Mengenali Sufi Nusantara Dalam Mengembangkan Kasusatraan

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Kebanyakan diantara kaum mistik justru turut memperkaya kebudayaan Islam. Mereka adalah orang-orang yang menjalani tradisi-tradisi tertentu untuk merasakan emosi mengenal Tuhan (makrifatullah). Dalam sejarah, praksis demikian disebut sebagai tasawuf. Orang-orang yang mengamalkannya dinamakan sebagai sufi, darwis, ‘urafa, atau salik. Namun, tasawuf dituding sebagai penyebab kemunduran peradabaan Islam, yakni usai masa keemasan. Menurut Prof Abdul Hadi WM dalam buku Cakrawala Budaya Islam, tuduhan demikian tidak berdasarkan argumentasi yang historis. Sebab, para sufi justru terbukti memberikan sumbangsih penting bagi peradaban Islam. Contoh nyatanya pada ranah kesusastraan. Betapa banyak sufi yang berpengaruh besar bagi perkembangan dunia sastra. Untuk sekadar menyebutkan beberapa nama, deretan sufi berikut ini tercatat sebagai figur sastrawan penting yang pengaruhnya terasa hingga kini: Mansur al-Hallaj, Ibn al-‘Arabi, Ibn Sina, Umar Khayyam, ‘Attar, Jalaluddin Rumi, Sa’adi, Hafizh, dan Hamzah Fansuri. Terkait Hamzah Fansuri, Abdul Hadi memandang, tokoh ini merupakan penyair sufi terbesar dari Nusantara. Penyair-sufi Aceh itu juga berperan, melalui karya-karyanya, sebagai peletak dasar standar bahasa Melayu—yang menjadi basis bahasa Indonesia. Kesusastraan Melayu turut dipengaruhi kebudayaan-kebudayaan luar, khususnya Arab dan Persia. Hamzah Fansuri, misalnya, pun terpengaruh pemikiran dan tulisan Fariduddin ‘Attar, seorang penyair Iran dari abad ke-13. Sebenarnya, bukan hanya Hamzah Fansuri. Banyak penulis Melayu klasik yang turut dipengaruhi Arab-Persia pada abad ke-16 hingga ke-17. Abdul Hadi memaparkan, perumpamaan burung yang dipakai syair-syair Melayu terinspirasi dari Mantiq al-Tayr karya ‘Attar. Demikian pula dengan penciptaan motif burung pada berbagai bentuk seni hias, semisal ukiran atau batik Nusantara. Juru dakwah Islam di Tanah Jawa pasca-Majapahit, Wali Sanga juga kerap memakai amsal burung untuk menyampaikan hikmah pencarian jati diri. Misalnya, Sunan Bonang yang melakukannya melalui pertunjukan wayang. Dalam wayang, ada gagasan bahwa manusia merupakan bayangan semata sehingga segala gerak-geriknya tergantung dan bersumber pada kehendak Sang Pencipta. Hal ini kiranya tak mengherankan, sebab Sunan Bonang sendiri pernah mempelajari karya-karya ahli tasawuf Persia ketika beliau berguru di Pasai. Dalam penulisan kitab keagamaan (sastra kitab) pengaruh Persia juga kelihatan. Risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri, seperti Syarab al-Asyiqin, Asrar al-Arifin, dan Muntahi mengambil banyak rujukan dari teks-teks dan syair-syair tasawuf penulis Persia. Kitab fikih karangan ulama Aceh abad ke-17 M Nuruddin al-Raniri Sirat al-Mustaqim ditulis menggunakan sumber Syarh al-Aqa’id al-Nasfiyyah karangan ulama Persia Sa’d al-Mas’ud al-Taftazani. Pengaruh Persia juga kuat dalam penyusunan kitab perundangan-undangan, seperti Undang-Undang Malaka dan Undang-Undang adat Aceh. Sumber-sumber Persia memainkan peranan menonjol bagi sastra sufistik Melayu. Begitu pula pengaruhnya yang cukup mendalam terhadap kebudayaan Melayu atau kebudayaan Islam Nusantara. Abdul Hadi dalam Pengaruh Parsi Terhadap Sastra Sufistik Melayu Islam menjelaskan pengaruh Persia tampak dalam doa-doa, perbendaharaan kata, corak penulisan hikayat, puisi karya bercorak sejarah, adab, dan risalah kegaamaan yang lazim disebut kitab. Dalam empat poin terakhir ini pengaruh Persia tidak hanya dalam hal yang berkaitan dengan gaya bahasa, tetapi juga estetika dan bahan verbal penulisan, seperti contoh-contoh kisah yang diselipkan di dalam kitab-kitab tersebut. Hikayat-hikayat Melayu Islam yang masyhur, telah dikenal di kepulauan Melayu pada abad ke-15 dan abad ke-16, juga menjadi saksi lebih jauh tentang kehadiran pengaruh Persia pada masa awal perkembangan sastra Melayu hingga periode formatifnya. Abdul Hadi memandang, khazanah kesusastraan Melayu klasik dapat digolongkan sebagai bagian dari kesusastraan Islam, khususnya dalam pengertian karya adab, sebagaimana yang dirumuskan Abu al-A’la al-Ma’arri pada abad ke-11. Sebelumnya, pada abad kedelapan tradisi penulisan karya adab sudah dimulai, tetapi masih dibatasi pada ihwal syair, bukan tulisan-tulisan prosais yang mengajarkan budi pekerti sebagaimana perumusan oleh al-Ma’arri. Abdul Hadi melihat alasan pergeseran makna adab itu. Sejak abad ke-10, Dunia Islam sudah mengalami perkembangan pemikiran yang lebih progresif. Hal ini dimotori kaum rasionalis (Mu’tazilah). Karya-karya mereka lebih didominasi unsur intelektual ketimbang imajinatif. Sejak saat itu, tulisan-tulisan ilmuwan Muslim yang berkenaan dengan sejarah, etika, psikologi, atau humaniora pada umumnya, termasuk sastra, disebut sebagai genre karya adab. Kesusastraan Melayu juga ikut terpengaruh dalam perkembangan ini. Abdul Hadi menyebut bahwa kesusastraan Melayu, yang adalah fondasi utama kebudayaan Melayu, merupakan faktor utama perkembangan Islam di Nusantara. Karena itu, beberapa kitab yang muncul di Nusantara dalam abad ke-17 dapat digolongkan sebagai karya adab, yang kala itu sedang mencuat popularitasnya sebagai sebuah genre di Dunia Islam. Misalnya, kitab Taj al-Salatin (1603 Masehi) karya Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salatiin (1641) karya Nuruddin al-Raniri. Meskipun keduanya ditulis dalam Kesultanan Aceh, pengaruhnya meluas seiring dengan luasnya pengaruh bahasa Melayu dan aksara Jawi. Abdul Hadi mengungkapkan, kitab Taj al-Salatin menjadi rujukan bagi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa agar tidak mengangkat raja wanita. Kitab tersebut memang tidak melarang kepemimpinan wanita, tetapi mengingatkan bahwa fitnah lebih mudah merajalela bila sebuah kerajaan dipimpin kaum Hawa. Sampai abad ke-19, Taj al-Salatin terus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Bahkan, menurut Abdul Hadi, kitab ini menjadi bacaan kesukaan Pangeran Diponegoro. Serat Wedatama yang dikarang Mangkunegara IV juga diketahui terinspirasi dari Taj al-Salatin. (yus)

Read More

Siapakah Sebenarnya Samiri

Jakarta – 1miliarsantri.net : Samiri adalah pengikut Nabi Musa ‘Alaihissalam yang membangkang dan membuat patung anak lembu emas sehingga mendorong Bani Israel ke dalam penyembahan berhala. Pendapat bahwa Samiri adalah Dajjal, dipopulerkan oleh Muhammad Isa Dawud. Tetapi pendapat ini tidak memiliki landasan dari Qur’an maupun hadits. Kisah Samiri sendiri merupakan bagian dari sejarah Bani Israel, sehingga perincian kisahnya dapat merujuk ke Sumber Israiliyat. Namun Sumber Israiliyat harus dipilah, ada yang dapat diterima dan ada yang harus ditolak. Contoh yang harus ditolak adalah versi Sumber Israiliyat bahwa Nabi Harun ‘Alaihissalam yang membuat patung anak lembu emas. (Kitab Keluaran 32:2–5) Al Qur’an membantah versi tersebut, dan menyatakan bahwa Nabi Harun sudah meminta Bani Israel untuk mengikutinya, tidak menyembah patung anak lembu. Tetapi Bani Israel beralasan bahwa mereka menunggu kedatangan Nabi Musa untuk memutuskan perkara tersebut. (QS. Thaha: 90–91) Walau versi Sumber Israiliyat tentang pembuat patung anak lembu harus ditolak, namun ada keterangan dalam Sumber Israiliyat mengenai sosok Samiri, yaitu Zimri bin Salu. Kisah ini bermula saat Bani Israel hendak memasuki tanah Kanaan. Raja Balak dari Kerajaan Moab yang takut terhadap Bani Israel, kemudian meminta bantuan ulama dari Pethor, yaitu Balaam bin Beor. Raja Balak meminta Balaam untuk berdoa mengutuk Bani Israel, “Sebab aku tahu: siapa yang kauberkati, dia beroleh berkat, dan siapa yang kaukutuk, dia kena kutuk.” (Kitab Bilangan 22:6) Balak membawa Balaam ke puncak Gunung Pe’or sehingga dapat melihat Bani Israel di dataran di bawahnya. Tetapi Balaam malah mendoakan keberkatan untuk Bani Israel, dan menyampaikan ramalan akan kehancuran Moab dan musuh Bani Israel lainnya. (Kitab Bilangan 24:2–19) Namun demikian, Balaam memberi tahu Balak cara agar Bani Israel melakukan dosa, yaitu melalui godaan perempuan. (Kitab Bilangan 31:16) Ketika Bani Israel memasuki wilayah Moab, terjadilah perzinahan dengan perempuan Moab. Perempuan-perempuan itu lalu mengajak mereka kepada berhala Moab. (Kitab Bilangan 25:1–2) Salah satu Bani Israel yang berzina dengan perempuan Moab adalah Zimri (Samiri). Samiri berzina dengan Kozbi binti Zur, anak perempuan seorang kepala kaum di Moab. (Kitab Bilangan 25:14–15) Narasi kisah ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya fitnah yang pertama kali terjadi pada Bani Israel adalah karena wanita.” (HR. Muslim) Ibnu Katsir saat membahas Surat Thaha ayat 88 mengutip Ibnu Abbas bahwa patung anak lembu itu tidak bersuara. Suara patung tersebut karena angin masuk dari duburnya dan keluar dari mulutnya.[2] Samiri membuat patung tersebut berdasarkan teknik yang dipelajarinya dari bangsa Moab. Dalam kitab-kitab tafsir, umumnya ada dua penafsiran terhadap kalimat فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِّنْ اَثَرِ الرَّسُوْلِ (QS. Thaha: 96). Pertama, اَثَرِ الرَّسُوْلِ adalah jejak kuda malaikat Jibril. Kedua, اَثَرِ الرَّسُوْلِ adalah ajaran atau syariat Nabi Musa. Pendapat pertama adalah perkara ghaib (terkait malaikat) sehingga membutuhkan landasan dari Qur’an atau hadits. Sedangkan pendapat kedua memiliki kesesuaian dengan konteks keseluruhan ayat. قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوْا بِهٖ Dia (Samiri) menjawab, “Aku mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui.” Maksudnya adalah Samiri mengetahui teknik pembuatan berhala, yang dapat mengeluarkan suara, dari bangsa Moab. فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِّنْ اَثَرِ الرَّسُوْلِ فَنَبَذْتُهَا “Jadi aku ambil segenggam jejak rasul lalu aku melemparkannya.” Maksudnya adalah Samiri hanya mengambil sebagian kecil ajaran atau syariat Nabi Musa, lalu membuangnya. وَكَذٰلِكَ سَوَّلَتْ لِيْ نَفْسِيْ “Demikianlah nafsuku membujukku.” (QS. Thaha: 96) Maksudnya adalah Samiri melakukannya karena menginginkan nikmat dunia dari penyembahan berhala, sebagaimana yang didapat tokoh-tokoh agama penyembah berhala dari Moab. Al Qur’an kemudian menyebutkan bahwa Samiri mendapat hukuman pengucilan, suatu penyakit yang membuatnya tidak boleh disentuh atau menyentuh manusia. (QS. Thaha: 97) Sehingga Samiri bukanlah Dajjal. Selain karena tidak ada dalil dari Qur’an maupun hadits, juga karena Samiri sepanjang hidupnya di dunia sudah tidak dapat lagi berinteraksi dengan manusia. (fiq)

Read More

Perbedaan Hari Raya Menurut Buya Hamka

Jakarta – 1miliarsantri.net : Perbedaan waktu ketika Hari Raya, terutama dalam penentuan Idul Fitri, tampaknya bukan hanya terjadi pada kurun waktu terakhir ini, namun sudah pernah terjadi dibeberapa tahun sebelumnya, seperti pada suatu hari di tahun 1975, Buya Hamka pernah ditanya soal perbedaan waktu Idul Adha di Indonesia dengan negara Arab Saudi? Buya Hamka menerangkan, ketika waktu itu Departemen Agama memutuskan Hari Raya Idul Adha 1395 H, jatuh pada Sabtu 13 Desember 1975. Tiba-tiba Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta menyiarkan bahwa Idul Adha jatuh hari Jumat, 12 Desember 1975. Perbedaan tersebut mengakibatkan terjadi dua kubu di masyarakat. Ada golongan yang menganjurkan agar Sholat Idul Adha dilaksanakan pada Jumat, dikarenakan sudah wukuf pada Kamis. Ada yang berkeras mempertahankan keputusan semula, yaitu sholat Hari Raya Haji hari Sabtu, 13 Desember 1975, sesuai keputusan Departemen Agama setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan majelis ulama dan ahli-ahli hisab dan rukyah di Indonesia. Hamka mengawali jawaban dengan mengatakan, jika bersatu permulaan puasa, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha di seluruh dunia Islam, sehingga sama puasa kaum Muslimin, sama berbuka dan sama Hari Raya Haji, adalah satu hal yang baik sekali. Apalagi pada zaman sekarang dengan adanya alat-alat telekomunikasi yang cepat dapat menyampaikan berita di seluruh dunia, hal yang seperti itu mungkin bisa dicapai. Itulah sebabnya, jumhur ulama memandang persatuan umat dalam mengerjakan ibadah puasa dan hari raya adalah sangat dituntut. Menurut Hamka, sangat sulit tercapai seluruh umat bisa berbarengan waktunya melaksanakan awal Ramadhan, sholat Idul Fitri, dan Idul Adha. Hanya pada negara-negara yang berdekatan saja yang bisa sama, yaitu yang satu mathla’. Adapun yang berjauhan mathla’, seperti antara Andalus (sebelah barat) dan Khurasan (sebelah timur) tidak dapat dipersamakan. Pendapat ini diperkuat melalui hadits yang pernah terjadi pada zaman sahabat-sahabat Rasulullah, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib. Bahwa ia datang ke Syam. la sampai di sana pada akhir bulan Sya’ban menjelang masuk bulan Ramadhan, la sendiri turut melihat bulan (rukyah hilal) ketika berada di Syam. “Saya melihat bulan itu pada malam Jumat.” Setelah beberapa hari di Syam, Kuraib kembali ke Madinah pada ujung bulan Ramadhan. Ia berkata, “Lalu bertanya kepadaku Ibnu Abbas dan dibicarakannya juga soal hilal itu. la bertanya, “Kapan kalian melihat hilal Saya jawab, “Malam Jumat.” Lalu Ibnu Abbas bertanya lagi, “Engkau sendiri melihat?” Kuraib menjawab, “Ya, saya lihat dan orang ramai pun melihatnya, maka puasalah orang ramai pada besoknya dan puasa pula Muawiyah itu sendiri?” Lalu, Ibnu Abbas berkata, “Namun, kami melihat hal itu pada malam Sabtu, dan kami teruslah puasa sampai kami cukupkan bilangan tiga puluh hari, atau kami lihat hilal nanti.” Lalu Kuraib bertanya, “Tidakkah kallan padukan saja dengan Rukyah Muawiyah dan puasanya.” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak. Karena begitulah diperintahkan Rasulullah SAW kepada kita. Hadits ini disalin secara bebas, dirawikan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan at -Tirmidzi. “Hadits ini adalah hassan, shahh, dan gharib. Amalan menurut hadis ini pada sisi ahli ilmu, yaitu bahwa tiap tap negeri dengan rukyahnya sendiri.” “Hadits inilah yang menjadi pegangan seluruh dunia Islam itu, bukan lagi semata-mata di Tanah Arab, melainkan telah melebar meluas ke luar Arab, bahkan ke seluruh dunia,” kata Buya Hamka dalam bukunya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 189: “Mereka itu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji…” Berdasarkan ayat ini, pokok pertama dan utama dalam memulal ibadah, baik ibadah puasa Ramadhan maupun penutupan puasa Ramadhan (Idul Fitri) atau penentuan permulaan haji, atau menentukan perhitungan mengeluarkan zakat (haul) semuanya dihitung menurut bulan qamariah, bukan syamsiah. Caranya adalah apabila ada orang yang melihat hillal (yaitu bulan sabit, permulaan bulan baru di ufuk barat, sesudah terbenamnya matahari), lalu dilaporkannya kepada pihak yang berwenang atau penguasa di negeri itu. Sesudah memeriksa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak yang melihat bulan itu dengan menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat lebih dahulu setelah penguasa mempercayai berita itu, lalu disuruhlah menyiarkan berita itu kepada orang ramai dan dimaklumkanlah bahwa besoknya mulailah puasa, atau besoknya mulailah Hari Raya Idul Fitri. Kala bulan haji, dilihat orang pula hilal permulaan Dzulhijjah dan dilaporkannya kepada penguasa, lalu dimaklumkanlah ke muka umum bahwa Hari Raya Haji akan jatuh pada 10 sesudah itu. Adapun di Makkah sendiri, ada tambahan khusus lagi, yaitu pada sembilan hari bulan akan wukuf di Arafah. Cara yang begini adalah menurut Sunnah dari Nabi sendiri, yaitu sebuah hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh at Tirmidzi bahwa pada suatu hari, seseorang dari kampung (A’rabi) datang memberitahukan bahwa la melihat hilal malam itu. Lalu ia disuruh mengucap dua kalimat syahadat, (suatu kesaksian yang lebih besar pengaruhnya daripada sumpah sendiri bagi orang yang beriman; bahwa ia bertanggung jawab sebagai Muslim dan ucapan yang ia keluarkan). Setelah Nabi percaya kepada kesaksian orang itu, baginda berkata kepada bilal. “Hai Bilal, beritahukan kepada manusia, puasa besok.” Dari dalil-dalil sunnah Nabi itu, teranglah bahwa mengerjakan ibadah puasa atau haji itu dengan berjamaah. Maksud dengan jamaah adalah masyarakat kaum Muslimin. Pada zaman Rasulullah masih hidup, pimpinan jamaah itu adalah di tangan baginda sendiri. Setelah Nabi SAW wafat, berada di tangan khalifah-khalifah yang menggantikannya. Setelah dunia Islam bertambah luas dan berkembang, jamaah kaum Muslimin itu dikepalai oleh amir-amir atau sultan-sultan di daerahnya masing-masing. Setelah kebanyakan negeri Islam dijajah oleh bangsa Barat, terutama seperti di Indonesia ini, terserah kepada kaum Muslimin sendiri mengatur permulaan puasa dan berbukanya dan Hari Raya Hajinya. Di negeri-negeri yang ada raja atau sultan dalam naungan penjajah, raja-raja dan sultan itulah yang menentukan puasa, berbuka dan Hari Raya Haji. Karena itu, seperti di Sumatra Timur pada zaman jajahan, tidaklah mustahil jika berbeda permulaan dan penutupan puasa antara Kerajaan Deli dan Kerajaan Sendang, Kerajaan Asahan dan Kerajaan Kualuh, walaupun “kerajaan-kerajaan” itu sangat berdekatan. Adapun di luar daerah kekuasaan sultan, seperti dalam kota Medan orang tidak merasa terikat oleh perintah sultan. Sebab itu penentuan puasa, berbuka, dan Hari Raya Haji adalah menurut kalender yang mereka percayai dan pegangi saja. “Lebih-lebih setelah berkembang ilmu hisab, mulailah banyak orang yang puasa, berbuka, dan Hari Raya Haji menurut hisab saja. Perkumpulan-perkumpulan Islam seperti Muhammadiyah mengeluarkan pengumuman tiap tahun yang dijadikan pegangan oleh anggotanya dan orang yang menuruti…

Read More

As Syasi Pembuat Kunci Terkecil Yang Dikucilkan

Jakarta – 1miliarsantri.net : Dahulu ada seorang yang sangat ahli membuat kunci, bernama as-Syasi. Dia sangat terkenal di kota Marwa karena mampu membuat kunci yang sangat kecil hanya seberat satu Daniq. Satu daniq sama dengan 800 miligam. Kunci yang sangat kecil. Berkat karya nya ini, seluruh penduduk kota kagum dan memuji kunci itu. Kabar itu kemudian didengar oleh Abu Bakar, seorang lelaki paruh baya berusia 40 tahun. Lalu Abu Bakar membuat kunci yang yang beratnya empat kali lebih kecil dari kunci yang paling terkenal di kota Marwa itu. Dia pamerkan kunci kecil itu, dan orang-orang hanya memnganggap kunci itu bagus, tapi kabarnya tidak seviral kunci milik as-Syasi. Abu Bakar bergumam: Lihatlah segala sesuatu perlu kepada nasib. As-Syasi membuat kunci yang kecil dan kabar kehebatannya tersebar ke seluruh penjuru kota, aku membuat kunci yang empat kali lebih kecil dari kuncinya, tapi tak seorang pun yang menyebutnya. Lalu seorang menyahut, “Sebutan, reputasi dan kedudukan itu, hanya didapatkan dengan ilmu, bukan dengan kunci.” Kata itu menyadarkan Abu Bakar, lalu ia mencari syaikh di kota Marwa dan menyampaikan maksudnya. Lalu Syaikh itu menyampaikan ilmu pertama, kalimat pertama dalam kitab Mukhtasar Muzani, “Hadza kitabun Ikhtashartuhu”. ‘Ini adalah sebuah kitab yang telah aku ringkas… ‘ Sepulang ke rumah, Abu Bakar naik ke atas loteng rumahnya dan mengulang-ngulang, “Hadza kitabun Ikhtasartuhu” hingga malam suntuk menjelang fajar. Lalu ia tertidur. Ketika terbangun, Abu Bakar lupa apa yang ia hafalkan, ia sedih, dan malu jika bertemu dengan Syaikhnya. Ketika pagi hari, Abu Bakar keluar ingin pergi mengaji, tiba-tiba tetangganya menegur, “Hei Abu Bakar, tadi malam kami tidak bisa tidur karena mendegar kamu selalu mengulang-ulang: “Hadza kitabun Ikhtasartuhu”. Akhirnya Abu Bakar ingat apa yang dia hafal karena teguran tetangganya. Ketika bertemu dengan gurunya, Abu Bakar menceritakan kejadian itu. Lalu gurunya menasehati, “Jangan biarkan kejadian itu menghalangimu untuk menghafal dan menuntut ilmu, karena kalau kamu terus menerus menghafal dan belajar akan menjadi kebiasaan, kalau sudah jadi kebiasaan akan menjadi mudah.” Abu bakar semakin semangat dan terus fokus dalam ilmu hingga ia menjadi Imam Fikih Syafi’i Model Khurasan yang menulis, mengumpulkan dan membukukan furu’ kitab-kitab Madzhab Imam Syafi’i. Dalam buku-buku Madzhab Syafii Abu Bakar dikenal dengan julukan al-Qaffal as-Shagir, Si pembuat kunci yang kecil. Ia adalah ulama besar madzhab Syafi’i sekelas Abu Hamid al-Isfirayaini dari Irak. As-Syasi pembuat kunci terkenal itu juga ternyata adalah ulama besar; Ahli Fikih, Hadist dan Bahasa Arab. Dalam turast dikenal dengan julukan: al-Qaffal al-Kabir. Syaikh Awwamah mengomentari cerita ini, “Lihatlah pengaruh kata-kata baik dari hati yang ikhlas dan jatuh ke hati yang penuh semangat.” Beliau juga mengomentari keahlian membuat kunci; “Lihatkan dan renungkan betapa tingginya keahlian orang muslim zaman dulu dalam bidang kerajinan tangan”. (pras)

Read More

Keunikan Sang Qadhi Iyadh: Adab Ulama terhadap Istrinya

Jakarta – 1miliarsantri.net : Syaikh Muhammad Hammad Al-Shiqili Rahimahullah, ulama Fes, Maroko, suatu hari menceritakan kisah unik namun penuh hikmah tentang Qadhi Iyadh Rahimahullah – Imam ahli hadith yang juga menguasai banyak ilmu lainnya seperti sejarah, fiqh, nahwu, bahasa, dan ilmu nasab — kepada Yusuf Abjik Assusi yang ia ceritakan dalam kitabnya. Suatu hari Qadhi Iyadh sedang mengunjungi beberapa temannya yang merupakan ulama ahli fiqh (fuqaha). Kemudian ia bertemu salah seorang dari mereka yang telah menyelesaikan kitabnya. Lalu Qadhi Iyadh kagum saat sekilas melihat karya temannya tersebut, sehingga ia memohon untuk meminjamkan padanya sebentar agar dapat membacanya dengan sempurna. Temannya, sang ahli fiqh, merespon dengan menegaskan bahwa kitab tersebut adalah satu-satunya naskah yang ia punya, jika kitab tersebut hilang maka ia tidak memiliki penggantinya. Mendengar hal itu, Qadhi Iyad menenangkan temannya tersebut dengan berjanji bahwa ia akan menjaga kitab tersebut dengan baik serta mengembalikannya langsung pada keesokan harinya. Qadhi Iyad dengan girang membawa kitab tersebut pulang ke rumah. Pada hari itu, ia memilih untuk tidak tidur semalaman demi membaca dan memperdalam karya temannya tersebut. Sedangkan ia memiliki istri yang mengajaknya berbincang namun sama sekali ia tak menghiraukannya saking asyiknya membaca. Pagi harinya, saat adzan Subuh, Qadhi Iyadh pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah serta mengajarkan ilmu hingga siang hari. Selepasnya mengajar, ia bergegas pulang ke rumah dan setibanya disana, ia mencium aroma yang sangat asing lantaran belum pernah mencium aroma demikian sebelumnya. Sang Qadhi bertanya pada istrinya: “Wahai istriku, menu makan siang apakah yang telah kau siapkan untukku?” Sang istri menjawab: “nanti kau akan mengetahuinya sendiri.” Ketika sang istri meletakkan talam untuk menu hidangannya, sang Qadhi menemukan kitab temannya yang sedang ia pinjam tersebut hangus dibakarnya. Istrinya membakar kitabnya karena emosi dan amarah yang tak tertahan akibat suaminya telah mengabaikannya semalaman penuh demi membaca kitab tersebut. Sang Qadhi mengambilnya disertai rasa sedih atas apa yang dilaluinya. Tanpa pikir Panjang, Sang Qadhi bergegas mengambil pena dan kertas kemudian mulai menulis segala apa yang ia ingat dari bacaannya semalam. Setelah selesai, ia langsung bergegas pergi membawa tulisannya itu menuju rumah sang ahli fiqh seraya berkata: “bacalah kitab itu, adakah sesuatu yang kurang di sana?” Temannya kemudian membaca, membolak-balikkan halaman perhalaman hingga selesai lalu menjawab “tidak, tidak ada yang kurang sama sekali!” Qadhi Iyadh dengan ingatannya yang sangat kuat berhasil menghafal dengan sempurna seluruh apa yang ia baca dalam waktu satu malam. Demikianlah salah satu kisah sabarnya para ulama menghadapi amarah istrinya. Sang Qadhi memilih diam dan melakukan aksinya tanpa memperpanjang masalah. Sebab di sisi lain, ia telah melakukan kesalahan karena abai dengan istrinya. Muamalah dalam rumah tangga juga memerlukan adab untuk mencapai ridha Allah. Imam al-Qurthubi pernah menuliskan di kitabnya al-Jami’ Li Ahkam al-Quran: janganlah murka pada istri yang kemurkaannya dapat membawanya pada perceraian. Lebih baik seseorang memafkan kesalahan-kesalahan istrinya dengan kebaikan-kebaikan yang telah istrinya perbuat, tak mengindahkan apa yang ia tak sukai dari istrinya dengan mengutamakan sesuatu yang ia sukai dari istrinya. (yus)

Read More

Biografi Abu Yazid al Bustami

Jakarta – 1miliarsantri.net : Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami dan yang lahir pada tahun 874-947 M. Al Bustami adalah nama yang diberikan untuk tempat kelahirannya, kota kecil di barat Bustan. Khurasan, Persia, atau tenggara Laut Kaspia. Namanya kecil Abu Yazid Al-Bustami adalah Taifur. Ayahnya Surusyan awalnya adalah pengikut orang Majusi, tetapi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang diterima Abu Yazid Al-Bustami, belajar dari Abu Ali al-Sindi para pengkut mazhab figih Hanafi, begitu juga dengan ilmu tauhid dan ilmu realitas, serta ilmu dunia fana. Keluarga Abu Yazid termasuk orang-orang dari masyarakat setempat, tetapi dia lebih suka hidup sederhana. Abu Yazid dikatakan memiliki kelainan sejak lahir. Ibunya berkata bahwa Abu Yazid dalam kandungannya dan dia makan makanan halal atau meragukan, dia akan memberontak sampai dia muntah. Setelah menginjak dewasa, Abu Yazid Al-Bustami dikenal sebagai murid dan anak yang baik yang mengikuti amanat agama dan berbakti kepada orang tuanya. Ketika gurunya menjelaskan sebuah puisi dari Surat Luqman: “Terima kasih untukku dan orang tuamu”. Ayat ini sangat menyentuh hati Abu Yazid. Kemudian dia berhenti belajar dan pulang menemui ibunya. Sikap ini memperjelas bahwa ia selalu berusaha memenuhi semua panggilan Tuhan. Butuh waktu puluhan tahun bagi Abu Yazid untuk menuju ke Sufi. Dia pertama kali menjadi seorang penganut fiqih Hanafi sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang Sufi. Salah satu gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Dia mengajarkan Abu Yazid ilmu tauhid, ilmu yang hakiki, dan ilmu lainnya. Pengetahuannya yang mendalam tentang Fiqih Hanafi membuatnya menjadi penganut Syariah Islam yang kuat. Dia pernah mengatakan bahwa ini bisa dimengerti dari beberapa pernyataan yang dia buat. kalau kamu melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti perintah dan menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syari’at. Namun demikian, Abu Yazid Al-Bustami wafat tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Busthan. Ajaran Fana’, Baqa’ dan Al-Ittihad Abu YazidAjaran al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang artinya musnah atau raihb. Syai’ (sesuatu) negara tidak ada habisnya, yang berarti jika keberadaan negara telah berakhir, dikatakan telah mencapai fana. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (378 H/988 M) mendefinisikan “hilangnya semua nafsu, tanpa syarat yang melekat pada semua aktivitas manusia, sehingga ia kehilangan semua emosinya dan secara sadar dapat membedakan sesuatu, dan ia menghilangkan semua minat dalam melakukan sesuatu yang berbu duniawi. Sebenarnya, dia masih ada dan makhluk lain juga, tetapi dia tidak lagi menyadari mereka atau dirinya sendiri. Di antara para Sufi, beberapa orang mengklaim bahwa manusia dapat dipersatukan dengan Tuhan. Seorang sufi yang mencapai tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata hatinya. Menurut al-Syathi, proses yang merusak sifat basyariah disebut Fana ‘al-alam dan proses yang menghancurkan irodahnya disebut Fana’ al-irodah dan proses yang menghancurkan keberadaan dirinya dan zat lain di sekitarnya disebut Fana ‘al-nafs. Menurut Al-Thusi : Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang terhadap tindankan-tindakannya yang berbau duniawi. Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi, yaitu : ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد Hilangnya daya kesadaran hati dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara slilih berganti sehingga tiada lagi yang disadaridan dirasakan oleh indera. Sebelum sampai kepada tingkatan al-ittihad, seorang sufi terlebih dahulu menghancurkan dirinya sendiri, selama dia tidak bisa menghancurkan dirinya sendiri, dia tidak bisa menyatu dengan Tuhan. Hal ini karena al-fana’adalah proses yang mula-mula dan kemudian berlanjut dengan al-baqa yang secara bersama-sama merupakan kembaran yang tidak dapat dipisahkan. Hancurnya Ruh Suci bukan berarti kehilangan, melainkan kehancuran yang akan menyadarkan para sufi. Kesadaran ini disebut al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah, yaitu kesadaran diri dihancurkan dan kesadaran diri Tuhan muncul. Dengan munculnya fana, maka baqa dengan sendirinya akan terjadi dalam kondisi demikian, ittihad pun terjadi. Abu Yazid Al-Bustami memiliki pemahaman yang berbeda dengan Junaid, terutama dalam kaitannya dengan sakit, yaitu tentang hasrat cinta Tuhan. Abu Yazid al-Bustami menegaskan bahwa manusia pada hakekatnya adalah esensi Tuhan, mampu menyatu dengan-Nya jika ia dapat menyatukan keberadaan-Nya sebagai manusia sehingga ia sendiri tidak menyadarinya (fana an nafs). Jika seorang sufi tiba di tingkatan Fana ‘al-nafs, yaitu dia tidak menyadari bentuk fisiknya, yang tersisa adalah bentuk spiritualnya dan kemudian dia secara spiritual menggabungkan dirinya dengan Tuhan. Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dimaksud Fana ‘dan Baqa’ adalah mencapai kesatuan spiritual dan ruhani dengan Tuhan, sehingga yang dicapainya hanyalah Tuhan dalam dirinya. . Dengan demikian, materi manusianya tetap, sama sekali tidak rusak, seperti halnya alam sekitarnya, hanya kehilangan atau menghancurkan rasa kemanusiaannya, ia tidak lagi merasakan kesempatan apa pun. Ketika seseorang menjadi Fana’ atau tidak lagi menyadari wujudnya sendiri dan wujud lain yang mengelilinginya, maka ia pergi ke Baqa’ dan melanjutkan ke Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut para sufi adalah saudara kembar dan tidak terpisahkan sebagaimana dikatakan: “Barangsiapa yang membuang sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas Abu Yazid Al-Bustami dalam tahap fana tercapai setelah ia meninggalkan semua keinginan selain dari Allah SWT. Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan perantaraan zikir, dalam kitab hikam diterangkan: والذكر أعظم باب أنت داخله لله فأجعل له الأنفاس حراسا Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan makrifah) pada Allah; maka masukilah, sertailah setiap keluar masuknya nafas dengan zikir, sebab Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. la bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada- Mu? Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu…

Read More

Gus Baha : Tepis Cemas, Selalu Gembirakan Hati

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Sangat dianjurkan oleh para ulama, ketika menjalani kehidupan, kita harus selalu senang. Jangan bersedih terus dan senantiasa berpositif thinking dalam segala hal. Jika fokus kepada kesedihan, lama-lama manusia tidak ridha dengan ketentuan Allah SWT. Manusia harus memaksakan diri untuk gembira dan bersyukur. Sebab kalau merasa susah terus, lama-lama kita tidak percaya qadha dan qadar. Demikian disampaikan Gus Baha dikutip dari channel Ngaji Ben Aji Official, dengan judul “Gus Baha Motivasi Hidup”. Jika sering dipaksakan senang, lama-lama kita jadi terbiasa bersyukur. “Rasa senang itu ibadah. Kita tidak perlu merasa takut dan gelisah. Kalau muncul kekhawatiran dalam hidup itu wajar. Saya juga kadang khawatir bagaimana nasib anak-anak kalau saya wafat nanti,” terang Gus Baha. Namun Gus Baha menerapkan bahwa kita harus kembali kepada ketentuan Allah SWT bahwa semua yang ada di dunia ini ada dalam kekuasaan-Nya. “Kita hidup, soal rezeki juga karena Allah. Yang menciptakan anak menjadi kaya bukan saya. Buktinya, mereka yang bukan anak saya juga kaya,” ujarnya. Allah itu pemberi rezeki dari sejak Nabi Adam hingga akhir zaman. Allah juga Al Hadi yang artinya Pemberi Petunjuk. Buktinya, agama Islam tetap berkembang, meskipun para penganutnya mungkin sudah tidak ideal seperti zaman Rasulullah. “Intinya kita selalu dalam lindungan Allah SWT kapan pun dan di mana pun. Jadi jangan cemas dan gelisah, karena Allah yang akan mencukupi kita semua,” imbuhnya. Lebih jauh Gus Baha menerangkan, kadang kita berpikir, bagaimana nasib anak kita kalau tidak ditinggali warisan? Padahal banyak anak yang tidak diberi warisan juga akhirnya kaya. Hal itu terjadi karena manusia itu bukan siapa-siapa. Yang berkuasa itu Allah SWT. Sekali lagi, di depan aturan Allah, manusia bukan siapa-siapa. “Karena kekuasaan Allah tidak terbatas, anak cucu kita juga akan bergantung kepada Allah. Allah itu Yang Mencukupkan dan Yang Memberi Rezeki,” tandas Gus Baha. (mul)

Read More

Kemunduran Islam di Era Syekh Syakib Arslan

Jakarta – 1miliarsantri.net : Faktor-faktor yang mempengaruhi umat Islam mengalami kemunduran adalah kebodohan, tanggung dalam menguasai ilmu pengetahuan, bobroknya akhlak, dan sifat pengecut. Benar kah demikian adanya? Apa sebenarnya kemajuan Islam yang dinginkan Syakib Arslan? Pertanyaan mengapa umat Islam mundur sedangkan non-Islam maju muncul di masa kolonial (1929) dari salah seorang Alim Ulama Indonesia, Syekh Basyuni Imran, dalam tafsir Al-Manar, karangan Syekh Muhammad Rasyid Rida. Siapakah Syekh Basyuni? Beliau pernah kuliah di Madrasah Dar-Al Da’wah wa Al-Irsyad Mesir asuhan Rasyid Rida. Pertanyaan tersebut oleh Rasyid Rida diserahkan kepada kawannya, Amir Syakib Arslan untuk menjawabnya. Berikut isi pertanyaannya: ١. ما أسباب صار إليه المسلمون (ولا سيما نحن مسلمو جاوة وملايو) “من الضعف والإنحطاط في الأمور الدنيوية والدينية معا, وصرنا أذلاء لاحول لنا ولا قوة, وقد قال الله تعالى في كتاب العزيز: ” ولله العزة ولرسوله وللمؤمنين”. فأين عزة المؤمن الآن؟ وهل يصح المؤمن أن يدعي أنه عزيز وإن كان ذليلا مهانا ليس عنده شيء من أسباب العزة إلا لأن لله تعالى قال: ولله العزة و لرسوله وللمؤمنين. ٢. ما الأسباب التي ارتقى بها الأوروبيون والأمريكانون واليبانيون ارتقاء هائلا؟ وهل يمكن أن يصير المسلمون أمثالهم في هذا الإرتقاء إذا اتبعوهم في أسبابه مع المحافظة على دينهم الإسلام أم لا؟ Syekh Syakib Arslan (1869-1946) adalah seorang pemimpin (amir) Druz, sebuah sekte Syiah Isma’iliyyah Fathimiyyah, Lebanon yang karena kepiawaian penanya dia diberi gelar “Amir Al-Bayan”. Dia sangat terinspirasi oleh Jalaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta bersahabat erat dengan Rasyid Rida. Beliau juga salah seorang pendukung kebijakan-kebijakan Pan-Islamik Sultan Abdul Hamid II dan mendukung gagasan bahwa keberlangsungan Imperium Usmani adalah satu-satunya jaminan untuk menyatukan umat Islam yang terpecah belah dan berada di bawah penjajahan Eropa. Arslan menjawab pertanyaan-pertanyaan Basyuni Imran dalam beberapa bagian di kitab tafsir Al-Manar, yang kemudian diterbitkan olehnya sendiri sebagai sebuah karya buku dengan judul “Limadzaa taakhara Al-Muslimun wa taqaddama ghayruhum?” Pemikiran Syekh Syakib Arslan ini juga harus dipahami dalam konteks waktunya, yang terjadi di masa kolonialisasi dunia Islam oleh Barat dan masa antara dua Perang Dunia I dan II. Arslan gregetan melihat kemerosotannya semangat kaum muslim untuk meraih kejayaannya kembali, terutama keluar dari penjajahan dan ketergantungan dari Barat, lalu membangun peradaban atas prinsip spirit Islam. Dengan cermatnya Arslan mengidentifikasi sebab-sebab Islam bisa meraih kejayaan di masanya serta kemajuan yang sangat pesat, sebelum dia menganalisis sebab-sebab keruntuhannya. Pertama, Arslan percaya kalau sumber kemajuan Islam ialah “ada di dalam Islam itu sendiri” dengan mempertahankan identitas serta keautentikannya. Ini terbukti dari sejarah kemunculan Islam di semenanjung Arabia yang mampu menyatukan berbagai etnik dan ras yang ada di Arab, dan membawa mereka dari barbarisme menuju peradaban, dari kekejaman menuju cinta kasih dan sayang, serta menghapus politeisme dan merestorasi peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itu tidak ada kekuatan yang dapat mencegah perkembangan Islam ke segenap penjuru dunia, kecuali perpecahan dan perang saudara di antara mereka sendiri, seperti yang terjadi di akhir periode Utsman bin Affan dan periode Ali bin Abi Thalib. Dan Islam pun mampu membangun peradaban dunia di Abad pertengahan–tepatnya pada masa dinasti Abbasiyah- dengan gemilang. Menurutnya, sebagian besar bagian dari kekuatan inspirasi yang mengantarkan pada kemenangan dan capaian-capaian mereka itu pada masa dia telah hilang, walau jejaknya mungkin masih bisa dilacak. Dengan melihat dari segi geopolitik yang dulu negeri asing mulai memasuki Arab, seperti Persia yang menduduki Yaman, Romawi di ujung negeri Hijaz dan bagian timur Syam. Kemerdekaan mereka semua tidak lepas dari spirit serta inspirasi yang disalurkan oleh umat Islam. Namun setelah itu, justru ada pada orang lain, terutama, saat itu Eropa, Amerika, dan Jepang. Padahal Allah SWT telah menjanjikan kepada umat Islam di dalam Firman-Nya: و لله العزة ولرسوله وللمؤمنين ”Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.” (Al-Munafiqun: 8) وكان حقا علينا نصرالمؤمني ”Dan merupakan hak Kami(Allah) untuk menolong orang-orang beriman.” (Ar-Rum: 47) Tentu beberapa kemunduran yang dialami oleh umat Islam tersebut bukan berarti Allah SWT tidak menepati janji sesuai dengan Firman-Nya. Al-Qur’an tidak akan ingkar dan bohong, akan tetapi umat Islam itu sendiri yang harus merevolusi itu semua, hal ini telah diperingatkan oleh Allah SWT: إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسه ”Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11) Kemudian muncul beberapa pertanyaan dalam mengomentari ayat tersebut. Mengapa justru Allah SWT tidak menggantikan semua kegagalan dan kemunduran umat Islam dengan mengangkat derajatnya kepada kemuliaan? kan itu mudah sekali bagi Allah? Bukankah hal semacam itu terhitung akan tidak adilnya Allah SWT kepada umat Islam?, Syekh Amir Syakib Arslan tanpa berpikir panjang langsung menanggapi: وما قولك في عزة دون استحقاق, وفي غلة دون حرث ولا زرع, وفي فوز دون سعي ولا كسب, وفي التأييد دون أدنى سبب يوجب التأييد؟ “Segala yang anda katakan mengenai kemuliaan atau kekuatan (tidak mengerti teorinya) itu tidak sepantasnya, apa jadinya hsil panen tanpa ada yang ditanam, apa jadinya kesuksesan tanpa disertai dengan adanya usaha dan kerja keras, apa jadinya sebuah tekad yang bulat tanpa disertai dengan adanya sebab untuk mewujudkannya?” Tidak heran bahwa ucapan seperti itu terlontar dari lisan Syakib Arslan dengan melihat kondisi umat Islam pada saat itu yang semakin malas, suka mengesampingkan amal ibadah, menyelisihi syariat yang telah Allah SWT tetapkan berupa yang haq dan batil, antara yang muḍarat dan manfaat, hingga yang positif dan negatif. Menurut Arslan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran umat Islam. Pertama adalah kebodohan, tidak tanggung-tanggungnya kebodohan mereka hingga tidak bisa membedakan antara khamr dan cuka. Seakan-akan zaman jahiliyah kembali menghantui keberadaan umat Islam dan menjadi sandra yan paten yang tidak bisa ditolak. Kedua yaitu ilmu yang tanggung, kejadian seperti ini merupakan hal yang lebih bahaya daripada kebodohan. Karena suatu kebodohan jika Allah SWT telah menunjukkannya kepada seorang mursyid yang alim maka dia akan taat dan tidak membangkang pada sang mursyid, sedangkan orang yang memiliki ilmu setengah-setengah dia akan menjadi orang yang merasa paling benar bahkan tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak tahu dan merasa tidak puas atas ketidaktahuannya, seperti yang dikatakan oleh suatu maqalah Arab: إبتلائكم بمجنون خير من إبتلائكم بنصف مجنون “Bencana yang menimpamu berupa orang gila itu lebih baik daripada bencana yang menimpamu berupa orang setengah…

Read More

Imam Bukhori Terinspirasi Dua Ayat Al Qur’an ini

Jakarta – 1miliarsantri.net : Siapa yang tidak mengenal atau mendengar nama Imam Bukhari. Nama beliau sering disebut dalam banyak hadist maupun beberapa kitab lain nya. Imam Bukhori pernah menyisipkan bab berjudul Hifdzhul Ilmi dalam Shahihnya. Bab ini dikatakan oleh Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolani sebagai bab yang hanya mengulas tentang Abu Hurairah RA. Dalam bab tersebut, Abu Hurairah berkata: “Sungguh yang paling banyak menyampaikan hadits adalah Abu Hurairah. Jika bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, maka aku tidak akan mengeluarkan satu hadits pun.” Imam Bukhari menjelaskan, dua ayat yang dimaksud itu adalah ayat 159-160 Surat Al Baqarah. Allah SWT berfirman: “Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat, kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS Al Baqarah ayat 159-160) Abi Abdullah Muhammad Sa’id bin Silan dalam bukunya, Adabu Thalibil Ilmi (terj. Muyassir Hadil Anam), menukil hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Al-A’raj yang mendengar Abu Hurairah berkata: (إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني)، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه)؛ “Kalian mengira Abu Hurairah meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah SAW. Hanya Allah Yang Mahamembuat Perhitungan. Aku ini miskin dan aku membantu Rasulullah SAW dengan batas kemampuanku. Kaum Muhajirin sibuk berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka Rasulullah SAW bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Mendengar hal tersebut, Abu Hurairah pun membentangkan bajunya, lalu beliau SAW menyampaikan haditsnya. “Aku pun menghimpunnya dalam diriku. Alhasil, aku tidak lupa sedikit pun dari apa yang aku dengar dari Rasulullah SAW.” Abu Hurairah RA adalah sahabat yang paling hafal hadits dan paling banyak meriwayatkan, meski persahabatan dirinya dengan Nabi SAW tidak panjang, yakni tidak lebih dari tiga tahun. Ibnu Umar RA mengatakan, Abu Hurairah adalah orang yang menghafal hadits untuk umat Islam. Asy Syafi’i berkata, “Abu Hurairah adalah perawi hadits yang paling hafal pada zamannya.” (fil)

Read More

Hal-hal Nyeleneh Dalam Tasawuf

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Abu Yazid Al-Basthami pernah mengajak beberapa muridnya untuk bertemu salah seorang yang saat itu mulai terkenal dengan kewalian, zuhud, dan sering dikunjungi oleh orang banyak. Saat sampai ke tempat orang yang dituju, Abu Yazid melihatnya sedang shalat, dan membuang ludah ke arah kiblat. Sebagaimana yang diketahui, makruh hukumnya membuang ludah ke arah kiblat. Tanpa banyak basa-basi, Abu Yazid langsung putar balik dan pulang. Ia berkata kepada muridnya, “Orang itu tidak mengamalkan adab-adabnya Rasulullah, bagaimana mungkin saya bisa percaya dengan klaim dia sebagai wali?” Meskipun ini cuma makruh, yang bahkan sebagian orang akan menilai bahwa selama itu tidak berdosa akan tidak masalah, akan berbeda cara pandangnya jika yang melihat adalah ahli tasawuf dan objeknya adalah orang yang mengaku sebagai wali dan memiliki karamah. Cara menilai ahli tasawuf adalah seberapa kuat ia berpegangan dengan syariat, bukan senyeleneh apa ia berbuat. Dari apa yang diperbuat oleh Abu Yazid, kita paham hakikat makna dari ucapan -Faqih Mishr, Laits bin Sa’ad: “Jika kalian melihat orang berjalan di atas air dan terbang di atas langit, jangan tertipu, sampai kalian lihat bagaimana keseharian dia dengan Al-Quran dan Sunnah.” Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, seorang wali besar yang diakui keilmuan dan kewaliannya oleh banyak ulama di masanya, penulis kitab Sullam al-Taufiq, pernah berkata dengan perkataan yang menggambarkan kesehariannya selama hidup, “Aku tidak pernah melakukan hal yang dihukumi makruh, bahkan tidak pernah terlintas di hatiku keinginan untuk melakukan hal tersebut.” Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, meskipun sudah mampu menggabungkan antara ilmu zhahir dan bathin, sebagaimana Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penulis Maulid Simtudh Dhurar menilai beliau sebagai al-Jami’ baina Ilmai al-Zhahir wa al-Bathin, kita tidak akan pernah melihat beliau mengucapkan atau melakukan hal-hal yang nyeleneh. Kita belajar dari keseharian beliau, bahwa orang yang semakin tinggi dan hebat tasawufnya, akan semakin kuat ibadah syariatnya. Wirid harian beliau, sebagaimana yang sudah masyhur: shalat malam dengan 10 juz Al-Quran, shalat Dhuha dengan 8 juz Al-Quran, membaca Ya Allah 25.000 kali, membaca kalimat tahlil 25.000 kali, dan shalawat 25.000 kali. Inilah “nyeleneh” yang diajarkan beliau: ibadah yang berbeda dengan kebanyakan orang. Bukan sekedar ucapan dan omong kosong belaka. Setelah semua itu, ibadah dan wirid yang sangat banyak, beliau memiliki doa yang juga masyhur, yang isinya mengakui kekurangan dalam ibadah dan banyanya kesalahan: “Ya Allah, kami tidak memiliki amal. Semua perbuatan kami hanya kesalahan dan dosa. Namun kami punya harapan kepada-Mu agar Engkau menghapus kesalahan itu. Wahai Dzat yang mendengarkan doa, kami memohon taubat nasuha, dan ampunan dosa, sebelum dosa itu terlihat oleh para makluk-Mu.” Sayyid Al-Qutb Ahmad Al-Rifa’i mengatakan: “Jangan kalian mengatakan, kami adalah ahli batin dan mereka masih ahli zahir. Agama Islam ini menggabungkan keduanya, bathin menjadi inti dari zahir, dan zahir menjadi bungkus dari batin.” Sebetulnya, kita tidak akan melihat sesuatu yang aneh pada orang yang paham akan agama. Syariat dan hakikat akan berjalan beriringan. Terlebih orang yang sudah mengaji tasawuf sudah diharuskan khatam mengaji apa itu syariat. Hingga kita akan bertemu dengan orang yang tidak ingin repot dengan belajar syariat, lalu loncat mengkaji ilmu tasawuf hingga lahirlah banyak salah faham. Ada tiga faktor utama menurut Syekh Ahmad Zarruq al-Fasi yang menjadib penyebab munculnya keanehan dari para pendaku tasawuf: Pertama: lemahnya iman, tidak ada ilmu seputar apa saja yang dilarang syariat, gelapnya hati dari cahaya iman yang menunjukkan dan memberikan arah untuk meniti jalan yang ditapaki oleh Rasulullah ﷺ. Kedua: tidak tahu pokok ilmu tariqat dan memiliki keyakinan bahwa syariat berbeda dengan hakikat. Ini adalah asal muasal ajaran zindiq. Ketiga: memiliki penyakit cinta popularitas, ambisi ingin memimpin, sehingga jiwa terus memaksa untuk mencari cara yang dapat menarik perhatian orang lain dengan memberikan hal-hal yang asing, ia terlihat seperti berbicara tentang Tuhan, tapi sebetulnya ia hanya membicarakan dirinya. (fq)

Read More