Kesenjangan Regulasi AI Picu Kekhawatiran Negara Berkembang

Dengarkan Artikel Ini

Brussels – 1miliarsantri.net: Penerapan resmi Artificial Intelligence Act (AI Act) oleh Uni Eropa mulai 1 Agustus 2024 menandai era baru pengaturan kecerdasan buatan (AI) secara komprehensif. Regulasi ini diberlakukan bertahap selama 6 hingga 36 bulan ke depan, menjadi tonggak penting dalam memastikan penggunaan AI yang aman, transparan, dan menghormati hak asasi manusia.

Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul kekhawatiran serius bahwa kesenjangan regulasi antara Eropa dan negara-negara berkembang akan membuka celah bagi perusahaan teknologi global untuk memanfaatkan wilayah yang pengawasannya lemah sebagai lokasi eksperimen teknologi baru.

AI Act: Standar Ketat Uni Eropa untuk Risiko Tinggi

AI Act mengklasifikasikan sistem AI berdasarkan tingkat risiko. Sistem berisiko tinggi, seperti pengenalan wajah, penilaian otomatis dalam perekrutan, dan pemantauan massal, diwajibkan menjalani audit independen, memenuhi standar transparansi teknis, serta menyampaikan laporan berkala.

Sementara itu, sistem yang dianggap menimbulkan risiko tak dapat diterima, seperti manipulasi perilaku menggunakan subliminal techniques atau social scoring oleh pemerintah, dilarang total.

Tujuan utama AI Act adalah membangun kepercayaan publik terhadap AI sekaligus melindungi hak-hak dasar warga Eropa. Namun, laporan European Digital Rights (EDRi) pada Juli 2025 menyoroti fenomena regulatory arbitrage di mana perusahaan mencari pasar dengan regulasi longgar untuk menguji sistem yang mungkin gagal memenuhi standar ketat Eropa.

Menurut EDRi, kondisi ini berpotensi menciptakan ekosistem global yang timpang, di mana masyarakat di negara dengan regulasi lemah menjadi “kelinci percobaan” teknologi berisiko tanpa perlindungan memadai.

Negara Berkembang di Persimpangan Risiko dan Kebutuhan

Organisasi pemantau hak digital seperti Access Now dan AlgorithmWatch menilai, tren penerapan AI di negara berkembang semakin mengkhawatirkan. Wilayah dengan perlindungan data rendah dan akses hukum terbatas menjadi target implementasi sistem AI skala besar, seperti pengenalan wajah di ruang publik atau penilaian otomatis untuk distribusi bantuan sosial.

Masalah utamanya adalah mekanisme koreksi hampir tidak ada ketika sistem melakukan kesalahan, sehingga hak-hak warga terancam.

Meski UNESCO telah merilis rekomendasi etika global AI sejak 2021, adopsinya masih minim. Data Global Partnership on Artificial Intelligence (GPAI) menunjukkan, hanya 12% negara di Afrika dan Asia Selatan yang telah memiliki kerangka hukum AI yang berjalan efektif hingga pertengahan 2025.

Ketiadaan regulasi ini memperbesar ketimpangan digital dan membuka peluang terjadinya diskriminasi algoritmik. Laporan tahunan Center for AI and Digital Policy (CAIDP) pada 2025 menyebut, lebih dari 60% negara belum memiliki kebijakan AI yang mengikat secara hukum. Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara disebut sebagai dua wilayah paling rentan karena ketergantungan tinggi pada platform asing dan lemahnya infrastruktur hukum.

CAIDP juga mencatat, dalam dua tahun terakhir terdapat sekitar 30 proyek uji coba AI oleh korporasi multinasional di luar yurisdiksi utama mereka, banyak di antaranya tanpa pengawasan publik. Proyek ini mencakup analisis emosi di aplikasi pendidikan, penyortiran dokumen pemerintah secara otomatis, hingga pengenalan wajah di perkotaan.

Tantangan Global: Dari Etika hingga Geopolitik

Laporan Global AI Index 2025 dari Tortoise Media mengungkap hanya 10 negara yang memiliki kombinasi kuat antara inovasi AI, infrastruktur, dan tata kelola hukum. Negara dengan skor rendah pada indikator governance cenderung memiliki celah hukum yang mudah dimanfaatkan oleh aktor teknologi internasional.

Organisasi Digital Freedom Forum menyoroti bahwa sebagian besar negara berkembang belum memiliki mekanisme ganti rugi hukum ketika AI menyebabkan kerugian atau diskriminasi. Bahkan, sering kali data pribadi warga digunakan untuk melatih model AI tanpa persetujuan sah, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip keadilan data internasional.

Meski belum ada skandal besar yang mencuat, para analis memperingatkan bahwa penundaan regulasi hanya akan memperbesar risiko di masa depan. Dalam konteks ini, AI bukan sekadar isu teknologi, melainkan juga persoalan geopolitik dan ekonomi global.

Ke depan, AI Act Uni Eropa diprediksi akan menjadi tolok ukur global. Namun, keberhasilan standar ini untuk menciptakan dampak positif yang merata sangat bergantung pada kerja sama lintas kawasan. Tanpa harmonisasi regulasi, AI justru berpotensi memperdalam ketimpangan global dalam hal kontrol, akuntabilitas, dan keadilan algoritmik.

Penulis: Faruq Ansori

Editor: Glancy Verona

Foto By AI


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca