Bukti Sejarah Pesantren Takeran Tertulis di Masjid Jamik Pesantren

Magetan – 1miliarsantri.net : Pondok Pesantren (Ponpes) Takeran merupakan salah satu Ponpes tertua di Indonesia. Didirikan di Takeran-Magetan, Jawa Timur pada tahun 1880 (1303 H) oleh Kkai Hasan Ulama, salah satu Kiai kharismatik dan juga dianggap sebagai Penasehat Pangeran Diponegoro waktu itu.
Seiring perjalanan waktu, Pesantren Takeran berkembang dan kerap kali menjadi sasaran target Belanda karena dianggap sebagai penghalang, dikarenakan Mbah Kiai Hasan Ulama juga dikenal sebagai telik sandi ulung yang dimiliki Pangeran Diponegoro.
Pada tahun 1899 (1317 H), Mbah Kiai Hasan Ulama wafat dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya, Kyai Haji Imam Muttaqien. Di era kepemimpinan Mbah Imam Muttaqien inilah banyak tercetus ide serta gagasan untuk dapatnya merebut Indonesia dari tangan penjajah kolonial Belanda beserta sekutunya.
KH. MS. Zuhdi Tafsir S.Ag (Mbah Zuhdi) sebagai Pendiri Pesantren Cokrokertopati sekaligus penerus Pesantren Takeran menuturkan, di Pesantren Takeran banyak dilakukan pertemuan-pertemuan tokoh penting Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan, termasuk diantara nya Hadratus Syekh Hasyim Asyari sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Mbah KH. Achmad Dahlan sebagai tokoh yang akhir nya mencetuskan berdirinya organisasi Muhammadiyah.
“Mbah Imam Muttaqien, Mbah Hasyim, Mbah Dahlan itu dulunya pernah mondok di Pesantren nya Saichonna Kholil Bangkalan Madura, tapi beliau mondok nya cuman sebentar karena sudah menyerap semua ilmu bahkan diberi ijazah khusus oleh Mbah Kholil Bangkalan,” terang Mbah Zuhdi kepada 1miliarsantri.net.
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah maupun NU, Mbah Kholil sempat menyampaikan kepada Mbah Hasyim dan juga Mbah Dahlan agar meminta doa dan ijazah ke Pesantren Takeran karena dianggap sudah mewarisi ijazah Thareqoh Syattariyah.
“Jadi Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan itu dulunya juga mengikuti Thareqoh Syattariyah, sama seperti Mbah Kiai Imam Muttaqien yang diwarisi ijazah dari ayah beliau, Mbah Kiai Hasan Ulama,” jelas Mbah Zuhdi.
Mbah Zuhdi menambahkan, di Pesantren Takeran juga sering dilakukan musyawarah untuk membahas negara, termasuk lahir nya Masyumi, Piagam Jakarta dan sebagainya. Waktu itu tidak terlalu banyak orang yang hadir untuk pertemuan dan tempat nya berada di langgar (musholla) dekat kediaman almarhum Mbah Kiai Hasan Ulama.
“Dulu cuman bertiga, kadang lima orang yang hadir jagongan sambil musyawarah membahas negara. Tidak seperti sekarang ini, bahas umat tapi tempatnya di hotel atau di rumah makan, sedangkan belum tahu bagaimana nasib umat nya sendiri. Jika haus atau lapar, tinggal nyuruh santri beliau untuk mengambil kelapa di kebun belakang rumah,” terang Mbah Zuhdi.
Pada tahun 1936 (1355 H), Mbah Kiai Imam Muttaqien wafat dan kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Kyai Imam Mursyid Muttaqien. Pemuda sangat tampan, jujur dan memiliki keilmuan yang sangat mumpuni.
Pada perkembangannya, atas prakarsa beliau, pada tanggal 16 September 1943 (9 Syawal 1362 H) Pesantren Takeran diganti namanya menjadi Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) melalui mekanisme rapat besar (Ihtifal).
PSM berasas sama seperti negara Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945 dengan tujuan Pesantren Takeran yang dilanjutkan oleh PSM, yaitu: “Memancarkan pendidikan luas tentang Islam, sehingga dapat mengeluarkan sebanyak-banyaknya orang yang cakap dan luas serta tinggi pemahamannya tentang agama Islam, rajin berbakti dan beramal kepada masyarakat berdasarkan taqwa (takut dan tunduk) kepada Allah, sehingga menjadi anggota masyarakat yang berilmu, beramal, dan bertaqwa”.
Memasuki era kepemimpinan Mbah Kiai Imam Mursyid merupakan tantangan yang sangat berat dikarenakan masuknya faham Komunisme di Indonesia dan ingin menghilangkan semua bentuk kegiatan Islam di Indonesia, sehingga mau tidak mau Mbah Kiai Imam Mursyid harus benar-benar menjaga seluruh penghuni pesantren.
Benar saja, ketika PKI mulai berjaya, berbagai macam bujuk rayu dengan mengadakan kegiatan yang mengatasnamakan umat, mereka berhasil menculik serta membunuh beberapa Kiai, Tokoh Islam dan para santri di wilayah Madiun dan sekitarnya pada tahun 1945.
“Mbah Imam Mursyid sendiri juga ditipu, katanya mau diajak musyawarah rembukan bahas umat, tapi ternyata diculik oleh PKI yang nyusup mengatasnamakan salah satu anak organisasi NU, bahkan mereka juga mengeluarkan dalil tentang perjuangan membela umat,” imbuh Mbah Zuhdi.
Sejak diculik nya Mbah Kiai Imam Mursyid dan beberapa tokoh dalam lingkungan Pesantren Sabilil Muttaqien, keluarga ndalem lebih berhati-hati agar jangan sampai ada korban kebiadaban dan kekejaman PKI lagi dan sempat mengalami kevakuman karena Mbah Kiai Imam Mursyid belum juga kembali.
“Sebelum meletusnya kejadian kebiadaban PKI tahun 1948 di Madiun itu, Mbah Imam Mursyid sempat pamitan ke bulik nya, ngomong kalau akan pergi ketika hujan gerimis dan nanti akan kembali ketika waktu nya hujan besar,” ucap Mbah Zuhdi.
Tentu saja, kalimat yang disampaikan Mbah Kiai Imam Mursyid tersebut menjadi tanda tanya dan belum menemukan arti yang sebenarnya hingga sekarang ini.
Dalam perjalanan nya, Pesantren Takeran tidak pernah tercatat dalam buku sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai salah satu Pesantren yang seringkali dijadikan rujukan atau dijadikan tempat musyawarah para tokoh-tokoh besar dalam mewujudkan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia.
Hingga beberapa generasi penerus dan sampai saat ini yang berubah nama menjadi Pesantren Cokrokertopati, Pesantren tersebut tetap menjadi dan mengajarkan kegiatan keagamaan dengan memberikan pelajaran kitab-kitab kuno atau yang dikenal dengan kitab kuning.
PSM yang berpusat di Takeran-Magetan, saat ini telah memiliki cabang di berbagai daerah. Kegiatan utamanya bergerak di bidang dakwah (pesantren) dan pendidikan umum, yang didukung dengan kegiatan ekonomi penunjang. PSM juga bekerja sama dengan Temasek Foundation Singapura dalam mengembangkan pendidikan melalui pendirian lembaga pendidikan bertaraf internasional, Islamic Internatinal School (IIS PSM), yang saat ini terletak di Magetan dan Kediri. (fq)