Bulan Safar dianggap memiliki waktu yang sial

Jakarta — 1miliarsantri.net : Bulan Muharram pada tahun ini telah berakhir pada 5 Agustus 2024. Pada Selasa (6/6/2024), umat Islam telah memasuki bulan Safar, yaitu salah satu bulan dalam penanggalan Islam. Nama bulan Safar diambil dari kata “صَفَر” (safar) dalam bahasa Arab, yang berarti “kosong”. Dinamakan Safar karena masyarakat Arab saat itu berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya, baik untuk berperang atau bepergian jauh. Mengutip dari buku “Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriyah” terbitan Balai Pustaka, Bulan Safar adalah bulan kedua setelah Muharam dalam kalender Hijriyah yang berdasarkan tahun qomariah (Perkiraan bulan mengelilingi bumi). Selain diambil dari kata kosong (safar), ada pula yang menyatakan bahwa nama Safar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab Jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit Safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan. Pendapat lain juga menyatakan bahwa Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit. Karena itulah beberapa orang di masa lalu mungkin memiliki keyakinan atau kepercayaan tertentu terkait dengan bulan Safar, menganggapnya sebagai bulan yang membawa sial atau kesialan. Benarkah demikian? Sebagiamana diketahui, dalam sejarahnya orang Arab jahiliah beranggapan terdapat kesialan terdapat kesialan pada bulan Safar. Pemikian jahiliah ini pun masih diwarisi oleh segelintir umat Islam zaman ini akibat lemahnya keimanan dalam jiwa. Mereka beranggapan bulan Safar adalah bulan di mana Allah menurunkan kemarahan dan hukuman ke atas dunia. Oleh karena itu, banyak musibah dan bencana terjadi pada bulan Safar, khususnya pada Rabu Minggu terakhir. Namun, penting untuk dicatat bahwa pandangan ini ternyata tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam yang shahih. Dalam Islam, tidak ada bukti yang menghubungkan bulan Safar dengan kesialan atau peristiwa buruk. Seperti bulan-bulan lainnya, bulan Safar netral dari kesialan atau ketentuan nasib buruk. Jika pun ada kejadian buruk di dalamnya, maka itu semata-mata karena faktor lain, bukan karena bulan Safar itu sendiri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad [II/327]). Sebagai Muslim, kita dianjurkan untuk menghindari kepercayaan atau praktik-praktik yang tidak memiliki dasar dalam ajaran agama. Bulan-bulan dalam penanggalan Islam adalah ciptaan Allah dan tidak memiliki kekuatan sendiri untuk membawa sial atau kesialan. Dalam ajaran Islam, yang penting adalah keimanan, ketakwaan, dan amal baik. Oleh karena itu, penting untuk tidak terjebak dalam pandangan yang tidak benar terkait dengan bulan-bulan tertentu, termasuk bulan Safar, dan tetap berpegang pada ajaran agama yang sahih. (yan) Baca juga :

Read More

Empat Contoh yang Bisa Membuat Masjid Jadi Pusat Penyebaran Najis

Jakarta — 1miliarsantri.net : Suci dari hadas dan najis menjadi salah satu syarat sah shalat. Tak hanya yang berkaitan dengan badan, kesucian juga harus diperhatikan pada pakaian maupun tempat sholat. Meski demikian, Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru NU (PP Pergunu), KH Nasrulloh Afandi, mengungkapkan, saat ini banyak masjid yang tidak terjaga kesuciannya. Padahal, dari segi arsitektur, masjid tersebut dibangun dengan megah dan indah. “Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) atau pengurus masjid seringkali kurang memperhatikan masalah kesucian masjid,’’ ujar pria yang akrab disapa Gus Nasrul. Gus Nasrul mengungkapkan, masalah kesucian masjid yang kurang diperhatikan itu sering ditemukannya pada masjid-masjid yang berada di rest area jalan tol, SPBU, tempat wisata, perkantoran, perusahaan, rumah makan bahkan permukiman. Kolam untuk mencuci kaki jamaah menjadi salah satu ciri khas Masjid Pathok Negoro Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Masjid Pathok Negoro Mlangi atau Masjid Jami An Nur merupakan salah satu dari empat Masjid Pathok Negoro milik Keraton Yogyakarta. Masjid Pathok Negoro Mlangi merupakan yang pertama dibangun pada masa Sultan HB I pada Tahun 1758. Selain digunakan untuk ibadah warga sekitar, masjid ini juga menjadi tujuan wisata religi peziarah. Gus Nasrul mencontohkan, masalah kesucian yang kerap ditemukan di antaranya, keberadaan kobokan kaki depan toilet, dimana airnya menggenang, tidak mengalir dan volume airnya kurang dua kulah. Dia meyakini, banyak kaki yang terkena najis usai dari toilet, melewati kobokan itu, kemudian masuk ke masjid dan tanpa disadari jadi menyebarkan najis ke dalam masjid. Selain itu, desain bangunan yang kurang tepat juga sering kali menyebabkan pembuangan air dari toilet mengalir masuk ke kobokan cuci kaki di depan tempat wudhu. Air kobokan itu selanjutnya digunakan oleh orang-orang yang habis berwudhu. Gus Nasrul juga sering menemukan petugas kebersihan masjid menggunakan alat pel yang sebelumnya dipakai untuk mengepel lantai toilet. Setelah itu, alat pel tersebut digunakan untuk mengepel lantas masjid tanpa mensucikannya terlebih dahulu. “Lantai toilet sering kali terkena najis. Walaupun alat pel terlihat bersih, tapi jika digunakan tanpa disucikan terlebih dulu, maka najis dari toilet yang menempel di alat pel bisa menyebar ke seluruh lantai masjid atau mushola,’’ tutur Pengasuh Pondok Pesantren Balekambang Jepara Jateng itu. Kondisi ketiga, lanjut Gus Nasrul, tata letak tempat wudhu dan toilet masjid juga kerap menjadi sumber penyebaran najis. Dia mencontohkan, ada masjid yang tempat wudhunya berada di belakang, sedangkan posisi toilet di bagian depan. “Orang yang berwudhu kan harus melepas sepatu/sandalnya. Sedangkan yang tidak berwudhu, bebas keluar masuk toilet dengan sepatu/sandal mereka. Akibatnya, orang yang habis berwudhu dan telah suci akhirnya kembali menginjak lantai yang terkena najis,’’ ucap Gus Nasrul. Gus Nasrul juga menyoroti banyaknya posisi WC yang lebih tinggi dari ember atau wadah air untuk bercebok. Hal tersebut bisa membuat air untuk cebok jadi menciprati wadah air. Bahkan, air seni juga akan menyiprat ke dalam ember atau wadah air karena perbedaan ketinggian tersebut. Untuk itu, Gus Nasrul menekankan pentingnya pemahaman mengenai fikih taharah di kalangan pengurus masjid dan petugas kebersihannya. Dengan demikian, mereka tidak melakukan kesalahan yang berakibat pada najisnya masjid dan tidak terpenuhinya syarat sah shalat. “Masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi juga simbol kesucian umat Islam. Jadi kebersihan dan kesuciannya harus dijaga dengan baik,’’ tutup Gus Nasrul. (yan) Baca juga :

Read More

Rasulullah Pernah Menjadi Makmum Masbuk

Jakarta — 1miliarsantri.net : Peristiwa ini terjadi ketika Makkah sudah dibebaskan dari kekuasaan musyrik (Fathu Makkah). Kabar kemenangan Rasulullah SAW dan umat Islam menggemparkan hingga ke luar Jazirah Arab. Di utara, penguasa Romawi sudah bersiap-siap menyerang Madinah. Kabar itu sampai kepada Rasulullah SAW. Maka, beliau bertolak ke Tabuk (sekira perbatasan Arab-wilayah kekuasaan Romawi) dengan ditemani 40 ribu orang prajurit Muslimin. Kabar itu sampai kepada Rasulullah SAW. Maka, beliau bertolak ke Tabuk (sekira perbatasan Arab-wilayah kekuasaan Romawi) dengan ditemani 40 ribu orang prajurit Muslimin. Belum sampai di tempat tujuan, langit menunjukkan tanda-tanda masuk waktu subuh. Rasulullah SAW pun menyuruh segenap kaum Muslimin yang menyertainya untuk singggah. Mereka pun bersiap melaksanakan shalat subuh berjamaah. Namun, Rasulullah SAW tiba-tiba berkeinginan buang hajat. Beliau pun pergi ke suatu tempat dengan didampingi al-Mughirah bin Syu’bah, yang bertugas membawa bejana berisi air. Sahabat ini lantas berdiri agak jauh dari tempat Rasulullah SAW buang hajat. Setelah itu, Rasulullah SAW keluar. Al-Mughirah dengan sigap menuangkan lagi dengan bejana air untuk beliau berwudhu. Para sahabat yang sudah bershaf-shaf tidak tahu bahwa Nabi SAW sedang buang hajat. Mereka pun menunggu dalam waktu yang cukup lama. Salah seorang dari mereka lantas menghampiri Abdurrahman bin ‘Auf, untuk memintanya menjadi imam Shalat Subuh. Karena pertimbangan waktu subuh yang menuju hampir habis, Maka Ibnu Auf pun setuju. Dia lantas mengimami shalat subuh seluruh pasukan Muslimin. Ketika itulah datang Rasulullah SAW bersama al-Mughirah. Beliau hanya mendapat satu rakaat dari shalat subuh berjamaah itu. Begitu Abdurrahman bin mengucapkan salam, Rasulullah SAW pun bangkit, yakni untuk meneruskan satu rakaat yang tersisa. Para sahabat yang melihat beliau terkejut, tetapi tetap berusaha tenang. Ya, mereka tidak menyangka bahwa Nabi SAW menjadi makmum yang masbuk. Sambil menunggu beliau selesai shalat, mereka pun menggumamkan tasbih dan doa. Usai shalat, Rasulullah SAW menghadap kepada jamaah sekalian. “Benar apa yang dilakukan oleh kalian tadi,” kata beliau. Maknanya, Nabi SAW meridhai bahwa kaum Muslimin shalat jamaah di awal waktu, tidak mesti menanti kedatangan beliau SAW yang sedang ada hajat. Di dalam Ensiklopedia Shalat Menurut Alquran dan As Sunnah karangan Dr Said bin Ali bin Wahf al- Qahthani, dijelaskan bahwa masbuk berarti orang yang tertinggal mengerjakan shalat. Masbuk harus mengerjakan beberapa bagian shalat yang masih tersisa jika sang imam sudah mengucapkan salam tanpa memberikan tambahan. (yan) Baca juga :

Read More

Kisah Imam Malik dan Imam Syafii

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ada ulama yang memegang pandangan bahwa rezeki datang dengan sendirinya. Dengan kata lain, seorang Muslim akan dikejar rezeki selama bertakwa kepada Allah SWT. Pendapat itulah yang dipegang oleh Imam Malik, salah satu imam mazhab dari empat mazhab yang populer. Imam Malik berpandangan, rezeki itu datang tanpa sebab, kecuali karena keimanan kepada Allah SWT. Dasar pendapat Imam Malik terkait datangnya rezeki ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab RA. Berikut haditsnya: عَنْ أَبِي تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا Diriwayatkan dari Abu Tamim Al Jaisyani, dia mendengar Umar berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberi rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, yang pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad) Pandangan Imam Malik itu terbukti dalam sebuah kisah yang terjadi antara dirinya dan Imam Syafii. Untuk diketahui, Imam Syafii memiliki pendapat sebagai berikut: لولا غدوها ورواحها ما رُزقت. أي أنه لا بد من السعي. “Jika bukan karena pergi dan pulangnya itu, tidak akan mendapat rezeki.” Artinya, Imam Syafii menekankan bahwa untuk mendapatkan rezeki maka perlu berupaya. Suatu kali, Imam Syafii yang merupakan murid dari Imam Malik, melihat seorang pria tua yang sedang membawa sekantong kurma muda yang tampak berat untuk dibawanya. Lalu Imam Syafii membantu pria tersebut dengan membawakan sekantong kurma itu. Setibanya di rumah pria tersebut, Imam Syafii diberikan oleh pria itu beberapa kurma sebagai imbalan atas bantuan yang telah diberikan. Imam Syafii senang karena dia telah membuktikan perkataannya. Bila dia tidak membantu membawakan sekantong kurma itu, tentu pria tersebut tidak akan memberinya imbalan berupa sejumlah kurma. Imam Syafii pun bergegas menemui gurunya, Imam Malik, dengan membawa kurma hasil pemberian dari pria yang telah dibantunya. Kemudian Imam Syafii menaruh kurma tersebut di tangan Imam Malik, dan mengisahkan apa yang sudah terjadi. Setelah itu Imam Malik tersenyum, mengambil kurma, lalu memakannya. Kemudian Imam Malik berkata kepada Imam Syafii: وأنت سقت إلى رزقي دون تعب مني! “Dan kamu membuatku memperoleh rezeki tanpa susah payah.” (yan) Baca juga :

Read More

Qotzman Bukan Syahid, Ternyata Penghuni Neraka

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dakwah Rasulullah Muhammad SAW selama di Madinah tidak sepi dari rongrongan kaum musyrikin Quraisy. Perang Uhud merupakan salah satu bukti nyata provokasi orang-orang kafir itu yang tidak ridha akan syiar Islam. Dalam pertempuran ini, pasukan Muslimin berjumlah sekitar tujuh ratus orang. Rasulullah SAW memimpin langsung mereka. Sementara itu, kaum musyrikin yang bertolak dari Makkah mencapai tiga ribu orang. “Kalah” jumlah tak berarti surutnya semangat jihad. Bahkan, tekad para sahabat Nabi SAW semakin kuat untuk melawan musuh-musuh Allah. Mati syahid menjadi sebuah kerinduan; melindungi Rasul SAW menjadi sebuah dorongan hati yang kuat. Salah seorang yang berangkat ke medan pertempuran dari Madinah ialah Qotzman. Ia ikut dalam kubu Muslimin. Pasukan Muslimin hampir saja berhasil merebut kemenangan. Namun, sekelompok yang ditugaskan untuk berjaga-jaga di atas bukit melalaikan tugasnya. Alhasil, sejumlah prajurit musyrikin yang dipimpin Khalid bin Walid (waktu itu belum menjadi Muslim) berhasil menyerang balik Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. Barisan Muslimin pun panik dan porak poranda. Bahkan, Nabi SAW mengalami luka-luka pada wajah beliau. Tak sedikit sahabat yang gugur. Ketika pertempuran Uhud benar-benar usai, Muslimin menderita kekalahan. Sementara, kaum musyrikin kembali ke Makkah dengan rasa puas karena dendam sejak Perang Badar telah terlampiaskan. “Tidak seorang pun di antara kita yang dapat menandingi kehebatan Qotzman.”, kata salah seorang sahabat. Sebab, Qotzman ditemukan telah ikut gugur dengan luka-luka yang banyak di sekujur tubuhnya. Mendengar perkataan itu, Nabi Muhammad SAW menjawab, “Sungguh, dia itu adalah golongan penduduk neraka.” Para sahabat menjadi heran. Bagaimana mungkin seseorang yang telah berjuang dengan begitu gagah berani di medan pertempuran justru akhirnya dimasukkan Allah SWT dalam neraka? Rasulullah SAW lalu menjelaskan, “Semasa Qotzman dan Aktsam keluar ke medan perang bersama-sama, Qotzman telah mengalami luka parah akibat ditikam musuh. Badannya dipenuhi dengan darah. Qotzman mengambil pedangnya, kemudian mata pedang itu dihadapkan ke dadanya. Ia benamkan pedang itu ke dalam dadanya.” Qotzman ternyata mati bukan karena dibunuh musuh, melainkan bunuh diri. Menurut Nabi SAW, warga Madinah itu bunuh diri karena tidak tahan menanggung kesakitan akibat dari luka yang dialaminya. Nabi SAW juga mengungkapkan, sebenarnya sejak awal niat yang muncul dalam hati Qotzman sudah keliru. Sebab, lanjut beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, Qotzman sebelum berangkat telah berkata, “Demi Allah aku berperang bukan karena agama, tetapi hanya sekadar menjaga kehormatan Madinah agar tidak dihancurkan kaum Quraisy. Aku berperang hanyalah untuk membela kehormatan kaumku.” Maka dari itu, Rasulullah SAW mengingatkan para sahabatnya agar berhati-hati dalam memberikan penilaian. Belum tentu perbuatan yang tampak di mata orang-orang seperti amalan mulia benar-benar tulus. Bisa jadi justru sebenarnya tidak baik. “Sesungguhnya seseorang tampak benar-benar beramal dengan amalan penghuni surga menurut pandangan manusia, padahal ia termasuk penghuni neraka. Dan sungguh seseorang tampak beramal dengan amalan penghuni neraka menurut manusia, padahal dia termasuk penghuni surga,” sabda beliau. (yan) Baca juga :

Read More

Cara Mandi Taubat untuk Pelaku Dosa Besar

Jakarta — 1miliarsantri.net : Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, memberikan nasihat penting bagi mereka yang telah melakukan dosa besar. Dalam sebuah pernyataan yang menarik perhatian publik, beliau menekankan pentingnya mandi taubat sebagai langkah awal untuk memohon ampunan kepada Allah SWT. Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa dosa besar mencakup berbagai tindakan yang sangat merugikan diri sendiri dan orang lain. Beberapa contoh yang disebutkan antara lain zina, aborsi, fitnah, dan kebohongan yang berdampak fatal bagi orang lain. Beliau menegaskan bahwa pelaku dosa-dosa tersebut perlu segera melakukan mandi taubat. “Segeralah mandi taubat. Basuhi seluruh rambutnya, kemudian sholat sunnat dua rakaat dengan baca disitu Astagfirullahaladzim Seratus kali,” terang Nasaruddin Umar. Prosedur mandi taubat yang dianjurkan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal ini meliputi beberapa langkah penting. Pertama, membasuh seluruh rambut dan tubuh. Kedua, melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Ketiga, membaca istighfar (Astagfirullahaladzim) sebanyak 100 kali. Keempat, dilanjutkan dengan membaca “Ya tawwab, ya ‘afuw, ya ghafur” sebanyak 100 kali. Terakhir, membaca surat Al-Fatihah. Nasaruddin Umar menekankan bahwa rangkaian ibadah ini memiliki riwayat atau dasar dalam ajaran Islam. Beliau berharap dengan melakukan mandi taubat ini, Allah SWT akan meringankan beban perasaan orang yang telah melakukan dosa besar. Dengan adanya anjuran ini, diharapkan umat Muslim yang merasa telah melakukan dosa besar dapat mengambil langkah positif untuk memperbaiki diri dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Mandi taubat bisa menjadi langkah awal yang bermakna dalam proses pertaubatan dan perbaikan diri seorang Muslim. (Iin) Baca juga :

Read More

Sedekah, Shalat, dan Amalan yang Bermanfaat untuk Orang Wafat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Salah satu hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal yakni hadiah pahala sedekah dari keluarga atau kerabat yang masih hidup. Ini misalnya, adalah sedekah anak untuk orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Dikutip dari buku Azab dan Nikmat Kubur karya Syekh Husain bin Audah al-Awaisyah, diriwayatkan dari Aisyah, ummul mukminin, sebagai berikut. “Seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba, dan aku yakin, seandainya ketika itu ia masih bisa bicara, niscaya ia akan bersedekah. Bolehkah aku bersedekah atas namanya?’ Rasulullah SAW lalu menjawab, ‘Bersedekahlah atas namanya!’” (HR Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hal lain yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal adalah dishalatkan dan didoakan. Itu dapat memberikan syafaat bagi orang yang telah meninggal. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorang mayit pun yang dishalatkan oleh 100 orang Muslimin (dan mereka) memohonkan syafaat untuknya, kecuali Allah akan menerima permintaan syafaat mereka untuknya” (HR Muslim). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorang Muslim pun yang meninggal, lalu 40 orang yang tidak melakukan kemusyrikan kepada Allah berdiri untuk menshalatkan jenazahnya, melainkan Allah pasti akan menerima permohonan syafaat mereka untuknya” (HR Muslim). Ada pula amalan-amalan yang pahalanya terus mengalir walaupun si pengamal sudah meninggal dunia. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga:, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan kepadanya” (HR Muslim). Dr H Abdul Majid Khon dalam bukunya, Hadis Tarbawi: Hadis-Hadis Pendidikan, menjelaskan, Rasulullah SAW memberikan pelajaran tentang perlunya tiap Mukmin mencari amal yang berkualitas. Kebajikan-kebajikan itu hendaknya kekal dan bermanfaat luas, baik selama di dunia maupun setelah dirinya meninggal dunia. Kata jariah berarti ‘mengalir.’ Maknanya, sedekah jariah menghasilkan pahala yang mengalir terus sekalipun yang bersangkutan telah wafat. Misalnya, bersedekah untuk pembangunan masjid. Selagi masjid itu masih tegak berdiri dan terus dipakai untuk kaum Muslimin beribadah, maka pahalanya tetap mengalir untuk si pelaku sedekah. Ini berbeda, umpamanya, dengan sedekah makanan dan minuman yang habis begitu sajian itu tuntas dikonsumsi. (yan) Baca juga :

Read More

Terdapat 41 Nama Lain Kiamat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Selain kata kiamat, ditemukan sekitar 41 nama yang mengisyaratkan tentang kiamat dalam Alquran. Sebagian nama terkait dengan proses kehancuran alam (kiamat), sebagian lainnya mengisyaratkan pada keadaan manusia sesudah terjadinya kiamat, seperti yaumul-mahsyar (hari tempat berkumpul), yaumul-jam‘i (hari pengumpulan seluruh makhluk), yaumul-hisab (hari perhitungan), dan yaumul-jaza’ (hari pembalasan). Secara umum, istilah Alquran yang menunjuk pada makna kiamat dapat dikelompokkan menjadi tiga. Yaitu pertama, nama yang menggambarkan karakteristiknya. Kedua, julukan yang menggambarkan keadaan hari dan manusia pada saat itu. Ketiga, julukan yang menggambarkan sifat-sifatnya. Berikut ini nama-nama kiamat dalam Alquran 27, Yaumul-Jidal (hari berbantah). Saat itu semua manusia akan membela diri dengan membantah semua dakwaan yang ditujukan kepadanya. (yan) Baca juga :

Read More

Beberapa Buah Yang Disukai Rasulullah SAW

Jakarta — 1miliarsantri.net : Rasulullah SAW, dalam konteks sebagai manusia biasa, mempunyai sifat jaiz, yaitu sifat yang boleh dimiliki sebagai manusia, yaitu makan dan minum.Dalam banyak riwayat dijelaskan buah-buahan yang kerap dikonsumsi Rasulullah SAW. Berikut ini sejumlah buah-buahan yang dimakan Rasulullah SAW secara bersamaan dan dipaket beserta rahasianya menurut ulama: Pertama, mentimun dan kurma عَنْ عَبْدِاللهِ بنِ جعفر رضي الله عنه، قَالَ‏:‏ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالرُّطَبِ‏ Dari Abdullah bin Jafar radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam makan mentimun dengan kurma basah.” (HR Ibnu Majah). Mengapa Rasulullah SAW memakan mentimun dipadu dengan kurma? Rupanya, rahasianya adalah, dua buah-buahan ini mempunyai karakter yang berbeda. Mentimun sifatnya adalah penuh cairan dan dingin, sementara kurma sifatnya panas. Keduanya saling melengkapi dan menjadi penyeimbang, terutama untuk metabolisme pencernaan. Kedua, semangka dan kurma عَنْ عَائِشَةَ‏ رضي الله عنها:‏ ((أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، كَانَ يَأْكُلُ الْبِطِّيخَ بِالرُّطَبِ‏))؛ [رواه أبو داود، والترمذي، والنسائي]. Dari Aisyah RA, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW memakan semangka dengan kurma.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai). Mengapa semangka dipadukan dengan kurma? Karena tabiat dari semangka itu membuat rileks tubuh sementara kurma penuh nutrisi dan menjadikan tubuh aktif kembali. Ketiga, melon dan kurma عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه، قَالَ‏:‏ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَجْمَعُ بَيْنَ الْخِرْبِزِ وَالرُّطَبِ‏‏ Dari Anas bin Malik RA, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW memadukan melon dan kurma.” (HR Ahmad dan Nasai). Mengapa Rasulullah SAW memadukan melon dan kurma? Rasa melon ada yang rasanya pahit, sementara kurma asin. Dengan memadukan keduanya, akan mengubah rasa pahit itu. Agar lebih berkah, Rasulullah SAW, kerap kali pula mendoakan buah-buahan yang beliau makan. Ini Misalnya sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah RA berikut: كَانَ النَّاسُ إِذَا رَأَوْا أَوَّلَ الثَّمَرَةِ جَاءُوا بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَخَذَهُ قَالَ: «اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي ثَمَرِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنَا اللَّهُمَّ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ عَبْدُكَ وَخَلِيلُكَ وَنَبِيُّكَ وَإِنِّي عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ وَإِنَّهُ دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَأَنَا أدعوكَ للمدينةِ بمثلِ مَا دعَاكَ لمكةَ ومِثْلِهِ مَعَهُ» ثُمَّ قَالَ: يَدْعُو أَصْغَرَ وَلِيدٍ لَهُ فيعطيهِ ذَلِك الثَّمر “Apabila orang-orang melihat buah yang ditanam sudah muncul, mereka membawanya kepada Nabi SAW untuk didoakan. Nabi mendoakan, ‘Ya Allah berkahilah buah-buahan kami, berkahilah kota Madinah, berkahilah sha’ dan mud (takaran) kami. Ya Allah, Nabi Ibrahim adalah hamba-Mu, Kekasih-Mu, dan Nabi-Mu. Sementara Aku juga hamba dan Nabi-Mu. Nabi Ibrahim pernah mendoakan Mekah, dan aku juga mendoakan Madinah seperti doa Nabi Ibrahim atas Mekah. Kemudian Nabi memanggil anak kecil dan memberi mereka buah yang kami berikan.” (HR Muslim) (yan) Baca juga :

Read More

Kedahsyatan Surat Al Ikhlas

Jakarta — 1miliarsantri.net : Surat Al-Ikhlas berada di urutan ke-112 dalam Alquran. Berada setelah setelah Surat Al Lahab dan berada sebelum surat Al-Falaq. Apa rahasianya? Surat Al-Ikhlas berada setelah surat al-Masad (al-Lahab), dalam surat ini Allah SWT menyebutkan tentang kisah Abu Lahab dan istrinya yang memerangi dakwah tauhid dengan segala cara dan muslihat yang mereka lakukan. Keduanya tetap syirik menyembah berhala dan patung. Keduanya penghuni neraka. Datanglah surat Al-Ikhlas untuk memerintahkan manusia bertauhid dan menjauhi syirik kepada Allah SWT. Allah SWT tidak ada bandingan dan kembarannya. Tauhid inilah jalan keselamatan dari neraka. Dalam al-Itqan fi Ulum al-Quran, Imam as-Suyuthi mengungkapkan, kedua surat ini mempunyai rima yang sama. Akhir surat al-Lahab adalah qalqalah, demikian pula awal surat Al-Ikhlas diakhir dengan qalqalah. Lantas mengapa setelah surat al-Ikhlas, disusul dengan surat al-Falaq? Setelah Surat Al-Ikhlas menjelaskan tentang sifat-sifat Allah SWT yang tak ada tandingannya, maka datanglah surat al-Falaq untuk mengajarkan berlindung kepada Tuhan pemilik waktu Subuh, yaitu dari keburukan waktu subuh ketika cahaya sudah mulai terang dan dari keburukan malam dan gelap litanya, serta dari gelapnya makhluk seluruhnya, kerana hanya Dialah yang mampu mendatangkan manfaat dan mencegah kemudharatan, Tuhan satu-satunya, yang tiada bandingannya. Al-Ikhlas termasuk surat pendek favorit ketika sholat. Ternyata, hal ini pernah dilakukan pula sahabat Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam al-Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, dari Anas bin Malik RA: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ ، وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ : بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ، ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا ، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ، فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ ، فَقَالُوا : إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى ، فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا ، وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فَقَالَ : مَا أَنَا بِتَارِكِهَا ، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ ، وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ ، فَلَمَّا أَتَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الخَبَرَ ، فَقَالَ : يَا فُلاَنُ ، مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ ، وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ : إِنِّي أُحِبُّهَا ، فَقَالَ : حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الجَنَّةَ Pernah Seorang sahabat Anshar menjadi imam di Masjid Quba. Setiap kali hendak membaca surat untuk mereka ia mengawalinya dengan membaca surat “qul huwallaahu Ahad” hingga selesai, kemudian baru ia membaca surat yang lain. la melakukan hal ini pada setiap rakaat. Sahabat-sahabatnya berkata kepadanya, “Sesungguhnya Engkau selalu mengawali dengan surat al-lkhlas, dan Engkau tidak merasa cukup dengannya tanpa membaca surat yang lain setelahnya. Sekarang silakan pilih, engkau membaca surat al-lkhlas saja, atau engkau meninggalkannya dan membaca surat yang lain saja”. Ia menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan surat itu. Jika kalian suka aku mengimami kalian seperti itu, maka aku akan melakukannya. Jika kalian tidak suka, aku akan meninggalkan kalian.” Sedang mereka menganggap ia adalah orang yang terbaik di antara mereka, dan mereka tidak suka orang lain yang mengimami mereka sholat. Ketika Rasulullah SAW datang mengunjungi mereka, mereka menceritakannya kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Wahai fulan! Mengapa kamu menolak apa yang diperintahkan teman-temanmu kepadamu? Apa yang membuatmu selalu membaca surat itu setiap rakaat?” la menjawab: “Saya menyukai surat itu”. Beliau bersabda: حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ “Kecintaanmu pada surat itu akan memasukkanmu ke dalam surga.” Dan ternyata, surat Surat Al-Ikhlas juga mempunyai sejumlah keutamaan. Keutamaan tersebut banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. Pertama, salah satunya adalah menyelamatkan saat berada di dalam kubur. Sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat bahwa orang yang membaca surat Al Ikhlas akan terbebas dari fitnah dan impitan kubur. ذكر أبو نعيم من حديث أبي العلاء يزيد بن عبد الله بن الشخير عن أبيه قال: قال رسول الله ﷺ: من قرأ : قل هو الله أحد. من مرضه الذي يموت فيه لم يفتن في قبره ، وأمن من ضغطة القبر ، وحملته الملائكة يوم القيامة بأكفها حتى تجيزه من الصراط إلى الجنة ، قال: هذا حديث غريب Artinya: Abu Nu’aim meriwayatkan hadits dari Abi al ‘Ala Yazid bin Abdullah bin Syukhair dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca Qul Huwallahu ahad, saat sakit yang membuatnya mati maka dia tidak akan terkena fitnah di dalam kubur dan selamat dari impitan kubur, dan para malaikat akan membawanya pada hari kiamat dengan tangannya hingga melewati shirat sampai ke surga. Dia berkata hadits ini Gharib. (Lihat Imam Qurthubi dalam kitab At Tadzkirah halaman 330 yang diterbitkan Maktabah Darul Minhaj). Sebab berdasarkan beberapa keterangan menyebutkan bahwa kubur akan menyempit dan menghimpit penghuninya. من ضغطة القبر أحد ولا سعد بن معاذ الذي منديل من مناديله خير من الدنيا وما فيها Hannad bin As Sariy mengatakan: Muhammad bin Fudhail meriwayatkan kepada kami dari ayahnya dari Ibnu Abi Mukaikah, dia berkata: Tiada seorang pun yang tak akan terimpit kubur, termasuk Sa’ad bin Mu’adz yang sapu tangannya lebih baik dari dunia dan seisinya. (Lihat Imam Qurthubi dalam kitab At Tadzkirah halaman 323 yang diterbitkan Maktabah Darul Minhaj). إِنَّ لِلْقَبْرِ ضَغْطَةً وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ نَاجِياً مِنْهَا نَجَا مِنْهَا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ “Sesungguhnya kubur mempunyai penyempitan, jika ada seorang yang selamat darinya niscaya selamat darinya adalah Sa’ad bin Mu’adz” (HR Ahmad, Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih). ‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, لَوْ نَجَا أَحَدٌ مِنْ ضَمَّةِ الْقَبْرِ لَنَجَا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ و لَقَدْ ضُمَّ ضَمَّةً ثُمَّ روخي عَنْهُ “Jikalau ada seorang yang selamat dari penyempitan kubur, niscaya Sa’ad bin Mu’adz akan selamat. Akan tetapi, sungguh kuburnya telah disempitkan dengan sangat sempit, kemudian dilapangkan (setelah itu) untuknya (HR Thabrani). Kedua, Surat Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Alquran adalah surat Al-Ikhlas. Hal ini diketahui dari hadits riwayat Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dari jalur Abu Said al-Khudri di mana dia meriwayatkan sebagai berikut: عن أبي سعيد الخدريّ -رضي الله عنه قال أنَّ رجلاً سمع رجلاً يقرأُ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ يُردِّدُها، فلمّا أصبح جاء إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فذكر ذلك لهُ، وكأنَّ الرجلَ يتقالُّها، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ: والذي نفسي بيدِهِ، إنّها لتعدلُ ثُلثَ القرآنِ “Di suatu…

Read More