PBB Desak Indonesia, Terkait Dugaan Pelanggaran HAM Saat Demo

Surabaya – 1miliarsantri.net : Gejolak politik di Indonesia yang memanas pada Agustus 2025 lalu memunculkan aksi demonstrasi yang berujung duka mendalam bagi masyarakat. Aksi yang bermula dari penyampaian aspirasi publik terkait isu ekonomi dan kebijakan negara itu, berakhir ricuh hingga menewaskan seorang pengemudi ojek online. Secara khusus, demonstrasi ini ditengarai sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas kebijakan kenaikan tunjangan serta gaji anggota parlemen di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Tidak hanya di Jakarta, aksi serupa juga meluas ke berbagai kota, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, hingga Medan. Bentrokan keras antara aparat kepolisian dan massa menyebabkan banyak kerusakan, termasuk pada bangunan pemerintahan. Puncak demonstrasi terjadi pada Kamis malam, 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas setelah ditabrak kendaraan taktis Brimob di kawasan Pejompongan. Insiden ini memicu gelombang protes lebih besar. Massa menuntut pertanggungjawaban aparat kepolisian dengan mendatangi Mako Brimob Kwitang dan Polda Metro Jaya. PBB Soroti Insiden Demonstrasi di Indonesia Kematian Affan Kurniawan dalam aksi demonstrasi menyedot perhatian publik luas. Media sosial ramai dengan aksi solidaritas, sementara sejumlah tokoh publik menyampaikan belasungkawa bahkan mendatangi rumah duka untuk memberikan dukungan kepada keluarga korban. Isu ini juga menyita perhatian dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan keprihatinan dan mendesak adanya dialog serta penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan demonstrasi di Indonesia. Dikutip dari laman resmi Kantor HAM PBB pada Selasa, 2 September 2025, Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) melalui juru bicara Ravina Shamdasani mendesak pemerintah Indonesia melakukan penyelidikan menyeluruh terkait tindakan aparat keamanan dalam menangani demonstrasi. “Kami menyerukan investigasi yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaan pelanggaran hak asasi manusia internasional. Semua aparat keamanan, termasuk militer ketika dikerahkan dalam kapasitas penegakan hukum, harus mematuhi prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekuatan dan senjata api,” ujar Ravina. Indikasi Pelanggaran HAM Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Septi Nur Wijayati, S.H., M.H., menegaskan bahwa hak menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi negara. Hal ini diatur jelas dalam UUD 1945 Pasal 28E, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta UU HAM. “Jika kita melihat regulasi, jelas sekali unjuk rasa adalah hak warga negara yang dijamin. Namun, ketika terjadi tindakan represif yang menimbulkan korban, hal itu dapat dikategorikan sebagai indikasi pelanggaran HAM. Apalagi aparat keamanan seharusnya tunduk pada SOP pengendalian massa sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri,” jelas Septi. Ia juga menilai perhatian PBB menjadi sinyal kuat bahwa kondisi Indonesia tengah mendapat sorotan internasional. Karena itu, pemerintah perlu membuka ruang dialog dan mengambil langkah konkret untuk mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang kembali. Penulis: Gita Rianti D. PratiwiEditor: Glancy Verona dan Abdullah al-Mustofa

Read More

Kisah Anak-Anak Gaza, Mengubur Mimpi hingga Melihat Keluarga Mati

Gaza – 1miliarsantri.net : Kisah anak-anak Gaza di tengah konflik bersenjata di Gaza yang masih berlangsung hingga kini, menyisakan banyak penderitaan bagi mereka yang kini kehilangan senyum, mimpi bahkan keluarga. Sejatinya, anak-anak adalah sosok yang tidak lepas dari dunia bermain, canda riang dan tawa bahagia. Namun, tidak demikian bagi kisah anak-anak di Gaza. Anak-anak di Gaza, tumbuh dalam bayangan kekejaman yang nyata. Hari demi hari, terjadi konflik yang semakin ngeri, membuat dunia seolah tutup mata akan hak anak-anak di Gaza yang seharusnya tidak hanya tertulis formal di atas kertas sebagai sebuah perjanjian tanpa esensi. Mengubur mimpi hingga melihat keluarga mati menjadi pemandangan yang biasa disana. Pada tahun 1989, United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCR) membuat perjanjian internasional yang telah diratifikasi hampir seluruh negara di dunia, dengan menjamin berbagai hak fundamental anak diantaranya adalah: 1. Pasal 6 tentang Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak 2. Pasal 37 tentang Hak atas perlindungan dari kekerasan, penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya. 3. Pasal 28 tentang Hak atas pendidikan yang layak. 4. Pasal 24 tentang Hak untuk mengakses layanan kesehatan. Tidak Ada Lagi Tempat Aman untuk Anak-anak Gaza Sejak dimulainya perang genosida di Gaza yang terhitung hampir 2 tahun lalu, sedikitnya 18.885 anak-anak warga Palestina telah merenggang nyawa, dengan rincian rata-rata sekitar lebih dari 540 anak terbunuh setiap bulannya. Jumlah korban yang sangat banyak ini juga tidak hanya akibat dari serangan tentara Israel, namun juga akibat kelaparan yang disebabkan oleh blokade Israel terhadap bantuan dan pasukan medis yang sangat dibutuhkan di Gaza. Kondisi di Gaza yang tak kunjung membaik, membuat pekerja medis di Gaza menggunakan istilah khusus untuk merujuk kategori korban perang secara spesifik, salah satu diantaranya adalah WCNSF (Wounded Child, No Surviving) artinya kategori anak yang terluka dan tidak memiliki anggota keluarga selamat. Istilah ini digunakan sebagai gambaran betapa kejam kehidupan yang dialami oleh banyak anak di Gaza. Bagaimana tidak? Dalam sekejap hidup mereka berubah, kehilangan orang tua, saudara kandung, kakek nenek yang terbunuh dalam perang. Bahkan untuk bertahan hidup rasanya menjadi sangat sulit sejak saat itu, karena mereka sadari bahwa segalanya tidak akan sama lagi. Ahmed, Mengubur Mimpi Akibat Kehilangan Kaki Ahmed berusia tiga tahun, merupakan salah satu anak yang masuk dalam kategori WCNSF, dengan kriteria anak terluka dan tidak memiliki anggota keluarga yang selamat. Ahmed pertama kali tiba di Rumah Sakit Indonesia di Kawasan Utara Gaza dalam kondisi terluka.  Tangisan pilu Ahmed menggambarkan pedih hatinya atas kehilangan ayah, ibu dan kakak laki-laki yang tewas akibat serangan Israel di Beit Hanoun pada pertengahan November lalu. Ahmed hanya mengalami luka ringan, meskipun serangan udara Israel membuat Ahmed terlempar ke udara sekitar 20 meter dari rumahnya. Diketahui setelah kejadian, Ahmed ternyata memiliki saudara laki-laki yang berusia 2 tahun, bernama Omar. Ahmed dan Omar kini telah bersatu kembali dalam tangis pilu yang tidak tahu kemana akan berlabuh. Keduanya menjadi yatim piatu sekaligus tunawisma yang tidak lagi memiliki tempat berlindung akibat dari serangan Israel yang berlangsung terus menerus. Beruntungnya, Ahmed dan Omar memiliki seorang paman bernama Ibrahim Abu Amsha yang memutuskan untuk menjaga dan merawat mereka bersama keluarganya. Tempat demi tempat mereka datangi untuk mengungsi, namun serangan israel yang terus membabi buta membuat Ahmed Kembali terluka akibat terkena pecahan kaca dari sebuah ledakan. Serangan kedua itu membuat Ahmed kehilangan kakinya, bahkan salah seorang keluarga yang juga bersama Ahmed pada saat itu dinyatakan tewas. Ibrahim sangat berkeinginan untuk mengirim Ahmed berobat ke luar Gaza, karena ada banyak mimpi yang ingin dilakukan oleh Ahmed. “Dia bermimpi bisa melakukan banyak hal, bahkan saat kami pergi bersama untuk menonton pertandingan sepak bola, Ahmed berkata ingin menjadi pemain sepak bola terkenal,” ujar Ibrahim. Kisah Amal dan Puisi Pilu nya Pada suatu malam, saat Amal sedang asyik menggambar di ruang tamu, tiba-tiba suara jet melintas rendah, lalu tidak lama berselang semua gelap. Amal terbangun di rumah sakit dan seluruh keluarganya tewas. Ibunya hancur tertimpa reruntuhan. Kini, Amal tinggal di Kamp Pengungsian Rafah bersama dengan seorang tetangga yang selamat. Disana, Amal menuliskan sebuah puisi “Langit sekarang bukan tempat Bintang, tapi tempat bahaya datang. Aku cuma mau jadi anak kecil, tapi semua orang menyuruhku kuat, aku capek.” Baca juga : Kuburan Anak-anak: Gaza dalam Surat Emine Erdoğan kepada Melania Trump Cita-cita Anak-anak Gaza hanya satu: Hidup Sampai Besok Peperangan di Gaza membuat sejumlah pihak menunjukkan kepedulian salah satunya kepada anak-anak di Gaza. Pusat Pelatihan Komunitas untuk Manajemen Krisis (CTCCM) dengan dukungan dari Aliansi Anak Perang, menggambarkan kondisi kesehatan mental anak-anak di Gaza. Anak-anak mengalami trauma akibat peperangan ini, bahkan temuan dalam studi yang dilakukan menyatakan bahwa 96% anak-anak di Gaza merasa bahwa kematian sudah dekat dan hampir setengahnya yakin mereka akan meninggal akibat perang. Tidak hanya itu, gejala-gejala psikologis juga mulai terlihat seperti, ketakutan, penarikan diri dan kecemasan parah disertai dengan perasaan putus asa yang mendalam. Bahkan ketika seorang anak dari Palestina ditanyakan “Apa cita-citamu nanti? Anak itu hanya menjawab pelan, “Hidup sampai besok”. (***) Sumber berita: marinews.mahkamahagung.go.id adararelief.com bbc.com Penulis : Gita Rianti D Pratiwi Editor : Toto Budiman, Iffah Faridatul Hasanah

Read More

Gaza yang Dijanjikan: Kota Pintar Bernilai Miliaran Dolar, Bentuk Penjajahan Wajah Baru

Gaza – 1miliarsantri.net : Di atas tanah yang berlumur debu dan darah, Gaza kembali dijanjikan keajaiban—bukan berupa kebebasan yang lama dirindukan rakyatnya, melainkan gedung-gedung kaca berkilau, jalan tol raksasa, dan pulau buatan yang menyerupai mimpi Dubai. Mewujudkan sebuah Kota Pintar bernilai miliaran dolar. Namun, di balik narasi pembangunan itu, seorang anak kecil yang duduk di antara reruntuhan masih menggenggam batu, bukan kunci rumah; masih menatap langit kosong, bukan cahaya masa depan. Inilah ironi yang menusuk: ketika pihak-pihak yang berkepentingan sibuk merancang Gaza sebagai kota pintar bernilai miliaran dolar, rakyat Gaza justru dihadapkan pada risiko kehilangan satu-satunya hal yang tersisa—tanah, martabat, dan hak untuk menentukan masa depannya sendiri. Sebuah bentuk penjajahan wajah baru sedang berlangsung secara kasat mata. Nama yang Megah: The GREAT Trust Rencana itu diberi nama The GREAT Trust (The Gaza Reconstitution, Economic Acceleration and Transformation Trust). Di atas kertas, ia terdengar monumental—sebuah Gaza baru, bukan hanya bangkit dari kehancuran, tetapi “diciptakan kembali”. Gaza yang digadang-gadang bukan lagi kubu perlawanan, melainkan jantung ekonomi Mediterania. Gaza yang diimajinasikan bernilai ratusan miliar dolar, dengan gedung futuristik dan jalan tol lebar bernama MBS Ring dan MBZ Highway. Bagi  kalangan tertentu, mimpi itu terdengar seperti utopia. Namun bagi yang lain, ia justru menyerupai distopia. Gaza Sebagai Papan Catur Bagi para arsitek proyek ini, Gaza bukan sekadar wilayah kecil yang luluh lantak. Ia adalah simpul sejarah dan geografi. Terletak di jalur perdagangan kuno—dari Mesir menuju Babilonia, dari India menuju Eropa—Gaza disebut “harta terabaikan”. Tetapi, dalam lensa mereka, Gaza juga dianggap masalah: sebuah “outpost Iran” di tepi Mediterania, sekaligus batu sandungan bagi arsitektur Abrahamic yang coba dibangun Amerika bersama Israel dan negara-negara Teluk. Karena itu, proyek ini bukan murni pembangunan fisik, melainkan rekayasa geopolitik. Hamas harus disingkirkan, Gaza harus ditata ulang, dan rakyatnya diarahkan pada masa depan baru—meskipun bukan masa depan yang mereka pilih sendiri. Kota Pintar dan Pulau Buatan Dalam dokumen rencana, Gaza masa depan digambarkan spektakuler. Enam hingga delapan kota pintar berbentuk irisan, lengkap dengan sekolah modern, rumah sakit internasional, kawasan hijau, dan industri ringan. Semua layanan berbasis digital dengan sistem identitas tunggal, diawasi kecerdasan buatan. Sumber foto: The Guardian Di sepanjang pantai, berdiri resort mewah bertajuk “Gaza Riviera”, dilengkapi pulau buatan yang meniru Palm Jumeirah di Dubai. Sementara di perbatasan, direncanakan kawasan manufaktur berteknologi tinggi bernama “Elon Musk Smart Manufacturing Zone”. Tak jauh dari situ, pusat data raksasa American Data Safe Haven akan menyimpan miliaran data regional dengan regulasi Amerika. Gaza pun diproyeksikan bukan sekadar ruang hidup rakyat Palestina, tetapi etalase modernitas global—futuristik, steril, dan menguntungkan investor. Namun, pertanyaan mendasar tetap menghantui: siapa yang benar-benar akan berjalan di jalan-jalan kota pintar itu? Apakah anak kecil yang kini duduk di atas puing akan memiliki rumah di dalamnya? Atau Gaza baru hanya akan menjadi milik mereka yang punya modal, paspor, dan akses politik? Tanah Gaza Jadi Token Digital Aspek paling kontroversial bukan sekadar megahnya rancangan, melainkan skema pendanaannya. Gaza akan diubah menjadi “land trust”. Lebih dari 30% tanah publik disewakan untuk jangka 25–99 tahun. Tanah itu kemudian “ditokenisasi” lewat blockchain, dijadikan aset digital yang bisa diperdagangkan. Investor global dapat membeli token, memiliki sebagian Gaza secara virtual, dan meraup keuntungan nyata. Sumber foto: The Guardian Bagi rakyat Gaza, tawaran itu sederhana: serahkan tanah, dan sebagai gantinya dapatkan rumah permanen. Namun bagi banyak orang Palestina, tanah bukanlah properti biasa—ia adalah warisan, identitas, bahkan kehormatan. Menukar tanah dengan token digital tampak modern di mata investor, tetapi bagi warga Gaza yang sudah kehilangan begitu banyak, itu adalah perampasan terselubung. Relokasi “Sukarela”: Mengurangi Gaza Rencana ini juga menyelipkan skema relokasi “sukarela”. Sekitar seperempat penduduk Gaza diproyeksikan meninggalkan tanah mereka. Sebagai kompensasi, tiap orang akan diberi paket $5.000, plus subsidi sewa dan makanan selama empat tahun. Alasan yang diajukan sederhana: lebih murah membiayai mereka di luar negeri daripada membangun rumah baru untuk semua. Namun, relokasi semacam itu menimbulkan pertanyaan: apa arti “sukarela” bila pilihan yang ada hanya menerima uang lalu pergi, atau bertahan dalam ketidakpastian? Skema ini tampak efisien bagi investor, tapi bagi rakyat Gaza, ia adalah pengusiran halus—mengulang tragedi panjang pengungsian Palestina. Gaza Bebas Hamas, atau Gaza Terkontrol? Keamanan disebut sebagai syarat utama. Hamas harus dilucuti, bahkan jika itu berarti perang besar. Setelahnya, keamanan Gaza akan diatur oleh kontraktor swasta, sebagian warga terpilih, serta militer Israel. Pada tahap akhir, mungkin Gaza diberi pasukan sendiri, tapi tetap berada dalam kerangka perjanjian dengan Israel dan Trust. Gaza “baru” ini dibuat bebas dari Hamas, tapi sekaligus tetap dalam kendali luar—“bebas”, tapi tidak merdeka. Janji yang Menawan, Bayangan yang Menghantui Janji proyek ini memang memukau: satu juta lapangan kerja, 13 ribu ranjang rumah sakit baru, perumahan permanen 100%, dan PDB yang diproyeksikan naik sebelas kali lipat. Gaza yang kini bernilai nyaris nol diperkirakan melonjak hingga $324 miliar dalam sepuluh tahun. Namun, bayangan yang mengintai jauh lebih gelap: apakah rakyat Gaza akan menjadi subjek dari kemakmuran ini, atau sekadar objek? Apakah mereka akan benar-benar menikmati hasil, atau justru hanya menjadi penonton dari kota pintar yang dibangun di atas tanah mereka sendiri? Penutup – Refleksi Rencana The GREAT Trust memperlihatkan wajah ganda: di satu sisi ada janji kemakmuran futuristik, di sisi lain ada ancaman hilangnya tanah, sejarah, dan identitas. Angka-angka pembangunan memang tampak cemerlang, tapi tanpa keterlibatan rakyat Gaza, ia menjadi bentuk baru penjajahan. Pertanyaan akhirnya pun menggantung: apakah pembangunan yang tidak berakar pada aspirasi rakyat bisa disebut kebangkitan? Gaza memang bisa dipoles dengan jalan tol megah dan resort mewah, tapi luka sejarah tak bisa ditutup begitu saja dengan kaca dan beton. Refleksi ini mengingatkan bahwa kemajuan tanpa keadilan hanyalah fatamorgana. Gaza yang dijanjikan tidak boleh lahir dengan menyingkirkan Gaza yang sejati—tanah yang diwariskan, diperjuangkan, dan dijaga oleh rakyat Palestina dari generasi ke generasi. Pada akhirnya, masa depan yang bermakna hanya bisa lahir dari keberanian sebuah bangsa mempertahankan martabatnya di tengah badai sejarah. (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Sumber :The Washington Post & The Guardian

Read More

Maulid Nabi Muhammad Dalam Tradisi Perayaan Dunia dan Nusantara

Perayaan Maulid Nabi Di Kalangan Umat Islam di Timur Tengah, Afrika, Asia dan Nusantara Kota Bekasi – 1miliarsantri.net: Umat Islam di berbagai belahan dunia merayakan Maulid Nabi. Maulid Nabi merupakan peringatan hari kelahiran Rasulullah yang diperingati setiap 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriyah. Selain sebagai ungkapan syukur, perayaan ini mencerminkan kekayaan budaya umat Islam di seluruh dunia. Muhammad bin Abdullah, dikenal sebagai Nabi Muhammad SAW merupakan utusan terakhir Allah yang mengemban risalah Islam dan membawa rahmat bagi semesta. Kelahiran Nabi Muhammad menjadi waktu yang istimewa bagi umat Islam untuk mengenang sosok agung pembawa risalah Islam dan merefleksikan nilai-nilai luhur yang beliau wariskan. Sejarah Lahirnya Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (sekitar 570 M) di Makkah. Tahun Gajah dinamai demikian karena pada tahun itu pasukan bergajah pimpinan Abrahah hendak menghancurkan Kaʿbah, namun Allah mengirimkan burung ababil yang menggagalkan penyerangan mereka sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Fil:1–5. Lahir dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab, keturunan Bani Hasyim. Sejak dalam kandungan, Aminah mengalami berbagai tanda luar biasa: mimpi bertemu Nabi Ibrahim, cahaya yang menerangi dunia, dan kedamaian spiritual yang mendalam. Riwayat sejarah juga mencatat beberapa fenomena luar biasa menyertai kelahiran beliau: padamnya api sesembahan Majusi yang telah menyala lebih dari seribu tahun, runtuhnya balkon-balkon istana Kisra di Persia, dan terpancar cahaya terang dari Makkah hingga negeri Syam sebagai isyarat kelahiran pembawa rahmat bagi semesta. Sejarah Perayaan Maulid Nabi Muhammad Di Dunia Islam, Tradisi Maulid Nabi tidak dilakukan pada masa Rasulullah maupun para sahabat. Perayaan ini mulai dikenal pada abad ke-4 Hijriyah oleh Dinasti Fatimiyyun di Mesir. khususnya saat Khalifah al-Mu‘izz li-Dīnillāh mempelopori perayaan hari kelahiran Rasulullah sebagai momen penghormatan dan penguatan identitas keislaman. Sultan Salahuddin al-Ayyūbī kemudian mengadopsi dan menyebarluaskan tradisi ini pada abad ke-12 M sebagai sarana meningkatkan semangat keumatan di tengah Perang Salib. Sementara itu, tokoh seperti Khaizuran binti Atha pada 170 H/786 M memerintahkan warga Madinah dan Makkah untuk merayakan Maulid di masjid Nabawi dan rumah-rumah mereka, menjadikannya praktik yang lebih meluas pada masa itu. Raja Al-Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi dari Irbil dikenal sebagai tokoh yang mempopulerkan Maulid dengan perayaan besar dan sedekah hingga 300.000 dinar. Maulid Nabi Di Timur Tengah MESIR : Perayaan Maulid dikenal sebagai Moulid al-Nabi, festival ini berlangsung sepanjang bulan. Jalanan dihiasi lampu warna-warni, masyarakat membuat dan membagikan permen tradisional halawet al-moulid, anak-anak mendapat hadiah, serta digelar zikir bersama, pembacaan sirah, dan parade budaya. IRAK dan SURIAH : Nuansanya lebih khidmat dengan majelis zikir, pembacaan Al-Qur’an, dan tausiyah kelahiran Rasulullah di masjid-masjid besar. Jamaah datang mengenakan pakaian terbaik untuk memperkuat rasa ukhuwah. Maulid Nabi Di Benua Afrika SUDAN : Tradisi didominasi dzikir dan pembacaan qasidah. Kelompok Sufi menampilkan tarian dzikir berkelompok sebagai ekspresi kekuatan spiritual dan cinta kepada Rasulullah. MAROKO : Masyarakat menggelar majelis ilmu, membaca Burdat al-Bushiri, memperbanyak selawat, dan memasak couscous untuk dibagikan kepada tetangga sebagai simbol solidaritas. NIGERIA : Pawai akbar menelusuri kota, ribuan orang melantunkan shalawat, membawa bendera Islam, dan menampilkan kesenian daerah dalam rangka memeriahkan Maulid. Maulid Nabi Di Asia dan Nusantara TURKI : Dikenal sebagai Mevlid Kandili, umat Muslim menggelar pengajian, konferensi, dan kegiatan keagamaan di masjid-masjid besar. Maulid menjadi hari libur nasional, ditandai salat berjamaah dan pembacaan Al-Qur’an. PAKISTAN : Semua bangunan publik, masjid, dan rumah dihias lampu warna-warni. Konferensi Seerat di tingkat federal dan provinsi membahas kehidupan Nabi, lomba puisi naʽat, lomba baca Al-Qur’an, serta sedekah makanan dan permen kepada kaum dhuafa. INDIA : Sehari sebelum Maulid, jalanan, masjid, dan pasar dihiasi lampu warna-warni dan pita hijau—simbol Islam—sebagai persiapan menyambut perayaan keesokan harinya. MALAYSIA : Menjadi hari libur nasional. Umat mengisi Maulid dengan pengajian akbar, pembacaan manāqib, ceramah keagamaan, dan lomba-lomba Islami di masjid maupun sanggar dakwah. BRUNEI DARUSSALAM : Puncak acara berupa “Perarakan Agung” sejauh 4,3 km di Bandar Seri Begawan, dipimpin langsung oleh Sultan, dengan ribuan peserta melantunkan selawat sepanjang jalan. Malam sebelumnya digelar pembacaan Syaraful Anām di Istana Nurul Iman. INDONESIA : Peringatan Maulid bukan sekadar mengenang tanggal lahir Nabi Muhammad SAW, tetapi juga wujud syukur umat Islam atas kelahiran penerang kebenaran dan rahmat bagi semesta (rahmatan lil-‘ālamīn). Di Indonesia, Maulid berkembang menjadi tradisi lokal yang sarat dengan nuansa keagamaan, seperti pembacaan Barzanji, shalawat, dan pengajian. Hal ini tercermin dalam berbagai tradisi Maulid Nabi di tiap daerah sepeti : Tradisi-tradisi ini bukan sekadar seremoni, melainkan ekspresi cinta umat Islam Indonesia kepada Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid menjadi sarana mempererat silaturahmi, memperkuat nilai-nilai sosial, dan menanamkan keteladanan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Di era digital, Maulid bisa menjadi momentum untuk menyebarkan nilai-nilai Islam melalui media kreatif—dari ilustrasi, podcast, hingga konten edukatif.*** Penulis : Oom Komariah Editor : Thamrin Humris Foto istimewa berbagai sumber

Read More

Biadab! Israel Bersiap Hentikan Semua Bantuan Kemanusiaan Ke Gaza Utara dan Lakukan Pengusiran Paksa

Zionis Israel Berencana Menghentikan Bantuan Udara dan Blokir Konvoi Darat Gaza, Palestina – 1miliarsantri.net: Tindakan otoritas Israel yang bersiap mengentikan semua bentuk bantuan kemanusiaan ke Gaza Utara, ditenggarai sebagai upaya yang disengaja untuk meklakukan pengusiran paksa terhadap lebih dari 1 juta warga sipil. Media Israel memberitakan, apa yang direncanakan oleh pemerintahan Benyamin Netanyahu mencakup penghentian pengiriman bantuan udara dan pemblokiran konvoi darat yang sudah langka, yang secara efektif merampas pasokan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok Kota Gaza dan sekitarnya. Kejahatan Perang Menurut Hukum Internasional Mengutip SAFA Press Agency beberapa Kelompok Hak Asasi Manusia telah memperingatkan bahwa kebijakan tersebut merupakan senjata kelaparan dan pengungsian paksa, tindakan yang dianggap sebagai kejahatan perang menurut hukum internasional. Apa yang dilakukan penjajah Israel menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk bagi warga Palestina yang bertahan di Gaza Utara. Keluarga-keluarga di utara bertahan hidup dengan pakan ternak dan air yang tidak diolah, sementara rumah sakit tidak dapat beroperasi dan perawatan medis hampir tidak ada. Tentara Israel Menjadikan Pencari Bantuan Sebagai Sasaran Tembak Namun, laporan dari Gaza menyebutkan bahwa pasukan Israel telah berulang kali menargetkan orang-orang yang menunggu truk bantuan, menewaskan dan melukai ribuan orang, yang semakin memperkuat kekhawatiran bahwa kelaparan telah menjadi bagian dari strategi militer. Para pakar hukum internasional mengatakan perampasan yang disengaja dan penggusuran yang direkayasa tersebut memperkuat tuduhan genosida yang sudah dihadapi Israel di Mahkamah Internasional. Gaza Dipaksa Kelaparan Hingga Menyerah Pada Israel Menurut investigasi terbaru media AS THE EINTERCEPT mengungkap bagaimana blokade Israel telah mengubah krisis pangan Gaza menjadi senjata perang. Meskipun pasokan melimpah di negara-negara tetangga, penduduk Gaza terjebak dalam kelaparan buatan manusia, yang diciptakan bukan oleh kelangkaan melainkan oleh kebijakan yang disengaja. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, setidaknya 222 orang, lebih dari 100 di antaranya anak-anak, telah meninggal dunia akibat kelaparan dalam beberapa pekan terakhir. Lebih dari 18.000 anak telah dirawat karena malnutrisi akut parah tahun ini, dan banyak lainnya tidak mendapatkan perawatan yang menyelamatkan jiwa karena kekurangan obat-obatan. Harga pangan telah melonjak tinggi, dengan sekantong tepung dijual sekitar $100 jika tersedia. Dalam upaya putus asa untuk mencapai beberapa titik bantuan yang tersisa, lebih dari 1.500 orang telah tewas tulis en.safa.news.***

Read More

Robot Militer Israel Bawa 5 Ton Bahan Peledak, Gaza Hancur Jadi Puing-Puing

Zionis Israel Gunakan Robot Bermuatan 5 Ton Bahan Peledak, 300 Rumah Di Gaza Rata Dengan Tanah Gaza – 1miliarsantri.net: Tindakan barbar dan tidak berperikemanusiaan dipertontonkan militer zionis Israel. Tentara pendudukan Yahudi itu terus melanjutkan agresinya di Kota Gaza dengan cara baru yang mematikan dan menjadikan Gaza ladang pembantaian, sementara dunia dan negara-negara Arab seolah diam membisu menyaksikan Gaza mati perlahan. Militer zionis menggunakan robot jebakan bermuatan bahan peledak hingga 5 ton untuk menghancurkan rumah warga, alun-alun, dan infrastruktur sipil. Serangan intensif ini terutama terjadi di Jabalia Al-Balad, Nazla, Abu Iskandar, serta lingkungan Al-Zaytoun dan Al-Sabra. Mereka menggunakan robot yang M113, yang merupakan kendaraan pengangkut personel buatan Amerika yang sudah tua. Kendaraan ini dimodifikasi sarat bahan peledak dan dikendalikan dari jarak jauh. Tentara Israel mengarahkannya ke lokasi sipil tertentu sebelum diledakkan, sering kali pada larut malam atau saat fajar, untuk memaksimalkan kerusakan sekaligus menyebarkan ketakutan dan memaksa warga mengungsi. Skala Kehancuran Mengutip SAFA Press Agency serangan ini pertama kali tercatat pada invasi ke Kamp Jabalia, Gaza utara, Mei dan Oktober 2024, sebelum meluas ke wilayah lain. Menurut laporan lapangan, lebih dari 85% rumah dan infrastruktur hancur di Shujaiya dan Al-Tuffah, serta sekitar 70% di Al-Zaytoun, Al-Sabra, Jabalia Al-Nazla, dan Al-Balad. Suara ledakan bom mobil ini bisa terdengar hingga 40 km dari pusat ledakan, menandakan daya rusak luar biasa. Sementara itu, Euro-Med Human Rights Monitor mencatat: Israel menghancurkan sekitar 300 rumah per hari di Kota Gaza dan Jabalia, menggunakan sekitar 15 kendaraan peledak dengan total muatan 100 ton bahan peledak. Alat Pembunuhan Massal Direktur Kantor Media Pemerintah di Gaza, Ismail Al-Thawabteh, menyebut robot peledak ini sebagai “alat pembunuhan jarak jauh” yang jelas melanggar hukum humaniter internasional. Menurutnya, praktik ini termasuk kejahatan perang dan genosida sebagaimana diatur dalam Statuta Roma dan Konvensi Jenewa, karena menyasar warga sipil tanpa alasan militer yang sah. Kemudian menghancurkan properti pribadi secara sistematis, dan bertujuan mengubah demografi Gaza melalui pengungsian paksa. Krisis Kemanusiaan Sejak awal agresi di Kota Gaza, lebih dari 1.100 warga terbunuh dan 6.008 terluka. Lebih dari 100 robot peledak diledakkan di jalan dan gang padat penduduk yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban jiwa penduduk Gaza. Selain itu, puluhan ribu warga terpaksa mengungsi ke wilayah sempit di barat Gaza, dengan kondisi memprihatinkan: kekurangan makanan, air, obat-obatan, dan meningkatnya penyakit menular. Al-Thawabteh menegaskan bahwa invasi total ke Kota Gaza adalah tahap lanjutan dari kebijakan bumi hangus Israel. Semua struktur perumahan, layanan publik, hingga manusia yang ada dijadikan sasaran. Seruan Internasional Ia menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk Memberikan perlindungan nyata bagi warga Gaza, Memastikan masuknya bantuan kemanusiaan, serta Memaksa Israel bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan. Menurutnya, pengungsian saat ini adalah pengungsian paksa tanpa kepulangan, yang memang menjadi tujuan terbuka Israel. Karena itu, ia mengimbau warga untuk tetap bertahan di Gaza dan utara meski dalam kondisi sulit.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Foto : safa.ps

Read More

Ketika Generasi Muda Amerika Bangkit Membela Palestina, Pertanda Hati yang Terbuka

Gaza – 1miliarsantri.net : Di tengah gemuruh berita internasional yang semakin bising, sebuah suara berbeda muncul dari jantung Amerika. Suara itu datang dari generasi muda—Generasi Z dan Milenial awal—yang mulai memandang perang Israel-Palestina dengan hati yang lebih terbuka. Bukan lagi sekadar data statistik atau jargon politik, melainkan gelombang empati yang tumbuh, menggeser paradigma lama yang selama puluhan tahun membungkus kebijakan luar negeri Amerika. Pertanyaan yang tertinggal untuk Santri Indonesia: tetap diam, atau ikut bergerak melawan ketidakadilan Israel? Sebuah survei terbaru yang dirilis oleh University of Maryland Critical Issues Poll (Agustus 2025) menunjukkan adanya pergeseran besar dalam pandangan publik Amerika. Survei yang dilakukan pada 29 Juli hingga 7 Agustus 2025 dengan melibatkan 1.514 responden dewasa ini menemukan fakta mengejutkan. Sumber foto: University of Maryland Untuk pertama kalinya, simpati masyarakat Amerika terhadap Palestina melampaui dukungan pada Israel. Sekitar 28 persen responden menyatakan empati pada Palestina, sementara hanya 22 persen yang berpihak pada Israel. Lebih dari seperempat responden merasa simpati pada kedua belah pihak, dan sisanya memilih tidak berpihak sama sekali. Angka-angka ini tampak sederhana, namun sesungguhnya menyimpan cerita penting: generasi muda Amerika mulai menggugat narasi lama yang selama puluhan tahun menguasai politik Washington. Gelombang dari Generasi Z Perubahan paling tajam datang dari kelompok usia 18–34 tahun. Di rentang ini, 37 persen responden menyatakan simpati pada Palestina, sementara hanya 11 persen yang memilih Israel. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin dari hati nurani generasi yang tumbuh bersama internet, menyaksikan langsung gambar-gambar Gaza yang hancur, mendengar suara anak-anak yang menangis, dan membaca kisah keluarga yang tercerabut dari tanahnya. Generasi ini terbiasa membongkar narasi, mempertanyakan otoritas, dan membandingkan fakta dengan realitas di lapangan. Mereka menyaksikan penderitaan Palestina tidak melalui pidato politisi, melainkan melalui layar ponsel mereka—video pendek, kesaksian warga sipil, dan berita alternatif yang tak bisa lagi ditutup-tutupi. Bagi mereka, ini bukan soal politik luar negeri yang jauh, melainkan isu kemanusiaan yang nyata. Sumber foto: Aljazeera – AFP   Pergeseran Hati di Kampus dan Media Sosial Jika masuk ke kampus-kampus besar Amerika hari ini, mural, spanduk, hingga aksi duduk-diam mahasiswa yang menyerukan satu kata—Free Palestine—mudah ditemukan. Media sosial menjadi ruang utama yang membentuk kesadaran ini. Video anak-anak Gaza yang kehilangan rumah, ibu yang menangis di tenda pengungsian, atau suara takbir yang bercampur dengan ledakan, tersebar luas di media sosial. Solidaritas ini bukan sekadar ikut-ikutan. Bagi Generasi Z, membela Palestina menjadi bagian dari identitas mereka sebagai generasi yang menolak ketidakadilan. Isu rasisme, perubahan iklim, hingga kemerdekaan Palestina, semuanya mereka lihat sebagai satu benang merah: perjuangan untuk keadilan. Politik Amerika di Ambang Perubahan Pergeseran opini ini merembes ke ranah politik. Partai Demokrat kini menghadapi dilema: basis pemilih mudanya semakin keras menuntut agar pemerintah menghentikan dukungan buta kepada Israel. Sementara di Partai Republik—yang selama ini identik dengan pro-Israel—terlihat perpecahan internal. Jika 52 persen Republikan berusia di atas 35 tahun masih memihak Israel, angka itu anjlok menjadi hanya 24 persen di kalangan Republikan muda. Tekanan ini bisa mengubah wajah politik luar negeri Amerika di masa depan. Generasi Z adalah pemilih masa depan, dan suara mereka akan semakin dominan seiring memudarnya generasi lama. Tidak mustahil suatu hari kelak, ada presiden Amerika dari generasi ini yang berani menekan Israel menghentikan penjajahannya. Kata yang Dulu Tabu: Genosida Hal lain yang mengejutkan adalah bagaimana publik Amerika menilai tindakan Israel di Gaza. Empat dari sepuluh warga percaya bahwa yang terjadi di sana adalah genosida, dan lonjakan ini paling tajam di kalangan anak muda. Hampir separuh Generasi Z menyebut Israel melakukan genosida, sementara hanya 10 persen yang menyebutnya sebagai “pembelaan diri.” Istilah yang dulu tabu ini kini keluar dari mulut mahasiswa, aktivis muda, bahkan pemilih pemula. Mereka menyebut kehancuran Gaza bukan sebagai perang biasa, melainkan penghancuran sistematis atas sebuah bangsa. Perubahan bahasa ini adalah tanda perubahan moral: keberanian untuk menyebut sesuatu dengan namanya. Amerika yang Dipertanyakan Generasi muda juga mulai menggugat peran negaranya sendiri. Mayoritas warga—61 persen—percaya bahwa dukungan militer, diplomatik, dan ekonomi AS justru membuat Israel leluasa bertindak di Gaza. Bagi sebagian Republikan muda, bahkan muncul pandangan bahwa kebijakan luar negeri AS lebih berpihak pada Israel ketimbang pada rakyat Amerika sendiri. Di sinilah letak gejolaknya: sebuah generasi yang tidak hanya bersimpati pada Palestina, tetapi juga berani menanyakan, “Untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja? Untuk rakyatnya, atau untuk sekutunya?” Harapan dan Bayang-bayang Bagi rakyat Palestina, perubahan ini ibarat secercah cahaya di tengah gelap. Dukungan nyata dari Washington mungkin belum terwujud, tetapi opini publik yang bergeser membuat politisi Amerika tak bisa lagi berpura-pura. Setiap bom yang jatuh di Gaza kini juga berarti hilangnya simpati jutaan anak muda yang aktif bersuara di dunia maya. Bagi Israel, tren ini adalah alarm keras. Perlindungan otomatis dari Amerika tidak bisa lagi dianggap abadi. Jika generasi muda Amerika konsisten, posisi Israel di masa depan bisa terguncang. Bagi dunia, terutama dunia Islam, fenomena ini menjadi catatan penting: bahwa kebenaran yang terus disuarakan—meski dari balik tembok propaganda—pada akhirnya menemukan pendengarnya. Penutup Reflektif untuk Santri Indonesia Sejarah mengajarkan bahwa perubahan besar sering kali lahir dari suara anak muda yang diremehkan. Generasi muda Amerika mungkin belum mampu menghentikan bom di Gaza, tapi mereka sudah menanam benih perubahan. Jika tren ini terus berlanjut, dalam satu atau dua dekade ke depan, peta politik luar negeri Amerika bisa berubah drastis—dan Palestina mungkin menemukan sekutu sejati di tempat yang paling tak disangka: di hati anak muda Amerika. Bagi santri di Indonesia, fenomena ini memberi pelajaran berharga. Bahwa perjuangan tidak selalu dimulai dari kekuatan politik, melainkan dari keberanian moral dan kejernihan hati nurani. Anak muda Amerika saja bisa tumbuh empati dan keberanian mereka, apalagi kita sebagai Muslim Indonesia yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan dekat dengan Muslim Palestina, Palestina dan Baitul Maqdis. Pertanyaannya: jika mereka di sana berani menyuarakan keadilan untuk Palestina, apa yang bisa kita lakukan di sini? Apakah cukup hanya simpati, ataukah kita juga siap menyalakan obor kecil itu—melalui doa, ilmu, dakwah, tarbiyah dan aksi nyata? Sebab sejarah tidak hanya ditulis oleh para pemimpin besar, tetapi juga oleh generasi muda yang berani menolak diam di hadapan ketidakadilan. (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Sumber: The Anwar Sadat Chair for Peace and…

Read More

Tragedi Kemanusiaan Jurnalis di Gaza dan Kematian Jurnalisme Barat

Gaza – 1miliarsantri.net : Pada 25 Agustus 2025, langit Khan Younis kembali dipenuhi dentuman ketika dua serangan udara beruntun menghantam Nasser Hospital—satu-satunya rumah sakit besar di selatan Gaza. Tragedi kemanusiaan dalam serangan pertama menewaskan warga sipil dan jurnalis, lalu serangan kedua atau double-tap strike mengenai tim penyelamat dan rekan media yang datang. Di antara korban tewas adalah Hussam al-Masri (Reuters), Mariam Abu Dagga (Associated Press), Mohammed Salama (Al Jazeera), Moaz Abu Taha (Reuters), dan Ahmed Abu Aziz (Middle East Eye), beberapa di antaranya meregang nyawa saat kamera mereka masih menyala, menyiarkan detik-detik terakhir hidup mereka. Seolah nyawa jurnalis di Gaza yang memberitakan kebenaran fakta tentang genosida yang berlangsung secara massif, dianggap sebagai ancaman serius bagi Israel. Peristiwa ini menambah daftar panjang jumlah jurnalis Palestina yang tewas di Gaza sejak perang dimulai pada Oktober 2023, mencapai lebih dari 240 orang, angka yang menjadikan Gaza sebagai salah satu medan paling mematikan bagi wartawan dalam sejarah modern. (Reuters, 27/08/25). Namun di tengah gelombang duka itu, solidaritas global dari sesama jurnalis justru terasa nyaris sunyi, meninggalkan pertanyaan pahit yang terus menggema: ke mana suara kebebasan pers dunia ketika para wartawan Gaza menjadi sasaran, dan mengapa tidak ada gelombang solidaritas? “Saya Kehilangan Kata-Kata” Profesor studi media di Doha Institute for Graduate Studies, Mohamad ElMasry, mengaku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa frustrasinya. “Israel telah berperang melawan jurnalisme sejak awal perang,” katanya kepada Al Jazeera. “Mereka tidak menyembunyikannya. Mereka sangat terbuka tentang ini.” Yang lebih mengejutkannya adalah sikap komunitas global. “Pertanyaan saya: di mana para jurnalis internasional? Di mana The New York Times? Di mana CNN? Di mana media arus utama Barat? Ketika jurnalis Charlie Hebdo terbunuh pada 2015, itu memicu kemarahan global berbulan-bulan. Itu jadi berita utama di semua media Barat. Dan saya memuji mereka atas solidaritasnya. Tapi sekarang, di mana kemarahan itu?” Kekecewaan ElMasry mencerminkan jurang moral yang kian melebar: kematian jurnalis di Paris dihormati sebagai tragedi global, sementara kematian jurnalis di Gaza diperlakukan sebagai catatan kaki. Keheningan yang Mengiris Kontras ini sulit diabaikan. Tahun 2015, ribuan orang turun ke jalan di Eropa membawa slogan “Je suis Charlie.” Politisi, seniman, hingga kepala negara memberikan pernyataan solidaritas. Media Barat memimpin kampanye global membela kebebasan pers. Kini, ketika jumlah jurnalis Palestina yang terbunuh jauh lebih banyak, responsnya nyaris nihil. Tidak ada headline besar yang mendominasi halaman depan koran internasional selama berbulan-bulan. Tidak ada hashtag mendunia yang memobilisasi solidaritas publik. Tidak ada pawai besar yang menuntut perlindungan pers. Diamnya media Barat, bagi banyak pengamat, lebih menyakitkan daripada bom itu sendiri. Karena di balik diam itu, tersimpan pesan bahwa nyawa wartawan Palestina dianggap kurang berharga Impunitas yang Terus Berulang Lembaga seperti CPJ (Committee to Protect Journalists) dan Human Rights Watch mencatat pola lama: tentara Israel berkali-kali menarget wartawan, namun hampir tak pernah ada yang dimintai pertanggungjawaban. Kasus Shireen Abu Akleh pada 2022 masih segar di ingatan—ditembak meski mengenakan rompi pers, dan sampai kini belum ada pelaku yang diadili. Impunitas ini memberi sinyal berbahaya: bahwa membungkam jurnalis Palestina tidak akan menimbulkan konsekuensi internasional. Dan selama media Barat memilih diam, pola ini akan terus berulang. Bias Narasi: Jurnalisme Kolonialis Mengapa newsroom besar begitu enggan bersuara? ElMasry menilai ini bukan sekadar kelalaian, melainkan konsekuensi dari bias naratif. Media Barat sering menggantungkan diri pada narasi resmi Israel, lalu mengulanginya tanpa verifikasi independen. Hasilnya, kematian wartawan Palestina direduksi sebagai “dampak sampingan” perang, bukan serangan sistematis terhadap kebebasan pers. Dalam istilah akademis, ini adalah bentuk jurnalisme kolonialis—di mana media global melanggengkan struktur kekuasaan kolonial: menentukan siapa yang pantas dianggap korban dan siapa yang suaranya bisa diabaikan. Orang Palestina direduksi menjadi statistik, bukan manusia dengan cerita. Padahal setiap wartawan yang gugur meninggalkan keluarga, kamera, dan kisah yang seharusnya menggugah hati dunia. Krisis Netralitas dan Profesionalisme Selama puluhan tahun, media Barat membangun citra sebagai pilar demokrasi, pembela kebenaran, dan suara moral global. Namun perang Gaza meruntuhkan klaim itu. Jika dua ratus lebih wartawan terbunuh tanpa memicu solidaritas global, apa arti netralitas yang selalu dikumandangkan? Jika newsroom besar takut bersuara lantang, lalu apa makna profesi ini selain sekadar bisnis berita? Krisis ini menyingkap bahwa yang mati di Gaza bukan hanya jurnalis Palestina, tetapi juga jiwa jurnalisme itu sendiri. Gaza sebagai Cermin Di Gaza, para jurnalis terus melaporkan meski tahu nyawa mereka menjadi taruhan. Mereka bekerja dari reruntuhan, dari tenda pengungsian, bahkan dari rumah sakit yang dibombardir. Mereka mempertaruhkan hidup untuk memastikan dunia tahu apa yang terjadi. Di sisi lain, jurnalis di Barat—yang bekerja dengan segala fasilitas dan keamanan—lebih sering memilih diam, atau berlindung di balik bahasa “netralitas” yang sebenarnya memihak status quo. Gaza akhirnya menjadi cermin pahit bagi jurnalisme global: memperlihatkan keberanian di satu sisi, dan ketakutan sekaligus kemunafikan di sisi lain. Sebuah Ajakan Mendesak Diam bukan lagi pilihan; diam berarti berkomplot dengan penindasan, bahkan mengkhianati profesi sendiri. Solidaritas seharusnya melintasi batas geopolitik, warna kulit, bahasa, atau paspor. Jika jurnalisme ingin tetap hidup sebagai profesi bermartabat, sebagai pilar demokrasi dan suara kebenaran, maka newsroom besar di Barat harus bangkit dari keheningan—menamai kebrutalan sebagai kebrutalan, menuntut perlindungan bagi rekan seprofesi di Gaza, dan mengembalikan martabat pers yang kini terancam terkubur bersama para wartawan Palestina yang gugur. Gaza telah memperlihatkan keberanian jurnalis lokal dalam kondisi mustahil; kini dunia menunggu, apakah rekan-rekan mereka di Barat siap berdiri, atau memilih membisu selamanya. (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Foto : Reuters Sumber: Aljazeera https://www.aljazeera.com/opinions/2024/8/2/gaza-and-the-death-of-western-journalism https://www.aljazeera.com/news/liveblog/2025/8/25/live-israel-intensifies-attacks-on-gaza-leaving-dozens-dead-in-a-day?update=3906499

Read More

Fakta Menyakitkan Bayi Gaza Diberi Minum Air Garam: Kisah Nestapa Orang Tua di Tenda Pengungsian

Gaza – 1miliarsantri.net : Di tengah teriknya musim panas Gaza, di sebuah tenda pengungsian yang hanya diselimuti kain tipis, seorang ayah terpaksa memberikan air bercampur garam kepada bayinya yang baru berusia 10 bulan. Fakta menyakitkan bayi Gaza diberi minum air garam, adalah kisah nestapa di tenda pengungsian. Bukan karena ia tak peduli, melainkan karena itulah satu-satunya “minuman” yang bisa ia berikan ketika susu dan makanan tak lagi terjangkau. Kisah memilukan ini datang dari keluarga Alaa al-Ramlawi, pengungsi dari wilayah utara Gaza yang kini berlindung di Kamp al-Bureij. Di tenda panas yang nyaris tak bisa menahan sengatan matahari, ia tinggal bersama anak-anaknya yang masih kecil. Si bungsu, bayi perempuan, menangis lapar setiap hari. Tapi susu formula yang seharusnya menjadi haknya, hanya bisa dibayangkan. Alaa mengaku dengan nada getir bahwa dirinya tidak mampu membeli susu atau bahkan popok untuk anak-anaknya. Ia mengatakan, ia terpaksa memberi air bercampur garam kepada bayinya agar perutnya tidak kosong. Ia sendiri merasa hancur sebagai seorang ayah, tetapi tidak ada pilihan lain. Kondisi fisiknya pun memperparah keadaan. Kakinya cedera parah dan telah dipasangi plat besi, membuatnya sulit bekerja. Tanpa pekerjaan dan tanpa penghasilan, mustahil baginya untuk membeli kebutuhan anak-anak. Susu formula memang tersedia di pasar Gaza, tetapi dengan harga sekitar 200 shekel per kaleng—jumlah yang sama dengan gaji sebulan penuh buruh harian. Bagi keluarga miskin seperti Alaa, harga itu setara dengan jurang pemisah antara hidup dan mati. Buah Simalakama yang Menyayat Hati Ibu Palestina Istri Alaa mengakui bahwa ia tahu air bercampur garam berbahaya bagi anak-anak, tetapi dengan getir ia bertanya, “Lalu apa yang harus kulakukan? Apakah mereka harus mati?” Baginya, menyodorkan botol berisi cairan asin memang menyakitkan, namun tetap lebih baik daripada melihat mereka kelaparan hingga kehilangan nyawa. “Di dalam hati, aku ingin menangis, hatiku hancur dari dalam, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun,” ucapnya. Anak-anak yang hanya tahu rasa asin Di tenda itu, dua anak lain, Injood (3 tahun) dan Mahmoud (5 tahun), tumbuh dengan rasa asin air garam. Saat ditanya, Injood dengan polos menyebut bahwa ia “minum air garam.” Bagi usianya yang masih belia, itu sudah menjadi kebiasaan, bukan lagi hal aneh. Mahmoud, dengan wajah pucat dan suara lirih, mengaku minum air garam karena lapar. Ia berkata ingin sekali makan roti dari tepung putih, tetapi sudah hampir 20 hari ia tidak menyentuh sepotong pun. Terakhir kali ia makan roti adalah ketika seorang tetangga iba memberikan 2 kilogram tepung. Sejak saat itu, ia hanya bertahan dengan falafel murah, satu porsi dibagi bersama saudara-saudaranya, ditambah air dan garam agar perut tidak sakit. “Anak-anak Gaza kini tidak lagi sekadar kekurangan susu atau popok,” kata pewawancara Al Jazeera dalam laporannya, “tetapi mereka tidak punya makanan sama sekali, kecuali garam yang diyakini bisa menahan perut dari kerusakan.” Ironi di balik blokade Situasi tragis ini terjadi meskipun ada laporan bahwa sebagian barang telah masuk ke Gaza. Namun bagi sekitar 80 persen warga, harga-harga terlalu tinggi untuk dijangkau. Sehingga, masuknya barang-barang itu justru hanya mempertebal luka—seolah ada makanan di pasar, tetapi mustahil untuk dibeli. Alaa sendiri menggambarkan betapa mustahilnya keluar mencari bantuan. Ia pernah mencoba mendekati lokasi distribusi bantuan, tetapi malah menghadapi risiko ditembak. Akhirnya, ia kembali dengan tangan kosong, lalu kembali menyodorkan air bercampur garam kepada anak-anaknya. Nestapa yang terulang di ribuan keluarga Keluarga al-Ramlawi hanyalah satu dari puluhan ribu keluarga Gaza yang terperangkap dalam lingkaran kelaparan dan kemiskinan ekstrem. Cerita mereka bukan satu-satunya, melainkan cermin dari tragedi kolektif. Para orang tua di Gaza kini dipaksa membuat pilihan-pilihan mustahil: apakah membiarkan anak-anak mereka menangis kelaparan, atau memberi mereka air garam demi sekadar bertahan hidup sehari lagi? Di bawah tenda panas yang nyaris meleleh, setiap tetes air asin yang diteguk seorang anak adalah simbol kegagalan dunia untuk melindungi yang paling lemah. Gaza tidak hanya sedang berjuang melawan blokade, tetapi melawan pelan-pelan matinya generasi baru yang hanya mengenal rasa asin air garam, bukan manisnya susu atau lembutnya sepotong roti. Air Asin di Lidah Anak Gaza, Luka di Hati Kemanusiaan Di balik kisah keluarga al-Ramlawi, ribuan keluarga Gaza lainnya tengah menanggung penderitaan serupa. Bayi-bayi yang seharusnya mendapat susu justru dicekoki air garam, sementara para orang tua dipaksa menanggung rasa bersalah karena tak mampu memberi sebotol susu dan sepotong roti. Ini bukan sekadar tragedi Gaza, melainkan cermin kegagalan dunia. Setiap tegukan air asin di bibir anak Gaza adalah tanda bahwa kita memilih diam, sementara generasi kecil perlahan dikorbankan. Penderitaan ini bukan sekadar potret perang, melainkan panggilan moral bagi kita semua. Diam berarti ikut membiarkan mereka binasa dalam kelaparan dan kehausan. Inilah waktunya bagi kita untuk bersuara, mendesak keadilan, dan memberi dukungan nyata bagi rakyat Gaza. Karena masa depan mereka tidak boleh berakhir di tenda-tenda pengungsian, tetapi harus lahir dari keberanian dunia untuk memilih kemanusiaan di atas segalanya. Pertanyaannya adalah: “Sampai kapan kita rela hanya menjadi saksi bisu?” (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Foto : VOA Indonesia Sumber: Kanal YouTube Al Jazeera Mubasher https://youtu.be/Rle0z8HNu6s?si=aWsMLa1jxc8Inhp5

Read More

Ancaman Tarif AS Guncang Pasar, Tapi Raksasa Chip Malah Naik

Surabaya – 1miliarsantri.net: Pasar Asia kembali terguncang setelah mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan ancaman tarif 100 persen terhadap produk impor strategis, termasuk semikonduktor dan farmasi. Kebijakan ini menargetkan khususnya produk dari Tiongkok, dan memunculkan ketidakpastian di pasar global. Namun, reaksi pasar tidak sepenuhnya negatif. Saham raksasa teknologi seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), Samsung Electronics, dan SK Hynix justru melonjak dalam dua hari terakhir. Lonjakan ini terjadi setelah beredar laporan bahwa perusahaan yang memiliki pabrik di Amerika Serikat kemungkinan akan dikecualikan dari tarif tersebut. Investor melihat peluang besar bagi perusahaan yang telah lebih dahulu berinvestasi di manufaktur domestik AS. TSMC saat ini tengah membangun pabrik chip miliaran dolar di Arizona, sementara Samsung dan SK Hynix memperluas fasilitas di Texas. Langkah ini memberi keuntungan strategis karena mereka dapat memenuhi permintaan pasar AS tanpa terhalang tarif tinggi. Proteksionisme vs Realitas Rantai Pasok Global Meski narasi “America First” telah menjadi ciri khas Trump sejak 2016, kenyataannya memutus rantai pasok global bukan perkara mudah. Satu unit chip modern bisa melibatkan desain di AS, fabrikasi di Taiwan atau Korea Selatan, dan perakitan di Malaysia atau Tiongkok. Struktur produksi yang telah melebur dalam ekosistem lintas negara membuat pemisahan total menjadi tantangan besar. Perusahaan semikonduktor Tiongkok seperti SMIC menegaskan bahwa dampak tarif era Trump sebelumnya tidak sedramatis yang diperkirakan. Dukungan permintaan domestik serta program substitusi impor justru memperkuat posisi mereka. Bagi Beijing, tekanan eksternal menjadi pemicu untuk mempercepat kemandirian teknologi dan memperluas kapasitas produksi dalam negeri. Menurut laporan Brookings Institution, relokasi pabrik ke AS memang meningkatkan nilai tambah domestik, tetapi tidak menghapus ketergantungan pada pemasok global, terutama untuk bahan baku dan peralatan produksi. Kebijakan tarif lebih bersifat menggeser lokasi produksi daripada merevolusi rantai pasok. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok secara terbuka menolak langkah tarif tambahan ini, menyebutnya berpotensi merusak stabilitas perdagangan global. Sikap serupa disuarakan oleh negara-negara Asia lain seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang yang ekonominya bergantung pada ekspor elektronik dan komponen teknologi. Dampak Pasar dan Risiko bagi Industri AS Sendiri Ancaman tarif ini langsung terasa di pasar mata uang dan saham. Indeks dolar AS menguat karena investor memburu aset aman, sementara yen Jepang dan won Korea Selatan melemah. Bursa Tokyo dan Seoul mencatat penurunan akibat aksi ambil untung dan kekhawatiran akan volatilitas perdagangan. Namun, proteksionisme tidak serta merta menguntungkan industri chip dalam negeri AS. Produsen seperti Intel dan AMD masih mengandalkan komponen dan teknologi dari luar negeri untuk menjaga efisiensi biaya dan kecepatan inovasi. Jika tarif diberlakukan secara luas, biaya produksi bisa meningkat signifikan. Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperingatkan bahwa kebijakan tarif yang terlalu agresif dapat menghambat proyek infrastruktur teknologi besar, termasuk pengembangan kecerdasan buatan (AI), layanan cloud, dan pusat data. Gangguan pasokan chip dapat memperlambat miliaran dolar investasi yang sedang berjalan di sektor digital. Selain itu, beberapa analis menilai ancaman tarif ini mungkin lebih merupakan strategi negosiasi Trump jika ia kembali berkuasa pada 2025. Taktik serupa digunakan saat renegosiasi NAFTA menjadi USMCA pada 2018, di mana ancaman tarif digunakan untuk mendorong kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi AS. Politik, Ekonomi, dan Masa Depan Industri Teknologi Hingga kini, Gedung Putih belum merilis rincian resmi soal rencana tarif 100 persen ini. Tanpa kejelasan aturan, pelaku industri dan mitra dagang AS harus berspekulasi dan menyiapkan strategi cadangan. Banyak pihak menilai bahwa upaya membatasi perdagangan teknologi lintas negara pada akhirnya akan bertabrakan dengan kebutuhan industri itu sendiri. Teknologi modern lahir dari kolaborasi global, dan memisahkan komponen dalam rantai pasok justru berisiko memperlambat inovasi. Pasar masih menunggu langkah lanjutan Trump dan respon negara-negara yang terdampak. Apakah kebijakan ini akan menjadi awal dari perang dagang babak baru atau hanya bagian dari strategi diplomasi ekonomi, jawabannya akan menentukan arah industri teknologi global dalam beberapa tahun mendatang. Yang jelas, ancaman tarif ini kembali menegaskan bahwa teknologi dan politik tidak bisa dipisahkan di era globalisasi. Di satu sisi, proteksionisme berusaha membangun batas; di sisi lain, realitas industri modern justru menuntut keterhubungan tanpa sekat. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More