Panggilan Jiwa: Jadilah Pemandu Lapenkop, Pejuang Koperasi Indonesia

Gresik – 1miliarsantri.net: Lembaga Pendidikan Perkoperasian (Lapenkop) merupakan wadah pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang Koperasi. Lapenkop hadir sebagai bentuk nyata komitmen untuk mencetak kader-kader koperasi yang profesional, berintegritas, dan mampu menjawab tantangan zaman. Sejarah Lapenkop tidak bisa dilepaskan dari Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), organisasi gerakan koperasi yang menjadi wadah tunggal perjuangan koperasi di tanah air. Sejak berdirinya, Lapenkop dibentuk oleh Dekopin sebagai “sekolah kader koperasi”, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap para insan koperasi agar mampu membawa koperasi menjadi sokoguru perekonomian nasional sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. Menjadi pemandu Lapenkop bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Para pemandu adalah pejuang koperasi yang bertugas menyalakan semangat gotong royong, mengajarkan prinsip-prinsip koperasi, serta mendampingi masyarakat dalam mewujudkan kemandirian ekonomi berbasis kekeluargaan. Berikut 1miliarsantri.net menyajikan cuitan M. Faishol Chusni “Sang Pemandu Koperasi.” Panggilan Jiwa: Jadilah Pemandu Lapenkop, Pejuang Koperasi Indonesia Teringat betul…Tahun 2004, seorang senior Kopma IAIN Jogjakarta mengajak ikut Pelatihan Pemandu Dasar (PPD) 1 Lapenkop.Dalam hati aku pikir, “Ah, soal koperasi, aku sudah paham. Aku ini anggota Kopma.” Tapi ternyata, pelatihan itu membuka mata dan hati.Ilmu yang kupikir sudah cukup, ternyata baru permukaan.Yang kudapat jauh lebih dari sekadar teori—aku menemukan makna, arah, dan panggilan perjuangan. Dan momen 4 hari itu ternyata menjadi langkah hidupku. Di PPD 1, kami bukan hanya belajar…Kami ditempa.Kami disatukan.Kami dibentuk menjadi saudara seperjuangan.Bukan karena asal yang sama, tapi karena tujuan yang sama:membangun Indonesia lewat koperasi. Dan yang menakjubkan, sejak hari itu…Di mana pun aku bertemu pemandu—di kota mana pun, di pelosok mana pun—kami langsung terhubung.Tanpa harus kenal sebelumnya, ada ikatan kuat di antara kami.Ini bukan pekerjaan. Ini adalah keluarga. Ini adalah jalan juang. Menjadi Pemandu Lapenkop bukan hanya tentang fasilitasi.Ini tentang hadir di tengah masyarakat,menjadi lentera di saat mereka buta arah,menjadi tangan yang menggandeng, bukan sekadar menunjuk jalan. Pemandu adalah kekuatan senyap tapi nyata di balik gerakan koperasi.Pasukan tempur edukasi milik DEKOPIN yang siap diterjunkan kapan saja,di mana saja, saat negeri ini memanggil. Lapenkop adalah rumah para pemandu koperasi, rumah kita—lembaga teknis resmi DEKOPIN.Dan hanya pemandu bersertifikat yang bisa mengelolanya.Karena kami percaya, perubahan besar hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar paham, benar-benar berjuang, dan benar-benar punya jiwa. Jika kamu merasa terpanggil… Bukan karena ingin gelar.Bukan karena ingin jabatan.Tapi karena hatimu ingin bermanfaat, ingin mengabdi, ingin membawa terang bagi banyak orang… Maka jadilah Pemandu Lapenkop. Bukan sekadar profesi.Ini adalah jalan hidup.Jalan untuk tumbuh bersama, berjuang bersama,dan meraih sejahtera bersama. Kalau kamu siap, kami menunggumu.Saudara seperjuanganmu menunggumu.Indonesia menunggumu. Mari jadi Pemandu. Mari jadi Pejuang. Bersama Lapenkop. Bersama Koperasi. Bersama Rakyat. Bergabung Menjadi Pemandu Koperasi bersama Lapenkopwil Jatim pada Sekolah Pemandu Pelatihan Pemandu Dasar (PPD) 1 Banyuwangi 5 – 7 September 2025. ** Kini, di tengah tantangan globalisasi dan digitalisasi, kehadiran pemandu Lapenkop semakin relevan. Mereka menjadi motor penggerak perubahan, agar Koperasi Indonesia tetap eksis, berdaya saing, dan mampu menjadi pilar utama kesejahteraan rakyat. Lapenkop dan Dekopin terus membuka ruang bagi siapa pun yang terpanggil untuk mengabdi. Sebab, menjadi pemandu Lapenkop berarti ikut serta dalam perjuangan besar: membangun ekonomi bangsa melalui koperasi, dari, oleh, dan untuk rakyat. Gresik, 21 Agustus 2025 Penulis : M. Faishol Chusni (Sang Pemandu Koperasi) Penulis dikenal dan disapa dengan panggil akrab “Coach Moh Faishol Chusni aktif dalam gerakan Koperasi, dengan jabatan : Kepala Lapenkop Wil Jatim. Dia juga seorang Praktisi Organizational Masterplan Development dan Konsultan & Trainer Koperasi dan UMKM Nasional. Foto : Istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Indonesia Sedang Sakit: Garuda Harus Kembali Terbang Tinggi, Menjaga Langit Nusantara Dengah Gagah Perkasa

Jakarta – 1miliarsantri.net: Republik Indonesia memasuki usia ke-80. Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan besar, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Layaknya seorang manusia, bangsa ini bisa dikatakan sedang “sakit”. Korupsi masih menjadi penyakit menahun di Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi terus melebar, dan arus deras globalisasi kerap menggerus identitas serta jati diri bangsa. Namun, sejarah mengajarkan bahwa setiap kali Indonesia diuji, selalu ada semangat kebangkitan yang muncul. Garuda—simbol negara—tak boleh selamanya terpuruk. Garuda harus kembali mengepakkan sayapnya, terbang tinggi, dan menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Indonesia Harus Sembuh, Indonesia Harus Bangkit, dan Garuda Harus Kembali Mengangkasa. Garuda, lambang kebesaran Nusantara, seharusnya terbang tinggi menembus cakrawala, mengepakkan sayapnya dengan gagah sebagai simbol kejayaan bangsa. Namun kini, Garuda itu tampak terikat rantai, dipaksa tunduk, tak berdaya. Bukan karena musuh dari luar, bukan karena badai dari negeri asing, melainkan karena ulah tikus-tikus berdasi yang rakus, yang lahir dan tumbuh dari rahim bangsa ini sendiri. Tikus-tikus itu bukan sembarang tikus. Mereka berdasi, berjas, berpenampilan rapi. Mereka menebar senyum di layar kaca, berpidato lantang tentang rakyat, tentang bangsa, tentang kesejahteraan. Tetapi di balik kata-kata manis itu, mereka menggerogoti dari dalam: anggaran dikorupsi, proyek dipelintir, hukum diperdagangkan, kekuasaan dipakai untuk mengisi perut sendiri. Mereka tak peduli bahwa rakyat kecil menjerit karena harga yang kian melambung. Mereka tak peduli bahwa petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil berjuang setengah mati hanya untuk sesuap nasi. Mereka tak peduli anak bangsa putus sekolah, rumah sakit penuh pasien miskin yang tak mampu bayar. Yang mereka pedulikan hanya satu: menambah pundi-pundi harta, menumpuk kekayaan, memperlebar singgasana kekuasaan. IRONI NEGERI KAYA Inilah ironi negeri yang kaya raya. Indonesia yang mestinya berdiri tegak sebagai bangsa besar, kini tertatih karena tikus-tikus berdasi merajalela. Dari bawah hingga atas, dari desa hingga istana, aroma busuk korupsi menyebar. Mereka bukan hanya mengambil uang rakyat, tetapi juga mencuri masa depan bangsa ini. Garuda yang seharusnya bebas mengepakkan sayap, kini terbelenggu. Ia dipaksa menunduk, terikat oleh rantai rakusnya para pengkhianat bangsa. Ia tidak bisa terbang tinggi, karena di punggungnya duduk tikus kecil yang tamak, seolah-olah dialah penguasa sejati negeri ini. Saudara-saudara, Indonesia sedang sakit. Dan penyakitnya bukan sekadar krisis ekonomi atau politik. Penyakit kita adalah pengkhianatan. Kita sedang dimakan dari dalam oleh segerombolan tikus berdasi yang lebih berbahaya daripada seribu musuh di medan perang. Namun ingatlah, Garuda adalah lambang yang abadi. Ia boleh jatuh, tetapi tidak akan mati. Ia boleh dipaksa tunduk, tetapi pada waktunya ia akan bangkit. Rantai itu bisa diputus, tikus-tikus itu bisa diusir, dan Garuda bisa kembali mengangkasa. Kebangkitan itu hanya mungkin jika rakyat sadar, jika rakyat bersatu, jika rakyat berani berkata cukup! Cukup ditindas, cukup ditipu, cukup digerogoti oleh tikus-tikus berdasi. Bangsa ini tidak boleh terus dibiarkan sakit. Bangsa ini harus sembuh. Garuda harus kembali terbang tinggi, menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Dan itu hanya mungkin jika kita semua ikut menjaga, membersihkan negeri ini dari tikus-tikus yang merusak, agar Indonesia benar-benar menjadi rumah yang layak bagi seluruh anak bangsa. HUT RI Ke-80 Tahun 2025: Bangkitlah Jiwanya, Bangkitlah Badannya Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri tegak di bawah panji kemerdekaan. Perjalanan panjang penuh luka, peluh, dan air mata telah dilalui. Dari darah para pahlawan, dari doa para ulama, dari keringat para pejuang, Indonesia lahir sebagai bangsa merdeka. Namun, setelah delapan puluh tahun, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka dari penjajahan? Ataukah kita masih terikat oleh belenggu yang lebih halus, tetapi jauh lebih berbahaya? Hari ini, di usia ke-80 Republik Indonesia, kita diingatkan kembali pada amanat Proklamasi: merdeka bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga terbebas dari korupsi, keserakahan, penindasan, dan ketidakadilan. Bangsa ini sedang diuji. Garuda yang seharusnya gagah perkasa masih tertatih karena didera penyakit dari dalam: para tikus berdasi yang rakus, yang menggerogoti tubuh bangsa dari kepala hingga kaki. Bangkitlah jiwanya—bangsa ini harus menyadari bahwa persatuan dan kejujuran adalah senjata utama. Jiwa bangsa tidak boleh lagi tunduk pada kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan. Jiwa bangsa harus dibersihkan dari mental penjajahan, dari budaya korupsi, dari sifat serakah yang menghancurkan. Jiwa bangsa harus kembali kepada semangat gotong royong, semangat keberanian, semangat pengorbanan, seperti yang diwariskan para pendiri bangsa. Bangkitlah badannya—bangsa ini tidak boleh hanya kuat dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan. Badan bangsa harus sehat: ekonominya adil, hukumnya tegak, rakyatnya sejahtera, pemimpinnya amanah. Badan bangsa harus tegak berdiri, mampu menghadapi tantangan zaman, dari krisis global hingga perubahan iklim, dari kemajuan teknologi hingga persaingan antarbangsa. Badan bangsa harus menjadi rumah yang kokoh bagi seluruh rakyatnya, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Hari ini, HUT RI ke-80 adalah seruan. Seruan untuk mengobarkan semangat kebangkitan nasional baru. Seruan untuk menghapus ketidakadilan. Seruan untuk membersihkan negeri ini dari pengkhianatan. Seruan untuk menjadikan Indonesia bukan sekadar negeri yang merdeka, tetapi juga negeri yang bermartabat. Bangkitlah jiwanya, bangkitlah badannya!Bangkitlah Indonesiaku, agar Garuda kembali mengangkasa, menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Nusantara Baru, Indonesia Maju Penulis : Ki Ageng Sambung Bhadra Nusantara) Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

5 Langkah Menjadikan Kampus Sebagai Ruang Aman Bagi Civitas Akademika

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di balik citra intelektual yang melekat pada perguruan tinggi, tersimpan kenyataan kelam: praktik kekerasan yang berulang dan kerap tak tertangani. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang intelektual, justru acap kali menjadi tempat kekerasan fisik, psikis, verbal, hingga seksual terjadi. Kekerasan di kampus bukanlah sekadar perilaku menyimpang personal, melainkan hasil dari budaya struktural yang permisif terhadap kekerasan. Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, pembinaan organisasi yang menjurus perpeloncoan, serta lemahnya sistem pengaduan membentuk ruang kekosongan hukum yang dimanfaatkan pelaku. Angka dan Fakta Terkini Data terbaru dari Komnas Perempuan tahun 2024 menunjukkan bahwa telah terjadi 4.178 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan 82 di antaranya terjadi di lingkungan perguruan tinggi sepanjang 2021–2024. Sayangnya, angka ini diyakini hanya puncak dari gunung es, karena banyak kasus tidak dilaporkan akibat rasa takut, rasa malu, atau ketidakpercayaan terhadap sistem kampus. Laporan GoodStats (Desember 2024) juga menguatkan hal ini. Selama lima tahun terakhir, tren kekerasan seksual di perguruan tinggi mengalami peningkatan signifikan: Data tahun 2019 : 1.298 kasus, 2021 : 1.628 kasus, 2022 : 2.094 kasus, 2023 : 2.244 kasus dan 2024 (hingga November) : 1.919 kasus. Sementara itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan bahwa dari 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan tahun 2024, 42 persen merupakan kekerasan seksual. Ini menegaskan bahwa kekerasan dalam institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi, masih sangat tinggi dan memprihatinkan. Bentuk kekerasan pun kini berkembang. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2023–2024), tercatat bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Kekerasan semacam ini kerap terjadi di kampus melalui pesan, gambar, atau video tidak senonoh yang dikirim atau dipublikasikan tanpa persetujuan korban. Kasus Konkret di Perguruan Tinggi Realitas di berbagai perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa lingkungan kampus juga dapat menjadi tempat terjadinya kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari budaya senioritas, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, lemahnya sistem pelaporan, hingga minimnya edukasi tentang kesetaraan gender dan perlindungan korban. Diantara kasus yang muncul di ruang publik terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), yaitu kasus pelecehan seksual saat program KKN tahun 2018 menjadi titik balik penting yang mendorong munculnya kebijakan nasional. Di IPB (2023), seorang mahasiswa meninggal dunia dalam kegiatan kaderisasi organisasi yang melibatkan kekerasan fisik. Kemudian di Universitas Riau (2022), seorang dosen melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswinya dengan modus bimbingan akademik. Serta kasus di UNNES (2022), puluhan mahasiswi melaporkan pelecehan dari dosen dan senior kampus, menunjukkan pola berulang yang melibatkan relasi kuasa. Di Indonesia, kekerasan di kampus sering kali tidak terungkap karena korban takut melapor—khawatir akan stigma, ancaman, atau dampak akademik. Penanganan yang kurang memadai, baik oleh pihak kampus maupun aparat, membuat masalah ini berulang. Beberapa kasus bahkan baru terungkap setelah korban berbicara di media sosial atau setelah adanya investigasi jurnalistik. Perlunya Tanggung Jawab Institusional Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Regulasi ini mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas PPKS, menyediakan kanal pelaporan yang aman, serta menjamin pemulihan korban. Selanjutnya dengan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) Data Komnas Perempuan 2024 menyebutkan bahwa sudah terbentuk 1.724 Satgas PPKS di perguruan tinggi. Namun, hanya 53 persen pimpinan kampus yang memberikan dukungan penuh, sementara 23 persen menyatakan masih minim dukungan. Angka ini menunjukkan bahwa pembentukan satgas belum cukup jika tidak disertai komitmen kuat dari pimpinan lembaga. Semua perguruan tinggi wajib membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan paling lambat 6 bulan setelah Peraturan berlaku (14 April 2025). Satgas lama (PPKS berdasarkan Permen 30/2021) tetap menjalankan tugas hingga masa jabatannya habis, namun mulai bekerja berdasarkan ketentuan Permen 55/2024. Keanggotaan minimal 7 orang—terdiri dari ketua, sekretaris, anggota dari berbagai unsur-dan dipilih dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Tugas Tugas utama meliputi: penyusunan pedoman, edukasi, penerimaan laporan, koordinasi layanan disabilitas, pemantauan tindak lanjut, dan pelaporan tahunan ke pimpinan kampus Di sisi lain, Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Kekerasan dalam dunia akademik adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai tersebut. Langkah Konkret Mencegah Kekerasan Perguruan tinggi tidak boleh lagi bersikap reaktif. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil stakeholders di lingkungan kampus antara lain: 1. Mengaktifkan dan memperkuat Satgas PPKS, dengan keanggotaan yang inklusif dan independen. 2. Membangun mekanisme pelaporan yang aman dan tidak memihak, dengan melibatkan konselor dan tenaga psikolog. 3. Melakukan edukasi rutin kepada dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan tentang kekerasan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan lain. 4. Meninjau ulang proses kaderisasi dan budaya organisasi kemahasiswaan, agar tidak menjadi ruang pembiaran kekerasan. 5. Memastikan pemulihan korban secara psikososial, termasuk layanan kesehatan mental dan perlindungan dari intimidasi. Kampus sebagai Ruang Peradaban Kekerasan di perguruan tinggi adalah pengkhianatan terhadap esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak bisa berjalan dalam suasana ketakutan. Kampus harus menjadi ruang aman untuk semua: tempat berpikir bebas, berdialog, dan tumbuh secara utuh sebagai manusia. Jika kita ingin membangun peradaban yang beradab, maka menjadikan kampus bebas kekerasan bukan lagi sebuah pilihan. Itu adalah keharusan moral dan konstitusional. Referensi: Komnas Perempuan, Siaran Pers 2024 GoodStats, “Tren Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”, Desember 2024 JPPI, Laporan Kekerasan Lembaga Pendidikan 2024 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang PPKS Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi CATAHU Komnas Perempuan 2023–2024 Penulis : Editor : Toto Budiman

Read More

Wahyu Kalaseba: Titah Suci Yang Memanggil Putra Wayah Nusantara Untuk Bangkit

Jakarta – 1miliarsantri.net: Wahyu Kalaseba bukan sekadar ilham atau bisikan gaib dari ruang batin yang samar. Ia adalah petunjuk Ilahi, titah suci yang turun dari langit ke dalam ruang hening kesadaran seorang insan terpilih, yang bersih dari pamrih, yang hatinya lapang menampung cinta semesta dan yang jiwanya ikhlas memikul beban zaman. Wahyu itu telah menggema, bukan lagi rahasia yang hanya diketahui di balik tirai kabut pegunungan, getaran sunyi yang hanya terdengar dalam senyapnya gua dan di balik batu karang pantai. Wahyu Kalaseba telah memanggil putra wayah pilihan Nusantara, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dari puncak gunung tertinggi hingga lembah yang terdalam. Ia datang bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijalankan, untuk dihidupkan, untuk dilaksanakan dengan sepenuh kesadaran jiwa dan raga. Masih banyak dari kita yang memilih menyepi—tirakat di atas gunung, menyatu dengan keheningan langit dan bumi, mencoba mengurai tabir rahasia kehidupan. Ada yang bersemedi di batu karang pesisir pantai, menanti bisikan ombak sebagai jawaban ilahi. Ada pula yang napak tilas ke makam para pepunden, menyusuri jejak leluhur untuk menyambung kembali warisan kesadaran adiluhung. Bahkan ada yang puasa Pati Geni 40 hari, membakar segala syahwat dunia demi membuka pintu-pintu langit. Waktunya Bangkit Namun kini, tiba waktunya untuk bangkit, bukan lagi zaman berdiam dalam sunyi, tapi zaman untuk menyalakan cahaya dalam keramaian. Tirakat dan laku batin telah membentuk kita, kini saatnya langkah konkret kita menjadi pancaran kebermanfaatan bagi umat dan semesta. Saatnya bergerak dengan langkah terukur, dengan strategi yang matang, dan dengan niat yang lurus. Wahyu Kalaseba mengandung misi besar, menyatukan Cakra Langit dan Cakra Bumi. Cakra Langit adalah simbol kehendak Ilahi atau tatanan suci dari Sang Pengatur Semesta. Sementara Cakra Bumi adalah daya gerak manusia, kekuatan kolektif anak bangsa, getaran batin rakyat yang menyatu dengan tanah airnya. Ketika keduanya tersinkronisasi, maka terbukalah jalan cahaya. Sebuah jalan yang tak hanya memulihkan tatanan duniawi, tetapi juga menyembuhkan luka-luka batin kolektif yang telah lama menjadi belenggu peradaban. Inilah titik kebangkitan, ketika langit memberikan arah, dan bumi melaksanakan gerak. Kita Adalah Perubahan Wahyu Kalaseba tidak pernah turun untuk sekedar memuliakan satu nama, satu golongan, atau satu kebenaran semu. Ia hadir demi kemaslahatan umat, demi membangunkan mereka yang tertidur dalam ilusi dunia, demi menyinari jalan mereka yang terjebak dalam hiruk pikuknya zaman. Inilah saatnya para pemegang amanah, para pewaris cahaya menyadari tugas sucinya. Tidak ada lagi waktu untuk menunggu datangnya perubahan dari luar. Sebab kitalah perubahan itu, kitalah pelaksana skenario langit di atas panggung bumi. Wahai para putra wayah Nusantara, dengarkan panggilan Wahyu Kalaseba. Ini bukan sekadar undangan spiritual, tapi tanda dimulainya pergerakan suci. Bukan pergerakan fisik semata, tetapi pergerakan kesadaran, kebangkitan nilai, dan restorasi ruh bangsa yang agung. Bersatulah, bukan dalam nama kepentingan pribadi atau golongan, tetapi dalam nama cinta tanah air dan seisinya. Lakukan langkah demi langkah dengan keteguhan hati dan kejernihan jiwa. Karena hanya dengan menyelaraskan cakra langit dan cakra bumi, kita bisa membangun kembali Nusantara yang tidak hanya kuat secara lahir, tapi bercahaya dalam batinnya.* Penulis : Ki Ageng Sambung Bhadra Nusantara Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Peran Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia

Surabaya – 1miliarsantri.net : Kurang dari sebulan lagi Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya ke 80 Tahun. Tentu momen ini sangat sakral dan lebih dari event seremonial setahun sekali, karena ada perjuangan, baik fisik, materi dan pemikiran dari pendahulu kita. Dibalik momen bersejarah ini, tentu tak luput dari peran besar dari umat islam. Islam bukan hanya sebuah identitas agama, lebih dari itu Islam menjadi sumber Inspirasi rakyat Indonesia untuk merebut kembali kedaulatan. Nilai-nilai islam seperti amar ma’ruf, nahi mungkar, dan ukhuwah menjadi bahan bakar yang tak pernah padam untuk menghentikan betapa bejatnya kolonialisme. Indonesia dan Islam adalah perpaduan masterpiece yang merepresentasikan jati diri bangsa. Melodinya begitu nyaring, menggema dari Sabang sampai Merauke. Belanda dengan politik devide et impera-nya, Jepang dengan romusha-nya, Portugis dengan kebijakan eksploitasi-nya, tidak mampu menghalangi Indonesia dari kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, Allahu Akbar  !!!. Ulama-Ulama yang berperan dalam kemerdekaan Indonesia Ulama bukan hanya handal dalam orkestrasi kata di atas mimbar, suara ulama tidak hanya nyaring terdengar di pondok pesantren tapi mereka benar-benar menjadi garda terdepan dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka. Meskipun ulama tidak memegang senapan, tapi gagasan mereka mampu menembus hegemoni kekuasaan kolonialisme yang bertahan ratusan tahun lamanya. Jumlah ulama yang berperan terhadap berdirinya Indonesia ada banyak sekali, tidak bisa disebutkan satu persatu. Namun jika disuruh menyebutkan yang berpengaruh besar, kita bisa memunculkan beberapa nama, seperti: KH Hasyim Asy’ari, begitu vokalnya ia terhadap agresi penjajah, dan beliau akhirnya menjadi pencetus Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Dan resolusi inilah yang menjadi “ Trigger “ rakyat dan santri Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945 dan hingga sekarang peristiwa tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan. Ada juga KH Ahmad Dahlan yang memperjuangkan Indonesia melalui jalur pendidikan, beliau mendirikan Muhammadiyah bukan hanya untuk organisasi islam belaka, namun juga jadi tempat mencerdaskan Anak-anak bangsa. Beliau percaya bahwa penjajahan bisa dilawan dengan Intelektualitas. Tokoh Diplomasi Islam dalam Kemerdekaan Indonesia Perjuangan merebut kemerdekaan tidak hanya berbicara soal perang senjata, tapi juga tentang diplomasi. Dibutuhkan seseorang dengan Akhlakul Karimah, punya intelektualitas tinggi, berwibawa dan mampu meyakinkan ide tentang kedaulatan “Indonesia“ kepada ratusan perwakilan negara dalam forum internasional. Dan rasa-rasanya kita sepakat bahwa KH Agus Salim adalah salah satu putra bangsa yang memiliki kompetensi tersebut. KH Agus salim merupakan sosok ideal yang bisa mencerminkan tentang bagaimana seharusnya umat islam bernegara. Beliau begitu Kaffah membela tanah air dalam forum perundingan dan salah satu yang paling memorable adalah ketika beliau hadir dalam sidang PBB 1947 di New York, Amerika Serikat. Pidato beliau tentang Hak Kemerdekaan Indonesia begitu memukau dan menjadi jalan pembuka untuk dunia internasional mengakui kedaulatan negeri ini. Semangat Toleransi Umat Islam Perumusan Dasar Negara Perancangan dasar negara pada tanggal 22 Juni 1945 juga tak lepas dari peran besar tokoh-tokoh Islam seperti KH Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo dan KH Wahid Hasyim. Mereka menyampaikan gagasan mengenai persatuan Indonesia, mereka menyampaikan prinsip-prinsip islam dalam membangun negara dengan menghormati kemajemukan yang meliputi suku, budaya, bahasa dan agama. Para tokoh-tokoh islam menjunjung tinggi toleransi, meskipun pada faktanya Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, mereka dengan bijak menyepakati penghapusan kalimat  “ dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya “ dalam piagam Jakarta. Hal ini dilakukan demi terciptanya bhinneka tunggal ika. Sebuah Refleksi menuju dirgahayu Indonesia ke 80 Kita adalah generasi muda yang beruntung bisa menikmati kemerdekaan tanpa harus ikut berperang, mengorbankan nyawa seperti pendahulu-pendahulu kita. Apakah kita masih mewarisi semangat nasionalisme seperti tokoh-tokoh Muslim seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Agus Salim atau KH Ahmad Dahlan ? Apakah kita yang merupakan generasi Muslim yang hidup di zaman sekarang bisa meneruskan legitimasi yang telah mereka ukir  ? . Indonesia saat ini masih banyak PR yang belum terselesaikan, kita mungkin sudah merdeka dari sisi kedaulatan namun kita masih belum merdeka dari ketimpangan ekonomi, budaya korupsi, pendidikan tidak merata dan itu adalah tugas kita sebagai generasi Islam sekarang, ini panggung estafet yang tepat bagi umat Muslim untuk membuat Indonesia Merdeka secara seutuhnya. Kontributor : Glancy Verona R. Editor : Toto Budiman

Read More

Pemblokiran Rekening; Objek Pajak Atau Kontrol?

Cimahi – 1miliarsantri.net: Dalam sepekan ini ramainya informasi pemblokiran rekening oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memang bisa menimbulkan keresahan di masyarakat, apalagi jika informasi tersebut tidak lengkap atau disebarkan tanpa konteks yang jelas. Minimnya informasi atas kebijakan negara membuat banyak orang yang belum memahami kewenangan dan prosedur PPATK, panik dan menimbulkan keresahan publik. Masyarakat akan menduga apakah ini bagian dari kontrol negara ataukah pengalihan isu besar lainnya. Berikut 1miliarsantri.net menyajikan catatan kritis HM Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah), dalam judul yang sangat menarik : Pemblokiran Rekening; Objek Pajak Atau Kontrol? Dasar Hukum Pemblokiran Rekening Dormant SEBENARNYA dasar hukum pemblokiran rekening Dormant (pasif) oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah ditetapkan 14 tahun silam, UU no. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tentu tidak masalah pada awalnya karena maraknya keberadaan Rekening Dormant menjadi salah satu modus favorit dalam tindakan pencucian uang. Nasabah kerap mempunyai beberapa rekening bank. Memang, nasabah sering lupa untuk melakukan transaksi pada salah satu rekeningnya, sehingga status akhirnya berubah menjadi dormant, tidak hanya itu, rekening bank nasabah yang sudah meninggal dunia juga bisa menyandang status tidak aktif. Rekening Dormant Untuk Kejahatan Digital Terkait hal ini, pada tahun 2024, PPATK menemukan ribuan rekening dormant yang digunakan sebagai penampungan dana dari hasil kejahatan digital. Sebagai informasi, rekening dormant meliputi rekening tabungan, rekening giro, maupun rekening rupiah/valas. Jika jenis rekening itu sudah tidak dipakai untuk transaksi selama 3-12 bulan, maka pihak bank biasanya akan memblokir. Pemblokiran rekening dormant ini dipertanyakan masyarakat, apalagi setelah PPATK menyatakan bahwa tindakan pemblokiran itu menguntungkan masyarakat. Masyarakat yang mana yang diuntungkan? Apakah masyarakat kecil yang semakin terdesak karena semakin sulit meng-akses keuangan, atau negara yang makin kuat kendalinya atas akses individu? Jika sistem ekonomi kita dibangun di atas dasar kapitalisme, rekening tabungan ini banyak menjadi sarana atau komponen penimbunan uang (kanzul maal), bahkan menjadi alat kejahatan pencucian uang. Bagi negara, rekening tabungan juga menjadi objek pajak yang menggiurkan dan kontrol terhadap rakyat. Berbeda di dalam sistem negara yang menjalankan syariat Islam secara kaffah bahwa “Menimbun Harta (kanzul maal) haram hukumnya” berdasarkan firman Allah SWT; وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS At Taubah [9] : 34). Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menafsirkan ayat di atas dengan berkata, ”Ketika turun ayat yang melarang menimbun emas dan perak, saat itu emas dan perak adalah alat tukar dan standar untuk menilai pekerjaan dan manfaat pada harta, baik yang tercetak seperti koin dinar dan dirham, maupun yang tidak tercetak seperti emas atau perak batangan. Jadi larangan yang ada lebih tertuju pada emas dan perak sebagai alat tukar, atau uang. Karena uang terkumpul pada orang orang tertentu saja atau hilang dari pasar, maka tidak terjadi “perputaran”, rakyat sulit berproduksi, sulit memberi upah, sulit mencari uang, maka ekonomi macet. Larangan Menimbun Harta (Kanzul Maal) Secara lebih detail, menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, larangan menimbun harta (kanzul maal) meliputi 3 (tiga) macam penyimpanan harta sebagai berikut: Pertama, menyimpan emas dan perak secara umum, baik yang dicetak sebagai uang seperti koin dinar atau dinar, maupun yang tidak dicetak sebagai uang, seperti emas batangan, baik dikeluarkan zakatnya maupun tidak dikeluarkan zakatnya. Kedua, menyimpan emas dan perak yang berupa perhiasan (al hulli), seperti kalung atau cincin dari emas/perak. Hanya saja ada hukum khusus untuk emas atau perak yang berbentuk perhiasan ini, yaitu jika tidak dikeluarkan zakatnya (ketika telah memenuhi kriteria nishab dan haul), hukumnya haram. Adapun jika dikeluarkan zakatnya, menyimpannya tidak berdosa. Ketiga, semua jenis mata uang (an nuquud) yang berfungsi sebagai alat tukar, baik dikeluarkan zakatnya maupun tidak. Hanya saja, perlu dipahami yang dimaksud menimbun harta yang diharamkan adalah menyimpan harta tanpa suatu hajat. Adapun jika menyimpan harta karena ada suatu hajat masa depan, hukumnya boleh, asalkan dikeluarkan zakatnya jika sudah memenuhi kriteria nishab dan haul. Menyimpan harta untuk suatu hajat masa depan itu disebut dengan al iddikhaar (menabung atau saving), misalnya untuk dijadikan mahar nikah, atau akan digunakan naik haji, atau akan dijadikan modal usaha dan lain lain. Negara akan mengangkat pegawai khusus yang menangani divisi nabung. Posisi Harta Dalam Perspektif Islam Dalam Islam, posisi harta atau uang bukan sekadar objek teknokrasi. Harta atau uang juga adalah amanah, Islam mengatur pemanfaatan harta dengan adil, transparan, dan penuh tanggung jawab syar’i, bukan dengan logika penguasaan sepihak oleh otoritas atas nama kontrol. Terdapat beberapa prinsif dalam Islam yang dijalankan oleh negara; Pertama, Harta pribadi dilindungi, kecuali terindikasi atau terdapat kezaliman nyata di dalamnya. Kedua, Negara tidak boleh memblokir atau menyita tanpa hujjah syar’i dan keputusan pengadilan. Ketiga, Aset tidak aktif bukan alasan untuk dilucuti. Ke-empat, semua kebijakan dilakukan bukan atas nama kontrol, tapi maslahat umat dalam bingkai wahyu. Dalam sistem Kapitalism, negara selalu mencari celah mengendalikan manusia lewat aset. Dalam Islam justeru memuliakan manusia dan hartanya, selama dipergunakan sesuai dengan syariat. Penulis : HM Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah) Foto Istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Bonus Demografi, Koperasi, dan Masa Depan Jawa Timur

Surabaya – 1miliarsantri.net : Indonesia tengah berada di puncak peluang demografis. Dalam periode 2020–2040, jumlah penduduk usia produktif Indonesia, yakni mereka yang berusia 15–64 tahun  mencapai lebih dari 70 persen dari total populasi. Ini adalah bonus demografi, suatu momentum langka dalam sejarah bangsa. Bila dikelola dengan benar, bonus ini dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara maju saat memasuki satu abad kemerdekaannya pada 2045. Dalam konteks ini, koperasi sebagai lembaga ekonomi kerakyatan memegang peranan penting dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong inklusi ekonomi. Namun, jika dibiarkan tanpa arah, ia bisa berubah menjadi bencana demografi—ledakan pengangguran, kemiskinan, dan disintegrasi sosial. Bagi Jawa Timur, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Indonesia, bonus demografi bukan sekadar angka statistik. Ia adalah peluang strategis untuk membangun masa depan, asalkan dibarengi dengan sistem pendukung yang kokoh: pendidikan yang relevan, ekosistem ekonomi kerakyatan, dan kepemimpinan muda yang kuat. Kolaborasi antara kekuatan demografi dan penguatan koperasi menjadi kunci dalam membentuk masa depan Jawa Timur yang lebih mandiri, inklusif, dan berdaya saing. Mendidik Generasi Emas Bonus demografi sejatinya adalah bonus manusia muda. Oleh karena itu, investasi terbesar harus diarahkan pada kualitas sumber daya manusia. Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat menentukan. Sayangnya, masih terjadi kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Banyak lulusan SMA dan SMK di Jawa Timur yang tidak memiliki keterampilan sesuai kebutuhan industri. Di sisi lain, semangat kewirausahaan belum ditumbuhkan secara sistemik sejak dini. Sekolah tidak boleh lagi menjadi menara gading yang terputus dari realitas. Ia harus menjadi ladang pembibitan jiwa kewirausahaan yang berbasis nilai-nilai kebangsaan, gotong royong, dan tanggung jawab sosial. Salah satu jalan menuju itu adalah melalui koperasi. Koperasi Sekolah: Laboratorium Kewirausahaan Koperasi sekolah selama ini kerap dipersempit fungsinya hanya sebagai tempat jajan atau beli alat tulis. Padahal, koperasi sekolah bisa menjadi laboratorium ekonomi kerakyatan bagi peserta didik. Di sinilah siswa belajar berorganisasi, mengelola keuangan, membuat produk, dan bertanggung jawab atas keputusan kolektif. Sudah ada sekolah-sekolah di Jawa Timur yang memulai langkah ini. Misalnya, SMA Kertajaya Surabaya yang mewajibkan siswa membawa tumbler dan memproduksi sabun cuci sendiri. Produk tersebut lalu dipasarkan melalui koperasi sekolah, sekaligus sebagai bentuk praktik kewirausahaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Jika koperasi sekolah diperkuat dan difasilitasi secara sistematis, maka kita tidak hanya melahirkan lulusan yang pintar teori, tapi juga tangguh dalam praktik hidup—kreatif, mandiri, dan kolaboratif. Koperasi Merah Putih: Hilirisasi Bonus Demografi Di tingkat masyarakat luas, koperasi juga memainkan peran penting sebagai hilir dari proses pendidikan dan pelatihan. Koperasi Merah Putih, sebagai inisiatif kolektif berbasis nilai-nilai Pancasila, bisa menjadi wadah bagi alumni sekolah, pemuda desa, maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan usaha bersama, saling menopang, dan membangun kekuatan ekonomi lokal. Melalui koperasi, bonus demografi bisa dikelola dalam bentuk usaha kolektif, bukan individualistis. Model koperasi inilah yang dapat memperkuat ketahanan sosial-ekonomi, khususnya di daerah-daerah yang rentan terhadap pengangguran dan migrasi ke kota. Integrasi Hulu-Hilir: Pendidikan Bertemu Ekonomi Kerakyatan Untuk mengoptimalkan bonus demografi, kita memerlukan sinergi antara hulu (pendidikan) dan hilir (ekonomi rakyat). Sekolah-sekolah menanamkan karakter dan keterampilan, sementara koperasi—baik koperasi sekolah maupun koperasi masyarakat—menjadi ruang praktik, produksi, dan distribusi. Di sinilah peran pemerintah daerah sangat menentukan. Regulasi yang mendukung, insentif koperasi sekolah, pelatihan berjenjang, dan pendampingan profesional akan menjadi pendorong utama keberhasilan strategi ini. Menuju Indonesia Emas dari Akar Rumput Bonus demografi adalah peluang sekali seumur hidup. Jika disia-siakan, kita akan menjadi negara tua sebelum sempat menjadi negara kaya. Namun jika dikelola dengan serius, dimulai dari unit-unit terkecil seperti koperasi sekolah dan koperasi desa, Indonesia bukan hanya siap menyongsong masa depan, tapi juga mampu memimpinnya. Jawa Timur memiliki segala potensi: jumlah penduduk muda yang besar, tradisi gotong royong yang kuat, dan jaringan pendidikan yang luas. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk menata ulang sistem, memulainya dari bawah, dan mempercayai bahwa anak-anak muda bukan beban pembangunan, melainkan penentu arah bangsa. Surabaya, 31 Juli 2025 Editor : Toto Budiman Oleh : M.Isa Ansori *) Penulis adalah Pegiat Pendidikan dan Perlindungan Sosial. Aktif dalam isu-isu kebijakan publik dan kesejahteraan rakyat. Pengurus LPA Jatim, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang dan Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya

Read More

Tanah Subur, Petani Terkubur : Ironi Sektor Pertanian Indonesia

Malang – 1miliarsantri.net : Indonesia secara historis dan budaya dikenal sebagai negara agraris dengan potensi sumber daya alam yang besar. Struktur tanah dan unsur vulkanis yang terkandung di dalamnya membuat Indonesia menjadi salah satu negara tersubur di dunia. Bahkan salah satu band terkenal Koes Plus pernah mengabadikan betapa suburnya tanah Indonesia dalam sebuah bait lagu “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Namun, sektor pertanian yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi dan ketahanan pangan nasional justru menghadapi berbagai persoalan kronis yang hingga kini belum terselesaikan secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena adanya miss leading dalam pengelolaan pertanian beserta kebijakan yang mengaturnya. Secara garis besar masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit mulai kehilangan semangat untuk berusaha di sektor pertanian. Secara umum hal ini diakibatkan oleh rasa tidak terlindungi secara profesi dan hasil produksi petani. Pemetaan usaha pertanian yang masih semrawut di daerah merupakan salah satu contoh nyata. Tidak maksimalnya pemetaan potensi pertanian di daerah oleh pemerintah pusat seringkali berujung pada kegagalan usaha pertanian itu sendiri. Semakin lama petani akan kehilangan semangat untuk terus melanjutkan usaha pertaniannya, sehingga memutuskan untuk menjual tanah pertanian tersebut. Itu hanya contoh kecil yang masih menjadi permasalahan yang belum terpecahkan, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya. Alih Fungsi Lahan Masih Tinggi Salah satu persoalan mendasar yang terus menghantui sektor pertanian adalah alih fungsi lahan. Lahan pertanian produktif banyak yang berubah menjadi kawasan industri, perumahan, maupun infrastruktur lainnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan, tetapi juga merambah ke pedesaan. Banyak sekali kasus petani lebih memilih untuk menjual lahan pertaniannya kepada pengusaha dan uang hasil penjualan tersebut digunakan membuka usaha pada sektor lain. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan baku sawah terus mengalami penyusutan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini berdampak pada menurunnya produksi pangan nasional, terutama beras. Rendahnya Kesejahteraan Petani Kesejahteraan petani juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Banyak petani di Indonesia masih tergolong petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektare. Pendapatan mereka sangat tergantung pada hasil panen musiman yang rentan terhadap fluktuasi harga pasar dan cuaca. Di sisi lain, generasi muda cenderung enggan terjun ke dunia pertanian karena dianggap kurang menjanjikan secara ekonomi. Regenerasi petani pun menjadi tantangan tersendiri bagi keberlanjutan sektor ini. Ketergantungan pada Impor dan Subsidi Meski memiliki lahan yang luas, Indonesia masih belum bisa lepas dari ketergantungannya terhadap impor sejumlah komoditas pertanian seperti kedelai, bawang putih, dan gula. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara potensi produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi nasional. Hal ini berkaitan dengan tidak maksimalnya pemetaan potensi pertanian di daerah oleh pemerintah pusat. Ketergantungan pada pupuk bersubsidi juga menjadi isu tersendiri. Ketika distribusi pupuk tidak merata atau terjadi kelangkaan, produktivitas pertanian bisa langsung terdampak. Pemberdayaan masyarakat dan kelompok pertanian diperlukan untuk didorong melakukan inovasi pembuatan pupuk secara mandiri dengan dukungan dari pemerintah daerah dan pusat. Sehingga ketergantungan pada pupuk bersubsidi berkurang. Proteksi Harga yang Tidak Maksimal Ketimpangan ini membuat petani berada pada posisi yang lemah dalam supply chain pertanian. Peran tengkulak yang dominan dan belum optimalnya peran koperasi juga turut memengaruhi kondisi tersebut. Hal ini diperparah dengan penggunaan teknologi dalam pertanian masih terbatas, terutama di wilayah pedesaan. Padahal, adopsi teknologi seperti irigasi modern, alat mesin pertanian (alsintan), dan sistem informasi cuaca dapat membantu meningkatkan efisiensi dan hasil panen. Kurangnya pelatihan dan pendampingan juga menjadi kendala bagi petani untuk mengakses dan mengoperasikan teknologi tersebut. Dampak Perubahan Iklim  Perubahan iklim turut memberikan tekanan terhadap sektor pertanian. Perubahan pola hujan, kekeringan, banjir, serta serangan hama dan penyakit yang tidak terduga menambah risiko gagal panen. Petani dituntut untuk beradaptasi, tetapi dukungan dan edukasi terkait mitigasi iklim masih terbatas. Mengurai permasalahan dan kendala pada usaha pertanian di Indonesia tidaklah semudah membalik telapak tangan dan tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan petani itu sendiri. Kebijakan yang berpihak pada petani kecil, pembangunan infrastruktur pertanian, serta pemanfaatan teknologi menjadi kunci agar sektor ini mampu bertahan.  Formulasi kebijakan yang menyeluruh, pemetaan potensi pertanian dan pemerataan dukungan teknologi adalah beberapa hal paling krusial untuk segera dilakukan di lapangan. Tanpa upaya yang progresif dari pembuat kebijakan, maka problematika di sektor pertanian dikhawatirkan akan terus menjadi hambatan dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Sumber referensi : 1. Badan Pusat Statistik (2024). Luas Panen dan Produksi Padi 2024. https://www.bps.go.id 2.Kementerian Pertanian RI (2023). Profil Petani dan Tantangan Regenerasi. https://www.pertanian.go.id 3. Setara Institute (2023). Dinamika Alih Fungsi Lahan Pertanian. https://setarajambi.org 4. DPR RI (2022). Analisis Ketahanan Pangan dan Impor Komoditas Strategis. https://berkas.dpr.go.id 5. Indonesiana (2023). Menekan Ketergantungan Impor Pertanian. https://www.indonesiana.id 6. DJPB Kemenkeu (2022). Kebijakan Impor dan Ketahanan Pangan. https://djpb.kemenkeu.go.id Kontributor : Leo Agus Hartono Editor : Toto Budiman

Read More

“Mbegendeng” dan Perlawanan terhadap Kepalsuan Negara

Surabaya – 1miliarsantri.net : Dalam kebudayaan Jawa, dikenal istilah “mbegendeng.” Bukan sekadar nekat atau ugal-ugalan, tapi karakter yang menunjukkan kegigihan, keberanian tanpa kompromi, dan keberanian menghadapi kuasa—meski harus menabrak kenyamanan dan ketakutan umum. Watak ini kini menjelma dalam wajah-wajah publik yang berani membuka satu dari banyak borok kekuasaan: dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Selama menjabat sebagai presiden, Jokowi membangun citra sebagai sosok merakyat. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan rekam jejak politik yang kerap menabrak konstitusi, etika bernegara, bahkan kadang menginjak akal sehat rakyat. Dengan dukungan para buzzer yang menjilat tanpa reserve, narasi kekuasaan dibentengi oleh pasukan digital yang siap membungkam siapa saja yang mengkritik. Namun, ilmu kekuasaan itu ternyata tak selamanya digdaya. Dalam kasus dugaan ijazah palsu, watak mbegendeng muncul sebagai ancaman nyata terhadap narasi besar kekuasaan. Nama-nama seperti Roy Suryo, dr. Tifa, Doktor Rismon, dan Achmad Khozinuddin hadir ke permukaan. Ditambah Prof. Egi Sudjana bersama TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis), mereka tampil bukan sebagai politisi elite, tetapi sebagai warga yang menolak tunduk pada ketidakjujuran. Roy Suryo tampil dengan gaya slonong dan slengekan, membongkar celah-celah yang selama ini dikunci oleh narasi resmi. dr. Tifa membawa keberanian intelektual sebagai seorang dokter, dengan analisis dan suara lantang yang menyentuh nurani. Doktor Rismon hadir dengan gaya nggembel tapi cerdas, tak kenal protokol dan menyerang dengan argumen fakta lapangan. Sementara itu, Achmad Khozinuddin, dengan latar belakang hukum dan logika yang tajam, memainkan strategi argumentatif yang mampu menjebak kuasa dalam permainan hukum yang selama ini mereka kuasai. Bukan sekadar menyerang, Khozinuddin mampu memancing jebakan logis, hingga pihak lawan terseret ke dalam inkonsistensinya sendiri. Lalu ada Prof. Egi Sudjana, yang bersama TPUA tampil heroik dan lantang. Gaya aktivis yang masih menyala dalam dirinya menuntun masuk ke jantung pertahanan kekuasaan. Ia tak gentar menghadapi pengadilan dan aparat, bahkan dengan tenang melontarkan argumen yang menggoyahkan landasan legitimasi narasi resmi. Dan tentu saja, Gus Nur dan Bambang Tri, dua figur yang tanpa tedeng aling-aling membuka kedok yang menurut mereka selama ini ditutup-tutupi. Mereka hadir bukan sebagai pakar, tapi sebagai suara rakyat marah yang menolak ditipu. Apa yang dilakukan oleh Roy Suryo dkk. mengingatkan kita pada satu tokoh penting bangsa: KH Agus Salim. Suatu ketika, ia dihina oleh kaum komunis (PKI) dan disamakan dengan kambing karena penampilannya yang lusuh. Namun, jawaban beliau menohok dan membungkam: “Saya tidak tersinggung, sebab kambing pun lebih berguna daripada manusia yang hanya bisa menghina dan tidak memberi manfaat bagi bangsa.” Inilah gaya mbegendeng cerdas, jawaban yang tidak hanya menohok, tapi juga menyadarkan. KH. Haji Agus Salim (1884–1954) adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam peta politik Indonesia modern. Beliau dikenal sebagai diplomat ulung, pemikir Islam moderat, jurnalis kritis, dan aktivis pergerakan nasional. Peran dan Jejak Politik KH. Agus Salim tercatat sebagai tokoh Sarekat Islam sejak 1915, Agus Salim aktif dalam gerakan politik dan jurnalisme. Ia mendirikan dan menjadi redaktur surat kabar seperti Neratja, Hindia Baroe, dan Fadjar Asia, yang digunakan untuk menyuarakan aspirasi kemerdekaan dan kritik terhadap penjajah Belanda. Sebagai figur tokoh pergerakan nasional yang meniti lintas ranah—pemerintahan kolonial, pergerakan nasional, hingga rumah diplomasi negeri baru—KH. Agus Salim berperan sebagai jembatan strategis antara gagasan Islam politik dengan semangat nasionalisme inklusif. Politik Pencitraan dan Manipulasi Sama halnya dalam konteks situasi nasional hari ini. Dalam suasana politik yang penuh pencitraan dan manipulasi, rakyat justru mulai menaruh harapan pada mereka yang tampil tanpa beban kuasa, tapi konsisten membongkar kepalsuan tanpa tendeng aling-aling. Watak mbegendeng bukan untuk membenci. Ia hadir sebagai antibodi sosial ketika kekuasaan terjebak dalam ilusi kebenaran. Ia adalah gaya oposisi moral yang terkadang tak mengenakan jas, tak memegang jabatan, tetapi tetap punya nurani dan keberanian. Ketika kekuasaan gagal menjawab dengan data, gagal membuktikan keabsahan, dan justru membentengi diri dengan buzzer serta ancaman hukum, maka semakin kuat pula publik mendengar mereka yang mbegendeng. Mereka tidak sedang mencari panggung. Mereka justru sedang membuka panggung kebenaran, meski harus berdiri sendirian. Dalam demokrasi, kadang kekuasaan tak jatuh karena oposisi formal, tapi karena kekuatan rakyat yang jujur dan berani. Watak mbegendeng telah membuktikan satu hal: bahwa kebenaran, jika diperjuangkan terus-menerus, bisa membongkar narasi kebohongan yang dibangun bertahun-tahun. Dalam dunia politik nasional yang semakin dipenuhi kepalsuan, “mbegendeng” bukan sekadar bentuk kemarahan, tapi ekspresi perlawanan dari hati yang jujur dan nurani yang terusik. Di balik sikap yang tampak ngawur dan tak sopan, terkandung keberanian untuk menolak tunduk pada kemunafikan sistemik dan keberpihakan pada kebenaran yang sering disembunyikan. Masyarakat tidak butuh pemanis kata-kata, tapi kejujuran yang menyengat. Kini saatnya kita tak lagi diam, karena diam hanya menguatkan kebohongan. Mari warisi semangat “mbegendeng” sebagai api perubahan: lantang, tulus, dan tak gentar melawan kebusukan yang membungkus wajah negara dengan senyum pura-pura. Dan sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang berkuasa, tapi juga siapa yang berani melawan kebohongan. Surabaya, 23 Juli 2025 Editor : Toto Budiman Oleh : M.Isa Ansori *) Penulis adalah Pegiat Pendidikan dan Perlindungan Sosial. Aktif dalam isu-isu kebijakan publik dan kesejahteraan rakyat. Pengurus LPA Jatim, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang dan Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya

Read More

Kota Layak Anak, Pemkot Surabaya Harus Bantu Orang Tua yang Kesulitan Mendidik Anaknya

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di tengah semangat Surabaya meraih predikat sebagai Kota Layak Anak, perhatian terhadap kebutuhan dasar anak tak cukup hanya berhenti pada pembangunan taman atau fasilitas publik ramah anak. Salah satu aspek krusial yang kerap luput dari sorotan adalah tantangan yang dihadapi para orang tua dalam mendidik anak di tengah kompleksitas zaman. Tidak semua keluarga memiliki bekal pengetahuan, kesabaran, dan kemampuan yang memadai untuk menghadapi persoalan pendidikan karakter, perkembangan mental, hingga pengaruh digital. Oleh karena itu, Pemkot Surabaya perlu turun tangan lebih serius, bukan hanya sebagai fasilitator lingkungan fisik yang ramah anak, tetapi juga sebagai pendamping aktif bagi orang tua yang kesulitan menjalankan peran mendidik anak secara optimal. Saya berkesempatan menghadiri pelaksanaan Masa Orientasi Orang Tua (MOTT) di Kota Surabaya yang dilangsungkan di SMP Al Hikmah (20/07). Acara ini menjadi ruang dialogis antara Pemerintah Kota, pendidik, dan para orang tua siswa dari jenjang PAUD, TK, SD, hingga SMP. Saya hadir sebagai bagian dari kelompok yang peduli pada perlindungan anak dan pendidikan yang berpihak pada kebutuhan anak. Tema yang diusung sangat inspiratif : “MPLS Ramah, Sekolahku Rumahku, Guruku Orang Tuaku.” Tema ini menjadi pintu masuk membangun kolaborasi antara sekolah dan rumah, antara guru dan orang tua dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Apresiasi saya untuk Kepala dinas pendidikan Kota Surabaya, Yusuf Masruh yang gagasannya inspiratif sekali. Saling Menyalahkan Bukanlah Jawaban Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, yang hadir sebagai narasumber tunggal, menyampaikan pesan penting: jadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak, dan jadikan guru sebagai orang tua sebagaimana orang tua kandung mereka. Beliau menjelaskan dengan menyentuh bahwa orang tua tidak hanya mereka yang melahirkan dan membesarkan, tetapi juga mereka yang memberi ilmu dan membimbing anak menjadi pribadi yang baik dan sukses. Dalam hal ini, guru dan sekolah memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak dengan pendekatan yang ramah, manusiawi, dan penuh kasih. Lebih jauh, Walikota Eri menegaskan bahwa tidak ada anak yang tidak baik sejak lahir. Semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Jika kemudian seorang anak menjadi “nakal” atau berperilaku menyimpang, maka lingkungan sekitarnyalah—termasuk orang tua dan sistem sosial—yang patut melakukan introspeksi. Bahkan, beliau mengajak kita semua untuk tidak buru-buru menyalahkan anak, tapi bertanya pada diri sendiri: dosa apa yang pernah kita lakukan, sehingga Allah menguji kita melalui anak kita? Namun, penting juga kita sadari bahwa tidak semua orang tua dalam posisi yang ideal untuk mendidik anak. Ada yang mengalami keterbatasan ekonomi, keterbatasan waktu karena pekerjaan, keterbatasan pengetahuan tentang pola asuh, bahkan keterbatasan sosial akibat tekanan hidup. Maka, menyalahkan orang tua atas kesalahan atau kenakalan anak bukanlah pilihan bijak. Mereka tidak butuh dihakimi, tapi didampingi. Sebagai Kota Layak Anak, sudah saatnya Pemerintah Kota Surabaya hadir bukan hanya sebagai pembuat aturan, tapi juga sebagai pendamping aktif bagi para orang tua yang sedang kesulitan. Tak ada orang tua yang ingin anaknya gagal. Tak ada orang tua yang mengharapkan anaknya berbuat durhaka. Semua orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Hadirnya pemerintah adalah pengejawantahan dari nilai kemanusiaan dan kebermanfaatan. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni) Pesan ini menjadi panggilan moral bahwa siapa pun yang memegang amanah kekuasaan, terutama pemerintah, harus hadir untuk memperbaiki, membimbing, dan menuntun kembali anak-anak yang tersesat jalan. Pemerintah harus menjadi tangan yang menuntun, bukan jari yang menuding. Mantan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan, pernah menyampaikan bahwa “masalah anak adalah masalah masyarakat. Butuh dukungan seluruh komunitas untuk membesarkan satu anak.” Ungkapan ini menegaskan bahwa pendidikan dan pembentukan karakter anak tidak bisa dibebankan hanya kepada keluarga, tetapi harus menjadi urusan bersama—terutama pemerintah sebagai pengelola sumber daya dan kebijakan. Kehadiran program-program inovatif seperti Rumah Ilmu Arek Suroboyo yang menekankan pada konsep asrama, pendisiplinan, dan pendidikan berbasis karakter adalah langkah tepat. Program ini harus diperluas dan dikuatkan, terutama untuk menjangkau anak-anak usia sekolah yang putus sekolah, khususnya pada jenjang SMA dan SMK. Mereka yang selama ini berkeluyuran, tidak mau sekolah, bahkan berani melawan orang tua, perlu pendekatan yang lebih tegas namun tetap berpihak pada hak-hak anak. Pemerintah Kota Surabaya harus berani mengambil sikap tegas. Bukan untuk menghukum, tapi untuk mengembalikan anak-anak itu ke jalan yang bermanfaat. Pendidikan adalah jalan perubahan. Dan anak-anak adalah masa depan kota ini. Jika kita biarkan mereka terjatuh tanpa pertolongan, maka kitalah yang gagal menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Surabaya telah memulai langkah sebagai kota layak anak. Tapi komitmen ini hanya akan berarti jika diwujudkan dalam tindakan nyata: mendampingi orang tua yang kesulitan, mendidik anak-anak yang tersesat, dan menghadirkan sekolah yang ramah, guru yang seperti orang tua, serta masyarakat yang peduli dan bergotong-royong dalam menjaga generasi penerusnya. Surabaya, 21 Juli 2025 Editor : Toto Budiman Oleh: M.Isa Ansori *) Penulis adalah Pegiat Pendidikan dan Perlindungan Sosial. Aktif dalam isu-isu kebijakan publik dan kesejahteraan rakyat. Pengurus LPA Jatim, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang dan Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya

Read More