Latar Berdirinya NU Tak Lepas dari Peristiwa Komite Hijaz, yang dikirimkan ke Saudi

Surabaya — 1miliarsantri.net : Sebuah peristiwa historis terjadi pada tanggal 26 Januari 1926 di Kampung Kertopaten, Surabaya (Jawa Timur), dimana ratusan ulama terkemuka berkumpul di kediaman KH Abdul Wahab Hasbullah. Dan, dalam pertemuan inilah Nahdlatul Ulama (NU) lahir.

Di antara para kiai itu, terdapat KH Muhammad Hasyim Asy’ari, sosok ulama karismatik yang sangat disegani saat itu. Pertemuan ini, menurut Choirul Anam, diadakan atas undangan Komite Hijaz yang menjadi cikal bakal berdirinya NU.

Awal mulanya NU memang tidak dapat lepas dari Komite Hijaz. Komite ini bermula dari suatu panitia khusus yang dibentuk oleh KH Abdul Wahab Hasbullah atas restu KH Hasyim Asy’ari yang menjadi kiai sepuh. Ibaratnya, Kiai Wahab membuat wadahnya dan Kiai Hasyim memberi ruhnya.

Tugas utama komite yang beranggotakan puluhan ulama dan pendiri pondok pesantren itu, antara lain merumuskan sikap para ulama pemegang mazhab ahlussunnah wal jama’ah untuk disampaikan kepada penguasa di Hijaz (Arab Saudi), Raja Saud.

Ketika pertemuan berlangsung ada pertanyaan muncul, yakni siapa nantinya yang berhak mengirim delegasi ke kota suci Makkah. Selain itu, apa nama dan bentuk organisasi yang akan memberi mandat kepada delegasi Komite Hijaz.

Menjawab pertanyaan tersebut, para ulama dan pimpinan pondok pesantren pun sepakat untuk membentuk suatu jam’iyah — wadah baru bagi persatuan dan perjuangan ulama. Namun, apa nama yang patut diberikan kepada jam’iyah ini?

Maka, terjadilah perdebatan cukup seru di antara para ulama sekitar nama jam’iyah yang bakal dibentuk tersebut. Dalam perdebatan itu muncul dua pendapat. KH Abdul Hamid, dari Pondok Pesantren Sedayu, Gresik, mengusulkan nama Nahuddul Ulama (kebangkitan ulama) dengan alasan para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui jam’iyah tersebut. Usul tersebut mendapat tanggapan dari KH Mas Alwi Bin Abdul Azis.

Kiai dari Ampel, Surabaya, ini berpendapat sebenarnya kebangkitan ulama bukan lagi mulai atau akan bangkit. Tapi, sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, ‘sudah bergerak’ jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz, sekalipun belum terorganisir secara rapi. Atas dasar itulah KH Mas Alwi mengajukan usul nama Nahdlatul Ulama. Sama-sama berarti ‘kebangkitan ulama’ tapi pengertiannya lebih luas.

Lebih condong pada gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan, atau gerakan bersama-sama yang terorganisir. Usul tersebut diterima secara aklamasi. Maka, saat itu juga berdirilah jam’iyah Nahdlatul Ulama yang biasa disingkat NU. Dan, hari itu, tepat 16 Rajab 1344 H atau 26 Januari 1926, ditetapkan sebagai hari lahir NU.

Sekalipun KH Wahab Hasbullah adalah pencetus, perintis dan penggerak utama pembentukan NU, ia tidak bersedia menduduki jabatan Rais Akbar yang merupakan jabatan tertinggi dalam jam’iyah NU. Jabatan itu diserahkan kepada KH Hasyim Asy’ari, karena ialah saat itu tokoh pemersatu dan paling disegani di antara para ulama dan pimpinan pondok pesantren. Dalam pertemuan itu terpilih pula KH Ahmad Dachlan (Surabaya) sebagai wakil Rais Akbar.

Presiden Tanfidziah (eksekutif) dipercayakan kepada H Hasan Gipo yang juga aktif dalam Komite Hijaz. Sedangkan KH Wahab Hasbullah cukup puas menduduki jabatan Khatib ‘Aam (sekretaris umum) Syuriah (legislatif). Jelas, peran KH Hasyim Asy’ari dalam pendirian NU sangat besar.

Saat itu ia diakui oleh masyarakat luas sebagai kiai yang sangat disegani dan dihormati di Jawa. Karena itu, untuk membujuk para kiai yang lebih berpengaruh agar mau mendukung berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah memerlukan dukungan moril KH Hasyim Asy’ari.

Suatu hari, KH Wahab Hasbullah juga pernah mengusulkan kepada KH Hasyim Asy’ari agar mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan membela kedudukan ulama dan otonomi pesantren dari serangan kaum modernis. Karena KH Hasyim Asy’ari tidak memberikan restu, usulan tersebut gagal terlaksana. Begitu hormatnya Kiai Wahab kepada KH Hasyim, sehingga ketika diangkat menggantikannya ia tidak lagi menggunakan istilah Rois Akbar, tapi Rois Aam.

Sejak meninggalnya KH Hasyim pada 25 Juli 1947 sebutan Rois Akbar tidak diberlakukan lagi dan diganti Rois Aam — sebutan itulah yang dipakai NU sampai saat ini. Pemilihan terhadap KH Hasyim Asy’ari, menurut almarhum KH Saifuddin Zuhri, didasarkan pada relevensi perjuangan Hadratus Sheikh.

“Beliau merupakan salah seorang dari sedikit ulama di abad ke-20 yang telah berhasil mencetak ribuan kiyai, yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok tanah air,” katanya suatu hari.

Ada faktor penting yang melatarbelakangi dibentuknya Komite Hijaz. Saat itu perkembangan politik Islam secara makro tidak menguntungkan posisi kalangan Islam yang berpaham ‘mazhab’. Suasana politik di Timur Tengah, misalnya, menempatkan gerakan Wahabi di atas angin. Situasi di Indonesia saat itu juga kurang menguntungkan para ulama di pesantren yang secara teguh mempertahankan mazhab.

Ketika itu sering muncul pertentangan pendapat — terutama yang menyangkut masalah khilafiah — antara NU dan Muhammadiyah. Bahkan, pada saat kongres (IV dan V) umat Islam di Yogyakarta (21 sampai 25 Agustus 1925), dan di Bandung (5/2-1926), dalam mencari input untuk kongres Islam di Makkah, aspirasi kalangan pesantren samasekali tidak tertampung. Peran kalangan ‘modernis’ saat itu memang lebih besar.

Sebagai contoh adalah usul kalangan ulama pesantren yang disampaikan KH Wahab Hasbullah agar tradisi bermazhab tetap diberi kebebasan oleh penguasa Arab Saudi. Ternyata usul ini tidak masuk agenda kongres. Ulama pesantren juga mengusulkan agar beberapa makam penting di kota-kota suci Makkah dan Madinah, mulai dari makam Rasul sampai makam sahabat dan tempat-tempat bersejarah lainnya, dapat dipelihara dengan baik. Karena materi usulan itu tidak masuk dalam agenda kongres, maka didirikanlah Komite Hijaz.

Tujuannya untuk menyampaikan aspirasi para ulama kepada penguasa Arab Saudi. Dalam rapatnya di Surabaya yang dihadiri para tokoh generasi awal NU, diputuskan KH Bisri Syansuri dan KH Adnan (Kudus) yang akan berangkat menemui Raja Arab Saudi. Tapi, pemberangkatan delegasi itu tertunda karena waktu pelaksanaan ibadah haji berakhir.

Di kemudian hari berangkatlah Syekh Ahmad Chanaim Al-Misri ke Makkah untuk menyampaikan keputusan dari rekomendasi rapat Komite Hijaz kepada Raja Ibnu Suud. Usulan ini berhasil dan diterima penguasa Arab Saudi. Ibnu Suud bahkan memberikan jaminan bahwa ia akan berusaha memperbaiki pelayanan ibadah haji sejauh perbaikan itu tidak melanggar aturan Islam.

Sejak berada di Makkah, Kiai Hasyim sudah bertekad untuk mempersatukan ummat dan bersumpah memperjuangkan Islam. dalam buku Al ‘Alamah Muhammad Hasyim Asy’ari, pengarang Indonesia yang lama bermukim di Arab Saudi, Muhammad Asad Shahab, menulis bahwa sebelum kembali ke Indonesia, dalam bulan Ramadhan, Kiai Hasyim sempat bertemu dengan beberapa sahabatnya dari Afrika, Asia dan negara-negara Arab.

Di antara mereka terdapat Muhammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan. Dalam pertemuan itu terjadi kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di depan multazam di Kabah. Mereka bertekad untuk berjuang di jalan Allah demi tegaknya agama Islam.

Mereka juga bertekad untuk mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam. Sumpah di Multazam, yang diyakini merupakan tempat doa yang dikabulkan Allah, akhirnya menjadi kenyataan.

Kyai Hasyim, demikian pula Ali Jinnah dan beberapa pemuda Islam lainnya, sejak saat itu berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu penjahan. Di tanah air, KH Hasyim, pada 1899, mendirikan pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah ia menggembleng dan menghimpun pemuda-pemuda muslim yang tangguh dan mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, serta mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara.

Pada masa revolusi fisik, ketika kota Surabaya dikuasai Belanda,utusan Bung Tomo — para lasykar pejuang — menginjakkan kakinya di pintu gerbang pesantren Tebuireng. Mereka langsung masuk ke kediaman KH Hasyim Mereka menghaturkan salam Bung Tomo agar Kiyai Hasyim segera mengungsi keluar Jombang. Tapi, ia tetap bertahan di pesantrennya. (jeha)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *