Estetika Halal: Mengapa Produk Muslim-Friendly Kini Juga Soal Gaya

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di etalase pusat perbelanjaan, kemasan-kemasan produk halal tidak lagi tampil sederhana. Botol serum bertuliskan “Halal Certified” kini bersanding dengan label minimalis bergaya Skandinavia. Mukena travel dijual dalam pouch kulit sintetis pastel yang ramping dan elegan. Hijrah hari ini tidak hanya mengubah kebiasaan, tetapi juga membentuk estetika baru yang dikemas secara visual dan strategis. Konsumen muslim urban kini tak hanya mencari kehalalan dari sisi bahan dan proses, tapi juga memperhatikan desain, kemasan dan estetika. Dalam satu dekade terakhir, pasar produk halal dan Muslim-friendly mengalami pertumbuhan signifikan. Label halal kini bukan hanya keperluan fiqh, melainkan telah menjadi bagian dari identitas gaya hidup yang menjanjikan loyalitas konsumen. Banyak brand berlomba-lomba menawarkan produk dengan citra Muslim-friendly, mulai dari perlengkapan ibadah, kosmetik halal, hingga kebutuhan harian. Namun di balik tren ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah estetika halal ini merupakan ekspresi religius yang otentik, ataukah semata bentuk reduksi spiritualitas menjadi gaya pasar? Ambiguitas ini terlihat dari cara brand memosisikan nilai-nilai Islam dalam kampanye mereka. Sebuah produk pelembab kulit, misalnya, tidak hanya menonjolkan bahan wudhu-friendly, tetapi juga menyisipkan kutipan hadis dengan tipografi serif yang mewah. Tentu, ini bisa membantu sebagian konsumen, terutama mereka yang baru memulai perjalanan hijrah. Namun ketika desain mengambil alih substansi, spiritualitas berisiko menjadi tren musiman. Media sosial turut mempercepat transformasi ini. Hijrah kini tak hanya dimaknai sebagai perjalanan spiritual, tetapi juga sebagai penampilan visual yang terstruktur dan Instagramable. Feed berisi flatlay skincare halal lengkap dengan caption inspiratif membuat hijrah tampak seperti hal yang harus rapi dan siap difoto. Untuk sebagian Muslimah, ini bisa menjadi motivasi positif. Namun bagi yang lain, justru menciptakan tekanan psikologis seolah hijrah harus tampil ‘sempurna’ sejak awal. Di sisi lain produk halal yang menarik, bisa menjadi media dakwah yang lembut dan efektif. Risiko Komersialisasi: Ketika Halal Menjadi Simbol Gaya Hidup Premium Di satu sisi, perkembangan ini membuktikan bahwa konsumen Muslim kini lebih sadar akan pilihan dan ingin menghadirkan nilai agama dalam kehidupan modern. Mereka tak hanya ingin produk tanpa bahan haram, tetapi juga yang mendukung gaya hidup Islami kontemporer. Maka tidak mengherankan jika konsumen rela membayar lebih untuk pasta gigi berlabel halal, atau mukena travel premium bordir nama. Namun bila tidak disikapi dengan bijak, estetika halal bisa terjebak dalam logika konsumsi berlebihan. Ketika produk halal dikemas sedemikian rupa agar tampak premium, kaburlah batas antara kebutuhan spiritual dan hasrat gaya. Ada perbedaan halus antara memakai mukena untuk khusyuk dan memakai mukena aesthetic demi tampilan hijrah. Untuk menghadapi ini, Muslimah perlu memaknai tren secara lebih sadar. Berikut tips yang bisa diterapkan: Kini, sejumlah komunitas Muslim mulai bergerak lebih reflektif. Mereka memilih mengadakan barter perlengkapan ibadah, memperbaiki sajadah lama, atau mengubah isi akun media sosial menjadi ruang berbagi perjalanan spiritual yang jujur. Gaya hidup Islami didekati sebagai proses batin, bukan sekadar penampilan luar. Saat estetika halal telah menjadi arus utama, tugas kita adalah menjaga agar makna spiritualnya tetap utuh. Kita boleh bersyukur atas kemudahan dalam menjalani syariat melalui produk yang tersedia, namun penting untuk terus mengingat bahwa hijrah adalah proses jiwa, bukan sekadar tampilan katalog. Bila semua terasa seperti perlombaan visual, barangkali sudah waktunya untuk bertanya kembali: untuk siapa semua ini? Wallahu a’lam. (***) Penulis :  Faruq Ansori Editor : Toto Budiman dan Glancy Verona Foto by AI

Read More

Tiga Hal Penting yang Harus Dipersiapkan Sebelum Mengurus Sertifikat Halal MUI

Surabaya – 1miliarsantri.net: Sertifikasi halal dari MUI kini menjadi kebutuhan mendesak bagi pelaku usaha, terlebih setelah diterapkannya kewajiban sertifikasi halal secara bertahap melalui Undang-Undang Jaminan Produk Halal No. 33 Tahun 2014. Banyak pelaku usaha, terutama pemula, kebingungan harus mulai dari mana. Penulis pernah mengalami situasi dimana bekerja di perusahaan pembalut yang baru berdiri 1 tahun. Mereka ingin segera mendapat sertifikat halal MUI agar menguatkan kepercayaan customer terutama yang muslimah. Awalnya penulis hanya sebagai anggota yang dimintakan tolong melengkapi dokumen SJH tanpa briefing yang jelas. Alhasil saya searching berdasarkan info di google. Pas proses audit yang terjadi saat pandemi 2020, ternyata 80% dokumen SJH harus direvisi padahal saat itu tim auditor sudah mengecek dan menginterview bagian pabrik produksi yang berada di luar negeri. Akhirnya tim halal perusahaan dirombak lagi. Penulis diberikan tugas oleh manajemen untuk menjadi ketua tim halal dan harus memperbaiki dokumen SJH dengan kurun waktu 3 minggu. Lebih dari itu auditor tidak bisa memberikan kelayakan halal. Alhamdulillahnya selesai tepat waktu dan produk mendapat label halal MUI. Dari proses itu, penulis menemukan bahwa ada tiga hal utama perlu disiapkan secara serius, yaitu tim halal, dokumen SJH, dan kesiapan biaya agar tidak kebingungan di tengah jalan. 1.   Tim Halal: Ketua yang Kompeten Adalah Pondasi Sesuai dengan standar Sistem Jaminan Halal (SJH) dari LPPOM MUI, Tim Manajemen Halal (TMH) adalah tim internal perusahaan yang bertanggung jawab memastikan pelaksanaan dan pengawasan terhadap implementasi SJH di perusahaan. Tim ini wajib dibentuk sebelum mengajukan sertifikasi. Peran tim halal yang paling utama adalah ketua karena dialah yang akan mensosialisasikan, menerapkan sistem halal, melakukan pemantauan terhadap jalannya SJH ke divisi yang terkait, membuat dokumen laporan SJH, koordinasi dengan audit. Kalau ketua tidak kompeten maka akan menjadi penghambat terealisasinya sertifikat halal. Adapun kriteria ketua tim halal yang diakui dalam sistem SJH adalah: Memahami proses produksi di perusahaan secara menyeluruh, sebagai berikut: Setelah penulis terpilih menjadi ketua tim halal perusahaan, auditor halal dari MUI menyarankan untuk mulai mengikuti training sertifikat halal ke IHATEC (Indonesia Halal Training dan Education Center). Pelatihan berlangsung 2 hari, dimana hari pertama diberikan literasi seputar kehalalan dan hari kedua pelatihan pembuatan dokumen SJH untuk 11 kriteria. Di hari terakhir, peserta wajib mengikuti tes pengetahuan selama pelatihan. Minimal harus mendapat point 60-70 agar tidak mengikuti tes ulang. Dan alhamdulillah penulis berhasil mendapat 72. Jadi hasil sertifikat ini nantinya akan menjadi dokumentasi untuk SJH di kriteria pelatihan. Menurut LPPOM MUI dalam Pedoman SJH, kekuatan tim halal menentukan keberhasilan implementasi sistem halal secara berkesinambungan. Karena itu, pemilihan ketua tim tidak boleh sekadar formalitas, melainkan berdasarkan kapasitas, integritas, dan akses koordinasi. 2.   Dokumen SJH: Edukasi Sistem dan Kepatuhan Syariah Salah satu tantangan dalam proses sertifikasi halal adalah penyusunan dokumen SJH. Dalam penulisan SJH setiap kriteria harus dilengkapi dengan bukti dokumentasi yang valid. Sistem Jaminan Halal terdiri dari 12 kriteria utama, yakni: Kebijakan Halal. Kebijakan Halal meliputi: Tim Manjemen Halal, Pelatihan, Bahan, Produk, Fasilitas, Prosedur Tertulis Kritis, Kemampuan Telusur, Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria, Audit Internal dan Kaji Ulang Manajemen. Bagi pembaca 1miliarsantri.net yang berniat mendaftarkan sertifikat halal MUI untuk pertama kalinya. Mulai sekarang bisa dipersiapkan dokumen penting terutama dalam memenuhi kriteria di point 4-6 karena itu sebagai hal yang terpenting/utama untuk di cek proses kehalalannya. Dokumen yang dibutuhkan untuk kriteria 4-6 SJH itu antara lain: Dokumen SJH tidak hanya bentuk kepatuhan administratif, tapi juga komitmen syariah. Al-Qur’an menyebut: “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik-baik (halal) yang telah Kami rezekikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 172) Ayat ini menegaskan bahwa kehalalan bukan sekadar label, tapi bagian dari keimanan. Maka dari itu, menyiapkan dokumen SJH adalah bentuk tanggung jawab kolektif untuk menjamin produk benar-benar halal dari hulu ke hilir. 3. Biaya Sertifikasi: Sesuaikan dengan Skala Usaha Biaya sertifikasi halal sering menjadi alasan pelaku usaha menunda pendaftaran. Namun sebenarnya, biaya telah diatur sesuai klasifikasi usaha oleh BPJPH dan LPPOM MUI: Pelaku usaha disarankan mempersiapkan dana tidak hanya untuk audit, tapi juga pelatihan ketua tim halal dan proses perbaikan dokumen jika dibutuhkan. Melihat ini sebagai investasi akan membantu pelaku usaha lebih siap secara mental dan strategis. Karena dengan sertifikat halal, bukan hanya pasar Muslim terbuka luas, tapi juga kepercayaan pelanggan meningkat. Langkah ini tak hanya penting untuk mematuhi regulasi, tapi juga untuk menjaga usaha agar tetap dalam koridor syariah. “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no. 1015) Sertifikasi halal bukan sekadar dokumen legalitas, tapi cermin tanggung jawab spiritual dan profesional. Dengan menyiapkan tim halal yang kompeten, dokumen SJH yang sesuai standar, dan biaya yang realistis, proses menuju halal akan jauh lebih mudah dan berkah.** Penulis : Iftitah Rahmawati Foto Ilustrasi AI Editor : Toto Budiman dan Iffah Faridatul Hasanah

Read More