
KH Mas Mansyur, Tokoh Muhammadiyah yang terlahir dari Keluarga Besar NU
Surabaya – 1miliarsantri.net : Organisasi Muhammadiyah merupakan gerakan tajdid atau pembaruan Islam yang berhaluan modern. Namun tak sedikit tokoh Muhammadiyah yang tumbuh dalam tradisi Islam tradisional. Salah satunya adalah KH Mas Mansyur, tokoh Muhammadiyah di masa kemerdekaan yang merupakan pahlawan nasional. Mas Mansyur Lahir di kota Surabaya pada 25 Juni 1896, dari Ayah seorang Kiai berdarah biru bernama KH Mas Ahmad Marzuqi yang merupakan keturunan Keraton Sumenep di Madura dan seorang Khatib tetap di Masjid Sunan Ampel di Surabaya. Sementara Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo, salah satu pesantren tradisional terbesar di Surabaya. Jika dilihat dari latar belakang kedua orang tuanya, Mas Mansyur memiliki akar tradisi pesantren yang sangat kuat, sehingga hidup dalam suasana keagamaan dan adat yang begitu kental. Sejak kecil, Mas Mansyur menimba ilmu dari KH Muhammad Thaha Ndresmo berlanjut ke Pesantren Demangan Bangkalan, dan tidak luput pula belajar pada Syaikhona Cholil untuk mendalami Al-Quran dan Kitab Alfiyah Ibnu Malik. Setelah menguasai kitab kuning dan keilmuan berdasarkan tradisi pesantren lainnya, pada tahun 1908 Mas Mansyur menunaikan ibadah haji sekaligus mukim dan belajar di Mekkah kepada salah satu Ulama Nusantara yang dijadikan rujukan keilmuan dari seluruh dunia, Syekh Mahfudz At-Turmusyi yang berasal dari Pondok Termas, Pacitan. Setelah tuntas belajar kepada Syekh Mahfudz, pada 1912 Mas Mansyur melanjutkan rihlah ilmiahnya dengan belajar di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Sepulang dari Mekah dan Mesir pada tahun 1915, Mas Mansyur mengasuh dan mengajar di Pesantren keluarganya yakni Pesantren An-Najiyah Sidoresmo di Surabaya. Latar belakangnya yang merupakan Nahdliyyin membuatnya mudah berkomunikasi dan berkolaborasi dengan para ulama dari Nahdlatul Ulama seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Bersama mereka, KH Mas Mansyur mendirikan MIAI yang menjadi wadah awal perjuangan politik umat Islam yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kiprah, KH Mas Mansyur dalam pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan tidak bisa dianggap enteng. Ia merupakan tokoh kunci yang terlibat dalam berbagai gerakan kemerdekaan seperti Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Bersama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, Mas Mansyur ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA yang kemudian dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Keempat tokoh ini dianggap Jepang sebagai kelompok yang paling berpengaruh di Indonesia. Selain mengajar kitab kuning di pesantren, ia juga aktif terlibat dalam berbagai gerakan, baik yang bersifat sosial, politik, keilmuan, maupun keagamaan. Bahkan bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto dan terlibat mendirikan pusat kajian Taswirul Afkar bersama KH Wahab Chasbullah. Meski berasal dari latar belakang keluarga Islam tradisional, sejak kecil Mas Mansyur sering mengikuti ceramah-ceramah yang disampaikan oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada tahun 1921, setelah berkelana dan aktif di berbagai organisasi, Mas Mansyur akhirnya memutuskan masuk organisasi Muhammadiyah. Awalnya, ia hanya anggota biasa kemudian menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, lalu menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Pada tahun 1927, ia dipercayai menjadi Ketua Majelis Tarjih pertama, sebuah majelis fatwa bagi warga Muhammadiyah. Puncaknya dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937, Mas Mansyur resmi ditunjuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan Mas Mansyur, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dalam dakwah, pendidikan, kaderisasi, maupun dalam pergerakan nasional. Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansyur mulai melakukan gebrakan politik yaitu dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). KH Mas Mansyur juga terlibat dalam Badan Pengurus Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersama 62 tokoh nasional lain. Setelah proklamasi kemerdekaan, KH Mas Mansyur memimpin arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda dan Sekutu. Atas perlawanannya tersebut ia ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Namun karena kondisi fisiknya yang tidak sehat, KH Mas Mansyur akhirnya syahid di penjara pada 25 April 1946 dalam usia kurang dari setengah abad. KH Mas Mansyur dikebumikan di makam keluarganya yang berada tak jauh dari Makam Sunan Ampel di sisi timur Masjid Ampel. Pada 26 Juni 1964, KH Mas Mansyur dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. (nas)