

Etika Pergaulan dalam Islam: Panduan Bijak di Era Modern
Surabaya – 1miliarsantri.net : Di tengah gempuran budaya digital dan gaya hidup serba bebas, batas-batas dalam pergaulan kian kabur. Apa yang dulu dianggap tabu, kini mudah dianggap biasa. Dalam pusaran perubahan ini, Islam hadir membawa panduan abadi. Etika pergaulan yang tidak hanya menjaga kehormatan diri, tetapi juga membangun relasi yang sehat, bermartabat, dan penuh keberkahan. Di era modern serba terbuka, ajaran Islam tentang pergaulan justru semakin relevan, menjadi kompas moral yang menuntun kita tetap teguh di atas prinsip, tanpa kehilangan jati diri. Batasan interaksi sosial yang makin kabur di dunia digital, serta interaksi antar manusia terjadi tanpa sekat ruang dan waktu, mengingatkan kembali pentingnya etika pergaulan dalam Islam. Etika yang akan kita bahas disini bukan hanya soal batas-batas antara lawan jenis, tapi lebih luas lagi, yakni tentang bagaimana kita menjaga adab dalam berteman, berkomunikasi, bahkan dalam menyampaikan pendapat. Sebagai umat Muslim, kita memiliki pedoman yang jelas dan kaya akan nilai. Etika dibentuk bukan untuk menjadi pembatas melainkan untuk menjaga diri kita dan hubungan sosial yang kita bangun sehari-hari agar tetap terjalin dengan baik. Nah, pada artikel ini, kita akan membahas bagaimana etika pergaulan dalam Islam bisa menjadi panduan bijak di era yang modern ini. Menjaga Adab, Fondasi Etika Pergaulan dalam Islam Jika kita bertanya “apa sih inti dari etika pergaulan dalam Islam?”, jawabannya sederhana yaitu, adab. Adab atau sopan santun adalah kunci utama dalam bergaul. Dalam hal ini Rasulullah SAW sendiri adalah contoh terbaik. Bahkan orang-orang yang dulunya menentang Islam bisa dibuat luluh hatinya karena akhlak beliau yang luar biasa. Islam mengajarkan bahwa setiap interaksi harus dilandasi niat baik, rasa hormat, dan tanggung jawab. Baik itu saat ngobrol langsung, chat di grup WhatsApp, atau komentar di media sosial, etika tetap harus dijaga. Misalnya, jangan gampang menyakiti perasaan orang lain lewat kata-kata kasar, jangan menyebarkan aib, dan jangan menuduh tanpa bukti. Dalam Islam, menjaga lisan dan sikap adalah bagian penting dari iman. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal Ini tentunya bisa menjadi pedoman, apalagi di masa sekarang yang mana kita bisa berkomunikasi atau mengobrol apa saja melalui media sosial. Etika pergaulan dalam Islam membantu kita memilah mana yang pantas dan mana yang harus kita hindari. Selain itu, Islam sangat menghormati privasi dan kehormatan orang lain. Kita diajarkan untuk tidak mengghibah, menguping, tidak menyebar rahasia, apalagi mengadu domba. Semua itu jelas bisa merusak hubungan sosial, dan sangat bertentangan dengan nilai etika dalam Islam. Etika Pergaulan di Era Digital dan Dunia Nyata Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa ini interaksi tidak hanya terjadi secara langsung, tapi juga lewat layar. Seperti melalui media sosial, YouTube, Facebook dan Instagram, yang mana kita bisa melakukan komunikasi, saling berinteraksi dan berkomentar, semua itu tentunya memerlukan adab. Nah, di sinilah tantangan terbesar kita saat ini, bagaimana tetap menjaga etika pergaulan dalam Islam meski komunikasi terjadi secara virtual. Islam tidak membatasi teknologi, tapi mengarahkan kita untuk menggunakannya dengan tanggung jawab. Misalnya, dalam pergaulan dengan lawan jenis, kita diajarkan untuk menjaga pandangan dan menjaga jarak, baik secara fisik maupun dalam komunikasi. Ini bukan soal membatasi kebebasan, tapi justru melindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak orang yang awalnya cuma chat ringan, tapi akhirnya terjerumus ke hal-hal yang tak sesuai dengan nilai Islam. Maka, etika pergaulan dalam Islam hadir sebagai rem sekaligus pelindung. Selain soal etika dengan lawan jenis, ada juga etika bergaul dalam organisasi atau lingkungan sosial. Yakni, Jangan gampang menghakimi. Jangan merasa lebih suci. Kita diajarkan untuk rendah hati dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Bahkan dalam perbedaan pendapat, Islam mendorong kita untuk berdiskusi dengan cara yang baik, bukan saling serang atau merendahkan. Islam juga mengajarkan kita untuk memilih lingkungan pergaulan sosial yang baik dan positif. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi…” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sini kita paham bahwa siapa yang kita pilih sebagai teman dekat akan sangat mempengaruhi kualitas diri dan kehidupan kita. Di tengah kehidupan dunia yang terus berevolusi, tapi nilai-nilai etika pergaulan dalam Islam tetap relevan dengan zaman dan sangat dibutuhkan. Justru semakin bebasnya interaksi manusia hari ini, semakin penting kita berpegang pada pedoman yang kokoh. Etika yang diajarkan Islam bertujuan untuk menjaga agar hubungan antar manusia tetap sehat, penuh hormat, dan membawa keberkahan. Dengan menjaga adab, menjaga lisan, memilih teman yang baik, serta berhati-hati dalam interaksi baik secara langsung maupun digital, kita bisa menjalani pergaulan yang lebih berkualitas dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semoga apa yang kita pelajari disini bisa menjadi pengingat dan bekal untuk kita dalam menjalani kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya, lebih bermakna, dan tentu saja lebih Islami. Karena sejatinya, etika pergaulan dalam Islam adalah cahaya yang akan menuntun kita di tengah hiruk-pikuknya dunia modern. Yuk, sama-sama kita jaga dan amalkan. Penulis : Iffah Faridatul H Editor : Toto Budiman

Inilah Jejak Kepahlawanan dalam Peristiwa Karbala
Karbala mengajarkan bahwa diam terhadap kezaliman adalah bentuk kekalahan yang sesungguhnya, dan bahwa keberanian untuk berkata benar adalah warisan sejati para pewaris nabi.

Pawai Obor Meriahkan Peringatan 1 Muharram 1447 H: Tradisi Bermakna dalam Menyambut Tahun Baru Islam
Surabaya – 1miliarsantri.net : Pada Jumat, 27 Juni 2025, umat Islam di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Momen ini bukan sekadar penanda pergantian tahun dalam kalender Hijriyah, tetapi juga peringatan atas peristiwa besar dan penuh makna dalam sejarah Islam, yaitu hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW dari Kota Mekah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Setelah 12 tahun berdakwah di Mekah, Rasulullah Muhammad SAW dan para pengikutnya menghadapi penindasan dari kaum Quraisy. Pada tahun ke-13 kenabian, sekelompok penduduk Yatsrib (kelak dikenal sebagai Madinah) menawarkan perlindungan melalui Bai’at al-Aqabah. Malam hari, Rasulullah bersama sahabatnya, Abu Bakar As-Shiddiq, meninggalkan Mekah secara diam-diam dan berlindung di Gua Tsur selama tiga hari untuk menghindari pengejaran.Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Madinah melalui rute yang tidak biasa. Setibanya di Madinah pada 12 Rabiul Awal 1 H (27 September 622 M), mereka disambut dengan penuh sukacita. Rasulullah memilih tempat tinggal di rumah dua anak yatim, Sahl dan Suhail bin Amr, yang menjadi lokasi pembangunan Masjid Nabawi. Di Madinah, beliau juga menyusun Piagam Madinah, sebuah konstitusi yang mengatur kehidupan masyarakat multikultural dan menjamin hak-hak setiap individu, termasuk non-Muslim. Peristiwa hijrah ini bukan hanya peristiwa fisik perpindahan tempat, melainkan menjadi titik balik kebangkitan peradaban Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan, keimanan, dan persaudaraan. Hari tersebut menjadi waktu yang istimewa dan bersejarah bagi umat Islam, karena selain memperingati momentum hijrah, juga dijadikan ajang introspeksi dan pembaruan diri. Banyak kegiatan bermanfaat dilakukan umat Islam pada hari itu, mulai dari pengajian, dzikir bersama, tausiyah, hingga aksi sosial dan spiritual. Semua itu bermuara pada satu tujuan: menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih beriman dalam menjalani kehidupan. Salah satu tradisi khas masyarakat Islam Indonesia dalam menyambut Tahun Baru Islam adalah pawai obor. Tradisi pawai obor telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya keislaman yang hidup di berbagai daerah, dari desa hingga kota. Pawai obor biasanya digelar pada malam 1 Muharram, selepas salat Isya. Ratusan hingga ribuan masyarakat berkumpul di titik awal yang umumnya berada di sekitar masjid atau alun-alun kota, kemudian berjalan beriringan menyusuri jalan-jalan kampung atau kota sambil membawa obor menyala di tangan. Obor yang digunakan terbuat dari bahan sederhana—sebatang bambu sebagai pegangan, kain sebagai sumbu, dan minyak tanah sebagai bahan bakar. Saat dinyalakan, obor tersebut memancarkan cahaya kuning kemerahan yang menggugah suasana malam menjadi hangat, religius, dan penuh semangat. Obor-obor tersebut tidak hanya menjadi sumber penerangan, tetapi juga simbol harapan, semangat, dan petunjuk Ilahi yang menerangi perjalanan hidup umat manusia. Dalam arak-arakan pawai, peserta tak hanya berjalan membawa obor. Mereka juga melantunkan shalawat, zikir, doa-doa keselamatan, hingga menyanyikan lagu-lagu religi yang penuh semangat. Beberapa kelompok menghadirkan kesenian marawis, rebana, hingga drum band dari siswa madrasah dan sekolah-sekolah Islam. Alunan musik tradisional ini turut menghidupkan suasana dan menjadi sarana dakwah kultural yang efektif, terutama bagi generasi muda. Lebih dari sekadar perayaan seremonial, pawai obor sarat makna filosofis dan spiritual. Ia menjadi perwujudan semangat hijrah yang diajarkan Rasulullah—yakni berpindah dari kegelapan menuju cahaya, dari keburukan menuju kebaikan, dari kesesatan menuju jalan lurus yang diridai Allah SWT. Cahaya obor melambangkan petunjuk Tuhan yang senantiasa menyinari perjalanan hidup manusia, agar tidak tersesat dalam gelapnya dunia yang penuh tantangan dan cobaan. Tak hanya bernilai spiritual, tradisi ini juga memainkan peran penting dalam pelestarian budaya lokal. Pawai obor mencerminkan harmoni antara nilai-nilai ajaran Islam dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Dalam pelaksanaannya, sering kali masyarakat setempat memadukan unsur adat, budaya daerah, dan nuansa Islam dalam satu kesatuan kegiatan. Anak-anak dan remaja yang ikut serta dalam pawai sejak dini dikenalkan pada tradisi ini, sehingga nilai-nilai sejarah, estetika, dan identitas keagamaan serta kebangsaan dapat tertanam kuat dalam jiwa mereka. Kegiatan ini juga memperkuat solidaritas sosial dan mempererat tali silaturahmi antarwarga. Dalam semangat kebersamaan, seluruh lapisan masyarakat—baik anak-anak, remaja, orang tua, tokoh agama, hingga aparat pemerintah—turut serta dalam pawai dengan antusias. Tidak sedikit pula yang datang dari luar daerah untuk menyaksikan atau ikut berpartisipasi, menjadikan pawai obor sebagai ajang wisata religi yang layak dilestarikan. Selain itu, banyak penyelenggara pawai obor yang menyisipkan kegiatan sosial seperti santunan anak yatim, pembagian makanan gratis, hingga kampanye kebersihan dan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa pawai obor juga menjadi wahana aktualisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin—Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kontributor : Misbah Harahap Editor : Toto Budiman

Penelitian Ungkap ’AI’ Dorong Kenaikan Gaji & Lapangan Kerja, Bukan PHK Massal
Jakarta – 1miliarsantri.net : Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan ini tak selalu berarti ancaman untuk menggantikan pekerjaan manusia. Sebuah laporan terbaru dari PwC yang berjudul Global AI Jobs Barometer 2025 menepis kekhawatiran umum soal kecerdasan buatan (AI). Alih-alih menggantikan tenaga kerja manusia, teknologi ini justru mendorong peningkatan produktivitas, kenaikan gaji, dan penciptaan lebih banyak lapangan kerja di berbagai sektor. Meskipun terdapat kekhawatiran masyarakat terkait hadirnya AI dapat mengurangi nilai suatu pekerjaan bahkan menggantikannya, AI sejatinya membuat pekerja ’lebih bernilai’. Joe Atkinson, Kepala AI Global PwC mengatakan bahwa hal yang menyebabkan manusia bereaksi terkait isu ini adalah percepatan inovasi teknologi yang terjadi sangat cepat. ”Apa yang ditunjukkan oleh laporan tersebut, sebenarnya adalah keberadaan AI dapat menciptakan lapangan kerja baru. Kita tahu bahwa setiap kali terjadi revolusi industri itu lebih banyak pekerjaan yang tercipta daripada yang hilang. Tapi, tantangannya adalah keterampilan yang dibutuhkan pekerja untuk pekerjaan baru bisa sangat berbeda,” ujar Atkinson dikutip CNBC Make It. Dalam laporan tersebut, lapangan kerja dan gaji pekerja sama-sama naik di setiap pekerjaan yang mengadopsi AI dalam penerapannya seperti pekerjaan layanan pelanggan atau penggunaan perangkat lunak. Atkinson juga menerangkan bahwa tantangannya bukan tidak akan ada pekerjaan di masa depan, melainkan para pekerja harus siap beradaptasi dengan teknologi. AI sejatinya diproyeksi dan diciptakan sebagai jawaban untuk mendampingi serta meningkatan produktifitas pekerja, bukan untuk menggantikannya. Laporan tersebut menganalisis lebih dari 800 juta iklan pekerjaan dan ribuan laporan keuangan perusahaan di berbagai negara. Laporan itu juga menepis 6 mitos umum tentang dampak AI terhadap dinamika permasalahan kerja. Berikut ini adalah 6 mitos umum terkait kekhawatiran masyarakat dalam hadirnya AI dalam dunia kerja : Mitos : AI belum memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas pekerja. Laporan itu mengungkap bahwa sejak tahun 2022, pertumbuhan produktivitas disektor yang mengadopsi AI telah meningkat hampir empat kali lipat. Sementara itu, di sektor-sektor yang “paling tidak siap” terhadap AI itu mengalami sedikit penurunan. Menurut data PwC, industri yang terpapar AI seperti penerbitan perangkat lunak itu menunjukan pertumbuhan pendapatan per karyawan tiga kali lebih tinggi. Mitos : AI dapat berdampak terhadap penurunan gaji dan nilai suatu pekerjaan. Data tersebut menunjukan bahwa gaji pekerja dengan keterampilan AI rata-rata 56% lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja tanpa keterampilan AI dalam pekerjaan yang sama. Selain itu, upah meningkat dua kali lebih cepat di industri yang paling banyak terpapar AI dibandingkan dengan industri yang paling sedikit terpapar AI. Mitos : AI dapat menyebabkan menurunnya jumlah pekerjaan. Bersebrangan dengan itu, dalam laporan itu disebutkan, pekerjaan yang minim keterpaparan terhadap AI tumbuh pesat hingga 65% sepanjang 2019–2024. Menariknya, profesi yang lebih terdampak AI pun tetap mencatat pertumbuhan yang solid, meski lebih lambat, yakni sebesar 38%. Mitos : AI dapat memperburuk ketimpangan kesempatan dan upah bagi pekerja. Bertentangan dengan kekhawatiran itu, temuan laporan itu menunjukan bahwa upah dan lapangan kerja meningkat untuk pekerjaan yang mengoptimalisasi teknologi. Tercatat bahwa permintaan pemberi kerja terhadap gelar formal menurun lebih tinggi pada pekerjaan yang terpapar AI, sehingga menciptakan peluang yang lebih luas bagi pekerja tanpa gelar. Mitos : AI dapat menghilangkan keterampilan pekerjaan yang diotomatisasi. Laporan tersebut menemukan bahwa hadirnya AI justru dapat memperkaya pekerjaan yang dapat diotomatisasi dimana karayawan bebas dari tugas yang membosankan. Hal itu juga untuk melatih keterampilan yang lebih rumit dan mengukur analisis pengambilan keputusan. Misalnya, petugas entri data dapat berkembang menjadi peran yang lebih bernilai seperti analis data. Mitos : AI dapat menurunkan nilai pekerjaan yang sangat diotomatisasi. Data yang ditujukkan PwC adalah upah tidak hanya meningkat untuk pekerjaan yang diotomatisasi, tetapi teknologi membentuk pekerjaan tersebut menjadi kompleks yang membuat pekerja jauh lebih dihargai. Dalam penelitian ini, AI harus dipergunakan sebagai strategi pertumbuhan dengan nilai yang modern dan bukan sekedar strategi efisiensi belaka. Pentingnya untuk menghindari ambisi rendah dan jangka pendek untuk mengotomasi pekerjaan masa lalu, AI mendorong pekerjaan dan industri baru di masa yang akan datang. Peningkatan produktivitas yang dihasilkan oleh AI dinilai mampu menciptakan multiplier effect terhadap tenaga kerja yang tersedia guna mendorong pertumbuhan bisnis. ”AI jika dimanfaatkan secara kreatif sangat berpotensi memicu lahirnya berbagai jenis pekerjaan dan model bisnis baru. Sebagai gambaran, dua pertiga dari jenis pekerjaan di AS saat ini belum pernah ada pada tahun 1940 banyak di antaranya tercipta berkat kemajuan teknologi,” tulis laporan tersebut. Kontributor : Aghasy Editor : Toto Budiman

Makna Rukun Umroh : Mengasah Mental Pejuang Tangguh, Siap Hadapi Ujian Kehidupan
Surabaya – 1miliarsantri.net : Sebagian masyarakat memandang umroh sekadar ibadah fisik, berpakaian ihram, thawaf, sa’i, hingga tahallul. Namun di balik setiap rukun yang dijalani, tersimpan pelajaran mendalam tentang ketundukan, kesabaran, dan perjuangan. Umroh sejatinya adalah latihan jiwa, di mana seorang Muslim ditempa untuk menjadi pribadi yang kuat, ikhlas, dan teguh dalam menghadapi ujian kehidupan. Setiap langkah di tanah suci bukan hanya ritual, tapi simbol perjalanan spiritual yang mengasah mental pejuang sejati. Mereka yang siap menghadapi dunia dengan hati yang bersih dan niat yang lurus. Mengasah jiwa untuk lapang dan tangguh menghadapi ujian apapun. Masih teringat dalam memori terkait percakapan teman tentang umroh. Dia menceletuk, “Mbak orang umroh itu lho 80% jalan-jalan lalu pamer. 20% paling ya ibadah. Sayang, uangnya.” Saat itu penulis memiliki impian untuk umroh di usia muda. Mendengar statement itu, sempat ragu menabung untuk umroh. Semua keraguan itu terjawab dari nasihat ustaz Sonny Abi Kim yang kebetulan muncul di fyp Tik Tok, “Umroh adalah saat yang paling indah untuk mengadu, menyampaikan segala keresahan, gelisah, sedih, cemas dan seringkali rasa yang membuat dada kita sempit. Maka semoga dengannya Allah karuniakan kepada kita dada yang lapang.” Dan alhamdulillah di awal tahun 2025 saat usia 30 tahun, Allah mengundang penulis dan keluarga untuk umroh. Selama perjalanan, MasyaAllah ini bukan sekadar jalan-jalan, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang memotivasi diri untuk lebih lapang menghadapi ujian. Ketika hidup terasa berat, jalan terlihat buntu, terbersit kata menyerah. Sejenak mengingat kembali pengalaman umroh, MasyaAllah rasanya ada energi masuk yang membuat diri ikhlas dan berani menghadapi apapun rintangan hidup. Lantas apa hubungan makna umroh dengan ujian hidup. Mari simak sampai akhir penjelasan detail dalam artikel ini!. Ihram: Pentingnya Tujuan Sejati Dalam Hidup Pertama kali miqat, hati terasa merinding seperti menjalani miniatur kematian. Tidak ada pakaian branded, ataupun semerbak parfum aroma mahal. Yang boleh dikenakan hanya sehelai kain putih tanpa jahitan dan wewangian. Dari proses miqat mengingatkan kembali pentingnya memiliki tujuan sejati. Ketika seseorang memiliki tujuan besar, saat ditimpa badai ujian sekecil atau sebesar apapun tidak akan mudah menyerah dan terus bangkit. Dari pakaian Ihram saat miqat diingatkan kembali bahwa tujuan sejati manusia yaitu “ “Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʿūn”“. Bahwa diri ini berasal dari Allah, hidup untuk Allah dan kembali kepada Allah. Jika kita menjadikan Allah tujuan dalam melangkah, kita tidak merasa cemas dalam memikirkan masa depan yang tidak pasti. Allah akan selalu melindungi kita yang termaktub dalam Al-Baqarah ayat 112, “Orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah serta berbuat ihsan, akan mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.“ Tawaf: Butuh Konsisten Mencapai Tujuan Bagian rukun umroh yang membuat jantung berdebar adalah tawaf mengelilingi ka’bah ditengah jutaan umat manusia yang berdesak-desakan, kadang terasa sesak. Bagi introvert ini adalah tantangan tersendiri harus menghadapi keramaian. Anehnya penulis yang juga introvert, merasakan kedamaian mengelilingi ka’bah di tengah hiruk pikuk kerumunan lautan manusia. Dalam proses tawaf mencerminkan kehidupan itu sendiri. Dalam keseharian kita harus terus berjalan, meski lelah. Kadang ada yang mendahului, kadang kita tertinggal. Tapi yang penting adalah tetap bergerak menuju tujuan. Dan terus berdoa agar tidak kehilangan harapan. Dalam proses mengelilingi ka’bah, sebagai manusia rasanya ditampar oleh realita. Selama hidup mungkin kita sering berjalan mengejar duniawi kesana kemari, lelah batin hingga akhirnya berniat untuk bunuh diri. Padahal mau berjalan sejauh manapun, hidup kita akan kembali dihadapan Sang Maha Pencipta. Jika langkah demi langkah kita menuju Allah, rasanya jiwa ini lebih ikhlas, hidup lebih bermakna dan bersemangat menggali amal kebaikan. Sa’i: Menuju Tujuan Tak Lepas Dari Ujian Rukun umroh yang sangat melelahkan bahkan kepikiran untuk berhenti di putaran ke 4. Meskipun 3 bulan sebelum umroh rajin jalan kaki. Bolak-balik 7 kali dari Shafa dan Marwah sepanjang 3 km dalam waktu 2 jam. Langkah kaki terasa berat, napas memburu, badan goyah. Namun penulis terus berjalan karena teringat bagaimana perjuangan luar biasa Ibunda Hajar. Bayangan Ibunda Hajar harus berjuang seorang diri demi menyelamatkan bayi Ismail dari kehausan parah di tengah lembah gersang, panas, tandus yang tak berpenghuni. Tapi tekadnya sangat kuat untuk mendaki bukit terjal Shafa dan Marwah untuk mencari setetes air demi sang anak. Percobaan pertama hanya melihat hamparan pasir dan bebatuan. Namun Ibunda Hajar terus mendaki bolak-balik sebanyak 7 kali. Hingga akhirnya Allah memberi pertolongannya dengan munculnya Zamzam dari hentakan kaki Ismail. Mata air yang terus mengalir sepanjang zaman. Dari kisah Ibunda Hajar diingatkan kembali bahwa kalau punya tujuan tak akan lepas dari ujian. “Dan sesungguhnya Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:155). Sa’i juga bukti betapa Allah Sang Maha Kaya dan Pengasih. Ketika umatnya meminta setetes air malah diberikan sumber mata air. Dan ketika umatnya seorang diri mengalami penderitaan, Allah akan memberikan pertolongan langsung. Tahalul: Transformasi Menuju Perubahan Tahalul tak sekedar ritual potong rambut, ada pesan tersirat di dalamnya. Dari memotong rambut diajarkan untuk ikhlas melepas. Melepaskan bukan berarti berkurang, tapi justru bertumbuh. Dari Tahalul juga menjadi titik balik perubahan dengan memulai membuka lembaran baru menjadi manusia seutuhnya. Yang mana bisa memaksimalkan intelektualitas, emosional, spiritualitas dan sosial untuk menghadapi tantangan hidup selanjutnya dengan hati yang suci, sabar, ikhlas dan cinta kepada Allah. Perjalanan umroh teramat jauh dan menjalani rukun umroh begitu melelahkan. Setiap doa dan tangisan yang membawa memori buruk, menyakitkan, dendam semua melebur yang tersisa hanyalah lapang dada, pikiran terbuka dan setiap langkah terasa mudah. Sepulang umroh menjadi manusia yang tegar. Apapun badai ujiannya yang terpenting terus bergerak, berjalan, dan berdoa. Semoga kita semua segera bisa diundang Allah ke Baitullah. Amin ya rabbal alamin. Kontributor : Iftitah Editor : Toto Budiman

Marbot Academy Angkatan 6: Oase Pembinaan Generasi Muda Islam
Malang — 1miliarsantri.net : Di tengah derasnya arus informasi dan tantangan zaman, Marbot Academy Angkatan ke-6 hadir sebagai oase pembinaan generasi muda Islam. Sebanyak 31 peserta utusan masjid dan pribadi yang tergabung dalam program Marbot Academy Angkatan ke-6 mengikuti program ini selama liburan sekolah. Agenda yang dimulai sejak Kamis (26/06) ini, bukan sekadar pelatihan, tapi ruang tumbuh bagi generasi muda Islam untuk belajar mencintai masjid, membentuk karakter, dan mengasah kepemimpinan. Beragam materi kemasjidan disampaikan pemateri dengan pembelajaran bermakna dan suasana yang serius tapi santai. Mulai dari pembinaan ibadah, pelatihan keterampilan sosial hingga pelayanan umat. Bertempat di Lagzis Peduli-Rumah Relawan Sahabat Muda, Gadang, Kota Malang, kegiatan ini diselenggarakan oleh pasangan suami istri, Ustadz Deddy Wahyudi dan Ustadzah Tinto Dewi. Peserta menjalani kegiatan harian yang padat namun bermakna: dari shalat tahajud berjama’ah, ODOJ (One Day One Juz), kelas kajian, muroja’ah, hingga hafalan dan kelas keterampilan. Materi utama dikemas dalam bentuk Marbot Daily Activity (MDA) yang berlangsung selama dua pekan. Tampil sebagai salah satu pemateri Ustadz Deddy menekankan bahwa durasi dua pekan saja, tidaklah cukup untuk menyerap seluruh materi kemasjidan dan soft skill yang harus dimiliki seorang marbot masa kini. “Karena selama 2 pekan itu kalian hanya menguasai MDA (Marbot Daily Activity), belum menguasai kompetensi penunjang yang lain. Oleh karena itu, perlu ditambah durasi waktunya menjadi 1 bulan hingga 3 bulan, agar kalian bisa menguasai semua materi seputar kemasjidan,” ujar beliau memotivasi para peserta. Beberapa program unggulan seperti Hidroponik, Pasar Bahagia, dan Gerakan Beras Masjid (GBM) memperkuat semangat sosial peserta. Pasar Bahagia yang digelar setiap Kamis dan Jumat pagi menjadi momen berbagi sayur hasil tanam hidroponik kepada ibu-ibu jamaah masjid, dan cukup dibayar dengan doa. Sementara itu, GBM melibatkan para peserta untuk mengemas dan menyalurkan sembako ke masyarakat sekitar. Peserta juga dilatih melaksanakan aktivitas galang dana atau fundraising. Sembari melakukan aktivitas seperti memasak, mengajar, hingga jurnalistik, sesuai pilihan masing-masing. Puncak pengalaman mereka terjadi pada tanggal 10 Juli 2025, saat 28 peserta Marbot Academy dipercaya menjadi panitia volunteer dalam Tabligh Akbar Internasional bersama Dr. Zakir Naik di Stadion Gajayana, Malang. Mereka ditugaskan dalam berbagai jobdesk, seperti registrasi, logistik, dokumentasi, medis, runner, tenant, konsumsi, crowd, parkir, keamanan, hingga kebersihan. Keterlibatan ini tidak hanya memberikan pengalaman teknis dalam event berskala besar, tetapi juga membuka wawasan keislaman lintas dunia. Meski sempat diwarnai penolakan oleh sebagian kelompok masyarakat dan sikap kritis dari sejumlah tokoh, kehadiran Dr. Zakir Naik tetap disambut antusias oleh ribuan jamaah. Kekhawatiran kalau ceramah beliau akan provokatif dan mengganggu ketentraman umat beragama di Kota Malang tidak terbukti. Beberapa organisasi seperti Muhammadiyah menyambut secara terbuka dan menjadikannya momen dakwah internasional, sementara kalangan Nahdlatul Ulama (NU) memberi catatan kritis terkait gaya dakwah perbandingan agama yang dinilai bisa menimbulkan polemik jika tidak kontekstual. Namun dalam pandangan peserta Marbot Academy, acara tersebut menjadi ruang belajar, baik dalam hal keilmuan, akhlak berdakwah, maupun manajemen kerelawanan umat. Salah satu peserta yang menginspirasi adalah Muhammad Isma’il, karna Marbot Academy belum pernah menangani peserta tuna netra di angkatan-angkatan sebelumnya. Muhammad Isma’il (31 thn) adalah seorang penyandang disabilitas tuna netra yang ikut aktif dalam seluruh rangkaian kegiatan. Berangkat dari rumahnya di daerah Ampel Kejeron, Ismail panggilan akrabnya terlihat senang dan antusias mengikuti rangkaian acara. Dengan semangat tinggi dia membawa beragam perlengkapan ibadah dan Al Qur’an braile yang merupakan sebuah mushaf Alquran yang dirancang khusus bagi penyandang tunanetra. Dengan huruf-huruf timbul yang ada, para penyandang tunanetra akan lebih mudah membaca hanya dengan mengandalkan sensitifitas jari-jemari. Termasuk mengikuti kegiatan outdoor PLCC (Pesantren LIburan Camp Ceria) di Coban Rondo. Ia membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkontribusi. “Meskipun saya tidak bisa melihat seperti teman-teman lain, saya tetap ingin ikut berkontribusi untuk masjid. Di sini, saya merasa diterima dan dibimbing. Semangat mereka menular, dan saya jadi yakin bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti belajar dan memberi manfaat.” — Muhammad Ismail, peserta Marbot Academy Angkatan 6 Marbot Academy Angkatan 6 bukan hanya tentang pelatihan teknis atau rutinitas ibadah, melainkan tentang menanamkan visi jangka panjang: membentuk generasi muda yang mencintai masjid, berakhlak mulia, dan siap menjadi pemimpin umat. Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, pembinaan seperti ini menjadi harapan baru, bahwa masjid tidak hanya dipenuhi oleh jamaah tua, tetapi juga oleh pemuda-pemuda yang bersemangat dan penuh dedikasi. Sebagai kejutan dan kenang-kenangan kepada peserta Marbot Academy Angkatan 6, selain memperoleh ilmu yang bermanfaat, panitia juga memberikan uang saku. Nominal jumlahnya berbeda-beda sesuai asal dari peserta. Peserta terjauh datang dari dari kota Pekan Baru, Propinsi Riau. Semoga jejak yang ditorehkan dalam program ini terus melahirkan marbot-marbot tangguh yang menjaga cahaya Islam tetap menyala di setiap sudut negeri. Kontributor Santri : Zufar Rauf Budiman Editor : Toto Budiman

Penguatan UMKM dan Tata Kelola Koperasi: Tim BPKP Dan Dinas Terkait Sambangi PRIMKOPTI Jakarta Timur
Jakarta – 1miliarsantri.net: Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat peran koperasi dan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebagai pilar ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari kunjungan kerja Tim Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta ke Kantor PRIMKOPTI (Primer Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia) Jakarta Timur, yang dilanjutkan dengan inspeksi lapangan di dua lokasi sentra produksi olahan kedelai. Dalam agenda tersebut, rombongan yang berjumlah sekitar 14 orang turut didampingi oleh perwakilan dari Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi DKI Jakarta serta Suku Dinas PPKUKM Kota Administrasi Jakarta Timur. Rombongan meninjau langsung proses produksi tempe anggota PRIMKOPTI Jakarta Timur, di pabrik milik Munawir di kawasan Cipinang–Pulogadung dan pabrik tahu milik Rahmat di Gang Jeruk, Utan Kayu–Matraman. Baca juga : Tidak Ada Riba Dalam Koperasi Simpan Pinjam, Jika Dijalankan Sesuai Nilai Dan Prinsip Koperasi Kehadiran tim disambut langsung oleh Ketua PRIMKOPTI Jakarta Timur, Suyanto, SE.,MSi, didamping Bendahara Koperasi, Zaeni. Suyanto yang saat ini menjabat sebagai Penasehat GAKOPTINDO periode 2025-2030 menyambut baik kunjungan tersebut. Suyanto mengakui ini merupakan bentuk nyata dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia “KOPTI” dan UMKM. “Gerakan koperasi, khususnya koperasi produsen seperti PRIMKOPTI, membutuhkan sinergi nyata dengan pemerintah. Tidak hanya dalam hal pengawasan, tapi juga pembinaan, edukasi, dan solusi atas tantangan produksi, termasuk ketersediaan bahan baku dan pemenuhan standar keamanan pangan,” ujar Suyanto. Sementara itu, Suko Widodo, BPKP Perwakilan DKI Jakarta menjelaskan bahwa kunjungan ini merupakan bagian dari evaluasi terhadap sistem tata kelola produksi tahu dan tempe. Fokus utamanya adalah pada standar mutu, higienitas, dan keamanan pangan yang menyentuh kebutuhan pokok masyarakat luas. “Produk olahan kedelai seperti tahu dan tempe adalah konsumsi utama masyarakat. Oleh karena itu, kami ingin memastikan bahwa proses produksinya sesuai dengan standar dan mendukung keberlanjutan usaha para anggota koperasi,” terang Suko. Lebih jauh, kunjungan ini diharapkan mampu mendorong kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, koperasi, dan pelaku usaha dalam membangun ekosistem UMKM yang kuat, efisien, dan berdaya saing tinggi. Tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga dalam penguatan kapasitas anggota koperasi serta perluasan jaringan distribusi dan pemasaran produk. Baca juga : Koperasi Menjadi Ladang Amal Jariyah Yang Tak Terputus PRIMKOPTI Jakarta Timur sendiri merupakan salah satu koperasi aktif di bawah naungan GAKOPTINDO, dengan peran strategis dalam distribusi kedelai dan pembinaan terhadap para pengrajin tahu dan tempe. Keberadaannya menjadi tonggak penting dalam menjaga kestabilan harga, ketersediaan bahan baku, serta kualitas produk yang dihasilkan anggotanya. Kegiatan ini diakhiri dengan sesi dialog antara tim BPKP dan para pelaku usaha yang dikunjungi. Aspirasi dan masukan dari lapangan menjadi bagian penting untuk penyusunan kebijakan yang lebih responsif dan berpihak pada kebutuhan riil pelaku koperasi produsen. Dengan gerakan bersama antara koperasi, pemerintah, dan masyarakat, maka cita-cita besar menuju ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi rakyat bukan sekadar wacana. Koperasi Jaya, Rakyat Sejahtera, merupakan sebuah keniscayaan.*** Penulis : Ki Ageng Sambung Bhadra Nusantara Foto istimewa dok. PRIMKOPTI Jakarta Timur Editor : Thamrin Humris

Lebih dari Sekadar Tradisi! Sejarah Makan Bubur Asyura Ternyata Penuh Makna
Bondowoso – 1miliarsantri.net : Saat tanggal 10 Muharram tiba, banyak masyarakat Indonesia, terutama umat Muslim, mempersiapkan sebuah hidangan spesial bernama bubur Asyura. Namun, tahukah Anda bahwa makan bubur Asyura bukan sekadar soal menyantap makanan tradisional? Di balik kelezatannya yang khas, tersimpan nilai-nilai historis, spiritual, dan sosial yang begitu dalam. Makan bubur Asyura ternyata merupakan bagian dari ritual penuh makna yang diwariskan sejak zaman Nabi Nuh AS dan terus dilestarikan hingga kini. Apa sebenarnya yang membuat bubur ini begitu istimewa? Mari kita telusuri lebih jauh sejarah dan filosofi di balik tradisi makan bubur Asyura, melalui penjelasan berikut. Asal Usul dan Sejarah Makan Bubur Asyura Makan bubur Asyura tidak muncul begitu saja. Tradisi ini bermula dari kisah luar biasa Nabi Nuh AS saat menghadapi banjir besar yang melanda seluruh bumi. Setelah air surut dan kapal Nabi Nuh bersandar di atas Gunung Judi, beliau bersama para pengikutnya mengumpulkan sisa bahan makanan yang ada di kapal. Semua bahan itu dimasak bersama menjadi bubur sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan yang diberikan Allah SWT. Sejak saat itu, umat Islam mengenang momen penting ini setiap tanggal 10 Muharram dengan membuat dan makan bubur Asyura. Di Indonesia, tradisi makan bubur Asyura berkembang seiring dengan masuknya Islam ke berbagai wilayah. Di Aceh, misalnya, ulama-ulama pada abad ke-16 menyebarkan ajaran Islam sekaligus memperkenalkan nilai sosial melalui kegiatan memasak dan berbagi bubur Asyura. Bubur ini bukan hanya makanan, melainkan simbol ajaran Islam yang menekankan pentingnya syukur, berbagi, dan kebersamaan. Makna yang Terkandung dalam Tradisi Makan Bubur Asyura Makan bubur Asyura bukan hanya urusan perut. Tradisi ini memuat banyak nilai dan pelajaran berharga yang dapat memperkuat spiritualitas serta hubungan sosial antarindividu dalam masyarakat. 1. Simbol Rasa Syukur Momen makan bubur Asyura adalah kesempatan bagi umat Muslim untuk mengingat dan mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat hidup, keselamatan, dan rezeki yang diberikan. Seperti halnya Nabi Nuh dan para pengikutnya yang bersyukur setelah selamat dari banjir besar, tradisi ini menjadi pengingat bahwa dalam setiap cobaan selalu ada berkah yang patut disyukuri. 2. Menjalin Kebersamaan Proses pembuatan bubur Asyura biasanya melibatkan banyak orang. Di sinilah tercipta kebersamaan yang erat antar anggota keluarga, tetangga, bahkan komunitas. Makan bubur Asyura secara bersama-sama menciptakan suasana kekeluargaan yang hangat dan harmonis. Kegiatan ini pun sering kali disertai dengan doa bersama atau pengajian, menambah nilai spiritual dalam kebersamaan tersebut. 3. Semangat Gotong Royong Nilai gotong royong sangat terasa dalam tradisi makan bubur Asyura. Setiap orang membawa bahan makanan, ikut serta dalam proses memasak, hingga membagikannya kepada orang lain. Ini mencerminkan kuatnya rasa kepedulian dan tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Makan bubur Asyura menjadi momen untuk saling membantu, mempererat persaudaraan, dan menciptakan solidaritas sosial. 4. Wujud Kepedulian dan Berbagi Tradisi membagikan bubur Asyura kepada tetangga atau masyarakat sekitar menggambarkan pentingnya saling berbagi, khususnya kepada mereka yang membutuhkan. Dalam ajaran Islam, berbagi rezeki kepada sesama adalah bentuk ibadah yang mulia. Makan bubur Asyura mengajarkan bahwa nikmat makanan tidak akan lengkap tanpa adanya kepedulian terhadap orang lain. 5. Simbol Keberagaman dalam Harmoni Uniknya, bubur Asyura dibuat dari beragam bahan seperti biji-bijian, kacang-kacangan, sayuran, hingga rempah-rempah. Keanekaragaman bahan ini melambangkan pluralitas dalam masyarakat yang tetap bisa bersatu dan hidup harmonis. Makan bubur Asyura pun menjadi simbol bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk menciptakan persatuan, melainkan kekayaan yang harus dirawat bersama. Tradisi Makan Bubur Asyura di Berbagai Daerah 1. Kudus Di Kudus, bubur Asyura menjadi bagian dari budaya kuliner yang sarat nilai religi. Masyarakat menyambut 10 Muharram dengan kegiatan memasak bubur secara massal, lalu membagikannya kepada warga sekitar sebagai bentuk syukur dan amal jariyah. 2. Kalimantan Di Kalimantan, makan bubur Asyura dilakukan dalam nuansa kekeluargaan yang sangat kental. Biasanya, keluarga besar berkumpul dan memasak bubur secara bergotong royong. Setelah matang, bubur dimakan bersama sambil memanjatkan doa-doa dan harapan untuk tahun yang lebih baik. 3. Aceh Di Aceh, makan bubur Asyura tidak hanya menjadi kegiatan kuliner, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi. Warga berkumpul di meunasah (surau) atau masjid untuk memasak dan membagikan bubur kepada masyarakat. Tradisi ini tetap dilestarikan dari generasi ke generasi sebagai bentuk pelestarian nilai budaya dan ajaran Islam. Makan bubur Asyura bukan sekadar kebiasaan turun-temurun yang dilakukan setiap 10 Muharram. Lebih dari itu, tradisi ini merupakan pengingat akan sejarah perjuangan Nabi Nuh AS, simbol rasa syukur atas nikmat Allah, dan wujud kepedulian sosial dalam bingkai kebersamaan. Di tengah modernitas yang semakin mengikis nilai-nilai tradisional, menjaga dan meneruskan tradisi makan bubur Asyura menjadi sangat penting. Karena dari satu mangkuk bubur, kita bisa merasakan hangatnya kebersamaan, nikmatnya berbagi, dan indahnya hidup dalam keberagaman. Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Toto Budiman

Potret Sejarah Yahudi di bawah Kekuasaan Islam yang Penuh dengan Toleransi
Bondowoso – 1miliarsantri.net : Bayangkan sebuah masa ketika dua agama besar dunia hidup berdampingan, bukan dalam konflik, tetapi dalam bingkai saling menghormati dan bekerja sama. Itulah gambaran singkat dari Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim. Dalam berbagai catatan sejarah, hubungan antara umat Muslim dan Yahudi tidak selalu dipenuhi ketegangan seperti yang sering kita dengar hari ini. Justru pada masa awal kekuasaan Islam, Yahudi mengalami masa toleransi, bahkan kemajuan intelektual dan budaya yang luar biasa. Namun, sejarah ini tidak hanya berbicara soal harmoni, tapi juga tentang dinamika, diskriminasi, dan perubahan sosial yang kompleks. Kabar baiknya, dalam kesempatan kali ini, kami akan mengulas lebih dalam tentang bagaimana Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim menjadi potret penuh warna, dari masa keemasan hingga masa-masa sulit. Siapkah Anda menyelami kisah sejarah yang sering kali terlupakan ini? Baik, mari kita sama-sama perhatikan penjelasannya di bawah ini. Awal Hubungan Toleransi dan Koeksistensi yang Nyata Masa awal Islam menandai titik balik dalam hubungan antara umat Muslim dan Yahudi. Di berbagai wilayah kekuasaan Islam, umat Yahudi diperlakukan dengan pendekatan yang lebih inklusif dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya. Beberapa bentuk pendekatan tersebut, seperti: 1. Status Dhimmi (Perlindungan dengan Syarat) Dalam sistem pemerintahan Islam klasik, Yahudi digolongkan sebagai ahl al-kitab dan diberikan status dhimmi. Artinya, mereka adalah kelompok non-Muslim yang mendapat perlindungan hukum dari negara Islam, selama memenuhi kewajiban tertentu, dan yang paling utama adalah membayar pajak khusus yang disebut jizya. Meskipun menjadi warga negara kelas dua secara administratif, status ini memungkinkan umat Yahudi untuk hidup damai dalam komunitas mereka sendiri. 2. Kebebasan Beragama dan Tradisi Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim mencatat bahwa dalam banyak kasus, komunitas Yahudi bebas menjalankan ajaran agamanya. Mereka diperbolehkan membangun dan memelihara sinagoge, menjalankan hukum mereka sendiri dalam urusan internal, serta melestarikan budaya dan bahasa mereka tanpa paksaan untuk memeluk Islam. Peran dalam Pemerintahan dan Masyarakat Tak hanya hidup berdampingan, beberapa tokoh Yahudi bahkan dipercaya untuk mengisi jabatan penting di pemerintahan Islam. Mereka dikenal sebagai penasehat, dokter kerajaan, penerjemah naskah klasik, hingga ekonom istana. Kepercayaan ini menunjukkan tingkat keterbukaan masyarakat Islam terhadap kompetensi intelektual dan profesional umat Yahudi. 1. Zaman Keemasan di Andalusia dan Baghdad Wilayah Andalusia, di bawah kekuasaan Islam di Spanyol, menjadi saksi dari masa keemasan komunitas Yahudi. Awalnya komunitas Yahudi di bawah kekuasaan Muslim mencatat bahwa ini adalah periode ketika ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, dan seni berkembang pesat di kalangan Yahudi. Sejarah mencatat bahwa kejayaan Islam di Andalusia dan Baghdad bukan sekadar dongeng keemasan. Keduanya pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, budaya, dan toleransi yang memukau dunia. Namun, yang jarang disorot adalah bagaimana peradaban yang begitu megah itu runtuh dan berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap komunitas Muslim yang pernah berjaya di dalamnya. Peradaban tanpa kekuatan & solidaritas tidak akan bertahan. Ilmu, seni, dan toleransi memang penting, tapi tanpa perlindungan politik, militer, dan persatuan umat, semua bisa hancur seketika. Maka, menjaga identitas keislaman dan kekuatan ukhuwah (persaudaraan) menjadi bagian penting dari pertahanan peradaban. 2. Hasdai bin Shaprut dan Penerjemahan Ilmu Pengetahuan Hasdai bin Shaprut adalah tokoh Yahudi terkemuka yang menjabat sebagai penasihat Khalifah Abdurrahman III. Ia memainkan peran penting dalam pengembangan pusat penerjemahan naskah ilmiah, yang menjembatani pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa. 3. Maimonides (Filosof Yahudi dalam Dunia Islam) Maimonides, seorang tokoh besar dalam sejarah Yahudi, lahir dan besar di Cordoba. Ia menulis karya-karya besar tentang hukum, kedokteran, dan filsafat yang masih dihormati hingga kini. Menariknya, karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Islam klasik. Masa Sulit: Diskriminasi, Konflik, dan Kebijakan yang Berubah Namun, toleransi tidak selalu menjadi warna tunggal dalam Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim. Terdapat juga masa-masa kelam yang patut dicatat. Beberapa masa-masa kelam tersebut, meliputi: 1. Pembatasan Sosial dan Hukum Meskipun diberikan kebebasan beragama, umat Yahudi kerap dibatasi dalam ruang geraknya. Mereka dilarang membawa senjata, menunggang kuda, hingga memberikan kesaksian melawan Muslim di pengadilan. Dalam beberapa wilayah, pakaian khusus pun diwajibkan agar mereka mudah dikenali. 2. Kekerasan dan Ketidakstabilan Politik Beberapa peristiwa kekerasan menodai sejarah ini, seperti kerusuhan di Cordoba dan Granada pada abad ke-11 yang menyebabkan kematian banyak orang Yahudi. Di Afrika Utara, terutama di Maroko dan Libya, mereka juga kerap mengalami diskriminasi dan dipaksa tinggal di ghetto yang terisolasi. 3. Faktor Penguasa dan Kebijakan Lokal Yang menarik dari Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim adalah bagaimana kondisi mereka sangat bergantung pada penguasa yang sedang berkuasa. Di bawah pemimpin yang progresif, mereka hidup damai dan makmur. Namun, di bawah pemimpin yang keras atau terpengaruh oleh tekanan politik, diskriminasi bisa meningkat tajam. Mewarisi Jejak Sejarah yang Kompleks Sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim menyajikan sebuah kisah yang tidak hitam-putih. Di satu sisi, terdapat masa di mana toleransi dan kolaborasi menciptakan peradaban yang maju dan terbuka. Di sisi lain, sejarah ini juga menyimpan catatan kelam tentang diskriminasi, pembatasan, dan kekerasan. Tragedi Andalusia dan Baghdad bukan hanya cerita masa lalu, tapi peringatan keras bagi generasi kini. Jangan sampai umat Islam mengulangi kesalahan yang sama: sibuk membanggakan masa silam tapi lupa membangun kekuatan hari ini. Sebab musuh peradaban tak akan pernah tidur, sementara umat sering kali terlelap dalam nostalgia. Sejarah ini menjadi cermin bahwa harmoni bisa terwujud, jika kita mau belajar dari masa lalu dan menghargai kemanusiaan di atas segalanya. Dengan memahami keseluruhan dinamika, kita dapat melihat sejarah antar umat beragama lebih kompleks daripada yang sering digambarkan. Menelusuri sejarah Yahudi di bawah kekuasaan Muslim, memberi pelajaran tentang pentingnya konteks sejarah dan nilai toleransi sejati. Jika dunia hari ini ingin belajar dari masa lalu, maka kisah ini adalah salah satu cermin berharga membangun masa depan yang saling menghargai. Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Toto Budiman

Sejarah Penyebaran Islam di Indonesia Melalui Jalur Perdagangan
Surabaya – 1miliarsantri.net : Saat mendengar kata “penyebaran agama”, yang terbayang di benak banyak orang sering kali adalah perang atau kekuasaan. Namun, sejarah Islam di Indonesia justru menyuguhkan kisah yang jauh lebih damai dan mengakar. Agama ini tersebar luas bukan melalui pedang, melainkan melalui perniagaan dan pertemuan budaya. Para saudagar muslim dari Gujarat, Persia, dan Arab membawa bukan hanya barang dagangan, tetapi juga akhlak, ilmu, dan nilai-nilai Islam yang bersinar di tengah masyarakat Nusantara. Jalur-jalur perdagangan maritim di pesisir pantai pun menjadi ladang subur bagi tumbuhnya dakwah yang santun dan penuh hikmah. Sejarah penyebaran Islam tidak tentang perubahan keyakinan saja, melainkan perjalanan peradaban yang penuh makna. Islam datang bukan sebagai penakluk, tapi sebagai sahabat, menyapa pelan, masuk ke hati lewat perdagangan, budaya, dan pergaulan sehari-hari. Yang membuat perjalanan ini begitu istimewa adalah cara Islam menyatu dengan kehidupan masyarakat lokal tanpa merusak akar budaya yang sudah ada. Ia hadir sebagai cahaya, bukan bara. Sebuah kisah damai yang perlu untuk dikenang, dipahami, dan diwariskan. Kalau kamu penasaran bagaimana awal mula Islam bisa masuk dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara hanya lewat aktivitas perdagangan, yuk simak pembahasan ini sampai habis. Di sini kita akan kupas tuntas sejarah penyebaran Islam. Bagaimana Perdagangan Bisa Menjadi Pintu Masuk Islam ke Nusantara? Mengingat tentang sejarah penyebaran Islam, jalur perdagangan menjadi bagian hal yang tak bisa dilewatkan. Sejak abad ke-7 Masehi, para pedagang yang Muslim dari Arab, Persia, dan India mulai menjalin hubungan perdagangan dengan wilayah-wilayah pesisir di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka datang dengan membawa beberapa barang dagangan, seperti rempah-rempah, kain, logam, hingga perhiasan. Tapi lebih dari itu, mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah penyebaran Islam melalui perdagangan ini begitu efektif karena pendekatannya yang damai dan bersifat persuasif. Para pedagang Muslim tidak serta-merta memaksa masyarakat lokal untuk masuk Islam. Justru, mereka menjadi teladan dalam kejujuran berdagang, etika pergaulan, dan sikap sosial yang terbuka. Dengan seiring waktu, masyarakat lokal mulai tertarik belajar tentang ajaran Islam, bahkan ada yang kemudian memeluk agama ini secara sukarela. Di sepanjang pesisir Sumatera, seperti di Barus, Aceh, hingga ke daerah pesisir Jawa dan Sulawesi, jejak penyebaran Islam ini sangat kentara. Banyak dari kerajaan lokal pada akhirnya menjalin hubungan lebih erat dengan para pedagang Muslim. Contohnya Kerajaan Samudera Pasai yang menjadi kerajaan Islam pertama kali di Indonesia sekitar abad ke-13. Selain membawa barang dagangan, para pedagang yang Muslim juga ikut memberikan sumbangan pada perkembangan budaya dan sosial masyarakat lokal. Dalam sejarah penyebaran Islam hal ini menjadi sangat penting karena proses Islamisasi tidak terjadi secara kaku atau memaksa, melainkan berjalan seiring dengan interaksi budaya. Kamu bisa bayangkan sendiri, ketika setiap para pedagang menetap sementara di suatu wilayah, mereka tidak hanya bertransaksi saja, tapi juga akan menikah dengan penduduk lokal, mendirikan masjid atau surau, dan menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Dari sinilah kemudian proses penyebaran Islam menjadi semakin kuat, karena masyarakat tidak hanya mengenal Islam sebagai ajaran luar, tapi juga sebagai bagian dari identitas mereka. Tak heran jika kemudian muncul bentuk-bentuk akulturasi antara Islam dan budaya lokal. Misalnya, dalam upacara-upacara adat yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, atau dalam arsitektur masjid yang mengadopsi bentuk bangunan tradisional Nusantara. Semua ini menunjukkan bahwa sejarah penyebaran Islam melalui jalur perdagangan benar-benar mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Jika kita melihat kondisi saat ini, maka jejak sejarah penyebaran Islam melalui perdagangan masih bisa kita rasakan. Banyak daerah pesisir yang menjadi pusat penyebaran Islam di masa lalu, hingga sekarang masih menjadi kota-kota Islam yang kuat secara budaya dan keagamaannya. Contohnya seperti Aceh, Banten, Gresik, hingga Makassar. Sebagai generasi penerus, kita bisa belajar banyak dari cara Islam disebarkan di masa lalu. Islam masuk ke Indonesia bukan melalui paksaan atau kekerasan, melainkan lewat perdagangan yang penuh etika, lewat hubungan antar-manusia yang hangat dan saling menghargai. Jadi, sejarah penyebaran Islam itu bukan sekadar catatan masa lalu, tapi juga cerminan tentang bagaimana kita bisa menyebarkan nilai-nilai kebaikan dengan cara yang damai, jujur, dan penuh cinta. Menelusuri sejarah penyebaran Islam di Indonesia melalui jalur perdagangan adalah seperti membuka kembali lembaran lama yang penuh pelajaran berharga. Sehingga kita menjadi tahu bahwa kekuatan dakwah tidak hanya dari kata-kata, melainkan dari tindakan yang nyata dan sikap hidup sehari-hari. Itulah mengapa sejarah penyebaran Islam di Nusantara ini begitu sangat unik dan relevan untuk terus kita pelajari hingga hari ini. Semoga bermanfaat! Penulis : Iffah Faridatul H Editor : Toto Budiman