Jurang Dalam Ketimpangan Sosial Nepal: Dari Flexing Anak Nepo hingga Amarah di Jalanan

Tegal – 1miliarsantri.net : Di tengah kondisi ekonomi yang masih serba sulit, generasi muda Nepal kini semakin geram dengan gaya hidup mewah keluarga pejabat dan politisi. Fenomena flexing alias pamer harta yang dilakukan anak-anak elite politik menjadi salah satu pemicu gelombang protes besar di negara pegunungan Himalaya itu. Di media sosial, istilah “anak-anak nepo”  Nepal plesetan dari nepotisme  mendadak viral beberapa pekan sebelum demonstrasi Senin lalu (08/09). Istilah ini ditujukan pada anak-anak pejabat tinggi dan menteri yang hobi pamer barang mewah di TikTok maupun Instagram. Para politisi Nepal sebenarnya sudah lama dituding korupsi, tidak transparan dalam penggunaan dana publik, dan menikmati gaya hidup yang jauh dari wajar jika dibandingkan dengan gaji resmi mereka. Kecurigaan itu semakin kuat ketika muncul berbagai video yang memperlihatkan kerabat pejabat bepergian dengan mobil mahal, nongkrong di restoran kelas atas, atau berpose dengan merek fesyen desainer internasional. “Kini memamerkan gaya hidup mewah layaknya tokoh mapan,” ujarnya kepada Al Jazeera, dikutip dari international.sindonews.com, Kamis (11/9/2025). Tak heran bila para demonstran menuntut dibentuknya komisi investigasi khusus untuk menelusuri harta kekayaan para politisi. Bagi publik, hal ini bukan sekadar soal pamer harta, tetapi simbol dari masalah yang lebih besar: korupsi dan kesenjangan ekonomi. Baca Juga : demo buruh di depan istana negara RI Warisan Feodalisme dan Ketimpangan Lama Menurut Dipesh Karki, asisten profesor di Universitas Kathmandu, fenomena ini tak bisa dilepaskan dari sejarah Nepal sebagai masyarakat feodal yang baru dua dekade lalu meninggalkan sistem monarki. “Sepanjang sejarah, mereka yang berkuasa memegang kendali atas sumber daya dan kekayaan bangsa, yang mengakibatkan apa yang bisa kita sebut sebagai perebutan kekuasaan oleh elit,” ujarnya. Video yang beredar di TikTok makin menambah bara kemarahan publik. Salah satunya menampilkan Sayuj Parajuli, putra mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal Gopal Parajuli, sedang berpose dengan mobil dan jam tangan mewah. Video lain memperlihatkan Saugat Thapa, anak Menteri Hukum dan Urusan Parlemen Bindu Kumar Thapa, sedang asyik di restoran mahal. Menurut Karki, tak mengherankan jika kesenjangan makin terasa. Sebab kekayaan, bisnis perkotaan, hingga kesempatan pendidikan sebagian besar terkonsentrasi di kalangan keluarga elit Nepal, terutama mereka yang memiliki koneksi politik. Baca Juga : PBB Desak Indonesia, Terkait Dugaan Pelanggaran HAM Saat Demo Realitas Ekonomi: Hidup Susah di Negeri Sendiri Kontras dengan kemewahan elite, kondisi rakyat justru sebaliknya. Pendapatan per kapita Nepal hanya sekitar USD 1.400 per tahun, salah satu yang terendah di Asia Selatan. Tingkat kemiskinan masih di atas 20 persen, sementara pengangguran pemuda mencapai 32,6 persen pada 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan India yang hanya 23,5 persen Tak heran banyak warga Nepal memilih mencari nafkah ke luar negeri. Pada 2021, sekitar 7,5 persen populasi tinggal di luar negeri, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan India (1 persen) dan Pakistan (3,2 persen). Perekonomian Nepal bahkan sangat bergantung pada remitansi: pada 2024, uang kiriman pekerja migran mencapai 33,1 persen dari PDB, salah satu yang tertinggi di dunia. “Kenyataan pahitnya adalah sebagian besar penduduk miskin berada di luar Nepal, mengirimkan remitansi ke Nepal,” jelas Karki. Sementara itu, kepemilikan tanah tetap timpang. Menurut Karki, 10 persen rumah tangga teratas memiliki lebih dari 40 persen tanah. Di sisi lain, sebagian besar penduduk miskin perdesaan Nepal justru tidak memiliki tanah sama sekali. (***) Penulis: Satria S Pamungkas Editor: Toto Budiman & Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Freedom Edge 2025 Jadi Sinyal Tandingan Blok Seoul–Tokyo–Washington

Seoul – 1miliarsantri.net: Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat akan menggelar latihan militer trilateral Freedom Edge 2025 pada 15–20 September di wilayah udara dan laut tenggara Pulau Jeju. Fokus latihan mencakup operasi udara, angkatan laut, hingga skenario siber. Menurut Staf Gabungan Korsel (JCS), latihan ini merupakan bagian dari pertahanan kolektif untuk meningkatkan interoperabilitas dan kesiapan menghadapi ancaman nuklir dan rudal Korea Utara. JCS menegaskan latihan bersifat defensif sesuai hukum internasional, bukan persiapan operasi ofensif. Pernyataan bersama pejabat pertahanan Korsel, Jepang, dan AS menekankan pentingnya kerja sama trilateral menghadapi ancaman DPRK, menjaga kebebasan navigasi, serta mencegah perubahan status quo di Semenanjung Korea. Sorotan Regional dan Respons Korea Utara Freedom Edge 2025 adalah edisi ketiga latihan ini, sekaligus yang pertama di bawah Presiden Korsel Lee Jae-Myung. Lokasi Jeju dipilih karena strategis sebagai pengawasan potensi peluncuran rudal Korea Utara. Namun, Pyongyang mengecam keras rencana tersebut. Kim Yo Jong, saudara perempuan pemimpin Korea Utara, menilai latihan ini sebagai “pamer kekuatan sembrono” dan memperingatkan adanya konsekuensi serius. Pyongyang kerap menyebut latihan trilateral semacam ini sebagai “rehearsal invasi,” meski Seoul, Tokyo, dan Washington menegaskan sifatnya defensif. Bagi sejumlah analis, latihan ini juga merupakan respons diplomatik terhadap parade militer di Beijing yang baru-baru ini dihadiri pemimpin Korea Utara dan Rusia. Baca juga: Israel Klaim Menguasai 40% Kota Gaza Posisi Amerika Serikat dan Jepang Pentagon menegaskan bahwa Freedom Edge 2025 menunjukkan komitmen Washington mendukung sekutu dan menjaga stabilitas Indo-Pasifik. Jepang pun menegaskan kontribusinya dengan mengerahkan kapal perusak Aegis, jet tempur, dan unit siber untuk melatih pertahanan jaringan kritis. Meski detail jumlah pasukan dan alutsista belum diumumkan, latihan diperkirakan melibatkan jet tempur, kapal perang, simulasi pertahanan rudal, dan operasi siber. Makna Strategis Jangka Panjang Freedom Edge 2025 berakar pada Deklarasi Camp David 2023, yang memperkuat mekanisme konsultasi keamanan reguler antara ketiga negara. Latihan ini bukan sekadar drill militer, melainkan bagian dari arsitektur keamanan baru Indo-Pasifik. Bagi AS, latihan memperkuat posisinya menghadapi pengaruh Tiongkok. Bagi Korsel dan Jepang, latihan menegaskan payung pertahanan bersama termasuk dukungan aset strategis AS seperti bomber B-52 dan kapal induk. Namun, ada risiko spiral ketegangan. Pyongyang kemungkinan terus melihat latihan sebagai ancaman langsung. “Selama Korea Utara memandangnya sebagai rehearsal invasi, risiko eskalasi akan tetap ada,” jelas Dr. Shin Beom-chul dari Korea Research Institute for National Strategy. Baca juga: Trump Sindir India dan Rusia Makin Dekat ke China Kesimpulan Freedom Edge 2025 lebih dari sekadar latihan gabungan. Ia adalah pesan politik, strategi pertahanan, sekaligus simbol solidaritas tiga negara di tengah meningkatnya ketidakpastian kawasan. Dengan memperdalam kerja sama militer dan memperkuat efek deterrence, latihan ini menjadi salah satu fondasi penting arsitektur keamanan Indo-Pasifik ke depan. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona dan Toto Budiman Ilustrasi by AI

Read More

Trump Sindir India dan Rusia Makin Dekat ke China

Washington – 1miliarsantri.net: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan kritik keras kepada India dan Rusia. Melalui unggahan di platform Truth Social, ia menyinggung semakin eratnya hubungan kedua negara itu dengan China setelah pertemuan puncak Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Tianjin bersama Presiden Xi Jinping. Trump menulis: “Looks like we’ve lost India and Russia to deepest, darkest China. May they have a long and prosperous future together!” Ucapan ini memicu spekulasi soal arah hubungan geopolitik Asia. Sindiran Trump dan Reaksi Diplomatik Unggahan Trump disertai foto Modi, Putin, dan Xi berjalan bersama. India memilih berhati-hati dengan hanya menyatakan “no comment”. Trump kemudian mengklarifikasi bahwa meski kecewa India membeli minyak dari Rusia, ia merasa hubungan pribadi dengan Narendra Modi tetap baik. China menanggapi dengan menyebut bahwa kerja sama Beijing dengan India dan Rusia “tidak ditujukan melawan pihak ketiga” melainkan demi kepentingan rakyat. Di kesempatan lain, Trump menyerang kebijakan Presiden Joe Biden yang dinilainya terlalu lemah menghadapi pengaruh China. Dalam pidato kampanye di Ohio, ia menyebut langkah Washington yang membiarkan India mempererat hubungan dengan Rusia dan China sebagai “kegagalan diplomasi terbesar dekade ini”. Baca Juga: Mulai September 2025, Wisatawan Asing Wajib Gunakan Aplikasi All Indonesia Media China dan Narasi Alternatif Pernyataan Trump dimanfaatkan media pemerintah China. Harian Global Times menyebut komentar Trump mencerminkan kepanikan AS. Beijing menegaskan inisiatif Belt and Road dan kerja sama energi trilateral sebagai pilihan rasional dengan manfaat ekonomi nyata, berbeda dari janji Barat. Narasi ini memperkuat strategi komunikasi China yang berusaha membingkai kemitraan mereka dengan India dan Rusia sebagai alternatif terhadap dominasi global Barat. Implikasi Geopolitik Komentar Trump memperlihatkan kekhawatiran AS terhadap kemungkinan poros baru China–Rusia–India. Namun sejumlah analis menilai pernyataan itu lebih bersifat retoris. India selama ini menjalankan kebijakan “strategic autonomy”, menjaga kemandirian dalam mengambil keputusan, termasuk urusan energi. Keputusan India membeli minyak Rusia dipandang memperlebar jarak dengan Barat. Sebagai reaksi, pemerintahan AS mengenakan tarif impor 50% terhadap India. Kritik dari pejabat lain seperti Peter Navarro juga menambah tekanan diplomatik. Meski begitu, India tetap menegaskan bahwa kebijakan energi adalah hak kedaulatan nasional. Rusia pun belum menanggapi langsung sindiran Trump. Sementara China memilih menekankan kerja sama win-win dan menolak kerangka konflik bipolar. Baca juga: Israel Klaim Menguasai 40% Kota Gaza Retorika atau Pergeseran Aliansi? Tulisan Trump tentang “kehilangan” India dan Rusia mencerminkan frustrasi Washington terhadap strategi diplomasi New Delhi dan Moskow, terutama dalam konteks perang Ukraina dan rivalitas AS–China. Namun tanpa perubahan kebijakan besar atau perjanjian strategis baru, klaim Trump lebih mungkin dianggap sebagai retorika politik daripada tanda nyata pergeseran aliansi. India menegaskan hubungan energinya dengan Rusia bukan berarti meninggalkan Barat. China pun berulang kali menyatakan tidak berambisi mendominasi global. Dengan demikian, sindiran Trump lebih mencerminkan dinamika komunikasi politik ketimbang realitas geopolitik yang sudah berubah secara permanen. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona dan Toto Budiman Ilustrasi by AI

Read More

Israel Klaim Menguasai 40% Kota Gaza

Gaza – 1miliarsantri.net: Militer Israel menyatakan telah menguasai 40% wilayah Kota Gaza dan berencana memperluas operasi, meski krisis kemanusiaan semakin parah. Juru bicara militer, Brigadir Jenderal Effie Defrin, menyebut kawasan Zeitoun, Sheikh Radwan, dan Tal al-Hawa kini berada di bawah kendali Israel. Menurutnya, operasi akan terus diperkuat hingga tujuan strategis seperti pembebasan sandera dan penghancuran infrastruktur Hamas tercapai. Klaim ini dipandang sebagai tonggak penting operasi militer Israel yang telah berlangsung berbulan-bulan. Namun, keterbatasan akses jurnalis internasional membuat klaim tersebut sulit diverifikasi. Foto satelit dan laporan lembaga kemanusiaan menunjukkan kerusakan parah pada jalan, fasilitas umum, serta pemukiman akibat serangan udara intensif. Eskalasi Operasi dan Krisis Kemanusiaan Operasi intens Israel menimbulkan konsekuensi kemanusiaan besar. Menurut PBB (OCHA), ratusan ribu warga Gaza mengungsi ke Khan Younis dan Rafah. Namun, tempat penampungan darurat penuh, kekurangan sanitasi, air bersih, dan makanan. WHO melaporkan hanya sebagian kecil rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi dengan kapasitas terbatas karena minim listrik dan bahan bakar. Rumah sakit al-Shifa dan al-Quds mengalami kerusakan serius, memaksa ribuan pasien dipindahkan dalam kondisi darurat. Warga sipil menggambarkan situasi tidak terkendali. Blokade membuat banyak keluarga terjebak di zona pertempuran tanpa kepastian keselamatan. Baca Juga: Mulai September 2025, Wisatawan Asing Wajib Gunakan Aplikasi All Indonesia Respons Dunia Internasional Sekjen PBB António Guterres mendesak penghentian eskalasi untuk menyelamatkan warga sipil dan membuka akses bantuan. Uni Eropa melalui Josep Borrell menyerukan gencatan senjata segera serta penegakan hukum humaniter internasional. Amerika Serikat menyatakan tetap mendukung “hak Israel membela diri,” tetapi menekankan agar operasi meminimalkan korban sipil. Washington juga berjanji menyalurkan bantuan tambahan melalui badan-badan PBB. Sebaliknya, Qatar, Mesir, dan Turki mengecam keras serangan Israel yang disebut melanggar hukum internasional. Mereka mendesak Dewan Keamanan PBB mengambil langkah tegas untuk menghentikan operasi di kawasan padat penduduk tersebut. Dilema Perang Urban Penguasaan 40% Kota Gaza menyoroti dilema perang perkotaan. Israel menuduh Hamas menggunakan lingkungan padat sebagai basis pertahanan dan fasilitas bawah tanah. Namun, organisasi HAM menilai operasi besar-besaran di permukiman justru memperbesar risiko korban sipil. Human Rights Watch dan Amnesty International menegaskan meski ada peringatan evakuasi, kondisi lapangan membuat perpindahan massal tidak aman. Jalan rusak, transportasi terbatas, dan tidak ada zona aman yang benar-benar terlindung. Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas strategi militer Israel sekaligus mempertegas kebutuhan solusi diplomatik. Namun, upaya gencatan senjata belum menghasilkan hasil konkret. Israel bertekad melanjutkan operasi hingga seluruh jaringan Hamas dihancurkan. Baca Juga: Ukraina Dijanjikan Perisai Baru: 26 Negara Siap Pasang Badan, Mampukah Redam Ancaman Rusia? Kesimpulan Klaim Israel menguasai 40% Kota Gaza menandai fase baru konflik yang sudah menewaskan ribuan jiwa. Meski dianggap kemenangan strategis oleh Israel, verifikasi independen sulit dilakukan. Di sisi lain, krisis kemanusiaan semakin akut dengan jutaan warga terancam kekurangan pangan, air, dan layanan kesehatan. Dengan rencana perluasan operasi, dunia internasional menghadapi dilema besar: bagaimana menekan pihak bertikai untuk menghentikan eskalasi, sambil tetap memastikan perlindungan bagi warga sipil yang menjadi korban utama konflik ini. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona dan Toto Budiman

Read More

Ukraina Dijanjikan Perisai Baru: 26 Negara Siap Pasang Badan, Mampukah Redam Ancaman Rusia?

Paris – 1miliarsantri.net : Sebuah momentum bersejarah tercipta pada 4 September 2025 di Istana Élysée, Paris. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan komitmen 26 negara untuk memberikan jaminan keamanan pasca perang bagi Ukraina. Sebuah janji yang disebut sebagai reassurance force, dengan misi mencegah kebangkitan agresi Rusia setelah perang berakhir. Janji ini bukan sekadar formalitas diplomatik. Paket dukungan mencakup pasokan pertahanan udara, pelatihan militer, logistik, suplai senjata, hingga opsi penempatan pasukan darat, laut, dan udara. Namun, di balik gaung besar ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah jaminan keamanan tersebut sungguh bisa melindungi Ukraina, atau sekadar retorika politik? Spektrum Dukungan: Dari Pasukan Tempur hingga Radar Siber Setiap negara punya cara berbeda untuk menunjukkan komitmennya. Prancis dan Inggris bersedia menempatkan pasukan langsung di lapangan. “The United Kingdom stands ready to provide boots on the ground,” tegas Perdana Menteri Keir Starmer, mengirim sinyal kuat solidaritas London terhadap Kyiv. Sementara itu, Jerman dan Italia mengambil jalur yang lebih berhati-hati, memilih kontribusi lewat pelatihan militer dan pasokan pertahanan udara. Kanselir Olaf Scholz bahkan menjanjikan lebih banyak sistem Patriot dan IRIS-T. Menariknya, dukungan juga datang dari luar Eropa. Jepang menekankan bahwa keamanan pasca perang bukan hanya soal militer. Tokyo siap menggelontorkan bantuan finansial dan teknologi, termasuk radar peringatan dini dan penguatan sistem pertahanan siber. Ini menandai bahwa pertahanan Ukraina di masa depan juga akan bertumpu pada aspek digital dan ekonomi, bukan sekadar kekuatan senjata. Baca Juga: DPR Jawab 17+8 Tuntutan Rakyat, Enam Keputusan Diambil Bayang-Bayang Skeptisisme: Belajar dari Gagalnya Memorandum Budapest Meski terlihat menjanjikan, keraguan tetap menyelimuti. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengingatkan bahwa komitmen ini harus dibingkai dalam detail hukum yang jelas agar tidak berakhir sebagai deklarasi kosong. Sejarah mencatat, Ukraina pernah dikhianati janji serupa. Memorandum Budapest 1994, yang menjanjikan perlindungan atas kedaulatan Ukraina setelah menyerahkan senjata nuklirnya, nyatanya gagal total ketika Rusia mencaplok Krimea pada 2014. Luka sejarah ini membuat skeptisisme wajar bermunculan: apakah jaminan kali ini benar-benar bisa ditegakkan? Lebih jauh, Rusia mengirim sinyal peringatan keras. Moskow menyatakan pasukan asing di Ukraina dapat dianggap sebagai “target sah” jika hadir tanpa kesepakatan damai resmi. Ancaman ini jelas membuka risiko eskalasi baru, justru saat dunia berharap perang segera reda. Analisis: Antara Asuransi Politik atau Fondasi Perdamaian? Kesepakatan Paris mencerminkan solidaritas internasional yang luas, bahkan lintas benua. Namun efektivitasnya akan bergantung pada tiga faktor utama: Jika semua prasyarat ini terpenuhi, Ukraina bisa memiliki perisai nyata pasca perang yang mampu mencegah Rusia melakukan agresi ulang. Tetapi jika tidak, sejarah bisa berulang: janji besar yang runtuh di hadapan realitas geopolitik. Kesimpulan Janji 26 negara untuk memasang badan bagi Ukraina adalah kabar besar yang mengangkat harapan. Namun, di balik retorika heroik, terdapat pekerjaan rumah yang kompleks: dari legalitas, logistik, hingga risiko eskalasi dengan Rusia. Dunia kini menunggu, apakah Paris 2025 akan dikenang sebagai titik balik menuju perdamaian, atau sekadar panggung diplomasi yang penuh janji manis. Sumber: Kompas TV Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona dan Abdullah al-mustofa Ilustrasi by AI

Read More
Israel

Biadab! Israel Bayar Google Rp740 Miliar untuk Tutupi Berita Kelaparan Gaza

Bondowoso – 1miliarsantri.net: Sebuah laporan investigasi terbaru kembali mengguncang opini publik internasional. Israel dilaporkan membayar Google sebesar Rp740 miliar untuk mengendalikan pemberitaan terkait krisis kemanusiaan di Gaza. Langkah ini disebut sebagai upaya menutupi laporan tentang kelaparan yang semakin parah melanda penduduk sipil di wilayah konflik tersebut. Fakta mencengangkan ini membuat dunia kembali menyoroti strategi informasi Israel yang dinilai sarat manipulasi. Fakta Investigasi Drop Site News Menurut hasil investigasi Drop Site News, pemerintah Israel dikabarkan menggelontorkan dana sekitar USD 45 juta atau setara Rp740 miliar untuk kampanye iklan di Google selama enam bulan. Tujuan dari langkah ini disebut untuk melemahkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyoroti kondisi kelaparan di Gaza. Dengan dana sebesar itu, kampanye daring dirancang agar opini publik global lebih condong pada narasi Israel, sekaligus mengaburkan penderitaan warga Gaza yang kian hari kian memburuk. Baca juga: PNS Kini Punya Lebih Banyak Kesempatan Naik Pangkat, Ini Jadwal Terbarunya Strategi Opini Publik yang Kontroversial Upaya Israel membayar Google dengan nilai fantastis ini menimbulkan kontroversi. Banyak pihak menilai, langkah tersebut bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan bentuk manipulasi informasi. Di tengah kritik internasional, Israel kembali menggunakan media digital untuk mempertahankan citra politik dan militernya. Namun, apakah benar informasi bisa dibungkam hanya dengan uang? Faktanya, kondisi di Gaza masih bisa terlihat jelas dari laporan langsung para jurnalis independen dan lembaga kemanusiaan di lapangan. Baca juga: Pertahanan Nasional Penting Di Tengah Ancaman Global, Ini Pesan Presiden Prabowo Krisis Kemanusiaan di Gaza Semakin Parah Di sisi lain, laporan PBB menyebutkan bahwa ribuan warga Gaza, termasuk anak-anak, mengalami kelaparan akut akibat blokade dan serangan berulang yang menghancurkan infrastruktur penting. Kondisi ini semakin menambah tekanan terhadap Israel yang dianggap tidak hanya melakukan serangan militer, tetapi juga mencoba mengontrol persepsi dunia. Israel bayar Google Rp740 miliar untuk menutupi tragedi ini pun dianggap sebagai bukti nyata bahwa isu kemanusiaan kerap dikalahkan oleh kepentingan politik. Namun meski Israel bayar Google Rp740 miliar demi membentuk narasi tertentu, kenyataan di lapangan tetap berbicara sebaliknya. Warga Gaza masih terjebak dalam penderitaan, kelaparan, dan krisis kemanusiaan yang mendalam. Dunia kini ditantang untuk lebih kritis terhadap informasi, tidak hanya mengandalkan arus berita digital, tetapi juga mendengar suara korban yang sesungguhnya.  Pada akhirnya, uang mungkin bisa membeli iklan, tetapi tidak bisa menghapus kenyataan pahit bahwa Gaza sedang menghadapi salah satu krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern. Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Thamrin Humris Sumber foto: riau1.com Sumber berita: Inilah.com

Read More
Israel kembali serang Gaza

Israel Kembali Serang Gaza! Gedung Pencakar Langit Banyak yang Kembali Runtuh!

Bondowoso – 1miliarsantri.net: Israel kembali menjadi sorotan dunia setelah melancarkan serangan udara yang menghantam gedung pencakar langit di Kota Gaza. Dampak dari serangan ini menimbulkan kepanikan, penderitaan, dan gelombang pengungsian baru. Tragedi ini sekaligus menegaskan betapa rapuhnya kondisi kemanusiaan di Gaza yang sudah hampir dua tahun terakhir digempur tanpa henti. Pertanyaannya, sampai kapan konflik ini akan terus berlangsung, sementara warga sipil terus menjadi korban? Inilah gambaran nyata dari Israel kembali serang Gaza yang menyita perhatian dunia. Serangan Terbaru Israel Terhadap Menara Soussi Jadi Sasaran Serangan udara Israel kali ini menargetkan Menara Soussi, sebuah gedung pencakar langit yang berada di jantung Kota Gaza. Menurut laporan media Israel, gedung itu disebut-sebut digunakan Hamas sebagai basis operasi. Namun, Hamas membantah keras tuduhan tersebut dan menilai serangan ini adalah kejahatan perang yang disengaja terhadap warga sipil. Serangan tersebut bukanlah yang pertama, karena sebelumnya Israel juga pernah meluluhlantakkan gedung-gedung tinggi lain di Gaza dengan alasan serupa. Fakta ini membuat kamu bertanya-tanya, benarkah semua bangunan sipil di Gaza adalah target militer? Baca juga: Klarifikasi Menhut Raja Juli Antoni Soal Viral Main Domino dengan Pembalak Liar Dampak Kemanusiaan yang Mengkhawatirkan Dampak dari Israel kembali serang Gaza ini tidak bisa dianggap sepele. Ribuan warga sipil terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di bagian selatan Gaza. Kehidupan yang sudah sulit semakin terpuruk dengan hilangnya tempat tinggal, akses air bersih, dan fasilitas kesehatan. Organisasi kemanusiaan internasional bahkan melaporkan lebih dari 70 persen bangunan di Gaza telah hancur. Situasi ini menciptakan gelombang pengungsian terbesar dalam sejarah Gaza modern. Apakah dunia hanya akan terus diam melihat penderitaan ini? Baca juga: Pertahanan Nasional Penting Di Tengah Ancaman Global, Ini Pesan Presiden Prabowo Apakah ini Politik atau Kemanusiaan yang Diprioritaskan? Jika dilihat lebih dalam, Israel kembali serang Gaza bukan hanya sekadar aksi militer. Ada kepentingan politik, strategi keamanan, hingga tekanan internasional yang bermain di baliknya. Namun yang sering terlupakan adalah nasib warga sipil yang menjadi korban utama. Kamu bisa menilai sendiri, apakah penghancuran gedung-gedung pencakar langit benar-benar bertujuan melemahkan Hamas atau justru semakin memperkuat solidaritas masyarakat Gaza? Dunia internasional harus lebih berani bersuara, bukan hanya mengecam tanpa tindakan nyata. Kejadian runtuhnya gedung pencakar langit akibat Israel kembali serang Gaza menjadi bukti bahwa konflik ini masih jauh dari kata selesai. Ratusan ribu warga sipil terus terjebak dalam penderitaan, sementara solusi politik belum kunjung hadir. Kamu perlu menyadari bahwa setiap kali ada serangan, yang runtuh bukan hanya gedung-gedung tinggi, melainkan juga harapan akan perdamaian di tanah Gaza. Dunia menunggu, apakah tragedi kemanusiaan ini akan segera berakhir, atau justru semakin memburuk karena diamnya komunitas internasional terhadap Israel kembali serang Gaza. Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Thamrin Humris Sumber foto: citizenriau24.com Sumber berita: https://news.detik.com/internasional/d-8099561/israel-kembali-serang-gedung-pencakar-langit-di-gaza

Read More

Upaya Pembunuhan Delegasi Hamas Gagal, Gaza Kirim Pesan Ketabahan

Gaza – 1miliarsantri.net : Dari tenda-tenda pengungsian yang sesak di Khan Younis, di tengah reruntuhan yang menjadi saksi bisu kebiadaban perang, rakyat Gaza terus mengikuti setiap denyut berita dengan hati yang berdebar. Bukan hanya tentang nasib mereka sendiri, tetapi juga tentang mereka yang berbicara atas nama mereka di meja perundingan. Ketika kabar mengejutkan tentang upaya pembunuhan terhadap delegasi perunding Hamas di Doha merebak, kecemasan mendalam menyelimuti. Namun, ketika berita kegagalan upaya keji itu tiba, udara seolah dipenuhi dengan hela napas lega dan syukur yang tak terhingga. Ini bukan sekadar berita politik; ini adalah cerminan denyut nadi sebuah bangsa yang menolak untuk tunduk. Menurut laporan Tasnim News Agency pada Minggu 14 September, rudal yang ditembakkan oleh rezim Israel mengenai lima staf di Departemen Administrasi Hamas, termasuk Hammam, putra dari Wakil Kepala Biro Politik Hamas Khalil al-Hayyah, serta Badr al-Hamidi al-Dosari, seorang petugas keamanan Qatar. Keduanya gugur dalam serangan tersebut bersama tiga korban lainnya. “Rasa lega itu nyata, seakan beban berat terangkat dari pundak,” ujar seorang warga. Bagi mereka, delegasi ini bukan hanya politisi, melainkan bagian dari darah dan daging mereka sendiri, “bukan anak-anak kami, tetapi seperti anak-anak kami,” kata Um Mohammad dari Rafah dengan haru. Mereka adalah juru bicara yang berjuang demi nasib tawanan, demi menghentikan perang, dan demi masa depan Gaza yang hancur. Kegagalan upaya pembunuhan ini disambut dengan kegembiraan yang tulus, seolah-olah kemenangan kecil telah diraih di tengah badai penderitaan. Mereka adalah “kami” yang membela tanah air, membela darah, membela Palestina. Namun, di balik kegembiraan itu, ada pemahaman pahit yang mendalam: Israel tidak berniat mengakhiri perang ini. Seorang warga yang mengikuti berita yakin bahwa Israel akan menggunakan taktik semacam ini untuk menunda perundingan, bahkan menghancurkan Gaza sepenuhnya. Sejarah telah membuktikan, ketika para pemimpin seperti Sinwar dieliminasi, kebrutalan dan keganasan Israel justru meningkat. Ini bukan tentang Hamas semata; ini tentang kehancuran dan penghancuran identitas mereka sebagai bangsa. Namun, tekad rakyat Gaza tak goyah. Mereka telah bersabar dan akan terus bersabar. Upaya pembunuhan yang gagal ini, bagi mereka, adalah “kartu AS” yang kuat di tangan perlawanan dan negosiasi. Ini menunjukkan bahwa Israel tidak akan bisa membungkam suara mereka, tidak peduli di mana pun mereka berada. “Kami sabar,” demikian pesan yang terus-menerus mengalir dari bibir mereka, “dan kalian juga harus terus sabar, sebagaimana kami mengenal kalian.” Mereka mendesak para negosiator untuk tetap teguh dan tidak menyerah pada pemerasan—baik dari Amerika, Israel, maupun pihak asing lainnya. Baca juga : Gaza yang Dijanjikan: Kota Pintar Bernilai Miliaran Dolar, Bentuk Penjajahan Wajah Baru Harapan mereka sederhana namun mendalam: “Semoga Allah meringankan penderitaan kami,” “Semoga Allah mengubah keadaan menjadi lebih baik,” dan “Semoga Allah menghilangkan kesedihan ini dari kami”. Mereka mendambakan kedamaian, persatuan, dan kebebasan. “Kami lelah, Palestina lelah,” kata Um Mohammad dengan suara bergetar. Ungkap Keterlibatan AS dalam Pendudukan Dikutip dari pusat informasi Palestina, Perwakilan Hamad di Teheran, Khaled Al-Qaddoumi, menegaskan bahwa upaya pembunuhan terhadap para pemimpin Hamas di Doha mengungkap keterlibatan langsung pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam mendukung pendudukan Israel dan eskalasi kejahatan terhadap rakyat Palestina. Foto : Pusat Informasi Palestina Qaddoumi mengatakan bahwa AS terus mengabaikan komitmen dan janji-janjinya terkait proses gencatan senjata, seraya menciptakan ilusi bahwa mereka bersedia berneosiasi. Qaddoumi menambahkan bahwa serangan terbaru terjadi ketika para pemimpin sedang berkonsultasi di Doha untuk membahas apa yang disebut sebagai “Proposal Amerika.” Ia menuding serangan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan Washington. Di tengah kehancuran besar-besaran, di mana setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, rakyat Gaza mengirimkan pesan yang jelas kepada dunia: mereka akan tetap berdiri kokoh dan pantang menyerah. Tekad mereka adalah mengakhiri perang dan mencapai pembebasan penuh, atau menjadi syuhada. Ini adalah kisah tentang ketabahan jiwa, sebuah mercusuar harapan yang tak akan padam, meski api perang terus membakar tanah air mereka. Dari Khan Younis, dari setiap sudut Gaza, suara ketabahan ini bergema, menuntut keadilan dan kedamaian bagi sebuah bangsa yang tak pernah berhenti berjuang.(***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Sumber: Kanal YouTube Al Jazeera Mubasher, Pusat Informasi Palestina

Read More

Kejahatan Kemanusiaan: Israel Lakukan Pembantaian dan Penghancuran Sistematis Terhadap Rumah-Rumah di Gaza

Militer Zinonis Lakukan Pemboman Terhadap Hunian Dan Tempat Penampungan Pengungsi Warga Gaza Gaza, Palestina – 1miliarsantri.net: Hingga Sabtu 13 September 2025 militer zionis israel terus melakukan kejahatan kemanusiaan dengan melakukan pemboman terhadap menara hunian, rumah dan tempat penampungan pengungsi. Serangan udara zionis israel gencar dilakukan dan menyasar Menara Hunian Al-Noor dan bangunan lain di dekat bekas kantor pusat Radio dan Televisi di Tel al-Hawa. Tindakan agresi itu cerminan penghancuran yang lebih luas yang semakin intensif dalam beberapa minggu terakhir. 350 Ribu Penduduk Gaza Mengungsi Mengutip SAFA Press Agency dilaporkan sebanyak 1.600 rumah tinggal dan 13.000 tenda telah dihancurkan, menyebabkan lebih dari 350.000 penduduk mengungsi dari permukiman di timur ke Gaza tengah dan barat. Puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal akibat kebijakan biadab, pembersihan etnis sistematis dan pemindahan paksa terhadap rakyat Palestina di Kota Gaza oleh pemerintahan Benyamin Netanyahu, meskipun dunia internasional telah mengutuknya. 142 Negara Setujui Pembentukan Negara Palestina Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menggelar voting yang hasilnya menyepakati resolusi mendukung terbentuknya negara PALESTINA merdeka. Sebanyak 142 negara mendukung resolusi itu, 10 negara menolak dan 12 negara abstain. Baca Juga : Robot Militer Israel Bawa 5 Ton Bahan Peledak, Gaza Hancur Jadi Puing-Puing Dalam pernyataan pers, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Palestina mengatakan bahwa 142 negara memberikan suara untuk mendukung resolusi tersebut, sementara 12 negara abstain, dan 10 negara tidak setuju.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : SAFA Press Agency – Palestina Press Agency, UNITED NATIONS Foto : SAFA Press Agency – Palestina Press Agency, UNITED NATIONS dan Tangkapan Layar YouTube

Read More

Presiden Prabowo Bertemu Presiden Emirat Arab Bahas Dinamika Global dan Hubungan Bilateral

Pertemuan Presiden RI dengan Presiden Emirat Arab MBZ Membahas Isu-Isu Terkini Eskalasi Geopolitik Timur-Tengah Abu Dhabi – 1miliarsantri.net: Bertempat di Presidential Flight, Abu Dhabi, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto disambut oleh Presiden Persatuan Emirat Arab (PEA), Mohammed bin Zayed Al Nahyan (MBZ) dalam pertemuan mempererat jalinan kerja sama Indonesia dan PEA. Presiden Prabowo dan Presiden MBZ dalam pertemuan tersebut selain membicarakan hubungan bilateral kedua negara, mereka juga membahas su-isu terkini, termasuk eskalasi geopolitik di kawasan Timur Tengah. Dalam pertemuan penuh rasa persaudaraan tersebut, kedua pemimpin negara saling menyampaikan apresiasi atas hubungan erat yang telah terjalin antara Indonesia dan PEA, dan juga berdiskusi dan saling bertukar pandangan terhadap dinamika yang terjadi. Kerja Sama Indonesia dan PEA Menghadapi Tantangan Global Mengutip PRESIDENRI.GO.ID Pembahasan kedua pemimpin tersebut juga mebahas upaya yang dapat dilakukan dalam menghadapi tantangan global yang terjadi. Kedua pemimpin menekankan pentingnya kerja sama antarnegara, khususnya di kawasan Timur Tengah dalam memperkuat kolaborasi internasional demi menjaga stabilitas dan perdamaian dunia. Kedua pemimpin sepakat Negara-negara di kawasan Timur Tengah harus bersatu untuk menghadapi dinamika geopolitik. Mitra Strategis Presiden PEA-MBZ dan Presiden RI saling memberikan penghargaan, sebagai mitra strategis di kawasan Asia Tenggara, PEA berkomitmen untuk terus memperluas kerja sama dengan Indonesia. Presiden Prabowo yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Sugiono dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, menyampaikan hal senada, “PEA sebagai sahabat sekaligus mitra strategis Indonesia. Pertemuan singkat namun produktif tersebut menunjukkan pentingnya komunikasi langsung antarpemimpin dalam menghadapi tantangan global.”** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Foto : BPMI Setpres/Cahyo

Read More