Ketika Sultan Agung Mataram Merenungkan Pilihan ‘Sunat atau Mati’ untuk Tawanan

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Para utusan Kompeni yang pernah bertemu dengan Sultan Agung menggambarkan Raja Mataram itu dalam catatan-catatan mereka. Ada yang menyebut Sultan Agung memiliki keingintahuan yang tinggi, seperti singa ketika melihat sekeliling, lamban berbicara, tetapi bersifat tegas.

Ketika pilihan “sunat atau mati” yang diberlakukan Sultan Agung terhadap para tawanan diprotes oleh juru mudi kapal Kompeni yang juga menjadi tawanan, Sultan Agung merenungkan isi protes itu. Para tawanan yang sedang dijemur itu kemudian diperintahkan untuk duduk di tempat yang teduh.

“Ini sudah merupakan tanda pengampunan. Kemudian ia bertanya kepada apakah mereka bersedia dikhitan bila hidup mereka diperpanjang satu bulan,” tulis HJ de Graaf.

Para tawanan itu lalu menyampaikan rasa terima kasihnya karena tidak jadi dihukum mati hari itu. Namun mereka tetap menyatakan memilih mati daripada harus disunat.

Setelah satu bulan berlalu, ketika putusan hukuman mati belum dilakukan, para tawanan itu melarikan diri. Tetapi mereka tertangkap.

Mendengar adanya tawanan yang berusaha melarikan diri, Sultan Agung meminta nama-nama mereka. Setelah membaca nama-namanya, pandangan Sultan Agung menerawang ke atas.

Lalu berkata, “Orang Belanda tidak bersalah, tetapi orang-orang saya yang ditahan di Jakatra yang tidak berusaha datang kembali pada saya itu yang salah.” Lalu Sultan Agung memerintahkan agar orang-orang Belanda yang menjadi tawanan itu dijaga baik-baik.

Adalah Abraham Verhulst, orang Belanda yang menjadi salah satu tawanan Mataram, yang membuat Sultan Agung merenugkan ketetapannya terhadap tawanan. Ia merupakan anak muda yang menjadi juru mudi kapal Kompeni.

“Apakah agama Islam mengajarkan membunuh atau mengkhitan seseorang yang membawa hadiah bagi Raja, yang mencari damai dan yang ingin menganggap Raja sebagai sahabatnya? Raja akan berbuat aib di kalangan semua raja Islam, sebab ini bukan dalam keadaan perang,” kata Verhulst.

Verhulst menyampaikan menyampaikan kata-kata protesnya itu kepada juru bahasa. Ia meminta juru bahasa meneruskannya kepada Sultan Agung.

“Siapakah orang Belanda yang melarang saya berbuat demikian?” tanya Sultan Agung.

“Seorang Belanda yang tidak mau dikhitan,” jawab pejabat keraton yang menyampaikan protes Verhulst kepada Sultan Agung.

Lebih dari sebulan kemudian, Verhulst termasuk tawanan yang tertangkap ketika hendak melarikan diri pada 1632. Sejak 1631, Mataram memiliki tawanan orang-orang Belanda mencapai 83 orang.

Verhulst dan kawan-kawan mencoba melarikan diri ketika ia dipekerjakan di kepabeanan Trayem, di perbatasan Kedu-Yogyakarta sekarang. Setelah upaya pelariannya itu, Verhulst dan kawan-kawan kemudian dipasung di dalam tahanan.

Pada Januari 1635, pasung Verhulst dilepas. Bersama 10 tawanan lainnya ia dipekerjakan di kepabeanan Jogoboyo.

Di kepabeanan inilah kemudian ia sukses melarikan diri bersama kawan-kawannya pada pukul tiga dini hari, Mei 1636. Ia bisa mencapai Banten, menggunakan perahu lewat laut selatan.

Perahu mereka sempat terbalik, tetapi mereka bisa membalikkannya lagi. “Dari sebatang bambu dan bahan kain mereka membuat layar darurat dan melanjutkan perjalanan,” tulis De Graaf. (mif)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *