Taliban Ingatkan AS soal Perjanjian Doha Usai Trump Desak Ambil Alih Pangkalan Bagram

Indramayu – 1miliarsantri.net: Pemerintah Taliban menolak keras pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kembali mendesak agar Washington mengambil alih Pangkalan Udara Bagram.
Klaim Trump ini muncul empat tahun setelah penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan pada 2021, yang dianggap sebagai salah satu titik balik paling dramatis dalam politik internasional abad ke-21.
Dalam pernyataannya pada Sabtu (20/9), Trump menyebut adanya pembicaraan dengan pihak Afghanistan mengenai kemungkinan mengembalikan kehadiran militer AS di Bagram.
Ia bahkan menyatakan, “Kami ingin Bagram kembali, dan kami ingin itu segera terjadi.” Namun, Trump tidak menjelaskan apakah hal itu berarti pengerahan pasukan baru atau strategi diplomasi dengan Taliban.
Taliban Tegas Ingatkan Perjanjian Doha
Pernyataan Trump langsung ditanggapi oleh juru bicara utama Taliban, Zabihullah Mujahid, pada Minggu (21/9). Ia menekankan bahwa Amerika Serikat terikat dengan komitmen Perjanjian Doha 2020, yang ditandatangani pada masa pemerintahan Trump sendiri.
“AS telah berjanji tidak akan menggunakan atau mengancam kekuatan terhadap integritas teritorial maupun kemerdekaan politik Afghanistan, serta tidak mencampuri urusan internal negara kami,” tulis Mujahid di platform X.
Nada serupa juga disampaikan oleh Kepala Staf Kementerian Pertahanan Taliban, Fasihuddin Fitrat, yang menolak kemungkinan menyerahkan Bagram atau wilayah lain kepada pihak asing.
“Menyerahkan sejengkal pun tanah kami kepada siapa pun adalah sesuatu yang tidak mungkin,” tegasnya dalam pidato televisi lokal.
Penolakan keras Taliban juga tidak lepas dari fakta bahwa Bagram memiliki nilai simbolis dan strategis. Pada Agustus 2023, Taliban merayakan tiga tahun penguasaan pangkalan itu dengan parade militer besar-besaran, memamerkan peralatan peninggalan militer AS. Acara tersebut sempat memancing perhatian Gedung Putih, sekaligus mempertegas kontrol Taliban atas infrastruktur strategis peninggalan Amerika.
Trump, Kritik Penarikan Pasukan, dan Kepentingan Politik

Sejak awal, Trump kerap mengkritik proses penarikan pasukan yang dilakukan oleh Presiden Joe Biden pada 2021. Ia menyebut keputusan itu penuh “ketidakmampuan besar” dan menciptakan kekosongan strategis yang menguntungkan Taliban maupun kelompok ekstremis lain.
Dalam kunjungannya ke Inggris pekan lalu, Trump bahkan memberi sinyal bahwa Taliban mungkin bersedia membuka jalan bagi kembalinya pasukan AS. Alasannya, Taliban kini menghadapi krisis ekonomi, minimnya legitimasi internasional, konflik internal, serta ancaman dari kelompok militan saingan seperti ISIS-K.
“Kami mencoba mendapatkannya kembali karena mereka membutuhkan sesuatu dari kami,” kata Trump, merujuk pada kemungkinan kesepakatan baru dengan Taliban.
Namun, analis menilai pernyataan ini juga memiliki muatan politik domestik. Isu Afghanistan kerap dipakai Trump untuk menyerang Biden, sekaligus menegaskan citranya sebagai pemimpin yang lebih tegas dalam urusan keamanan nasional.
Baca Juga: Total Ada 25 Hari! Berikut SKB 3 Menteri tentang Daftar Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2026
Komunikasi AS–Taliban Masih Berjalan
Meskipun Amerika Serikat tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taliban, komunikasi melalui jalur khusus tetap berlangsung. Isu yang sering menjadi jembatan adalah kasus sandera dan pertukaran tahanan.
Maret lalu, Taliban membebaskan seorang warga negara Amerika yang diculik lebih dari dua tahun sebelumnya. Taliban juga mengaku telah mencapai kesepakatan pertukaran tahanan dengan utusan AS, meski Gedung Putih tidak pernah mengumumkan detail perjanjian tersebut.
Foto-foto yang dirilis Taliban memperlihatkan Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi duduk berdampingan dengan Adam Boehler, utusan khusus Trump untuk urusan sandera. Potret ini menunjukkan bahwa meskipun secara politik berseteru, kedua pihak masih membuka ruang komunikasi ketika menyangkut kepentingan praktis.
Kontroversi terbaru mengenai Pangkalan Bagram menyoroti betapa rapuhnya hubungan antara Taliban dan Amerika Serikat pasca-penarikan 2021.
Bagi Taliban, mempertahankan kedaulatan penuh atas Afghanistan adalah syarat mutlak untuk mendapatkan legitimasi domestik. Sementara bagi Trump, isu ini menjadi senjata politik untuk menekan Biden sekaligus memperlihatkan ketegasan menjelang pemilu. Perjanjian Doha masih menjadi landasan hukum yang dikutip Taliban untuk menolak segala bentuk intervensi.
Namun, dinamika krisis Afghanistan dari ekonomi, legitimasi politik, hingga ancaman terorisme mungkin membuka ruang bagi negosiasi baru. Pertanyaannya, apakah langkah Trump murni strategi diplomasi, atau sekadar manuver politik dalam negeri?
Baca Juga: Peringatan Hari Jantung Sedunia 2025, Sejarah hingga Cara Memperingati
Penulis: Rodatul Hikmah
Editor: Glancy Verona
Ilustrasi by AI
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.