Sosok Kiai Zuhri Zaini Yang Selalu Tersenyum

Probolinggo – 1miliarsantri.net : Penampilan nya cukup sederhana, namun tetap bersahaja. Tutur kata begitu lembut, halus dan santun membuatnya disukai dan dicintai banyak orang. Setiap melihatnya aura kesejukan dan ketenangan terpancar di dalam dirinya. Kemana-mana memakai baju kokoh, peci dan sarung berwarna putih seakan telah menjadi ciri khasnya. Hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas bermanfaat, seperti mengajar dan membimbing santri-santri serta mengayomi masyarakat sekitarnya. Itulah KH Zuhri Zaini putra kelima dari pasangan KH Zaini Mun’im dan Nyai Nafi’ah. Beliau lahir di Probolinggo, Jawa Timur pada 5 Oktober 1948. Karier pendidikannya beliau habiskan di Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, sebuah pesantren yang didirikan langsung oleh ayahanda Kiai Zuhri, KH Zaini Mun’im. Mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga ke Perguruan Tinggi, dan akhirnya menyandang gelar BA (singkatan dari Bachelor of Arts). Di pesantren asuhan ayahandanya ini Zuhri mudah mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan, khususnya tentang ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, ilmu gramatika bahasa Arab melalui kitab, seperti Jurumiyah, Mutammimah, Alfiyah dan Ibnu Aqil. Juga kitab-kitab Fiqh, semisal Safinatun Najah, Sullamut Taufiq, Fathul Qorib, Fathul Mu’in dan lain sebagainya. Merasa tidak puas hanya belajar di pesantrennya sendiri, meski telah menyandang gelar BA, Zuhri muda akhirnya melanjutkan pengembaraan intelektual ke Pesantren Sidogiri Pasuruan selama 3 tahun. Di pesantren inilah, beliau belajar langsung tentang ilmu-ilmu keislaman kepada (alm) KH Cholil Nawawi, salah satu pengasuh pesantren tertua tersebut. Berkat didikan langsung keluarga dengan ditopang semangat tinggi dalam menimba ilmu pengetahuan, tidak heran jika Kiai Zuhri tumbuh menjadi sosok yang sangat mahir dan alim, khususnya di bidang ilmu agama. Bahkan, kealimannya tersebut sudah masyhur di kalangan masyarakat terutama wilayah Jawa Timur. Terbukti, dalem Kiai Zuhri nyaris tak pernah sepi dari para tamu yang setiap waktu selalu berdatangan dengan maksud dan tujuan berbeda-beda. Tak hanya itu, kealiman dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki Kiai Zuhri juga bisa dibuktikan dari kitab-kitab yang diampuhnya secara langsung. Ada beragam kitab yang dibacakan Kiai Zuhri kepada santri-santrinya. Misalnya dii masjid, beliau membacakan kitab Fathul Qorib, Riyadhus Shalihin dan Tafsir Jalalain yang diikuti oleh seluruh santri dan para alumnus Nurul Jadid. Di musala (sehabis salat subuh), kitab yang dibacakan adalah kitab tasawuf, seperti Minhajul ‘Abidin (karya Imam Ghazali) dan Al-Hikam (karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari) yang, dikhususkan pada santri-santri senior. Sementara di Ma’had Aly (selesai salat Magrib), Kiai Zuhri mengampu kitab Bulughul Maram (untuk semester 1) dan Mukhtasar Ihya Ulumiddin (untuk semester 3). Menarik, walaupun kealimannya sudah masyhur di kalangan masyarakat tidak lantas membuat Kiai Zuhri bersikap arogan dengan merendahkan orang lain. Sebaliknya, beliau justru bersikap rendah hati dan hormat pada siapa pun, baik yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata maupun yang berpangkat. Semua selalu dilayani dan hargai. Jika sedang menghadapi banyak tamu, Kiai Zuhri memberikan perhatian pada mereka semua. Bahkan, mereka ditanyai satu persatu, sehingga tidak ada yang merasa disepelekan. Yang paling berkesan dari kerendahan hati dan akhlak Kiai Zuhri sangat dirasaka oleh para santri, terutama ketika masih berada di pesantren, dan mengaji langsung kitab Bulughul Maram dan Mukhtasar Ihya Ulumiddin kepada beliau. Biasanya, beliau menyuruh santri satu persatu untuk membacanya. Jika ada satu lafaz yang keliru bacaan dan maknanya, Kiai Zuhri selalu berkata lembut sambil tersenyum untuk mengajarkan lafaz yang benar. Sungguh, betapa rendah hati dan mulianya akhlak KH Zuhri Zaini. Bukan hanya kepada para ulama, habaib dan orang luar (tamu maupun wali santri), tetapi terhadap santrinya pun Kiai Zuhri menggunakan tutur kata yang sangat halus, lembut dan santun. Bahkan, jika ada salah satu santrinya yang sudah menjadi kiai, Kiai Zuhri sangat menghormatinya. Di depan mereka, sikap beliau laiknya sikap seorang santri pada kiainya. (fir)

Read More

Imam Bukhori Terinspirasi Dua Ayat Al Qur’an ini

Jakarta – 1miliarsantri.net : Siapa yang tidak mengenal atau mendengar nama Imam Bukhari. Nama beliau sering disebut dalam banyak hadist maupun beberapa kitab lain nya. Imam Bukhori pernah menyisipkan bab berjudul Hifdzhul Ilmi dalam Shahihnya. Bab ini dikatakan oleh Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolani sebagai bab yang hanya mengulas tentang Abu Hurairah RA. Dalam bab tersebut, Abu Hurairah berkata: “Sungguh yang paling banyak menyampaikan hadits adalah Abu Hurairah. Jika bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, maka aku tidak akan mengeluarkan satu hadits pun.” Imam Bukhari menjelaskan, dua ayat yang dimaksud itu adalah ayat 159-160 Surat Al Baqarah. Allah SWT berfirman: “Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat, kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS Al Baqarah ayat 159-160) Abi Abdullah Muhammad Sa’id bin Silan dalam bukunya, Adabu Thalibil Ilmi (terj. Muyassir Hadil Anam), menukil hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Al-A’raj yang mendengar Abu Hurairah berkata: (إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني)، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه)؛ “Kalian mengira Abu Hurairah meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah SAW. Hanya Allah Yang Mahamembuat Perhitungan. Aku ini miskin dan aku membantu Rasulullah SAW dengan batas kemampuanku. Kaum Muhajirin sibuk berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka Rasulullah SAW bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Mendengar hal tersebut, Abu Hurairah pun membentangkan bajunya, lalu beliau SAW menyampaikan haditsnya. “Aku pun menghimpunnya dalam diriku. Alhasil, aku tidak lupa sedikit pun dari apa yang aku dengar dari Rasulullah SAW.” Abu Hurairah RA adalah sahabat yang paling hafal hadits dan paling banyak meriwayatkan, meski persahabatan dirinya dengan Nabi SAW tidak panjang, yakni tidak lebih dari tiga tahun. Ibnu Umar RA mengatakan, Abu Hurairah adalah orang yang menghafal hadits untuk umat Islam. Asy Syafi’i berkata, “Abu Hurairah adalah perawi hadits yang paling hafal pada zamannya.” (fil)

Read More

Keutamaan Orang Membaca Al Qur’an

Jakarta – 1miliarsantri.net : Membaca Al Qur’an bagi Umat Islam tentunya bisa mendapatkan keutamaan berupa diangkat derajatnya oleh Allah. Tetapi, di antara orang yang membaca Alquran, ada juga yang direndahkan oleh Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan: عَن عُمَرَ بنِ الخَطٌاَبِ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولٌ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ اِنَ اللٌهَ يَرفَعُ بِهذَ االكتَاِبِ اَقَوامًا وَيَضَعُ بِه اخَرِينَ (رواه مسلم) Dari Umar RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah mengangakat derajat beberapa kaum melalui kitab ini (Alquran) dan Dia merendahkan beberapa kaum lainnya melalui kitab ini pula.” (HR Muslim) Menurut Maulana Zakariyya al-Khandahlawi dalam kitabnya yang berjudul Fadhilah Amal, barang siapa yang beriman dan beramal dengan Alquran, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya dan memuliakannya di dunia dan di akhirat. Siapa saja yang tidak beramal dengan Alquran, Allah pasti menghinakannya. Allah SWT menyatakan dalam Alquran: …يُضل به كثيراً ويهدي به كتيراً…. “… dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan (dengan perumpamaan itu pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk…” (QS al-Baqarah [2]:26) Firman lainya: وننزل من القران ما هو شفا ء ور حمة للمو منين ولا يز يد الظلمين الا خسا را…………….؟ “Dan Kami turunkan dari Alquran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Alquran itu tidak menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS al-Isra [17]:82) Menurut Maulana Zakariyya, jika seseorang mulai membaca suatu surah dalam Alquran, malaikat mulai memohonkan rahmat untuknya dan mereka akan terus dalam keadaan berdoa untuknya sampai ia selesai membacanya. Namun, ada pula seseorang yang mulai membaca suatu surah dalam Alquran, tetapi malaikat mulai melaknatnya sampai ia selesai membacanya. Menurut sebagian ulama, terkadang ada seseorang membaca Alquran tetapi tanpa disadari ia telah memohon laknat untuk dirinya sendiri terus-menerus. Misalnya, ia membaca ayat Alquran yang berbunyi: ألا لعنةُ الله علىَ الظَّالمينَ “Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang zalim.” (QS Hud [11]:18). Sementara itu, ia sendiri berbuat zalim maka laknat Allah pun menimpanya. Atau ayat lain yang berbunyi: { لعنة الله علي ا لكاذبين }….. “Laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang berdusta.” (QS Ali Imran [3]:61). Sementara itu, ia sendiri suka berdusta maka ia pun terkena laknat itu. Dalam sebuah kisah disebutkan, Amir bin Watsilah RA menceritakan bahwa Umar RA telah mengangkat Nafi’ bin Abdul Haris sebagai wali kota Makkah Mukharamah. Suatu ketika Umar bertanya kepada Nafi’, “Siapakah yang dijadikan pengurus kawasan-kawasan hutan?” “Ibnu Abza RA,“ jawab Nafi’. Umar RA bertanya lagi, “Siapakah Ibnu Abza itu?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah seorang hamba sahaya.” Umar RA bertanya, “Mengapa engkau mengangkat seorang hamba sahaya sebagai pengurus?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah hamba sahaya yang senang membaca Alquran.” Mendengar jawaban itu, Umar RA langsung menyebutkan sabda Rasulullah SAW, “Melalui Alquran, Allah menghinakan banyak orang dan mengangkat derajat banyak orang.” (fil)

Read More

Sebanyak 450 Bus Sholawat Dipersiapkan

Mekah – 1miliarsantri.net : Rombongan jamaah calon haji Indonesia sudah mulai berdatangan di Madinah. Hari ini ada lima Kelompok terbang (kloter) yang akan tiba di Mekkah, pada pukul 20.00 WAS akan tiba Jakarta Pondok Gede (JKG 01), Solo (SOC) 01, Makassar (UPG) 01 dan dua pukul 22.00 WAS akan tiba dari Aceh kloter (BTJ 01) dan Medan (KNO 01). Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan sekitar 450 armada Bus untuk memfasilitasi mobilitas serta aktifitas jamaah haji Indonesia selama melaksanakan ibadah haji di kota suci Makkah. Selain itu juga disiagakan sebanyak 230 orang petugas yang akan dibagi dibeberapa titik sektor wilayah. “Semua armada transportasi shalawat sudah beroperasi bersamaan dengan kedatangan jemaah pada hari ini,” terang Kepala Daerah Kerja Mekkah, Khalilurrahman di Makkah, Arab Saudi kepada media, Jumat (2/5/2023). Khalil menambahkan untuk menyambut kedatangan jamaah, hari ini semua petugas transportasi sudah mulai menempati pos nya masing-masing dan siap melayani jemaah 24 jam penuh. Sementara itu Kasi Transportasi PPIH Arab Saudi Dakker Makkah Asep Subhana mengatakan pemerintah menyediakan dua jenis bus shalawat yang akan digunakan oleh para jamaah. “Ada dua macam bus yang akan digunakan jemaah, yang pertama bus dengan air suspensi khusus lansia dan disabilitas, bus ini dilengkapi dengan kursi khusus disabilitas dan tangga khusus untuk kursi roda,” kata Asep. Pemerintah menyediakan bus shalawat dengan dua warna yaitu warna hijau dan warna kuning namun dengan fasilitas yang sama. Pemerintah juga masih menyiapkan bus cadangan dengan porsi sepuluh persen dari total jumlah armada yang ada untuk mengantisipasi kerusakan bus dan penumpukan penumpang, kata asep. Bus shalawat akan melayani jemaah yang tersebar di 11 sektor dari Mahbas Jin, Raudlah, Jarwal, Misfalah hingga yang terjauh di kawasan Syisah. (wan)

Read More

Yanuardi : MUI Harus Menyebarkan Semangat Perdamaian ke Seluruh Dunia

Jakarta – 1miliarsantri.net : MUI sebagai organisasi payung ormas-ormas Islam Indonesia diharapkan dapat memainkan peran-peran strategis sebagai mitra pemerintah (shodiqul hukumah) dengan memberikan berbagai insights terkait perdamaian. MUI juga harus menjadi pelayan masyarakat (khadimul ummah) dengan menyebarkan semangat perdamaian kepada seluruh masyarakat. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua MUI, KH DR Marsudi Syuhud dalam sambutan Konferensi Internasional di Jakarta, 21-23 Mei 2023 lalu. Kiai Marsudi menyampaikan visi penting MUI untuk meningkatkan kesadaran manusia akan perdamaian menghadapi masa depan dunia yang tidak stabil dengan ancaman perang di negara-negara Islam maupun lainnya. Diselenggarakan nya Deklarasi Jakarta 2023 sebagai hasil Konferensi Internasional MUI terkait ‘agama, perdamaian, dan peradaban, mendapat sambutan antusias dari ulama internasional. “Kita semua merasakan konflik yang berat dan belum terselesaikan di bagian dunia ini, dalam beberapa hal mereka merasakan rasa sakit ini, dan penderitaan semua orang yang telah kehilangan nyawa mereka dalam perang dan konflik yang tidak masuk akal ini, begitu banyak korban perempuan dan anak-anak dan penghancuran tatanan sosial,” ungkapnya Sementara itu Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama MUI, Yanuardi Syukyr mengungkapkan, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan dilakukan MUI setelah konferensi tersebut. Pertama, MUI perlu melanjutkan konferensi internasional itu secara reguler tiap tahun, dua tahun, atau tiga tahun. Harapan itu tidak hanya berasal dari peserta dalam negeri, tapi juga luar negeri. “Animo duta besar negara sahabat untuk hadir dalam event tersebut juga menjadi tanda bahwa isu ‘agama, perdamaian, dan peradaban’ sangat strategis untuk dibahas secara kontinu,” kata Yanuardi melalui keterangan tertulis kepada media (2/6/2023). Kedua, MUI perlu memainkan khidmah internasional yang terus meluas di berbagai negara. Per 2023 misalnya, Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI juga telah menargetkan untuk menjajaki kemungkinan pembukaan ‘perwakilan MUI” di beberapa negara. “Artinya, peran-peran MUI tidak hanya di dalam negeri, tapi juga untuk memberikan makna dan solusi bagi permasalahan umat Islam di luar negeri,” sambung Yanuardi. Ketiga, perlunya diseminasi karya ulama Indonesia ke dunia global. Salah satu yang penting juga adalah kepentingan riset atau akademis. Karya-karya ulama dan para tokoh perlu disebarkan kepada masyarakat Internasional. “Perlu penerjemahan karya dan produk MUI, sehingga masyarakat internasional dapat memahami itu dengan baik,” ungkap Yanuardi. Dalam konflik, masyarakat kehilangan kemanusiaan, kasih sayang, rasa hormat, kehilangan rasa toleransi kepada sesama manusia. Pengutamaan nilai-nilai universal menjadi penting. Artinya, common values di Indonesia atau di tingkat dunia penting untuk ditemukan. Bahkan, dijaga dan dijadikan pijakan dalam interaksi lintas-negara untuk mencapai perdamaian. “Dengan demikian, semangat damai itu tidak hanya menjadi milik masyarakat kita tapi diharapkan juga dapat terus disebarkan kepada masyarakat dunia dimana masyarakat kita terkoneksi secara komunitas lintas-negara maupun melalui jaringan personal di luar negeri,” pungkas Yanuardi. (wink)

Read More

Hal-hal Nyeleneh Dalam Tasawuf

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Abu Yazid Al-Basthami pernah mengajak beberapa muridnya untuk bertemu salah seorang yang saat itu mulai terkenal dengan kewalian, zuhud, dan sering dikunjungi oleh orang banyak. Saat sampai ke tempat orang yang dituju, Abu Yazid melihatnya sedang shalat, dan membuang ludah ke arah kiblat. Sebagaimana yang diketahui, makruh hukumnya membuang ludah ke arah kiblat. Tanpa banyak basa-basi, Abu Yazid langsung putar balik dan pulang. Ia berkata kepada muridnya, “Orang itu tidak mengamalkan adab-adabnya Rasulullah, bagaimana mungkin saya bisa percaya dengan klaim dia sebagai wali?” Meskipun ini cuma makruh, yang bahkan sebagian orang akan menilai bahwa selama itu tidak berdosa akan tidak masalah, akan berbeda cara pandangnya jika yang melihat adalah ahli tasawuf dan objeknya adalah orang yang mengaku sebagai wali dan memiliki karamah. Cara menilai ahli tasawuf adalah seberapa kuat ia berpegangan dengan syariat, bukan senyeleneh apa ia berbuat. Dari apa yang diperbuat oleh Abu Yazid, kita paham hakikat makna dari ucapan -Faqih Mishr, Laits bin Sa’ad: “Jika kalian melihat orang berjalan di atas air dan terbang di atas langit, jangan tertipu, sampai kalian lihat bagaimana keseharian dia dengan Al-Quran dan Sunnah.” Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, seorang wali besar yang diakui keilmuan dan kewaliannya oleh banyak ulama di masanya, penulis kitab Sullam al-Taufiq, pernah berkata dengan perkataan yang menggambarkan kesehariannya selama hidup, “Aku tidak pernah melakukan hal yang dihukumi makruh, bahkan tidak pernah terlintas di hatiku keinginan untuk melakukan hal tersebut.” Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, meskipun sudah mampu menggabungkan antara ilmu zhahir dan bathin, sebagaimana Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penulis Maulid Simtudh Dhurar menilai beliau sebagai al-Jami’ baina Ilmai al-Zhahir wa al-Bathin, kita tidak akan pernah melihat beliau mengucapkan atau melakukan hal-hal yang nyeleneh. Kita belajar dari keseharian beliau, bahwa orang yang semakin tinggi dan hebat tasawufnya, akan semakin kuat ibadah syariatnya. Wirid harian beliau, sebagaimana yang sudah masyhur: shalat malam dengan 10 juz Al-Quran, shalat Dhuha dengan 8 juz Al-Quran, membaca Ya Allah 25.000 kali, membaca kalimat tahlil 25.000 kali, dan shalawat 25.000 kali. Inilah “nyeleneh” yang diajarkan beliau: ibadah yang berbeda dengan kebanyakan orang. Bukan sekedar ucapan dan omong kosong belaka. Setelah semua itu, ibadah dan wirid yang sangat banyak, beliau memiliki doa yang juga masyhur, yang isinya mengakui kekurangan dalam ibadah dan banyanya kesalahan: “Ya Allah, kami tidak memiliki amal. Semua perbuatan kami hanya kesalahan dan dosa. Namun kami punya harapan kepada-Mu agar Engkau menghapus kesalahan itu. Wahai Dzat yang mendengarkan doa, kami memohon taubat nasuha, dan ampunan dosa, sebelum dosa itu terlihat oleh para makluk-Mu.” Sayyid Al-Qutb Ahmad Al-Rifa’i mengatakan: “Jangan kalian mengatakan, kami adalah ahli batin dan mereka masih ahli zahir. Agama Islam ini menggabungkan keduanya, bathin menjadi inti dari zahir, dan zahir menjadi bungkus dari batin.” Sebetulnya, kita tidak akan melihat sesuatu yang aneh pada orang yang paham akan agama. Syariat dan hakikat akan berjalan beriringan. Terlebih orang yang sudah mengaji tasawuf sudah diharuskan khatam mengaji apa itu syariat. Hingga kita akan bertemu dengan orang yang tidak ingin repot dengan belajar syariat, lalu loncat mengkaji ilmu tasawuf hingga lahirlah banyak salah faham. Ada tiga faktor utama menurut Syekh Ahmad Zarruq al-Fasi yang menjadib penyebab munculnya keanehan dari para pendaku tasawuf: Pertama: lemahnya iman, tidak ada ilmu seputar apa saja yang dilarang syariat, gelapnya hati dari cahaya iman yang menunjukkan dan memberikan arah untuk meniti jalan yang ditapaki oleh Rasulullah ﷺ. Kedua: tidak tahu pokok ilmu tariqat dan memiliki keyakinan bahwa syariat berbeda dengan hakikat. Ini adalah asal muasal ajaran zindiq. Ketiga: memiliki penyakit cinta popularitas, ambisi ingin memimpin, sehingga jiwa terus memaksa untuk mencari cara yang dapat menarik perhatian orang lain dengan memberikan hal-hal yang asing, ia terlihat seperti berbicara tentang Tuhan, tapi sebetulnya ia hanya membicarakan dirinya. (fq)

Read More

Musibah Besar Jika Ada Orang Tidak Berilmu Memberikan Fatwa

Jakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu kekeliruan beragama yang paling besar adalah bila persoalan agama ditanyakan kepada orang yang tidak tepat, termasuk apabila bertanya kepada orang alim seputar hal-hal yang tidak diketahuinya, namun nekad memberikan jawaban. Habib Ali al-Jufri sekaligus Penulis buku Al-Insaniyah Qabla at-Tadayun (Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan) menyoroti bahwa seorang mufti semestinya mendalami realita dari persoalan yang ditanyakan kepadanya. Ia mengatakan bahwa seorang mufti tidak diperbolehkan menurut syariat, menetapkan hukum atas realita yang berubah-ubah sebelum betul-betul memahaminya. “Apabila dia mengeluarkan fatwa atas suatu realita namun dia sendiri tidak mengetahui detail-detailnya, maka dia berdosa,” terang nya kepada 1miliarsantri.net, Jumat (2/06/2023). Dalam pernyataan yang dimuat Sada al-Balad, pemilik nama lengkap Sayyid Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri ini menerangkan bahwa seorang mufti harus memiliki dan menguasai instrumen metodologi yang dapat ia gunakan untuk melakukan pembaharuan fatwa bilamana terdapat faktor kebutuhan untuk harus memperbarui fatwa. “Karakter fatwa itu terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan, di samping ada perkara-perkara tsawabit (paten dan absolut) yang tidak dapat diijtihadi,” jelas murid Habib Umar bin Hafiz ini. Pendiri sekaligus pemimpin Tabah Foundation ini mengajak kaum muslimin agar meminta fatwa dari para spesialis dan pakar di bidang mereka masing-masing. Meminta fatwa kepada orang yang tidak kapabel di bidangnya justru akan memunculkan fatwa-fatwa yang kontradiktif dan mengarah kepada bencana dan petaka. “Fatwa-fatwa terkait dunia medis dan kedokteran, harus merujuk kepada para dokter spesialis,” tandas beliau. Pendakwah kelahiran Jeddah Arab Saudi ini mengingatkan bahwa Allah SWT. memerintahkan kita untuk melakukan ikthiar dan usaha, dan melarang siapa saja mengeluarkan fatwa tentang masalah terkait kesehatan, lingkungan atau lainnya kecuali sesudah merujuk kepada para pakar yang menguasai bidang tersebut. “Barang siapa berfatwa dalam hal itu tanpa merujuk kepada pakar dan spesialis di bidang terkait, telah menyalahi perintah Allah,” ujar beliau. Menurut Habib Ali al-Jufri, kaum muslimin sekarang hidup di tengah dua bahaya ekstremisme. Muncul pandangan ekstrem yang memanfaatkan fatwa sebagai alat untuk menguasai dan mengarahkan manusia untuk menebarkan kebencian, permusuhan dan kejahatan. Sebaliknya, ada bentuk ekstremisme lain yang berasal dari ceruk yang sama. Ada kampanye yang mengajak untuk mencerabut fatwa dari akarnya, menganggap fatwa sebagai bentuk dominasi absolut, dan menyatakan bahwa setiap orang secara bebas berhak mengambil apa yang dia sukai. Kenyataan di atas, dalam pandangan Habib yang lebih suka berdakwah di kampus dan forum ilmiah ini, dapat dilihat dalam fatwa-fatwa keagamaan terkait pandemi Covid-19. Ada fenomena ekstremisme yang menolak segala bentuk protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus dan membantah perintah Allah untuk berikhtiar melakukan pencegahan. Pada saat bersamaan, ada bentuk ekstremisme lain yang mengesankan untuk tidak berlebihan dalam urusan ibadah seperti shalat dan jamaah di masjid sementara terjadi banyak kerumunan dengan pelbagai macam bentuknya. “Padahal agama Islam menyuruh bersikap adil dalam bersikap,” terang beliau. (dul)

Read More

5 Kunci Ilmu Tasawuf Syekh Ahmad Zarruq

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu cabang ilmu syariat yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami adalah ilmu tasawuf. Yakni salah satu cabang ilmu yang membahas perihal gerak-gerik hati dari yang tercela hingga yang mulia. Ia menjadi pilar penting dalam memurnikan ibadah seseorang agar terhindar dari beragam sifat-sifat madzmumah (tercela), sehingga menjadi ibadah yang benar-benar murni. Cakupan ilmu tasawuf memang sangat luas. Ia tidak sesederhana aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, melainkan samudera luas sejauh mata memandang. Oleh karenanya, ketika seseorang sedang mempelajari ilmu tasawuf, ia ibarat seorang penyelam, mestilah memiliki ketangkasan dalam menyelam. Atau sebagaimana seorang pelaut, ia harus mengetahui ke mana arah angin berembus. Kendati demikian, luasnya samudera tetap bisa untuk diselami, sebagaimana luasnya tasawuf, pada akhirnya juga memiliki kesimpulan-kesimpulan secara khusus, yang dikenal dengan istilah pokok tasawuf. Berikut ini beberapa pokok dalam ilmu tasawuf menurut al-Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq (wafat 899 H) yang harus dimengerti agar bisa menjadikannya sebagai pedoman dalam hidup. Syekh Ahmad Zarruq dalam kitabnya, al-Fawaid min al-Kinasy mengatakan bahwa ilmu tasawuf memiliki 5 pokok, yaitu dengan cara membenarkan setiap sesuatu yang berkaitan dengan Allah, mulai dari keimanan, Islam, Ihsan, dan persaksian. “Pokok-pokok tasawuf ada lima, yaitu(1) membenarkan iman dengan keyakinan;(2) membenarkan Islam dengan bertakwa;(3) membenarkan ihsan dengan mengosongkan hati dari selain Allah;(4) memantapkan persaksian (kepada Allah sebagai satu-satunya Zat yang wajib disembah); dan(5) menggunakan akhlak dan etika ketika melakukan interaksi dengan makhluk.” Lima tanda-tanda di atas merupakan pokok-pokok dalam ajaran tasawuf. Dengan kata lain, jika seseorang sudah bisa melakukan semuanya, maka ia sudah benar-benar ahli tasawuf. Hanya saja, lima pokok tersebut memiliki tanda masing-masing. Pertama, membenarkan iman dengan yakin. Tanda-tanda seseorang sudah memenuhi pokok yang pertama ini adalah dengan cara memasrahkan semuanya kepada Allah dan ridha atas semua ketentuan-Nya. Semua ini bisa diraih dengan cara menghilangkan sikap mengatur dalam dirinya, dan benar-benar pasrah penuh pada takdir dari-Nya. Kedua, membenarkan Islam dengan takwa. Tanda-tanda seseorang sudah memenuhi pokok yang kedua ini jika sudah mampu untuk istiqamah. Istiqamah bisa diraih dengan cara meninggalkan setiap sesuatu yang tidak berfaedah. Meninggalkan sesuatu yang tidak berfaedah bisa dilakukan dengan cara mengikuti perilaku Rasulullah. Semua itu bisa dibuktikan jika seseorang sudah mampu mengontrol dirinya dengan akhlak yang tercermin dalam Al-Qur’an dan hadis sesuai kemampuannya. Ketiga, membenarkan ihsan dengan mengosongkan hati dari selain Allah. Pokok ketiga ini bisa sah jika seseorang sudah mampu memiliki perasaan selalu diawasi oleh Allah. Dengan perasaan tersebut, ia tidak akan mengerjakan perbuatan yang tidak diridhai oleh Zat yang mengawasinya. Keempat, memantapkan persaksian. Pokok keempat ini bisa ada dalam diri seseorang jika ia sudah benar-benar yakin bahwa yang memiliki peran dalam semua urusannya hanyalah Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Ini bisa dibuktikan jika ia sudah bisa untuk selalu tawakkal, berkhidmat, sabar, dan bersyukur kepada-Nya. Kelima, menggunakan akhlak dan etika ketika melakukan interaksi dengan makhluk, yaitu dengan cara mengangkat derajat mereka, tidak mencelakai, menghilangkan segala penyakit yang bisa mengganggu, menampakkan kebahagiaan, memberikan nasihat semampunya, dan tidak memanfaatkan mereka untuk urusan pribadinya. Dari beberapa penjelasan di atas, terdapat 5 pokok lain yang menjadi poin seseorang untuk bisa melakukan pokok-pokok tasawuf menurut Syekh Ahmad Zarruq. “Intisari dari 5 pokok tersebut juga ada 5, yaitu:(1) menjaga kehormatan;(2) tingginya cita-cita;(3) baik dalam mengabdi kepada Allah;(4) memaksimalkan kewajiban; dan(5) mensyukuri nikmat.” Itulah sekilas penjelasan perihal pokok-pokok dalam ilmu tasawuf menurut Syekh Ahmad Zarruq, yang harus dilakukan oleh setiap orang guna meraih keimanan dan keislaman yang sempurna. (fq)

Read More

Kisah Perjalanan Haji Masa Lampau

Jakarta – 1miliarsantri.net : Berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah merupakan keinginan setia Muslim seluruh penjuru dunia, termasuk umat Islam di Indonesia. Sejak berabad-abad silam hingga kini, jamaah asal Indonesia selalu menempati porsi terbesar di setiap penyelenggaraan haji dan Umrah nya. Tentu saja, menunaikan rukun Islam kelima pada masa kini berbeda dengan masa terdahulu. Saat ini, orang-orang memiliki opsi transportasi yang lebih efisien yakni menggunakan moda angkutan pesawat terbang. Berpuluh-puluh tahun sebelumnya, jalur laut merupakan satu-satunya pilihan yang ada. Seperti hal nya yang pernah dialami KH Abdussamad, seorang jamaah asal Kalimantan Selatan yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1948. Dia menuturkan jamaah haji Indoneasia yang lebih dikenal dengan Nusantara pada zaman dahulu menghadapi pelbagai aral rintangan yang ditemui, baik menjelang keberangkatan maupun dalam perjalanan menuju Tanah Suci. Bahkan, kebanyakan dari jamaah masih saja menjumpai kendala-kendala begitu berada di Tanah Suci. Pelayaran dari Nusantara ke Jazirah Arab sejak abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 Masehi tidak bisa dikatakan aman seluruhnya—atau tidak sebaik masa kini. Durasi perjalanan via laut itu mencapai kira-kira enam bulan. Selama menumpangi kapal laut, jamaah haji mesti menghadapi kenyataan yang tidak semua menyenangkan. “Sering kali kapal berkondisi buruk. Terlebih lagi, masih banyak jamaah haji pada masa itu yang memilih kapal barang (kargo), alih-alih kapal yang memang khusus untuk penumpang. Dalam kapal kargo, jamaah diberi tempat dalam ruang gudang (palka), masing-masing seluas satu hingga satu setengah meter persegi,” ungkapnya. Kiai Abdussamad menambahkan, banyak jamaah hanya mendapatkan ruang seluas 60 x 100 cm persegi. Itu pun masih ada sekira 150 orang jamaah yang tidak dapat tempat di atas kapal. Bayangkan, selama enam bulan pelayaran mereka mesti bertahan di ruangan sesempit itu—atau bahkan tak kebagian tempat sama sekali. Belum lagi urusan tidur, mandi, buang air, dan memasak makanan. Kondisi demikian masih menjadi pemandangan umum hingga era 1950-an. Bukan hanya soal fasilitas, perjalanan pun dirundung bahaya dari luar. Jamaah masih menghadapi potensi kapal karam atau diserang kawanan perompak. Suatu kasus terjadi pada 1893, yakni kapal Samoa yang dikontrak firma Herkloys dan membawa sebanyak 3.600 jamaah haji. Muatan itu jauh melebihi kapasitas kapal. Ketika badai menerjang, porak-porandalah segala barang di atas kapal itu. Korban jiwa mencapai 100 orang. Terdapat naskah yang disimpan keluarga Muhammad Said dari Mindanao, Filipina, memuat teks bertajuk “Alkisah tatkala Tuan Muhammad Said Berlayar dari Negeri Hudaidah.” Di dalamnya, tercatat kesaksian bahwa pada 1803 kapal yang ditumpangi Tuan Muhammad Said dan rombongan asal Mindanao karam ketika sampai di titik antara Hudaidah dan Makkah. Bagaimanapun, jamaah tersebut akhirnya sampai ke Tanah Suci sekira satu bulan berikutnya. Persebaran penyakit menular juga mengkhawatirkan jamaah haji. Wabah yang sering terjadi dan menelan ribuan korban, antara lain, adalah kolera. Pada 1865, sebanyak 15 ribu orang meninggal dunia akibat terjangkit kolera di Hijaz. Epidemi itu lalu dengan cepat menyebar hingga ke negeri-negeri tetangga Arab. Di Mesir, tercatat 60 ribu orang wafat akibat sakit tersebut. Van Dijk (1997) mengutip disertasi dr Abdoel Patah yang bertajuk “Aspek Kesehatan Perjalanan Haji ke Makkah.” Dalam karya ilmiah yang terbit pada 1935 itu, terungkap bahwa selama era 1920-an, ada sekitar 10 persen jamaah haji meninggal di Tanah Suci atau dalam perjalanan. Suaka karantina dibangun pertama kalinya pada 1831 di Pulau Abu Sa’ad, dekat Terusan Suez. Sekitar 50 tahun kemudian, sarana itu ditutup. Penggantinya didirikan di Pulau Kamaran, sebelah selatan Jeddah. Mulai tahun 1903, karantina dikelola bersama oleh Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan tiga negara Eropa Barat, yakni Britania Raya, Prancis, dan Belanda. Kerja sama ini mewujud dalam Internationale Gezondheidsraad yang bermarkas di Iskandariah, Mesir. Usai pelayaran yang melelahkan, jamaah tetap mesti bersabar. Menjejakkan kaki di Jazirah Arab pada masa itu berarti menghadapi beberapa tantangan lainnya. Di antaranya adalah potensi penjarahan dan pemerasan. Pada abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 M, orang-orang Arab Badui umumnya menguasai kawasan gurun pasir antara Jeddah, Makkah dan Madinah. Bahkan, pemerintahan yang sah—baik sultan Turki Utsmaniyah maupun syarif Makkah—setidaknya hingga 1920-an tidak mampu mengamankan area tersebut. Maka, tidak jarang jamaah haji dirintangi kelompok Badui. Karena merasa sebagai pemilik wilayah, para Badui itu meminta semacam pajak atau “uang lewat” kepada jamaah haji yang melintas. Malahan, tidak jarang pula mereka menjarah kafilah-kafilah yang lewat. Jamaah asal Indonesia menjadi incaran favorit karena hampir pasti membawa bekal uang yang lebih banyak daripada yang lain. Pada 1924, RAA Wiranatakusumah mencatat, rombongan hajinya urung ke Madinah karena merasa, perjalanan dari Makkah ke sana terlalu berbahaya. Adapun pemerasan telah menjadi soal yang memusingkan jamaah haji bahkan sejak ratusan tahun sebelum era modern. Pada abad ke-12 M, Ibnu Jubayr mencatat dengan geram bahwa orang Hijaz “menganggap layak” mengeksploitasi semua orang asing, termasuk mereka yang sedang melaksanakan perjalanan haji. “Karena mereka menganggap jamaah sebagai salah satu sumber nafkah utama buat mereka, maka mereka merampas segala hartanya, dan senantiasa mempunyai alasan untuk mengambil segala miliknya (jamaah),” tulis Ibnu Jubayr. Kesaksian mengenai pemerasan diungkapkan baik oleh orang Indonesia sendiri maupun pengamat Belanda. Pelaku tindakan buruk itu adalah orang-orang Arab, baik yang berperan (resmi) sebagai mutaqif maupun pedagang—lebih-lebih Arab Badui. Mereka menganggap rendah jamaah dari negeri-negeri yang jauh, termasuk Indonesia. Jamaah haji dari Nusantara dinamakan, secara maknawi netral, sebagai Jawi, yakni merujuk pulau tempat kebanyakan mereka berasal. Namun, orang-orang Jawi disebut penduduk Arab dengan julukan yang peyoratif pula. Misalnya, farukha (jamak kata farkh, ‘ayam itik’) dan baqar, ‘hewan ternak.’ Demikian dicatat Snouck Hurgronje (1931). Buya Hamka mencatat kesannya: “Setiap jamaah itu (asal Indonesia –Red) tak ubahnya dengan kambing-kambing (di mata penduduk).” Pemerasan yang menimpa mereka menjadikan orang-orang Melayu dan Jawa “di mata orang Arab … adalah ‘sapi perah’”, demikian tulis Abdul Majid. Hurgronje (1931) juga mencatat bagaimana modus orang-orang Arab memeras jamaah haji Indonesia kala itu. Mereka memanfaatkan keluguan atau ketidaktahuan jamaah. Orang-orang yang hendak menunaikan ziarah ke Baitullah itu disuruhnya melakukan macam-macam kunjungan ke tempat-tempat tertentu. “Perjalanan ini mahal dan melelahkan karena di luar agenda haji sesungguhnya. Orang-orang itu ikut saja arahan karena tidak mengetahui rukun-rukun dan sunah-sunah ibadah haji,” tutup Kiai Abdussamad. (fq)

Read More

Tercatat 4 Jamaah Meninggal di Saudi

Medinah – 1miliarsantri.net : Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) merilis dua data terbaru jemaah haji yang meninggal dunia. Keduanya merupakan warga Jawa Timur. Sehingga jumlah jamaah haji Indonesia yang meninggal dunia di Arab Saudi hingga hari Rabu (31/5/2023) tercatat sebanyak 4 orang. “Keduanya yakni Lengen Delem Dussalam, 91 tahun, asal Madura dan Ibnu Sahid bin Dasir, 64 tahun, asal Madiun,” ujar Kepala Seksi Layanan Penghubung Kesehatan Daker Madinah dr Desnita kepada media, Rabu (31/5/2023). Lengen Delem Dussalam merupakan jemaah haji embarkasi Surabaya (SUB-01). Dia tercatat sebagai warga Bangkalan, Madura dan meninggal dunia di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah. Hasil diagnosa menyebutkan almarhum meninggal dunia akibat septic shock, yakni infeksi di dalam tubuh. Sementara itu, Ibnu Sahid bin Dasir meninggal dunia di KKHI Madinah. Berdasarkan hasil diagnosis, ia meninggal karena menderita penyakit jantung. “Penyebabnya sebagian besar karena sakit jantung dan penyakit bawaan diabetes,” ujar Dr Desnita. Sebelumnya, jemaah haji bernama Achmad Suhada Riduwan, 53 tahun, meninggal dunia sesaat setelah tiba di Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA), Madinah, pada Sabtu (27/5). Ia tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 9 embarkasi Surabaya (SUB-09). Pria asal Gresik, Jawa Timur itu sempat mendapatkan perawatan medis di Klinik Bandara. Namun ia mengembuskan nafas terakhir saat dirujuk ke Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS). Jenazah dimakamkan di Pemakaman Baqi, Madinah. Sehari sebelumnya, Suprapto Tarlim Kerto Wijoyo yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 03 embarkasi Solo (SOC-03) meninggal dunia, Rabu (24/5). Suprapto tiba di Bandara Internasional Amir Muhammad Bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah pada pukul 20.40 waktu Arab Saudi. Belum sehari berada di Madinah, Suprapto yang sempat menginap di Hotel Abraj Taba Company, mengembuskan nafas pada pukul 04.00 pagi akibat serangan jantung. (zul)

Read More