Kemunduran Islam di Era Syekh Syakib Arslan

Jakarta – 1miliarsantri.net : Faktor-faktor yang mempengaruhi umat Islam mengalami kemunduran adalah kebodohan, tanggung dalam menguasai ilmu pengetahuan, bobroknya akhlak, dan sifat pengecut. Benar kah demikian adanya? Apa sebenarnya kemajuan Islam yang dinginkan Syakib Arslan? Pertanyaan mengapa umat Islam mundur sedangkan non-Islam maju muncul di masa kolonial (1929) dari salah seorang Alim Ulama Indonesia, Syekh Basyuni Imran, dalam tafsir Al-Manar, karangan Syekh Muhammad Rasyid Rida. Siapakah Syekh Basyuni? Beliau pernah kuliah di Madrasah Dar-Al Da’wah wa Al-Irsyad Mesir asuhan Rasyid Rida. Pertanyaan tersebut oleh Rasyid Rida diserahkan kepada kawannya, Amir Syakib Arslan untuk menjawabnya. Berikut isi pertanyaannya: ١. ما أسباب صار إليه المسلمون (ولا سيما نحن مسلمو جاوة وملايو) “من الضعف والإنحطاط في الأمور الدنيوية والدينية معا, وصرنا أذلاء لاحول لنا ولا قوة, وقد قال الله تعالى في كتاب العزيز: ” ولله العزة ولرسوله وللمؤمنين”. فأين عزة المؤمن الآن؟ وهل يصح المؤمن أن يدعي أنه عزيز وإن كان ذليلا مهانا ليس عنده شيء من أسباب العزة إلا لأن لله تعالى قال: ولله العزة و لرسوله وللمؤمنين. ٢. ما الأسباب التي ارتقى بها الأوروبيون والأمريكانون واليبانيون ارتقاء هائلا؟ وهل يمكن أن يصير المسلمون أمثالهم في هذا الإرتقاء إذا اتبعوهم في أسبابه مع المحافظة على دينهم الإسلام أم لا؟ Syekh Syakib Arslan (1869-1946) adalah seorang pemimpin (amir) Druz, sebuah sekte Syiah Isma’iliyyah Fathimiyyah, Lebanon yang karena kepiawaian penanya dia diberi gelar “Amir Al-Bayan”. Dia sangat terinspirasi oleh Jalaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta bersahabat erat dengan Rasyid Rida. Beliau juga salah seorang pendukung kebijakan-kebijakan Pan-Islamik Sultan Abdul Hamid II dan mendukung gagasan bahwa keberlangsungan Imperium Usmani adalah satu-satunya jaminan untuk menyatukan umat Islam yang terpecah belah dan berada di bawah penjajahan Eropa. Arslan menjawab pertanyaan-pertanyaan Basyuni Imran dalam beberapa bagian di kitab tafsir Al-Manar, yang kemudian diterbitkan olehnya sendiri sebagai sebuah karya buku dengan judul “Limadzaa taakhara Al-Muslimun wa taqaddama ghayruhum?” Pemikiran Syekh Syakib Arslan ini juga harus dipahami dalam konteks waktunya, yang terjadi di masa kolonialisasi dunia Islam oleh Barat dan masa antara dua Perang Dunia I dan II. Arslan gregetan melihat kemerosotannya semangat kaum muslim untuk meraih kejayaannya kembali, terutama keluar dari penjajahan dan ketergantungan dari Barat, lalu membangun peradaban atas prinsip spirit Islam. Dengan cermatnya Arslan mengidentifikasi sebab-sebab Islam bisa meraih kejayaan di masanya serta kemajuan yang sangat pesat, sebelum dia menganalisis sebab-sebab keruntuhannya. Pertama, Arslan percaya kalau sumber kemajuan Islam ialah “ada di dalam Islam itu sendiri” dengan mempertahankan identitas serta keautentikannya. Ini terbukti dari sejarah kemunculan Islam di semenanjung Arabia yang mampu menyatukan berbagai etnik dan ras yang ada di Arab, dan membawa mereka dari barbarisme menuju peradaban, dari kekejaman menuju cinta kasih dan sayang, serta menghapus politeisme dan merestorasi peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itu tidak ada kekuatan yang dapat mencegah perkembangan Islam ke segenap penjuru dunia, kecuali perpecahan dan perang saudara di antara mereka sendiri, seperti yang terjadi di akhir periode Utsman bin Affan dan periode Ali bin Abi Thalib. Dan Islam pun mampu membangun peradaban dunia di Abad pertengahan–tepatnya pada masa dinasti Abbasiyah- dengan gemilang. Menurutnya, sebagian besar bagian dari kekuatan inspirasi yang mengantarkan pada kemenangan dan capaian-capaian mereka itu pada masa dia telah hilang, walau jejaknya mungkin masih bisa dilacak. Dengan melihat dari segi geopolitik yang dulu negeri asing mulai memasuki Arab, seperti Persia yang menduduki Yaman, Romawi di ujung negeri Hijaz dan bagian timur Syam. Kemerdekaan mereka semua tidak lepas dari spirit serta inspirasi yang disalurkan oleh umat Islam. Namun setelah itu, justru ada pada orang lain, terutama, saat itu Eropa, Amerika, dan Jepang. Padahal Allah SWT telah menjanjikan kepada umat Islam di dalam Firman-Nya: و لله العزة ولرسوله وللمؤمنين ”Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.” (Al-Munafiqun: 8) وكان حقا علينا نصرالمؤمني ”Dan merupakan hak Kami(Allah) untuk menolong orang-orang beriman.” (Ar-Rum: 47) Tentu beberapa kemunduran yang dialami oleh umat Islam tersebut bukan berarti Allah SWT tidak menepati janji sesuai dengan Firman-Nya. Al-Qur’an tidak akan ingkar dan bohong, akan tetapi umat Islam itu sendiri yang harus merevolusi itu semua, hal ini telah diperingatkan oleh Allah SWT: إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسه ”Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11) Kemudian muncul beberapa pertanyaan dalam mengomentari ayat tersebut. Mengapa justru Allah SWT tidak menggantikan semua kegagalan dan kemunduran umat Islam dengan mengangkat derajatnya kepada kemuliaan? kan itu mudah sekali bagi Allah? Bukankah hal semacam itu terhitung akan tidak adilnya Allah SWT kepada umat Islam?, Syekh Amir Syakib Arslan tanpa berpikir panjang langsung menanggapi: وما قولك في عزة دون استحقاق, وفي غلة دون حرث ولا زرع, وفي فوز دون سعي ولا كسب, وفي التأييد دون أدنى سبب يوجب التأييد؟ “Segala yang anda katakan mengenai kemuliaan atau kekuatan (tidak mengerti teorinya) itu tidak sepantasnya, apa jadinya hsil panen tanpa ada yang ditanam, apa jadinya kesuksesan tanpa disertai dengan adanya usaha dan kerja keras, apa jadinya sebuah tekad yang bulat tanpa disertai dengan adanya sebab untuk mewujudkannya?” Tidak heran bahwa ucapan seperti itu terlontar dari lisan Syakib Arslan dengan melihat kondisi umat Islam pada saat itu yang semakin malas, suka mengesampingkan amal ibadah, menyelisihi syariat yang telah Allah SWT tetapkan berupa yang haq dan batil, antara yang muḍarat dan manfaat, hingga yang positif dan negatif. Menurut Arslan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran umat Islam. Pertama adalah kebodohan, tidak tanggung-tanggungnya kebodohan mereka hingga tidak bisa membedakan antara khamr dan cuka. Seakan-akan zaman jahiliyah kembali menghantui keberadaan umat Islam dan menjadi sandra yan paten yang tidak bisa ditolak. Kedua yaitu ilmu yang tanggung, kejadian seperti ini merupakan hal yang lebih bahaya daripada kebodohan. Karena suatu kebodohan jika Allah SWT telah menunjukkannya kepada seorang mursyid yang alim maka dia akan taat dan tidak membangkang pada sang mursyid, sedangkan orang yang memiliki ilmu setengah-setengah dia akan menjadi orang yang merasa paling benar bahkan tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak tahu dan merasa tidak puas atas ketidaktahuannya, seperti yang dikatakan oleh suatu maqalah Arab: إبتلائكم بمجنون خير من إبتلائكم بنصف مجنون “Bencana yang menimpamu berupa orang gila itu lebih baik daripada bencana yang menimpamu berupa orang setengah…

Read More

Imam Bukhori Terinspirasi Dua Ayat Al Qur’an ini

Jakarta – 1miliarsantri.net : Siapa yang tidak mengenal atau mendengar nama Imam Bukhari. Nama beliau sering disebut dalam banyak hadist maupun beberapa kitab lain nya. Imam Bukhori pernah menyisipkan bab berjudul Hifdzhul Ilmi dalam Shahihnya. Bab ini dikatakan oleh Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolani sebagai bab yang hanya mengulas tentang Abu Hurairah RA. Dalam bab tersebut, Abu Hurairah berkata: “Sungguh yang paling banyak menyampaikan hadits adalah Abu Hurairah. Jika bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, maka aku tidak akan mengeluarkan satu hadits pun.” Imam Bukhari menjelaskan, dua ayat yang dimaksud itu adalah ayat 159-160 Surat Al Baqarah. Allah SWT berfirman: “Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat, kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS Al Baqarah ayat 159-160) Abi Abdullah Muhammad Sa’id bin Silan dalam bukunya, Adabu Thalibil Ilmi (terj. Muyassir Hadil Anam), menukil hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Al-A’raj yang mendengar Abu Hurairah berkata: (إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني)، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه)؛ “Kalian mengira Abu Hurairah meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah SAW. Hanya Allah Yang Mahamembuat Perhitungan. Aku ini miskin dan aku membantu Rasulullah SAW dengan batas kemampuanku. Kaum Muhajirin sibuk berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka Rasulullah SAW bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Mendengar hal tersebut, Abu Hurairah pun membentangkan bajunya, lalu beliau SAW menyampaikan haditsnya. “Aku pun menghimpunnya dalam diriku. Alhasil, aku tidak lupa sedikit pun dari apa yang aku dengar dari Rasulullah SAW.” Abu Hurairah RA adalah sahabat yang paling hafal hadits dan paling banyak meriwayatkan, meski persahabatan dirinya dengan Nabi SAW tidak panjang, yakni tidak lebih dari tiga tahun. Ibnu Umar RA mengatakan, Abu Hurairah adalah orang yang menghafal hadits untuk umat Islam. Asy Syafi’i berkata, “Abu Hurairah adalah perawi hadits yang paling hafal pada zamannya.” (fil)

Read More

Hal-hal Nyeleneh Dalam Tasawuf

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Abu Yazid Al-Basthami pernah mengajak beberapa muridnya untuk bertemu salah seorang yang saat itu mulai terkenal dengan kewalian, zuhud, dan sering dikunjungi oleh orang banyak. Saat sampai ke tempat orang yang dituju, Abu Yazid melihatnya sedang shalat, dan membuang ludah ke arah kiblat. Sebagaimana yang diketahui, makruh hukumnya membuang ludah ke arah kiblat. Tanpa banyak basa-basi, Abu Yazid langsung putar balik dan pulang. Ia berkata kepada muridnya, “Orang itu tidak mengamalkan adab-adabnya Rasulullah, bagaimana mungkin saya bisa percaya dengan klaim dia sebagai wali?” Meskipun ini cuma makruh, yang bahkan sebagian orang akan menilai bahwa selama itu tidak berdosa akan tidak masalah, akan berbeda cara pandangnya jika yang melihat adalah ahli tasawuf dan objeknya adalah orang yang mengaku sebagai wali dan memiliki karamah. Cara menilai ahli tasawuf adalah seberapa kuat ia berpegangan dengan syariat, bukan senyeleneh apa ia berbuat. Dari apa yang diperbuat oleh Abu Yazid, kita paham hakikat makna dari ucapan -Faqih Mishr, Laits bin Sa’ad: “Jika kalian melihat orang berjalan di atas air dan terbang di atas langit, jangan tertipu, sampai kalian lihat bagaimana keseharian dia dengan Al-Quran dan Sunnah.” Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, seorang wali besar yang diakui keilmuan dan kewaliannya oleh banyak ulama di masanya, penulis kitab Sullam al-Taufiq, pernah berkata dengan perkataan yang menggambarkan kesehariannya selama hidup, “Aku tidak pernah melakukan hal yang dihukumi makruh, bahkan tidak pernah terlintas di hatiku keinginan untuk melakukan hal tersebut.” Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, meskipun sudah mampu menggabungkan antara ilmu zhahir dan bathin, sebagaimana Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penulis Maulid Simtudh Dhurar menilai beliau sebagai al-Jami’ baina Ilmai al-Zhahir wa al-Bathin, kita tidak akan pernah melihat beliau mengucapkan atau melakukan hal-hal yang nyeleneh. Kita belajar dari keseharian beliau, bahwa orang yang semakin tinggi dan hebat tasawufnya, akan semakin kuat ibadah syariatnya. Wirid harian beliau, sebagaimana yang sudah masyhur: shalat malam dengan 10 juz Al-Quran, shalat Dhuha dengan 8 juz Al-Quran, membaca Ya Allah 25.000 kali, membaca kalimat tahlil 25.000 kali, dan shalawat 25.000 kali. Inilah “nyeleneh” yang diajarkan beliau: ibadah yang berbeda dengan kebanyakan orang. Bukan sekedar ucapan dan omong kosong belaka. Setelah semua itu, ibadah dan wirid yang sangat banyak, beliau memiliki doa yang juga masyhur, yang isinya mengakui kekurangan dalam ibadah dan banyanya kesalahan: “Ya Allah, kami tidak memiliki amal. Semua perbuatan kami hanya kesalahan dan dosa. Namun kami punya harapan kepada-Mu agar Engkau menghapus kesalahan itu. Wahai Dzat yang mendengarkan doa, kami memohon taubat nasuha, dan ampunan dosa, sebelum dosa itu terlihat oleh para makluk-Mu.” Sayyid Al-Qutb Ahmad Al-Rifa’i mengatakan: “Jangan kalian mengatakan, kami adalah ahli batin dan mereka masih ahli zahir. Agama Islam ini menggabungkan keduanya, bathin menjadi inti dari zahir, dan zahir menjadi bungkus dari batin.” Sebetulnya, kita tidak akan melihat sesuatu yang aneh pada orang yang paham akan agama. Syariat dan hakikat akan berjalan beriringan. Terlebih orang yang sudah mengaji tasawuf sudah diharuskan khatam mengaji apa itu syariat. Hingga kita akan bertemu dengan orang yang tidak ingin repot dengan belajar syariat, lalu loncat mengkaji ilmu tasawuf hingga lahirlah banyak salah faham. Ada tiga faktor utama menurut Syekh Ahmad Zarruq al-Fasi yang menjadib penyebab munculnya keanehan dari para pendaku tasawuf: Pertama: lemahnya iman, tidak ada ilmu seputar apa saja yang dilarang syariat, gelapnya hati dari cahaya iman yang menunjukkan dan memberikan arah untuk meniti jalan yang ditapaki oleh Rasulullah ﷺ. Kedua: tidak tahu pokok ilmu tariqat dan memiliki keyakinan bahwa syariat berbeda dengan hakikat. Ini adalah asal muasal ajaran zindiq. Ketiga: memiliki penyakit cinta popularitas, ambisi ingin memimpin, sehingga jiwa terus memaksa untuk mencari cara yang dapat menarik perhatian orang lain dengan memberikan hal-hal yang asing, ia terlihat seperti berbicara tentang Tuhan, tapi sebetulnya ia hanya membicarakan dirinya. (fq)

Read More

5 Kunci Ilmu Tasawuf Syekh Ahmad Zarruq

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu cabang ilmu syariat yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami adalah ilmu tasawuf. Yakni salah satu cabang ilmu yang membahas perihal gerak-gerik hati dari yang tercela hingga yang mulia. Ia menjadi pilar penting dalam memurnikan ibadah seseorang agar terhindar dari beragam sifat-sifat madzmumah (tercela), sehingga menjadi ibadah yang benar-benar murni. Cakupan ilmu tasawuf memang sangat luas. Ia tidak sesederhana aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, melainkan samudera luas sejauh mata memandang. Oleh karenanya, ketika seseorang sedang mempelajari ilmu tasawuf, ia ibarat seorang penyelam, mestilah memiliki ketangkasan dalam menyelam. Atau sebagaimana seorang pelaut, ia harus mengetahui ke mana arah angin berembus. Kendati demikian, luasnya samudera tetap bisa untuk diselami, sebagaimana luasnya tasawuf, pada akhirnya juga memiliki kesimpulan-kesimpulan secara khusus, yang dikenal dengan istilah pokok tasawuf. Berikut ini beberapa pokok dalam ilmu tasawuf menurut al-Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq (wafat 899 H) yang harus dimengerti agar bisa menjadikannya sebagai pedoman dalam hidup. Syekh Ahmad Zarruq dalam kitabnya, al-Fawaid min al-Kinasy mengatakan bahwa ilmu tasawuf memiliki 5 pokok, yaitu dengan cara membenarkan setiap sesuatu yang berkaitan dengan Allah, mulai dari keimanan, Islam, Ihsan, dan persaksian. “Pokok-pokok tasawuf ada lima, yaitu(1) membenarkan iman dengan keyakinan;(2) membenarkan Islam dengan bertakwa;(3) membenarkan ihsan dengan mengosongkan hati dari selain Allah;(4) memantapkan persaksian (kepada Allah sebagai satu-satunya Zat yang wajib disembah); dan(5) menggunakan akhlak dan etika ketika melakukan interaksi dengan makhluk.” Lima tanda-tanda di atas merupakan pokok-pokok dalam ajaran tasawuf. Dengan kata lain, jika seseorang sudah bisa melakukan semuanya, maka ia sudah benar-benar ahli tasawuf. Hanya saja, lima pokok tersebut memiliki tanda masing-masing. Pertama, membenarkan iman dengan yakin. Tanda-tanda seseorang sudah memenuhi pokok yang pertama ini adalah dengan cara memasrahkan semuanya kepada Allah dan ridha atas semua ketentuan-Nya. Semua ini bisa diraih dengan cara menghilangkan sikap mengatur dalam dirinya, dan benar-benar pasrah penuh pada takdir dari-Nya. Kedua, membenarkan Islam dengan takwa. Tanda-tanda seseorang sudah memenuhi pokok yang kedua ini jika sudah mampu untuk istiqamah. Istiqamah bisa diraih dengan cara meninggalkan setiap sesuatu yang tidak berfaedah. Meninggalkan sesuatu yang tidak berfaedah bisa dilakukan dengan cara mengikuti perilaku Rasulullah. Semua itu bisa dibuktikan jika seseorang sudah mampu mengontrol dirinya dengan akhlak yang tercermin dalam Al-Qur’an dan hadis sesuai kemampuannya. Ketiga, membenarkan ihsan dengan mengosongkan hati dari selain Allah. Pokok ketiga ini bisa sah jika seseorang sudah mampu memiliki perasaan selalu diawasi oleh Allah. Dengan perasaan tersebut, ia tidak akan mengerjakan perbuatan yang tidak diridhai oleh Zat yang mengawasinya. Keempat, memantapkan persaksian. Pokok keempat ini bisa ada dalam diri seseorang jika ia sudah benar-benar yakin bahwa yang memiliki peran dalam semua urusannya hanyalah Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Ini bisa dibuktikan jika ia sudah bisa untuk selalu tawakkal, berkhidmat, sabar, dan bersyukur kepada-Nya. Kelima, menggunakan akhlak dan etika ketika melakukan interaksi dengan makhluk, yaitu dengan cara mengangkat derajat mereka, tidak mencelakai, menghilangkan segala penyakit yang bisa mengganggu, menampakkan kebahagiaan, memberikan nasihat semampunya, dan tidak memanfaatkan mereka untuk urusan pribadinya. Dari beberapa penjelasan di atas, terdapat 5 pokok lain yang menjadi poin seseorang untuk bisa melakukan pokok-pokok tasawuf menurut Syekh Ahmad Zarruq. “Intisari dari 5 pokok tersebut juga ada 5, yaitu:(1) menjaga kehormatan;(2) tingginya cita-cita;(3) baik dalam mengabdi kepada Allah;(4) memaksimalkan kewajiban; dan(5) mensyukuri nikmat.” Itulah sekilas penjelasan perihal pokok-pokok dalam ilmu tasawuf menurut Syekh Ahmad Zarruq, yang harus dilakukan oleh setiap orang guna meraih keimanan dan keislaman yang sempurna. (fq)

Read More

Prof Quraish : Hadirkan Allah ke Hatimu Jika Belum Bisa Berhaji

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sebagian umat muslim sudah mengetahui ibadah haji adalah syariat yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya. Lebih dari itu, ibadah Haji juga masuk katagori rukun Islam yang di fardhukan kepada setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya baik secara fisik maupun materi. Rupanya, ibadah haji telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim. Karena itu, tak heran jika perjalanan ibadah haji disebut juga dengan perjalanan napak tilas Nabi Ibrahim, hingga akhirnya, seruan Ibrahim itu diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Menurut para ulama, haji diwajibkan pada bulan ke 9 Hijriah. Dan, saat itu, untuk pertama kalinya sahabat Rasulullah SAW yang menunaikan ibadah haji adalah Abu Bakar Siddiq yang sekaligus sebagai ketua rombongannya. Baru kemudian di tahun berikutnya Rasulullah SAW melakukan ibadah haji. Pertanyaannya adalah bagaimana jika orang yang ingin menunaikan haji tapi tidak bisa haji? Prof Quraish Shihab, Lc, MA mengatakan, jika ditanya, siapapun pasti akan menjawab berkeinginan berangkat haji. Namun apa boleh buat jika fisik dan materi tak mendukung. Sebuah ungkapan sufi menyatakan : “berkunjung ke Mekah itu adalah berkunjung ke rumah Tuhan. Sungguh rugi orang yang berkunjung ke rumah kekasih tetapi tidak disambut oleh kekasih. Rugi orang yang berkunjung ke rumah kekasih lantas tidak menemui kekasih. Kalau kamu tidak mampu berkunjung kerumah kekasih undanglah kekasih ke rumah kamu.” “Dari sini sudah jelas, sekiranya kita tak bisa pergi naik haji, maka undanglah Tuhan ke rumah hati anda (kalbu). Hampir senada dengan pernyataan sufi, apa yang di ungkapkan oleh al-Ghazali dalam kitab Ya Waladi (wahai anakku): “Nak seandainya sultan mau datang ke rumah kamu apa yang akan kamu lakukan? Kata Al-Ghazali, Saya yakin kamu akan membersihkan rumahmu, dan menyiapkan segala sesuatu supaya terlihat indah,” terang Prof Quraish kepada 1miliarsantri.net, Kamis (1/6/2023). Sebenarnya jika mau diperinci, hampir semua kegiatan haji, baik yang wajib atau yang sunnah, itu berkaitan dengan Nabi Ibrahim dan keluarganya yaitu, tawaf, sa’i, arafah, melontar jumrah dan lainnya. Semuanya mengikuti jejak Nabi Ibarahim. “Tentu saja bukan tanpa alasan kenapa kita harus mengikuti jejak Nabi Ibrahim, sebenarnya ada tiga keistimewaan Nabi Ibrahim yang paling menonjol yang mestinya harus dihayati oleh mereka yang pergi haji dan dihayati oleh orang yang mau haji tapi tidak haji,” imbuhnya. Pertama, Nabi Ibrahim menemukan Allah melalui pengalaman rohani. Sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an surah Al-An’am [6]: 76-79: “Ketika malam-malam telah menjadi gelap gulita, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “sungguh, jika Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” “Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, “inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” Jika Nabi-Nabi sebelumnya memperkenalkan Tuhan kepada umatnya sebagai Tuhan kamu, Tuhan suku, Tuhan bangsa, berbeda dengan Ibrahim yang mengumandangkan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan seru sekalian alam. Tuhan segala sesuatu yang menyertai manusia, baik dalam keadaan sadar maupun tidur. Itu sebabnya, Nabi mengajarkan pada saat kita mau tidur harus membaca doa. Kedua, soal kepercayaannya kepada hari kemudian (kiamat). Memang, tak ditemukan dalam al-Qur’an seorangpun yang meminta kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Tidak ada. Satu-satunya Nabi yang berani meminta kepada Allah untuk membuktikannya adalah Nabi Ibrahim. Allah berfirman: وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ ٱلطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ ٱجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ٱدْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَٱعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketauhilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Ketiga, pada masa Nabi Ibrahim (bahkan sebelum dan sesudahnya), orang percaya pada dewa, Tuhan, dan sebagainya. Lalu mereka mempersembahkan sesajen (kurban) pada Tuhan. Tetapi, sebagian dari mereka mempersembahkan sesaji dalam bentuk manusia. Misalnya, di Babilonia banyak bayi yang dipersembahkan bahkan tak segan-segan menyembelihnya demi berkurban. Begitu pun di Mexico. Dalam sejarah dikatakan suku Aztec mempersembahkan pemuka agamanya kepada dewa perang (yang paing hebat diserahkan). Di Mesir juga sama (bahkan sesudah masa Nabi). Mereka tetap mempertontonkan perbuatan kejinya. Dalam hal ini, di Mesir, yang dicari dan dibuat persembahan adalah gadis-gadis cantik. Baru kemudian berakhir pada masa Sayyidina Umar dengan ditulisnya surat untuk sungai Nil. “Hai Nil, kalau kamu melimpah karena gadis tidak perlu. Tapi kalau kamu melipmpah karena atas izin Allah dan karunianya berhentilah engkau meminta kurban.” Tapi yang jelas, kenyataan ini sudah menunjukkan bahwa, masa Ibrahim dan sesudahnya ada orang yang mempersembahkan manusia sebagai kurban. “Sejak masa Nabi Ibrahim juga sudah timbul pendapat, kesadaran, bahwa sebenarnya manusia terlalu mahal untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Itu artinya, jangan jadikan manusia sebagai sesaji, dan jangan kurbankan manusia untuk Tuhan,” tambah Prof Quraish. Melalui Nabi Ibrahim, Allah memberi pelajaran pertama, “Hai Ibrahim, keliru orang-orang yang berkata bahwa manusia terlalu mahal untuk dipersembahkan pada Tuhan. Tidak! Kalau Tuhan minta, apapun harus kamu serahkan.” Hingga akhirnya, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya (Nabi Ismail). Sebagai manusia biasa, bisa dibayangkan, dari penantian lama menunggu hingga berusia 90 tahun Ismail baru lahir. Anak yang menjadi harapan dan sangat ia banggakan tiba-tiba disuruh sembelih dengan tangan sendiri. Sedikitpun Nabi Ibrahim tidak menawar perintah itu. Hingga kemudian Ismail dipanggil dan Nabi Ibrahim berkata: “Hai anakku! Saya mimpi menyembelih kamu”. Dengan patuhnya Ismail berkata: “Silahkan laksanakan.” Ini membuktikan bahwa, tidak ada yang mahal jika Tuhan memintanya. Dan, untuk menunjukkan bahwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai sesaji, Nabi Ismail kemudian diganti dengan seekor domba. Bukan karena terlalu mahal, melainkan karena Allah sangat mencintai manusia. “Dari sini…

Read More

Tasawuf Imam Ghazali Dengan Kemapanan

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Sekitar paruh awal abad ketiga Hijriyah, tasawuf sudah mulai menampakkan jati dirinya sebagai sebuah ilmu. Perlahan namun pasti, paradigma keilmuan tasawuf pun menjadi kian mapan. Proses yang dilalui tasawuf untuk mencapai titik itu tidaklah mudah. Pelbagai rintangan dihadapi, semisal tuduhan sesat, bidah, dan bahkan kafir yang disematkan pihak-pihak anti-tasawuf pada para pelaku dan pengikutnya. Sejarah mencatat pelbagai penolakan terhadap suatu laku beragama ini. Bagaimanapun, tidak jarang pula tasawuf terlahir kembali dengan kekuatan yang lebih besar daripada sebelumnnya. Tasawuf sebagai ilmu mencapai kemapanannya terjadi di tangan Imam al- Ghazali. Abdul Kadir Riyadi dalam buku Arkeologi Tasawuf menjelaskan, sosok yang bergelar Hujjatul Islam berhasil menciptakan sayap bagi ilmu ini sehingga mampu terbang lebih tinggi. “Sayap” yang dibuat al-Ghazali untuk tasawuf ada sepasang, yakni terdiri atas fikih dan filsafat. Adapun “raga”-nya adalah tarekat. “Indra penglihatan”-nya adalah wahyu Illahi. “Kedua telinga”-nya adalah logika penalaran. “Kaki-kakinya yang kokoh” adalah syariat. Al-Ghazali menapaki jejak intelektual yang panjang. Mulanya, dia sendiri asyik berfilsafat. Namun, ketika masuk lebih dalam, dia menemukan ada kerancuan di dalam bidang itu sehingga mengoreksi pendapat sejumlah filsuf dalam beberapa poin. Beberapa di antaranya adalah pendapat para filsuf tentang “keabadian alam”. Dalam Tahafutul Falasifa, al-Ghazali mengoreksi argumentasi ini dengan mengingatkan bahwa derajat Allah selalu yang tertinggi. Bahwa tidak ada yang abadi selain Zat Yang Mahatinggi. Allah sudah ada sejak alam belum diciptakan. Jadi, tidak benar jika ada yang berpendapat bahwa alam muncul dengan sendirinya. Dari filsafat, sang Hujjatul Islam kemudian memasuki ranah tasawuf. Ini diceritakannya panjang lebar dalam bukunya yang semi-autobiografi, Al-Munqidz minad Dhalal. Dalam kitab itu, tergambar betapa tingginya rasa ingin tahu sang imam. Dia tak puas hanya dengan mendengar tasawuf dari mulut ke mulut. Kehidupan mapan yang sudah dijalani ditinggalkannya. Dia tanggalkan jabatan sebagai kepala Madrasah Nizamul Muluk Baghdad yang sangat terkenal di zamannya. Dari situlah pengembaraan spiritualnya bermula. Mata batinnya semakin tajam melihat realita sehingga menyingkap perasaan batin dan sisi terdalam manusia yang selama ini tidak diketahui banyak orang. Dari al-Ghazali, tradisi tasawuf kemudian tumbuh dan kemudian dikembangkan oleh banyak ulama berikutnya. Sedangkan tradisi falsafah menepi ke Andalusia dan wilayah Persia. Sang Hujjatul Islam juga dinilai mampu meyadarkan para sufi akan pentingnya tarekat sebagai penyangga paling penting bagi tasawuf. Tradisi olah batin ini tanpa tarekat adalah ibarat jiwa tanpa badan. Menurut Abdul Kadir, al-Ghazali telah menegaskan, nutrisi tasawuf hanya didapat melalui tarekat. Karena itu, mendirikan tarekat adalah jalan paling strategis untuk membesarkan dan merawat ilmu ini. Ajakan ini disambut oleh para sufi, termasuk Abu Hasan Ali as-Syadzili, Abdul Qadir al-Jilani, dan Abu Najid Suhrawardi. Mereka kemudian segera mendirikan tarekat. Setelah 50 tahun sejak wafatnya al-Ghazali, tarekat sudah berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam. Sayangnya, dalam perkembangnya tasawuf kemudian lebih sering diidentikkan dengan tarekat. Bila sudah demikian, nuansa ilmiahnya cenderung tidak tampak atau bahkan hilang. Padahal, tasawuf dan tarekat itu berbeda walau terkesan menyatu. Agama terdiri atas tiga unsur penting, yakni Islam, iman, dan ihsan. Hal itu dijelaskan dalam sebuah hadis sahih yang populer. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW didatangi seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan padanya. Tambahan pula, tidak seorang pun dari para sahabat Nabi SAW yang mengenalnya. Kemudian, pria misterius itu langsung duduk menghadap Rasulullah SAW. Tiap kali dirinya bertanya perihal Islam, iman dan ihsan, Nabi SAW menjawabnya dengan lugas. Yang mengherankan para sahabat, tiap beliau selesai menjawab, maka orang itu menyatakan, “Engkau benar.” Lantas, Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Umar. “Itulah Jibril, datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” Pokok mengenai ihsan dapat ditemukan dalam ilmu tasawuf. Sebab, sasarannya adalah akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi serta menjadi dekat (muraqabah) dengan Tuhan. Di samping itu, tasawuf berfokus pada membuang kotoran yang terdapat dalam hati yang mendinding (menjadi hijab) antara hamba dan Rabbnya. Sebab, sebagaimana sabda Rasul SAW, ihsan didefinisikan sebagai “beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Walaupun seorang hamba tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat.” (fir)

Read More

Gus Baha : Harta dan Jabatan Harus Bisa Bermanfaat Dunia Akhirat

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (LP3IA), KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), meminta para pejabat dan orang kaya untuk selalu bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan selama ini. Limpahan rezeki bisa berupa harta, hingga jabatan harus bisa bermanfaat bagi banyak orang. Itu merupakan cara bersyukur terhadap nikmat harta dan jabatan. Tidak hanya dikeluarkan dan dimanfaatkan untuk kalangan keluarga sendiri. Menurut Gus Baha, jabatan yang melekat pada seseorang dari Presiden, Menteri, Rektor hingga Dekan tidak semua orang bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, ia berharap adanya kesempatan harus digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umat. Gus Baha menekankan, jabatan yang diemban dan harta yang dimiliki harus bisa membantu orang-orang kurang mampu seperti fakir miskin. Itu agar roda ekonomi terus berputar dengan baik sehingga tercipta kesejahteraan di tengah masyarakat. Gus baha membeberkan fenomena di tengah masyarakat. Dia menyebut, orang miskin umumnya berhutang dengan sesama orang miskin. Barang dan jasa yang dihutangkan pun berkenaan dengan urusan untuk menyambung nyawa agar terus bisa melanjutkan hidup “Ketemunya antar orang miskin itu urusan beras, utang nyawa. Kan nggak mungkin orang miskin utang ke konglomerat. Sementara orang kaya dengan sesamanya, utang buat rumah dan beli mobil. Di luar sana banyak yang utang nyawa,” terang Gus Baha. Selain untuk membantu yang lemah, keberadaan orang kaya di masyarakat juga sangat diperlukan. Dengan adanya orang kaya berarti bisa menunjukkan adanya simbol kemakmuran bagi negara. “Saya ingin semua kita berguna. Kaya raya itu untuk simbol kemakmuran, agar negara kita dianggap. Kalau miskin terus diinjak-injak oleh negara lain,” jelas Gus Baha. Saat seseorang jadi kaya raya, maka ia akan diuji untuk bisa membantu dan menolong orang lain. Begitu pun dengan orang miskin, ia pun akan diuji. Orang miskin diuji dengan perasaan hasut dan benci. “Bisa jadi yang kaya menganggap yang miskin itu fasik atau orang miskin menganggap yang kaya itu borjuis. Tergantung dari cara pandang. Jika cara pandang masyarakat kita selalu ingin memberi maka negara kita akan makmur,” tuturnya. Meski begitu, harta dan jabatan bukan sebuah tujuan, sebab salah satu nikmat yang sering dilupakan adalah nikmat sehat dengan kondisi fisik yang masih bisa menyantap makan dengan baik dan berpakaian. Hal itu merupakan sesuatu yang harus disyukuri. “Kenapa nikmat paling kecil ini disebutkan oleh Allah SWT dalam Alquran. Supaya semua merasa punya Tuhan,” pungkasnya. (sof)

Read More

Didalam Penjara Dirinya Mendapat Hidayah Masuk Islam

Jakarta – 1miliarsantri.net : Khidr Shahid Salaam, seorang mu’allaf menuturkan pengalamannya dalam menemukan cahaya Islam. Ia dibesarkan tanpa pendidikan agama dari orang tuanya. Namun, karena lingkungan tempat tinggal membuatnya akrab dengan Kristen. Ia pun sering pergi ke gereja bersama teman-temannya. Tapi aktivitas religius ini hanya dilakukan sekadar ikut-ikutan, tak benar-benar merasuk ke kalbunya. Laki-laki Amerika ini terlahir dari ibu beragama Buddha dan ayah yang entah ia tak pernah tahu agamanya. Yang ia tahu, ayahnya setiap hari mabuk-mabukan dan tak pernah memperhatikan keluarganya. Peristiwa tersebut bermula, yakni saat itu hampir semua media mainstream Amerika menuduh Islam sebagai pelaku dan teroris, membuatnya terhenyak. Ia sebelumnya tak pernah mengenal dengan baik apa itu Islam. Juga jiwanya kosong karena tak pernah diteduhkan oleh agama. Rasa benci pada Islam mulai timbul pada dirinya. Ia mempunyai niat untuk membalas dendam kepada semua orang Islam di dunia ini. Atas nama rasa benci tersebut, ia kemudian mendaftarkan diri menjadi anggota tentara Angkatan Darat Amerika Serikat agar bisa dikirim ke Timur Tengah dan membunuh orang-orang Muslim di sana. “Karena saya sebenarnya bukan orang Kristen yang terlalu taat, saya bahkan minta dibaptis dulu untuk menguatkan keinginan saya membunuh orang-orang Muslim nanti,” ujarnya. Sayang, ia tidak lolos tes masuk sehingga keinginan untuk membalas dendam dan membunuh orang Muslim tersebut pupus sudah. Justru, saat itu ia mulai merasa kecewa dengan agama Kristen. Karena ia memiliki sebuah keinginan yang sangat kuat namun Tuhannya tak mengabulkannya. Rasa kecewa yang sangat parah akhirnya membuat Salaam terjerumus dalam gaya hidup yang merusak dirinya, mabuk-mabukan dan melakukan seks bebas. “Saat itu saya sudah dewasa karena telah lebih dari 21 tahun, dan saya sudah boleh melakukan hal-hal tersebut,” imbuhnya. Kehidupan yang semakin parah mengantarkannya pada hal-hal yang bersifat kriminal, pencurian, perampokan, penggelapan kendaraan, dan berbagai tindakan kriminal lainnya sering dilakukannya. Akibatnya, sudah pasti ia tertangkap dan mendekam di dalam penjara. Di penjara wilayah yang menjadi tempat tahanannya, ia mencoba mencari pertolongan dari Tuhan, padahal selama ini ia mengaku dirinya adalah orang ateis. Pengetahuan ketuhanan yang ia tahu hanyalah dari ajaran Kristen. Setiap hari dan malam, ia terus membaca Alkitab. Salaam ingin mendekatkan diri kepada Tuhan dan percaya Sang Pencipta akan membebaskannya Pengadilan akhirnya memutuskan hukuman yang sangat berat baginya. Hukuman penjara selama 75 tahun untuk perampokan yang dilakukannya, 25 tahun untuk pencurian, dan 20 bulan karena mengendarai mobil ilegal. “Tak sampai satu jam setelah hakim membacakan keputusan itu, hilanglah kepercayaanku kepada Tuhan,” ujarnya. Ia kecewa karena Tuhannya sekali lagi tak mengabulkan permintaannya hingga akhirnya jiwanya dipenuhi kebencian pada semua hal. Dalam menjalani masa hukuman, Salaam kemudian berjumpa dengan komunitas narapidana Muslim. Komunitas ini menamakan dirinya “Lima Persen” karena jumlah mereka yang sangat kecil dibandingkan penghuni penjara lainnya. Mereka juga tidak pernah mendapatkan pelayanan serta fasilitas ibadah dari pengelola penjara. Di awal masa tahanannya, keluarga serta istrinya sering mengunjunginya pada akhir pekan. Namun, setelah sekian lama, istrinya tak lagi datang. Kemudian, ia mengetahui bahwa istrinya tersebut telah meninggalkannya. Kesedihannya bertambah Salaam juga mendapatkan kabar bahwa ayahnya meninggal. Kekosongan jiwa dan runtuhnya kepercayaan kepada Tuhan menuntun Salaam untuk bergaul dengan para anggota komunitas Muslim ini. Ia melihat mereka sangat taat beribadah dan disiplin. “Saya dibolehkan ikut shalat Jumat kala itu meski hanya menirukan gerakan orang lain. Dan, ketika mendengarkan khotbah, langsung menyentuh diri saya. Rasanya sang imam seperti sedang berbicara langsung pada saya,” katanya. Setelah itu, ia mempelajari Islam lebih lanjut. Banyak buku tentang Islam yang Salaam baca dan ia juga belajar gerakan dan bacaan shalat serta doa-doa. Saat itu, ia merasa lebih tenang dan nyaman. “Aku menyukai kata-kata dalam al-Fatihah dan bacaan-bacaan Islam yang memuji Allah,” ujarnya. Ini yang membuatnya berpikir Islam berbeda dengan agamanya yang dulu. Di dalam Kristen, ia selalu berdoa untuk minta sesuatu. Sedangkan dalam Islam, doa-doa yang dipanjatkan dipenuhi dengan puji-pujian dan semakin meneguhkan iman. Pada 2008, akhirnya ia mantap mengucapkan dua kalimat syahadat. Di masa awalnya menjadi mualaf, yang paling berat dirasakannya adalah melakukan puasa karena itu bertepatan dengan musim panas di Amerika. Namun dari Alquran yang dibacanya, ia percaya bahwa setelah melewati masa sesuatu yang berat, pasti akan diberikan masa yang lebih mudah. “Dan benar, setelah itu saya tidak pernah berada dalam situasi yang lebih baik dalam hidup saya,” ujarnya. Setelah masuk Islam, ia merasakan banyak hikmah dan keajaiban terjadi pada hidupnya. Hukuman penjaranya menjadi lebih ringan, hanya sembilan tahun saja, dan kini ia telah menghirup udara bebas. Ia kemudian dipertemukan dengan perempuan Muslim salehah, yang lebih baik daripada istrinya yang pertama, dan kemudian menjadi istrinya. Rasa syukur terus dipanjatkannya karena kini ia telah diberikan kehidupan yang tenteram, pekerjaan yang layak, sebuah rumah indah, serta rasa bahagia yang terus ada dalam dirinya. (man)

Read More

Ketika Doa Sang Pemburu Langsung Didengar Allah

1miliarsantri.net : Suatu pagi yang cerah, seorang laki-laki pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal. Namun, seharian ia tak jua mendapatkan buruannya. Bahkan, hingga hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT dengan sepenuh hatinya. “Ya Allah, anak-anakku menunggu di rumah dengan menahan rasa lapar, berilah aku seekor binatang buruan, agar kami dapat menikmatinya sebagai upaya untuk tetap dekat dengan-Mu.” Setelah selesai berdoa. Dengan jala yang di bawanya, ia mencoba mengais rezeki di sungai. Tak disangka, seekor ikan besar menyangkut di jalanya. Allah SWT telah memberi rezeki kepada si pemburu yang tak pernah lelah untuk menafkahi anggota keluarganya. Si pemburu itu pun bersyukur kepada Allah dan bersiap pulang ke rumah dengan penuh bahagia. Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Begitulah sebuah pepatah. Tak lama setelah meninggalkan sungai, di tengah perjalanan pulang itu, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan besar yang dibawa pemburu itu. Sang Raja lalu menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang pemburu. Malang bagi si pemburu, fisiknya yang lemah karena sudah seharian menahan lapar, ia tak mampu melawan pasukan kerajaan yang berjumlah sangat banyak itu. Dengan perasaan sakit dan kecewa, ia tertunduk lesu dan hanya berharap Allah SWT membalaskan rasa sakitnya. Oleh sang Raja, ikan itu dibawanya pulang dengan rasa bahagia. Ketika sampai di istana, ia penasaran dengan ikan yang sangat besar itu. Lalu sang raja mengeluarkan ikan itu dan mencoba memainkannya dengan cara dibolak-balik. Sambil tersenyum dan sesekali tertawa riang, sang raja senang. Saat tak diduga, tiba-tiba ikan itu mengigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin. Sang raja langsung melepaskan gigitan ikan itu dengan bantuan para pengawalnya. Sang raja geram, ia memerintahkan agar ikan itu segera dibunuh. Dampak dari gigitan itu sangat dirasakan oleh sang raja. Badannya yang tadinya panas dingin, kini menjadi semakin panas. Panas dan panas. Sang raja tidak bisa tidur. Ia gelisah. Mengetahui kondisi sang raja yang memburuk, penasihat kerajaan memerintahkan dokter terbaiknya untuk mengobati sang raja. Satu, dua, tiga, hingga puluhan dokter, tak sanggup dan tak mampu mengobatinya. Tangan raja yang tergigit ikan telah terinfeksi. Pada dokter menyarankan agar segera memotong jari sang raja. Hal itu dilakukan untuk menghindari penyebaran infeksi atau racun ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasihat mereka. Jari sang raja dipotong, namun derita dan sakit yang dialaminya tak kunjung membaik. Ia tak dapat istirahat. Racun sudah menyebar. Selain karena infeksi yang sudah menyebar juga sakit dari amputasi jari sang raja. Singkat cerita, para dokter menyarankan agar pergelangan tangan sang raja dipotong. Dan tanpa pikir panjang, raja menyetujuinya karena rasa sakit yang teramat sangat perih. Akhirnya dipotonglah pergelangan tangan sang raja. Harapannya setelah pergelangan tangan dipotong, rasa sakit berkurang. Setelah dipotong, bukannya sembuh dan membaik, sang raja malah tambah sakit parah. la berteriak dan meringis dengan keras karena racun itu telah merasuk dan menyebar ke anggota tubuh lainnya. Akhirnya seluruh dokter menyarankan agar kali ini tangan raja akan diamputasi sampai siku. Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya telah menghilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Ia masih gelisah. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar raja dibawa ke seorang dokter jiwa atau ahli hikmah. Maka dibawalah sang raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari pemburu itu. Mendengar itu, ahli hikmah berkata, “Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai pemburu itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat.” Mendengar penuturan sang ahli hikmah, bukan main kagetnya sang raja. Maka akhirnya dicarilah pemburu tempo hari. Sang pemburu ketakutan karena ia menyadari kelemahan fisiknya berhadapan dengan pasukan kerajaan. Namun setelah disampakan tujuan dan maksud sang raja kali ini. Sang raja menceritakan kejadian yang dialami sejak ia mengambil ikan hingga dibawah ke istana, dan akhirnya mengalami kejadian tragis dengan mengamputasi jari, pergelangan tangan, hingga sampai siku. Sang raja meminta sang pemburu memaafkan kesalahan sang raja. Dengan tulus ikhlas, sang pemburu memaafkan dan mengikhlaskan yang sudah terjadi. Setelah dimaafkan, sang raja masih penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan atau dilakukan si pemburu ketika raja mengambil paksa ikannya. “Wahai pemburu, apa yang kaukatakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?” Sang pemburu menjawab; “Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya!”’ Ditambahkannya, rasa sakit hati dan kecewanya teramat sangat. Sebab, sudah seharian ia berburu namun tak mendapatkan satu hewan buruan pun. Sementara, ia sangat membutuhkan satu hewan buruan untuk dia makan Bersama keluarganya yang sedang kelaparan dan menunggunya di rumah. Atas hal itu, ia mencoba mencari atau menjala ikan di sungai, dan Allah memberikan rezeki berupa seekor ikan, yang kemudian ikan itu diambil paksa sang raja. “Demikian sang raja, sesungguhnya, kami sangat membutuhkan makanan untuk anak-anak kami,” ujarnya. Sahabat, itulah satu keajaiban dari doa orang yang teraniaya. Doa mereka sangat mustajab. Dan satu hal lagi, hendaklah senantiasa makan makanan yang halal. (SEF)

Read More

Mengintip Kegiatan Suluk Thariqoh Naqsysbandiyah Aceh

Aceh – 1miliarsantri.net : Suluk merupakan kegiatan berzikir yang dilakukan secara terus-menerus, meninggalkan pikiran serta perbuatan duniawi, menata bathin mengingat Allah dan hanya mengharap keridloan Allah. Tapi pernah kah kita melihat dari dekat, bagaimana pelaksanaan nya. Nah kami akan berbagi informasi ini kepada anda. Salah satu tempat yang kami singgahi adalah Pondok pesantren Cuco (cucu) Tgk Syech H Mudo Wali Al Chalidy Seuramoe Darussalam Desa Beuradeun, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, menjadi salah satu tempat yang menggelar aktivitas Suluk. Aktivitas zikir ini merupakan pengajian ilmu dari Tarekat Naqsyabandiyah yang diajarkan di dayah di kaki bukit Gampong Beuradeun, Aceh Besar. Semua jamaah yang mengikuti kegiatan ini menutupi wajah nya dengan sorban untuk jamaah laki-laki dan menutupi dengan mukena untuk jamaah wanita nya, sehingga tidak terlihat jelas wajah orang-orang ketika mengucapkan ayat-ayat Allah. Hal tersebut merupakan salah satu syarat bagi jemaah Suluk setiap bulan suci Ramadhan di pesantren cucu ulama kharismatik Aceh tersebut. Jamaah Suluk di Pesantren Seramoe Darussalam itu pada tahun-tahun sebelumnya hanya bagi laki-laki dewasa, bahkan juga terlihat beberapa orang tua. Namun, pada Ramadhan tahun 2021 diperbolehkan juga diikuti oleh jemaah perempuan yang mayoritasnya adalah kaum ibu-ibu. “Jumlah jamaah yang ikut Suluk di tempat kita bertambah dari tahun lalu, kebetulan dua tahun ini ada jamaah perempuan, yang tidak ada pada tahun-tahun sebelumnya,” kata pimpinan Dayah Cuco (cucu) Tgk Syech H Mudo Wali Al Chalidy Seuramoe Darussalam, Tgk Harwalis Harun Wali kepada 1miliarsantri.net. Jamaah Suluk ini bukan berasal dari masyarakat sekitar saja, melainkan ada juga jamaah yang berasal dari daerah lain. Mereka tidak dibenarkan untuk pulang atau keluar dari perkarangan pesantren sampai kegiatan selesai hingga waktu yang telah ditentukan. “Jadi mereka tidak pulang ke rumah, untuk istirahat nya sudah ada waktu-waku tertentu yang telah ditetapkan,” sambung Harwalis. Harwalis menambahkan, jamaah yang mengikuti Suluk tahun ini di pesantren yang ia pimpin sebanyak 75 orang, mulai dari perempuan hingga laki-laki. “Jumlah yang hadir tahun ini ada perempuan sebanyak 25 orang. Laki-laki sekitar 50 orang. Jadi jumlahnya di bawah seratus,” terangnya. Jika sudah mengikuti Suluk, para jamaah tidak bisa sembarangan mengonsumsi makanan, ada pantangan-pantangan tertentu yang harus diikuti. Di mana, kata Harwalis, pantangan jamaah Suluk itu adalah tidak bisa makan bahan makanan yang berdarah seperti daging, mengandung pengawet, dan barang yang bebas diperjualbelikan yang diragukan kemurnian dan kesuciannya untuk para ahli Suluk. “Kenapa dilarang, supaya dalam perjalanan Sulok nya, saat mengingat Allah, saat berzikir senantiasa jemaah lepas secara batin dan lahiriah nya. Pantangan ini wajib dijalani dan dipatuhi oleh para ahli Suluk,” kata Harwalis. Harwalis menjelaskan, kegiatan Suluk di Peaantren yang di pimpin nya ini sudah berjalan sejak 12 tahun lalu dan dilaksanskan setiap bulan Ramadhan, dan masih bertahan sampai sekarang, jamaahnya juga terus bertambah. Di Dayah Seuramoe Darussalam ini, Suluk dilaksanakan selama 10 hari. Namun sebenarnya juga bisa dilakukan 20 sampai 40 hari, itu tergantung dari hasil musyawarah para ahli Suluk setiap tahunnya. “Kita laksanakan 10 hari dalam bulan Ramadhan, tapi di tempat yang lain ada juga yang melaksanakannya sampai 20, 30 hari hingga 40 hari, bagaimana kesepakatan bersama,” imbuhnya. Harwalis menuturkan, kegiatan ibadah Suluk bulan Ramadhan ini sudah sangat dimaklumi dan diketahui oleh masyarakat umum di Aceh, bahwa paling afdhal atau sempurna dari yang lainnya. “Karena ada sembahyang, puasa Qiamul lail dan lainnya, Sulok ini merupakan kegiatan ibadah spesial, lebih dari pada hari-hari lain,” katanya. Karena Suluk dilaksanakan tiap Ramadhan, maka sudah hakikatnya dilaksanakan tawajuh. Ibadah tersebut masuk dalam salah satu pendidikan atau latihan para jamaah mengingat dan berzikir kepada Allah dalam arti yang spesial. “Tidak hanya dengan mengatakan atau mengucapkan kalimat-kalimat, nama-nama Allah, tidak sekadar ucap. Tetapi memang dilakukan secara lahir batin berzikir kepada Allah,” kata Harwalis. Ketika tawajuh hendak dimulai, terlihat enam pemimpin atau khalifah duduk berhadapan dengan para jemaah yang menghadap kiblat. Lalu, jemaah secara bersama terus memanjatkan doa sembari memutar tasbih. Saat tawajuh ini lah, para jamaah menutup semua kepala hingga wajah menggunakan sorban. Semua itu dilakukan agar para jemaah benar-benar kusyuk berdzikir dan mengingat Allah, tanpa terganggu pandangan dari luar. Tawajuh adalah ibadah menghadapkan diri dan membulatkan hati lahir bathin kepada Allah. Dilakukan beberapa kali sehari semalam usai melaksanakan shalat fardhu dan tarawih. “Jadi katakanlah bermula tarekat selalu mengingat Allah, tidak luput hatinya, lahiriah-nya, lisannya tidak luput, itu lah tujuan utamanya,” ujarnya. Kata Harwalis, tawajuh ini menjadi salah satu kelebihan dan keistimewaan dari Tarekat Naqsabandiyah di Aceh dan bahkan dari seluruh nusantara di Indonesia. Harwalis menyebutkan, selama melaksanakan ibadah Suluk di bulan Ramadhan, tawajuh dilakukan sebanyak empat kali dari 24 jam, di antaranya setelah shalat subuh, zuhur, asar dan terakhir usai shalat tarawih. Dari atas bangunan setinggi sekitar 3,5 meter itu, tampak jamaah Suluk masih larut dalam dzikir, hingga akhirnya Tgk Harwalis yang menjadi mursyid membacakan doa dan membacakan shalawat bersama para jemaah. Shalawat tersebut sebagai tanda bahwa Suluk siang itu berakhir, jamaah beristirahat, dan akan kembali dilaksanakan pada waktu shalat selanjutnya. Sebelum melangkahkan kaki dari atas mushala, para jamaah satu-satu maju untuk bersalaman dengan enam orang khalifah, kemudian mereka kembali ke tempat istirahat yang telah disediakan. (din)

Read More