Umar bin Khattab: Pilar Keadilan dan Ketegasan dalam Sejarah Islam

Jakarta – 1miliarsantri.net: Ketika berbicara tentang tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam, maka nama Umar bin Khattab pasti menjadi salah satu yang akan terlintas di benak. Sosok yang dikenal tegas, adil, dan penuh keberanian ini bukan hanya seorang Khalifah, tapi juga simbol nyata dari kekuatan iman dan integritas dalam memimpin. Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan hidupnya, terutama soal bagaimana menghadirkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan mengajak kalian mengenal lebih dekat tentang siapa Umar bin Khattab dan apa perannya dalam sejarah Islam. Mengenal Umar bin Khattab dalam Lintasan Sejarah Ketika bicara soal sejarah Islam, tak lengkap rasanya tanpa menyinggung peran besar Umar bin Khattab. Beliau adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan juga termasuk dalam kelompok al-Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin Islam yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Baca juga: Dari Syirik Menuju Tauhid! Revolusi Spiritual Nabi Muhammad SAW dan Lahirnya Peradaban Islam Umar bin Khattab mulanya dikenal sebagai penentang Islam yang keras. Tapi siapa sangka, hidayah menyapanya dalam momen yang begitu dramatis dan emosional. Setelah memeluk Islam, Umar bin Khattab menjadi salah satu pembela yang paling berani. Ia tidak lagi bersembunyi dalam menjalankan ajaran Islam, bahkan secara terbuka menyatakan keislamannya di depan kaum Quraisy yang pada masa itu sangat menentang Islam. Sebagai khalifah, Umar bin Khattab memimpin selama sekitar 10 tahun, dan dalam waktu yang terbilang singkat itu, ia berhasil membawa Islam ke masa keemasannya. Wilayah kekuasaan Islam pada masa itu meluas hingga ke Persia, Romawi Timur bahkan berbagai daerah di luar Jazirah Arab. Dan yang tak kalah penting Umar juga dikenal karena prinsip keadilan dan ketegasannya yang luar biasa. Ia tidak segan mengoreksi aparatnya sendiri, bahkan bersedia menerima kritik dari rakyat jelata. Umar Bin Khattab, Pilar Keadilan dan Ketegasan yang Menginspirasi Umar bin Khattab tidak hanya dikenal karena ekspansi wilayah kekuasaan Islam, tetapi lebih karena prinsip keadilan yang ia pegang erat. Keadilan bagi Umar adalah nilai inti dari kepemimpinan. Dalam menegakkan hukum Ia tidak pernah memandang status sosial, harta kekayaan, atau kedekatan pribadi. Semua orang, tanpa terkecuali, harus diperlakukan sama dan adil. Ada satu kisah yang sangat populer dengan sifat keadilan Umar bin Khattab. Ketika seorang putra gubernurnya berselisih dengan rakyat biasa dan berlaku sewenang-wenang, Umar langsung bertindak. Ia tidak membiarkan jabatan atau kedudukan menjadi alasan pembenaran atas tindakan yang salah. Baca juga: Warisan Ilmuwan Muslim yang Bepengaruh Pada Peradaban Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern Sang gubernur pun tidak lolos dari teguran. Bahkan, rakyat yang dirugikan diberikan hak untuk membalas sesuai hukum yang berlaku pada masa itu. Tak hanya adil, Umar bin Khattab juga dikenal tegas dan tidak mudah goyah dalam mengambil keputusan. Tapi di balik ketegasan itu, hatinya sangat lembut. Ia sering berkeliling pada malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya secara langsung dan memastikan bahwa tidak ada yang kelaparan atau dizalimi. Dalam salah satu kisah juga pernah diceritakan bahwa Umar bahkan memikul sendiri karung gandum, untuk diberikan pada seorang ibu miskin yang kelaparan bersama anak-anaknya. Sungguh luar biasa, Ia sebagai seorang pemimpin besar yang wilayahnya membentang luas ribuan kilometer, justru memilih untuk hadir langsung di tengah rakyatnya bahkan tanpa pengawalan. Umar bin Khattab benar-benar menjadi gambaran pemimpin sejati yang kuat, tegas, tapi penuh kasih dan rendah hati. Dalam dunia yang sering kali diliputi oleh ketidakadilan, Umar hadir sebagai inspirasi yang membakar semangat. Dari kisah hidup hingga gaya kepemimpinannya, Umar bin Khattab telah menunjukkan kepada kita semua apa arti sesungguhnya menjadi seorang pemimpin yang adil dan amanah. Dalam lintasan sejarah Islam, namanya akan selalu dikenang sebagai sosok yang tidak hanya memperluas wilayah kekuasaan, tapi juga memperluas keadilan dan kebaikan bagi umat. Semoga semangat dan prinsip hidup Umar bin Khattab bisa terus menginspirasi kita semua dalam menghadapi tantangan zaman dan membangun peradaban yang lebih baik.** Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Foto ilustrasi Editor : Thamrin Humris

Read More

Dari Syirik Menuju Tauhid! Revolusi Spiritual Nabi Muhammad SAW dan Lahirnya Peradaban Islam

Tegal – 1miliarsantri.net: Sebelum Islam hadir membawa petunjuk, masyarakat Arab berada dalam masa yang disebut sebagai zaman jahiliyah. Istilah ini tidak hanya menggambarkan ketidaktahuan terhadap ilmu pengetahuan, tetapi juga merujuk pada kondisi moral, sosial, dan spiritual yang rusak dan gelap. Nilai-nilai kemanusiaan dikaburkan oleh kesyirikan, kekerasan, dan ketimpangan sosial. Namun, kondisi ini berubah secara drastis lewat misi agung Nabi Muhammad SAW yang mengembalikan manusia kepada tauhid dan nilai-nilai Ilahi. Dan mari, di artikel ini sejenak kita refleksi kembali perjalanan transformatif masyarakat Arab dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam, yang tidak hanya mengubah Mekkah dan Madinah, tetapi juga meletakkan dasar peradaban dunia yang adil dan beradab. Akar Tauhid yang Terlupakan Masyarakat Arab, khususnya suku Quraisy, sejatinya pernah mengenal ajaran tauhid. Mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS yang telah mewariskan agama Hanifiyah, sebuah ajaran yang murni menekankan keesaan Allah SWT dan keadilan dalam kehidupan sosial. Ka’bah sendiri adalah simbol tauhid yang dibangun oleh dua nabi tersebut sebagai rumah ibadah kepada Allah SWT. Namun, seiring berjalannya waktu, ajaran ini mulai dilupakan. Interaksi dengan peradaban lain, pengaruh asing, serta lemahnya pemahaman menyebabkan penyimpangan akidah. Tauhid berubah menjadi politeisme dan khurafat. Amr bin Luay al-Khuzai kemudian tercatat dalam sejarah sebagai tokoh yang pertama kali memperkenalkan berhala ke Mekkah, sehingga membuka jalan bagi tersebarnya praktik syirik di Jazirah Arab. Ia membawa patung bernama Hubal dari Syam dan meletakkannya di dekat Ka’bah. Sejak saat itulah, setiap suku mulai membawa dan menempatkan berhala mereka untuk dijadikan sesembahan. Ka’bah yang dahulu pusat tauhid, berubah menjadi tempat ritual syirik. Ragam Kepercayaan Jahiliyah Penyimpangan akidah melahirkan berbagai bentuk kepercayaan yang menyimpang dari nilai tauhid. Di antaranya: Tak hanya itu, praktik takhayul menyebar luas. Ada kepercayaan bahwa lapar disebabkan oleh ular dalam perut, atau bahwa kekuatan gaib bisa diperoleh dengan memakai cincin besi. Untuk meminta hujan, mereka mengikat rumput kering di ekor hewan ternak sambil menari di gurun. Semua ini menandai betapa masyarakat Arab kehilangan arah spiritual. Sistem sosial yang terbentuk pun tidak adil: perempuan tidak dihargai, bayi perempuan dikubur hidup-hidup, dan kaum miskin tertindas oleh pemilik kekuasaan dan harta. Pengaruh Agama Samawi Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, dua agama Samawi, yakni Yahudi dan Kristen, yang sudah lebih dulu masuk ke wilayah Arab. Kaum Yahudi banyak tinggal di Yatsrib (Madinah), sementara Kristen tersebar di wilayah Syam dan Yaman melalui pengaruh Kekaisaran Romawi Timur dan Kerajaan Habsyi. Namun, penyebaran dua agama ini bersifat terbatas dan tidak membentuk tatanan sosial yang menyeluruh. Di samping itu, agama-agama tersebut telah mengalami distorsi ajaran. Di tengah kehampaan moral dan spiritual inilah, kebutuhan akan pembaruan menjadi sangat mendesak. Kelahiran Pembaharu Pada tahun 570 M, lahirlah seorang anak dari Bani Hasyim, keturunan mulia dari Quraisy, Muhammad bin Abdullah. Beliau tumbuh sebagai pribadi jujur, amanah, dan berintegritas tinggi. Oleh karena itu, beliau pun dikenal di kalangan masyarakat Mekkah dengan sebutan Al-Amin. Pada usia 40 tahun, beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira melalui Malaikat Jibril. Firman pertama itu, Iqra’ (bacalah), bukan hanya instruksi membaca secara literal, tetapi juga ajakan untuk memahami hakikat kehidupan dan mengembalikan manusia kepada tauhid. Dakwah dalam Tantangan Dakwah Nabi Muhammad SAW dimulai secara diam-diam, menyasar orang-orang terdekat seperti Khadijah, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Setelah tiga tahun, beliau mulai berdakwah secara terbuka. Langkah ini memicu kemarahan para pemuka Quraisy. Mereka melihat dakwah tauhid sebagai ancaman terhadap kekuasaan dan ekonomi mereka, yang bergantung pada ritual berhala di Ka’bah. Nabi dan para sahabat mengalami berbagai bentuk intimidasi, seperti dihina, disiksa, diboikot, bahkan diusir. Namun, Nabi tidak membalas dengan kekerasan. Beliau memilih pendekatan sabar, santun, dan bijak. Kesabaran beliau menarik simpati berbagai kalangan, terutama anak muda, budak, dan kaum fakir yang selama ini tersisih oleh tatanan jahiliyah. Revolusi Sosial Islam Islam tidak hanya mengubah akidah, tetapi juga menata ulang struktur sosial masyarakat Arab secara menyeluruh. Berikut sejumlah prinsip revolusioner yang dibawa Islam: Revolusi sosial ini bukan hanya teori, tetapi dijalankan langsung dalam kehidupan masyarakat Madinah setelah hijrah. Di sana, Nabi membangun masyarakat yang plural dan adil, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, serta menyusun Piagam Madinah sebagai dasar konstitusi yang modern untuk zamannya. Cahaya Peradaban Islam Setelah hijrah ke Madinah, Islam berkembang pesat menjadi kekuatan spiritual, sosial, dan politik yang disegani. Nilai-nilai yang dahulu asing, seperti persaudaraan lintas suku, keadilan hukum, dan hak perempuan, menjadi fondasi masyarakat baru. Islam kemudian menyebar ke berbagai wilayah Asia dan Afrika, seperti Syam, Mesir, dan Persia. Ajaran Islam tidak hanya menciptakan umat yang beriman, tetapi juga membangun peradaban dengan sumbangsih di bidang ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, dan filsafat. Pelajaran Bagi Umat Hari Ini Transformasi masyarakat Arab dari zaman jahiliyah menuju Islam bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan cermin peradaban dan pelajaran bagi umat pada hari ini. Sebab, meskipun bentuk tantangan modern berbeda, esensinya tetap sama: kezaliman, syirik gaya baru, eksploitasi, dan krisis moral. Solusinya pun tetap sama: kembali kepada nilai-nilai Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Tauhid bukan hanya keyakinan, tetapi juga sistem nilai yang memuliakan akal, menegakkan keadilan, dan memanusiakan manusia. Jika dahulu Nabi mampu mengubah tatanan dunia dari lembah Mekkah yang penuh berhala, maka hari ini pun umat Islam mampu bangkit dari keterpurukan jika kembali kepada ruh dakwah dan keteladanan Rasulullah SAW.“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik membenci.” (QS As-Shaff: 9).** Penulis : Satria S Pamungkas (Tegal, Jawa Tengah) Sumber: buku Sejarah Kebudayaan Islam karya Mislahudin S.Pd.I (baSan Publishing, 2011) Foto ilustrasi Editor : Ainun Maghfiroh dan Thamrin Humris

Read More

Sejarah Perjuangan Islam Melawan Penjajah di Indonesia: Sejarah yang Terlupakan

Situbondo – 1miliarsantri.net : Jika kita berbicara tentang kemerdekaan Indonesia, biasanya yang langsung terlintas adalah pahlawan-pahlawan nasional seperti Soekarno, Hatta, atau Jenderal Sudirman. Tapi di balik semua nama besar itu, ada kisah yang sering kali dilupakan yaitu sejarah perjuangan Islam dalam melawan penjajahan. Padahal, jauh sebelum republik ini berdiri, umat Islam dari golongan para ulama, santri, hingga masyarakat pesantren sudah lebih dulu bergerak melawan ketidakadilan. Sejarah perjuangan Islam di Indonesia itu kaya banget. Tapi sayangnya, kadang justru tenggelam oleh narasi yang lebih dominan. Kita sering lupa bahwa perjuangan fisik dan spiritual para ulama dan santri punya kontribusi nyata dalam menjaga identitas bangsa, bahkan ketika senjata dan peluru menjadi pilihan terakhir. Kontribusi Santri dan Kyai dalam Melawan Penjajah di Indonesia Jika kalian pernah mendengar tentang resolusi jihad yang telah digagas oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, itu adalah puncak dari sejarah perjuangan Islam di tanah air. Tapi sebenarnya, keterlibatan umat Islam termasuk juga para santri dalam melawan penjajah sudah terjadi jauh sebelum itu. Sejak abad ke-17, ulama-ulama besar seperti Sultan Agung, Tuanku Imam Bonjol, hingga Pangeran Diponegoro sudah memimpin perlawanan melawan penjajah. Bukan sekadar konflik politik, tapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, eksploitasi, dan penindasan atas nama agama dan kemanusiaan. Di era perjuangan fisik, terutama menjelang dan pasca-proklamasi kemerdekaan, para kyai memegang peran penting. Mereka bukan hanya tokoh agama, tapi juga pemimpin moral dan komando gerakan rakyat. Para santri yang dididik dengan disiplin tinggi di pesantren menjadi prajurit-prajurit tangguh. Mereka berjuang bukan karena ingin kedudukan atau imbalan, tapi karena cinta tanah air yang mereka anggap sebagai bagian dari iman. Bayangkan saja, para santri belajar agama di pagi hari, lalu sore harinya latihan perang atau patroli dan malamnya melawan tentara Belanda. Persenjataan mereka kalah jauh. Tapi semangat dan keyakinan mereka justru menjadi kekuatan utama. Mereka percaya bahwa jihad melawan penjajah adalah bentuk ibadah yang mulia. Yang menarik, perjuangan para santri dan kyai ini berlangsung dalam diam, jauh dari sorotan kamera atau liputan media masa itu. Tapi jejaknya masih bisa kita lihat hari ini, dari nama-nama pondok pesantren yang dulu jadi markas gerilya, hingga tradisi peringatan Hari Santri yang sekarang jadi bagian dari identitas nasional. Menggali Kembali Sejarah Perjuangan Islam di Indonesia Sering kali kita memandang sejarah sebagai sesuatu yang kuno dan membosankan. Perlu kita ketahui bahwa sejarah perjuangan Islam itu bukan hanya sekedar catatan masa lalu saja, melainkan juga menjadi cermin tentang siapa kita hari ini. Dalam konteks kemerdekaan Indonesia, perjuangan umat Islam nggak bisa dipisahkan dari semangat nasionalisme. Justru dalam banyak kasus, Islam adalah fondasi kuat bagi semangat perjuangan. Nilai-nilai keadilan, persaudaraan, dan keteguhan hati yang diajarkan dalam agama menjadi bahan bakar moral bagi mereka yang turun ke medan perang. Sayangnya, sebagian dari narasi ini mulai terlupakan. Buku pelajaran sejarah kadang hanya menyebut peran ulama atau santri secara sekilas, padahal kontribusinya sangat besar. Ini penting buat kita ingat, karena jika kita tidak menghargai perjuangan para pendahulu, bisa jadi kita juga akan kehilangan arah ke depan. Mengulas kembali sejarah perjuangan Islam bukan berarti mengabaikan kontribusi dari kelompok lain. Justru sebaliknya, ini adalah upaya untuk melengkapi cerita besar tentang bangsa ini. Bahwa kemerdekaan bukan hasil dari satu kelompok, tapi buah dari kerja sama seluruh elemen masyarakat, termasuk umat Islam yang berjuang dengan darah dan doa. Dan lebih penting lagi, kita bisa menjadikan sejarah itu sebagai inspirasi. Bahwa di tengah kesulitan apa pun, selama kita punya iman, keberanian, dan semangat persatuan, maka apapun bisa kita hadapi, seperti yang dilakukan para santri dan kyai di masa penjajahan. Jadi, yuk kita kenali, pahami, dan sebarkan kembali nilai-nilai dari sejarah perjuangan Islam. Karena dari situlah kita bisa membangun masa depan yang lebih kuat, lebih adil, dan tentu saja, lebih bermartabat. (***) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman dan Glancy Verona Foto by AI

Read More

Warisan Ilmuwan Muslim yang Bepengaruh Pada Peradaban Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern

Jakarta – 1miliarsantri.net: Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam telah memainkan peran penting dalam membangun dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi. Di mulai sejak dari abad ke-8 hingga ke-14 Masehi, dunia Islam menjadi pusat kemajuan ilmiah yang melahirkan banyak tokoh cemerlang. Para tokoh cemerlang ini, atau yang sudah kita sering sebagai ilmuwan muslim, bukan hanya menjaga dan menerjemahkan ilmu pengetahuan kuno, tetapi juga mengembangkan penemuan-penemuan baru yang menjadi pondasi bagi kemajuan peradaban dunia. Kontribusi para ilmuwan muslim diwariskan dan dipergunakan hingga kini di berbagai bidang, mulai dari matematika hingga kedokteran. Baca juga : Mengenal Zaman Keemasan Islam: Puncak Kemajuan Ilmu dan Peradaban Para Tokoh Ilmuwan Muslim Paling Berpengaruh Beberapa tokoh ilmuan muslim paling berpengaruh, yang sampai saat ini penemuannya masih menjadi inspirasi dan menjadi warisan dunia: 1. Al-Khawarizmi Lahir di Khwarizm (sekarang Uzbekistan) pada abad ke-8, Al-Khawarizmi dikenal sebagai bapak aljabar. Karya monumentalnya, al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabala, menjadi fondasi penting bagi lahirnya matematika modern. Ia juga berperan dalam mengenalkan sistem angka Hindu-Arab, yang kemudian menjadi standar numerik yang digunakan di seluruh dunia hingga saat ini. Istilah “algoritma” berasal dari namanya. 2. Ibn al-Haytham Ilmuwan asal Basra ini dikenal sebagai pionir dalam bidang optika dan pelopor metode ilmiah modern. Dalam karyanya “Kitab al-Manazir,” ia menjelaskan bagaimana cahaya dibiaskan dan dipantulkan. Penelitiannya membuka jalan bagi ilmu optika modern dan bahkan memberi inspirasi bagi ilmuwan Eropa seperti Roger Bacon dan Kepler. 3. Jabir ibn Hayyan Dikenal sebagai Bapak Kimia, Jabir ibn Hayyan memperkenalkan metode eksperimental dalam studi kimia. Ia mengembangkan proses destilasi, kristalisasi, dan filtrasi. Karyanya “Kitab al-Kimya” menjadi rujukan penting dalam perkembangan ilmu kimia di Barat. 4. Al-Zahrawi Al-Zahrawi, seorang dokter dan ahli bedah ternama dari Andalusia (kini wilayah Spanyol), menyusun karya ensiklopedis dalam bidang kedokteran yang dikenal dengan judul Al-Tasrif. Ia merancang lebih dari 200 instrumen bedah dan dianggap sebagai pelopor dalam ilmu pembedahan. Banyak prosedur medis yang dia kembangkan masih menjadi dasar praktik medis modern. Baca juga: GUSJIGANG: Warisan Sunan Kudus Untuk Santri Milenial Sukses di Era Digital 5. Ibn Sina (Avicenna) Filsuf dan dokter asal Persia ini menulis “Kitab al-Qanun fi al-Tibb” (The Canon of Medicine), yang menjadi rujukan utama kedokteran di Eropa selama lebih dari 500 tahun. Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam filsafat Islam dan metafisika. 6. Al-Biruni Tokoh ini dikenal sebagai ilmuwan multitalenta yang menguasai beragam cabang ilmu pengetahuan, seperti geografi, matematika, astronomi, hingga sejarah. Ia membuat perhitungan radius bumi dengan akurasi luar biasa dan menulis ratusan karya ilmiah, termasuk “Kitab al-Tahdid.” 7. Ibn Nafis Ahli medis dari Damaskus ini berhasil mengungkap sirkulasi darah kecil (peredaran paru-paru) jauh sebelum penemuan William Harvey. Dalam tulisannya berjudul Sharh Tashrih al-Qanun, ia mengkritisi dan membantah teori Galen yang selama ratusan tahun dianggap benar tanpa ditelaah lebih lanjut. 8. Ibn Khaldun Sejarawan dan sosiolog Muslim dari Tunisia ini menulis “Muqaddimah,” sebuah karya monumental dalam sejarah dan ilmu sosial. Ia dianggap sebagai pelopor ilmu sosiologi dan historiografi modern. Warisan Ilmuwan Muslim dalam Berbagai Bidang Dan inilah beberapa warisan ilmuan muslim dari berbagai bidang, yang bahkan mungkin jika Anda tidak mengetahuinya, Anda berfikir bahwa keilmuan ini dimiliki oleh non Islam: 1. Matematika Al-Khawarizmi memperkenalkan aljabar dan sistem angka yang kini digunakan secara global. Penemuannya berperan besar dalam pengembangan teknologi digital, komputasi, dan algoritma. 2. Optik dan Fisika Ibn al-Haytham mendefinisikan proses penglihatan dan memperkenalkan eksperimen ilmiah dalam fisika optik, meletakkan dasar bagi kemajuan teknologi lensa dan kamera. 3. Kimia dan Farmasi Jabir ibn Hayyan mengembangkan ilmu kimia secara sistematis melalui eksperimen. Ia juga dikenal dalam bidang farmasi karena berhasil memisahkan senyawa dan menghasilkan bahan-bahan obat. 4. Kedokteran dan Bedah Al-Zahrawi dan Ibn Sina memberikan kontribusi besar pada diagnosis, prosedur medis, dan pengobatan. Ibn Nafis menemukan sirkulasi darah dalam paru-paru yang sangat penting dalam ilmu anatomi. 5. Astronomi Al-Biruni melakukan observasi dan perhitungan astronomis yang sangat akurat untuk zamannya. Ia juga merancang instrumen untuk pengamatan langit dan menghitung lintasan planet. 6. Filsafat dan Ilmu Sosial Ibn Sina dan Al-Farabi memperkenalkan filsafat Yunani kepada dunia Islam, sementara Ibn Khaldun meletakkan dasar untuk memahami dinamika sosial dan sejarah secara ilmiah. Pengaruh Berkelanjutan dalam Dunia Modern Kemudian, ilmuwan Muslim bukan hanya mengarsipkan pengetahuan, tapi juga memperkaya dan memperluasnya. Hingga kini, kontribusi mereka terasa nyata: Pusat Keilmuan Dunia Islam Selain itu, dunia Islam dahulu memiliki banyak pusat intelektual, seperti: Sistem Pendidikan Madrasah Madrasah menjadi sistem pendidikan formal yang merangkul ilmu agama dan pengetahuan umum. Format pendidikan ini kemudian menginspirasi lahirnya sistem universitas modern di benua Eropa. Warisan keilmuan para ilmuwan Muslim adalah tonggak penting dalam sejarah peradaban manusia. Mereka bukan hanya penjaga pengetahuan, tetapi juga inovator sejati yang menjembatani masa lalu dan masa depan. Di tengah gempuran era digital saat ini, mengenang jasa mereka bukanlah nostalgia semata, tetapi menjadi sumber inspirasi untuk membangkitkan semangat belajar dan berkarya. Umat Islam perlu kembali menyadari bahwa tradisi ilmiah adalah bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Mari kita jaga, pelajari, dan lanjutkan warisan emas ini untuk masa depan yang lebih gemilang.** Penulis : Satria S Pamungkas (Tegal, Jawa Tengah) Sumber : buku Sejarah Kebudayaan Islam karya Mislahudin S.Pd.I (baSan Publishing, 2011) Foto ilustrasi Editor : Ainun Maghfiroh dan Thamrin Humris

Read More

Mimbar Rasulullah di Masjid Nabawi yang Selalu Dirindukan

Surabaya – 1miliarsantri.net : Awal tahun lalu ketika mengunjungi Raudhah tidak semudah dibayangkan. Telat beberapa menit saja, sudah tidak bisa masuk. Sesak sekali ketika gagal masuk, rasanya patah hati seperti ditolak masuk oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi sekalinya masuk pertama kali di Raudhah, tumpah semua air mata dan suara hati yang selama ini terpendam. Hanya 15 menit, shalat dan berdoa begitu mendamaikan. Apalagi dengan mata terpejam, terasa ada bayangan sosok mulia yang hadir menyapa dan mendengarkan keluh kesah. Rasanya nggak mau ini berakhir. Tapi askar sudah berteriak menyuruh keluar. Keluar dari Raudhah saja, sudah rindu ingin kembali. Bukan hanya Raudhah yang membuat hati tak ingin beranjak, tetapi Mimbar Rasulullah yang ada di dekatnya. Mimbar itu bukan hanya struktur kayu, ia adalah simbol cinta, perjuangan, dan pengajaran dakwah nabi Muhammad yang Rahmatan Lil Alamin. “Antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)   Awal Sejarah Pembangunan Mimbar Pada masa awal hijrah, Rasulullah belum memiliki mimbar. Ketika khutbah, beliau biasa bersandar pada batang kayu kurma yang telah ditancapkan ke tanah. Suatu ketika terjadi perubahan fisik Nabi, hal itu mendorong Tamim Ad-Dari untuk membuat mimbar Rasulullah dengan dua anak tangga saja. Di lain sisi dakwah nabi Muhammad yang menyejukkan dan mencerahkan telah menarik banyak perhatian jamaah muslim bahkan mualaf. Mereka berbondong ke Masjid Nabawi untuk menyimak khutbah Nabi. Mimbar yang sudah ada kurang cukup menjangkau jemaah yang melimpah. Nabi berniat untuk membuat mimbar lebih tinggi. Dikisahkan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi bahwa nabi Muhammad meminta tolong kepada para sahabat untuk menyampaikan amanahnya kepada budak perempuan dari kaum Anshar agar membuat mimbar dengan tiga anak tangga. Dalam prosesnya, mimbar rasulullah dibuat dengan kayu dari Tharfa’ Al Ghabah Madinah. Mimbar itulah yang pertama kali digunakan pada tahun 8 hijriah hingga akhir hayatnya. Semenjak Nabi Muhammad menggunakan mimbar bertingkat itu, ada batang kurma yang menangis (sebelumnya dijadikan sandaran nabi ketika khutbah). Peristiwa itu yang membuat jamaah terkejut mendengarnya. Rasulullah pun langsung turun dari mimbar dan memeluk batang kurma sembari berpesan, “Jika aku tidak mendekapnya, ia akan terus menangis hingga hari kiamat.”, sebuah kisah yang ada dalam Shahih Ibnu Majah. Batang kurma saja menangis ketika tak lagi dijadikan sandaran Nabi Muhammad, apalagi kita umatnya yang selalu dibimbing walau beliau sudah tiada melalui ajaran Islam. Fungsi Mimbar Nabi dalam Dakwah Mimbar Rasul tidak hanya menjadi tempat khutbah Jumat. Ia juga menjadi pusat komunikasi kenabian. Melalui mimbar, Rasul menjawab pertanyaan umat, menyampaikan wahyu yang turun, dan merencanakan pembangunan masyarakat. Di mimbar ini merupakan simbol kepemimpinan agama dan pemerintahan yang saling beriringan. Fungsi mimbar inilah yang kemudian dilanjutkan oleh para khulafa ar-rasyidin setelah Rasul wafat. Mimbar yang menjadi saksi perjalanan dakwah Islam, disinilah tempat yang penuh berkah karena mimbar ini terekam semua suara Nabi Muhammad yang menyentuh hati, membakar semangat untuk senantiasa menjadi umat yang berakhlak, berilmu dan bermanfaat. Mengunjunginya dapat membayangkan bagaimana orang-orang sholeh terdahulu berkumpul, bersatu demi tujuan mulia, rasanya ingin kembali ke masa Nabi Muhammad, menjadi salah satu jamaahnya. Lokasi Mimbar Nabi Muhammad SAW Ketika mengunjungi Raudhah akan terlihat sebuah tempat yang tinggi, disitulah mimbar rasulullah berdiri tepat di bagian barat Raudhah. Mimbar itu memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Di bagian pintu masuk mimbar ada tertulis kalimat tauhid, “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.” Tempat Nabi Muhammad berkhotbah ini memiliki 2 anak tangga dengan lapisan karpet, pintu kayu dan pagar berlapis emas. Perkembangan Mimbar di Masjid Nabawi Setelah berpulangnya Nabi Muhammad, mimbar di Masjid Nabawi tetap dilestarikan oleh para khalifah: Abu Bakar, Umar dan Utsman dengan sedikit perubahan. Pada masa Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan dari Dinasti Umayyah, mimbar yang tadinya hanya 2 anak tangga kemudian dibangun dengan 6 tangga yang mudah dipindah dan ada tempat duduknya. Kemudian masa Abbasiyah dan Mamluk, mimbar dibuat indah dengan menghias ukiran yang lebih indah tanpa mengganti nilai simboliknya. Selanjutnya pada masa Utsmaniyah (Ottoman) mulai ada pergantian bahan pada mimbar. Mimbar diganti dengan marmer dan dihias ukuran islami tapi tidak menghilangkan bentuk asli mimbar. Dan pada masa para raja Saudi ini mimbar yang digunakan di Masjid Nabawi merupakan replikasi bentuk asli dengan desain yang modern. Sedangkan mimbar asli Nabi Muhammad disimpan sebagai bangunan bersejarah dan sakral. Merindukan Mimbar dan Keteladanannya Ziarah ke Masjid Nabawi tidak lengkap tanpa berdoa di Raudhah dan menatap mimbar Rasulullah. Di sanalah terasa betapa Islam dibangun dengan cinta, ilmu, dan amanah. Mimbar itu mungkin tak lagi digunakan oleh Nabi, tapi suaranya masih menggema dalam hati yang rindu dakwah penuh kelembutan. Mari kita terus menjadikan mimbar Rasul sebagai inspirasi dalam tutur, sikap, dakwah, dan hidup kita sehari-hari.(***) Referensi Penulis : Iftitah Rahmawati Foto Ilustrasi AI Editor : Toto Budiman, Iffah Faridatul Hasanah

Read More

GUSJIGANG: Warisan Sunan Kudus Untuk Santri Milenial Sukses di Era Digital

Surabaya – 1miliarsanti.net: Lebaran tahun 2024, niatnya refreshing di sekitar Kudus. Salah satu wisata yang buka adalah Museum Jenang Kudus. Sesuai pengalaman, kalau jalan-jalan di museum terasa kaku. Tapi kalau museumnya Jenang Kudus, bakalan betah berjam-jam disana. Soalnya ada ruangan khusus yang menyajikan sejarah Islam Nusantara yang menginspirasi, ada puisi Islami yang indah nan menyentuh hati nurani serta pemikiran yang memantik rasa bangga. Salah satu pemikiran itu adalah warisan dari Sunan Kudus Sayyid Ja’far Shadiq Azmathkan berupa filosofi hidup GUSJIGANG. Filosofi ini menekankan pada tiga nilai: Gus (bagus akhlaknya), Ji (rajin ngaji), dan Gang (pandai berdagang). 3 nilai karakter itu sangat relate dengan kondisi kehidupan santri milenial di era tantangan teknologi dan globalisasi yang sedang mengalami krisis moralitas, krisis keahlian dan krisis kemandirian. Hadirnya ketiga nilai warisan Sunan Kudus bisa menjadi teladan untuk tangguh dalam menyebarkan kebermanfaatan. Bagaimana relasinya nilai GUSJIGANG terhadap kehidupan di era teknologi ini? Temukan jawabannya sampai akhir di artikel ini ya!. GUS – Bagus Akhlaknya, Penguat Integritas di Era Digital Bagus akhlaknya adalah landasan utama. Tanpa akhlak, ilmu tak akan bermanfaat. Di dunia ini banyak orang yang pintar tapi miskin hati nurani. Yang akhirnya membawa kemudharatan yang merugikan hak orang lain seperti tragedi korupsi yang dilakukan tanpa rasa malu lagi. Good attitude juga sangat penting di dunia karir. Penulis sebagai alumni perguruan tinggi Islam. Saat bekerja, pernah berkata jujur kepada atasan bahwa tidak bisa mengerjakan sesuatu dan butuh belajar untuk bisa mengerjakannya. Di sisi lain ketika penulis bilang mampu mengerjakan sesuatu, hasilnya optimal. Respons atasan yang notabene non muslim mengejutkan penulis: “Kamu itu jujur atas kemampuanmu dan itu lebih baik, dari mereka yang mengaku bisa tapi nihil kerjanya”. Realita itu membuka kesadaran bahwa orang yang jujur dan amanah adalah kunci dihargai. Inilah nilai “Gus” yang sesungguhnya, orang lain mungkin tidak tahu kalau kita seorang santri. Tapi mereka akan tahu kalau kita itu sosok yang berakhlak mulia, menjaga adab dan santun dalam berinteraksi, seperti yang diteladankan oleh Nabi Muhammad dalam surat Al-Qalam ayat 4: وَإِ ﱠﻧكَ ﻟَﻌَﻠَٰﻰ ﺧُﻠُقٍ ﻋَظِﯾمٍ Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” JI – Rajin Ngaji, Motivasi Untuk Terus Berinovasi “Ngaji” dalam konteks Gusjigang tak hanya berarti membaca Al-Qur’an, tetapi juga membaca alam semesta dan realitas sosial kemasyarakatan. Mengaji mengusung semangat Iqra dalam surat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ; اِﻗْرَأْ ﺑِﺎﺳْمِ رَ ﱢﺑكَ اﻟﱠذِيْ ﺧَﻠَقَۚ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!.” (QS. Al-‘Alaq: 1) Ayat ini adalah seruan untuk mencintai ilmu, baik ilmu agama maupun umum. Dari semangat ngaji ini, lahirlah ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Biruni, yang menjadikan Islam berjaya dalam ilmu pengetahuan. Teladan mengaji juga telah dipraktekan oleh santri yaitu Ahmad Fuadi. Dia merupakan santri yang haus akan ilmu sampai kuliah ke Amerika dan Eropa. Ahmad Fuadi ini terkenal sebagai penulis islami best seller, salah satu karyanya Negeri 5 Menara, bahkan karyanya difilmkan. Banyak orang terinspirasi kehidupan seorang santri dari karya beliau. Bahwa nilai-nilai islam bukan hanya tekstual namun penerang hidup ketika menghadapi ujian. Santri milenial harus meneladani semangat ini, belajar tanpa lelah, berpegang pada ilmu pengetahuan, agar mampu memberi solusi bagi umat dan bangsa. GANG – Pandai Berdagang, Berdikari dan Memberdayakan Santri hidup di era dimana AI sudah menggerogoti pekerjaan manusia. Dampaknya pengangguran dimana-mana. Di sisi lain muncul peluang kerja baru di dunia digital. Disitulah santri bisa menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Berdagang mengajarkan diri untuk mandiri tidak bergantung kepada orang lain dan bisa membantu banyak orang dengan keadilan serta kejujuran. Yang diteladankan oleh Nabi Muhammad yang juga seorang saudagar sukses. Mungkin nggak mudah untuk membangun usaha. Tapi ada sosok inspiratif yang bisa menjadi penyemangat santri untuk berwirausaha. Dia adalah sahabat Nabi, Abdurrahman bin Auf. Saat hijrah ke Madinah, ia memulai dari nol tanpa membawa harta. Dia diberikan harta, malah ditolak dan hanya meminta untuk ditunjukkan letak pasar. Dalam beberapa bulan dia sukses berdagang dan sampai akhir hayatnya mampu menginfakkan harta untuk mendukung perjuangan Islam. Di dunia digital ini banyak peluang bisnis yang bisa santri milenial eksplorasi seperti influencer yang mempromosikan produk halal, reseller produk pesantren, affiliate produk UMKM hingga mendirikan startup berbasis syariah. Berdagang bukan hanya untuk cari untung, tapi untuk berbagi, menguatkan umat, dan menjadikan ekonomi sebagai ladang pahala. Karakter GUSJIGANG dari Sunan Kudus memperkuat jati diri santri yang bisa menjadi idaman di masyarakat sebagai sosok yang berakhlak, berintelektual dan berduit. Dan pastinya GUSJIGANG itu bukan hanya warisan untuk dikenang melainkan untuk dilestarikan karena dengan “Gus” mampu dicintai karena akhlaknya. Dengan “Ji” mampu dihormati karena ilmunya. Dan dengan “Gang” mampu menginspirasi dengan semangat bisnisnya. (***) Penulis : Iftitah Rahmawati Foto Ilustrasi AI Editor : Toto Budiman, Faridatul Hasanah

Read More

Mengenal Zaman Keemasan Islam: Puncak Kemajuan Ilmu dan Peradaban

Situbondo – 1miliarsantri.net: Saat mendengar kata “zaman keemasan Islam”, rasanya seperti membuka lembaran kisah megah yang penuh cahaya. Masa di mana dunia Islam bukan hanya memimpin secara spiritual, tetapi juga menjadi poros utama ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dunia. Ini adalah masa ketika masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga menjadi pusat riset dan pendidikan. Pada masa itu para filsuf, ilmuwan dan cendekiawan muslim duduk berdampingan dalam masjid menulis sejarah besar peradaban manusia. Di balik gemerlap peradaban itu tersimpan semangat belajar, toleransi, dan kehausan ilmu yang luar biasa. Yuk, kita kenali lebih dalam seperti apa kilau zaman yang begitu menginspirasi ini. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dan Karya-Karya Monumental Bicara tentang zaman keemasan Islam, maka tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Pada masa ini, para ilmuwan Muslim tidak hanya menerjemahkan karya-karya dari Yunani dan Romawi, tetapi juga menciptakan berbagai penemuan dan teori orisinal yang menjadi fondasi ilmu modern. Bayangkan saja saat Eropa masih berada di masa kegelapan, dunia Islam justru telah membangun perpustakaan raksasa seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad. Di tempat inilah para pemikir, ilmuwan, dan penerjemah dari berbagai latar belakang berkumpul, berdiskusi, dan menulis karya-karya monumental. Beberapa nama besar dari zaman keemasan Islam yang mungkin kamu kenal antara lain Al-Khwarizmi yang disebut sebagai bapak aljabar, Ibnu Sina dengan ensiklopedia medis-nya Al-Qanun fi al-Tibb, dan Al-Haytham yang merupakan pelopor dalam ilmu optik. Mereka tidak hanya menulis buku, tapi  menciptakan sistem ilmiah yang masih digunakan hingga saat ini. Yang menarik, semangat zaman keemasan Islam bukan hanya soal pencapaian individu, tetapi didukung penuh oleh negara dan masyarakat. Khalifah dari Dinasti Abbasiyah memberikan perlindungan dan dukungan finansial bagi para ilmuwan dan seniman. Hal ini meciptakan lingkungan yang subur bagi lahirnya karya-karya besar. Bagaimana Zaman Keemasan Islam Menjadi Peradaban yang Membentuk Dunia? Kemajuan zaman keemasan Islam tidak hanya dirasakan dalam ilmu eksakta, tapi juga dalam bidang ilmu filsafat, sastra, seni arsitektur, hingga sistem pemerintahan. Kota-kota besar seperti Baghdad, Kairo dan Cordoba menjadi pusat peradaban global dan tempat di mana toleransi, kebudayaan serta ilmu tumbuh bersama. Dalam bidang arsitektur, kita juga bisa melihat keindahan Alhambra di Spanyol dan kemegahan Masjid Agung Cordoba yang mencerminkan keterampilan arsitek Muslim yang luar biasa. Dalam bidang sastra, muncul karya-karya puisi dan prosa dari penyair-penyair hebat seperti Rumi dan Al-Mutanabbi. Salah satu yang paling menarik dalam zaman keemasan Islam adalah semangat keterbukaan terhadap pengetahuan dari luar. Muslim pada masa itu tidak segan untuk belajar dari peradaban lain bahkan menerjemahkan karya-karya dari India, Persia serta Yunani, lalu mengembangkan ide-ide tersebut sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman. Bahkan dalam sistem pendidikan, sekolah-sekolah dan madrasah didirikan hampir di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pelajaran bukan hanya soal agama, tapi juga astronomi, matematika, logika, dan kedokteran. Masa itu juga adalah bukti bahwa Islam pernah menjadi motor utama peradaban dunia, dan itu bisa menjadi inspirasi besar untuk masa depan. Zaman keemasan Islam menunjukkan bahwa integrasi antara budaya, ilmu dan iman bisa menciptakan kemajuan yang luar biasa. Hal ini menjadi pelajaran berharga buat kita semua bahwa dengan semangat belajar yang tinggi, terbuka dengan ilmu, dan saling menghargai perbedaan maka umat bisa kembali bangkit dan tentunya bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia. Warisan Berharga dari Zaman Keemasan Islam Zaman keemasan Islam bukan sekadar masa lalu yang dilukis dengan tinta emas, tapi warisan intelektual dan spiritual yang bisa terus kita gali. Saat kita mengenang masa tersebut, kita tak hanya melihat kejayaan yang pernah ada, tetapi juga membuka harapan bahwa masa itu bisa menjadi inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih cerah. Jadi, mengenal zaman keemasan Islam bukan hanya pelajaran sejarah, tapi juga panggilan untuk terus belajar, berinovasi, dan berkontribusi. Karena siapa tahu, generasi kita juga bisa mengukir masa keemasan baru dengan semangat yang sama seperti para pendahulu kita.** Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Foto Ilustrasi Editor : Thamrin Humris

Read More

Pawai Obor Meriahkan Peringatan 1 Muharram 1447 H: Tradisi Bermakna dalam Menyambut Tahun Baru Islam

Surabaya – 1miliarsantri.net : Pada Jumat, 27 Juni 2025, umat Islam di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Momen ini bukan sekadar penanda pergantian tahun dalam kalender Hijriyah, tetapi juga peringatan atas peristiwa besar dan penuh makna dalam sejarah Islam, yaitu hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW dari Kota Mekah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Setelah 12 tahun berdakwah di Mekah, Rasulullah Muhammad SAW dan para pengikutnya menghadapi penindasan dari kaum Quraisy. Pada tahun ke-13 kenabian, sekelompok penduduk Yatsrib (kelak dikenal sebagai Madinah) menawarkan perlindungan melalui Bai’at al-Aqabah. Malam hari, Rasulullah bersama sahabatnya, Abu Bakar As-Shiddiq, meninggalkan Mekah secara diam-diam dan berlindung di Gua Tsur selama tiga hari untuk menghindari pengejaran.Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Madinah melalui rute yang tidak biasa. Setibanya di Madinah pada 12 Rabiul Awal 1 H (27 September 622 M), mereka disambut dengan penuh sukacita. Rasulullah memilih tempat tinggal di rumah dua anak yatim, Sahl dan Suhail bin Amr, yang menjadi lokasi pembangunan Masjid Nabawi. Di Madinah, beliau juga menyusun Piagam Madinah, sebuah konstitusi yang mengatur kehidupan masyarakat multikultural dan menjamin hak-hak setiap individu, termasuk non-Muslim. Peristiwa hijrah ini bukan hanya peristiwa fisik perpindahan tempat, melainkan menjadi titik balik kebangkitan peradaban Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan, keimanan, dan persaudaraan. Hari tersebut menjadi waktu yang istimewa dan bersejarah bagi umat Islam, karena selain memperingati momentum hijrah, juga dijadikan ajang introspeksi dan pembaruan diri. Banyak kegiatan bermanfaat dilakukan umat Islam pada hari itu, mulai dari pengajian, dzikir bersama, tausiyah, hingga aksi sosial dan spiritual. Semua itu bermuara pada satu tujuan: menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih beriman dalam menjalani kehidupan.  Salah satu tradisi khas masyarakat Islam Indonesia dalam menyambut Tahun Baru Islam adalah pawai obor. Tradisi pawai obor telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya keislaman yang hidup di berbagai daerah, dari desa hingga kota. Pawai obor biasanya digelar pada malam 1 Muharram, selepas salat Isya. Ratusan hingga ribuan masyarakat berkumpul di titik awal yang umumnya berada di sekitar masjid atau alun-alun kota, kemudian berjalan beriringan menyusuri jalan-jalan kampung atau kota sambil membawa obor menyala di tangan. Obor yang digunakan terbuat dari bahan sederhana—sebatang bambu sebagai pegangan, kain sebagai sumbu, dan minyak tanah sebagai bahan bakar. Saat dinyalakan, obor tersebut memancarkan cahaya kuning kemerahan yang menggugah suasana malam menjadi hangat, religius, dan penuh semangat. Obor-obor tersebut tidak hanya menjadi sumber penerangan, tetapi juga simbol harapan, semangat, dan petunjuk Ilahi yang menerangi perjalanan hidup umat manusia. Dalam arak-arakan pawai, peserta tak hanya berjalan membawa obor. Mereka juga melantunkan shalawat, zikir, doa-doa keselamatan, hingga menyanyikan lagu-lagu religi yang penuh semangat. Beberapa kelompok menghadirkan kesenian marawis, rebana, hingga drum band dari siswa madrasah dan sekolah-sekolah Islam. Alunan musik tradisional ini turut menghidupkan suasana dan menjadi sarana dakwah kultural yang efektif, terutama bagi generasi muda. Lebih dari sekadar perayaan seremonial, pawai obor sarat makna filosofis dan spiritual. Ia menjadi perwujudan semangat hijrah yang diajarkan Rasulullah—yakni berpindah dari kegelapan menuju cahaya, dari keburukan menuju kebaikan, dari kesesatan menuju jalan lurus yang diridai Allah SWT. Cahaya obor melambangkan petunjuk Tuhan yang senantiasa menyinari perjalanan hidup manusia, agar tidak tersesat dalam gelapnya dunia yang penuh tantangan dan cobaan. Tak hanya bernilai spiritual, tradisi ini juga memainkan peran penting dalam pelestarian budaya lokal. Pawai obor mencerminkan harmoni antara nilai-nilai ajaran Islam dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Dalam pelaksanaannya, sering kali masyarakat setempat memadukan unsur adat, budaya daerah, dan nuansa Islam dalam satu kesatuan kegiatan. Anak-anak dan remaja yang ikut serta dalam pawai sejak dini dikenalkan pada tradisi ini, sehingga nilai-nilai sejarah, estetika, dan identitas keagamaan serta kebangsaan dapat tertanam kuat dalam jiwa mereka. Kegiatan ini juga memperkuat solidaritas sosial dan mempererat tali silaturahmi antarwarga. Dalam semangat kebersamaan, seluruh lapisan masyarakat—baik anak-anak, remaja, orang tua, tokoh agama, hingga aparat pemerintah—turut serta dalam pawai dengan antusias. Tidak sedikit pula yang datang dari luar daerah untuk menyaksikan atau ikut berpartisipasi, menjadikan pawai obor sebagai ajang wisata religi yang layak dilestarikan.  Selain itu, banyak penyelenggara pawai obor yang menyisipkan kegiatan sosial seperti santunan anak yatim, pembagian makanan gratis, hingga kampanye kebersihan dan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa pawai obor juga menjadi wahana aktualisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin—Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kontributor : Misbah Harahap Editor : Toto Budiman

Read More

Potret Sejarah Yahudi di bawah Kekuasaan Islam yang Penuh dengan Toleransi

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Bayangkan sebuah masa ketika dua agama besar dunia hidup berdampingan, bukan dalam konflik, tetapi dalam bingkai saling menghormati dan bekerja sama. Itulah gambaran singkat dari Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim. Dalam berbagai catatan sejarah, hubungan antara umat Muslim dan Yahudi tidak selalu dipenuhi ketegangan seperti yang sering kita dengar hari ini. Justru pada masa awal kekuasaan Islam, Yahudi mengalami masa toleransi, bahkan kemajuan intelektual dan budaya yang luar biasa. Namun, sejarah ini tidak hanya berbicara soal harmoni, tapi juga tentang dinamika, diskriminasi, dan perubahan sosial yang kompleks. Kabar baiknya, dalam kesempatan kali ini, kami  akan mengulas lebih dalam tentang bagaimana Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim menjadi potret penuh warna, dari masa keemasan hingga masa-masa sulit. Siapkah Anda menyelami kisah sejarah yang sering kali terlupakan ini? Baik, mari kita sama-sama perhatikan penjelasannya di bawah ini. Awal Hubungan Toleransi dan Koeksistensi yang Nyata Masa awal Islam menandai titik balik dalam hubungan antara umat Muslim dan Yahudi. Di berbagai wilayah kekuasaan Islam, umat Yahudi diperlakukan dengan pendekatan yang lebih inklusif dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya. Beberapa bentuk pendekatan tersebut, seperti: 1. Status Dhimmi (Perlindungan dengan Syarat) Dalam sistem pemerintahan Islam klasik, Yahudi digolongkan sebagai ahl al-kitab dan diberikan status dhimmi. Artinya, mereka adalah kelompok non-Muslim yang mendapat perlindungan hukum dari negara Islam, selama memenuhi kewajiban tertentu, dan yang paling utama adalah membayar pajak khusus yang disebut jizya. Meskipun menjadi warga negara kelas dua secara administratif, status ini memungkinkan umat Yahudi untuk hidup damai dalam komunitas mereka sendiri. 2. Kebebasan Beragama dan Tradisi Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim mencatat bahwa dalam banyak kasus, komunitas Yahudi bebas menjalankan ajaran agamanya. Mereka diperbolehkan membangun dan memelihara sinagoge, menjalankan hukum mereka sendiri dalam urusan internal, serta melestarikan budaya dan bahasa mereka tanpa paksaan untuk memeluk Islam. Peran dalam Pemerintahan dan Masyarakat Tak hanya hidup berdampingan, beberapa tokoh Yahudi bahkan dipercaya untuk mengisi jabatan penting di pemerintahan Islam. Mereka dikenal sebagai penasehat, dokter kerajaan, penerjemah naskah klasik, hingga ekonom istana. Kepercayaan ini menunjukkan tingkat keterbukaan masyarakat Islam terhadap kompetensi intelektual dan profesional umat Yahudi. 1. Zaman Keemasan di Andalusia dan Baghdad Wilayah Andalusia, di bawah kekuasaan Islam di Spanyol, menjadi saksi dari masa keemasan komunitas Yahudi. Awalnya komunitas Yahudi di bawah kekuasaan Muslim mencatat bahwa ini adalah periode ketika ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, dan seni berkembang pesat di kalangan Yahudi. Sejarah mencatat bahwa kejayaan Islam di Andalusia dan Baghdad bukan sekadar dongeng keemasan. Keduanya pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, budaya, dan toleransi yang memukau dunia. Namun, yang jarang disorot adalah bagaimana peradaban yang begitu megah itu runtuh dan berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap komunitas Muslim yang pernah berjaya di dalamnya. Peradaban tanpa kekuatan & solidaritas tidak akan bertahan. Ilmu, seni, dan toleransi memang penting, tapi tanpa perlindungan politik, militer, dan persatuan umat, semua bisa hancur seketika. Maka, menjaga identitas keislaman dan kekuatan ukhuwah (persaudaraan) menjadi bagian penting dari pertahanan peradaban.  2. Hasdai bin Shaprut dan Penerjemahan Ilmu Pengetahuan Hasdai bin Shaprut adalah tokoh Yahudi terkemuka yang menjabat sebagai penasihat Khalifah Abdurrahman III. Ia memainkan peran penting dalam pengembangan pusat penerjemahan naskah ilmiah, yang menjembatani pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa. 3. Maimonides (Filosof Yahudi dalam Dunia Islam) Maimonides, seorang tokoh besar dalam sejarah Yahudi, lahir dan besar di Cordoba. Ia menulis karya-karya besar tentang hukum, kedokteran, dan filsafat yang masih dihormati hingga kini. Menariknya, karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Islam klasik. Masa Sulit: Diskriminasi, Konflik, dan Kebijakan yang Berubah Namun, toleransi tidak selalu menjadi warna tunggal dalam Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim. Terdapat juga masa-masa kelam yang patut dicatat. Beberapa masa-masa kelam tersebut, meliputi: 1. Pembatasan Sosial dan Hukum Meskipun diberikan kebebasan beragama, umat Yahudi kerap dibatasi dalam ruang geraknya. Mereka dilarang membawa senjata, menunggang kuda, hingga memberikan kesaksian melawan Muslim di pengadilan. Dalam beberapa wilayah, pakaian khusus pun diwajibkan agar mereka mudah dikenali. 2. Kekerasan dan Ketidakstabilan Politik Beberapa peristiwa kekerasan menodai sejarah ini, seperti kerusuhan di Cordoba dan Granada pada abad ke-11 yang menyebabkan kematian banyak orang Yahudi. Di Afrika Utara, terutama di Maroko dan Libya, mereka juga kerap mengalami diskriminasi dan dipaksa tinggal di ghetto yang terisolasi. 3. Faktor Penguasa dan Kebijakan Lokal Yang menarik dari Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim adalah bagaimana kondisi mereka sangat bergantung pada penguasa yang sedang berkuasa. Di bawah pemimpin yang progresif, mereka hidup damai dan makmur. Namun, di bawah pemimpin yang keras atau terpengaruh oleh tekanan politik, diskriminasi bisa meningkat tajam. Mewarisi Jejak Sejarah yang Kompleks Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim menyajikan sebuah kisah yang tidak hitam-putih. Di satu sisi, terdapat masa di mana toleransi dan kolaborasi menciptakan peradaban yang maju dan terbuka. Di sisi lain, sejarah ini juga menyimpan catatan kelam tentang diskriminasi, pembatasan, dan kekerasan. Tragedi Andalusia dan Baghdad bukan hanya cerita masa lalu, tapi peringatan keras bagi generasi kini. Jangan sampai umat Islam mengulangi kesalahan yang sama: sibuk membanggakan masa silam tapi lupa membangun kekuatan hari ini. Sebab musuh peradaban tak akan pernah tidur, sementara umat sering kali terlelap dalam nostalgia. Sejarah ini menjadi cermin bahwa harmoni bisa terwujud, jika kita mau belajar dari masa lalu dan menghargai kemanusiaan di atas segalanya. Dengan memahami keseluruhan dinamika, kita dapat melihat sejarah antar umat beragama lebih kompleks daripada yang sering digambarkan. Menelusuri sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim, memberi pelajaran tentang pentingnya konteks sejarah dan nilai toleransi sejati. Jika dunia hari ini ingin belajar dari masa lalu, maka kisah ini adalah salah satu cermin berharga membangun masa depan yang saling menghargai. Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Toto Budiman

Read More