Implikasi Prinsip Polluter Pays dan Valuasi Kerugian Ekologis dalam Penegakan Hukum Lingkungan: Respons terhadap Praktik Korupsi Sumber Daya Alam di Indonesia

Penulis : Tubagus Saef Nurullah (Alumni Bootcamp Antikorupsi Nasional Sintesis KPK RI 2025 ) Indonesia dikaruniai alam yang luar biasa seperti hutan tropis, lautan kaya biota, sumber daya alam tak terbarukan atau sumber daya alam mineral, dan tanah yang subur bahkan kita sering disebut tanah surga. Namun, kekayaan ini kerap berubah menjadi bencana ketika alam diperlakukan sebagai komoditas politik dan ekonomi yang tidak bertanggungjawab. Korupsi dalam sektor sumber daya alam menggerogoti bumi perlahan, mulai dari proses perizinan hingga eksploitasi dan reklamasi yang diabaikan. Sementara, lemahnya pengawasan dan tumpang tindih perizinan memperburuk situasi. Masyarakat kehilangan lahan, petani kehilangan sumber penghidupan, dan ekosistem kehilangan daya pulih. Hukum lingkungan  harus ditegakkan sehingga pelaku kerusakan tidak hanya dihukum, tetapi juga wajib memulihkan lingkungan yang telah mereka rusak. Potret Kelam Korupsi Sumber Daya Alam Kasus korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung, korupsi izin tambang nikel bahkan Gubernur Sulawesi Tenggara membabat 3 hektar lahan mangrove hanya untuk rumah pribadi, penyalahgunaan izin perkebunan di Riau dan pembalakan hutan di wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat dan beberapa wilayah yang tidak bisa disebutkan satu persatu menunjukkan bagaimana kepentingan pribadi mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Kerusakan hutan, pencemaran sungai, tanah tandus, serta hilangnya keanekaragaman hayati menjadi dampak berlapis yang jarang dihitung sebagai kerugian negara. Tantangan dalam Penghitungan Kerugian Lingkungan Ironisnya, kerugian lingkungan tidak dipertimbangkan dalam proses hukum. Melalui Putusan Nomor 25/PUU/XIV/2016, Mahkamah Konstitusi hanya mengakui kerugian yang sebenarnya, bukan yang potensial. Oleh karena itu, biaya pemulihan lingkungan tidak dimasukkan ke dalam kerugian negara. Namun, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 menyatakan bahwa kerugian ekologis harus dinilai secara ekonomi melalui valuasi lingkungan, yang mencakup nilai guna langsung, fungsi ekologis, dan nilai intrinsik alam. Urgensi Penerapan Prinsip Polluter Pays Jika prinsip-prinsip ini diterapkan secara konsisten, penegakan hukum  menjadi lebih adil bagi alam dan manusia. Mereka yang melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan tidak hanya dihukum penjara, tetapi juga harus membayar biaya pemulihan ekosistem. Sangat penting Prinsip “polluter pays” sebuah prinsip yang mengharuskan pihak yang menimbulkan pencemaran  menanggung biaya perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas mereka. Prinsip ini memastikan bahwa pelaku pencemaran bertanggung jawab atas biaya pemulihan, Selain itu, undang-undang perampasan aset juga dapat digunakan untuk menyita aset yang dihasilkan dari korupsi SDA dan mengembalikannya ke masyarakat melalui program rehabilitasi hutan, restorasi sungai, dan pemberdayaan masyarakat. Masalah ini berkaitan dengan masa depan negara, bukan hanya masalah hukum. Kita kehilangan paru-paru dunia ketika hutan dibakar atau dibabat untuk keuntungan segelintir orang. Ketika limbah tambang merusak sungai, masyarakat kehilangan sumber kehidupan mereka. Selain itu, ketika tambang ilegal merusak tanah, petani kehilangan harapan mereka. Semua ini merupakan konsekuensi yang mahal dari praktik korupsi, yang tidak hanya mengurangi ekonomi tetapi juga menghilangkan hak generasi mendatang untuk hidup dalam lingkungan yang aman. Keberanian Politik dan Ketegasan Hukum Di tengah kondisi tersebut, rangkaian musibah yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi pengingat keras bagi bangsa ini terbukti dengan banjir yang membawa banyaknya bongkahan sisa kayu dari pembabatan hutan yang mengatasnamakan deforestasi. Bencana bukan hanya fenomena alam, tetapi cermin kondisi moral dan ekologis. Sudah saatnya dilakukan taubat ekologi sebuah pertobatan kolektif yang berangkat dari relasi hati yang jujur antara manusia dan alam. Taubat ekologi mengajak kita mengakui kesalahan, menghentikan kerakusan, dan memulihkan hubungan spiritual dengan bumi sebagai amanah Tuhan. Jika hati kembali jernih, kebijakan menjadi bersih, dan eksploitasi digantikan dengan tanggung jawab, maka keberlanjutan negeri dapat dijaga. Indonesia membutuhkan penegakan hukum yang kuat sekaligus kesadaran batin bahwa bumi bukan objek untuk dieksploitasi, melainkan kehidupan yang harus dirawat dengan adil demi generasi mendatang. Ekologi tidak boleh dikorupsi, karena ketika bumi rusak, tidak ada kekayaan atau kekuasaan yang mampu mengembalikan kehidupan yang hilang akhirnya kita sebagai generasi muda tidak memiliki masa depan yang cerah bahkan jauh dari tagline Indonesia maju 2045.** Editor : Thamrin Humris

Read More

Purbaya Effect Dalam Timbangan Ekonomi Islam

Penulis : HM Ali Moeslim (Penulis Buku dan Pembimbing Hajj & Umroh) BismillahirrahmaanirrahiimSATU MENTERI yang diangkat melalui reshufle Kabinet dengan gaya “koboy”, hadir pada gelaran panggung ekonomi Indonesia, disambut bak’ arsitek keuangannya yang baru, yaitu Purbaya Yudhi Sadewa. Penunjukannya sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025 menarik perhatian dunia. Menggantikan sosok pendahulunya yang ikonis, Purbaya kini memikul tugas berat di tengah tantangan global dan domestik. Efek Purbaya adalah istilah yang digunakan oleh media dan analis keuangan untuk merujuk pada reaksi pasar dan pergeseran ekspektasi kebijakan ekonomi usai Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menteri Keuangan. Istilah ini secara khusus dikaitkan dengan pendekatan kebijakan fiskal Purbaya yang dianggap lebih agresif dan berfokus pada stimulus pertumbuhan melalui intervensi likuiditas. Sejumlah kebijakan yang ia terapkan mencerminkan pendekatan ekonomi yang agresif dan tidak konvensional. Misalnya, injeksi dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun yang semula mengendap di lima bank BUMN untuk mempercepat sirkulasi uang di sektor riil. Selain itu, ia membuka kanal pengaduan masyarakat terkait praktek kecurangan di bea cukai, memberantas peredaran rokok ilegal, menghentikan penggunaan APBN untuk membayar utang proyek KCIC, hingga menindak tegas praktek impor pakaian ilegal. Jika kita perhatikan, kebijakan-kebijakan tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya baru dalam teori ekonomi, namun menjadi simbol perlawanan terhadap budaya birokrasi yang lamban dan penuh kepentingan. Kehadiran Purbaya tampak seperti angin segar bagi perekonomian nasional, menghadirkan semangat baru dalam reformasi kebijakan fiskal dan moneter. Namun di balik optimisme tersebut, muncul pertanyaan mendasar. Apakah pendekatan ofensif ini mampu menciptakan keseimbangan ekonomi yang berkeadilan? atau justru mengulang pola ekonomi kapitalistik yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa pemerataan? Kemudian bagaimana dalam prinsip politik ekonomi Islam? Saat ini dunia modern dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini memang berhasil membawa kemajuan besar dalam bidang materi dan teknologi. Tetapi di sisi lain juga menimbulkan banyak masalah serius seperti kesenjangan antara si kaya dan si miskin, krisis keuangan yang berulang, dan menurunnya nilai moral dalam kegiatan ekonomi. Tentu sebagai muslim, kita tawarkan sistem ekonomi Islam. Islam hadir menawarkan cara yang berbeda. Sistem ini tidak hanya berfokus pada keuntungan dan efesiensi ekonomi, tetapi juga menekankan keadilan, pemerataan, dan keberkahan dalam kehidupan manusia. Sebelumnya, Kapitalisme berlandaskan pada tiga pilar filosofis utama, yakni; Pertama, sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dengan negara dan ekonomi. Dalam pandangan ini, kegiatan ekonomi dijalankan sepenuhnya berlandaskan rasionalitas manusia tanpa campur tangan nilai-nilai ketuhanan. Kedua, kebebasan individu (individualisme). Setiap individu dianggap memiliki hak ngutlak atas kepemilikan dan kebebasan untuk mengejar kepentingannya sendiri. Gagasan The Invisible Hand dari Adam Smith diyakini akan menuntut kepentingan pribadi tersebut menuju kebaikan bersama. Ketiga, hak kepemilikan pribat yang absolut. Individu memiliki kebebasan penuh untuk memiliki, menggunakan, dan mengembangkan hartanya tanpa batasan. Kecuali oleh hukum positif yang dibuat oleh manusia sendiri. Dari prinsip ini, praktek-praktek seperti bunga (riba), spekulasi (ghoror), dan monopoli (ikhtiqaar), dianggap sah selama ada kesepakatan antara pihak-pihak yang bertransaksi. Adapun dalam sistem ekonomi Islam, ia berdiri di atas fondasi yang sepenuhnya berbeda. Pertama adalah Tauhid, yakni pengakuan bahwa kedaulatan tertinggi hanyalah milik Allah. Seluruh aktivitas ekonomi harus tunduk pada aturan syariat yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Kedua, Keseimbangan atau Rububiyah. Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dengan prinsip keadilan dan keseimbangan.Tidak semata-mata demi kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kemaslahatan masyarakat. Ketiga, Keadilan Sosial atau Al-Adl. Kekayaan tidak boleh hanya berputar di kalangan orang-orang kaya. Tujuan utama sistem ekonomi Islam adalah terwujudnya keadilan distribusi dan keadilan prosedural. Keempat, adalah maslahat. Setiap kebijakan dan aktivitas ekonomi harus berorientasi pada kemaslahatan umat,yakni mendatangkan kebaikan dan menolak segala bentuk kemudaratan. Dalam Islam, uang bukan komoditas, melainkan alat tukar (medium of exchange), Uang tidak boleh “beranak” menjadi uang, tanpa adanya aktivitas ekonomi riil, melibatkan risiko dan usaha nyata seperti jual-beli, sewa, atau bagi hasil. Setiap bentuk riba diharamkan secara tegas, sebagai gantinya, Islam menawarkan sistem bagi hasil (mudarobah dan musyarakah), jual-beli, (murabahah, salam atau istisna) dan sewa (ijaroh). Ustadz Dwi Chondro Triyono menganalogikan sistem ekonomi itu seperti tubuh manusia, uang adalah darah dan sistem moneter adalah jantungnya. Dalam kapitalisme, jantungnya tersumbat oleh riba, Uang hanya berputar di sekitar lembaga keuangan besar dan para pemilik modal. Sementara sektor riil dan masyarakat bawah kekurangan aliran modal. Akibatnya tubuh ekonomi nasional tampak hidup tetapi sebenarnya tengah sekarat, negap-megap secara struktural. Sementara dalam Islam jantung ekonomi berdenyut sehat karena aliran uang tidak tersumpat oleh bunga, Ia beredar melalui sektor real, kerjasama produktif, dan distribusi zakat. Negara bertindak seperti dokter yang memastikan darah ekonomi sampai kepada semua organ, terutama yang lemah dan kekurangan. Jika kita analogikan dengan kebijakan Purbaya, pendekatannya tetap mempertahankan mekanisme bunga dan dominasi pasar finansial dalam menggerakkan ekonomi, dapat dikategorikan sebagai bentuk sirkulasi tertutup dimana darah ekonomi tidak mengalir merata. Uang cenderung berputar dalam lingkaran terbatas, antara lain bank, investor besar, dan pasar modal. Sementara sektor rilis seperti pertanian, perikanan, dan UMKM hanya mendapatkan sisa aliran ekonomi modal yang kecil dan berbiaya tinggi. Jika kebijakan tersebut disandingkan dengan prinsip ekonomi Islam,tampak bahwa sistem Islam menawarkan paradigma yang lebih menyeluruh, menjaga kesehatan jantung ekonomi tanpa mengorbankan kelancaran aliran darah ke seluruh tubuh masyarakat. Oleh karena itu, meskipun Purbaya Yudi Sadewa tampak berupaya memberikan angin segar bagi perbaikan ekonomi Indonesia melalui kebijakan fiskal dan moneter, namun selama kerangka yang digunakan masih bersandar pada sistem ekonomi kapitalistik ribawi,maka bangsa ini tidak akan benar-benar lepas dari siklus krisis. Upaya perbaikan tersebut hanya akan menjadi penundaan terhadap krisis berikutnya, bukan penyembuhan mendasar atau penyakit sistemik ekonomi itu sendiri. Hal ini menegaskan bahwa sistem buatan manusia itu lemah dan memiliki keterbatasan, karena tidak menjalankan sistem yang berlandaskan wahyu. Wallahu a’lam bishawab Bandung, 10 November 2025 M / 19 Jumadil Ula1446 H HM Ali Moeslim  Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Pekik Revolusi Akibat Ketidakadilan, Dalam Aksi Protes Rakyat di Parlemen Jalanan

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Pekik revolusi yang menuntut perubahan kebijakan yang lebih adil dalam beberapa pekan terakhir ini, menjadi pemandangan biasa di berbagai aksi protes rakyat di parlemen jalanan. Dengan menampilkan beragam tuntutan aksi demonstran, pada akhirnya melahirkan sikap solidaritas senasib sepenanggungan dari berbagai elemen masyarakat. Mereka datang dengan latar belakang berbeda, membawa cerita duka ketidakadilan masing-masing. Namun disatukan oleh satu keresahan, yaitu keinginan untuk memperjuangkan keadilan di negeri ini. Pekik revolusi terus bergema dari orator aksi, mengingat orang-orang yang berposisi mengaku sebagai ‘wakil rakyat’, tidak memiliki sense of crisis terhadap beragam persoalan di masyarakat. Ajaran Islam selalu menekankan keadilan dalam setiap sistem pemerintahan, guna menciptakan kesejahteraan pada seluruh lapisan masyarakat. Namun bila substansi keadilan saja tidak mampu diwujudkan pemerintah, maka tidaklah heran jika keresahan menjadi kerusuhan bermunculan di berbagai tempat. Tanpa mampu diantisipasi dan dibendung dampaknya oleh pihak terkait. Ketika sebuah masalah dirasakan oleh banyak orang, biasanya akan muncul dorongan untuk menyuarakan aspirasi keberatan terhadap kebijakan publik yang berjalan. Protes lewat aksi massa menjadi salah satu cara yang dipilih untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki segera. Di sinilah pekik revolusi menjadi ‘mantra pemersatu’ dan solidaritas massa aksi di lapangan. Bayangkan sekelompok buruh yang turun ke jalan memperjuangkan hak-haknya. Ada yang datang dari kota, ada pula yang dari pelosok desa. Pekerjaan mereka berbeda, begitu juga latar belakang keluarga mereka. Namun, dalam gelaran aksi nasional semisal Hari Buruh atau MAY DAY, mereka menjelma menjadi pressure grup meneriakan pekik revolusi dalam barisan yang terorganisir. Solidaritas membuat mereka tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi dan sekat-sekat kelompok, melainkan mewujudkan tujuan bersama. Bahkan, yang awalnya tidak saling mengenal pun bisa merasa dekat hanya karena berdiri di barisan yang sama. Solidaritas dalam aksi protes juga bukan hanya tentang berteriak di jalan menyuarakan aspirasi dan pemikiran, melainkan juga tentang saling menjaga. Ada yang membawa minuman untuk dibagikan, ada yang menolong saudara seperjuangan yang kelelahan, bahkan ada yang rela berdiri di depan untuk melindungi yang lain. Kisah Solidaritas yang Lahir dari Aksi Protes Aksi protes seringkali dianggap sebagai simbol perlawanan. Namun sesungguhnya ia adalah ruang di mana solidaritas tumbuh subur. Ketika orang-orang bersatu, mereka bisa menjadi kekuatan yang menekan pihak berwenang untuk mendengarkan suara rakyat. Berkaca dari aksi protes yang masih ramai hingga kini, melahirkan sebuah kisah mengharukan, dimana sopir ojol turun ke jalan menuntut keadilan atas hilangnya nyawa saudara seperjuangan mereka, yang terjadi dari tragedi lindas melindas. Affan Kurniawan, salah satu sopir ojol yang meninggal dunia saat bekerja mengantarkan pesanan pelanggannya, namun naas ia tertabrak kendaraan Brimob yang melaju kencang di tengah keramaian aksi protes, hingga membuat ia kehilangan nyawa. Tragedi tersebut menciptakan solidaritas dari seluruh sopir ojol. Mereka turun menyuarakan rasa kemanusiaan, Meminta kesadaran pemerintah atas arogansi dan aksi semena-mena yang dilakukan oleh aparatur negara. baca juga : https://1miliarsantri.net/berita-nasional/dpr-jawab-178-tuntutan-rakyat-enam-keputusan-diambil/ Kita bisa belajar dari kisah ini, di mana aksi protes yang dipenuhi solidaritas berhasil membawa dampak besar. Misalnya, perubahan kebijakan pemerintah, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu tertentu, hingga lahirnya gerakan yang terus hidup meski protes sudah selesai. Semua itu terjadi karena solidaritas membuat orang berani melawan rasa takut dan tidak menyerah pada keadaan. Pada akhirnya, solidaritas adalah nafas dari setiap aksi protes. Ia lahir dari rasa peduli, tumbuh dalam kebersamaan, dan mewujud dalam tindakan. Tanpa solidaritas, protes hanyalah kumpulan orang yang berteriak tanpa arah. Namun dengan solidaritas, suara yang kecil bisa menjadi gemuruh yang mengguncang perubahan.(***) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman Foto : Ilustrasi AI

Read More

Panggilan Jiwa: Jadilah Pemandu Lapenkop, Pejuang Koperasi Indonesia

Gresik – 1miliarsantri.net: Lembaga Pendidikan Perkoperasian (Lapenkop) merupakan wadah pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang Koperasi. Lapenkop hadir sebagai bentuk nyata komitmen untuk mencetak kader-kader koperasi yang profesional, berintegritas, dan mampu menjawab tantangan zaman. Sejarah Lapenkop tidak bisa dilepaskan dari Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), organisasi gerakan koperasi yang menjadi wadah tunggal perjuangan koperasi di tanah air. Sejak berdirinya, Lapenkop dibentuk oleh Dekopin sebagai “sekolah kader koperasi”, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap para insan koperasi agar mampu membawa koperasi menjadi sokoguru perekonomian nasional sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. Menjadi pemandu Lapenkop bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Para pemandu adalah pejuang koperasi yang bertugas menyalakan semangat gotong royong, mengajarkan prinsip-prinsip koperasi, serta mendampingi masyarakat dalam mewujudkan kemandirian ekonomi berbasis kekeluargaan. Berikut 1miliarsantri.net menyajikan cuitan M. Faishol Chusni “Sang Pemandu Koperasi.” Panggilan Jiwa: Jadilah Pemandu Lapenkop, Pejuang Koperasi Indonesia Teringat betul…Tahun 2004, seorang senior Kopma IAIN Jogjakarta mengajak ikut Pelatihan Pemandu Dasar (PPD) 1 Lapenkop.Dalam hati aku pikir, “Ah, soal koperasi, aku sudah paham. Aku ini anggota Kopma.” Tapi ternyata, pelatihan itu membuka mata dan hati.Ilmu yang kupikir sudah cukup, ternyata baru permukaan.Yang kudapat jauh lebih dari sekadar teori—aku menemukan makna, arah, dan panggilan perjuangan. Dan momen 4 hari itu ternyata menjadi langkah hidupku. Di PPD 1, kami bukan hanya belajar…Kami ditempa.Kami disatukan.Kami dibentuk menjadi saudara seperjuangan.Bukan karena asal yang sama, tapi karena tujuan yang sama:membangun Indonesia lewat koperasi. Dan yang menakjubkan, sejak hari itu…Di mana pun aku bertemu pemandu—di kota mana pun, di pelosok mana pun—kami langsung terhubung.Tanpa harus kenal sebelumnya, ada ikatan kuat di antara kami.Ini bukan pekerjaan. Ini adalah keluarga. Ini adalah jalan juang. Menjadi Pemandu Lapenkop bukan hanya tentang fasilitasi.Ini tentang hadir di tengah masyarakat,menjadi lentera di saat mereka buta arah,menjadi tangan yang menggandeng, bukan sekadar menunjuk jalan. Pemandu adalah kekuatan senyap tapi nyata di balik gerakan koperasi.Pasukan tempur edukasi milik DEKOPIN yang siap diterjunkan kapan saja,di mana saja, saat negeri ini memanggil. Lapenkop adalah rumah para pemandu koperasi, rumah kita—lembaga teknis resmi DEKOPIN.Dan hanya pemandu bersertifikat yang bisa mengelolanya.Karena kami percaya, perubahan besar hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar paham, benar-benar berjuang, dan benar-benar punya jiwa. Jika kamu merasa terpanggil… Bukan karena ingin gelar.Bukan karena ingin jabatan.Tapi karena hatimu ingin bermanfaat, ingin mengabdi, ingin membawa terang bagi banyak orang… Maka jadilah Pemandu Lapenkop. Bukan sekadar profesi.Ini adalah jalan hidup.Jalan untuk tumbuh bersama, berjuang bersama,dan meraih sejahtera bersama. Kalau kamu siap, kami menunggumu.Saudara seperjuanganmu menunggumu.Indonesia menunggumu. Mari jadi Pemandu. Mari jadi Pejuang. Bersama Lapenkop. Bersama Koperasi. Bersama Rakyat. Bergabung Menjadi Pemandu Koperasi bersama Lapenkopwil Jatim pada Sekolah Pemandu Pelatihan Pemandu Dasar (PPD) 1 Banyuwangi 5 – 7 September 2025. ** Kini, di tengah tantangan globalisasi dan digitalisasi, kehadiran pemandu Lapenkop semakin relevan. Mereka menjadi motor penggerak perubahan, agar Koperasi Indonesia tetap eksis, berdaya saing, dan mampu menjadi pilar utama kesejahteraan rakyat. Lapenkop dan Dekopin terus membuka ruang bagi siapa pun yang terpanggil untuk mengabdi. Sebab, menjadi pemandu Lapenkop berarti ikut serta dalam perjuangan besar: membangun ekonomi bangsa melalui koperasi, dari, oleh, dan untuk rakyat. Gresik, 21 Agustus 2025 Penulis : M. Faishol Chusni (Sang Pemandu Koperasi) Penulis dikenal dan disapa dengan panggil akrab “Coach Moh Faishol Chusni aktif dalam gerakan Koperasi, dengan jabatan : Kepala Lapenkop Wil Jatim. Dia juga seorang Praktisi Organizational Masterplan Development dan Konsultan & Trainer Koperasi dan UMKM Nasional. Foto : Istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Indonesia Sedang Sakit: Garuda Harus Kembali Terbang Tinggi, Menjaga Langit Nusantara Dengah Gagah Perkasa

Jakarta – 1miliarsantri.net: Republik Indonesia memasuki usia ke-80. Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan besar, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Layaknya seorang manusia, bangsa ini bisa dikatakan sedang “sakit”. Korupsi masih menjadi penyakit menahun di Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi terus melebar, dan arus deras globalisasi kerap menggerus identitas serta jati diri bangsa. Namun, sejarah mengajarkan bahwa setiap kali Indonesia diuji, selalu ada semangat kebangkitan yang muncul. Garuda—simbol negara—tak boleh selamanya terpuruk. Garuda harus kembali mengepakkan sayapnya, terbang tinggi, dan menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Indonesia Harus Sembuh, Indonesia Harus Bangkit, dan Garuda Harus Kembali Mengangkasa. Garuda, lambang kebesaran Nusantara, seharusnya terbang tinggi menembus cakrawala, mengepakkan sayapnya dengan gagah sebagai simbol kejayaan bangsa. Namun kini, Garuda itu tampak terikat rantai, dipaksa tunduk, tak berdaya. Bukan karena musuh dari luar, bukan karena badai dari negeri asing, melainkan karena ulah tikus-tikus berdasi yang rakus, yang lahir dan tumbuh dari rahim bangsa ini sendiri. Tikus-tikus itu bukan sembarang tikus. Mereka berdasi, berjas, berpenampilan rapi. Mereka menebar senyum di layar kaca, berpidato lantang tentang rakyat, tentang bangsa, tentang kesejahteraan. Tetapi di balik kata-kata manis itu, mereka menggerogoti dari dalam: anggaran dikorupsi, proyek dipelintir, hukum diperdagangkan, kekuasaan dipakai untuk mengisi perut sendiri. Mereka tak peduli bahwa rakyat kecil menjerit karena harga yang kian melambung. Mereka tak peduli bahwa petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil berjuang setengah mati hanya untuk sesuap nasi. Mereka tak peduli anak bangsa putus sekolah, rumah sakit penuh pasien miskin yang tak mampu bayar. Yang mereka pedulikan hanya satu: menambah pundi-pundi harta, menumpuk kekayaan, memperlebar singgasana kekuasaan. IRONI NEGERI KAYA Inilah ironi negeri yang kaya raya. Indonesia yang mestinya berdiri tegak sebagai bangsa besar, kini tertatih karena tikus-tikus berdasi merajalela. Dari bawah hingga atas, dari desa hingga istana, aroma busuk korupsi menyebar. Mereka bukan hanya mengambil uang rakyat, tetapi juga mencuri masa depan bangsa ini. Garuda yang seharusnya bebas mengepakkan sayap, kini terbelenggu. Ia dipaksa menunduk, terikat oleh rantai rakusnya para pengkhianat bangsa. Ia tidak bisa terbang tinggi, karena di punggungnya duduk tikus kecil yang tamak, seolah-olah dialah penguasa sejati negeri ini. Saudara-saudara, Indonesia sedang sakit. Dan penyakitnya bukan sekadar krisis ekonomi atau politik. Penyakit kita adalah pengkhianatan. Kita sedang dimakan dari dalam oleh segerombolan tikus berdasi yang lebih berbahaya daripada seribu musuh di medan perang. Namun ingatlah, Garuda adalah lambang yang abadi. Ia boleh jatuh, tetapi tidak akan mati. Ia boleh dipaksa tunduk, tetapi pada waktunya ia akan bangkit. Rantai itu bisa diputus, tikus-tikus itu bisa diusir, dan Garuda bisa kembali mengangkasa. Kebangkitan itu hanya mungkin jika rakyat sadar, jika rakyat bersatu, jika rakyat berani berkata cukup! Cukup ditindas, cukup ditipu, cukup digerogoti oleh tikus-tikus berdasi. Bangsa ini tidak boleh terus dibiarkan sakit. Bangsa ini harus sembuh. Garuda harus kembali terbang tinggi, menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Dan itu hanya mungkin jika kita semua ikut menjaga, membersihkan negeri ini dari tikus-tikus yang merusak, agar Indonesia benar-benar menjadi rumah yang layak bagi seluruh anak bangsa. HUT RI Ke-80 Tahun 2025: Bangkitlah Jiwanya, Bangkitlah Badannya Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri tegak di bawah panji kemerdekaan. Perjalanan panjang penuh luka, peluh, dan air mata telah dilalui. Dari darah para pahlawan, dari doa para ulama, dari keringat para pejuang, Indonesia lahir sebagai bangsa merdeka. Namun, setelah delapan puluh tahun, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka dari penjajahan? Ataukah kita masih terikat oleh belenggu yang lebih halus, tetapi jauh lebih berbahaya? Hari ini, di usia ke-80 Republik Indonesia, kita diingatkan kembali pada amanat Proklamasi: merdeka bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga terbebas dari korupsi, keserakahan, penindasan, dan ketidakadilan. Bangsa ini sedang diuji. Garuda yang seharusnya gagah perkasa masih tertatih karena didera penyakit dari dalam: para tikus berdasi yang rakus, yang menggerogoti tubuh bangsa dari kepala hingga kaki. Bangkitlah jiwanya—bangsa ini harus menyadari bahwa persatuan dan kejujuran adalah senjata utama. Jiwa bangsa tidak boleh lagi tunduk pada kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan. Jiwa bangsa harus dibersihkan dari mental penjajahan, dari budaya korupsi, dari sifat serakah yang menghancurkan. Jiwa bangsa harus kembali kepada semangat gotong royong, semangat keberanian, semangat pengorbanan, seperti yang diwariskan para pendiri bangsa. Bangkitlah badannya—bangsa ini tidak boleh hanya kuat dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan. Badan bangsa harus sehat: ekonominya adil, hukumnya tegak, rakyatnya sejahtera, pemimpinnya amanah. Badan bangsa harus tegak berdiri, mampu menghadapi tantangan zaman, dari krisis global hingga perubahan iklim, dari kemajuan teknologi hingga persaingan antarbangsa. Badan bangsa harus menjadi rumah yang kokoh bagi seluruh rakyatnya, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Hari ini, HUT RI ke-80 adalah seruan. Seruan untuk mengobarkan semangat kebangkitan nasional baru. Seruan untuk menghapus ketidakadilan. Seruan untuk membersihkan negeri ini dari pengkhianatan. Seruan untuk menjadikan Indonesia bukan sekadar negeri yang merdeka, tetapi juga negeri yang bermartabat. Bangkitlah jiwanya, bangkitlah badannya!Bangkitlah Indonesiaku, agar Garuda kembali mengangkasa, menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Nusantara Baru, Indonesia Maju Penulis : Ki Ageng Sambung Bhadra Nusantara) Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

5 Langkah Menjadikan Kampus Sebagai Ruang Aman Bagi Civitas Akademika

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di balik citra intelektual yang melekat pada perguruan tinggi, tersimpan kenyataan kelam: praktik kekerasan yang berulang dan kerap tak tertangani. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang intelektual, justru acap kali menjadi tempat kekerasan fisik, psikis, verbal, hingga seksual terjadi. Kekerasan di kampus bukanlah sekadar perilaku menyimpang personal, melainkan hasil dari budaya struktural yang permisif terhadap kekerasan. Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, pembinaan organisasi yang menjurus perpeloncoan, serta lemahnya sistem pengaduan membentuk ruang kekosongan hukum yang dimanfaatkan pelaku. Angka dan Fakta Terkini Data terbaru dari Komnas Perempuan tahun 2024 menunjukkan bahwa telah terjadi 4.178 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan 82 di antaranya terjadi di lingkungan perguruan tinggi sepanjang 2021–2024. Sayangnya, angka ini diyakini hanya puncak dari gunung es, karena banyak kasus tidak dilaporkan akibat rasa takut, rasa malu, atau ketidakpercayaan terhadap sistem kampus. Laporan GoodStats (Desember 2024) juga menguatkan hal ini. Selama lima tahun terakhir, tren kekerasan seksual di perguruan tinggi mengalami peningkatan signifikan: Data tahun 2019 : 1.298 kasus, 2021 : 1.628 kasus, 2022 : 2.094 kasus, 2023 : 2.244 kasus dan 2024 (hingga November) : 1.919 kasus. Sementara itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan bahwa dari 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan tahun 2024, 42 persen merupakan kekerasan seksual. Ini menegaskan bahwa kekerasan dalam institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi, masih sangat tinggi dan memprihatinkan. Bentuk kekerasan pun kini berkembang. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2023–2024), tercatat bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Kekerasan semacam ini kerap terjadi di kampus melalui pesan, gambar, atau video tidak senonoh yang dikirim atau dipublikasikan tanpa persetujuan korban. Kasus Konkret di Perguruan Tinggi Realitas di berbagai perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa lingkungan kampus juga dapat menjadi tempat terjadinya kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari budaya senioritas, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, lemahnya sistem pelaporan, hingga minimnya edukasi tentang kesetaraan gender dan perlindungan korban. Diantara kasus yang muncul di ruang publik terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), yaitu kasus pelecehan seksual saat program KKN tahun 2018 menjadi titik balik penting yang mendorong munculnya kebijakan nasional. Di IPB (2023), seorang mahasiswa meninggal dunia dalam kegiatan kaderisasi organisasi yang melibatkan kekerasan fisik. Kemudian di Universitas Riau (2022), seorang dosen melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswinya dengan modus bimbingan akademik. Serta kasus di UNNES (2022), puluhan mahasiswi melaporkan pelecehan dari dosen dan senior kampus, menunjukkan pola berulang yang melibatkan relasi kuasa. Di Indonesia, kekerasan di kampus sering kali tidak terungkap karena korban takut melapor—khawatir akan stigma, ancaman, atau dampak akademik. Penanganan yang kurang memadai, baik oleh pihak kampus maupun aparat, membuat masalah ini berulang. Beberapa kasus bahkan baru terungkap setelah korban berbicara di media sosial atau setelah adanya investigasi jurnalistik. Perlunya Tanggung Jawab Institusional Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Regulasi ini mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas PPKS, menyediakan kanal pelaporan yang aman, serta menjamin pemulihan korban. Selanjutnya dengan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) Data Komnas Perempuan 2024 menyebutkan bahwa sudah terbentuk 1.724 Satgas PPKS di perguruan tinggi. Namun, hanya 53 persen pimpinan kampus yang memberikan dukungan penuh, sementara 23 persen menyatakan masih minim dukungan. Angka ini menunjukkan bahwa pembentukan satgas belum cukup jika tidak disertai komitmen kuat dari pimpinan lembaga. Semua perguruan tinggi wajib membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan paling lambat 6 bulan setelah Peraturan berlaku (14 April 2025). Satgas lama (PPKS berdasarkan Permen 30/2021) tetap menjalankan tugas hingga masa jabatannya habis, namun mulai bekerja berdasarkan ketentuan Permen 55/2024. Keanggotaan minimal 7 orang—terdiri dari ketua, sekretaris, anggota dari berbagai unsur-dan dipilih dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Tugas Tugas utama meliputi: penyusunan pedoman, edukasi, penerimaan laporan, koordinasi layanan disabilitas, pemantauan tindak lanjut, dan pelaporan tahunan ke pimpinan kampus Di sisi lain, Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Kekerasan dalam dunia akademik adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai tersebut. Langkah Konkret Mencegah Kekerasan Perguruan tinggi tidak boleh lagi bersikap reaktif. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil stakeholders di lingkungan kampus antara lain: 1. Mengaktifkan dan memperkuat Satgas PPKS, dengan keanggotaan yang inklusif dan independen. 2. Membangun mekanisme pelaporan yang aman dan tidak memihak, dengan melibatkan konselor dan tenaga psikolog. 3. Melakukan edukasi rutin kepada dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan tentang kekerasan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan lain. 4. Meninjau ulang proses kaderisasi dan budaya organisasi kemahasiswaan, agar tidak menjadi ruang pembiaran kekerasan. 5. Memastikan pemulihan korban secara psikososial, termasuk layanan kesehatan mental dan perlindungan dari intimidasi. Kampus sebagai Ruang Peradaban Kekerasan di perguruan tinggi adalah pengkhianatan terhadap esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak bisa berjalan dalam suasana ketakutan. Kampus harus menjadi ruang aman untuk semua: tempat berpikir bebas, berdialog, dan tumbuh secara utuh sebagai manusia. Jika kita ingin membangun peradaban yang beradab, maka menjadikan kampus bebas kekerasan bukan lagi sebuah pilihan. Itu adalah keharusan moral dan konstitusional. Referensi: Komnas Perempuan, Siaran Pers 2024 GoodStats, “Tren Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”, Desember 2024 JPPI, Laporan Kekerasan Lembaga Pendidikan 2024 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang PPKS Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi CATAHU Komnas Perempuan 2023–2024 Penulis : Editor : Toto Budiman

Read More

Wahyu Kalaseba: Titah Suci Yang Memanggil Putra Wayah Nusantara Untuk Bangkit

Jakarta – 1miliarsantri.net: Wahyu Kalaseba bukan sekadar ilham atau bisikan gaib dari ruang batin yang samar. Ia adalah petunjuk Ilahi, titah suci yang turun dari langit ke dalam ruang hening kesadaran seorang insan terpilih, yang bersih dari pamrih, yang hatinya lapang menampung cinta semesta dan yang jiwanya ikhlas memikul beban zaman. Wahyu itu telah menggema, bukan lagi rahasia yang hanya diketahui di balik tirai kabut pegunungan, getaran sunyi yang hanya terdengar dalam senyapnya gua dan di balik batu karang pantai. Wahyu Kalaseba telah memanggil putra wayah pilihan Nusantara, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dari puncak gunung tertinggi hingga lembah yang terdalam. Ia datang bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijalankan, untuk dihidupkan, untuk dilaksanakan dengan sepenuh kesadaran jiwa dan raga. Masih banyak dari kita yang memilih menyepi—tirakat di atas gunung, menyatu dengan keheningan langit dan bumi, mencoba mengurai tabir rahasia kehidupan. Ada yang bersemedi di batu karang pesisir pantai, menanti bisikan ombak sebagai jawaban ilahi. Ada pula yang napak tilas ke makam para pepunden, menyusuri jejak leluhur untuk menyambung kembali warisan kesadaran adiluhung. Bahkan ada yang puasa Pati Geni 40 hari, membakar segala syahwat dunia demi membuka pintu-pintu langit. Waktunya Bangkit Namun kini, tiba waktunya untuk bangkit, bukan lagi zaman berdiam dalam sunyi, tapi zaman untuk menyalakan cahaya dalam keramaian. Tirakat dan laku batin telah membentuk kita, kini saatnya langkah konkret kita menjadi pancaran kebermanfaatan bagi umat dan semesta. Saatnya bergerak dengan langkah terukur, dengan strategi yang matang, dan dengan niat yang lurus. Wahyu Kalaseba mengandung misi besar, menyatukan Cakra Langit dan Cakra Bumi. Cakra Langit adalah simbol kehendak Ilahi atau tatanan suci dari Sang Pengatur Semesta. Sementara Cakra Bumi adalah daya gerak manusia, kekuatan kolektif anak bangsa, getaran batin rakyat yang menyatu dengan tanah airnya. Ketika keduanya tersinkronisasi, maka terbukalah jalan cahaya. Sebuah jalan yang tak hanya memulihkan tatanan duniawi, tetapi juga menyembuhkan luka-luka batin kolektif yang telah lama menjadi belenggu peradaban. Inilah titik kebangkitan, ketika langit memberikan arah, dan bumi melaksanakan gerak. Kita Adalah Perubahan Wahyu Kalaseba tidak pernah turun untuk sekedar memuliakan satu nama, satu golongan, atau satu kebenaran semu. Ia hadir demi kemaslahatan umat, demi membangunkan mereka yang tertidur dalam ilusi dunia, demi menyinari jalan mereka yang terjebak dalam hiruk pikuknya zaman. Inilah saatnya para pemegang amanah, para pewaris cahaya menyadari tugas sucinya. Tidak ada lagi waktu untuk menunggu datangnya perubahan dari luar. Sebab kitalah perubahan itu, kitalah pelaksana skenario langit di atas panggung bumi. Wahai para putra wayah Nusantara, dengarkan panggilan Wahyu Kalaseba. Ini bukan sekadar undangan spiritual, tapi tanda dimulainya pergerakan suci. Bukan pergerakan fisik semata, tetapi pergerakan kesadaran, kebangkitan nilai, dan restorasi ruh bangsa yang agung. Bersatulah, bukan dalam nama kepentingan pribadi atau golongan, tetapi dalam nama cinta tanah air dan seisinya. Lakukan langkah demi langkah dengan keteguhan hati dan kejernihan jiwa. Karena hanya dengan menyelaraskan cakra langit dan cakra bumi, kita bisa membangun kembali Nusantara yang tidak hanya kuat secara lahir, tapi bercahaya dalam batinnya.* Penulis : Ki Ageng Sambung Bhadra Nusantara Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Peran Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia

Surabaya – 1miliarsantri.net : Kurang dari sebulan lagi Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya ke 80 Tahun. Tentu momen ini sangat sakral dan lebih dari event seremonial setahun sekali, karena ada perjuangan, baik fisik, materi dan pemikiran dari pendahulu kita. Dibalik momen bersejarah ini, tentu tak luput dari peran besar dari umat islam. Islam bukan hanya sebuah identitas agama, lebih dari itu Islam menjadi sumber Inspirasi rakyat Indonesia untuk merebut kembali kedaulatan. Nilai-nilai islam seperti amar ma’ruf, nahi mungkar, dan ukhuwah menjadi bahan bakar yang tak pernah padam untuk menghentikan betapa bejatnya kolonialisme. Indonesia dan Islam adalah perpaduan masterpiece yang merepresentasikan jati diri bangsa. Melodinya begitu nyaring, menggema dari Sabang sampai Merauke. Belanda dengan politik devide et impera-nya, Jepang dengan romusha-nya, Portugis dengan kebijakan eksploitasi-nya, tidak mampu menghalangi Indonesia dari kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, Allahu Akbar  !!!. Ulama-Ulama yang berperan dalam kemerdekaan Indonesia Ulama bukan hanya handal dalam orkestrasi kata di atas mimbar, suara ulama tidak hanya nyaring terdengar di pondok pesantren tapi mereka benar-benar menjadi garda terdepan dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka. Meskipun ulama tidak memegang senapan, tapi gagasan mereka mampu menembus hegemoni kekuasaan kolonialisme yang bertahan ratusan tahun lamanya. Jumlah ulama yang berperan terhadap berdirinya Indonesia ada banyak sekali, tidak bisa disebutkan satu persatu. Namun jika disuruh menyebutkan yang berpengaruh besar, kita bisa memunculkan beberapa nama, seperti: KH Hasyim Asy’ari, begitu vokalnya ia terhadap agresi penjajah, dan beliau akhirnya menjadi pencetus Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Dan resolusi inilah yang menjadi “ Trigger “ rakyat dan santri Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945 dan hingga sekarang peristiwa tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan. Ada juga KH Ahmad Dahlan yang memperjuangkan Indonesia melalui jalur pendidikan, beliau mendirikan Muhammadiyah bukan hanya untuk organisasi islam belaka, namun juga jadi tempat mencerdaskan Anak-anak bangsa. Beliau percaya bahwa penjajahan bisa dilawan dengan Intelektualitas. Tokoh Diplomasi Islam dalam Kemerdekaan Indonesia Perjuangan merebut kemerdekaan tidak hanya berbicara soal perang senjata, tapi juga tentang diplomasi. Dibutuhkan seseorang dengan Akhlakul Karimah, punya intelektualitas tinggi, berwibawa dan mampu meyakinkan ide tentang kedaulatan “Indonesia“ kepada ratusan perwakilan negara dalam forum internasional. Dan rasa-rasanya kita sepakat bahwa KH Agus Salim adalah salah satu putra bangsa yang memiliki kompetensi tersebut. KH Agus salim merupakan sosok ideal yang bisa mencerminkan tentang bagaimana seharusnya umat islam bernegara. Beliau begitu Kaffah membela tanah air dalam forum perundingan dan salah satu yang paling memorable adalah ketika beliau hadir dalam sidang PBB 1947 di New York, Amerika Serikat. Pidato beliau tentang Hak Kemerdekaan Indonesia begitu memukau dan menjadi jalan pembuka untuk dunia internasional mengakui kedaulatan negeri ini. Semangat Toleransi Umat Islam Perumusan Dasar Negara Perancangan dasar negara pada tanggal 22 Juni 1945 juga tak lepas dari peran besar tokoh-tokoh Islam seperti KH Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo dan KH Wahid Hasyim. Mereka menyampaikan gagasan mengenai persatuan Indonesia, mereka menyampaikan prinsip-prinsip islam dalam membangun negara dengan menghormati kemajemukan yang meliputi suku, budaya, bahasa dan agama. Para tokoh-tokoh islam menjunjung tinggi toleransi, meskipun pada faktanya Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, mereka dengan bijak menyepakati penghapusan kalimat  “ dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya “ dalam piagam Jakarta. Hal ini dilakukan demi terciptanya bhinneka tunggal ika. Sebuah Refleksi menuju dirgahayu Indonesia ke 80 Kita adalah generasi muda yang beruntung bisa menikmati kemerdekaan tanpa harus ikut berperang, mengorbankan nyawa seperti pendahulu-pendahulu kita. Apakah kita masih mewarisi semangat nasionalisme seperti tokoh-tokoh Muslim seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Agus Salim atau KH Ahmad Dahlan ? Apakah kita yang merupakan generasi Muslim yang hidup di zaman sekarang bisa meneruskan legitimasi yang telah mereka ukir  ? . Indonesia saat ini masih banyak PR yang belum terselesaikan, kita mungkin sudah merdeka dari sisi kedaulatan namun kita masih belum merdeka dari ketimpangan ekonomi, budaya korupsi, pendidikan tidak merata dan itu adalah tugas kita sebagai generasi Islam sekarang, ini panggung estafet yang tepat bagi umat Muslim untuk membuat Indonesia Merdeka secara seutuhnya. Kontributor : Glancy Verona R. Editor : Toto Budiman

Read More

Pemblokiran Rekening; Objek Pajak Atau Kontrol?

Cimahi – 1miliarsantri.net: Dalam sepekan ini ramainya informasi pemblokiran rekening oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memang bisa menimbulkan keresahan di masyarakat, apalagi jika informasi tersebut tidak lengkap atau disebarkan tanpa konteks yang jelas. Minimnya informasi atas kebijakan negara membuat banyak orang yang belum memahami kewenangan dan prosedur PPATK, panik dan menimbulkan keresahan publik. Masyarakat akan menduga apakah ini bagian dari kontrol negara ataukah pengalihan isu besar lainnya. Berikut 1miliarsantri.net menyajikan catatan kritis HM Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah), dalam judul yang sangat menarik : Pemblokiran Rekening; Objek Pajak Atau Kontrol? Dasar Hukum Pemblokiran Rekening Dormant SEBENARNYA dasar hukum pemblokiran rekening Dormant (pasif) oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah ditetapkan 14 tahun silam, UU no. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tentu tidak masalah pada awalnya karena maraknya keberadaan Rekening Dormant menjadi salah satu modus favorit dalam tindakan pencucian uang. Nasabah kerap mempunyai beberapa rekening bank. Memang, nasabah sering lupa untuk melakukan transaksi pada salah satu rekeningnya, sehingga status akhirnya berubah menjadi dormant, tidak hanya itu, rekening bank nasabah yang sudah meninggal dunia juga bisa menyandang status tidak aktif. Rekening Dormant Untuk Kejahatan Digital Terkait hal ini, pada tahun 2024, PPATK menemukan ribuan rekening dormant yang digunakan sebagai penampungan dana dari hasil kejahatan digital. Sebagai informasi, rekening dormant meliputi rekening tabungan, rekening giro, maupun rekening rupiah/valas. Jika jenis rekening itu sudah tidak dipakai untuk transaksi selama 3-12 bulan, maka pihak bank biasanya akan memblokir. Pemblokiran rekening dormant ini dipertanyakan masyarakat, apalagi setelah PPATK menyatakan bahwa tindakan pemblokiran itu menguntungkan masyarakat. Masyarakat yang mana yang diuntungkan? Apakah masyarakat kecil yang semakin terdesak karena semakin sulit meng-akses keuangan, atau negara yang makin kuat kendalinya atas akses individu? Jika sistem ekonomi kita dibangun di atas dasar kapitalisme, rekening tabungan ini banyak menjadi sarana atau komponen penimbunan uang (kanzul maal), bahkan menjadi alat kejahatan pencucian uang. Bagi negara, rekening tabungan juga menjadi objek pajak yang menggiurkan dan kontrol terhadap rakyat. Berbeda di dalam sistem negara yang menjalankan syariat Islam secara kaffah bahwa “Menimbun Harta (kanzul maal) haram hukumnya” berdasarkan firman Allah SWT; وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS At Taubah [9] : 34). Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menafsirkan ayat di atas dengan berkata, ”Ketika turun ayat yang melarang menimbun emas dan perak, saat itu emas dan perak adalah alat tukar dan standar untuk menilai pekerjaan dan manfaat pada harta, baik yang tercetak seperti koin dinar dan dirham, maupun yang tidak tercetak seperti emas atau perak batangan. Jadi larangan yang ada lebih tertuju pada emas dan perak sebagai alat tukar, atau uang. Karena uang terkumpul pada orang orang tertentu saja atau hilang dari pasar, maka tidak terjadi “perputaran”, rakyat sulit berproduksi, sulit memberi upah, sulit mencari uang, maka ekonomi macet. Larangan Menimbun Harta (Kanzul Maal) Secara lebih detail, menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, larangan menimbun harta (kanzul maal) meliputi 3 (tiga) macam penyimpanan harta sebagai berikut: Pertama, menyimpan emas dan perak secara umum, baik yang dicetak sebagai uang seperti koin dinar atau dinar, maupun yang tidak dicetak sebagai uang, seperti emas batangan, baik dikeluarkan zakatnya maupun tidak dikeluarkan zakatnya. Kedua, menyimpan emas dan perak yang berupa perhiasan (al hulli), seperti kalung atau cincin dari emas/perak. Hanya saja ada hukum khusus untuk emas atau perak yang berbentuk perhiasan ini, yaitu jika tidak dikeluarkan zakatnya (ketika telah memenuhi kriteria nishab dan haul), hukumnya haram. Adapun jika dikeluarkan zakatnya, menyimpannya tidak berdosa. Ketiga, semua jenis mata uang (an nuquud) yang berfungsi sebagai alat tukar, baik dikeluarkan zakatnya maupun tidak. Hanya saja, perlu dipahami yang dimaksud menimbun harta yang diharamkan adalah menyimpan harta tanpa suatu hajat. Adapun jika menyimpan harta karena ada suatu hajat masa depan, hukumnya boleh, asalkan dikeluarkan zakatnya jika sudah memenuhi kriteria nishab dan haul. Menyimpan harta untuk suatu hajat masa depan itu disebut dengan al iddikhaar (menabung atau saving), misalnya untuk dijadikan mahar nikah, atau akan digunakan naik haji, atau akan dijadikan modal usaha dan lain lain. Negara akan mengangkat pegawai khusus yang menangani divisi nabung. Posisi Harta Dalam Perspektif Islam Dalam Islam, posisi harta atau uang bukan sekadar objek teknokrasi. Harta atau uang juga adalah amanah, Islam mengatur pemanfaatan harta dengan adil, transparan, dan penuh tanggung jawab syar’i, bukan dengan logika penguasaan sepihak oleh otoritas atas nama kontrol. Terdapat beberapa prinsif dalam Islam yang dijalankan oleh negara; Pertama, Harta pribadi dilindungi, kecuali terindikasi atau terdapat kezaliman nyata di dalamnya. Kedua, Negara tidak boleh memblokir atau menyita tanpa hujjah syar’i dan keputusan pengadilan. Ketiga, Aset tidak aktif bukan alasan untuk dilucuti. Ke-empat, semua kebijakan dilakukan bukan atas nama kontrol, tapi maslahat umat dalam bingkai wahyu. Dalam sistem Kapitalism, negara selalu mencari celah mengendalikan manusia lewat aset. Dalam Islam justeru memuliakan manusia dan hartanya, selama dipergunakan sesuai dengan syariat. Penulis : HM Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah) Foto Istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Bonus Demografi, Koperasi, dan Masa Depan Jawa Timur

Surabaya – 1miliarsantri.net : Indonesia tengah berada di puncak peluang demografis. Dalam periode 2020–2040, jumlah penduduk usia produktif Indonesia, yakni mereka yang berusia 15–64 tahun  mencapai lebih dari 70 persen dari total populasi. Ini adalah bonus demografi, suatu momentum langka dalam sejarah bangsa. Bila dikelola dengan benar, bonus ini dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara maju saat memasuki satu abad kemerdekaannya pada 2045. Dalam konteks ini, koperasi sebagai lembaga ekonomi kerakyatan memegang peranan penting dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong inklusi ekonomi. Namun, jika dibiarkan tanpa arah, ia bisa berubah menjadi bencana demografi—ledakan pengangguran, kemiskinan, dan disintegrasi sosial. Bagi Jawa Timur, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Indonesia, bonus demografi bukan sekadar angka statistik. Ia adalah peluang strategis untuk membangun masa depan, asalkan dibarengi dengan sistem pendukung yang kokoh: pendidikan yang relevan, ekosistem ekonomi kerakyatan, dan kepemimpinan muda yang kuat. Kolaborasi antara kekuatan demografi dan penguatan koperasi menjadi kunci dalam membentuk masa depan Jawa Timur yang lebih mandiri, inklusif, dan berdaya saing. Mendidik Generasi Emas Bonus demografi sejatinya adalah bonus manusia muda. Oleh karena itu, investasi terbesar harus diarahkan pada kualitas sumber daya manusia. Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat menentukan. Sayangnya, masih terjadi kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Banyak lulusan SMA dan SMK di Jawa Timur yang tidak memiliki keterampilan sesuai kebutuhan industri. Di sisi lain, semangat kewirausahaan belum ditumbuhkan secara sistemik sejak dini. Sekolah tidak boleh lagi menjadi menara gading yang terputus dari realitas. Ia harus menjadi ladang pembibitan jiwa kewirausahaan yang berbasis nilai-nilai kebangsaan, gotong royong, dan tanggung jawab sosial. Salah satu jalan menuju itu adalah melalui koperasi. Koperasi Sekolah: Laboratorium Kewirausahaan Koperasi sekolah selama ini kerap dipersempit fungsinya hanya sebagai tempat jajan atau beli alat tulis. Padahal, koperasi sekolah bisa menjadi laboratorium ekonomi kerakyatan bagi peserta didik. Di sinilah siswa belajar berorganisasi, mengelola keuangan, membuat produk, dan bertanggung jawab atas keputusan kolektif. Sudah ada sekolah-sekolah di Jawa Timur yang memulai langkah ini. Misalnya, SMA Kertajaya Surabaya yang mewajibkan siswa membawa tumbler dan memproduksi sabun cuci sendiri. Produk tersebut lalu dipasarkan melalui koperasi sekolah, sekaligus sebagai bentuk praktik kewirausahaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Jika koperasi sekolah diperkuat dan difasilitasi secara sistematis, maka kita tidak hanya melahirkan lulusan yang pintar teori, tapi juga tangguh dalam praktik hidup—kreatif, mandiri, dan kolaboratif. Koperasi Merah Putih: Hilirisasi Bonus Demografi Di tingkat masyarakat luas, koperasi juga memainkan peran penting sebagai hilir dari proses pendidikan dan pelatihan. Koperasi Merah Putih, sebagai inisiatif kolektif berbasis nilai-nilai Pancasila, bisa menjadi wadah bagi alumni sekolah, pemuda desa, maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan usaha bersama, saling menopang, dan membangun kekuatan ekonomi lokal. Melalui koperasi, bonus demografi bisa dikelola dalam bentuk usaha kolektif, bukan individualistis. Model koperasi inilah yang dapat memperkuat ketahanan sosial-ekonomi, khususnya di daerah-daerah yang rentan terhadap pengangguran dan migrasi ke kota. Integrasi Hulu-Hilir: Pendidikan Bertemu Ekonomi Kerakyatan Untuk mengoptimalkan bonus demografi, kita memerlukan sinergi antara hulu (pendidikan) dan hilir (ekonomi rakyat). Sekolah-sekolah menanamkan karakter dan keterampilan, sementara koperasi—baik koperasi sekolah maupun koperasi masyarakat—menjadi ruang praktik, produksi, dan distribusi. Di sinilah peran pemerintah daerah sangat menentukan. Regulasi yang mendukung, insentif koperasi sekolah, pelatihan berjenjang, dan pendampingan profesional akan menjadi pendorong utama keberhasilan strategi ini. Menuju Indonesia Emas dari Akar Rumput Bonus demografi adalah peluang sekali seumur hidup. Jika disia-siakan, kita akan menjadi negara tua sebelum sempat menjadi negara kaya. Namun jika dikelola dengan serius, dimulai dari unit-unit terkecil seperti koperasi sekolah dan koperasi desa, Indonesia bukan hanya siap menyongsong masa depan, tapi juga mampu memimpinnya. Jawa Timur memiliki segala potensi: jumlah penduduk muda yang besar, tradisi gotong royong yang kuat, dan jaringan pendidikan yang luas. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk menata ulang sistem, memulainya dari bawah, dan mempercayai bahwa anak-anak muda bukan beban pembangunan, melainkan penentu arah bangsa. Surabaya, 31 Juli 2025 Editor : Toto Budiman Oleh : M.Isa Ansori *) Penulis adalah Pegiat Pendidikan dan Perlindungan Sosial. Aktif dalam isu-isu kebijakan publik dan kesejahteraan rakyat. Pengurus LPA Jatim, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang dan Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya

Read More