Tanah Subur, Petani Terkubur : Ironi Sektor Pertanian Indonesia

Malang – 1miliarsantri.net : Indonesia secara historis dan budaya dikenal sebagai negara agraris dengan potensi sumber daya alam yang besar. Struktur tanah dan unsur vulkanis yang terkandung di dalamnya membuat Indonesia menjadi salah satu negara tersubur di dunia. Bahkan salah satu band terkenal Koes Plus pernah mengabadikan betapa suburnya tanah Indonesia dalam sebuah bait lagu “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Namun, sektor pertanian yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi dan ketahanan pangan nasional justru menghadapi berbagai persoalan kronis yang hingga kini belum terselesaikan secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena adanya miss leading dalam pengelolaan pertanian beserta kebijakan yang mengaturnya. Secara garis besar masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit mulai kehilangan semangat untuk berusaha di sektor pertanian. Secara umum hal ini diakibatkan oleh rasa tidak terlindungi secara profesi dan hasil produksi petani. Pemetaan usaha pertanian yang masih semrawut di daerah merupakan salah satu contoh nyata. Tidak maksimalnya pemetaan potensi pertanian di daerah oleh pemerintah pusat seringkali berujung pada kegagalan usaha pertanian itu sendiri. Semakin lama petani akan kehilangan semangat untuk terus melanjutkan usaha pertaniannya, sehingga memutuskan untuk menjual tanah pertanian tersebut. Itu hanya contoh kecil yang masih menjadi permasalahan yang belum terpecahkan, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya. Alih Fungsi Lahan Masih Tinggi Salah satu persoalan mendasar yang terus menghantui sektor pertanian adalah alih fungsi lahan. Lahan pertanian produktif banyak yang berubah menjadi kawasan industri, perumahan, maupun infrastruktur lainnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan, tetapi juga merambah ke pedesaan. Banyak sekali kasus petani lebih memilih untuk menjual lahan pertaniannya kepada pengusaha dan uang hasil penjualan tersebut digunakan membuka usaha pada sektor lain. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan baku sawah terus mengalami penyusutan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini berdampak pada menurunnya produksi pangan nasional, terutama beras. Rendahnya Kesejahteraan Petani Kesejahteraan petani juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Banyak petani di Indonesia masih tergolong petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektare. Pendapatan mereka sangat tergantung pada hasil panen musiman yang rentan terhadap fluktuasi harga pasar dan cuaca. Di sisi lain, generasi muda cenderung enggan terjun ke dunia pertanian karena dianggap kurang menjanjikan secara ekonomi. Regenerasi petani pun menjadi tantangan tersendiri bagi keberlanjutan sektor ini. Ketergantungan pada Impor dan Subsidi Meski memiliki lahan yang luas, Indonesia masih belum bisa lepas dari ketergantungannya terhadap impor sejumlah komoditas pertanian seperti kedelai, bawang putih, dan gula. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara potensi produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi nasional. Hal ini berkaitan dengan tidak maksimalnya pemetaan potensi pertanian di daerah oleh pemerintah pusat. Ketergantungan pada pupuk bersubsidi juga menjadi isu tersendiri. Ketika distribusi pupuk tidak merata atau terjadi kelangkaan, produktivitas pertanian bisa langsung terdampak. Pemberdayaan masyarakat dan kelompok pertanian diperlukan untuk didorong melakukan inovasi pembuatan pupuk secara mandiri dengan dukungan dari pemerintah daerah dan pusat. Sehingga ketergantungan pada pupuk bersubsidi berkurang. Proteksi Harga yang Tidak Maksimal Ketimpangan ini membuat petani berada pada posisi yang lemah dalam supply chain pertanian. Peran tengkulak yang dominan dan belum optimalnya peran koperasi juga turut memengaruhi kondisi tersebut. Hal ini diperparah dengan penggunaan teknologi dalam pertanian masih terbatas, terutama di wilayah pedesaan. Padahal, adopsi teknologi seperti irigasi modern, alat mesin pertanian (alsintan), dan sistem informasi cuaca dapat membantu meningkatkan efisiensi dan hasil panen. Kurangnya pelatihan dan pendampingan juga menjadi kendala bagi petani untuk mengakses dan mengoperasikan teknologi tersebut. Dampak Perubahan Iklim  Perubahan iklim turut memberikan tekanan terhadap sektor pertanian. Perubahan pola hujan, kekeringan, banjir, serta serangan hama dan penyakit yang tidak terduga menambah risiko gagal panen. Petani dituntut untuk beradaptasi, tetapi dukungan dan edukasi terkait mitigasi iklim masih terbatas. Mengurai permasalahan dan kendala pada usaha pertanian di Indonesia tidaklah semudah membalik telapak tangan dan tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan petani itu sendiri. Kebijakan yang berpihak pada petani kecil, pembangunan infrastruktur pertanian, serta pemanfaatan teknologi menjadi kunci agar sektor ini mampu bertahan.  Formulasi kebijakan yang menyeluruh, pemetaan potensi pertanian dan pemerataan dukungan teknologi adalah beberapa hal paling krusial untuk segera dilakukan di lapangan. Tanpa upaya yang progresif dari pembuat kebijakan, maka problematika di sektor pertanian dikhawatirkan akan terus menjadi hambatan dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Sumber referensi : 1. Badan Pusat Statistik (2024). Luas Panen dan Produksi Padi 2024. https://www.bps.go.id 2.Kementerian Pertanian RI (2023). Profil Petani dan Tantangan Regenerasi. https://www.pertanian.go.id 3. Setara Institute (2023). Dinamika Alih Fungsi Lahan Pertanian. https://setarajambi.org 4. DPR RI (2022). Analisis Ketahanan Pangan dan Impor Komoditas Strategis. https://berkas.dpr.go.id 5. Indonesiana (2023). Menekan Ketergantungan Impor Pertanian. https://www.indonesiana.id 6. DJPB Kemenkeu (2022). Kebijakan Impor dan Ketahanan Pangan. https://djpb.kemenkeu.go.id Kontributor : Leo Agus Hartono Editor : Toto Budiman

Read More