KH Mas Mansyur, Tokoh Muhammadiyah yang terlahir dari Keluarga Besar NU

Surabaya – 1miliarsantri.net : Organisasi Muhammadiyah merupakan gerakan tajdid atau pembaruan Islam yang berhaluan modern. Namun tak sedikit tokoh Muhammadiyah yang tumbuh dalam tradisi Islam tradisional. Salah satunya adalah KH Mas Mansyur, tokoh Muhammadiyah di masa kemerdekaan yang merupakan pahlawan nasional. Mas Mansyur Lahir di kota Surabaya pada 25 Juni 1896, dari Ayah seorang Kiai berdarah biru bernama KH Mas Ahmad Marzuqi yang merupakan keturunan Keraton Sumenep di Madura dan seorang Khatib tetap di Masjid Sunan Ampel di Surabaya. Sementara Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo, salah satu pesantren tradisional terbesar di Surabaya. Jika dilihat dari latar belakang kedua orang tuanya, Mas Mansyur memiliki akar tradisi pesantren yang sangat kuat, sehingga hidup dalam suasana keagamaan dan adat yang begitu kental. Sejak kecil, Mas Mansyur menimba ilmu dari KH Muhammad Thaha Ndresmo berlanjut ke Pesantren Demangan Bangkalan, dan tidak luput pula belajar pada Syaikhona Cholil untuk mendalami Al-Quran dan Kitab Alfiyah Ibnu Malik. Setelah menguasai kitab kuning dan keilmuan berdasarkan tradisi pesantren lainnya, pada tahun 1908 Mas Mansyur menunaikan ibadah haji sekaligus mukim dan belajar di Mekkah kepada salah satu Ulama Nusantara yang dijadikan rujukan keilmuan dari seluruh dunia, Syekh Mahfudz At-Turmusyi yang berasal dari Pondok Termas, Pacitan. Setelah tuntas belajar kepada Syekh Mahfudz, pada 1912 Mas Mansyur melanjutkan rihlah ilmiahnya dengan belajar di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Sepulang dari Mekah dan Mesir pada tahun 1915, Mas Mansyur mengasuh dan mengajar di Pesantren keluarganya yakni Pesantren An-Najiyah Sidoresmo di Surabaya. Latar belakangnya yang merupakan Nahdliyyin membuatnya mudah berkomunikasi dan berkolaborasi dengan para ulama dari Nahdlatul Ulama seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Bersama mereka, KH Mas Mansyur mendirikan MIAI yang menjadi wadah awal perjuangan politik umat Islam yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kiprah, KH Mas Mansyur dalam pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan tidak bisa dianggap enteng. Ia merupakan tokoh kunci yang terlibat dalam berbagai gerakan kemerdekaan seperti Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Bersama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, Mas Mansyur ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA yang kemudian dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Keempat tokoh ini dianggap Jepang sebagai kelompok yang paling berpengaruh di Indonesia. Selain mengajar kitab kuning di pesantren, ia juga aktif terlibat dalam berbagai gerakan, baik yang bersifat sosial, politik, keilmuan, maupun keagamaan. Bahkan bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto dan terlibat mendirikan pusat kajian Taswirul Afkar bersama KH Wahab Chasbullah. Meski berasal dari latar belakang keluarga Islam tradisional, sejak kecil Mas Mansyur sering mengikuti ceramah-ceramah yang disampaikan oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada tahun 1921, setelah berkelana dan aktif di berbagai organisasi, Mas Mansyur akhirnya memutuskan masuk organisasi Muhammadiyah. Awalnya, ia hanya anggota biasa kemudian menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, lalu menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Pada tahun 1927, ia dipercayai menjadi Ketua Majelis Tarjih pertama, sebuah majelis fatwa bagi warga Muhammadiyah. Puncaknya dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937, Mas Mansyur resmi ditunjuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan Mas Mansyur, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dalam dakwah, pendidikan, kaderisasi, maupun dalam pergerakan nasional. Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansyur mulai melakukan gebrakan politik yaitu dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). KH Mas Mansyur juga terlibat dalam Badan Pengurus Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersama 62 tokoh nasional lain. Setelah proklamasi kemerdekaan, KH Mas Mansyur memimpin arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda dan Sekutu. Atas perlawanannya tersebut ia ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Namun karena kondisi fisiknya yang tidak sehat, KH Mas Mansyur akhirnya syahid di penjara pada 25 April 1946 dalam usia kurang dari setengah abad. KH Mas Mansyur dikebumikan di makam keluarganya yang berada tak jauh dari Makam Sunan Ampel di sisi timur Masjid Ampel. Pada 26 Juni 1964, KH Mas Mansyur dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. (nas)

Read More

Hasan Gipo seorang Tokoh NU yang tak pernah Populer

Surabaya – 1miliarsantri.net : Sebagian besar masyarakat, terlebih warga Nahdliyyin tentu mengenal sosok KH Hasyim Asy’ari sebagai pimpinan pertama Nahdlatul Ulama (NU). Namun ternyata KH Hasyim Asy’ari bukan satu-satunya pimpinan NU di masa awal berdirinya. Beliau dikenal sebagai Rais Akbar bukan sebagai Ketua Umum. Lalu siapakah Ketua Umum pertama NU? Ketua Umum Pertama NU adalah Hasan Gipo. Pemilik nama lengkap Hasan Basri itu dilahirkan di Kampung Sawahan pada 1869 M, tepatnya di Jalan Ampel Masjid (kini Jalan Kalimas Udik). Ia merupakan keturunan keluarga besar dari Marga Gipo, sehingga Gipo diletakkan di belakang nama Hasan. Hasan Gipo merupakan dzurriyah Kanjeng Sunan Ampel yang menyediakan harta, tenaga, dan pikiran untuk NU. Seorang saudagar yang mewakafkan diri untuk umat Islam. Makam beliau hampir saja hilang tidak dikenali jejaknya. Padahal dalam tradisi NU, makam merupakan tempat yang amat penting sebab warga nahdliyyin tak pernah melewatkan ziarah kepada ulama. Makam itu berhasil ditemukan kembali dan diberi tanda. Makam nya berada di Kompleks Pemakaman Kanjeng Sunan Ampel Surabaya, di sebelah timur Masjid Ampel, satu lokasi dengan makam Pahlawan Nasional tokoh Muhammadiyah KH Mas Mansur. Nama Gipo merupakan singkatan dari Sagipodin dari bahasa Arab Saqifuddin. Saqaf (pelindung) dan al-dien (agama). Kampung tempat Gipo berada dikenal sebagai Gang Gipo. Keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Hasan Gipo merupakan generasi kelima dari dinasti Gipo. Ayahnya bernama H. Marzuki, kakeknya H Alwi, buyutnya bernama H. Turmudzi yang memperistri Darsiyah. Canggahnya Abdul Latief Sagipuddin merupakan awal dinasti Gipo yang memperistri Tasirah dan memiliki 12 anak. Secara silsilah, Hasan Gipo memiliki hubungan keluarga dengan KH Mas Mansur (Muhammadiyah). Sebab KH Mas Mansur masih keturunan dari Abdul Latief Gipo. Dari beberapa keterangan, bisa ditarik disimpulkan, keturunan Sagipodin mempunyai akar kuat di Kalangan Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah. Hasan Gipo terlahir dari keluarga mapan, maka tak heran jika ia mengenyam pendidikan ala Belanda. Namun ia tak mengesampingkan pendidikan pesantren. Jiwa-jiwa santri juga mendarah daging di urat nadi Hasan Gipo. Penunjukkan Hasan Gipo sebagai Ketua Umum atau Ketua Tanfidziyah atau dahulu istilahnya Presiden, sebab beliau merupakan sosok yang limited edition. Ia menguasai ilmu umum dan dia dikenal satu-satunya santri KH Wahab Hasbullah yang cakap serta terampil dalam membaca dan menulis tulisan latin. Ia juga sangat akrab dengan masyarakat. Bermula dari musyawarah kecil pembentukan pengurus NU yang melibatkan sebagian tokoh dari daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, dan daerah sekitar Surabaya. Dalam forum musyawarah itu disebutkan Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah NU yang pertama. Pada masa itu, NU masih berbentuk embrio di mana Rais Syuriah adalah KH Said dari Paneleh, Surabaya, KH Asy’ari dipilih sebagai Rais Akbar Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dengan KH Wahab Hasbullah sebagai Katib ‘Am. Hasan Gipo menjabat kurang lebih 3 tahun. Pada muktamar ke-3 di Semarang, KH Noor dari Sawah pulo, Surabaya menggantikan beliau. Hasan Gipo seorang aktivis dan pedagang yang tinggal di kawasan elite Surabaya. Hal itu sangat membantu pergerakan Kiai Wahab. Ia yang mengantar Kiai Wahab menemui aktivis pergerakan di Surabaya seperti HOS Cokroaminoto dan Dr. Soetomo. Dari situ Kiai Wahab dan Hasan Gipo berkenalan dengan Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, dan SK Trimurti yang merupakan murid HOS Cokroaminoto. Dari sini pula para aktivis mulai merencanakan kemerdekaan. Pertemuan antara Hasan Gipo dan Kiai Wahab serta beberapa kiai lain makin intensif setelah itu. Ia kemudian terlibat aktif dalam pendirian Nahdlatul Wathan (1914) meski tidak tercatat sebagai pengurus. Ia juga menjadi peserta diskusi dalam forum Taswirul Afkar (1916). Ia juga aktif terlibat dalam Nahdlatul Tujjar (1918). Dalam forum-forum itu, Hasan Gipo berkenalan dengan ulama seperti KH Hasyim Asy’ari. Ketika para ulama membentuk Komite Hejaz dan akan mengirim utusan ke Makkah, sumbangan Hasan Gipo juga sangat besar. Maka itu, ketika NU berdiri dalam pertemuan yang dipimpin Kiai Wahab Hasbullah di kawasan Bubutan Surabaya, ia langsung ditunjuk sebagai Hoofdbestuur (pengurus besar) NU sebagai Ketua Tanfidziyah. Usulan itu disetujui KH Hasyim Asy’ari. Meski aktif sebagai pengurus NU, bisnis Hasan Gipo tetap berkembang. Bahkan ia melebarkan sayap ke bisnis properti. Ia memiliki banyak perumahan, pertokoan, dan pergudangan. Dari sini yang menjadi salah satu donator besar untuk NU. Hasan Gipo tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga gagah fisik. Suatu ketika, Hasan Gipo menantang Muso (tokoh PKI) untuk berdebat tentang teologi. Ia merasa jengkel dengan Muso karena terlalu bangga dengan atheis. Muso dikenal sebagai singa podium. Namun ia bisa ditaklukkan. Hasan Gipo bisa mematahkan semua argumennya, sehingga alumni Moskow dan anak didik Lenin itu keteteran. Hasan Gipo juga berani menantang Muso berkelahi secara fisik. Namun Muso yang biasanya brangasan tidak berani menghadapi tantangan Hasan Gipo. Hasan Gipo meninggal dunia di Surabaya pada 1934 M. banyak orang yang bingung ketika ditanya tentang nama beliau, apalagi jika dikatakan sebagai Presiden NU Pertama. Sebab, masyarakat mengira KH Hasyim Asy’ari yang diberi amanah sebagai Rais Akbar NU, bukan Presiden NU. Istilah presiden ini yang kini dikenal sebagai Ketua Tanfidziyah. “Kuburan beliau baru ditemukan beberapa tahun belakangan, satu kompleks dengan Kiai Mas Mansyur. Kiai Hasan Gipo adalah simbol ketulusan, khumul dan tak menyukai popularitas. saking khumulnya, makamnya baru ditemukan beberapa tahun lalu,” kata Husain, salah satu warga Ampel. (fq)

Read More

Pesantren Tremas Pacitan, antara Sejarah dan Keunikan nya

Pacitan – 1miliarsantri.net : Meski letaknya yang berada di pelosok selatan Jawa, nama Pondok Tremas Pacitan cukup masyhur hingga ke penjuru dunia. Pesantren ini telah melahirkan banyak ulama yang tidak sekadar jago kandang di Jawa saja, tapi juga berhasil tandang unjuk gigi hingga ke Malaysia, Thailand, Al-Azhar Mesir hingga ke Mekah. Tidak hanya ulama hebat yang lahir dari Pondok Tremas, namun juga warisan keilmuan yang menjadi jejaring rantai intelektual ulama Nusantara. Sejarah Perguruan Islam Pondok Tremas tidak bisa lepas dari KH Abdul Mannan (1830-1862) sebagai pendiri. Pemilik nama kecil Raden Bagus Darso itu merupakan putra R. Ngabehi Dipomenggolo, seorang Demang di daerah Semanten pinggiran Kota Pacitan, Jawa Timur. Sejak kecil KH Abdul Manan dikenal cerdas dan tertarik pada problematika religius. Saat memasuki usia remaja, dikirim ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mendalami ilmu agama Islam di bawah bimbingan Kiai Hasan Besari. Ia terkenal sebagai santri yang cerdas, rajin, dan tekun dalam belajar. Tak heran ia menjelma sebagai santri teladan. Saat KH Abdul Mannan selesai menimba ilmu di Tegalsari, ia pulang ke Semanten. Ia menyelenggarakan pengajian dengan sangat sederhana. Warga Pacitan menyambut baik keberadaan majelis tersebut. Bermula dari situ, ia mendirikan pondok di sekitar masjid untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian, pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah KH Abdul Mannan menikah dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Honggowijoyo. R. Ngabehi Honggowijoyo sebenarnya kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo. Di antara penyebab pondok itu dipindahkan adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik jika pinda ke daerah Tremas. Mertua dan istri beliau menyediakan lokasi yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan. Daerah itu dinilai kondusif bagi santri yang hendak memperdalam ilmu agama. Berbekal lokasi tersebut, KH Abdul Mannan mendirikan pondok pesantren yang kemudian dikenal ‘Pondok Tremas’ sekitar 1830 M. Selain menjadi salah satu santri terbaik KH Hasan Besari, KH Abdul Mannan termasuk ke dalam generasi pertama orang Indonesia di Al-Azhar Mesir. Dalam buku Jauh di Mata Dekat di Hati; Potret Hubungan Indonesia-Mesir terbitan KBRI Kairo disebutkan, KH Abdul Mannan merupakan salah satu pelajar pertama Indonesia yang tinggal di Mesir pada 1850-an. Itu ditandai dengan komunitas orang Indonesia yang dijumpai di komplek Masjid Al-Azhar. Ini diperkuat dengan adanya Ruwak Jawi (hunian bagi orang Indonesia) di masjid itu. Beliau tinggal di Mesir sekitar 1850-an. Dia berguru kepada Grand Syeikh ke-19, Ibrahim Al Bajuri. Jadi wajar di tahun-tahun itu ditemukan kitab Fath al-Mubin, syarah dari kitab Umm al-Barahin yang merupakan kitab karangan Grand Syeikh Ibrahim Bajuri mulai dibaca di beberapa pesantren di Indonesia. Pengembaraan KH Abdul Mannan itu diikuti generasi selanjutnya seperti KH Abdullah (Putra KH Abdul Manan Dipomenggolo), tiga kakak beradik Syaikh Mahfudz Attarmasi, KH Dimyathi Tremas, KH Dahlan Al Falaki Tremas, lalu putra KH Abdullah yang menuntut ilmu di Makkah. KH Abdul Manan berhasil meletakkan batu landasan sebagai pangkal berpijak ke arah kemajuan dan kebesaran, serta keharuman pondok pesantren di Nusantara. Selain itu, kegigihan dalam mendidik anaknya menjadi ulama terbilang sukses. Putra beliau menjadi ulama yang tak hanya menguasai kitab klasik, namun mampu menyusun berbagai macam kitab dengan kontribusi yang sangat besar di Indonesia seperti Syaikh Mahfudz, seorang ulama besar Nusantara yang dijadikan rujukan hingga Malaysia dan Thailand. Ia juga pernah menjadi Imam Masjidil Haram dan pemegang sanad Shahih Bukhari-Muslim. Maka tak berlebihan jika KH Abdul Manan disebut sebagai pelajar Indonesia pertama di Al-Azhar sekaligus peretas jejaring intelektual generasi ulama-ulama nusantara. Dalam kitab Al-Ulama’ Al-Mujaddidun karya KH Maimoen Zubair Sarang Rembang, KH Abdul Manan merupakan sosok yang pertama kali membawa, mengaji, dan mempopulerkan kitab Ithaf Sadat Al-Muttaqin, yaitu syarah dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Sepeninggal KH Abdul Mannan, Pondok Tremas diwarisi oleh putra-putra beliau yakni KH Abdullah (1862-1894), KH Dimyathie (1894-1934), dan Habib Dimyathi (1948-1997) & periode KH Haris Dimyathi (1948-1994). Setelah itu kepemimpinan dilanjutkan oleh KH Fuad Habib Dimyathi dan KH Luqman Haris Dimyathi. Hari ini, Pondok Pesantren Tremas Pacitan dalam pengembangan pendidikannya membuka beberapa unit pendidikan sebagai berikut TK Al Tarmasi jenjang 2 tahun, TPQ-Madin Al Tarmasi Jenjang 3 Tahun, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Jenjang 3 Tahun, MTs Pondok Tremas Jenjang 3 tahun, Madrasah Salafiyah Mu’adalah, Jenjang 3 tahun, Lembaga Vokasional Jenjang 1 Tahun, Ma’had Aly Al Tarmasi Jenjang 4 tahun, dan Tahfidzul Qur’an. Pondok Tremas juga memiliki ekstrakurikuler yakni tahsin dan tahfidz, takhassus kitab salaf, seni baca Al-Qur’an, khitobah 3 bahasa, hadroh, praktek ubudiyah, pramuka, beladiri, english club, komputer dan berbagai kegiatan olahraga seperti futsal, volley, basket, dan tenis meja. Selain itu, Pondok Tremas juga memiliki metode pengajaran klasik yakni pengajian weton dan pengajian sorogan. Dua metode ini marak ditemui di pesantren-pesantren salafiyah. Pertama yaitu pengajian wetonan merupakan salah satu sistem pendidikan di pondok tremas yang asli atau tradisional. Seorang kiai membacakan teks kitab tertentu sekaligus terjemahannya. Kemudian para santri (terdiri dari berbagai tingkatan) menyimak, mencatat, atau mengartikan hal-hal yang belum dimengerti dari arti kalimat yang dibacakan. Sistem ini bersifat bebas, karena tidak absensi santri. Santri boleh datang, boleh tidak. Semua santri pun digabung, jadi tidak ada kenaikan kelas. Maka itu santri yang aktif bisa menamatkan kitab lebih cepat dan lanjut ke kitab lain. Kedua, pengajian Sorogan yang merupakan sistem tradisional yang diselenggarakan secara sendiri (Individu, yaitu seorang santri satu persatu secara bergantian menghadap ustadz atau kyai yang akan membacakan kitab-kitab dan menerjemahkannya kedalam bahasa Jawa). Para santri kemudian diminta mengulangi dan menerjemahkan kitab kata demi kata seperti yang dibacakan oleh sang guru. Penerjemahan tersebut dapat dibuat sedemikian rupa dengan tujuan agar santri dapat belajar tata bahasa secara langsung di samping mengetahui arti kitab-kitab itu. Pondok pesantren memiliki beberapa tradisi unik bagi santri baru. Pertama, Tidak Tidur Siang Selama Satu Minggu. Satu pekan pertama santri baru Pondok Tremas akan menjalani tradisi unik yang sudah mengakar yakni tradisi tidak tidur siang selama tujuh hari sejak hari pertama kedatangan mereka di Tremas. Tidak tidur siang, suatu hal yang kelihatannya sepele dan ringan ini ternyata sangat sulit dilakukan. Dalam praktIknya, biasanya para santri baru selalu mendapat berbagai cobaan dan godaan, seperti merasakan kantuk yang sangat berat. Kedua, Ziarah 41 hari tanpa putus. Tradisi ini sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Setiap santri baru “diusahakan”, bahkan ada…

Read More

Napak Tilas Masjid Jami’ Ba’alawi Jambi

Jambi – 1miliarsantri.net : Bagi anda yang pernah singgah di kota Jambi, khusus nya Wilayah seberang Kota Jambi (Sekoja) merupakan daerah yang sangat terkenal sebagai salah satu pusat peradaban dan penyebaran Islam di Kota Jambi sejak abad ke 17 Masehi. Hal itu ditandai dengan banyaknya pondok pesantren (ponpes), madrasah, dan masjid tua di Seberang Kota Jambi. Wilayah Seberang Kota Jambi juga menghasilkan banyak ulama terkenal yang berpengaruh, disamping karena disana juga menjadi pusat pendidikan dan perkembangan islam hingga dijuluki sebagai Kota Santri di Jambi. Salah satu masjid yang bersejarah dan menjadi salah satu yang tertua di wilayah Seberang Kota Jambi ialah Masjid Jami’ Ba’alawi yang berada di Kelurahan Arab Melayu, Kecamatan Pelayangan. Tidak diketahui kapan pasti berdirinya masjid ini, namun berdasarkan catatan, masjid ini sudah menjadi madrasah dan pusat penyebaran syariat Islam Jambi sejak abad 17-18 M. Pendiri Masjid Jami’ Ba’alawi Menurut catatan sejarah, Masjid ini didirikan Oleh al-Habib Husein bin Ahmad Baraqbah atau di Jambi lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Keramat Tambak. Beliau merupakan peletak Peradaban pertama Jambi sekitar abad 17 M, (sebagian pakar abad 18). Beliau hijrah dari Tarim Hadramaut Yaman. Berasal dari Kampun Ba’alawi sebelah Timur Kota Tarim. Tuanku Keramat Tambak wafat dan dikebumikan di Kelurahan Tahtul Yaman, tidak jauh dari masjid tersebut, yang kini disebut dengan Pemakaman Arab Melayu. Pemakamannya pun kini telah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai Benda Cagar Budaya berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Sejarah Penamaan Masjid Jami’ Ba’alawi Ba’alawi adalah penisbahan nama marga keturunan Rasulullah yang Hijrah ke Yaman sekitar tahun 319 H. Yaman tempo dulu hanya di huni oleh dua suku saja, pertama Suku Arab asli Yaman keturunan Nabi Nuh as, dan Suku Ba’alawi Keturunan Rasulullah yang Hijrah Ke Yaman pada abad ke-3 H. Kemudian nama ini terkenal pada sebuah tarekat sufi Islam Sunni, tarekat ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar al-Faqih al-Nuqaddam (lahir di Tarim Yaman 574 H / 1178 M – wafat 653 H / 1256 M). Tarekat ini berkembang pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi al-Hadad, penyebaran terbesar tarekat ini di Yaman, Indonesia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz dan sebahagian Uni Emirat Arab. Jadi, masjid Ba’alawi adalah sebuah masjid yang penamaannya dinisbahkan pada suku keturunan Rasullah yang menetap di Tarim Yaman di sebelah Timur kota Tarim. Masjid ini dibangun oleh regenerasi Ba’alawiyah yang ada di dunia. Satu Dari Lima Masjid Ba’alawi di Dunia Setidaknya hanya terdapat 5 buah bangunan masjid Ba’alawi saja yang ada di dunia. Pertama Masjid Ba’alawi Tarim Yaman, Kedua Masjid Ba’alawi Riadhah Yaman, Ketiga Masjid Ba’alawi Singapura, Keempat Masjid Jami’ Ba’alawi Jambi Indonesia, dan terakhir Masjid Ba’alawi di Aceh Timur Indonesia. Renovasi Oleh Gubernur Jambi Abdurrahman Sayoeti Berdasarkan penuturan H Mustofa, salah satu pengurus masjid Jami’ Ba’alawi, mulanya masjid tersebut berupa langgar yang berukuran tak begitu besar, dan hampir berbentuk segitiga yang berada tepat di pinggi jalan. Di era Gubernur Jambi Drs H Abdurahman Sayoti (1989-1999) langgar tersebut kemudian di renovasi pada tahun 1990 dan diresmikan jadi Masjid pada 17 Maret 1995. Tanda tangan peresmian masjid tersebut kini masih terpasang secara jelas di depan masjid dibalik tugu nama masjid. Awalnya sebelum di renovasi kata H Mustofa Langgar ini seperti tidak terawat lagi, sudah banyak yang mengalami kerusakan. H Mustofa juga mengaku ikut mengerjakan renovasi masjid tersebut yang uangnya berasal dari sumbangan masyarakat di sekitar masjid. Namun yang memberi sumbangan terbesar adalah Gubernur Jambi periode 1989-1999 Abdurrahman Sayoeti menggunakan dana pribadinya. “Tapi masjid ini yang paling kuat sepengetahuan saya dananya Abdurrahman Sayoeti, itu tidak boleh di catat sama dia, karena bukan duit proyek, tapi duit pribadi” ujarnya. Usai di renovasi, Gubernur Abdurrahman Sayoeti rutin melakukan ibadah sholat subuh di masjid Jami’ Ba’alawi, menyebrang dari rumah dinasnya di Tanggo Rajo. Desain Masjid Merujuk Masjid Demak Penuturan H Mustofa bahwa desain Masjid yang diresmikan 1995 ini jauh berbeda dengan desain masjid sebelum di renovasi. Sejak sudah berdiri masjid ini jauh beda dari yang dulu, masjid (langgar) dulu kecil orangnya sedikit kalau sekarang bisa menampung lebih banyak,” ucapnya. Desain masjid yang ada saat ini mencontoh masjid Demak dengan tetap mempertahankan material-material kayu dan papan dan ukiran ukiran khas Masjid Demak. Gubenur Jambi Al Haris pernah menyampaikan bahwa masjid Jami’ Ba’alawi merupakan satu-satunya masjid di Jambi yang masih mempertahankan material kayu dan papan. Peringatan Haul Habib Husein bin Ahmad Baraqbah Setiap tahun di Masjid Jami’ Ba’alawi diperingati Haul Al-Habib Husein bin Ahmad Baraqbah, terakhir dilaksanakan pada Desember 2022 lalu yakni Haul ke-270. Haul ini merupakan kegiatan ritual yang juga berupa wisata religi itu sudah menjadi agenda tahunan Pemerintah Kota Jambi pada kegiatan pengembangan Jambi Kota Seberang sebagai pusat wisata religi. Ribuan jamaah datang baik dari dalam maupun luar Provinsi Jambi. Bahkan ada peziarah yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Pencerahan yang dihadirkan juga merupakan penceramah nasional, salah satu yang pernah mengisi ceramah dalam Haul Habib Husein bin Ahmad Baraqbah ini adalah Habib Rizziq. Karena selalu membludaknya peziarah yang datang dalam perayaan Haul setiap tahun, Masjid Jami’ Ba’alawi tak mampung menampung ribuah jamaah yang hadir. Atas hal tersebut Walikota Jambi Syarif Fasha beberapa waktu lalu memberikan bantuan dengan menambah ukuran masjid tersebut menjadi lebih besar, sehingga bisa menampung jamaah yang mengikuti haul di Masjid Jami’ Ba’alawi. (mik)

Read More

Peradaban Islam di tanah Papua

Papua – 1miliarsantri.net : Kedatangan pengaruh Islam ke Pulau Papua, yaitu ke daerah Fakfak, Papua Barat tidak terpisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat pelayaran internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Sebelum membahas proses masuknya Islam di daerah ini terlebih dahulu akan dibahas proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate, Tidore serta pulau Banda dan Seram karena dari sini Islam memasuki kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak. Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat ditelusuri dari berbagai sumber baik sumber lisan dari masyarakat pribumi mau pun sumber tertulis. Menurut tradisi lisan setempat, pada abad kedua Hijriah atau abad kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat orang Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, dimana golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik Bani Umayah mau pun golongan Bani Abasyiah. Keempat orang asing membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub, Syekh Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di Ternate dan Halmahera muka. Syekh Yakub menyiarkan agama Islam di Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie Besi, Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan agama Islam di Halmahera belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Keduanya dikabarkan kembali ke Irak. Sedangkan menurut sumber lain Islam masuk ke Ternate di sekitar tahun jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit 1478, jadi sekitar akhir abad ke-15. Sumber lain berdasarkan catatan Antonio Galvao dan Tome Pires bahwa Islam masuk ke Ternate pada tahun 1460-1465. Dari beberapa sumber tadi dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15 selanjutnya masuk ke Papua pada abad ke-16, sebagain ahli memprediksikan bahwa telah masuk sejak abad ke-15 Sebagaimana disebutkan situs Wikipedia. Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena itu, dalam membahas sejarah masuknya Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak mau pun Raja Ampat di Sorong. Keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan Semenajung Onim Fakfak. Walau pun demikian tidak berarti bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh. Dengan adanya pengaruh kedua kesultanan Islam ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan) bahwa Islam masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak serta sebagian besar wilayah pantai selatan daerah Kepala Burung pada umumnya termasuk kaimana di dalamnya adalah wilayah lingkup pengaruh kedua kesultanan itu. Kajian masuknya Islam di Tanah Papua juga pernah dilakukan oleh Thomas W Arnold seorang orientalis Inggris didasarkan atas sumber-sumber primer antara lain dari Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Dalam bukunya yang berjudul The preaching of Islam yang dikutip oleh Bagyo Prasetyo disebutkan bahwa pada awal abad ke-16, suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati telah tunduk kepada Sultan Bacan salah seorang raja di Maluku. Kemudian Sultan Bacan meluaskan kekuasaannya sampai Semenanjung Onim (Fakfak), di barat laut Irian pada tahun 1606, melalui pengaruhnya dan pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau-pulau tadi memeluk agama Islam meskipun masyarakat pedalaman masih menganut animisme, tetapi rakyat pesisir adalah Islam. Karena letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini menjadi incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka terjadi hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fakfak dengan pusat kerajaan Ternate dan Tidore, sehingga banyak pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah tersebut. Ambary Hasan, dalam tulisannya yang dikutif oleh Halwany Michrob mengatakan bahwa sejarah masuknya Islam di Sorong dan Fakfak terjadi melalui dua jalur. Salah satu bukti otentik keberadaan Islam di tanah papua yang masih terpelihara rapi adalah Masjid Patimburak. Masyarakat setempat mengenal masjid ini sebagai Masjid Tua Patimburak. Menurut catatan sejarah, masjid ini telah berdiri lebih dari 200 tahun yang lalu, bahkan merupakan masjid tertua di Kabupaten Fakfak. Bangunan yang masih berdiri kokoh dan berfungsi hingga saat ini dibangun pada tahun 1870, seorang imam bernama Abuhari Kilian. Pada masa penjajahan, masjid ini bahkan pernah diterjang bom tentara Jepang. Hingga kini, kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid. Menurut Musa Heremba, penyebaran Islam di kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV, kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itulah sedikit demi sedikit agama Islam mulai berkembang di daerah kekuasaan Kesultanan Tidore termasuk kokas. (kaim)

Read More

Waliyah Zaenab pernah dituduh penyebab Wabah Pagebluk di Bawean

Gresik – 1miliarsantri.net : Waliyah Zaenab adalah satu di antara beberapa penyebar Islam di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur. Waliyah Zainab ternyata pernah punya pengalaman diusir warga Kumalasa, Sangkapura, Bawean. Pengusiran dilakukan karena dituduh membawa penyakit pegebluk atai semacam Corona kalau jaman sekarang. Makam Waliyah Zaenab berada di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak, Bawean, Gresik. Berjarak 21 kilometer dari Pelabuhan Bawean, bila ditempuh jalur Timur atau belok kiri menuju makam. Bila dari pelabuhan belok kanan, atau ambil jalur Barat. Perjalanan menempuh jarak 32 kilometer. Barulah sampai di Makam Waliyah Zaenab. Diponggo sendiri ada lima dusun. Dengan 1.342 penduduk. Meski begitu, tidak sulit mencari makam Waliyah Zaenab. Ada petunjuk arah untuk menuju ke makam nya yang terletak di depan Masjid Diponggo. KH Nurul Huda selaku takmir masjid, itemani Salim Kepala Desa Diponggo menyampaikan, ada dua versi sejarah tentang Waliyah Zaenab. “Versi pertama, yang didasarkan riwayat Waliyah Zainab atau Dewi Wardah yang tertulis di daun lontar yang berbahasa Arab Pegon di Museum Sultan Hasanuddin. Dewi Wardah adalah putri Kyai Ageng Bungkul atau dikenal dengan Sunan Bungkul. Salah seorang pembesar Kota Surabaya keturunan Raja Majapahit,” ungkap Salim kepada 1miliarsantri.net. Dewi Wardah dinikahkan ayahnya Sunan Bungkul dengan Raden Paku (Sunan Giri). Itupun sebagai garwo triman (isteri hadiah). “Saat itu, Sunan Bungkul nadzar alias berjanji, apabila ada seseorang yang tertimpa buah delima miliknya namun dia tetap hidup maka akan dinikahkan dengan puterinya,” paparnya. Karena Raden Paku sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah puteri dari Sunan Ampel. Maka, Dewi Wardah istri yang dimadu. Hanya beliaunya tidak ingin dimadu. “Beliau pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki sentong. Atau kelopak bunga kelapa. Dan sampailah di Bawean. Itupun tidak langsung ke Diponggo, tapi ke Kumalasa Sangkapura. Sebab, saat itu disana jadi syahbandar alias pelabuhan nya,” ungkap KH. Nurul Huda menambahkan. Dalam perjalanan menempuh jarak 81 mil dari Gresik, Dewi Wardah sakit. Karena sakit itulah, warga Kumalasa menolaknya. Kemudian berlayar lagi sampai di Teluk Menangis Diponggo. “Akhirnya menepat dan menyebarkan Islam di Diponggo sampai beliau wafat dan dimakamkan di sini (Diponggo),” ujar KH Nurul Huda. Selain itu, Salim bercerita versi kedua. Yaitu, didasarkan pada buku “Waliyah Zaenab, Putri Pewaris Syech Siti Djenar” karya M Dhiyauddin Qushwandhi. Salim menyebut, Dewi Wardah diperkirakan lahir antara tahun 1575 dan 1585. Putri dari Raden Nur Rakhmat alias Kanjeng Sunan Sendang Duwur di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Dewi Wardah menikah dengan seorang pria yang dikenal sebagai Pangeran Sedo Laut. Pangeran ini dipercaya sebagai cucu Raden Paku alias Sunan Giri I, Pendiri Giri Kedaton, Gresik. “Dewi Wardah disebut generasi keempat penerus ajaran Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang, pendiri tarekat Akmaliyah di Nusantara,” beber Salim. Pangeran Sedo Laut adalah saudara Sunan Prapen yang berkuasa pada 1545-1625. Sunan Prapen mengutus Pangeran Sedo Laut dan istrinya, Dewi Wardah, mengislamkan Bawean. “Dalam perjalanan itu, Pangeran Sedo Laut meninggal. Dan perjalanan tetep dilanjut. Akhirnya sampai Syahbandar Kumalasa,” ungkapnya. Sesampainya di Kumalasa, lanjut Salim, Dewi Wardah mendapat penolakan. Selain menjadi satu-satunya perempuan yang dinilai warga tabu, juga sakit. Apalagi di Kumalasa juga ada wabah pagebluk yang diduga dibawa Dewi Wardah. “Nah, pagebluk itu sama kayak sekarang ini yang disebut Corona. Warga Kumalasa tidak ingin wabahnya menular, makanya beliau ditolak menetap. Akhirnya, melanjutkan perjalanan dan berhenti di Teluk Menangis, Diponggo. Beliau menangis terus. Dan ditolong Mbah Rambut diajak ke rumahnya di sekitar Masjid Dipinggo,” terang KH Nurul Huda. KH Nurul Huda belum menemukan sejarah yang menyebut model Dewi Wardah alias Waliyah Zaenab mengajarkan Islam di Bawean. Hanya kehadiranya diperkirakan mendahului KH Oemar Mas’ud, penyiar Islam Bawean. Meski begitu, KH Nurukl Huda menambahkan, bila di tempat imam masjid, ada batu hitam yang membekas saat Waliyah Zaenab riyadoh. Bagi yang paham biasanya berdoa kepada Allah di lokasi itu. Tetapi bagi mereka yang belum mengetahui, maka berdoanya di makbaroh. “Makam Waliyah Zaenab sendiri, sangat dikeramatkan. Setidaknya saat itu, ada pesawat atau sesuatu yang lewat di atas makamnya, dipastikan jatuh,” sambung nya. Tidak hanya itu, bila ada warga Kumalasa yang berziarah atau datang ke Desa Diponggo, ada yang rusak. Bisa berupa pagar roboh, tebing roboh atau apapun. Karena Waliyah Zaenab tidak berkenan, akibat penolakan dirinya di Kumalasa. “Itu dahulu. Banyak kakek nenek kami yang cerita. Tapi sekarang yang tidak lagi. Meski begitu, makam Waliyah Zaenab masih tetep keramat,” ungkap KH Nurul Huda. Setiap hari banyak orang datang berziarah ke makam Waliyah Zaenab. Tidak hanya dari Bawean atau Gresik. Bahkan, ada yang datang dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. “Sebelum COVID-19 setiap hari bisa 200 sampai 250 orang yang datang berziarah,” pungkasnya. (fq)

Read More

Napak Tilas Pesantren di Selatan Jawa

‘Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Didunia Pesantren, hubungan antara murid (santri) dan guru (kiai) itu bukan perkara sepele. Dan, manfaatnya bukan hanya untuk pribadi masing-masing, tapi berpengaruh pada masyarakat secara keseluruhan. Bisa dibayangkan betapa rumitnya hubungan antar pesantren atau jaringan ulama, secara khusus dalam hal ini adalah wilayah selatan Jawa (sebagian wilayah Mataram/Jawa Pedalaman). Di sana ada pertalian sosial yang rumit, ada hubungan darah, perkawinan, transfer keilmuan, politik, hingga hubungan yang sifatnya spiritual melalui laku ajaran tarikat. Bahkan jaminan ikatan jaringan ulama itu sangat kuat, yakni tidak hanya dirangkai ketika mereka hidup di atas dunia, namun diyakini jalinan ini dibawa sampai alam akhirat. Sedangkan bila terus dirunut ke mana ujung awal ajarannya, maka rujukannya sampai ke Rasullah SAW. Memang setelah melakukan ‘blusukan’ langsung ke berbagai pesantren, untuk menuliskan jaringan ulama yang ada di selatan Jawa ini bukan perkara yang mudah. Apalagi, banyak sumber yang ada di literatur sudah tak bisa dikenali. Ketika mengunjungi berbagai pesantren yang bisa dikatakan berumur tua dan penting, para pengasuh pesantrennya mengaku sudah tak paham lagi detail sejarahnya. ”Pesantren kami berdiri bersamaan dengan pendirian Keraton Solo, yakni saat ‘palihan negari’ (Pembelahan kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi Solo dan Yogyakarta tahun 1755). Alumni santri kami sudah tak terhitung lagi dan menyebar ke mana-mana,” kata Suntoro, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Solo (Surakarta) kepada 1miliarsantri.net Adanya kerumitan di dalam mengkaji jaringan ulama di wilayah Selatan Jawa ini diakui pakar sejarah politik Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, DR Hermanu Joebagio. Hal ini karena jaringannya sudah begitu saling memintal serta bersilangan layaknya rajutan tentunan benang yang sudah menjadi selembar kain. Sepintas kesan dari luar, seolah-olah jaringan ulama itu sudah tak ada lagi. Menurut Hermanu, bila ditelisik lebih dalam, di sana akan segera terlihat bahwa ‘pohon’ jaringan ulama di wilayah itu akhirnya akan terkait dengan pesantren yang didirikan Sunan Giri, di Prapen, Gresik (Jawa Timur), pada abad ke 15 M. Namun, selain terpengaruh pesantren Sunan Giri, jaringan ulama di selatan Jawa juga terkait dengan jaringan ulama yang berasal dari Demak, Makassar (Sulawesi Selatan), Sumatra, Cirebon, hingga berbagai pesantren di Jawa Timur, seperti Pacitan dan Jombang. Bukan hanya itu, di dalam jaringan itu juga sudah dari dulu terkoneksi dengan jaringan ulama internasional, seperti dari Yaman, Arab Saudi, Mesir, Maroko, Sudan, India, dan Campa. Ini bisa dimengerti karena usia jaringan ini melampaui banyak zaman karena sudah terpintal semenjak abad ke-15 M itu. Salah satu buktinya adalah dengan mengacu pada prasasti pendirian Pesantren Al Kahfi di Somalangu di Kebumen yang berdiri pada 4 Januari 1475 M. ”Jadi, menurut saya, asal jaringan ulama di Jawa itu berasal dari ‘satu pohon’, yakni bermula dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Giri) yang berada di Jawa Timur itu. Jadi, asal usul pemikiran pesantren berasal dari sana,” tutur Hermanu menegaskan. Menurut Hermanu, Islam masuk ke Indonesia itu ada dalam dua versi. Pertama, versi Islam yang masuk ke Sumatra, dan satu versi lainnya masuk dari Campa ke Jawa. Sedangkan, khusus Islam yang berada di wilayah selatan Jawa tersebut kemudian mempunyai mempunyai tiga kultur, yakni kultur Arab, Cina, dan Jawa. ”Tiga kultur ini menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat yang ada di selatan Jawa itu. Inilah yang harus dipahami dulu karena memang ada perbedaan masyarakat Jawa yang tinggal di pantai utara dan selatan tersebut,” ujarnya seraya menyatakan bila ciri masyarakat di pesisir utara Jawa itu mempunyai ciri egalitarian dan kosmopolitan, sedangkan yang di pesisir selatan Jawa berciri tertutup dan feodal. Ditegaskan Hermanu, fakta yang selama ini belum banyak diketahui secara luas oleh publik adalah mengenai melalui jalur apa Islam bisa merembes begitu luas di wilayah selatan Jawa itu. Tampaknya tak hanya berkat usaha keras dan sabar dari para ulama, serta berkat ikatan jaringan tarikat, maupun disolidkan dengan jaringan kawin mawin antarkeluarga ulama serta santrinya, peran jalur perdagangan melalui Sungai Bengawan Solo yang memanjang dari Surabaya hingga Surakarta jelas tak bisa diabaikan. ”Harap diketahui sepanjang Sungai Bengawan Solo itu dari zaman dahulu tersebar begitu banyak pesantren. Pusat Kerajaan Mataram yang berada di pedalaman Jawa dihubungkan dengan sungai itu. Selama masih aktif dilayari dari Surabaya ke Solo itu ada 40 tempat persinggahan pedagang (bandar). Bandar terakhirnya itu berada di Mojo (pinggiran Solo) yang merupakan kampung komunitas keturunan Arab,” kata Hermanu. Peran ulama dan pesantren yang ada di pinggiran sungai itu makin penting ketika para penguasa Kerajaan Mataram juga ikut belajar agama Islam di tempat itu. Bahkan, kerap kemudian terjadi hubungan yang sangat erat antara dunia pesantren dan kerajaan. ”Harap diketahui Paku Buwono IV adalah raja yang pernah belajar di sebuah pesantren yang letaknya tak jauh dari Bengawan Solo. Dia bahkan dikenal sebagai raja Jawa yang sangat santri. Setiap Jumat pergi ke masjid dan di setiap harinya, ia selalu memakai baju jubah berwarna putih. Kesantrian ini kemudian dilanjutkan oleh Raja Paku Buwono VI, IX, dan X.Bahkan, Paku Buwono X malah dikenal raja yang sangat melindungi pergerakan Sarekat Islam,” ujar Hermanu. Namun, memang sewaktu era sebelumnya, yakni Sunan Amangkurat I dan II, hubungan ulama dengan kerajaan sempat memercikkan masalah. Saat itu, antara ulama dan Raja Amangkurat I (Raden Mas Sayidin) malah terlibat perbedaan pendapat serius soal suksesi kekuasaan. Para ulama dianggap membangkang kepada raja dan kemudian banyak di antara mereka beserta anggota keluarganya (konon sampai 5.000 orang) dihabisi nyawanya. ”Para ulama yang selamat menyingkir dari pusat kerajaan. Mereka memang banyak pergi ke arah selatan dan barat, seperti Kedu, Banyumas, dan Cilacap. Di sana mereka mendirikan pesantren baru. Jadi, meski para ulama ini dihabisi, jaringan mereka secara diam-diam terus bergerak. Jaringan ini semakin solid dan kemudian muncul kembali dalam perlawanan Pangeran Diponegoro. Jaringan itu terus ada sampai sekarang,” katanya. Sisa jaringan ulama itu masih bisa teraba sekarang ketika mengunjungi Pesantren Somalangu, Desa Sumber Adi, di Kebumen, yang terkait dengan Kesultanan Demak dan Mataram. Bahkan karena berusia sangat tua, hampir 600 tahun, pesantren Somalangu yang didirikan Syekh Abdul Kahfi al-Hasani (ulama berasal dari Yaman yang datang ke Jawa sekitar tahun 1475 M) ternyata punya ikatan yang kuat dengan banyak pesantren yang kemudian muncul di wilayah Banyumas dan Cilacap. Pada kenyataan lain, kuatnya ikatan jaringan ulama di wilayah ini yang sama juga terasa ketika mengunjungi pesantren di Leler Banyumas, Kesugihan…

Read More

Mengenal Sosok Furai’ah binti Malik, Sang Perawi

Jakarta – 1miliarsantri.net : Di antara sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, bukan hanya dari golongan sahabat saja tapi terdapat banyak sahabiyah atau kaum Muslimah. Tidak jarang, hadis-hadis yang diriwayatkan sejumlah sahabiyah tersebut menjadi rujukan ataupun sandaran ahli-ahli fikih dalam menentukan hukum fikih dari suatu permasalahan yang dihadapi umat. Furai’ah binti Malik merupakan salah seorang sahabiyah yang meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW. Furai’ah lahir dari keluarga mujahid. Keislaman keluarga Furai’ah datang seiring dengan hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW ke Madinah. Nama lengkap Furai’ah adalah Furai’ah binti Malik bin Sinan al Khudriyah. Ayahnya merupakan salah satu pejuang Islam terbaik pada saat itu, Malik bin Sinan. Ayah Furai’ah berasal dari Bani Khadrah, salah satu kabilah terpandang di kalangan kaum Anshar di Madinah. Kemuliaan Bani Khadrah kian terangkat saat Malik bin Sinan memeluk dan mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Malik bin Sinan menjadi salah satu pembela Islam dan tidak ragu untuk turun ke medan perang. Malik bin Sinan sempat berniat mengikutsertakan anak laki-lakinya, Abu Sa’id untuk terjun ke medan perang. Namun, Rasulullah SAW melarangnya lantaran Abu Sa’id dinilai masih terlalu muda, saat itu baru berumur 13 tahun. Sewaktu di medan perang, Malik menjadi salah satu pelindung dan penjaga Rasulullah SAW. Malik pun akhirnya terbunuh di medan perang dan gugur sebagai syahid. Kematian sang ayah pun membuat Furai’ah dan Abu Sa’id menjadi yatim piatu setelah ibu lebih dulu meninggal dunia. Kendati demikian, Furai’ah dan Abu Sa’id tidak putus asa dan meninggalkan Allah SWT. Keimanan mereka justru semakin tebal. Mereka merasa hal ini merupakan ujian terhadap kesabaran mereka. Ada kisah menarik saat mereka tidak memiliki uang sama sekali untuk membeli makanan. Pada saat itu, Abu Sa’id mengadu kepada Furai’ah. Kemudian, Furai’ah pun menyuruh adiknya untuk menemui Rasulullah SAW. Namun, saat menjejakkan kaki di Masjid Nabawi, Abu Sa’id mendengar khutbah Rasulullah SAW, yang berbunyi, ”Barang siapa yang menahan nafsu karena Allah SWT, niscaya Allah akan mencukupinya. Dan barang siapa yang meminta kekayaan karena Allah SWT, niscaya Allah akan memberikannya kekayaan.” Mendengar khutbah ini, Abu Sa’id langsung bergegas menemui Furai’ah. Mereka akhirnya bersabar dan kesabaran ini berbuah manis. Mereka terus mendapatkan rezeki dari tempat yang tidak diduga-duga. Mereka selalu mendapatkan bantuan dari sesama kaum muslimin di Madinah. Ini menjadi balasan atas kesabaran Furai’ah dan Abu Sa’id. Semasa hidupnya, Furai’ah memang dikenal sebagai salah satu perawi hadis terpercaya, yang langsung didapatkan dari Rasulullah SAW. Tercatat, Furai’ah disebut telah meriwayatkan setidaknya delapan hadis dari Rasulullah SAW. Salah satu hadis yang diriwayatkan Furai’ah menjadi sandaran dan pijakan ahli fikih. Hadis tersebut berisi tentang masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Dalam penjelasan Hadis Riwayat (HR) Malik no.1081 disebutkan seorang istri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari dan berdiam diri di rumahnya selama masa idah tersebut. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Furai’ah binti Malik. Tidak hanya itu, Furai’ah juga mengaku didatangi utusan dari Utsman bin Affan untuk menanyakan hal tersebut. Kemudian Furai’ah mengabarkannya dan Utsman pun mengikutinya serta memutuskan seperti itu. Secara lengkap, berikut petikan HR Malik no.1081 tersebut, ”Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari (Sa’ad bin Ishaq bin Ka’b bin ‘Ujrah) dari bibinya (Zainab binti Ka’b bin ‘Ujrah) bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan, yaitu saudara perempuan dari Abu Sa’id al-Khudri, mengabarkan kepadanya, ‘Dia pernah menemui Rasulullah SAW dan meminta izin apakah ia diperbolehkan pulang ke rumah keluarganya di Bani Khudrah. Sebab, ketika suaminya pergi mencari budak-budaknya yang melarikan diri kemudian sampai di perbatasan dan menemukan mereka, justru mereka beramai-ramai membunuhnya (suami Furai’ah binti Malik).’ Kemudian Furai’ah binti Malik berkata, ‘Aku minta izin Rasulullah SAW untuk pulang ke rumah keluargaku di Bani Khudrah, karena suamiku tidak meninggalkanku di rumah miliknya dan tidak memberi nafkah.’ Rasulullah SAW kemudian mengatakan,’Ya (pindahlah).’ Furai’ah binti Malik kemudian kembali ke rumah suaminya. Kemudian saat Furai’ah sedang berada di kamar atau di masjid, Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya. Rasulullah SAW kemudian bertanya, ‘Apa yang kamu katakan tadi?’ Furai’ah lantas mengulang kisah tentang suaminya tadi, lantas Rasulullah bersabda kepada Furai’ah, ‘Berdiamlah di rumahmu sampai masa yang diwajibkan atasmu selesai.’ Selepas itu, Furai’ah binti Malik berkata, ‘Aku menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari.’ Furai’ah kembali berkata, ‘Saat pemerintahan Utsman bin Affan, ia (Utsman bin Affan) mengutus seseorang menemuiku untuk menanyakan hal tersebut, lalu aku kabarkan kepadanya, sehingga Utsman pun mengikutinya dan memutuskan seperti ini.” Hadis serupa juga diungkapkan oleh perawi hadis Hadis Riwayat Ahmad, dalam hadis nomor 25.840. Hadis yang diriwayatkan dari Furai’ah ini pun menjadi sandaran bagi para ahli fikih dalam menentukan masa berkabung atau masa idah bagi seorang istri yang ditinggalkan suaminya meninggal dunia. (fq/ep)

Read More

Mengintip Sejarah Manaqiban di Indonesia

Jakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu acara keagamaan yang menjadi tradisi sebagian masyarakat Islam di Indonesia adalah manaqiban. Secara bahasa, manaqiban berasal dari kata manaqib yang berarti riwayat hidup orang-orang besar. Mengutip buku Pendidikan Tasawuf oleh Muhammad Basyrul Muvid, manaqiban adalah sebuah peringatan untuk mengenang wafatnya seorang wali legendaris, yakni Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Beliau wafat pada 11 Rabiul Awal, sehingga acara ini biasa diperingati setiap tanggal 11 pada bulan Islam lainnya. Kegiatan dalam Acara Manaqiban secara kebudayaan hanya dianjurkan untuk para laki-laki, baik anak-anak, pemuda, dewasa, maupun orang tua. Tidak satu pun perempuan yang terlibat di acara ini. Biasanya, acara ini diisi dengan membacakan manaqib Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Ada dua manaqib yang umum dibaca masyarakat, pertama adalah manaqib An-Nur Al-Burhani. Kedua adalah kitab manaqib Jawahir Al-Ma‘ani yang ditulis oleh KH Jauhari Umar dari Pasuruan. Pembaca kitab dalam acara manaqib ini hanya dilakukan oleh seorang kiai. Sementara para jemaah dengan khidmat mendengarkan dan secara aktif memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Hal yang dibaca dalam kitab manaqib tersebut meliputi silsilah nasab Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya. Disamping itu, tercantum juga doa bersajak (nadhom) yang bermuatan pujian-pujian dan tawassul kepada Allah SWT melalui perantara Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Tujuan Manaqiban Dijelaskan dalam buku Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Studi Etnografi Tarekat Sufi Di Indonesia oleh Emawati, Syukran Makmun dan Gunawan Anjar Sukmana, manaqiban ini bertujuan untuk mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan para wali yang dicintai-Nya. Sebagaimana ditulis dalam Alquran: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54). Hal yang dibaca dalam kitab manaqib tersebut meliputi silsilah nasab Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya. Disamping itu, tercantum juga doa bersajak (nadhom) yang bermuatan pujian-pujian dan tawassul kepada Allah SWT melalui perantara Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Selain itu, tujuan lain dari manaqiban, yakniBerharap mendapat keberkahan dari pembacaan manaqib. Hal tersebut didasarkan keyakinan bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jailani adalah wali quthub yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang. Biasanya para jamaah membawa botol yang berisi air dan mendekatkan kepada imam atau pemimpin acara tersebut dengan tujuan mendapat berkah dari doa-doa yang dibacakan oleh mereka, sehingga sewaktu air itu diminum dapat menjadi air yang berkah dan menyehatkan bagi tubuh. Memohon untuk kesuksesan dan berkah-berkah lain sesuai dengan kepentingan masing-masing.Hubungan masyarakat sekitar menjadi semakin rukun dan semakin erat tali persaudaraannya. (hud)

Read More