Masjid Agung Kota Tegal, Antara Kebesaran dan Bukti Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro

Tegal — 1miliarsantri.net : Penting untuk mengetahui misteri sejarah dan keunikan Masjid Agung Tegal agar semangat dalam memperjuangkan kehidupan tetap terjaga. Inilah misteri sejarah dan keunikan Masjid Agung Tegal yang menjadi saksi bisu perang Dipenogoro.

Selain bangunan masjid yang besar dan megah, ternyata terdapat sejarah di dalamnya serta keunikan yang masih jarang diketahui.

Masjid Agung Kota Tegal berdiri diatas tanah yang diwakafkan oleh seorang Penghulu I yang juga berprofesi sebagai tokoh agama dan muballigh bernama Kiai Abdul Aziz. Luas tanah wakaf pembuatan masjid ini mencapai 2.864,36 m2. Masjid Agung Kota Tegal ini diperkirakan dibangun pada tahun 1825 M.

Bagaimana sejarah tercipta pada masjid ini? Dan apa keunikan yang berada di dalamnya? Simak artikel ini sampai selesai.

Di antara riwayat perang epik antara Pangeran Diponegoro dan penjajah Belanda yang dikenal sebagai Perang Jawa, terdapat sebuah bangunan yang menyimpan sejuta cerita.

Masjid Agung Kotamadya Tegal, Jawa Tengah, memiliki hubungan erat dengan periode bersejarah tersebut.

Pada rentang tahun 1825-1830, ketika Perang Jawa pecah, K.H. Abdul Aziz mulai membangun masjid ini.

Kehadiran masjid ini pada masa perang menjadikannya saksi bisu perlawanan Pangeran Diponegoro dan pengikut setianya dalam mempertahankan kebenaran.

K.H. Abdul Aziz, pendiri masjid ini, adalah seorang ulama dan penghulu pertama di kota Tegal. Dia juga memiliki hubungan keluarga dengan Raden Reksonegoro, Bupati Tegal saat itu.

Karena ikatan kekerabatan dan ikatan ukhuwah islamiyah yang kuat, pembangunan Masjid Agung Tegal berlangsung lancar tanpa hambatan.

Menurut catatan sejarah, Masjid Agung Tegal telah mengalami beberapa kali renovasi sejak didirikan. Pada tahun 1927, ruang paseban masjid direnovasi karena sudah tidak representatif lagi.

Sebagai penggantinya, dibangunlah KUA (Kantor Urusan Agama), tempat bagi umat Islam Tegal untuk melangsungkan pernikahan.

Pada tahun 1953-1954, Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun kota Tegal ini mengalami renovasi besar-besaran. Serambi depan masjid diperluas ke arah depan sehingga menyatu dengan KUA.

Untuk memenuhi kebutuhan jamaah akan air wudhu, tempat wudhu sebelah kanan masjid diperbaiki pada tahun 1970.

Pada tahun 1985, atap masjid dirombak dan diganti dengan atap tumpang, memberikan tampilan yang lebih modern pada bangunan masjid ini.

Namun, meskipun atapnya telah diperbaharui, jika kita melihat masjid ini dari belakang, gaya arsitektur modernnya tidak akan terlihat.

Bagian belakang masjid ini belum pernah direnovasi dan masih mempertahankan kesan kuno hingga saat ini.

Masjid Agung Tegal memiliki dua lantai di bagian depannya dan mampu menampung lebih dari 4000 jamaah.

Lantai bawah digunakan sebagai ruang utama masjid, sedangkan lantai atasnya digunakan untuk berbagai kegiatan keislaman, seperti pengajian bagi kaum bapak dan kaum ibu setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu setelah Subuh.

Pengajian Al-Qur’an untuk para remaja biasanya diadakan setiap hari Rabu, Kamis, dan Sabtu malam. Sedangkan pengajian umum diselenggarakan setiap hari Senin setelah Subuh.

Sebagai masjid yang terletak di pusat kota Tegal, setiap kali waktu shalat fardu lima tiba, masjid ini selalu dipadati oleh jamaah yang ingin melaksanakan shalat berjamaah.

Terutama umat Islam di sekitar masjid yang dikenal sangat taat beragama, termasuk para pegawai Pemerintah Kota Tegal dan instansi pemerintah lainnya.

Menariknya, Masjid Agung ini berjarak tidak terlalu jauh dari pendopo Walikota Kota Tegal, sekitar 150 meter ke arah barat laut.

Panggilan azan dikumandangkan melalui pengeras suara yang dipasang di puncak menara masjid setiap kali waktu shalat tiba.

Namun, jika kita telusuri sejarah Masjid Agung Tegal dengan lebih dalam, terdapat satu keunikan tersendiri yang terjadi di sana.

Pada tahun 1980-an, ketika waktu berbuka puasa tiba selama bulan Ramadan, tradisi membakar petasan raksasa di halaman masjid menjadi momen yang ditunggu-tunggu.

Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa waktu magrib atau berbuka puasa telah tiba.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih, tradisi membakar petasan raksasa yang terlihat mubazir tersebut akhirnya ditiadakan.

Sebagai gantinya, waktu berbuka puasa diumumkan melalui azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara di menara masjid setinggi 32 meter, dan juga disiarkan melalui radio dan televisi yang saat ini semakin banyak.

Masjid Agung Tegal adalah bukti hidup perjuangan dan kesetiaan Pangeran Diponegoro dalam mempertahankan kebenaran.

Melalui keunikan sejarahnya dan keindahan arsitektur yang masih terpancar hingga saat ini, masjid ini tetap menjadi tempat ibadah yang bersejarah dan terhormat bagi umat Islam di Kota Tegal dan sekitarnya. (yud)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *