi dari zamannya, zaman yang serba cepat, penuh informasi, sekaligus penuh risiko. Jika mampu menyeimbangkan semangat bereksperimen dengan pemahaman mendalam, generasi ini berpeluang besar menjadi motor literasi keuangan baru di Indonesia. (**) Penulis: Faruq Ansori Editor: Toto Budiman dan Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Konsep Ekonomi Berbagi dan Solusi Masa Depan Kepemilikan di Perkotaan

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di kota-kota besar, ruang semakin sempit dan biaya hidup kian tinggi. Harga rumah terus melambung, kendaraan pribadi memicu kemacetan, sementara kepemilikan barang-barang tertentu sering kali tidak lagi sebanding dengan beban biaya yang harus ditanggung. Dalam situasi ini, lahirlah sebuah konsep yang perlahan mengubah cara pandang dan jadi solusi masa depan masyarakat terhadap kepemilikan: ekonomi berbagi. Konsep ini awalnya mudah dikenali melalui layanan transportasi daring atau penyewaan sepeda dan skuter listrik. Namun cakupannya jauh lebih luas: berbagi ruang kerja bersama, berbagi hunian sementara, hingga berbagi barang rumah tangga sederhana. Semua ini tumbuh sebagai respons atas meningkatnya kebutuhan hidup urban yang menuntut efisiensi. Dari Kepemilikan ke Akses: Gaya Hidup Baru Kaum Urban Ambil contoh Fulan, seorang pekerja di Jakarta. Tinggal di apartemen mungil tak jauh dari kantornya, ia dulu merasa harus memiliki motor pribadi demi mobilitas lancar. Namun setelah menghitung cicilan, bensin, parkir, dan biaya perawatan, ia sadar biaya itu lebih tinggi dibanding ongkos transportasi daring. Perlahan, ia memilih “akses” ketimbang “kepemilikan penuh”. Fenomena serupa terlihat pada hunian. Fulanah, seorang desainer grafis, memutuskan tinggal di co-living, ruang tinggal bersama dengan kamar privat kecil, tetapi dilengkapi fasilitas dapur dan ruang kerja komunal. Biayanya lebih terjangkau dan fasilitasnya lebih lengkap daripada jika ia harus menanggung semua sendirian. Dari sini terlihat, rumah bukan lagi sekadar aset pribadi, melainkan ruang hidup yang bisa dibagi sesuai kebutuhan. Pergeseran pola ini mencerminkan nilai baru di kota besar. Generasi muda semakin terbiasa dengan konsep berbagi karena lebih realistis secara finansial. Akses terhadap barang atau jasa kini lebih dihargai daripada kepemilikan itu sendiri. Dimensi Sosial dan Tantangan Ekonomi Berbagi Di balik efisiensi, ekonomi berbagi juga menumbuhkan lapisan sosial baru. Ruang kerja bersama menciptakan interaksi dan pertukaran ide antar pengguna, penghuni co-living sering kali saling menolong, bahkan penyewa sepeda listrik merasa menjadi bagian dari komunitas tertentu. Dengan cara ini, ekonomi berbagi bukan hanya soal menghemat biaya, tetapi juga membangun kebersamaan di tengah kota yang cenderung individualis. Namun, praktiknya tidak selalu seindah yang dibayangkan. Banyak tantangan yang muncul, mulai dari regulasi hingga keamanan. Misalnya, rumah-rumah yang dialihfungsikan menjadi homestay daring dalam jumlah besar dapat mendorong kenaikan harga sewa lokal. Di sisi lain, pekerja transportasi daring kerap terjebak dalam tarik ulur status: apakah mereka pekerja bebas atau karyawan tetap dengan hak penuh? Konsekuensinya, ekonomi berbagi kadang justru memperlihatkan sisi eksploitatif. Layanan yang awalnya dimaksudkan untuk inklusi berisiko menciptakan kesenjangan baru. Mereka yang memiliki akses digital akan lebih mudah memanfaatkan peluang, sementara kelompok yang tertinggal secara teknologi justru makin terpinggirkan. Kesenjangan ini bukan sekadar kaya dan miskin, tetapi antara mereka yang bisa masuk ke ekosistem digital dengan mereka yang tidak. Masa Depan Kepemilikan di Kota: Regulasi Jadi Penentu Arah perubahan tampak jelas: di kota dengan populasi padat, kepemilikan bukan lagi standar utama kesejahteraan. Yang lebih dihargai adalah akses. Bagi generasi muda, kepemilikan penuh atas rumah besar atau kendaraan pribadi tidak lagi menjadi prioritas. Mereka lebih rela membayar layanan sewa mobil sesekali daripada membeli, atau memilih co-living fleksibel daripada memaksakan kredit rumah besar. Mungkin inilah wajah baru perkotaan: masa depan di mana kata “akses” lebih akrab dibanding “milik”. Namun, pergeseran besar ini membutuhkan regulasi yang bijak. Pemerintah kota dan negara perlu hadir, bukan untuk menghambat inovasi, tetapi memastikan perlindungan konsumen dan pekerja, serta mencegah monopoli oleh segelintir perusahaan teknologi. Tanpa regulasi adil, ekonomi berbagi bisa menjadi bumerang: merugikan masyarakat, menekan pekerja, dan memperlebar kesenjangan sosial. Sebaliknya, dengan kebijakan tepat, ekonomi berbagi dapat menjadi jalan keluar atas mahalnya biaya hidup di kota besar. Pada akhirnya, ekonomi berbagi bukan sekadar tren sesaat, melainkan refleksi perubahan mendasar dalam cara hidup di perkotaan. Mungkin suatu hari, generasi berikutnya akan lebih akrab dengan berbagi akses ketimbang kepemilikan penuh. Dan di situlah wajah baru kota akan terbentuk, kota yang bertahan bukan karena siapa memiliki paling banyak, tetapi siapa yang paling cerdas memanfaatkan akses bersama. (**) Penulis: Faruq Ansori Editor: Toto Budiman dan Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Teknologi Finansial Kian Dominan, Yuk Melek Investasi Ala Muslim!

Indramayu – 1miliarsantri.net : Perkembangan teknologi finansial atau fintech semakin mendominasi dunia keuangan dan mengubah cara orang berinvestasi. Kini, investasi bukan lagi hal yang sulit atau hanya untuk kalangan tertentu.  Hanya dengan modal ponsel pintar, siapa saja bisa menanamkan dana di berbagai instrumen investasi. Namun, bagi umat Muslim, berinvestasi bukan hanya soal keuntungan materi. Islam mengajarkan bahwa harta harus dikelola secara halal, baik dari segi cara memperoleh, mengelola, hingga cara menggunakan keuntungan yang didapat. Investasi dalam ekonomi Islam memiliki prinsip yang sangat jelas. Menurut Trisno Wardy Putra (2018), investasi dibolehkan asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Artinya, tidak boleh mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian atau ketidakjelasan), dan maisir (judi atau spekulasi berlebihan). Investasi juga tidak boleh dilakukan dalam bisnis yang haram, seperti minuman keras, rokok, narkoba, prostitusi, ataupun produk-produk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dalam Islam, ada dua bentuk investasi yang populer, yakni mudharabah dan musyarakah. Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib), di mana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal kecuali terjadi kelalaian pengelola. Sementara musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih yang sama-sama menyetor modal, lalu berbagi untung rugi secara proporsional. Kedua bentuk ini menekankan keadilan, transparansi, dan kesepakatan bersama. Perkembangan Fintech di dunia investasi syariah Menariknya, perkembangan fintech membawa angin segar bagi investasi syariah. Penelitian Maulia Nurul dan R. Gratiyana Ningrat (2018) menunjukkan bahwa adopsi teknologi memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap dan niat masyarakat untuk membeli produk investasi syariah melalui fintech.  Banyak masyarakat, terutama generasi muda, merasa terbantu dengan kemudahan teknologi. Informasi bisa diakses lebih cepat, proses transaksi lebih praktis, dan biaya lebih efisien. Bahkan beberapa platform fintech syariah menawarkan modal investasi yang sangat terjangkau, sehingga masyarakat dengan penghasilan kecil sekalipun bisa mulai berinvestasi. Contoh nyata adalah platform equity crowdfunding syariah yang kini mulai berkembang di Indonesia. Melalui platform ini, investor bisa menanamkan dana pada bisnis-bisnis yang halal tanpa dikenakan bunga atau skema yang melanggar syariah. Sebaliknya, investor dan pemilik usaha akan berbagi keuntungan secara adil sesuai kesepakatan. Sistem seperti ini menjadi solusi pendanaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sering kesulitan mengakses perbankan konvensional. Namun, di balik kemudahan teknologi, ada pula tantangan yang harus diwaspadai. Masih banyak masyarakat yang belum benar-benar memahami prinsip-prinsip investasi syariah. Mereka sering kali tergiur oleh tawaran investasi dengan imbal hasil tinggi tanpa memeriksa kehalalan akad atau legalitas platform yang digunakan. Akibatnya, kasus investasi bodong semakin marak, bahkan sering mengatasnamakan syariah untuk menarik kepercayaan masyarakat. Trisno Wardy Putra (2018) menegaskan bahwa masyarakat perlu memahami secara mendalam prinsip investasi dalam Islam agar tidak terjebak pada skema yang dilarang syariat. Selain memastikan kehalalan produk dan akad, investor juga harus selektif memilih mitra bisnis atau platform investasi. Pengelola dana harus orang-orang yang memiliki keahlian, amanah, dan integritas tinggi. Dalam penelitian Maulia Nurul dan R. Gratiyana Ningrat (2018), terungkap pula bahwa persepsi masyarakat terhadap manfaat dan kemudahan teknologi sangat berpengaruh terhadap minat mereka berinvestasi. Masyarakat menganggap fintech mempermudah mereka memperoleh informasi, melakukan transaksi dengan cepat, dan lebih efisien dari segi biaya. Namun, penelitian itu juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih mengalami kesulitan mempelajari cara kerja fintech, terutama generasi yang belum terbiasa dengan teknologi. Oleh sebab itu, edukasi menjadi hal yang sangat penting. Masyarakat perlu dibekali pemahaman tentang bagaimana cara kerja fintech syariah, apa saja akad yang digunakan, dan bagaimana memilih platform yang aman. Selain itu, literasi digital juga harus ditingkatkan agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam penipuan berbasis digital. Beberapa tips sederhana yang bisa dilakukan calon investor Muslim agar aman berinvestasi lewat fintech syariah antara lain selalu memeriksa kehalalan produk investasi, memahami akad yang digunakan, memastikan platform telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta memeriksa apakah platform memiliki fatwa atau izin dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Jangan mudah tergiur imbal hasil tinggi yang tidak masuk akal, karena dalam Islam, prinsip kehati-hatian sangat diutamakan. Investasi syariah lewat fintech sebenarnya memiliki potensi besar untuk membantu pemerataan ekonomi. Tidak hanya bagi mereka yang memiliki modal besar, tetapi juga untuk masyarakat kecil yang ingin menambah penghasilan secara halal. Asalkan dilakukan sesuai aturan syariah dan penuh kehati-hatian, investasi tidak hanya mendatangkan keuntungan materi, tetapi juga keberkahan dan ketenangan hati. Inilah makna sejati investasi dalam perspektif Islam: bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. (***) Sumber: Kontributor : Durotul Hikmah Editor : Toto Budiman Foto by AI

Read More

Bagaimana Perlindungan Dana Nasabah di Tengah Transformasi Bank BUMN?

Situbondo – 1miliarsantri.net : Menyimpan uang di bank telah menjadi bagian yang penting dari kehidupan saat ini. Tapi di balik kenyamanan itu, mungkin kita bertanya-tanya soal keamanan dan jaminan dana yang kita simpan. Apalagi sekarang, dunia perbankan Indonesia sedang mengalami transformasi besar dengan munculnya nama Danantara, entitas yang akan menaungi bank-bank BUMN dan perusahaan keuangan milik negara lainnya. Di tengah perubahan ini bermunculan pertanyaan yang terkait tentang bagaimana perlindungan dana nasabah. Bukan cuma soal teknis dan hukum, tapi juga soal keyakinan. Banyak dari kita ingin memastikan apakah sistem keuangan yang kita gunakan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah seperti maysir (judi) dan gharar (ketidakjelasan). Nah, pertanyaannya sekarang, gimana sebenarnya mekanisme perlindungan dana nasabah di bawah sistem bank BUMN, dan apakah ada potensi unsur maysir atau gharar di dalamnya? Mengapa Perlindungan Dana Nasabah Jadi Isu Penting di Era Danantara? Kita mulai dari dasar dulu ya. Danantara dibentuk untuk menyatukan dan memperkuat peran lembaga keuangan milik negara. Berbagai lembaga keuangan seperti Bank BUMN dan perusahaan asuransi akan berada dalam satu payung besar agar lebih efisien dan solid menghadapi tantangan zaman. Tentu saja, ini adalah langkah besar yang membawa harapan baru. Tapi sebagai nasabah tentunya kita juga ingin mengetahui apakah dana kita tetap aman atau tidak! Sejauh ini perlindungan dana nasabah diatur secara ketat oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang menjamin simpanan hingga Rp. 2M per nasabah dan per bank. Jadi selama kita menyimpan uang di bank yang resmi dan terdaftar, maka tabungan kita akan tetap terjamin meskipun bank mengalami masalah nantinya. Hal ini berlaku juga untuk bank BUMN yang masuk dalam struktur Danantara. Selain itu, pengawasan dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) juga memperkuat perlindungan ini. Pastinya OJK sudah mengatur prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dana masyarakat, termasuk juga pengelolaan risiko dan transparansi informasi. Jadi, secara sistem dana nasabah tetap berada dalam posisi yang relatif aman, walaupun struktur organisasi bank akan berubah. Apakah Ada Unsur Maysir dan Gharar dalam Sistem Perbankan BUMN? Nah, ini bagian yang menarik. Bagi kamu yang peduli pada prinsip-prinsip syariah, tentunya ingin memastikan bahwa dana yang kamu simpan dan aliran transaksi yang dilakukan tidak mengandung praktik haram seperti maysir dan gharar. Maysir, atau unsur perjudian, biasanya muncul dalam praktik yang penuh spekulasi dan untung-untungan. Sementara gharar merujuk pada unsur ketidakjelasan dalam kontrak atau transaksi. Dalam konteks ini, pertanyaannya apakah ada praktik seperti itu dalam sistem bank BUMN? Secara umum, bank BUMN konvensional memang tidak menggunakan prinsip syariah sebagai dasar operasional. Tetapi kita punya pilihan, karena banyak dari bank BUMN kini memiliki unit usaha syariah. Contohnya, Bank Mandiri Syariah yang kini menjadi bagian dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Di sinilah kita bisa memilih jalur keuangan yang sesuai syariat terbebas dari unsur maysir dan gharar. Kalau kita bicara soal perlindungan dana, LPS sendiri juga sudah mengatur jaminan untuk simpanan di bank syariah. Bahkan, ada unit khusus bernama LPS Syariah yang memastikan bahwa prinsip-prinsip Islam tetap dipegang dalam sistem jaminan tersebut. Sementara dalam bank konvensional, selama dana nasabah tidak digunakan untuk kegiatan berisiko tinggi atau tidak transparan, maka unsur gharar bisa diminimalisir. Peraturan perbankan di Indonesia cukup ketat dalam hal ini, sehingga peluang terjadinya transaksi yang tidak jelas sangat kecil. Danantara sebagai entitas baru tentu dituntut untuk menjaga kepercayaan. Apalagi jika tujuan besarnya adalah untuk menyatukan kekuatan keuangan negara, maka keamanan dan transparansi dana masyarakat harus menjadi fondasi utama. Dan yang lebih penting, akses terhadap sistem keuangan syariah harus tetap tersedia dan dilindungi. Transformasi besar seperti Danantara memang membawa harapan baru, tapi pastinya juga menyisakan banyak pertanyaan. Yang pasti, kita sebagai nasabah tetap punya hak untuk mendapatkan perlindungan dana nasabah yang aman, transparan, dan sesuai nilai yang kita yakini. Mau kamu memilih bank konvensional atau syariah, sistem di Indonesia sudah menyiapkan landasan hukum dan teknis untuk menjamin dana kita tetap aman. Semoga ke depannya, sistem keuangan kita semakin inklusif, amanah, dan tetap menjaga prinsip-prinsip yang kita yakini bersama.(***) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman dan  Glancy Verona Foto by AI

Read More