Kesenjangan Regulasi AI Picu Kekhawatiran Negara Berkembang

Brussels – 1miliarsantri.net: Penerapan resmi Artificial Intelligence Act (AI Act) oleh Uni Eropa mulai 1 Agustus 2024 menandai era baru pengaturan kecerdasan buatan (AI) secara komprehensif. Regulasi ini diberlakukan bertahap selama 6 hingga 36 bulan ke depan, menjadi tonggak penting dalam memastikan penggunaan AI yang aman, transparan, dan menghormati hak asasi manusia. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul kekhawatiran serius bahwa kesenjangan regulasi antara Eropa dan negara-negara berkembang akan membuka celah bagi perusahaan teknologi global untuk memanfaatkan wilayah yang pengawasannya lemah sebagai lokasi eksperimen teknologi baru. AI Act: Standar Ketat Uni Eropa untuk Risiko Tinggi AI Act mengklasifikasikan sistem AI berdasarkan tingkat risiko. Sistem berisiko tinggi, seperti pengenalan wajah, penilaian otomatis dalam perekrutan, dan pemantauan massal, diwajibkan menjalani audit independen, memenuhi standar transparansi teknis, serta menyampaikan laporan berkala. Sementara itu, sistem yang dianggap menimbulkan risiko tak dapat diterima, seperti manipulasi perilaku menggunakan subliminal techniques atau social scoring oleh pemerintah, dilarang total. Tujuan utama AI Act adalah membangun kepercayaan publik terhadap AI sekaligus melindungi hak-hak dasar warga Eropa. Namun, laporan European Digital Rights (EDRi) pada Juli 2025 menyoroti fenomena regulatory arbitrage di mana perusahaan mencari pasar dengan regulasi longgar untuk menguji sistem yang mungkin gagal memenuhi standar ketat Eropa. Menurut EDRi, kondisi ini berpotensi menciptakan ekosistem global yang timpang, di mana masyarakat di negara dengan regulasi lemah menjadi “kelinci percobaan” teknologi berisiko tanpa perlindungan memadai. Negara Berkembang di Persimpangan Risiko dan Kebutuhan Organisasi pemantau hak digital seperti Access Now dan AlgorithmWatch menilai, tren penerapan AI di negara berkembang semakin mengkhawatirkan. Wilayah dengan perlindungan data rendah dan akses hukum terbatas menjadi target implementasi sistem AI skala besar, seperti pengenalan wajah di ruang publik atau penilaian otomatis untuk distribusi bantuan sosial. Masalah utamanya adalah mekanisme koreksi hampir tidak ada ketika sistem melakukan kesalahan, sehingga hak-hak warga terancam. Meski UNESCO telah merilis rekomendasi etika global AI sejak 2021, adopsinya masih minim. Data Global Partnership on Artificial Intelligence (GPAI) menunjukkan, hanya 12% negara di Afrika dan Asia Selatan yang telah memiliki kerangka hukum AI yang berjalan efektif hingga pertengahan 2025. Ketiadaan regulasi ini memperbesar ketimpangan digital dan membuka peluang terjadinya diskriminasi algoritmik. Laporan tahunan Center for AI and Digital Policy (CAIDP) pada 2025 menyebut, lebih dari 60% negara belum memiliki kebijakan AI yang mengikat secara hukum. Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara disebut sebagai dua wilayah paling rentan karena ketergantungan tinggi pada platform asing dan lemahnya infrastruktur hukum. CAIDP juga mencatat, dalam dua tahun terakhir terdapat sekitar 30 proyek uji coba AI oleh korporasi multinasional di luar yurisdiksi utama mereka, banyak di antaranya tanpa pengawasan publik. Proyek ini mencakup analisis emosi di aplikasi pendidikan, penyortiran dokumen pemerintah secara otomatis, hingga pengenalan wajah di perkotaan. Tantangan Global: Dari Etika hingga Geopolitik Laporan Global AI Index 2025 dari Tortoise Media mengungkap hanya 10 negara yang memiliki kombinasi kuat antara inovasi AI, infrastruktur, dan tata kelola hukum. Negara dengan skor rendah pada indikator governance cenderung memiliki celah hukum yang mudah dimanfaatkan oleh aktor teknologi internasional. Organisasi Digital Freedom Forum menyoroti bahwa sebagian besar negara berkembang belum memiliki mekanisme ganti rugi hukum ketika AI menyebabkan kerugian atau diskriminasi. Bahkan, sering kali data pribadi warga digunakan untuk melatih model AI tanpa persetujuan sah, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip keadilan data internasional. Meski belum ada skandal besar yang mencuat, para analis memperingatkan bahwa penundaan regulasi hanya akan memperbesar risiko di masa depan. Dalam konteks ini, AI bukan sekadar isu teknologi, melainkan juga persoalan geopolitik dan ekonomi global. Ke depan, AI Act Uni Eropa diprediksi akan menjadi tolok ukur global. Namun, keberhasilan standar ini untuk menciptakan dampak positif yang merata sangat bergantung pada kerja sama lintas kawasan. Tanpa harmonisasi regulasi, AI justru berpotensi memperdalam ketimpangan global dalam hal kontrol, akuntabilitas, dan keadilan algoritmik. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto By AI

Read More

Mesir Teken Kontrak Impor Gas dari Israel

Kairo – 1miliarsantri.net : Pemerintah Mesir secara resmi menandatangani kontrak impor gas alam dari Israel senilai lebih dari 35 miliar dolar AS (sekitar Rp570 triliun). Kesepakatan ini akan berlaku selama dua dekade, dengan pasokan gas pertama dijadwalkan pada 2026. Gas akan disalurkan dari ladang Leviathan di Laut Mediterania menuju terminal pengolahan di Mesir melalui pipa bawah laut. Kesepakatan ini melibatkan perusahaan energi besar seperti NewMed Energy, Chevron, dan Israel Natural Gas Lines. Kontrak baru memungkinkan ekspor gas dari ladang Leviathan naik dari 4,5 miliar meter kubik per tahun menjadi hampir 12 miliar meter kubik pada 2029. Selama masa berlaku hingga 2040, total volume pasokan akan mencapai 130 miliar meter kubik. Mesir, yang beberapa tahun lalu masih menjadi eksportir gas, kini beralih menjadi importir akibat menurunnya produksi di ladang Zohr dan meningkatnya konsumsi domestik. Gas impor dari Israel akan diolah menjadi LNG (liquefied natural gas) di terminal Mesir, kemudian diekspor kembali terutama ke pasar Eropa. Langkah ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan posisi Mesir sebagai pusat distribusi energi di kawasan Mediterania Timur. Namun, pengumuman kontrak ini terjadi di tengah konflik sengit Israel–Palestina di Gaza, yang membuat hubungan politik kedua negara memanas. Pemerintah Mesir sebelumnya secara terbuka mengutuk serangan Israel dan berperan sebagai mediator perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Kontras antara retorika politik dan kebijakan energi ini memicu kritik, baik di dalam negeri maupun di komunitas internasional. Menteri Energi Israel, Eli Cohen, menyebut kontrak ini sebagai “yang terbesar dalam sejarah Israel” dan menganggapnya sebagai bukti keberhasilan diplomasi energi pasca Abraham Accords 2020. Bagi Mesir, kesepakatan ini dipandang lebih hemat biaya dibanding impor LNG langsung dari pasar global, mengingat negara itu sempat membeli hingga 160 kargo LNG pada awal 2025 untuk memenuhi kebutuhan energi. Krisis Energi dan Tekanan Geopolitik Perubahan posisi Mesir dari eksportir menjadi importir gas tidak lepas dari tantangan serius dalam sektor energi. Penurunan produksi domestik, lonjakan konsumsi, serta fluktuasi harga energi global mendorong Mesir mencari sumber pasokan yang lebih stabil dan ekonomis. Krisis pasokan semakin parah saat perang Israel–Iran meletus pada Juni 2025, menyebabkan penghentian sementara ekspor gas dari ladang Leviathan dan Karish. Selama periode tersebut, Mesir terpaksa beralih ke bahan bakar alternatif seperti solar dan LNG, yang biayanya lebih tinggi dan berdampak buruk terhadap lingkungan. Kondisi ini membuat Mesir semakin rentan terhadap gangguan pasokan energi. Setiap gejolak politik atau ketegangan keamanan di kawasan berpotensi mengganggu kelancaran suplai dan menekan perekonomian domestik. Penurunan pendapatan dari Terusan Suez, yang menjadi salah satu sumber devisa utama negara, turut memperburuk situasi. Sejumlah pengamat internasional memandang kesepakatan gas dengan Israel sebagai kompromi antara kebutuhan pragmatis dan tekanan politik. Mesir menghadapi pilihan sulit: mengamankan pasokan energi demi stabilitas ekonomi atau mempertahankan konsistensi sikap politik terhadap Israel. Dilema Moral dan Citra Diplomasi Mesir Reaksi publik Mesir terhadap kesepakatan ini cukup keras. Demonstrasi pro-Palestina merebak di berbagai kota, menuntut pemerintah mengambil langkah tegas terhadap Israel. Banyak warga menilai kontrak gas ini bertentangan dengan sikap resmi Mesir yang mengecam operasi militer Israel di Gaza. Bagi Mesir, tantangan utamanya adalah mempertahankan citra sebagai pendukung Palestina sekaligus mitra strategis dalam diplomasi Timur Tengah. Sebagai salah satu mediator utama konflik Gaza, Mesir selama ini memainkan peran penting dalam memfasilitasi perundingan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan. Namun, hubungan energi yang semakin erat dengan Israel berisiko mengikis kepercayaan publik dan kredibilitas diplomatiknya. Sejak 2020, Israel telah memasok sekitar 23,5 miliar meter kubik gas ke Mesir di bawah perjanjian awal senilai 60 miliar meter kubik. Kontrak baru ini memperluas hubungan tersebut, sekaligus memperkuat ketergantungan Mesir pada pasokan gas Israel. Pertanyaan yang kini muncul adalah apakah Mesir akan mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan prinsip politik? Ataukah tekanan kebutuhan energi akan memaksa Kairo terus memilih jalur pragmatis, meski mengorbankan sebagian kredibilitas di mata dunia Arab? Bagi pemerintah Mesir, kesepakatan senilai 35 miliar dolar AS ini adalah upaya untuk mengamankan pasokan energi jangka panjang, menghindari lonjakan biaya impor, dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah situasi global yang tidak menentu. Namun, konsekuensi politiknya dapat menjadi beban diplomatik yang panjang, terutama jika konflik Gaza terus berlanjut dan opini publik domestik semakin vokal. Pada akhirnya, kebijakan ini mencerminkan dilema klasik banyak negara di kawasan: bagaimana menyeimbangkan kepentingan nasional dalam bidang energi dan ekonomi dengan komitmen moral serta posisi politik di panggung internasional. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

PSC China Masuk Tanpa Perang Tapi Tinggalkan Jejak Diplomasi

Surabaya – 1miliarsantri.net : China semakin mengandalkan perusahaan keamanan swasta atau Private Security Companies (PSC) untuk melindungi proyek investasi luar negeri, terutama di negara-negara mitra Belt and Road Initiative (BRI). Langkah ini dianggap sebagai strategi diplomasi praktis yang menggantikan kehadiran militer formal, sekaligus memperkuat pengaruh politik Beijing di wilayah target. Berbeda dengan negara-negara Barat yang sering menggunakan perusahaan militer swasta (PMC) dengan struktur bersenjata penuh, PSC asal China biasanya beroperasi sebagai pelindung non-tempur. Mereka tidak dibekali senjata berat dan tidak terlibat langsung dalam konflik bersenjata. Fokus mereka adalah menciptakan stabilitas di sekitar proyek infrastruktur China, seperti pelabuhan, jalur kereta, tambang, hingga kawasan industri strategis. Menurut laporan World Economic Forum, China memiliki lebih dari 5.000 perusahaan keamanan domestik. Namun, hanya sebagian kecil yang mendapat izin beroperasi di luar negeri. Diperkirakan sekitar 20 PSC aktif secara internasional dengan total personel 3.000–4.000 orang, tersebar di Pakistan, Irak, Sudan, Myanmar, dan negara lain. Keberadaan PSC di luar negeri adalah respons terhadap meningkatnya risiko keamanan proyek BRI. Namun, di balik fungsi pengamanan, PSC juga menjadi alat diplomasi informal. Dengan menghindari pengerahan militer resmi, Beijing berupaya mempertahankan citra sebagai kekuatan ekonomi yang tidak melakukan intervensi militer terbuka di negara lain. Contoh yang menonjol adalah di Myanmar, di mana Geopolitical Monitor melaporkan kerja sama antara pemerintah junta dan perusahaan-perusahaan China membentuk entitas keamanan gabungan. Tujuannya adalah melindungi proyek strategis di sepanjang China-Myanmar Economic Corridor (CMEC). Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas China dalam menyesuaikan diri dengan struktur kekuasaan lokal tanpa melibatkan kekuatan militer formal. Dalam esai Deep Blue Diplomacy: Soft Power and China’s Antipiracy Operations, Erickson menyebut penggunaan PSC sebagai bentuk “diplomasi tanpa bendera”. Menurutnya, pengerahan militer dapat memicu resistensi internasional, sementara PSC memberi fleksibilitas, meminimalkan konflik terbuka, dan tetap mempertahankan kehadiran negara di lapangan. Tantangan, Kritik, dan Prospek ke Depan Selain sebagai pelindung proyek, PSC berperan membangun kepercayaan dengan pemerintah lokal. Strateginya mencakup perekrutan tenaga kerja lokal, penggunaan bahasa dan hukum setempat, serta beroperasi sesuai struktur sosial yang ada. Hal ini membuat PSC lebih mudah diterima masyarakat dibanding kehadiran militer asing. Namun, pendekatan ini tidak bebas risiko. Dalam konteks hukum internasional, status PSC sering kali tidak jelas, sehingga rawan penyalahgunaan wewenang. Beberapa negara mitra mulai meninjau ulang legalitas PSC asal China setelah muncul laporan gesekan antara warga lokal dan petugas keamanan asing di proyek BRI. Di Asia Tengah, masyarakat sipil menilai kehadiran PSC menambah tekanan terhadap komunitas lokal. Di Pakistan, PSC China pernah memicu ketegangan setelah dianggap mengambil alih peran aparat keamanan nasional. Insiden keamanan di sejumlah proyek juga memunculkan kekhawatiran tentang transparansi operasi mereka. China menggunakan PSC sebagai instrumen diplomasi yang efektif, sebuah bentuk kehadiran negara yang “tanpa seragam” dan “tanpa bendera”. Dengan status komersial, PSC menjaga aset luar negeri tanpa stigma intervensi militer. Strategi ini memungkinkan Beijing mempertahankan pengaruhnya sambil menghindari respons negatif di negara-negara dengan sejarah traumatis terhadap militer asing. Hingga kini, belum ada laporan resmi keberadaan PSC China di Indonesia. Namun, dengan proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang melibatkan investasi China, muncul dugaan bahwa pendekatan serupa dapat digunakan, terutama jika risiko keamanan meningkat. Selain fungsi keamanan, kehadiran PSC memiliki makna simbolis: mereka menjadi jembatan kepercayaan antara Beijing dan negara tujuan, tanpa memerlukan nota diplomatik formal. Beberapa analis hubungan internasional melihat PSC sebagai “sinyal diam” dari keseriusan China menjaga stabilitas dan investasinya. Ke depan, China tampaknya akan terus mengembangkan model diplomasi berbasis PSC sebagai bagian dari soft power. Strategi ini terbukti fleksibel dan relatif diterima di banyak negara. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kemampuan PSC beradaptasi dengan hukum, budaya, dan sensitivitas politik lokal. Jika gagal, bukan hanya proyek BRI yang terancam, tetapi juga citra diplomasi damai yang ingin dibangun Beijing. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

Warga Suriah Berebutan Mencari Emas di Sungai Eufrat

Damaskus – 1miliarsantri.net: Fenomena ratusan warga Suriah menyerbu Sungai Eufrat untuk mencari emas menjadi sorotan internasional. Aktivitas ini terjadi di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang membuat banyak orang terpaksa mencari cara-cara ekstrem demi bertahan hidup. Menurut laporan Al-Arabiya yang dikutip SindoNews, ratusan warga datang ke wilayah timur Suriah seperti Deir ez-Zor, membawa sekop, cangkul, dan ember. Mereka menggali lumpur di dasar sungai yang mengering akibat penurunan debit air dalam beberapa bulan terakhir. Rumor yang menyebar di kalangan warga menyebutkan bahwa dasar Sungai Eufrat menyimpan endapan emas yang baru terlihat setelah air surut. Meski belum ada bukti kuat, rumor ini sudah cukup menjadi pemicu. Bagi banyak warga, peluang sekecil apa pun layak dicoba di tengah kesulitan ekonomi yang mencekik. Seorang warga mengaku bukan sepenuhnya percaya pada mitos emas itu. “Kami tidak punya pekerjaan. Harga makanan terus naik. Kalau ada kemungkinan menemukan sesuatu di sungai, tentu kami akan mencobanya,” ujarnya. Sejak konflik bersenjata pecah pada 2011, perekonomian Suriah hancur. World Food Programme (WFP) mencatat, pada 2024 lebih dari 12 juta warga Suriah mengalami ketidakamanan pangan akut. Inflasi melonjak, mata uang terdepresiasi, dan bantuan internasional berkurang karena perubahan fokus donor global. International Rescue Committee (IRC) dalam laporan tahunan menempatkan Suriah sebagai salah satu negara dengan sistem perlindungan sosial paling rapuh. Sebagian besar infrastruktur ekonomi rusak, dan sektor swasta belum pulih. Akibatnya, banyak warga bergantung pada cara-cara informal untuk bertahan hidup—termasuk mencari logam mulia di dasar sungai. Selain krisis ekonomi, surutnya air Sungai Eufrat sendiri merupakan masalah besar. Penurunan debit terjadi karena kemarau panjang, perubahan iklim, serta pembangunan bendungan di hulu sungai oleh Turki dan Irak. Dampaknya dirasakan jutaan warga di Suriah dan Irak, mulai dari pasokan air minum, pertanian, hingga perikanan. Antara Harapan, Risiko, dan Ketidakpastian Pemerintah Suriah sejauh ini belum memberikan tanggapan resmi terkait aktivitas pencarian emas tersebut. Tidak ada kejelasan apakah kegiatan ini akan diatur, dilarang, atau dibiarkan. Sejumlah pengamat menilai hal ini sebagai tanda lemahnya kapasitas negara dalam mengelola sumber daya dan melindungi kesejahteraan rakyatnya pascakonflik. Fenomena ini juga menimbulkan spekulasi bernuansa religi. Beberapa pengguna media sosial mengaitkannya dengan hadis yang menyebutkan bahwa Sungai Eufrat akan mengering dan menampakkan “gunung emas” sebagai tanda akhir zaman. Meski begitu, banyak ulama dan akademisi mengingatkan agar masyarakat tidak menjadikan tafsir keagamaan sebagai dasar untuk tindakan spekulatif, terlebih di tengah situasi sosial yang rapuh. Analis Timur Tengah Charles Lister dari Middle East Institute menegaskan bahwa fenomena ini lebih mencerminkan krisis ekonomi struktural dibanding sekadar keyakinan religius. “Orang tidak mencari emas karena iman atau mitos, tetapi karena kelaparan,” tulisnya. Sementara itu, ekonom Suriah Jihad Yazigi yang berbasis di Lebanon mengatakan bahwa lapangan kerja formal hampir tidak ada di Suriah saat ini. “Ketika negara tidak mampu memberikan pekerjaan atau subsidi, masyarakat akan mencari cara apa pun untuk bertahan hidup, termasuk mengejar rumor tentang emas,” jelasnya kepada The National. Fenomena ini pun memunculkan potensi masalah baru. Ada laporan tentang kelompok bersenjata lokal yang mulai memungut “biaya masuk” dari warga yang ingin menggali di area tertentu. Ini menambah risiko konflik horizontal di antara warga yang berebut lokasi pencarian, sekaligus memperbesar bahaya kesehatan karena bekerja di lingkungan berlumpur tanpa perlindungan memadai. Jika aktivitas ini terus dibiarkan tanpa regulasi, masalah hukum dan sosial bisa muncul dalam waktu dekat. Belum ada kepastian apakah emas benar-benar ditemukan, atau sekadar ilusi yang dikuatkan oleh harapan dan keterdesakan ekonomi. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada data resmi tentang jumlah warga yang terlibat atau hasil pencarian mereka. Namun satu hal yang jelas: apa yang terjadi di Sungai Eufrat adalah cermin nyata dari penderitaan rakyat Suriah, tentang hilangnya lapangan kerja, harga yang terus melambung, dan negara yang gagal hadir. Di tengah keterdesakan itu, harapan mereka kini tergantung pada dasar sungai yang mengering, entah untuk menemukan emas atau sekadar secercah harapan untuk bertahan hidup. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

Sound Horeg Pernah Dipakai Sebagai Senjata Korea Selatan Goyang Korea Utara, Begini Ceritanya!

Sound Horeg Senjata Suara Raksasa Unik Korea Selatan Diperbatasan Korea Utara Bekasi – 1miliarsantri.net: Perang tidak hanya monopoli senjata berpeluru, meriam dengan bola api dahsyat atau pesawat tempur canggih serta kapal perang berpeluru kendali, ini dibuktikan oleh Korea Selatan ketika berhadapan dengan Korea Utara menggunakan “Sound Horeg” atau “Pengeras Suara Raksasa”, sebagai senjata dan alat propaganda. Kalau kamu kira perang cuma soal senjata dan peluru, maka perkiraanmu salah besar! Karena ada sejarah dunia yang unik, di mana Korea Selatan ternyata punya senjata unik yang dikenal sebagai sound horeg, pengeras suara raksasa yang bukan untuk konser, tapi untuk mengusik tetangganya, Korea Utara. Bukan sekadar alat, sound horeg ini punya sejarah panjang dalam perang propaganda di Semenanjung Korea. Menariknya, bukan hanya Korsel yang memainkannya, tapi juga Pyongyang ikut membalas dengan versi mereka sendiri. Awal Mula Sound Horeg di Perbatasan Cerita ini dimulai pada 1962 ketika Korut memulai siaran propaganda lewat pengeras suara di perbatasan. Isinya adalah seruan agar warga Korea Selatan membelot ke negara tanpa pajak, istilah manis mereka untuk memikat orang ke Pyongyang. Tak mau kalah, setahun kemudian, pada 1963, Korsel meluncurkan sound horeg pertamanya. Isinya lebih ceria dibanding propaganda keras Korut. Mereka memutar musik K-pop era jadul, lagu-lagu hits Seoul, dan program budaya yang dirancang supaya warga Utara penasaran dengan kehidupan di Selatan. Bukan Cuma Hiburan, Tapi Strategi Psikologis Kalau kamu pikir ini cuma hiburan gratis buat warga perbatasan, ternyata enggak. Sound horeg ini punya misi penting: mempengaruhi psikologi tentara dan warga yang berada di area perbatasan. Bayangin, kamu tentara Korut, bertugas di pos terdepan, tapi setiap hari dengerin lagu-lagu catchy dari Selatan, iklan produk, atau berita soal kemajuan ekonomi Korea Selatan. Lama-lama rasa penasaran bisa muncul, dan di situlah misi propaganda mulai bekerja. Masa Damai Sementara dengan Propaganda Off pada 2004 Menariknya, di tahun 2004, kedua negara sempat sepakat untuk menghentikan siaran ini. Masa itu disebut period of detente, yaitu periode ketika Korsel dan Korut berusaha mengurangi ketegangan. Namun, seperti hubungan yang penuh drama, kedamaian ini nggak bertahan lama. Pada 2015, setelah dua tentara Korsel terluka akibat ranjau darat yang diduga ditanam militer Korut, sound horeg kembali menggelegar di perbatasan. On-Off Sesuai Kondisi Politik Hubungan Korsel-Korut memang seperti lampu yang kadang menyala, kadang mati. Begitu ada gesekan politik, sound horeg biasanya langsung dihidupkan lagi. Begitu situasi agak tenang, speaker pun dimatikan. Terbaru, pada Juni 2024, sound horeg Korsel kembali aktif. Alasannya? Korea Utara mengirim balon berisi sampah ke wilayah Selatan sebagai bentuk protes terhadap selebaran anti-Korut yang dikirim aktivis Korsel. Balasan Seoul? Ya, suara nyaring dari perbatasan yang bisa didengar hingga kilometer jauhnya. Akhir Era Sound Horeg di 2025 Pada Agustus 2025, sebuah babak baru dimulai. Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, memutuskan untuk membongkar semua sound horeg yang ada di perbatasan. Alasannya jelas, yakni ingin menciptakan hubungan yang lebih damai dengan Korea Utara. Sejak awal kampanye, Lee sudah menegaskan bahwa diplomasi dan kerja sama lebih penting daripada perang psikologis. Dengan dicabutnya pengeras suara ini, ia berharap kedua negara bisa fokus membangun hubungan yang lebih sehat tanpa saling mengusik lewat suara. Perlukah Sound Horeg di Masa Depan? Kalau mau jujur, sound horeg ini punya dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia efektif untuk menunjukkan kekuatan lunak (soft power) Korea Selatan, mempamerkan budaya, musik, dan cara hidup yang bebas. Tapi di sisi lain, ia juga memicu ketegangan baru yang bisa merugikan kedua pihak. Selain itu, dunia sudah cukup bising dengan berbagai konflik. Daripada mengadu suara di perbatasan, akan lebih bermanfaat kalau kedua negara fokus membangun jembatan komunikasi yang sehat. Bayangkan kalau energi dan teknologi yang dipakai untuk sound horeg justru digunakan untuk proyek kolaborasi lintas batas, misalnya, pertukaran budaya atau pembangunan infrastruktur bersama. Memang, sejarah panjang konflik Korea tidak mudah dihapus hanya dengan mematikan speaker. Tapi setidaknya, langkah Presiden Lee Jae Myung bisa jadi awal untuk mengubah narasi. Dari yang tadinya siapa lebih nyaring menjadi siapa lebih bijak. Sound horeg bukan cuma soal speaker raksasa di perbatasan Korea. Ia adalah simbol dari persaingan panjang, adu ideologi, dan strategi perang psikologis antara Selatan dan Utara. Sekarang, setelah era sound horeg resmi berakhir pada 2025, tantangan baru muncul: bisakah kedua negara menjaga perdamaian tanpa saling mengusik? Waktu yang akan menjawab. Yang jelas, kalau suara bisa memecah belah, suara juga bisa menyatukan. Tinggal bagaimana kedua pihak memilih nada yang tepat. Kalau kalian menyikapi sound horeg ini gimana? Mengingat di Indonesia penuh pro dan kontra?*** Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Thamrin Humris Foto ilustrasi GPT

Read More

Robot Jaguar Dipakai Militer Israel Gantikan Tentara Tempur Dalam Perang Gaza

‘Jaguar’: Robot Terbaru dan Tercanggih IDF Hadapi Pejuang Palestina Yerusalem – 1miiliarsantri.net: Robot Jaguar merupakan sistem robotik semi-otonom yang dirancang untuk menggantikan peran prajurit di perbatasan, khususnya pada zona perbatasan Gaza. Robot ini dikembangkan bersama oleh IDF dan Israel Aerospace Industries (IAI). Militer Israel mengandalkan Jaguar untuk menggantikan tentara tempurnya menghadapi pejuang Palestina di jalur Gaza, yang hingga saat ini belum mampu dikuasai Israel, juga belum bisa melunpuhkan kekuatan Hamas. Fungsi Utama Jaguar Energi dan Daya Tahan Perangkat militer IDF ini diperkuat beberapa baterai lithium-ion 6T COMBATT yang diproduksi oleh perusahaan Epsilor. Setiap unit Jaguar dilengkapi baterai yang menyimpan lebih dari 16 kWh energi—memberikan daya tahan cukup untuk berbagai fungsi, termasuk propulsi, persenjataan, sensor, dan sistem komunikasi. Manfaat Strategis Dalam Perang Kelemahan Jaguar Jaguar memang menawarkan keunggulan besar dalam mengurangi risiko bagi prajurit dan menjaga perbatasan secara 24/7. Namun, ia masih terbatas pada ketahanan energi, potensi kerentanan elektronik, biaya tinggi, serta isu etika dan hukum perang. Penggunaan Jaguar dalam era perang modern bukan solusi tunggal, penggunaan robot tempur bagian dari kombinasi pertahanan dengan kemampuan prajurit manusia.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : EurAsianTimes dan IDF.IL

Read More

Kuburan Anak-anak: Gaza dalam Surat Emine Erdoğan kepada Melania Trump

Gaza – 1miliarsantri.net : Enam tahun setelah pertemuan mereka di Gedung Putih, sebuah surat dari Ankara kembali menghubungkan Emine Erdoğan, Ibu Negara Turki, dengan Melania Trump, mantan Ibu Negara Amerika Serikat. Namun kali ini, surat itu bukan sekadar menyapa seorang teman lama, melainkan sebuah jeritan nurani tentang krisis kemanusiaan di Gaza. Dalam surat bertanggal 22 Agustus 2025, Emine Erdoğan membuka dengan kenangan personal: makan malam bersama, percakapan hangat, dan berjalan di taman Gedung Putih. Ia menekankan bahwa pertemuan itu meninggalkan kesan mendalam, terutama karena ia melihat dalam diri Melania seorang perempuan dengan hati nurani yang peka terhadap isu kemanusiaan. “Saya merasakan Anda memiliki hati yang penuh kepedulian terhadap masalah-masalah kemanusiaan,” tulis Emine. Kenangan itu menjadi jembatan menuju pesan utama: seruan agar Melania menggunakan kepeduliannya bukan hanya untuk anak-anak Ukraina, tetapi juga bagi anak-anak Palestina yang kini menghadapi kehancuran di Gaza. Dari Ukraina Menuju Gaza Emine Erdoğan memuji langkah Melania yang sebelumnya menulis surat kepada Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai penderitaan anak-anak Ukraina. Baginya, kata-kata itu mencerminkan rasa kemanusiaan universal. “Setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan penuh kasih dan aman,” tulisnya, mengutip kembali pernyataan Melania. Namun, Emine mengingatkan bahwa hak tersebut tidak boleh terbatas pada wilayah atau bangsa tertentu. Anak-anak Palestina di Gaza pun memiliki hak yang sama untuk tertawa, bersekolah, dan bermimpi. “Saya percaya, dengan semangat yang sama, Anda juga akan bersuara lebih kuat untuk anak-anak Gaza, di mana dalam dua tahun terakhir sebanyak 18 ribu anak dan 62 ribu warga sipil tak berdosa telah dibunuh dengan kejam,” ungkapnya. Gaza: Neraka Bagi Anak-anak Bagian paling mengguncang dari surat itu adalah deskripsi Emine Erdoğan mengenai kondisi Gaza. Mengutip UNICEF, ia menulis bahwa setiap 45 menit satu anak terbunuh di Gaza. Ia menggambarkan tanah Gaza sebagai “neraka bagi anak-anak” dan bahkan sebagai “kuburan anak-anak.” Lebih memilukan lagi, ia menyinggung istilah “tentara tak dikenal” yang biasa digunakan dalam perang, kini berubah menjadi “bayi tak dikenal.” Ribuan anak Palestina tewas dengan kondisi tubuh hancur sehingga tidak dapat lagi diidentifikasi. Mereka dikafani tanpa nama, meninggalkan luka yang dalam di hati nurani dunia. “Anak-anak yang tersisa, dengan luka jiwa yang berat, menangis di hadapan kamera, mengatakan mereka ingin mati,” tulis Emine. Kehilangan orang tua, rumah, dan rasa aman membuat mereka kehilangan alasan untuk berharap. Tawa yang Hilang Surat itu menegaskan bahwa tragedi ini bukan hanya soal politik atau militer, melainkan tentang hilangnya sesuatu yang paling sederhana sekaligus paling berharga: tawa anak-anak. “Tawa yang hilang bukan hanya milik anak-anak Ukraina. Anak-anak Palestina juga berhak atas tawa, kebebasan, dan masa depan yang bermartabat,” tulis Emine. Ia menyerukan agar Melania menggunakan suaranya untuk mendesak penghentian krisis kemanusiaan di Gaza, bahkan jika itu berarti menyampaikan pesan langsung kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Menurutnya, dunia sedang berada di titik balik. Semakin banyak negara yang mengakui Palestina, dan seruan Melania untuk Gaza bisa menjadi bagian penting dari momentum sejarah ini. Bukan Hanya Genosida, Tetapi Sistem yang Rusak Lebih jauh, Emine Erdoğan menekankan bahwa tragedi di Palestina adalah cermin dari ketidakadilan global. Bukan hanya soal ribuan korban jiwa, tetapi juga bagaimana kepentingan segelintir orang dapat menginjak-injak nilai kemanusiaan. “Sistem internasional yang penuh ketidakadilan ini dipaksakan kepada dunia,” tulisnya. Bagi Emine, dunia harus bersatu mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, menentang ketidakadilan, dan membela hukum internasional yang sering diabaikan. Hanya dengan begitu, katanya, dunia dapat melawan keputusasaan dan menyalakan kembali harapan bagi generasi mendatang. “Hanya dengan begitu, ‘tawa yang dibungkam dari anak-anak’ bisa kita pulihkan, dan dunia bisa menemukan peluang bagi perdamaian yang berkelanjutan,” lanjutnya. Potret Anak-anak yang Hilang Surat Emine juga menyebut nama-nama yang kini menjadi simbol penderitaan Gaza. Hind Receb, bocah enam tahun, tewas ditembak dengan 35 peluru. Rim, anak perempuan tiga tahun, mengucap selamat tinggal terakhir kepada kakeknya sebelum keduanya terbunuh. Mereka hanyalah dua dari 18.885 bayi dan anak Gaza yang telah meregang nyawa. Bagi Emine, angka itu bukan sekadar statistik, melainkan wajah-wajah kecil yang lenyap bersama tawa dan mimpi mereka. Namun, ia menolak menyerah pada kesedihan. “Lebih dari satu juta anak Gaza masih hidup. Mereka adalah harapan terakhir kita,” tulisnya. Harapan yang Masih Ada Di akhir suratnya, Emine Erdoğan menulis dengan nada tegas dan penuh urgensi: “Sudah saatnya kita bertindak.” Ia mengingatkan Melania—dan dunia—bahwa tragedi Gaza bukan hanya masalah politik, melainkan ujian nurani. Di tengah kehancuran, anak-anak yang masih hidup adalah simbol keteguhan. Mereka adalah suara masa depan yang menolak dibungkam, meski dunia sering memilih diam. “Saya berharap Anda juga mau menanamkan harapan yang sama bagi anak-anak Gaza yang rindu pada kedamaian,” tulisnya. Sebuah Panggilan Universal Surat itu ditutup dengan kalimat yang menusuk: “Kita sudah kehilangan banyak anak Gaza. Namun, lebih dari satu juta anak masih hidup. Mereka adalah satu-satunya kesempatan yang kita punya.” Bagi Emine Erdoğan, surat ini memang ditujukan kepada Melania Trump. Namun, isinya jelas melampaui sekadar hubungan pribadi. Ia adalah panggilan universal untuk seluruh dunia: apakah kita masih punya hati untuk peduli pada anak-anak yang sedang direnggut dari hidupnya? Pesan itu kini bergema jauh melampaui dinding istana atau meja diplomasi. Ia mengetuk hati siapa saja yang membacanya: para pemimpin, masyarakat internasional, dan kita semua. Karena pada akhirnya, tawa anak-anak adalah bahasa kemanusiaan yang paling universal—dan sejarah akan mencatat apakah dunia memilih untuk melindunginya, atau membiarkannya hilang selamanya. Penulis : Abdullah al-Mustofa Foto Ilustrasi Ai Editor : Toto Budiman Sumber: Anadolu Agency https://www.aa.com.tr/en/americas/letter-from-emine-erdogan-to-melania-trump-on-humanitarian-crisis-in-gaza-indeed-it-is-time/3667142

Read More

Proyek “Tajunnur”: Mahkota Cahaya dari Gaza di tengah Genosida dan Hikmahnya bagi Santri Indonesia

Gaza – 1miliarsantri.net : Di sebuah ruang sederhana di pusat Kota Gaza, inisiasi proyek Tajunnur digagas. Suara lantunan ayat-ayat suci Al-Quran menggema syahdu di tengah genosida Israel. Suara itu menembus dentuman bom, pekik sirene, dan jeritan penderitaan yang telah lebih dari enam ratus hari mewarnai langit Gaza. Di balik kegelapan krisis, cahaya itu menyala—Mahkota cahaya dari proyek “Tajunnur”, sebuah inisiatif untuk mendidik gadis-gadis dan para ibu di Gaza dalam menghafal Al-Quran. Proyek “Tajunnur” ini lahir di tengah keterpurukan. Ketika sekolah-sekolah lumpuh, ketika anak-anak kehilangan hak belajar, dan ketika masa depan terasa dirampas oleh perang, Al-Quran justru hadir sebagai jalan keluar. Di bawah pengawasan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Palestina, proyek ini diimplementasikan oleh Madrasah Al-Amal. Sejak diluncurkan pada 20 April 2024, hanya dalam waktu tiga bulan, lebih dari 260 hafizhahlahir dari ruang-ruang yang sederhana itu. Dari jumlah tersebut, ada yang menghafal 10 hingga 15 juz, bahkan 18 gadis berhasil mengkhatamkan hafalan 30 juz di tengah dentuman bom dan kelaparan. Suara dari Ruang Penghafalan Lana Shobaki, seorang siswi yang telah menghafal 15 juz, menyampaikan kalimat yang menembus hati: “Aku ingin memberikan mahkota kehormatan kepada orang tuaku di surga.” Kata-katanya menjadi saksi bahwa impian seorang anak Gaza tidak pernah padam, bahkan ketika realitas hidupnya dibayangi kematian. Wardah Nu’man Al-Rafati, yang sudah menghafal setengah Al-Quran, mengaku hafalannya adalah bentuk perlawanan. “Kami tetap belajar meski ada ketakutan, kelaparan, dan pemadaman listrik. Kami bertahan,” ujarnya. Suara mereka menggambarkan betapa Al-Quran bukan hanya kitab bacaan, melainkan benteng keimanan, sumber kekuatan, dan alasan untuk bertahan hidup. Menghafal di Tengah Kelaparan dan Bom Proyek Tajunnur berjalan dalam kondisi yang nyaris mustahil. Pemboman hebat kerap mengguncang sekitar lokasi saat proses penghafalan berlangsung. Anak-anak menutup telinga, sebagian menangis ketakutan, namun para guru menenangkan mereka dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain bom, kelaparan meluas menjadi ujian lain. Energi para siswi terkuras karena minimnya makanan, sementara buku tulis dan pena pun sulit ditemukan. Namun, di balik semua itu, tekad mereka tak tergoyahkan. Seorang pengajar di Madrasah Al-Amal mengaku, “Kami bekerja di bawah tekanan. Tapi kami percaya, justru dalam kondisi terburuk, Al-Quran akan menjadi sebaik-baiknya penguat.” Lebih dari Sekadar Hafalan Tajunnur tidak berhenti pada hafalan. Di dalamnya, para siswi juga belajar tajwid, hukum-hukum fiqh, serta pelajaran khususseperti “Al-Zahrawayn” (Surah Al-Baqarah dan Ali Imran), “Mukjizat Al-Quran,” hingga “Akhlak para penghafal Al-Quran.” Ada standar ketat yang ditegakkan: setiap hafizhah harus mencapai tingkat itqān (sempurna) dan terbebas dari kesalahan. Selain anak-anak, para ibu juga ikut serta. Bagi mereka, menghafal Al-Quran di tengah pengungsian adalah jalan untuk menenangkan hati sekaligus menghidupkan rumah mereka dengan cahaya ilahi. Dukungan Keluarga dan Masyarakat Para orang tua memandang hafalan Al-Quran sebagai jalan ibadah dan pendidikan, di saat sekolah formal tidak berjalan. Seorang ibu pengungsi bahkan berkata, “Ini adalah kesempatan emas. Anak-anak saya boleh kehilangan bangku sekolah, tetapi mereka tidak boleh kehilangan Al-Quran.” Di ruang-ruang penghafalan itu, cinta dan kebersamaan tumbuh. Anak-anak saling membantu, para ibu saling menyemangati, dan para guru menanamkan keyakinan bahwa setiap ayat yang melekat di hati adalah bentuk perlawanan spiritual terhadap penjajahan. Ayat yang Hidup di Gaza Yang menarik, banyak siswi merasakan bahwa ayat-ayat yang mereka hafal seolah berbicara langsung pada realitas mereka. QS. Al-Baqarah ayat 154-156 menjadi salah satu yang paling mereka resapi: “Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Bagi mereka, ayat ini bukan sekadar hafalan, melainkan realitas sehari-hari. Mereka melihat syuhada di sekitar mereka, merasakan lapar, kehilangan, dan ketakutan. Namun, dari semua itu lahirlah kesabaran yang tak tergoyahkan. Dua Kesaksian Bagi sebagian orang tua, proyek ini adalah bentuk syahādatain—kesaksian dalam ilmu dan kesaksian dalam perjuangan. Menghafal Al-Quran menjadi bukti bahwa meski dunia ingin merampas segalanya, iman tidak akan pernah bisa dikalahkan. Hikmah bagi Santri Indonesia Kisah nyata ini adalah cermin yang kuat bagi santri Indonesia. Di negeri ini yang damai, dengan akses luas pada buku, listrik, makanan, dan fasilitas belajar, sering kali semangat belajar justru melemah. Sementara di Gaza, di bawah ancaman kematian, anak-anak mampu menghafal belasan hingga tiga puluh juz. Hikmah pertama bagi santri Indonesia adalah syukur. Segala fasilitas yang tersedia seharusnya mendorong lahirnya generasi Qurani yang lebih unggul, bukan sebaliknya. Hikmah kedua adalah keteguhan niat. Jika santri Gaza menjadikan Al-Quran sebagai perisai menghadapi bom, maka santri Indonesia semestinya menjadikannya benteng menghadapi godaan dunia: malas, gadget, hedonisme, dan budaya instan. Hikmah ketiga adalah orientasi hidup. Santri Gaza menghafal bukan sekadar untuk prestasi, melainkan untuk memberi mahkota kehormatan bagi orang tua mereka di akhirat. Santri Indonesia pun bisa menjadikan niat itu sebagai pegangan: menghafal demi Allah, demi keluarga, dan demi umat. Dan hikmah terakhir: Al-Quran adalah jalan perlawanan dan peradaban. Jika di Gaza ia menjadi bentuk perlawanan terhadap penjajahan, maka di Indonesia ia bisa menjadi perlawanan terhadap kebodohan, kemiskinan moral, dan hilangnya jati diri bangsa. Di tengah suara bom, anak-anak Gaza memilih menjawab dengan suara Al-Quran. Di tengah damainya pesantren, santri Indonesia tak punya alasan untuk tidak menjawab dunia dengan cahaya yang sama. (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Foto Ilustrasi Ai Editor : Toto Budiman Sumber:

Read More

Perbandingan Kesepakatan Transfer Data Pribadi antara Amerika Serikat dan Negara Lain; Ancaman bagi Privasi Individu di Masa Depan?

Jakarta – 1miliarsantri.net : Data pribadi kini menjadi salah satu aset paling berharga dalam ekosistem digital global. Ancaman bagi privasi individu dapat terjadi, bila negara tidak mengatur regulasi secara ketat. Kesepakatan transfer data pribadi kerap dijadikan prasyarat perjanjian dagang antar negara. Menurut laporan World Economic Forum (WEF) 2020, data pribadi bahkan disebut sebagai “minyak baru” yang menggerakkan ekonomi digital. Informasi tentang identitas, perilaku, lokasi, hingga preferensi pengguna menjadi komoditas yang memiliki nilai strategis untuk perusahaan teknologi besar dan juga negara-negara yang ingin mengoptimalkan pengawasan dan kebijakan publik. Data Pribadi: Aset Strategis di Era Digital Di Indonesia, isu permintaan transfer data pribadi WNI ke Amerika Serikat sebagai bagian dari kesepakatan tarif impor menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana pemerintah dan masyarakat memandang kedaulatan data dan perlindungan privasi. Data yang tidak dikelola dengan baik berpotensi disalahgunakan, mulai dari pelanggaran privasi individu hingga ancaman keamanan nasional. Sejatinya, ini bukan kali pertama bagi Amerika Serikat untuk melakukan kesepakatan transfer data dengan negara lain. Berikut beberapa perbandingan kesepakatan transfer data pribadi Amerika Serikat. Uni Eropa: Standar Perlindungan Data Paling Ketat dengan GDPR Uni Eropa adalah pelopor regulasi perlindungan data pribadi yang sangat ketat melalui General Data Protection Regulation (GDPR) yang mulai berlaku pada 2018. GDPR tidak hanya mengatur bagaimana perusahaan memproses data warga UE, tetapi juga membatasi transfer data ke negara-negara yang tidak memiliki standar perlindungan setara. Studi oleh European Data Protection Board (EDPB) menunjukkan bahwa GDPR memberikan efek protektif signifikan terhadap kebocoran data dan penyalahgunaan oleh pihak ketiga, serta menguatkan hak subjek data dalam mengontrol informasi pribadinya. Keseriusan UE dalam penegakan GDPR tercermin dalam denda besar yang pernah dijatuhkan kepada perusahaan teknologi raksasa, seperti Google dan Facebook, yang mencapai ratusan juta euro. Dalam konteks hubungan dengan AS, UE menuntut agar kesepakatan perdagangan tidak mengorbankan hak privasi, sehingga AS harus beradaptasi dengan mekanisme perlindungan ini, misalnya lewat Privacy Shield Framework (yang sempat dibatalkan dan direvisi). Model ini menunjukkan bahwa kedaulatan data dapat dipertahankan dengan regulasi yang tegas dan implementasi yang konsisten. Kanada: Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Data Kanada menerapkan pendekatan yang berbeda, dengan menyeimbangkan perlindungan data dan fleksibilitas perdagangan. Berdasarkan Personal Information Protection and Electronic Documents Act (PIPEDA), Kanada mengharuskan organisasi untuk memberikan transparansi penuh mengenai penggunaan data dan menyediakan mekanisme pengaduan bagi individu yang merasa data pribadinya disalahgunakan. Dalam laporan Canadian Privacy Commissioner 2021, disebutkan bahwa pengawasan ketat dan proses audit reguler menjadi kunci keberhasilan pengelolaan data. Kanada juga bekerja sama dengan AS dalam Privacy Shield dan beberapa inisiatif lain, meski dengan kewaspadaan terhadap potensi pelanggaran data lintas negara. Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang aktif dan akuntabilitas sebagai penyeimbang kebutuhan ekonomi dan hak privasi. Jepang dan APEC Cross-Border Privacy Rules (CBPR): Fleksibilitas dan Perlindungan Skema Cross-Border Privacy Rules (CBPR) yang dikembangkan oleh Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) menjadi contoh inovatif bagaimana negara-negara Asia Pasifik, termasuk Jepang, mengatur transfer data pribadi secara lintas batas tanpa mengorbankan privasi. Dalam laporan APEC Privacy Framework (2015), CBPR dijelaskan sebagai sistem sukarela yang mengatur standar perlindungan data dengan mekanisme sertifikasi perusahaan yang berpartisipasi. Jepang sendiri sebagai negara dengan teknologi maju mengadopsi CBPR untuk menjaga iklim perdagangan digital yang kondusif sambil melindungi data warga. Studi oleh Japan Privacy Commission (2022) mencatat bahwa keberhasilan CBPR terletak pada sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam mengawasi dan mematuhi aturan perlindungan data. Model ini relevan bagi Indonesia yang ingin mengembangkan kebijakan yang fleksibel namun tetap protektif di tengah tekanan global. Refleksi Penting bagi Indonesia Indonesia telah melangkah maju dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada tahun 2022, yang menjadi landasan hukum utama dalam pengelolaan data pribadi. Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak hambatan serius, baik secara struktural maupun kultural. Salah satu tantangan terbesar adalah belum terbentuknya lembaga pengawas independen yang diamanatkan oleh undang-undang. Menurut laporan Tech For Good Institute (2025), kekosongan kelembagaan ini menciptakan ruang abu-abu dalam penegakan hukum dan perlindungan hak digital warga, terutama di tengah tingginya frekuensi kebocoran data di sektor publik dan swasta. Sepanjang 2023 saja, firma hukum Bahar Law Firm mencatat lebih dari 200 dugaan insiden pelanggaran data, sebagian besar melibatkan institusi pemerintah. Ironisnya, hingga satu tahun setelah insiden besar kebocoran data 337 juta penduduk di layanan Dukcapil, belum ada pelaku yang dijatuhi sanksi tegas—semua hanya berakhir pada teguran administratif. Di sisi lain, belum rampungnya regulasi teknis turunan membuat pelaksanaan UU PDP berjalan setengah hati. Banyak institusi masih bingung dalam menerapkan standar perlindungan data yang memadai, dan penunjukan Data Protection Officer (DPO) di berbagai organisasi pun kerap bersifat administratif semata, tanpa pelatihan atau kewenangan strategis. Indonesia perlu meniru langkah Uni Eropa dengan membentuk badan pengawas independen yang kuat, mampu menindak tegas pelanggaran data dan menjamin transparansi. Di samping itu, literasi digital harus menjadi agenda prioritas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, agar tidak mudah terjebak penyalahgunaan data. Transparansi dan Keterlibatan Publik dalam Negosiasi Internasional Transparansi adalah kunci dalam negosiasi internasional yang menyangkut data pribadi. Dalam artikel Policy Brief Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia (2024), ditegaskan bahwa inklusivitas pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku industri teknologi, sangat penting agar kebijakan yang dihasilkan berimbang dan berkeadilan. Pendekatan ini tidak hanya mencegah keputusan sepihak, tetapi juga meningkatkan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Dengan keterbukaan, masyarakat bisa memahami risiko dan manfaat transfer data, serta turut mengawal pelaksanaannya agar sesuai dengan standar perlindungan yang telah ditetapkan. Kedaulatan Digital dan Masa Depan Indonesia Dalam era di mana data pribadi menjadi komoditas bernilai tinggi, Indonesia tidak bisa hanya pasif menunggu arus global. Pengalaman negara-negara seperti Uni Eropa, Kanada, dan Jepang memberikan pelajaran penting bahwa regulasi ketat, pengawasan yang efektif, dan partisipasi publik adalah fondasi utama dalam melindungi kedaulatan data pribadi. Indonesia, dengan UU PDP yang baru, memiliki pijakan hukum yang kuat, namun harus terus memperkuat implementasi dan literasi masyarakat. Hanya dengan strategi yang matang dan inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa pertukaran data dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat, berlangsung secara adil dan menguntungkan, tanpa mengorbankan hak asasi dan kedaulatan digitalnya. (***) Referensi: Kontributor : Ramadani Wahyu Editor : Toto Budiman

Read More

“Pengadilan Rakyat Global” Gaza Tribunal Desak Intervensi Bersenjata PBB demi Hentikan Genosida Paling Mematikan

Gaza – 1miliarsantri.net : Di sebuah ruangan pengadilan rakyat di Gaza Tribunal Sarajevo pada Mei lalu, suara tangis saksi perempuan Gaza yang kehilangan keluarganya menjadi kesaksian hidup tentang penderitaan yang tak terbayangkan. Para hakim moral, akademisi, dan tokoh masyarakat dunia yang duduk di meja panel terdiam, lalu mencatat setiap detail. Inilah Gaza Tribunal, sebuah “juri nurani internasional” yang kini menyerukan langkah paling drastis: intervensi bersenjata PBB untuk menghentikan apa yang mereka sebut sebagai fase paling mematikan dari genosida di Jalur Gaza. Tribunal Rakyat dengan Sejarah Panjang Gaza Tribunal, atau Pengadilan Rakyat Global, dibentuk pada November 2024 di London oleh hampir 100 akademisi, intelektual, aktivis HAM, dan tokoh masyarakat sipil. Tujuannya adalah menginvestigasi dugaan kejahatan perang, genosida, dan apartheid yang terjadi di Gaza, dengan pendekatan moral dan kemanusiaan. Gaza Tribunal bukanlah lembaga resmi negara atau organisasi internasional. Ia berakar pada tradisi “pengadilan rakyat”—forum independen yang didirikan untuk memberikan putusan moral terhadap kejahatan kemanusiaan ketika institusi resmi gagal bertindak. Pendahulunya yang paling terkenal adalah Russell Tribunal on Vietnam pada 1966 yang digagas filsuf Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre, serta Russell Tribunal on Palestine pada 2009. Dalam kasus Gaza, tribunal ini pertama kali diluncurkan di London pada November 2024, lalu menggelar sidang lanjutan di London (Februari 2025) dan Sarajevo (Mei 2025). Sidang puncak akan digelar di Istanbul pada Oktober 2025. Dengan menghadirkan saksi dari Gaza, pakar hukum internasional, aktivis HAM, hingga jurnalis, tribunal ini berusaha menyusun dokumen moral yang kuat—“vonis nurani”—untuk dunia. “Fase Paling Mematikan” Menurut Richard Falk, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Palestina sekaligus profesor hukum internasional di Princeton, dunia kini menghadapi kegagalan moral yang berbahaya. “Kita memasuki fase paling mematikan dari genosida di Gaza,” ujarnya. “Jika PBB dan masyarakat internasional tidak bertindak segera, maka sejarah akan mencatat ini sebagai salah satu kegagalan terbesar kemanusiaan.” Sejak Oktober 2023, lebih dari 62.000 warga Palestina terbunuh dalam serangan Israel di Gaza. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Infrastruktur sipil, rumah sakit, universitas, hingga tempat ibadah hancur. Laporan lembaga internasional menunjukkan tingkat kelaparan dan penyakit yang sangat tinggi, dengan sebagian wilayah Gaza kini dikategorikan mengalami kelaparan massal (famine). Dasar Hukum: Dari “Uniting for Peace” hingga R2P Gaza Tribunal menekankan bahwa intervensi bukan sekadar tuntutan moral, melainkan memiliki dasar hukum internasional. Tribunal mengutip Resolusi “Uniting for Peace” (1950) yang memberi kewenangan kepada Majelis Umum PBB untuk bertindak ketika Dewan Keamanan terblokir veto. Selain itu, ada juga doktrin “Responsibility to Protect” (R2P) yang diadopsi Sidang Umum PBB pada 2005. Prinsip ini menegaskan kewajiban komunitas internasional untuk melindungi populasi sipil ketika sebuah negara gagal mencegah genosida, kejahatan perang, atau pembersihan etnis. Dengan dua dasar ini, Gaza Tribunal menyerukan pengiriman pasukan internasional PBB ke Gaza untuk memberikan perlindungan langsung kepada warga sipil. Menentang “Komplisitas” Barat Salah satu kritik utama yang muncul dalam persidangan Gaza Tribunal adalah komplisitas negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan sekutu lainnya. Negara-negara ini dituduh bukan hanya menutup mata terhadap penderitaan Palestina, tetapi juga terus memasok senjata dan dukungan diplomatik bagi Israel. Namun, menurut Falk, opini publik mulai bergeser. Gelombang protes mahasiswa di kampus-kampus AS dan Eropa, boikot produk tertentu, hingga desakan embargo senjata menunjukkan bahwa solidaritas masyarakat dunia masih bisa memengaruhi kebijakan politik, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kampanye global melawan apartheid di Afrika Selatan. Membungkam Kebenaran Tribunal juga menyoroti upaya sistematis untuk membungkam kebenaran. Beberapa pelapor khusus PBB dilabeli dan diserang, sementara jurnalis di lapangan menghadapi ancaman serius. Kasus paling mencolok adalah pembunuhan jurnalis Al Jazeera, yang memicu kemarahan global. Menurut para hakim tribunal, serangan terhadap jurnalis bukan hanya upaya membungkam saksi mata, tetapi juga bagian dari strategi menghapus narasi korban. Dukungan Turki Di tengah lemahnya respon pemerintah-pemerintah besar dunia, Gaza Tribunal memberi penghargaan terhadap sikap konsisten Turki yang secara terbuka menyebut agresi Israel sebagai genosida. Tribunal menilai keberanian Ankara—meskipun menghadapi tekanan diplomatik—menjadi salah satu suara negara yang masih berdiri tegak membela Palestina di forum internasional. Dokumentasi dan Solidaritas Global Tujuan utama Gaza Tribunal ada dua. Pertama, mendokumentasikan kejahatan secara sistematis dan otoritatif agar tidak terhapus dari sejarah. Kedua, membangun solidaritas global yang mampu mendesak lahirnya langkah konkret di PBB. Tribunal sadar bahwa putusan mereka tidak mengikat secara hukum. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pengadilan rakyat dapat menciptakan tekanan moral dan politik yang besar. Russell Tribunal tentang Vietnam, misalnya, berperan penting dalam mengubah opini publik dunia terhadap perang AS. Harapan dan Tantangan Meski pesimistis terhadap elite politik, Falk percaya pada kekuatan rakyat. Ia mengingatkan pada gerakan anti-perang Vietnam: sesuatu yang awalnya dianggap mustahil, perlahan menjadi mungkin berkat mobilisasi publik. Hal serupa kini diharapkan terjadi untuk Gaza. Namun tantangannya sangat besar. Dewan Keamanan PBB terus terbelenggu oleh veto AS, sementara dunia Arab terpecah, dan banyak negara Muslim memilih berhati-hati demi kepentingan politik dan ekonomi. Sidang Puncak di Istanbul Sidang terakhir Gaza Tribunal dijadwalkan berlangsung di Istanbul, Oktober 2025. Di sana, para hakim moral akan mengeluarkan putusan resmi berdasarkan bukti dan kesaksian yang terkumpul dari London dan Sarajevo. Putusan itu tidak akan membawa tank ke Gaza, tetapi bisa menjadi dokumen moral yang menegaskan kebenaran sejarah dan memperkuat dasar hukum bagi langkah internasional di masa depan. Penutup Gaza Tribunal hanyalah sebuah pengadilan rakyat, tanpa kekuatan hukum, tanpa pasukan, tanpa veto. Namun ia membawa sesuatu yang sering hilang dalam diplomasi resmi: suara nurani manusia. Di tengah reruntuhan Gaza, suara ini menjadi pengingat bahwa dunia masih bisa memilih: tetap diam dan menjadi saksi pasif genosida, atau bergerak bersama dan memaksa lahirnya intervensi nyata. Seperti kata Richard Falk, “Diam di hadapan genosida adalah bentuk kesalahan. Dan kesalahan itu akan terus menghantui sejarah kita.” (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Sumber: https://www.aa.com.tr/en/middle-east/gaza-tribunal-calls-for-armed-un-intervention-to-halt-most-lethal-phase-of-genocide-in-gaza/3662472 https://www.aa.com.tr/en/europe/bosnia-and-herzegovina-hosts-3rd-day-of-gaza-tribunal/3582743 https://1-al–shabaka-org.translate.goog/commentaries/normalizing-israeli-impunity-and-dominance-the-arab-role

Read More