Di Balik Ilusi Solusi Dua Negara, Rakyat Palestina Masih Bertahan

Palestina – 1miliarsantri.net | Solusi dua negara kerap dijual sebagai jalan keluar konflik, namun bagi rakyat Palestina, ia lebih mirip ilusi yang menambah luka lama. Di balik jargon diplomasi, mereka hidup dalam trauma kolektif, kehilangan arah, dan keputusasaan yang merayap. Meski begitu, di tengah reruntuhan, harapan masih tumbuh: kekuatan rakyat yang menolak menyerah, serta solidaritas dunia yang mulai melihat perjuangan Palestina sebagai isu kemanusiaan sejati. Manusia di Balik Narasi Politik Ketika para pemimpin dunia sibuk berdebat tentang solusi politik, dari meja perundingan hingga ruang sidang internasional, ada hal mendasar yang sering terlupakan: manusia. Bukan sekadar angka korban atau statistik di layar televisi, melainkan kehidupan yang terkoyak, keluarga yang tercerai-berai, dan komunitas yang kehilangan arah. Semua jargon diplomasi kerap menutupi kenyataan pahit di lapangan: penderitaan yang tiada henti. Bencana yang Lebih dari Sekadar Angka Konflik yang berkepanjangan melahirkan luka kemanusiaan yang tak tertandingi. Ia bukan hanya soal rumah yang hancur atau ekonomi yang runtuh. Yang lebih menakutkan adalah jejak psikologis yang melekat—trauma kolektif yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebuah masyarakat dipaksa hidup dengan rasa takut, kehilangan, dan harapan yang dikubur hidup-hidup setiap hari. Trauma ini tak hanya melumpuhkan jiwa, tetapi juga melemahkan kemampuan rakyat untuk berperan dalam menentukan masa depan politik mereka sendiri. Gelombang Putus Asa Dalam kondisi serba tertekan, keputusasaan menjadi wabah yang merayap cepat. Ketika janji politik tak kunjung ditepati, ketika pihak yang seharusnya membela justru dituding ikut melanggengkan sistem kolonial, rakyat merasa terbuang. Mereka hidup tanpa kompas, seolah ditinggalkan untuk mengarungi masa depan sendirian. Frustrasi ini bukan hanya melemahkan semangat perjuangan, tapi juga merusak tatanan sosial yang menjadi penopang kehidupan sehari-hari. Ilusi Politik yang Tak Pernah Usai Di meja diplomasi, istilah “solusi dua negara” kerap disebut sebagai jalan keluar. Namun bagi banyak rakyat, itu lebih mirip ilusi ketimbang solusi. Syarat-syarat yang tidak adil hanya akan melahirkan versi baru dari perjanjian lama yang gagal. Energi, waktu, dan dana terbuang untuk sesuatu yang sudah terbukti rapuh, sementara di lapangan, pembersihan etnis terus berjalan tanpa henti. Harapan rakyat pun semakin terkikis, tergantikan oleh rasa skeptis pada semua bentuk kesepakatan yang lahir dari luar suara mereka. Harapan yang Tumbuh dari Akar Rumput Namun, di tengah reruntuhan harapan, ada cahaya kecil yang terus menyala: kekuatan rakyat. Gerakan rakyat di Palestina, meski penuh keterbatasan, tetap menjadi sumber energi yang tak tergantikan. Lebih dari itu, opini publik global mulai bergeser. Dari jalan-jalan kota di Barat hingga ruang-ruang akademik, muncul gelombang solidaritas yang menyoroti Palestina bukan sekadar isu politik, melainkan perjuangan kemanusiaan melawan kolonialisme. Rakyat Sebagai Penentu Dukungan global tentu penting, tetapi kunci utama tetap ada pada kebangkitan rakyat di tanah mereka sendiri. Perlawanan sipil yang otentik, terhubung dengan energi solidaritas internasional, menjadi jalan paling nyata untuk merebut kembali martabat. Inilah cara rakyat menemukan kembali kompas perjuangannya—bukan dengan mengandalkan koordinasi luar yang melemahkan, tetapi dengan meyakini bahwa keadilan adalah hak yang mereka miliki sepenuhnya. Hidup yang Menolak Menyerah Pada akhirnya, kekuatan sejati tidak lahir dari meja perundingan, melainkan dari rakyat yang menolak menyerah pada keputusasaan. Dari keluarga yang tetap menyalakan lampu di rumah yang setengah runtuh, dari anak-anak yang tetap belajar meski sekolah mereka hancur, dari doa-doa yang terus dipanjatkan di balik deru bom. Mereka adalah benih kehidupan yang membuktikan bahwa meski bekas luka menganga, harapan tak pernah benar-benar padam. (***) Penulis: Abdullah al-Mustofa Editor: Toto Budiman Sumber:  ملتقى فلسطين (Palestine Forum) Foto: ABC News, IRNA

Read More

Pengakuan Dunia, Derita Gaza: Legitimasi di Atas Kertas, Air Mata di Bawah Reruntuhan

Gaza – 1miliarsantri.net | Saat para pemimpin dunia berkumpul, memberikan pengakuan resmi atas status kenegaraan Palestina—sebuah kabar yang disiarkan di seluruh penjuru dunia—timbul sebuah pertanyaan krusial dari balik puing-puing: Apakah pengakuan di atas kertas bisa menghentikan kesengsaraan? Pergerakan diplomatik dari negara-negara Barat seperti Prancis, Inggris, Kanada, dan lainnya yang mengakui negara Palestina memang disambut sebagai penegasan legitimasi. Namun, bagi mereka yang hidup di tengah operasi militer yang masih berlangsung dan kelaparan hebat, pengakuan itu terasa “tidak berharga”. Fokus utama, jauh melampaui peta dan batas negara, adalah kebutuhan paling mendasar: diakui sebagai manusia biasa. Suara di Tengah Fajar yang Kelabu Kenyataan di Gaza saat ini adalah medan perang yang menghancurkan. Seluruh wilayah berada dalam reruntuhan. Hampir semua penduduk Palestina telah mengungsi. Dalam konteks penderitaan ini, Adeeb Abu Khalid, seorang pengungsi dari Kota Gaza, menyampaikan inti dari harapan mereka: “Yang penting bagi kami adalah perang berhenti,”. Ia menambahkan bahwa saat ini, mereka hidup dalam kelaparan, diliputi kesengsaraan. Data Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan betapa parahnya situasi ini, dengan setidaknya 65.000 orang tewas, di mana sekitar setengahnya adalah perempuan dan anak-anak. Di tengah statistik yang mengerikan ini, pengakuan internasional terasa begitu jauh. Huda Masawabi, seorang pengungsi lainnya, mengungkapkan perasaannya secara lugas, menyatakan bahwa yang ia harapkan hanyalah agar Allah membuat orang-orang di luar sana mengakui mereka, atau setidaknya memperlakukan mereka sebagai “manusia biasa semata”. Air Mata dan Drama ‘Serial TV’ Bagi banyak orang, pergerakan diplomatik ini hanyalah sebuah tontonan yang tidak memiliki dampak jangka pendek di lapangan. Di Tepi Barat, wilayah yang diimpikan menjadi jantung negara Palestina masa depan, kenyataan dipertentangkan dengan perluasan permukiman Israel dan peningkatan kekerasan pemukim. Tragedi kemanusiaan terekam dalam momen yang tak terlupakan, seperti tangisan pilu Omar Al-Zaqzouq, yang berusia 7 tahun, yang berduka di atas jenazah adik laki-lakinya, Malek, yang baru berusia 2 tahun, terbunuh dalam serangan militer. Melihat pemandangan ini, Murad Banat, seorang pria Palestina yang mengungsi, merasakan keputusasaan atas janji-janji yang diberikan dunia. Ia menyebut pengakuan terbaru ini “hanya omong kosong”. Ia membandingkan dunia yang menonton mereka dengan teater: “Semua orang menonton kami seperti drama. Seperti serial TV, setiap hari ada serial TV,”. Mohammad Hammad dari Kamp Jenin juga merasakan hal serupa, menegaskan bahwa semua pengakuan ini “tidak ada artinya,” karena mereka masih berada di bawah pendudukan. Secercah Harapan di Tengah Keteguhan Meskipun keraguan menyelimuti, ada juga yang menemukan sedikit penghiburan dari dukungan global ini. Bagi sebagian orang, pengakuan negara ini memperkuat tekad mereka. Saeed Abu Elaish, seorang petugas medis yang kehilangan banyak anggota keluarga, termasuk istri dan dua putrinya, percaya bahwa pengakuan tersebut merupakan seruan untuk menghentikan genosida dan pembantaian di Gaza, serta penghentian perambahan pemukim di Tepi Barat. Naser Asaliya, seorang pengungsi dari Kota Gaza, berharap pengakuan ini akan memberikan dampak positif, apa pun keadaannya. “Kami adalah orang-orang yang terlanda musibah, dan kami mengharapkan apa pun yang membuat kami bahagia, tidak peduli betapa sederhananya, apa pun yang mendukung kami, memperkuat keteguhan kami di tengah blokade yang tidak adil ini,” katanya. Intinya, apa yang diinginkan oleh rakyat Palestina bukanlah sekadar negara nominal, tetapi negara yang berdaulat penuh yang menjaga perbatasannya, idealnya berdasarkan batas 5 Juni 1967. Selama perang belum berhenti dan kesengsaraan masih membayangi, legitimasi sejati yang mereka dambakan bukanlah pengakuan diplomatik, melainkan pengakuan atas hak mereka untuk hidup, dalam damai, sebagai manusia yang utuh dan berdaulat.  (***) Penulis: Abdullah al-Mustofa Editor: Toto Budiman Sumber: The Associated Press Foto: The New Arab, Anadolu Ajansi, The Wall Street Journal Youtube Channel

Read More

Peringatan Hari Jantung Sedunia 2025, Sejarah hingga Cara Memperingati

Jakarta – 1miliarsantri.net : Penyakit jantung masih menempati penyebab kematian tertinggi di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Untuk diketahui, penyakit jantung atau kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, dengan sekitar 17,9 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini. Dikutip dari situs ayosehat.kemkes.go.id, penyakit jantung merujuk pada kondisi yang mempengaruhi fungsi normal jantung yang berkaitan dengan kemampuan jantung untuk memompa darah dengan efektif sehingga menyebabkan gangguan pada sirkulasi darah serta berpotensi menjadi ancaman yang serius bagi Kesehatan. Faktor Penyebab Penyakit Jantung? Penyebab penyakit jantung dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut: Banyaknya kasus kematian global akibat penyakit jantung, melatarbelakangi Federasi Jantung Dunia (WHF) untuk meningkatkan kesadaran serta memberikan edukasi pada masyarakat tentang pencegahan dan mempromosikan gaya hidup sehat melalui peringatan Hari Jantung Sedunia pada tanggal 29 September. Peringatan ini menjadi wadah untuk membuka wawasan dan pemahaman mengenai betapa vitalnya menjaga kesehatan jantung dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya Hari Jantung Sedunia juga terletak pada perannya sebagai pengingat bagi masyarakat akan urgensi menjaga kesehatan jantung. Dalam menyikapi fakta ini, maka penting bagi setiap individu untuk mengambil tindakan pencegahan. Beberapa langkah untuk menjaga kesehatan jantung meliputi mengonsumsi makanan sehat, berolahraga secara teratur, tidak merokok, dan mengontrol tekanan darah serta kolesterol. Baca juga: BI Jaga Momentum, Bunga Acuan Diturunkan Bertahap dari 5 hingga 4,75 Persen Hari Jantung Sedunia 2025 Peringatan Hari Jantung Sedunia pertama kali digelar pada tahun 2000 oleh Federasi Jantung Dunia (World Heart Federation). Sejak itu, setiap tahun, tema berbeda diusung untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan jantung. Peringatan Hari Jantung Sedunia 2025 mengangkat tema “Jangan Lewatkan Detak Jantung” (Don’t Miss A Beat), yang bermakna mengajak masyarakat untuk tidak mengabaikan kesehatan jantung serta mengambil tindakan nyata dalam mencegah penyakit kardiovaskular. Tidak hanya itu, peringatan Hari Jantung Sedunia 2025 ini juga sebagai bentuk kewaspadaan dini dalam mendeteksi masalah jantung sedini mungkin sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan preventif seperti melakukan gaya hidup sehat serta melakukan tindakan positif untuk menjaga kesehatan jantung. Cara Memperingati Hari Jantung Sedunia Pada Hari Jantung Sedunia, berbagai organisasi kesehatan dan rumah sakit menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti seminar, kampanye kesehatan, dan pemeriksaan kesehatan gratis. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang kesehatan jantung. Pemeriksaan kesehatan gratis yang dilakukan adalah untuk membantu masyarakat memantau kondisi jantung mereka serta mengambil langkah-langkah pencegahan jika diperlukan. Oleh karena itu, mari manfaatkan peringatan Hari Jantung Sedunia untuk memperbaiki pola hidup, menjaga kesehatan jantung, dan membawa dampak positif bagi kesejahteraan diri sendiri dan masyarakat pada umumnya. Selamat Hari Jantung Sedunia 2025! Semoga peringatan ini membawa dampak positif dalam upaya menjaga kesehatan jantung dan mengurangi angka penyakit kardiovaskular di seluruh dunia. Baca juga: Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia dalam Persaingan Global Penulis: Gita Rianti D Pratiwi Editor: Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Yaman Sukses Serang Israel, Bom Jatuh Tepat Di Jantung Pelabuhan Kota Eliat

Pertahanan Israel Iron Dome kembali jebol oleh serangan Drone Houthi dari Yaman Eliat, Israel -1miliarsantri.net: Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas setelah serangan yang diklaim oleh kelompok Houthi di Yaman berhasil menembus sistem pertahanan udara Israel. Sebuah drone bermuatan bahan peledak dilaporkan jatuh di pelabuhan Kota Eilat, wilayah strategis yang terletak di pesisir Laut Merah. Sebuah pesawat tak berawak (drone) yang diluncurkan dari Yaman mengenai kawasan pusat Kota Eilat, Israel, hingga menyebabkan puluhan orang luka dan menimbulkan gangguan operasional di area pelabuhan. Kelompok Houthi di Yaman mengklaim serangan tersebut, sementara Israel menyatakan akan menanggapi insiden ini. Video serangan dipublikasikan oleh channel Telegram PalestinaPost. Insiden ini bukan hanya menimbulkan korban luka, tetapi juga memicu kekhawatiran baru tentang keamanan maritim dan pariwisata di kawasan tersebut. Detik-detik serangan Dikutip dari Reuters, Pada Rabu malam, sebuah drone asal Yaman dilaporkan jatuh di wilayah dekat pelabuhan Eilat—kawasan yang strategis di pesisir Laut Merah. Petugas medis setempat dan layanan darurat melaporkan puluhan korban luka, termasuk beberapa yang berada dalam kondisi serius. Laporan awal menyebutkan sistem pertahanan udara Israel sempat mencoba mencegat tetapi gagal sepenuhnya menghentikan objek tersebut sebelum memasuki area kota. Klaim dan respons Kelompok Houthi yang berbasis di Yaman mengklaim bertanggung jawab atas peluncuran drone sebagai bagian dari aksi solidaritas terhadap Palestina dan sebagai balasan atas operasi udara Israel di wilayah Yaman. Pihak Israel mengecam serangan ini dan memperingatkan akan ada respons militer jika ancaman terhadap infrastruktur dan warga negaranya terus berlanjut. Pernyataan resmi dan kecaman internasional mengikuti insiden ini. Serangan Yaman Berdampak Pada Pariwisata Menurut The Guardian, Pelabuhan Eilat—yang juga melayani aktivitas komersial dan wisata—mengalami gangguan sementara. Aktivitas penumpang dan kargo dipengaruhi karena upaya evakuasi dan pemeriksaan keamanan yang meningkat. Kota Eilat, sebagai tujuan wisata, menghadapi kekhawatiran turis dan operator hotel terkait keamanan jangka pendek. Potensi Eskalasi Pemerintah zionis Israel belum merespon serangan tersebut, timbul pertanyaan “Israel akan membalas langsung ke Yaman, atau memilih strategi diplomatik melalui sekutu internasional?” Potensi eskalasi dapat terjadi dengan skenario: Operasi Militer Terbatas: Israel melancarkan serangan udara ke basis Houthi di Yaman, Eskalasi Regional: Konflik meluas dengan melibatkan Iran secara lebih langsung, atau Tekanan Diplomatik: Israel bersama AS mendorong Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi lebih keras terhadap Houthi.. Serangan drone Houthi ke pelabuhan Kota Eilat menjadi titik balik dalam konflik Timur Tengah. Bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan korban luka, tetapi juga memperlihatkan kerentanan Israel terhadap serangan jarak jauh. Peringatan Keras untuk Israel Kerentanan Pertahanan Iron Dome Bagi Israel, serangan ini menjadi peringatan keras bahwa keamanan nasional tidak hanya terancam dari utara (Lebanon) atau barat (Gaza), tetapi juga dari selatan yang selama ini dianggap relatif aman. Dampak terhadap perdagangan, pariwisata, dan keamanan regional diperkirakan masih akan terasa dalam waktu lama. Dengan keterlibatan aktor-aktor besar seperti AS dan Iran, konflik ini berpotensi berkembang menjadi krisis internasional yang lebih serius.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber :  PalestinaPost

Read More

Drone Peledak Yaman Hantam Kota Eilat-Israel: Puluhan Warga Terluka dan Ketakutan

Serangan drone peledak dari Yaman menghantam kota Eilat-Israel. Puluhan warga terluka, pertahanan Israel dipertanyakan. Apa dampaknya ke depan? Eliat, Israel – 1miliarsantri.net: Militer Yaman membuktikan keseriusannya dalam mendukung perjuangan Palestina, Yaman kembali menyerang wilayah yang dikuasai oleh zionis Israel. Kota Eilat, atau dikenal dalam bahasa Arab sebagai Umm Al-Rashrash, diguncang serangan udara yang mengejutkan. Sebuah drone bersenjata yang diduga berasal dari Yaman meledak di wilayah tersebut, memicu gelombang kepanikan di kalangan penduduk sipil. Rekaman CCTV Ungkap Detik-Detik Serangan Mengutip PalestinaPost Rekaman dari kamera pengawas yang beredar di media memperlihatkan momen dramatis saat drone meledak di tengah kota. Ledakan keras tersebut langsung memicu kepanikan warga, dengan suara sirene dan teriakan terdengar jelas dalam rekaman. Lebih dari 50 Warga Terluka, Helikopter Dikerahkan Menurut laporan Zionist Broadcasting Corporation, lebih dari 50 orang mengalami luka-luka akibat ledakan tersebut. Mayoritas korban terkena pecahan peluru. Dua helikopter evakuasi medis segera dikerahkan untuk menangani korban dalam kondisi kritis. Serangan Ketiga dalam Dua Minggu, Pemerintah Israel Angkat Bicara Wali Kota Eilat, Eli Lankri, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas rentetan serangan yang terjadi. Ia mengungkapkan bahwa Serangan drone Yaman ini adalah serangan ketiga dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. “Yaman tampaknya berusaha mengganggu stabilitas dan kehidupan warga di Eilat,” ujarnya. 90 Rudal & 41 Drone Diluncurkan Sejak Maret Media Zionis Times of Israel melaporkan bahwa sejak pertengahan Maret—seiring meningkatnya konflik di Gaza—Yaman telah meluncurkan 90 rudal balistik dan sedikitnya 41 drone ke wilayah Israel. Serangan ini menunjukkan eskalasi konflik yang mengkhawatirkan. Kelemahan Sistem Pertahanan Israel Mulai Terlihat? Dalam analisanya, The Jerusalem Post menyoroti celah besar dalam pertahanan Israel. Serangan dari Yaman disebut mampu menembus sistem pertahanan udara yang selama ini dianggap kuat. “Yaman tampaknya tak terbendung,” tulis laporan tersebut, seraya menambahkan bahwa solusi jangka panjang hanyalah menghentikan konflik. Serangan drone bersenjata dari Yaman ke kota Eilat menjadi sinyal serius atas melemahnya pertahanan Israel terhadap ancaman jarak jauh. Warga sipil menjadi korban utama dalam konflik yang semakin memanas ini. Jika tidak ada upaya damai yang konkret, serangan serupa bisa terus terjadi dan memperburuk situasi di kawasan tersebut.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : PalestinaPost

Read More

Presiden Komisi Eropa Dorong Stop Dukungan Bilateral dengan Israel, Serukan Donor untuk Palestina

Tegal – 1miliarsantri.net : Dukungan internasional untuk Palestina kembali menguat. Kali ini, giliran Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, yang menyampaikan langkah tegas terhadap Israel terkait situasi kemanusiaan di Gaza. Dalam pidato tahunan di hadapan Parlemen Uni Eropa, Rabu (10/9/2025), von der Leyen menegaskan Komisi Eropa akan menyiapkan paket kebijakan baru. Salah satunya dengan menghentikan dukungan bilateral dan sebagian perjanjian asosiasi dengan Israel, sekaligus mengusulkan sanksi terhadap menteri-menteri ekstremis di negara itu. “Saya akan mengajukan paket langkah untuk membuka jalan ke depan. Pertama, Komisi Eropa akan melakukan semua yang bisa dilakukan secara mandiri. Kami akan menghentikan dukungan bilateral kepada Israel. Kami akan menghentikan semua pembayaran di bidang ini tanpa memengaruhi kerja sama dengan masyarakat sipil Israel,” tegas von der Leyen, dikutip dari AFP. Selain itu, ia juga mendorong pemberlakuan sanksi terhadap para pemukim Israel yang terlibat dalam aksi kekerasan, serta penangguhan sebagian perjanjian dagang yang selama ini berlaku antara Uni Eropa dan Israel. Luka Gaza dan Seruan Kemanusiaan Di hadapan para anggota parlemen, Von der Leyen tidak bisa menyembunyikan keprihatinannya atas tragedi kemanusiaan yang terus terjadi di Gaza. Ia menyesali perpecahan internal negara-negara Uni Eropa yang membuat respons Benua Biru terkesan lambat. “Apa yang terjadi di Gaza telah mengguncang hati nurani dunia. Orang-orang terbunuh saat mengemis makanan. Para ibu menggendong bayi-bayi yang tak bernyawa. Gambaran-gambaran ini sungguh bencana,” ujarnya dengan nada emosional. Ia pun menekankan, “Demi anak-anak, demi kemanusiaan ini harus dihentikan,” ujarnya menyikapi kondisi Gaza terkini. Baca Juga : PBB Nilai Israel Persulit Distribusi Bantuan Kemanusiaan di Gaza Dorongan untuk Donor Palestina Dalam kesempatan yang sama, von der Leyen mengumumkan rencana membentuk kelompok donor internasional khusus untuk Palestina, terutama Gaza. Kelompok ini ditargetkan terbentuk pada Oktober 2025 dengan fokus pada rekonstruksi wilayah yang hancur akibat agresi militer Israel. “Kami akan membentuk kelompok donor Palestina bulan depan, termasuk instrumen khusus untuk rekonstruksi Gaza. Ini akan menjadi upaya internasional dengan mitra regional, dan akan melanjutkan momentum konferensi New York yang diselenggarakan Prancis dan Arab Saudi,” jelasnya. Von der Leyen juga menyerukan pembebasan sandera, akses penuh tanpa hambatan bagi bantuan kemanusiaan, serta gencatan senjata segera. Solusi Dua Negara Menurut von der Leyen, solusi jangka panjang yang realistis tetaplah solusi dua negara, di mana Palestina dan Israel bisa hidup berdampingan dengan aman. Namun, untuk mewujudkan itu, dibutuhkan persetujuan dari 27 negara anggota Uni Eropa—yang hingga kini masih terpecah dalam menyikapi langkah terhadap Israel. “Saya sadar akan sulit menemukan suara mayoritas. Dan saya tahu bahwa tindakan apa pun akan terlalu berat bagi sebagian orang. Terlalu ringan bagi yang lain. Namun, kita semua harus memikul tanggung jawab kita sendiri,” tegasnya. Baca Juga : Dewan Keamanan PBB Desak Kirim Bantuan Darurat ke Gaza Gaza di Bawah Serangan Israel telah melancarkan serangan militer besar-besaran ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023, menyusul serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober tahun yang sama. Aksi balasan tersebut terus berlangsung hingga kini, dengan korban jiwa yang terus bertambah. Data terbaru mencatat, sejak Oktober 2023, setidaknya 64.605 orang tewas di Gaza, mayoritas adalah warga sipil. (***) Penulis: Satria S Pamungkas Editor: Toto Budiman & Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Pos-pos Pemukim Israel Cekik Kehidupan Warga Palestina di Tepi Barat

Tegal – 1miliarsantri.net : Di tengah terik musim panas, Farhan Ghawanmeh (33) seorang warga palestina berdiri di hadapan kandang-kandang kosong yang dulu berisi ratusan domba dan kambing. Kini hanya tersisa sepi, menyisakan bayang-bayang tentang komunitas Baduinya yang kian terancam punah. “Pos-pos terdepan pemukim Israel semakin dekat, semakin intens, semakin ganas, dan kami warga palestina semakin terkepung,” ujar Ghawanmeh, dikutip dari Al-Jazeera. Dulu, masyarakat di Ras Ein al-Auja, desa penggembala Badui di timur Tepi Barat, memiliki 24.000 ternak. Kini hanya sekitar 3.000 ekor yang tersisa. Serangkaian serangan, pencurian, hingga tekanan ekonomi membuat banyak warga palestina terpaksa menjual ternaknya. Dikepung Pos-pos Pemukim Israel Pada Agustus 2025 lalu, pemukim Israel membangun pos terdepan baru hanya 100 meter dari rumah-rumah warga. Desa dengan 900 penduduk ini kini terkepung di tiga sisinya. Sama seperti permukiman Israel lainnya di tanah Palestina, pos-pos itu ilegal menurut hukum internasional. Keluarga yang tinggal paling dekat bahkan berniat meninggalkan rumah karena takut anak-anak mereka menjadi korban kekerasan. Para pemukim datang setiap hari membawa ternak, meniru gaya hidup penggembala lokal, dan kerap dipimpin remaja di bawah 18 tahun. Posisi ini membuat warga Palestina serba salah—jika mereka melawan, bisa dituduh “menyerang anak-anak” dan berakhir ditangkap. “Yang kita alami saat ini adalah bencana,” lanjut Ghawanmeh. “Beralih dari mengakses lahan seluas 20.000 dunum menjadi tidak memiliki akses apa pun, dan dari memiliki sumber air gratis menjadi tidak memilikinya sama sekali, sungguh melumpuhkan.” Baca Juga : Setahun Konflik Palestina-Israel Telan 42.000 Korban Jiwa Kehidupan yang Diputus Paksa Ras Ein al-Auja dulu adalah komunitas penggembala terbesar di Area C, wilayah yang sepenuhnya dikontrol Israel. Mereka punya akses ke mata air subur Wadi al-Auja, hingga akhirnya pemukim melarang warga menggunakannya tahun lalu. Tentara Israel, kata warga, membiarkan pemukim menutup akses tersebut. Kini, listrik dan air hanya ada sebatas harapan. Kabel listrik yang dipasang swadaya bersama lembaga kemanusiaan pun kerap diputus “lima atau enam kali seminggu,” jelas Ghawanmeh. Makanan membusuk di lemari es, ternak tak bisa lagi digembalakan, dan warga dipaksa membeli air serta pakan dengan biaya besar. Ibrahim Kaabneh (35), misalnya, kini hanya punya 40 ekor domba dan kambing dari 250 yang dulu ia miliki. “Bahkan ternak yang masih kami miliki pun, kami merasa seperti bukan milik kami. Kapan saja, mereka bisa dicuri. Kapan saja, mereka bisa diserang,” katanya. Baca Juga : Standar Ganda di Gaza Jadi Lampu Hijau Lanjutkan Genosida Hidup dalam Ketakutan Jalan masuk ke desa, yang dulunya dibangun dengan dana Amerika Serikat, kini dijaga blok beton bergambar bendera Israel. Warga harus melewati pelecehan setiap kali keluar masuk desa. “Begitu kita keluar rumah, rasanya seperti kita melakukan sesuatu yang salah atau ilegal,” kata Ghawanmeh. “Anak-anak, perempuan, dan semua orang di sini selalu berada dalam ketakutan.” Kaabneh menambahkan, ia sulit tidur karena ancaman serangan pemukim. Perempuan dan anak-anak kini membatasi diri, jarang keluar rumah lebih dari satu atau dua jam. Baca Juga : Israel kuasai Kota Gaza Ancaman Pengungsian Massal Menurut data PBB, dalam enam bulan pertama 2025 saja tercatat 759 serangan pemukim terhadap warga Palestina, angka yang diperkirakan memecahkan rekor tahun 2024. Para aktivis melihat pola yang jelas: pos-pos pemukim sengaja dibangun di dekat desa-desa Palestina untuk menciptakan “kontiguitas Yahudi” dan memaksa warga pergi. Dror Etkes, pendiri LSM Israel Kerem Navot, menyebut, “Sangat jelas bahwa tujuan utama mereka adalah memaksa warga Palestina ke wilayah yang sudah dibangun dan menghancurkan budaya serta gaya hidup penggembalaan di Tepi Barat.” Bagi warga, ancaman itu nyata. “Ini bukan soal apakah kami ingin pergi atau tidak,” kata Kaabneh. “Sekalipun kami pergi, kami tetap akan menghadapi serangan. Tidak ada tempat yang aman di Tepi Barat.” Jeritan dari Tanah Tercekik Sliman Ghawanmeh, saudara Farhan, menegaskan bahwa warga membutuhkan perlindungan internasional. “Saya sudah di sini selama 43 tahun. Saya lahir di sini. Tidak ada pemukim di sekitar sini. Dan sekarang, seorang anak datang dari Eropa dan mengancam saya untuk meninggalkan rumah saya dalam 24 jam. Siapa kamu?” ujarnya geram. “Beginilah status quo,” pungkasnya. “Kita tak punya apa-apa selain nyawa, dan kini nyawa pun terancam.”(***) Penulis: Satria S Pamungkas Editor: Toto Budiman & Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Jurang Dalam Ketimpangan Sosial Nepal: Dari Flexing Anak Nepo hingga Amarah di Jalanan

Tegal – 1miliarsantri.net : Di tengah kondisi ekonomi yang masih serba sulit, generasi muda Nepal kini semakin geram dengan gaya hidup mewah keluarga pejabat dan politisi. Fenomena flexing alias pamer harta yang dilakukan anak-anak elite politik menjadi salah satu pemicu gelombang protes besar di negara pegunungan Himalaya itu. Di media sosial, istilah “anak-anak nepo”  Nepal plesetan dari nepotisme  mendadak viral beberapa pekan sebelum demonstrasi Senin lalu (08/09). Istilah ini ditujukan pada anak-anak pejabat tinggi dan menteri yang hobi pamer barang mewah di TikTok maupun Instagram. Para politisi Nepal sebenarnya sudah lama dituding korupsi, tidak transparan dalam penggunaan dana publik, dan menikmati gaya hidup yang jauh dari wajar jika dibandingkan dengan gaji resmi mereka. Kecurigaan itu semakin kuat ketika muncul berbagai video yang memperlihatkan kerabat pejabat bepergian dengan mobil mahal, nongkrong di restoran kelas atas, atau berpose dengan merek fesyen desainer internasional. “Kini memamerkan gaya hidup mewah layaknya tokoh mapan,” ujarnya kepada Al Jazeera, dikutip dari international.sindonews.com, Kamis (11/9/2025). Tak heran bila para demonstran menuntut dibentuknya komisi investigasi khusus untuk menelusuri harta kekayaan para politisi. Bagi publik, hal ini bukan sekadar soal pamer harta, tetapi simbol dari masalah yang lebih besar: korupsi dan kesenjangan ekonomi. Baca Juga : demo buruh di depan istana negara RI Warisan Feodalisme dan Ketimpangan Lama Menurut Dipesh Karki, asisten profesor di Universitas Kathmandu, fenomena ini tak bisa dilepaskan dari sejarah Nepal sebagai masyarakat feodal yang baru dua dekade lalu meninggalkan sistem monarki. “Sepanjang sejarah, mereka yang berkuasa memegang kendali atas sumber daya dan kekayaan bangsa, yang mengakibatkan apa yang bisa kita sebut sebagai perebutan kekuasaan oleh elit,” ujarnya. Video yang beredar di TikTok makin menambah bara kemarahan publik. Salah satunya menampilkan Sayuj Parajuli, putra mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal Gopal Parajuli, sedang berpose dengan mobil dan jam tangan mewah. Video lain memperlihatkan Saugat Thapa, anak Menteri Hukum dan Urusan Parlemen Bindu Kumar Thapa, sedang asyik di restoran mahal. Menurut Karki, tak mengherankan jika kesenjangan makin terasa. Sebab kekayaan, bisnis perkotaan, hingga kesempatan pendidikan sebagian besar terkonsentrasi di kalangan keluarga elit Nepal, terutama mereka yang memiliki koneksi politik. Baca Juga : PBB Desak Indonesia, Terkait Dugaan Pelanggaran HAM Saat Demo Realitas Ekonomi: Hidup Susah di Negeri Sendiri Kontras dengan kemewahan elite, kondisi rakyat justru sebaliknya. Pendapatan per kapita Nepal hanya sekitar USD 1.400 per tahun, salah satu yang terendah di Asia Selatan. Tingkat kemiskinan masih di atas 20 persen, sementara pengangguran pemuda mencapai 32,6 persen pada 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan India yang hanya 23,5 persen Tak heran banyak warga Nepal memilih mencari nafkah ke luar negeri. Pada 2021, sekitar 7,5 persen populasi tinggal di luar negeri, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan India (1 persen) dan Pakistan (3,2 persen). Perekonomian Nepal bahkan sangat bergantung pada remitansi: pada 2024, uang kiriman pekerja migran mencapai 33,1 persen dari PDB, salah satu yang tertinggi di dunia. “Kenyataan pahitnya adalah sebagian besar penduduk miskin berada di luar Nepal, mengirimkan remitansi ke Nepal,” jelas Karki. Sementara itu, kepemilikan tanah tetap timpang. Menurut Karki, 10 persen rumah tangga teratas memiliki lebih dari 40 persen tanah. Di sisi lain, sebagian besar penduduk miskin perdesaan Nepal justru tidak memiliki tanah sama sekali. (***) Penulis: Satria S Pamungkas Editor: Toto Budiman & Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Freedom Edge 2025 Jadi Sinyal Tandingan Blok Seoul–Tokyo–Washington

Seoul – 1miliarsantri.net: Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat akan menggelar latihan militer trilateral Freedom Edge 2025 pada 15–20 September di wilayah udara dan laut tenggara Pulau Jeju. Fokus latihan mencakup operasi udara, angkatan laut, hingga skenario siber. Menurut Staf Gabungan Korsel (JCS), latihan ini merupakan bagian dari pertahanan kolektif untuk meningkatkan interoperabilitas dan kesiapan menghadapi ancaman nuklir dan rudal Korea Utara. JCS menegaskan latihan bersifat defensif sesuai hukum internasional, bukan persiapan operasi ofensif. Pernyataan bersama pejabat pertahanan Korsel, Jepang, dan AS menekankan pentingnya kerja sama trilateral menghadapi ancaman DPRK, menjaga kebebasan navigasi, serta mencegah perubahan status quo di Semenanjung Korea. Sorotan Regional dan Respons Korea Utara Freedom Edge 2025 adalah edisi ketiga latihan ini, sekaligus yang pertama di bawah Presiden Korsel Lee Jae-Myung. Lokasi Jeju dipilih karena strategis sebagai pengawasan potensi peluncuran rudal Korea Utara. Namun, Pyongyang mengecam keras rencana tersebut. Kim Yo Jong, saudara perempuan pemimpin Korea Utara, menilai latihan ini sebagai “pamer kekuatan sembrono” dan memperingatkan adanya konsekuensi serius. Pyongyang kerap menyebut latihan trilateral semacam ini sebagai “rehearsal invasi,” meski Seoul, Tokyo, dan Washington menegaskan sifatnya defensif. Bagi sejumlah analis, latihan ini juga merupakan respons diplomatik terhadap parade militer di Beijing yang baru-baru ini dihadiri pemimpin Korea Utara dan Rusia. Baca juga: Israel Klaim Menguasai 40% Kota Gaza Posisi Amerika Serikat dan Jepang Pentagon menegaskan bahwa Freedom Edge 2025 menunjukkan komitmen Washington mendukung sekutu dan menjaga stabilitas Indo-Pasifik. Jepang pun menegaskan kontribusinya dengan mengerahkan kapal perusak Aegis, jet tempur, dan unit siber untuk melatih pertahanan jaringan kritis. Meski detail jumlah pasukan dan alutsista belum diumumkan, latihan diperkirakan melibatkan jet tempur, kapal perang, simulasi pertahanan rudal, dan operasi siber. Makna Strategis Jangka Panjang Freedom Edge 2025 berakar pada Deklarasi Camp David 2023, yang memperkuat mekanisme konsultasi keamanan reguler antara ketiga negara. Latihan ini bukan sekadar drill militer, melainkan bagian dari arsitektur keamanan baru Indo-Pasifik. Bagi AS, latihan memperkuat posisinya menghadapi pengaruh Tiongkok. Bagi Korsel dan Jepang, latihan menegaskan payung pertahanan bersama termasuk dukungan aset strategis AS seperti bomber B-52 dan kapal induk. Namun, ada risiko spiral ketegangan. Pyongyang kemungkinan terus melihat latihan sebagai ancaman langsung. “Selama Korea Utara memandangnya sebagai rehearsal invasi, risiko eskalasi akan tetap ada,” jelas Dr. Shin Beom-chul dari Korea Research Institute for National Strategy. Baca juga: Trump Sindir India dan Rusia Makin Dekat ke China Kesimpulan Freedom Edge 2025 lebih dari sekadar latihan gabungan. Ia adalah pesan politik, strategi pertahanan, sekaligus simbol solidaritas tiga negara di tengah meningkatnya ketidakpastian kawasan. Dengan memperdalam kerja sama militer dan memperkuat efek deterrence, latihan ini menjadi salah satu fondasi penting arsitektur keamanan Indo-Pasifik ke depan. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona dan Toto Budiman Ilustrasi by AI

Read More

Trump Sindir India dan Rusia Makin Dekat ke China

Washington – 1miliarsantri.net: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan kritik keras kepada India dan Rusia. Melalui unggahan di platform Truth Social, ia menyinggung semakin eratnya hubungan kedua negara itu dengan China setelah pertemuan puncak Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Tianjin bersama Presiden Xi Jinping. Trump menulis: “Looks like we’ve lost India and Russia to deepest, darkest China. May they have a long and prosperous future together!” Ucapan ini memicu spekulasi soal arah hubungan geopolitik Asia. Sindiran Trump dan Reaksi Diplomatik Unggahan Trump disertai foto Modi, Putin, dan Xi berjalan bersama. India memilih berhati-hati dengan hanya menyatakan “no comment”. Trump kemudian mengklarifikasi bahwa meski kecewa India membeli minyak dari Rusia, ia merasa hubungan pribadi dengan Narendra Modi tetap baik. China menanggapi dengan menyebut bahwa kerja sama Beijing dengan India dan Rusia “tidak ditujukan melawan pihak ketiga” melainkan demi kepentingan rakyat. Di kesempatan lain, Trump menyerang kebijakan Presiden Joe Biden yang dinilainya terlalu lemah menghadapi pengaruh China. Dalam pidato kampanye di Ohio, ia menyebut langkah Washington yang membiarkan India mempererat hubungan dengan Rusia dan China sebagai “kegagalan diplomasi terbesar dekade ini”. Baca Juga: Mulai September 2025, Wisatawan Asing Wajib Gunakan Aplikasi All Indonesia Media China dan Narasi Alternatif Pernyataan Trump dimanfaatkan media pemerintah China. Harian Global Times menyebut komentar Trump mencerminkan kepanikan AS. Beijing menegaskan inisiatif Belt and Road dan kerja sama energi trilateral sebagai pilihan rasional dengan manfaat ekonomi nyata, berbeda dari janji Barat. Narasi ini memperkuat strategi komunikasi China yang berusaha membingkai kemitraan mereka dengan India dan Rusia sebagai alternatif terhadap dominasi global Barat. Implikasi Geopolitik Komentar Trump memperlihatkan kekhawatiran AS terhadap kemungkinan poros baru China–Rusia–India. Namun sejumlah analis menilai pernyataan itu lebih bersifat retoris. India selama ini menjalankan kebijakan “strategic autonomy”, menjaga kemandirian dalam mengambil keputusan, termasuk urusan energi. Keputusan India membeli minyak Rusia dipandang memperlebar jarak dengan Barat. Sebagai reaksi, pemerintahan AS mengenakan tarif impor 50% terhadap India. Kritik dari pejabat lain seperti Peter Navarro juga menambah tekanan diplomatik. Meski begitu, India tetap menegaskan bahwa kebijakan energi adalah hak kedaulatan nasional. Rusia pun belum menanggapi langsung sindiran Trump. Sementara China memilih menekankan kerja sama win-win dan menolak kerangka konflik bipolar. Baca juga: Israel Klaim Menguasai 40% Kota Gaza Retorika atau Pergeseran Aliansi? Tulisan Trump tentang “kehilangan” India dan Rusia mencerminkan frustrasi Washington terhadap strategi diplomasi New Delhi dan Moskow, terutama dalam konteks perang Ukraina dan rivalitas AS–China. Namun tanpa perubahan kebijakan besar atau perjanjian strategis baru, klaim Trump lebih mungkin dianggap sebagai retorika politik daripada tanda nyata pergeseran aliansi. India menegaskan hubungan energinya dengan Rusia bukan berarti meninggalkan Barat. China pun berulang kali menyatakan tidak berambisi mendominasi global. Dengan demikian, sindiran Trump lebih mencerminkan dinamika komunikasi politik ketimbang realitas geopolitik yang sudah berubah secara permanen. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona dan Toto Budiman Ilustrasi by AI

Read More