Baiat Para Sahabat dihadapan Rasulullah

Surabaya – 1miliarsantri.net : Dalam membantu dakwah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, para Sahabat lah yang menjadi garda terdepan. Hal ini dibuktikan dengan ucapan sumpah setia (baiat) para sahabat yang diucapkan langsung di hadapan Rasulullah. Syekh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawy dalam Sirah Sahabat membagi macam-macam baiat yang dilakukan sahabat di hadapan Rasulullah: Pertama, baiat untuk Islam. Dari Mujasyi bin Mas’ud dia berkata, “Aku menemui Nabi bersama saudaraku lalu kukatakan kepada beliau, ‘Kami hendak berbaiat untuk hijrah’. Beliau bersabda, “Hijrah telah berlalu, diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukannya,”. Aku bertanya, “Lalu untuk apa engkau membaiat kami?”. Beliau menjawab, “Untuk Islam dan jihad,”. Kedua, baiat untuk melaksanakan amal-amal Islam. Ahmad mentakhrij dari Jarir, dia berkata, “Aku berbaiat kepada Rasulullah untuk melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan memberikan nasihat kepada setiap orang Muslim,”. Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Asakir dari Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata, “Aku termasuk salah satu dari 11 orang yang ikut dalam baiat Aqabah yang pertama. Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW seperti baiat para Muslimah Makkah yang hendak hijrah, sebelum beliau mewajibkan perang kepada kami. Kami mengucapkan baiat kepada beliau untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membuat-buat kedustaan di antara tangan dan kaki kami, tidak membunuh anak-anak kami, tidak mendurhakainya dalam hal yang makruf. Siapa yang memenuhinya maka baginya surga, dan siapa yang melanggar sebagian di antaranya, maka urusannya kembali kepada Allah. Apabila menghendaki, maka Allah akan mengadzabnya dan jika menghendaki maka Allah akan mengampuninya,”. Ketiga, baiat untuk hijrah. Dari Al-Harits bin Ziyad As-Sa’idy dia berkata, “Aku menemui Nabi sewaktu perang Khandaq. Saat beliau sedang membaiat orang-orang untuk hijrah. Kami mengira bahwa orang-orang selain mereka itu (dari kalangan Anshar) juga diminta untuk berbaiat,”. Keempat, baiat untuk memberikan pertolongan. Dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah SAW berada di Makkah selama 10 tahun menyeru manusia dengan cara mendatangi tempat-tempat yang biasanya mereka jadikan untuk berkumpul seperti di PAsar Ukazh dan Majannah serta pada waktu musim haji. Beliau berseru, “Siapakah yang mau melindungiku? Siapakah yang mau menolongku agar aku dapat menyampaikan risalah Rabb-ku, dan dia akan mendapatkan surga?”. Namun beliau tidak mendapatkan seorang pun yang mau. Sebelum akhirnya terdapat tujuh orang laki-laki yang berangkat ke Makkah pada musim haji untuk menghadap Nabi. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, untuk apa kami berbaiat kepada engkau?”. Nabi menjawab, “Kalian berbaiat kepadaku untuk mendengar dan taat saat bersemangat atau malas. Untuk mengeluarkan harta saat sulit atau mudah, untuk menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar,”. Mereka kemudian berkata, “Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan baiat ini dan sama sekali tidak akan menyia-nyiakannya,”. Kelima, baiat untuk jihad. Dari Anas dia berkata, “Rasulullah SAW pergi ke Khandaq. Sementara orang-orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit pada pagi yang dingin. Mereka tidak mempunyai orang upahan untuk mengerjakannya. Ketika melihat keadaan mereka yang letih dan kelaparan, maka beliau bersabda, “Ya Allah, ini adalah kehidupan akhirat. Ampunilah dosa orang-orang Muhajirin dan Anshar,”. Kemudian mereka menyahut, “Kamilah yang berbaiat kepada Muhammad untuk berjihad selagi kami masih hidup,”. Keenam, baiat untuk mendengar dan taat. Dari Ubadah dia berkata, “Kami berbaiat kepada RAsulullah SAW layaknya baiat perang untuk mendengar dan taat pada saat sulit dan mudah, kuat dan lemah, lebih mementingkan hal ini, tidak menentang perintah, berkata dengan benar di mana kami berada dan tidak takut celaan orang yang suka mencela karena Allah,”. (fat)

Read More

Napak Tilas Pesantren di Selatan Jawa

‘Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Didunia Pesantren, hubungan antara murid (santri) dan guru (kiai) itu bukan perkara sepele. Dan, manfaatnya bukan hanya untuk pribadi masing-masing, tapi berpengaruh pada masyarakat secara keseluruhan. Bisa dibayangkan betapa rumitnya hubungan antar pesantren atau jaringan ulama, secara khusus dalam hal ini adalah wilayah selatan Jawa (sebagian wilayah Mataram/Jawa Pedalaman). Di sana ada pertalian sosial yang rumit, ada hubungan darah, perkawinan, transfer keilmuan, politik, hingga hubungan yang sifatnya spiritual melalui laku ajaran tarikat. Bahkan jaminan ikatan jaringan ulama itu sangat kuat, yakni tidak hanya dirangkai ketika mereka hidup di atas dunia, namun diyakini jalinan ini dibawa sampai alam akhirat. Sedangkan bila terus dirunut ke mana ujung awal ajarannya, maka rujukannya sampai ke Rasullah SAW. Memang setelah melakukan ‘blusukan’ langsung ke berbagai pesantren, untuk menuliskan jaringan ulama yang ada di selatan Jawa ini bukan perkara yang mudah. Apalagi, banyak sumber yang ada di literatur sudah tak bisa dikenali. Ketika mengunjungi berbagai pesantren yang bisa dikatakan berumur tua dan penting, para pengasuh pesantrennya mengaku sudah tak paham lagi detail sejarahnya. ”Pesantren kami berdiri bersamaan dengan pendirian Keraton Solo, yakni saat ‘palihan negari’ (Pembelahan kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi Solo dan Yogyakarta tahun 1755). Alumni santri kami sudah tak terhitung lagi dan menyebar ke mana-mana,” kata Suntoro, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Solo (Surakarta) kepada 1miliarsantri.net Adanya kerumitan di dalam mengkaji jaringan ulama di wilayah Selatan Jawa ini diakui pakar sejarah politik Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, DR Hermanu Joebagio. Hal ini karena jaringannya sudah begitu saling memintal serta bersilangan layaknya rajutan tentunan benang yang sudah menjadi selembar kain. Sepintas kesan dari luar, seolah-olah jaringan ulama itu sudah tak ada lagi. Menurut Hermanu, bila ditelisik lebih dalam, di sana akan segera terlihat bahwa ‘pohon’ jaringan ulama di wilayah itu akhirnya akan terkait dengan pesantren yang didirikan Sunan Giri, di Prapen, Gresik (Jawa Timur), pada abad ke 15 M. Namun, selain terpengaruh pesantren Sunan Giri, jaringan ulama di selatan Jawa juga terkait dengan jaringan ulama yang berasal dari Demak, Makassar (Sulawesi Selatan), Sumatra, Cirebon, hingga berbagai pesantren di Jawa Timur, seperti Pacitan dan Jombang. Bukan hanya itu, di dalam jaringan itu juga sudah dari dulu terkoneksi dengan jaringan ulama internasional, seperti dari Yaman, Arab Saudi, Mesir, Maroko, Sudan, India, dan Campa. Ini bisa dimengerti karena usia jaringan ini melampaui banyak zaman karena sudah terpintal semenjak abad ke-15 M itu. Salah satu buktinya adalah dengan mengacu pada prasasti pendirian Pesantren Al Kahfi di Somalangu di Kebumen yang berdiri pada 4 Januari 1475 M. ”Jadi, menurut saya, asal jaringan ulama di Jawa itu berasal dari ‘satu pohon’, yakni bermula dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Giri) yang berada di Jawa Timur itu. Jadi, asal usul pemikiran pesantren berasal dari sana,” tutur Hermanu menegaskan. Menurut Hermanu, Islam masuk ke Indonesia itu ada dalam dua versi. Pertama, versi Islam yang masuk ke Sumatra, dan satu versi lainnya masuk dari Campa ke Jawa. Sedangkan, khusus Islam yang berada di wilayah selatan Jawa tersebut kemudian mempunyai mempunyai tiga kultur, yakni kultur Arab, Cina, dan Jawa. ”Tiga kultur ini menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat yang ada di selatan Jawa itu. Inilah yang harus dipahami dulu karena memang ada perbedaan masyarakat Jawa yang tinggal di pantai utara dan selatan tersebut,” ujarnya seraya menyatakan bila ciri masyarakat di pesisir utara Jawa itu mempunyai ciri egalitarian dan kosmopolitan, sedangkan yang di pesisir selatan Jawa berciri tertutup dan feodal. Ditegaskan Hermanu, fakta yang selama ini belum banyak diketahui secara luas oleh publik adalah mengenai melalui jalur apa Islam bisa merembes begitu luas di wilayah selatan Jawa itu. Tampaknya tak hanya berkat usaha keras dan sabar dari para ulama, serta berkat ikatan jaringan tarikat, maupun disolidkan dengan jaringan kawin mawin antarkeluarga ulama serta santrinya, peran jalur perdagangan melalui Sungai Bengawan Solo yang memanjang dari Surabaya hingga Surakarta jelas tak bisa diabaikan. ”Harap diketahui sepanjang Sungai Bengawan Solo itu dari zaman dahulu tersebar begitu banyak pesantren. Pusat Kerajaan Mataram yang berada di pedalaman Jawa dihubungkan dengan sungai itu. Selama masih aktif dilayari dari Surabaya ke Solo itu ada 40 tempat persinggahan pedagang (bandar). Bandar terakhirnya itu berada di Mojo (pinggiran Solo) yang merupakan kampung komunitas keturunan Arab,” kata Hermanu. Peran ulama dan pesantren yang ada di pinggiran sungai itu makin penting ketika para penguasa Kerajaan Mataram juga ikut belajar agama Islam di tempat itu. Bahkan, kerap kemudian terjadi hubungan yang sangat erat antara dunia pesantren dan kerajaan. ”Harap diketahui Paku Buwono IV adalah raja yang pernah belajar di sebuah pesantren yang letaknya tak jauh dari Bengawan Solo. Dia bahkan dikenal sebagai raja Jawa yang sangat santri. Setiap Jumat pergi ke masjid dan di setiap harinya, ia selalu memakai baju jubah berwarna putih. Kesantrian ini kemudian dilanjutkan oleh Raja Paku Buwono VI, IX, dan X.Bahkan, Paku Buwono X malah dikenal raja yang sangat melindungi pergerakan Sarekat Islam,” ujar Hermanu. Namun, memang sewaktu era sebelumnya, yakni Sunan Amangkurat I dan II, hubungan ulama dengan kerajaan sempat memercikkan masalah. Saat itu, antara ulama dan Raja Amangkurat I (Raden Mas Sayidin) malah terlibat perbedaan pendapat serius soal suksesi kekuasaan. Para ulama dianggap membangkang kepada raja dan kemudian banyak di antara mereka beserta anggota keluarganya (konon sampai 5.000 orang) dihabisi nyawanya. ”Para ulama yang selamat menyingkir dari pusat kerajaan. Mereka memang banyak pergi ke arah selatan dan barat, seperti Kedu, Banyumas, dan Cilacap. Di sana mereka mendirikan pesantren baru. Jadi, meski para ulama ini dihabisi, jaringan mereka secara diam-diam terus bergerak. Jaringan ini semakin solid dan kemudian muncul kembali dalam perlawanan Pangeran Diponegoro. Jaringan itu terus ada sampai sekarang,” katanya. Sisa jaringan ulama itu masih bisa teraba sekarang ketika mengunjungi Pesantren Somalangu, Desa Sumber Adi, di Kebumen, yang terkait dengan Kesultanan Demak dan Mataram. Bahkan karena berusia sangat tua, hampir 600 tahun, pesantren Somalangu yang didirikan Syekh Abdul Kahfi al-Hasani (ulama berasal dari Yaman yang datang ke Jawa sekitar tahun 1475 M) ternyata punya ikatan yang kuat dengan banyak pesantren yang kemudian muncul di wilayah Banyumas dan Cilacap. Pada kenyataan lain, kuatnya ikatan jaringan ulama di wilayah ini yang sama juga terasa ketika mengunjungi pesantren di Leler Banyumas, Kesugihan…

Read More

Mengenal Sosok Furai’ah binti Malik, Sang Perawi

Jakarta – 1miliarsantri.net : Di antara sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, bukan hanya dari golongan sahabat saja tapi terdapat banyak sahabiyah atau kaum Muslimah. Tidak jarang, hadis-hadis yang diriwayatkan sejumlah sahabiyah tersebut menjadi rujukan ataupun sandaran ahli-ahli fikih dalam menentukan hukum fikih dari suatu permasalahan yang dihadapi umat. Furai’ah binti Malik merupakan salah seorang sahabiyah yang meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW. Furai’ah lahir dari keluarga mujahid. Keislaman keluarga Furai’ah datang seiring dengan hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW ke Madinah. Nama lengkap Furai’ah adalah Furai’ah binti Malik bin Sinan al Khudriyah. Ayahnya merupakan salah satu pejuang Islam terbaik pada saat itu, Malik bin Sinan. Ayah Furai’ah berasal dari Bani Khadrah, salah satu kabilah terpandang di kalangan kaum Anshar di Madinah. Kemuliaan Bani Khadrah kian terangkat saat Malik bin Sinan memeluk dan mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Malik bin Sinan menjadi salah satu pembela Islam dan tidak ragu untuk turun ke medan perang. Malik bin Sinan sempat berniat mengikutsertakan anak laki-lakinya, Abu Sa’id untuk terjun ke medan perang. Namun, Rasulullah SAW melarangnya lantaran Abu Sa’id dinilai masih terlalu muda, saat itu baru berumur 13 tahun. Sewaktu di medan perang, Malik menjadi salah satu pelindung dan penjaga Rasulullah SAW. Malik pun akhirnya terbunuh di medan perang dan gugur sebagai syahid. Kematian sang ayah pun membuat Furai’ah dan Abu Sa’id menjadi yatim piatu setelah ibu lebih dulu meninggal dunia. Kendati demikian, Furai’ah dan Abu Sa’id tidak putus asa dan meninggalkan Allah SWT. Keimanan mereka justru semakin tebal. Mereka merasa hal ini merupakan ujian terhadap kesabaran mereka. Ada kisah menarik saat mereka tidak memiliki uang sama sekali untuk membeli makanan. Pada saat itu, Abu Sa’id mengadu kepada Furai’ah. Kemudian, Furai’ah pun menyuruh adiknya untuk menemui Rasulullah SAW. Namun, saat menjejakkan kaki di Masjid Nabawi, Abu Sa’id mendengar khutbah Rasulullah SAW, yang berbunyi, ”Barang siapa yang menahan nafsu karena Allah SWT, niscaya Allah akan mencukupinya. Dan barang siapa yang meminta kekayaan karena Allah SWT, niscaya Allah akan memberikannya kekayaan.” Mendengar khutbah ini, Abu Sa’id langsung bergegas menemui Furai’ah. Mereka akhirnya bersabar dan kesabaran ini berbuah manis. Mereka terus mendapatkan rezeki dari tempat yang tidak diduga-duga. Mereka selalu mendapatkan bantuan dari sesama kaum muslimin di Madinah. Ini menjadi balasan atas kesabaran Furai’ah dan Abu Sa’id. Semasa hidupnya, Furai’ah memang dikenal sebagai salah satu perawi hadis terpercaya, yang langsung didapatkan dari Rasulullah SAW. Tercatat, Furai’ah disebut telah meriwayatkan setidaknya delapan hadis dari Rasulullah SAW. Salah satu hadis yang diriwayatkan Furai’ah menjadi sandaran dan pijakan ahli fikih. Hadis tersebut berisi tentang masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Dalam penjelasan Hadis Riwayat (HR) Malik no.1081 disebutkan seorang istri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari dan berdiam diri di rumahnya selama masa idah tersebut. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Furai’ah binti Malik. Tidak hanya itu, Furai’ah juga mengaku didatangi utusan dari Utsman bin Affan untuk menanyakan hal tersebut. Kemudian Furai’ah mengabarkannya dan Utsman pun mengikutinya serta memutuskan seperti itu. Secara lengkap, berikut petikan HR Malik no.1081 tersebut, ”Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari (Sa’ad bin Ishaq bin Ka’b bin ‘Ujrah) dari bibinya (Zainab binti Ka’b bin ‘Ujrah) bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan, yaitu saudara perempuan dari Abu Sa’id al-Khudri, mengabarkan kepadanya, ‘Dia pernah menemui Rasulullah SAW dan meminta izin apakah ia diperbolehkan pulang ke rumah keluarganya di Bani Khudrah. Sebab, ketika suaminya pergi mencari budak-budaknya yang melarikan diri kemudian sampai di perbatasan dan menemukan mereka, justru mereka beramai-ramai membunuhnya (suami Furai’ah binti Malik).’ Kemudian Furai’ah binti Malik berkata, ‘Aku minta izin Rasulullah SAW untuk pulang ke rumah keluargaku di Bani Khudrah, karena suamiku tidak meninggalkanku di rumah miliknya dan tidak memberi nafkah.’ Rasulullah SAW kemudian mengatakan,’Ya (pindahlah).’ Furai’ah binti Malik kemudian kembali ke rumah suaminya. Kemudian saat Furai’ah sedang berada di kamar atau di masjid, Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya. Rasulullah SAW kemudian bertanya, ‘Apa yang kamu katakan tadi?’ Furai’ah lantas mengulang kisah tentang suaminya tadi, lantas Rasulullah bersabda kepada Furai’ah, ‘Berdiamlah di rumahmu sampai masa yang diwajibkan atasmu selesai.’ Selepas itu, Furai’ah binti Malik berkata, ‘Aku menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari.’ Furai’ah kembali berkata, ‘Saat pemerintahan Utsman bin Affan, ia (Utsman bin Affan) mengutus seseorang menemuiku untuk menanyakan hal tersebut, lalu aku kabarkan kepadanya, sehingga Utsman pun mengikutinya dan memutuskan seperti ini.” Hadis serupa juga diungkapkan oleh perawi hadis Hadis Riwayat Ahmad, dalam hadis nomor 25.840. Hadis yang diriwayatkan dari Furai’ah ini pun menjadi sandaran bagi para ahli fikih dalam menentukan masa berkabung atau masa idah bagi seorang istri yang ditinggalkan suaminya meninggal dunia. (fq/ep)

Read More

Program 1miliarsantri hadir untuk memberikan solusi santri

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Jika kita berbicara mengenai santri, sudah jelas mengarah pada Pondok Pesantren. Suatu lembaga tempat menimba ilmu ajaran agama Islam, dan berbagai macam keilmuan didalam nya. Sebagai negara yang sebagian besar penduduk nya beragama Islam, bisa dikatakan bahwa kehadiran Pesantren di Indonesia sangat lah membawa dampak yang sangat luar biasa. Banyak orang tua yang menitipkan anak-anak nya untuk menimba ilmu tentang ke-Islaman, terutama ajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin canggih dan marak nya teknologi yang mau tidak mau kita harus mengikuti perkembangan nya atau akan tertinggal serta menjadi terbelakang. Sangat miris jika pada akhirnya suatu Pesantren tidak bisa menjawab tantangan perkembangan tersebut dengan menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap terjun menyalurkan bakat dan keilmuan nya. Melihat akan adanya hal tersebut, Gus Firman Sidqi, salah satu Pengasuh Pesantren Rock n’ Roll Yogyakarta memiliki Program yang dinamakan 1miliarsantri. Dia menjelaskan Program ini Insya Allah bisa menjawab semua kebutuhan dan tantangan perkembangan jaman yang saat ini sudah semakin menggila. Pria yang hobi touring kemana-mana menggunakan motor ini merasa sangat sedih jika terdapat alumni Pesantren yang hanya bisa jago Qur’an dan Hadist tapi tidak memiliki skill atau keahlian yang dimiliki. “Sangat sedih memang jika ada alumni Pesantren yang hanya jago Qur’an Hadist saja, karena saat ini santri itu harus dibekali dengan pengalaman yang sesuai dengan bakat kemampuan santri itu sendiri dan itulah yang kelak bisa dijadikan untuk modal kerja serta harus siap diterjunkan praktek langsung ke masyarakat,” tegas Gus Firman. Gus Firman menambahkan, banyak kalangan orang Islam itu yang menjadi kafir karena mereka Fakir. Oleh sebab itu sudah saat nya orang-orang Islam bersatu bergandeng tangan, saling bekerjasama menjadikan pemeluk Islam itu harus menjadi orang kaya. Kaya dalam segala hal, kaya berupa bentuk duniawi, kaya prestasi dan terutama kaya hati. Dia berharap semua pihak, terutama para Pengurus dan Pengelola Pondok Pesantren se Indonesia bisa bekerjasama menjalankan Program 1miliarsantri ini. “Program ini bukan milik saya saja tapi milik semua umat, milik seluruh santri dan nanti kembali nya juga kepada santri serta Pondok Pesantren yang di ikuti nya,” ujar nya. Banyak sekali Program 1miliarsantri yang dilaksanakan, diantaranya kunjungan ke seluruh Pesantren se Indonesia. Disana akan digali sejarah tentang awal berdirinya Pesantren tersebut, menggali tokoh ulama atau tokoh masyarakat yang mengawali syiar disana, menggali budaya sekitar Pesantren tersebut dan juga akan ada Pelatihan Santripreneur serta banyak program yang akan dijalankan. “Baik Santri, Pengurus Pondok, Pengelola Pondok Pesantren, tokoh masyarakat dan semua nya harus terlibat karena program ini Insya Allah sangat besar manfaat nya dan jelas akan membantu program Pemerintah juga. Selain kita memberikan ilmu sejarah perkembangan, pengembangan agama Islam di Indonesia lewat Pesantren, kita juga akan mengajak dan mengajarkan santri untuk belajar mandiri,” tandas nya. Ide dan gagasan Program 1miliarsantri ini sebenarmya sudah di konsep Gus Firman sejak tahun 2012. Pada akhir tahun 2014 Gus Firman mulai menjajaki kehidupan di kota Yogyakarta dan mendirikan Pesantren disana. Di Pesantren inilah Gus Firman mulai menjalankan kegiatan nya, dan secara kebetulan kebanyakan santri yang diterima adalah mantan preman, mereka yang dianggap sampah masyarakat, namun diangkat harkat derajat nya oleh Gus Firman agar dapat menjadi makhluk yang bisa membawa manfaat di akhir hayat nya. Di Pesantren Rock n’ Roll Yogyakarta inilah Gus Firman mulai membuat Pupuk Organik, Beras Organik dan sebagai nya. Tentu saja para santri dan ribuan jamaah nya diajak dan diajari untuk bisa menjalankan semua nya. Bukan hanya secara produksi, para santri ini juga diajarkan cara promosi dan marketing dengan produk yang mereka buat sendiri. Jatuh bangun dalam usaha, ditipu banyak orang hingga menjadi korban penipuan oknum pensiun dan beberapa anggota Polri di Kabupaten Bandung pernah dirasakan tapi pria yang suka berpenampilan sederhana ini selalu tersenyum. Dia justru bersyukur menjadi korban penipuan dan dia tidak dianggap sebagai Penjahat. “Saya selalu mendoakan mereka yang berbuat jahat agar kejahatan mereka menjadi kejahatan terakhir yang mereka lakukan. Untuk selanjutnya semoga Allah membuka pintu taubat dan menjadikan mereka menjadi insan yang bisa membawa manfaat untuk masyarakat,” imbuhnya. Dalam Program 1miliarsantri ini, para santri bisa menjual dan membeli produk dari santri atau Pesantren yang menjadi binaan dan bekerjasama dalam Program 1miliarsantri ini. Sehingga Program luar biasa ini benar-benar bisa membawa manfaat untuk kemaslahatan umat dunia akhirat. “Ada aplikasi 1miliarsantri.net yang bisa di download para santri, Pengurus dan Pengelola Pesantren, keluarga santri serta jamaah Pesantren itu sendiri dan semua pihak yang ingin bergabung dalam Program tersebut dan Insya Allah benar-benar bisa dirasakan manfaat nya. Bismillah aja, nawaitu kita berupaya bergerak untuk kemaslahatan umat lewat program 1miliarsantri.net nantinya,” pungkas Gus Firman.

Read More

Quraish Shihab : Islam Lahir Untuk Memelihara 5 Hal

Makassar – 1miliarsantri.net : Prof Dr HM Quraish Shihab MA mengungkapkan bahwa sehat dalam bahasa arab diartikan bahwa terbebasnya fisik dan mental dari cela. Jika seseorang fisiknya baik tetapi dalam jiwanya ada cela, maka itu tidak sehat. “Jadi dikatakan sehat jika sehat fisik dan jiwa,” tuturnya kepada 1miliarsantri.net Quraish Shihab menambahkan bahwa Islam lahir untuk memelihara lima hal. Kelima hal tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. “Mungkin ada yang bertanya kenapa hanya lima, kenapa tidak untuk menjaga jasmani, jawabannya adalah karena jasmani adalah suatu wadah, tanpa disebut pun sudah masuk,” ujarnya. Kelima hal tersebut didukung oleh Islam, memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta benda sangat didukung oleh Islam, terlebih lagi memelihara jasmani yang menjadi wadah dari kelimanya itu. Quraish Shihab juga mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah Swt bukan untuk menjadi dokter fisik tetapi diutus untuk menjadi dokter jiwa. Di samping itu, Agama Islam sangat terbuka dalam hal pengobatan. Islam menganjurkan penelitian –penelitian tetapi harus digaris bawahi bahwa manusia harus dihormati. Pria kelahiran Sidrap ini juga meluruskan makna berbagai hadist yang dikenal masyarakat seperti hadist tentang kebersihan yang berbunyi “Kebersihan adalah bagian dari iman.” Quraish Shihab mengungkapkan bahwa iman ada di dalam, kebersihan di luar, jadi yang benarnya adalah “Kebersihan itu dampak dari Iman,” tutupnya. (har)

Read More

Istilah dan Asal Usul Santri

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak lembaga pendidikan yang khas dengan nuansa Islam. Dari sekian banyak lembaga pendidikan yang khas itu, pesantren adalah yang paling terkenal dan terdengar akrab di telinga kita. Sejarah panjang perjuangan lahirnya Indonesia pun, tidak bisa dilepaskan dari peran santri, sebutan bagi mereka yang tinggal di pesantren. Pesantren berarti pesantrian, yaitu tempat berdiamnya para santri yang bertujuan untuk melaksanakan proses pendidikan. Meski sangat familiar di lingkungan Umat Islam, Menurut C.C Berg, seorang Professor di Universiteit Leiden, istilah santri dan pesantren itu sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Sanskerta, “In the pesantren (seminaries), whence originated the Javanese Moslem Jurists, we may see a continuation of the old Javanese or Hindu-Javanese mandala’s (convents), and neither the life of santri’s (theological students), whose name is a deformation of the Indian Çastri,”who knows the (Hindu) holy books,” nor the social position of  these theological schools had been considerably changed in Java by four centuries of Islam.” Artinya: “Di pesantren, tempat lahirnya para ahli hukum Islam di Jawa, kita dapat melihat kelanjutan dari mandala (biara) Jawa Kuno atau Hindu Jawa, dan juga kehidupan santri (para pelajar teologi), yang mana istilah ini adalah deformasi/perubahan bentuk dari kata Çastri (dibaca shastri-pen) yang berarti “yang mengetahui kitab suci (Hindu),” pun posisi sosial dari pesantren-pesantren ini telah banyak berubah pada empat abad Islam di Jawa. Selanjutnya, istilah pesantren adalah isim makan/the adverb of place/kata keterangan tempat dari santri. Asalanya adalah pe-santri-an. Dalam Brill Encyclopaedia of Islam pesantren didefinisikan sebagai berikut. “Javanese “santri-place”, the educational institution of Indonesia where students (santri) study classical Islamic subjects and pursue an orthoprax   communal life. Pondok (“hut, cottage”; cf. Ar.funduk) is an alternative term, meaning “lodgings” and, by extension, “Islamic religious boarding school”.  Pesantren is used most often in Indonesia (especially Java), whereas pondok is the preferred term in Malaysia and the Patani region of southern Thailand. Sometimes the two terms are combined in Indonesia, when the speaker means to make clear that a traditional Islamic boarding school, a “pondok pesantren”, and not merely a religious day school (such as the more modern madrasa), is meant. Artinya, “Tempat-santri di Jawa”, lembaga pendidikan di Indonesia dimana santrinya mengkaji warisan klasik dalam Islam  (turats) dan mengejar kehidupan komunal yang ortopraks (tindakan/pekerjaan yang benar). Istilah alternatifnya adalah “pondok” (hut/cottage dalam Bahasa Inggris) yang berasal dari Bahasa Arab funduk yang berarti “penginapan” dan, dengan perluasan makna menajdi “pondok pesantren”. Istilah pesantren sangat sering digunakan di Indonesia, (khususnya di Jawa) sedangkan “pondok” adalah istilah yang lebih disukai di Malaysia dan Patani (sebuah wilayah di Thailand Selatan). terkadang kedua istilah ini digabungkan dalam Bahasa Indonesia untuk memperjelas pesantren tradisional, sebuah “pondok pesantren” tidak dimaksudkan sebagai hari pelajaran agama di sekolah, seperti misalnya di madrasah modern.” Dari kedua sumber tersebut, kita dapat melihat bahwa memang, pada dasarnya istilah santri dan pesantren itu bukan dari bahasa Arab atau bahasa Islam lainnya. Lalu mengapa bisa “menjadi milik” Umat Islam? Persoalan ini, sejatinya adalah buah dari proses Islamisasi. Menurut S.M.N. Al-Attas, proses Islamisasi bahasa adalah proses yang paling awal terjadi seiring diturunkannya Wahyu melalui Kitab al-Quran. Begitu pun di Kepulauan Melayu-Indonesia, proses Islamisasi sangat didasari oleh perubahan konsep dalam istilah-istilah kunci. Maka, kita mengenal banyak istilah dalam Bahasa Sanskerta, misalnya puasa lebih melekat kepada Umat Islam  karena konsep dalam istilah ini telah berubah, yang awalnya adalah upawasa, sebuah ritual dalam ajaran Hindu yang menghindari makan dan minum untuk melaksanakan ajaran samsara (merasakan kesengsaraan) dirubah  konsepnya menjadi shaum dalam syariat Islam. Disisi lain, Santri merupakan sebutan bagi pelajar yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yakni Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. Selain Santri Mukim, ada juga istilah Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang. Kata santri berasal ada berbagai macam versi, di antaranya dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik“, yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Sementara, menurut DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “santaro“, yang mempunyai jama’ (plural) sanaatiir (beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut yang mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta’, ra’). Adapun empat huruf tersebut yaitu : Sin, yang bermakna dari lafadz “satrul aurah” (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup aurat. Namun pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang keduanya saling ta’aluq atau berhubungan. Yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (dhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini). Hal yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia menutupi dan mempunyai rasa malu dalam hal sifat dan perilaku secara dhahiri dan bathini. Sebagaimana disinggung dalam salah satu hadits Nabi SAW: “al-haya’u minal iman“, malu sebagian dari iman. Ash Shan’ani menjelaskan bahwa sifat haya dapat menggiring seseorang untuk menghindari dari perbuatan buruk, sebagaimana fungsi iman. Sebab haya tersusun dari kebagusan dan ke-iffah­­-an, oleh karenanya orang fasik tak mempunyai sifat haya’. Nun, yang bermakna dari lafadz “na’ibul ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa : “al-ulama warasatul anbiya’ (ulama adalah pewaris nabi) yang menurut Ibnu Bathal hal tersebut berdasarkan pada QS. Al Fathir: 32: “Kemudian kami wariskan al kitab kepada orang-orang yang telah kami pilih”. Abu Zannad menerangkan bahwa mereka adalah orang yang mendengar ilmu tentang fardhu dan sunnah dari Rasulullah SAW, lantas masyarakat mengambil kemanfaatan darinya. Kaitannya dengan na’ibul ulama, seorang santri dituntut mampu aktif, merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak. Ta’, yang bermakna dari lafadz “tarkul ma’ashi” (meninggalkan kemaksiatan). Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan hablun minallah (hubungan vertikal dengan sang Khaliq) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena tarkul ma’ashi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga…

Read More

Mengintip Sejarah Manaqiban di Indonesia

Jakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu acara keagamaan yang menjadi tradisi sebagian masyarakat Islam di Indonesia adalah manaqiban. Secara bahasa, manaqiban berasal dari kata manaqib yang berarti riwayat hidup orang-orang besar. Mengutip buku Pendidikan Tasawuf oleh Muhammad Basyrul Muvid, manaqiban adalah sebuah peringatan untuk mengenang wafatnya seorang wali legendaris, yakni Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Beliau wafat pada 11 Rabiul Awal, sehingga acara ini biasa diperingati setiap tanggal 11 pada bulan Islam lainnya. Kegiatan dalam Acara Manaqiban secara kebudayaan hanya dianjurkan untuk para laki-laki, baik anak-anak, pemuda, dewasa, maupun orang tua. Tidak satu pun perempuan yang terlibat di acara ini. Biasanya, acara ini diisi dengan membacakan manaqib Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Ada dua manaqib yang umum dibaca masyarakat, pertama adalah manaqib An-Nur Al-Burhani. Kedua adalah kitab manaqib Jawahir Al-Ma‘ani yang ditulis oleh KH Jauhari Umar dari Pasuruan. Pembaca kitab dalam acara manaqib ini hanya dilakukan oleh seorang kiai. Sementara para jemaah dengan khidmat mendengarkan dan secara aktif memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Hal yang dibaca dalam kitab manaqib tersebut meliputi silsilah nasab Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya. Disamping itu, tercantum juga doa bersajak (nadhom) yang bermuatan pujian-pujian dan tawassul kepada Allah SWT melalui perantara Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Tujuan Manaqiban Dijelaskan dalam buku Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Studi Etnografi Tarekat Sufi Di Indonesia oleh Emawati, Syukran Makmun dan Gunawan Anjar Sukmana, manaqiban ini bertujuan untuk mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan para wali yang dicintai-Nya. Sebagaimana ditulis dalam Alquran: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54). Hal yang dibaca dalam kitab manaqib tersebut meliputi silsilah nasab Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya. Disamping itu, tercantum juga doa bersajak (nadhom) yang bermuatan pujian-pujian dan tawassul kepada Allah SWT melalui perantara Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Selain itu, tujuan lain dari manaqiban, yakniBerharap mendapat keberkahan dari pembacaan manaqib. Hal tersebut didasarkan keyakinan bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jailani adalah wali quthub yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang. Biasanya para jamaah membawa botol yang berisi air dan mendekatkan kepada imam atau pemimpin acara tersebut dengan tujuan mendapat berkah dari doa-doa yang dibacakan oleh mereka, sehingga sewaktu air itu diminum dapat menjadi air yang berkah dan menyehatkan bagi tubuh. Memohon untuk kesuksesan dan berkah-berkah lain sesuai dengan kepentingan masing-masing.Hubungan masyarakat sekitar menjadi semakin rukun dan semakin erat tali persaudaraannya. (hud)

Read More