Fakta Menyakitkan Bayi Gaza Diberi Minum Air Garam: Kisah Nestapa Orang Tua di Tenda Pengungsian

Gaza – 1miliarsantri.net : Di tengah teriknya musim panas Gaza, di sebuah tenda pengungsian yang hanya diselimuti kain tipis, seorang ayah terpaksa memberikan air bercampur garam kepada bayinya yang baru berusia 10 bulan. Fakta menyakitkan bayi Gaza diberi minum air garam, adalah kisah nestapa di tenda pengungsian. Bukan karena ia tak peduli, melainkan karena itulah satu-satunya “minuman” yang bisa ia berikan ketika susu dan makanan tak lagi terjangkau. Kisah memilukan ini datang dari keluarga Alaa al-Ramlawi, pengungsi dari wilayah utara Gaza yang kini berlindung di Kamp al-Bureij. Di tenda panas yang nyaris tak bisa menahan sengatan matahari, ia tinggal bersama anak-anaknya yang masih kecil. Si bungsu, bayi perempuan, menangis lapar setiap hari. Tapi susu formula yang seharusnya menjadi haknya, hanya bisa dibayangkan. Alaa mengaku dengan nada getir bahwa dirinya tidak mampu membeli susu atau bahkan popok untuk anak-anaknya. Ia mengatakan, ia terpaksa memberi air bercampur garam kepada bayinya agar perutnya tidak kosong. Ia sendiri merasa hancur sebagai seorang ayah, tetapi tidak ada pilihan lain. Kondisi fisiknya pun memperparah keadaan. Kakinya cedera parah dan telah dipasangi plat besi, membuatnya sulit bekerja. Tanpa pekerjaan dan tanpa penghasilan, mustahil baginya untuk membeli kebutuhan anak-anak. Susu formula memang tersedia di pasar Gaza, tetapi dengan harga sekitar 200 shekel per kaleng—jumlah yang sama dengan gaji sebulan penuh buruh harian. Bagi keluarga miskin seperti Alaa, harga itu setara dengan jurang pemisah antara hidup dan mati. Buah Simalakama yang Menyayat Hati Ibu Palestina Istri Alaa mengakui bahwa ia tahu air bercampur garam berbahaya bagi anak-anak, tetapi dengan getir ia bertanya, “Lalu apa yang harus kulakukan? Apakah mereka harus mati?” Baginya, menyodorkan botol berisi cairan asin memang menyakitkan, namun tetap lebih baik daripada melihat mereka kelaparan hingga kehilangan nyawa. “Di dalam hati, aku ingin menangis, hatiku hancur dari dalam, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun,” ucapnya. Anak-anak yang hanya tahu rasa asin Di tenda itu, dua anak lain, Injood (3 tahun) dan Mahmoud (5 tahun), tumbuh dengan rasa asin air garam. Saat ditanya, Injood dengan polos menyebut bahwa ia “minum air garam.” Bagi usianya yang masih belia, itu sudah menjadi kebiasaan, bukan lagi hal aneh. Mahmoud, dengan wajah pucat dan suara lirih, mengaku minum air garam karena lapar. Ia berkata ingin sekali makan roti dari tepung putih, tetapi sudah hampir 20 hari ia tidak menyentuh sepotong pun. Terakhir kali ia makan roti adalah ketika seorang tetangga iba memberikan 2 kilogram tepung. Sejak saat itu, ia hanya bertahan dengan falafel murah, satu porsi dibagi bersama saudara-saudaranya, ditambah air dan garam agar perut tidak sakit. “Anak-anak Gaza kini tidak lagi sekadar kekurangan susu atau popok,” kata pewawancara Al Jazeera dalam laporannya, “tetapi mereka tidak punya makanan sama sekali, kecuali garam yang diyakini bisa menahan perut dari kerusakan.” Ironi di balik blokade Situasi tragis ini terjadi meskipun ada laporan bahwa sebagian barang telah masuk ke Gaza. Namun bagi sekitar 80 persen warga, harga-harga terlalu tinggi untuk dijangkau. Sehingga, masuknya barang-barang itu justru hanya mempertebal luka—seolah ada makanan di pasar, tetapi mustahil untuk dibeli. Alaa sendiri menggambarkan betapa mustahilnya keluar mencari bantuan. Ia pernah mencoba mendekati lokasi distribusi bantuan, tetapi malah menghadapi risiko ditembak. Akhirnya, ia kembali dengan tangan kosong, lalu kembali menyodorkan air bercampur garam kepada anak-anaknya. Nestapa yang terulang di ribuan keluarga Keluarga al-Ramlawi hanyalah satu dari puluhan ribu keluarga Gaza yang terperangkap dalam lingkaran kelaparan dan kemiskinan ekstrem. Cerita mereka bukan satu-satunya, melainkan cermin dari tragedi kolektif. Para orang tua di Gaza kini dipaksa membuat pilihan-pilihan mustahil: apakah membiarkan anak-anak mereka menangis kelaparan, atau memberi mereka air garam demi sekadar bertahan hidup sehari lagi? Di bawah tenda panas yang nyaris meleleh, setiap tetes air asin yang diteguk seorang anak adalah simbol kegagalan dunia untuk melindungi yang paling lemah. Gaza tidak hanya sedang berjuang melawan blokade, tetapi melawan pelan-pelan matinya generasi baru yang hanya mengenal rasa asin air garam, bukan manisnya susu atau lembutnya sepotong roti. Air Asin di Lidah Anak Gaza, Luka di Hati Kemanusiaan Di balik kisah keluarga al-Ramlawi, ribuan keluarga Gaza lainnya tengah menanggung penderitaan serupa. Bayi-bayi yang seharusnya mendapat susu justru dicekoki air garam, sementara para orang tua dipaksa menanggung rasa bersalah karena tak mampu memberi sebotol susu dan sepotong roti. Ini bukan sekadar tragedi Gaza, melainkan cermin kegagalan dunia. Setiap tegukan air asin di bibir anak Gaza adalah tanda bahwa kita memilih diam, sementara generasi kecil perlahan dikorbankan. Penderitaan ini bukan sekadar potret perang, melainkan panggilan moral bagi kita semua. Diam berarti ikut membiarkan mereka binasa dalam kelaparan dan kehausan. Inilah waktunya bagi kita untuk bersuara, mendesak keadilan, dan memberi dukungan nyata bagi rakyat Gaza. Karena masa depan mereka tidak boleh berakhir di tenda-tenda pengungsian, tetapi harus lahir dari keberanian dunia untuk memilih kemanusiaan di atas segalanya. Pertanyaannya adalah: “Sampai kapan kita rela hanya menjadi saksi bisu?” (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Foto : VOA Indonesia Sumber: Kanal YouTube Al Jazeera Mubasher https://youtu.be/Rle0z8HNu6s?si=aWsMLa1jxc8Inhp5

Read More

Persib Bandung Resmi Umumkan Kedatangan Thom Haye Dalam Skuad Maung Bandung

Foto Thom “El Profesor” Haye (Dok. PERSIB BANDUNG) Wilujeng Sumping Thom Haye “El Profesor” Pemain Termahal Di Super League Bandung – 1miliarsantri.net: PERSIB Bandung secara resmi telah memperkenalkan mengumumkan kedatangan gelandang naturalisasi Timnas Indonesia, Thom Haye, sebagai bagian dari skuad Maung Bandung untuk musim 2025/2026. Terlihat dari tampilan laman resmi persib.co.id terpampang foto Thom Haye disertai ucapan “Wilujeng Sumping Thom Haye.” Kedatangan EL Profesor julukan Haye tentu saja menyita perhatian publik tanah air dan jagat sepak bola dunia, dan disebut sebagai pemain dengan bayaran tertinggi di BRI Super League, diperkirakan bayarannya mencapai Rp 750 juta per bulan. Thom Haye bergabung ke Persib Bandung dengan status bebas transfer setelah kontraknya bersama Almere City berakhir pada Juli 2025. Itu artinya Persib tidak perlu mengeluarkan biaya transfer, hanya menanggung nilai kontrak serta gaji pemain yang disebut-sebut menjadi tertinggi di Super League musim ini. Kehadiran El Profesor Strategis Bagi Persib Bandung Bergabungnya El Profesor dinilai sangat strategis – kehadirannya merupakan kolaborasi pengalaman tinggi di Eropa dengan pengabdian di Timnas Indonesia. Kemampuan Haye tentu diharapkan mampu menjadi sosok pengatur tempo di lini tengah Maung Bandung dan memperkuat kapasitas tim dalam menghadapi kompetisi domestik maupun Asia. Lahir dengan nama Thom Jan Marinus Haye lahir di Amsterdam, Belanda, pada 9 Februari 1995. Pemain berpostur tinggi 1,87 m, ia memiliki fleksibilitas sebagai gelandang tengah—bisa berperan sebagai defensive midfielder maupun deep-lying playmaker. “El Profesor” julukan yang disematkan padanya karena kemampuan membaca permainan, visi umpan yang tajam, dan penguasaan ritme permainan yang matang. Karir “KLUB” Thom Haye Thom Haye mengawali karir di Akademi AZ Alkmaar sejak 2006, Haye promosi ke tim utama pada 2012. Debut tim utama pada 2014, kemudian bermain selama empat musim di AZ, mencatatkan puluhan penampilan, gol, dan kontribusi di kompetisi Eropa. Dia kemudian melanjutkan karier di Willem II (2016–2018), mencetak lima gol dalam 65 pertandingan. Kemudian Haye berlabuh di Lecce di Italia (2018–2019), 13 penampilan tanpa gol, lalu kembali ke Belanda memperkuat ADO Den Haag, dipinjam ke NAC Breda, dan akhirnya kembali sebagai pemain tetap di NAC Breda. Karir Profesor makin kinclong saat memperkuat SC Heerenveen (2022–2024), tampil gemilang dengan total 81 penampilan dan tujuh gol. Musim 2024/2025, Haye memperkuat Almere City, sebelum resmi menjadi free agent pada Juli 2025 Karir “INTERNASIONAL” Thom Haye Thom “El Profesor” bersama rekan-rekannya di Timnas Indonesia (Foto: dok PSSI) Thom tercatat pernah memperkuat Belanda di level U-15 hingga U-21, termasuk menjadi juara UEFA European U-17 Championship dua kali (2011, 2012). Tahun 2024 babak baru karir Thom Haye, dia memilih bergabung dengan Timnas Indonesia. Haye memutuskan untuk mewakili Timnas Indonesia melalui status naturalisasi pada awal 2024. Debut manis diawal karir bersama Timnas Merah Putih terjadi pada Maret 2024 pada laga Kualifikasi Piala Dunia, di mana ia menyumbang assist saat Indonesia menang 3–0 atas Vietnam. Gol perdana El Profesor terjadi pada laga Indonesia versus Filipina, Timnas Garuda menang 2-0. Hingga Juni 2025, Haye sudah mengoleksi 14 caps dan 2 gol untuk Garuda.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris

Read More

Ancaman Tarif AS Guncang Pasar, Tapi Raksasa Chip Malah Naik

Surabaya – 1miliarsantri.net: Pasar Asia kembali terguncang setelah mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan ancaman tarif 100 persen terhadap produk impor strategis, termasuk semikonduktor dan farmasi. Kebijakan ini menargetkan khususnya produk dari Tiongkok, dan memunculkan ketidakpastian di pasar global. Namun, reaksi pasar tidak sepenuhnya negatif. Saham raksasa teknologi seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), Samsung Electronics, dan SK Hynix justru melonjak dalam dua hari terakhir. Lonjakan ini terjadi setelah beredar laporan bahwa perusahaan yang memiliki pabrik di Amerika Serikat kemungkinan akan dikecualikan dari tarif tersebut. Investor melihat peluang besar bagi perusahaan yang telah lebih dahulu berinvestasi di manufaktur domestik AS. TSMC saat ini tengah membangun pabrik chip miliaran dolar di Arizona, sementara Samsung dan SK Hynix memperluas fasilitas di Texas. Langkah ini memberi keuntungan strategis karena mereka dapat memenuhi permintaan pasar AS tanpa terhalang tarif tinggi. Proteksionisme vs Realitas Rantai Pasok Global Meski narasi “America First” telah menjadi ciri khas Trump sejak 2016, kenyataannya memutus rantai pasok global bukan perkara mudah. Satu unit chip modern bisa melibatkan desain di AS, fabrikasi di Taiwan atau Korea Selatan, dan perakitan di Malaysia atau Tiongkok. Struktur produksi yang telah melebur dalam ekosistem lintas negara membuat pemisahan total menjadi tantangan besar. Perusahaan semikonduktor Tiongkok seperti SMIC menegaskan bahwa dampak tarif era Trump sebelumnya tidak sedramatis yang diperkirakan. Dukungan permintaan domestik serta program substitusi impor justru memperkuat posisi mereka. Bagi Beijing, tekanan eksternal menjadi pemicu untuk mempercepat kemandirian teknologi dan memperluas kapasitas produksi dalam negeri. Menurut laporan Brookings Institution, relokasi pabrik ke AS memang meningkatkan nilai tambah domestik, tetapi tidak menghapus ketergantungan pada pemasok global, terutama untuk bahan baku dan peralatan produksi. Kebijakan tarif lebih bersifat menggeser lokasi produksi daripada merevolusi rantai pasok. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok secara terbuka menolak langkah tarif tambahan ini, menyebutnya berpotensi merusak stabilitas perdagangan global. Sikap serupa disuarakan oleh negara-negara Asia lain seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang yang ekonominya bergantung pada ekspor elektronik dan komponen teknologi. Dampak Pasar dan Risiko bagi Industri AS Sendiri Ancaman tarif ini langsung terasa di pasar mata uang dan saham. Indeks dolar AS menguat karena investor memburu aset aman, sementara yen Jepang dan won Korea Selatan melemah. Bursa Tokyo dan Seoul mencatat penurunan akibat aksi ambil untung dan kekhawatiran akan volatilitas perdagangan. Namun, proteksionisme tidak serta merta menguntungkan industri chip dalam negeri AS. Produsen seperti Intel dan AMD masih mengandalkan komponen dan teknologi dari luar negeri untuk menjaga efisiensi biaya dan kecepatan inovasi. Jika tarif diberlakukan secara luas, biaya produksi bisa meningkat signifikan. Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperingatkan bahwa kebijakan tarif yang terlalu agresif dapat menghambat proyek infrastruktur teknologi besar, termasuk pengembangan kecerdasan buatan (AI), layanan cloud, dan pusat data. Gangguan pasokan chip dapat memperlambat miliaran dolar investasi yang sedang berjalan di sektor digital. Selain itu, beberapa analis menilai ancaman tarif ini mungkin lebih merupakan strategi negosiasi Trump jika ia kembali berkuasa pada 2025. Taktik serupa digunakan saat renegosiasi NAFTA menjadi USMCA pada 2018, di mana ancaman tarif digunakan untuk mendorong kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi AS. Politik, Ekonomi, dan Masa Depan Industri Teknologi Hingga kini, Gedung Putih belum merilis rincian resmi soal rencana tarif 100 persen ini. Tanpa kejelasan aturan, pelaku industri dan mitra dagang AS harus berspekulasi dan menyiapkan strategi cadangan. Banyak pihak menilai bahwa upaya membatasi perdagangan teknologi lintas negara pada akhirnya akan bertabrakan dengan kebutuhan industri itu sendiri. Teknologi modern lahir dari kolaborasi global, dan memisahkan komponen dalam rantai pasok justru berisiko memperlambat inovasi. Pasar masih menunggu langkah lanjutan Trump dan respon negara-negara yang terdampak. Apakah kebijakan ini akan menjadi awal dari perang dagang babak baru atau hanya bagian dari strategi diplomasi ekonomi, jawabannya akan menentukan arah industri teknologi global dalam beberapa tahun mendatang. Yang jelas, ancaman tarif ini kembali menegaskan bahwa teknologi dan politik tidak bisa dipisahkan di era globalisasi. Di satu sisi, proteksionisme berusaha membangun batas; di sisi lain, realitas industri modern justru menuntut keterhubungan tanpa sekat. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

Kesenjangan Regulasi AI Picu Kekhawatiran Negara Berkembang

Brussels – 1miliarsantri.net: Penerapan resmi Artificial Intelligence Act (AI Act) oleh Uni Eropa mulai 1 Agustus 2024 menandai era baru pengaturan kecerdasan buatan (AI) secara komprehensif. Regulasi ini diberlakukan bertahap selama 6 hingga 36 bulan ke depan, menjadi tonggak penting dalam memastikan penggunaan AI yang aman, transparan, dan menghormati hak asasi manusia. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul kekhawatiran serius bahwa kesenjangan regulasi antara Eropa dan negara-negara berkembang akan membuka celah bagi perusahaan teknologi global untuk memanfaatkan wilayah yang pengawasannya lemah sebagai lokasi eksperimen teknologi baru. AI Act: Standar Ketat Uni Eropa untuk Risiko Tinggi AI Act mengklasifikasikan sistem AI berdasarkan tingkat risiko. Sistem berisiko tinggi, seperti pengenalan wajah, penilaian otomatis dalam perekrutan, dan pemantauan massal, diwajibkan menjalani audit independen, memenuhi standar transparansi teknis, serta menyampaikan laporan berkala. Sementara itu, sistem yang dianggap menimbulkan risiko tak dapat diterima, seperti manipulasi perilaku menggunakan subliminal techniques atau social scoring oleh pemerintah, dilarang total. Tujuan utama AI Act adalah membangun kepercayaan publik terhadap AI sekaligus melindungi hak-hak dasar warga Eropa. Namun, laporan European Digital Rights (EDRi) pada Juli 2025 menyoroti fenomena regulatory arbitrage di mana perusahaan mencari pasar dengan regulasi longgar untuk menguji sistem yang mungkin gagal memenuhi standar ketat Eropa. Menurut EDRi, kondisi ini berpotensi menciptakan ekosistem global yang timpang, di mana masyarakat di negara dengan regulasi lemah menjadi “kelinci percobaan” teknologi berisiko tanpa perlindungan memadai. Negara Berkembang di Persimpangan Risiko dan Kebutuhan Organisasi pemantau hak digital seperti Access Now dan AlgorithmWatch menilai, tren penerapan AI di negara berkembang semakin mengkhawatirkan. Wilayah dengan perlindungan data rendah dan akses hukum terbatas menjadi target implementasi sistem AI skala besar, seperti pengenalan wajah di ruang publik atau penilaian otomatis untuk distribusi bantuan sosial. Masalah utamanya adalah mekanisme koreksi hampir tidak ada ketika sistem melakukan kesalahan, sehingga hak-hak warga terancam. Meski UNESCO telah merilis rekomendasi etika global AI sejak 2021, adopsinya masih minim. Data Global Partnership on Artificial Intelligence (GPAI) menunjukkan, hanya 12% negara di Afrika dan Asia Selatan yang telah memiliki kerangka hukum AI yang berjalan efektif hingga pertengahan 2025. Ketiadaan regulasi ini memperbesar ketimpangan digital dan membuka peluang terjadinya diskriminasi algoritmik. Laporan tahunan Center for AI and Digital Policy (CAIDP) pada 2025 menyebut, lebih dari 60% negara belum memiliki kebijakan AI yang mengikat secara hukum. Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara disebut sebagai dua wilayah paling rentan karena ketergantungan tinggi pada platform asing dan lemahnya infrastruktur hukum. CAIDP juga mencatat, dalam dua tahun terakhir terdapat sekitar 30 proyek uji coba AI oleh korporasi multinasional di luar yurisdiksi utama mereka, banyak di antaranya tanpa pengawasan publik. Proyek ini mencakup analisis emosi di aplikasi pendidikan, penyortiran dokumen pemerintah secara otomatis, hingga pengenalan wajah di perkotaan. Tantangan Global: Dari Etika hingga Geopolitik Laporan Global AI Index 2025 dari Tortoise Media mengungkap hanya 10 negara yang memiliki kombinasi kuat antara inovasi AI, infrastruktur, dan tata kelola hukum. Negara dengan skor rendah pada indikator governance cenderung memiliki celah hukum yang mudah dimanfaatkan oleh aktor teknologi internasional. Organisasi Digital Freedom Forum menyoroti bahwa sebagian besar negara berkembang belum memiliki mekanisme ganti rugi hukum ketika AI menyebabkan kerugian atau diskriminasi. Bahkan, sering kali data pribadi warga digunakan untuk melatih model AI tanpa persetujuan sah, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip keadilan data internasional. Meski belum ada skandal besar yang mencuat, para analis memperingatkan bahwa penundaan regulasi hanya akan memperbesar risiko di masa depan. Dalam konteks ini, AI bukan sekadar isu teknologi, melainkan juga persoalan geopolitik dan ekonomi global. Ke depan, AI Act Uni Eropa diprediksi akan menjadi tolok ukur global. Namun, keberhasilan standar ini untuk menciptakan dampak positif yang merata sangat bergantung pada kerja sama lintas kawasan. Tanpa harmonisasi regulasi, AI justru berpotensi memperdalam ketimpangan global dalam hal kontrol, akuntabilitas, dan keadilan algoritmik. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto By AI

Read More

Mesir Teken Kontrak Impor Gas dari Israel

Kairo – 1miliarsantri.net : Pemerintah Mesir secara resmi menandatangani kontrak impor gas alam dari Israel senilai lebih dari 35 miliar dolar AS (sekitar Rp570 triliun). Kesepakatan ini akan berlaku selama dua dekade, dengan pasokan gas pertama dijadwalkan pada 2026. Gas akan disalurkan dari ladang Leviathan di Laut Mediterania menuju terminal pengolahan di Mesir melalui pipa bawah laut. Kesepakatan ini melibatkan perusahaan energi besar seperti NewMed Energy, Chevron, dan Israel Natural Gas Lines. Kontrak baru memungkinkan ekspor gas dari ladang Leviathan naik dari 4,5 miliar meter kubik per tahun menjadi hampir 12 miliar meter kubik pada 2029. Selama masa berlaku hingga 2040, total volume pasokan akan mencapai 130 miliar meter kubik. Mesir, yang beberapa tahun lalu masih menjadi eksportir gas, kini beralih menjadi importir akibat menurunnya produksi di ladang Zohr dan meningkatnya konsumsi domestik. Gas impor dari Israel akan diolah menjadi LNG (liquefied natural gas) di terminal Mesir, kemudian diekspor kembali terutama ke pasar Eropa. Langkah ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan posisi Mesir sebagai pusat distribusi energi di kawasan Mediterania Timur. Namun, pengumuman kontrak ini terjadi di tengah konflik sengit Israel–Palestina di Gaza, yang membuat hubungan politik kedua negara memanas. Pemerintah Mesir sebelumnya secara terbuka mengutuk serangan Israel dan berperan sebagai mediator perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Kontras antara retorika politik dan kebijakan energi ini memicu kritik, baik di dalam negeri maupun di komunitas internasional. Menteri Energi Israel, Eli Cohen, menyebut kontrak ini sebagai “yang terbesar dalam sejarah Israel” dan menganggapnya sebagai bukti keberhasilan diplomasi energi pasca Abraham Accords 2020. Bagi Mesir, kesepakatan ini dipandang lebih hemat biaya dibanding impor LNG langsung dari pasar global, mengingat negara itu sempat membeli hingga 160 kargo LNG pada awal 2025 untuk memenuhi kebutuhan energi. Krisis Energi dan Tekanan Geopolitik Perubahan posisi Mesir dari eksportir menjadi importir gas tidak lepas dari tantangan serius dalam sektor energi. Penurunan produksi domestik, lonjakan konsumsi, serta fluktuasi harga energi global mendorong Mesir mencari sumber pasokan yang lebih stabil dan ekonomis. Krisis pasokan semakin parah saat perang Israel–Iran meletus pada Juni 2025, menyebabkan penghentian sementara ekspor gas dari ladang Leviathan dan Karish. Selama periode tersebut, Mesir terpaksa beralih ke bahan bakar alternatif seperti solar dan LNG, yang biayanya lebih tinggi dan berdampak buruk terhadap lingkungan. Kondisi ini membuat Mesir semakin rentan terhadap gangguan pasokan energi. Setiap gejolak politik atau ketegangan keamanan di kawasan berpotensi mengganggu kelancaran suplai dan menekan perekonomian domestik. Penurunan pendapatan dari Terusan Suez, yang menjadi salah satu sumber devisa utama negara, turut memperburuk situasi. Sejumlah pengamat internasional memandang kesepakatan gas dengan Israel sebagai kompromi antara kebutuhan pragmatis dan tekanan politik. Mesir menghadapi pilihan sulit: mengamankan pasokan energi demi stabilitas ekonomi atau mempertahankan konsistensi sikap politik terhadap Israel. Dilema Moral dan Citra Diplomasi Mesir Reaksi publik Mesir terhadap kesepakatan ini cukup keras. Demonstrasi pro-Palestina merebak di berbagai kota, menuntut pemerintah mengambil langkah tegas terhadap Israel. Banyak warga menilai kontrak gas ini bertentangan dengan sikap resmi Mesir yang mengecam operasi militer Israel di Gaza. Bagi Mesir, tantangan utamanya adalah mempertahankan citra sebagai pendukung Palestina sekaligus mitra strategis dalam diplomasi Timur Tengah. Sebagai salah satu mediator utama konflik Gaza, Mesir selama ini memainkan peran penting dalam memfasilitasi perundingan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan. Namun, hubungan energi yang semakin erat dengan Israel berisiko mengikis kepercayaan publik dan kredibilitas diplomatiknya. Sejak 2020, Israel telah memasok sekitar 23,5 miliar meter kubik gas ke Mesir di bawah perjanjian awal senilai 60 miliar meter kubik. Kontrak baru ini memperluas hubungan tersebut, sekaligus memperkuat ketergantungan Mesir pada pasokan gas Israel. Pertanyaan yang kini muncul adalah apakah Mesir akan mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan prinsip politik? Ataukah tekanan kebutuhan energi akan memaksa Kairo terus memilih jalur pragmatis, meski mengorbankan sebagian kredibilitas di mata dunia Arab? Bagi pemerintah Mesir, kesepakatan senilai 35 miliar dolar AS ini adalah upaya untuk mengamankan pasokan energi jangka panjang, menghindari lonjakan biaya impor, dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah situasi global yang tidak menentu. Namun, konsekuensi politiknya dapat menjadi beban diplomatik yang panjang, terutama jika konflik Gaza terus berlanjut dan opini publik domestik semakin vokal. Pada akhirnya, kebijakan ini mencerminkan dilema klasik banyak negara di kawasan: bagaimana menyeimbangkan kepentingan nasional dalam bidang energi dan ekonomi dengan komitmen moral serta posisi politik di panggung internasional. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

PSC China Masuk Tanpa Perang Tapi Tinggalkan Jejak Diplomasi

Surabaya – 1miliarsantri.net : China semakin mengandalkan perusahaan keamanan swasta atau Private Security Companies (PSC) untuk melindungi proyek investasi luar negeri, terutama di negara-negara mitra Belt and Road Initiative (BRI). Langkah ini dianggap sebagai strategi diplomasi praktis yang menggantikan kehadiran militer formal, sekaligus memperkuat pengaruh politik Beijing di wilayah target. Berbeda dengan negara-negara Barat yang sering menggunakan perusahaan militer swasta (PMC) dengan struktur bersenjata penuh, PSC asal China biasanya beroperasi sebagai pelindung non-tempur. Mereka tidak dibekali senjata berat dan tidak terlibat langsung dalam konflik bersenjata. Fokus mereka adalah menciptakan stabilitas di sekitar proyek infrastruktur China, seperti pelabuhan, jalur kereta, tambang, hingga kawasan industri strategis. Menurut laporan World Economic Forum, China memiliki lebih dari 5.000 perusahaan keamanan domestik. Namun, hanya sebagian kecil yang mendapat izin beroperasi di luar negeri. Diperkirakan sekitar 20 PSC aktif secara internasional dengan total personel 3.000–4.000 orang, tersebar di Pakistan, Irak, Sudan, Myanmar, dan negara lain. Keberadaan PSC di luar negeri adalah respons terhadap meningkatnya risiko keamanan proyek BRI. Namun, di balik fungsi pengamanan, PSC juga menjadi alat diplomasi informal. Dengan menghindari pengerahan militer resmi, Beijing berupaya mempertahankan citra sebagai kekuatan ekonomi yang tidak melakukan intervensi militer terbuka di negara lain. Contoh yang menonjol adalah di Myanmar, di mana Geopolitical Monitor melaporkan kerja sama antara pemerintah junta dan perusahaan-perusahaan China membentuk entitas keamanan gabungan. Tujuannya adalah melindungi proyek strategis di sepanjang China-Myanmar Economic Corridor (CMEC). Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas China dalam menyesuaikan diri dengan struktur kekuasaan lokal tanpa melibatkan kekuatan militer formal. Dalam esai Deep Blue Diplomacy: Soft Power and China’s Antipiracy Operations, Erickson menyebut penggunaan PSC sebagai bentuk “diplomasi tanpa bendera”. Menurutnya, pengerahan militer dapat memicu resistensi internasional, sementara PSC memberi fleksibilitas, meminimalkan konflik terbuka, dan tetap mempertahankan kehadiran negara di lapangan. Tantangan, Kritik, dan Prospek ke Depan Selain sebagai pelindung proyek, PSC berperan membangun kepercayaan dengan pemerintah lokal. Strateginya mencakup perekrutan tenaga kerja lokal, penggunaan bahasa dan hukum setempat, serta beroperasi sesuai struktur sosial yang ada. Hal ini membuat PSC lebih mudah diterima masyarakat dibanding kehadiran militer asing. Namun, pendekatan ini tidak bebas risiko. Dalam konteks hukum internasional, status PSC sering kali tidak jelas, sehingga rawan penyalahgunaan wewenang. Beberapa negara mitra mulai meninjau ulang legalitas PSC asal China setelah muncul laporan gesekan antara warga lokal dan petugas keamanan asing di proyek BRI. Di Asia Tengah, masyarakat sipil menilai kehadiran PSC menambah tekanan terhadap komunitas lokal. Di Pakistan, PSC China pernah memicu ketegangan setelah dianggap mengambil alih peran aparat keamanan nasional. Insiden keamanan di sejumlah proyek juga memunculkan kekhawatiran tentang transparansi operasi mereka. China menggunakan PSC sebagai instrumen diplomasi yang efektif, sebuah bentuk kehadiran negara yang “tanpa seragam” dan “tanpa bendera”. Dengan status komersial, PSC menjaga aset luar negeri tanpa stigma intervensi militer. Strategi ini memungkinkan Beijing mempertahankan pengaruhnya sambil menghindari respons negatif di negara-negara dengan sejarah traumatis terhadap militer asing. Hingga kini, belum ada laporan resmi keberadaan PSC China di Indonesia. Namun, dengan proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang melibatkan investasi China, muncul dugaan bahwa pendekatan serupa dapat digunakan, terutama jika risiko keamanan meningkat. Selain fungsi keamanan, kehadiran PSC memiliki makna simbolis: mereka menjadi jembatan kepercayaan antara Beijing dan negara tujuan, tanpa memerlukan nota diplomatik formal. Beberapa analis hubungan internasional melihat PSC sebagai “sinyal diam” dari keseriusan China menjaga stabilitas dan investasinya. Ke depan, China tampaknya akan terus mengembangkan model diplomasi berbasis PSC sebagai bagian dari soft power. Strategi ini terbukti fleksibel dan relatif diterima di banyak negara. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kemampuan PSC beradaptasi dengan hukum, budaya, dan sensitivitas politik lokal. Jika gagal, bukan hanya proyek BRI yang terancam, tetapi juga citra diplomasi damai yang ingin dibangun Beijing. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

Warga Suriah Berebutan Mencari Emas di Sungai Eufrat

Damaskus – 1miliarsantri.net: Fenomena ratusan warga Suriah menyerbu Sungai Eufrat untuk mencari emas menjadi sorotan internasional. Aktivitas ini terjadi di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang membuat banyak orang terpaksa mencari cara-cara ekstrem demi bertahan hidup. Menurut laporan Al-Arabiya yang dikutip SindoNews, ratusan warga datang ke wilayah timur Suriah seperti Deir ez-Zor, membawa sekop, cangkul, dan ember. Mereka menggali lumpur di dasar sungai yang mengering akibat penurunan debit air dalam beberapa bulan terakhir. Rumor yang menyebar di kalangan warga menyebutkan bahwa dasar Sungai Eufrat menyimpan endapan emas yang baru terlihat setelah air surut. Meski belum ada bukti kuat, rumor ini sudah cukup menjadi pemicu. Bagi banyak warga, peluang sekecil apa pun layak dicoba di tengah kesulitan ekonomi yang mencekik. Seorang warga mengaku bukan sepenuhnya percaya pada mitos emas itu. “Kami tidak punya pekerjaan. Harga makanan terus naik. Kalau ada kemungkinan menemukan sesuatu di sungai, tentu kami akan mencobanya,” ujarnya. Sejak konflik bersenjata pecah pada 2011, perekonomian Suriah hancur. World Food Programme (WFP) mencatat, pada 2024 lebih dari 12 juta warga Suriah mengalami ketidakamanan pangan akut. Inflasi melonjak, mata uang terdepresiasi, dan bantuan internasional berkurang karena perubahan fokus donor global. International Rescue Committee (IRC) dalam laporan tahunan menempatkan Suriah sebagai salah satu negara dengan sistem perlindungan sosial paling rapuh. Sebagian besar infrastruktur ekonomi rusak, dan sektor swasta belum pulih. Akibatnya, banyak warga bergantung pada cara-cara informal untuk bertahan hidup—termasuk mencari logam mulia di dasar sungai. Selain krisis ekonomi, surutnya air Sungai Eufrat sendiri merupakan masalah besar. Penurunan debit terjadi karena kemarau panjang, perubahan iklim, serta pembangunan bendungan di hulu sungai oleh Turki dan Irak. Dampaknya dirasakan jutaan warga di Suriah dan Irak, mulai dari pasokan air minum, pertanian, hingga perikanan. Antara Harapan, Risiko, dan Ketidakpastian Pemerintah Suriah sejauh ini belum memberikan tanggapan resmi terkait aktivitas pencarian emas tersebut. Tidak ada kejelasan apakah kegiatan ini akan diatur, dilarang, atau dibiarkan. Sejumlah pengamat menilai hal ini sebagai tanda lemahnya kapasitas negara dalam mengelola sumber daya dan melindungi kesejahteraan rakyatnya pascakonflik. Fenomena ini juga menimbulkan spekulasi bernuansa religi. Beberapa pengguna media sosial mengaitkannya dengan hadis yang menyebutkan bahwa Sungai Eufrat akan mengering dan menampakkan “gunung emas” sebagai tanda akhir zaman. Meski begitu, banyak ulama dan akademisi mengingatkan agar masyarakat tidak menjadikan tafsir keagamaan sebagai dasar untuk tindakan spekulatif, terlebih di tengah situasi sosial yang rapuh. Analis Timur Tengah Charles Lister dari Middle East Institute menegaskan bahwa fenomena ini lebih mencerminkan krisis ekonomi struktural dibanding sekadar keyakinan religius. “Orang tidak mencari emas karena iman atau mitos, tetapi karena kelaparan,” tulisnya. Sementara itu, ekonom Suriah Jihad Yazigi yang berbasis di Lebanon mengatakan bahwa lapangan kerja formal hampir tidak ada di Suriah saat ini. “Ketika negara tidak mampu memberikan pekerjaan atau subsidi, masyarakat akan mencari cara apa pun untuk bertahan hidup, termasuk mengejar rumor tentang emas,” jelasnya kepada The National. Fenomena ini pun memunculkan potensi masalah baru. Ada laporan tentang kelompok bersenjata lokal yang mulai memungut “biaya masuk” dari warga yang ingin menggali di area tertentu. Ini menambah risiko konflik horizontal di antara warga yang berebut lokasi pencarian, sekaligus memperbesar bahaya kesehatan karena bekerja di lingkungan berlumpur tanpa perlindungan memadai. Jika aktivitas ini terus dibiarkan tanpa regulasi, masalah hukum dan sosial bisa muncul dalam waktu dekat. Belum ada kepastian apakah emas benar-benar ditemukan, atau sekadar ilusi yang dikuatkan oleh harapan dan keterdesakan ekonomi. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada data resmi tentang jumlah warga yang terlibat atau hasil pencarian mereka. Namun satu hal yang jelas: apa yang terjadi di Sungai Eufrat adalah cermin nyata dari penderitaan rakyat Suriah, tentang hilangnya lapangan kerja, harga yang terus melambung, dan negara yang gagal hadir. Di tengah keterdesakan itu, harapan mereka kini tergantung pada dasar sungai yang mengering, entah untuk menemukan emas atau sekadar secercah harapan untuk bertahan hidup. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

Tarif AS 19% Bebani Ekspor RI, Buka Peluang Baru

Jakarta – 1miliarsantri.net : Mulai 7 Agustus 2025, Amerika Serikat resmi menerapkan tarif resiprokal 19 % atas produk asal Indonesia, menurunkan tarif sebelumnya dari 32 % berkat negosiasi diplomatik intensif, yang mana kebijakan tarif ini merupakan kelanjutan dari pola pola proteksionis Donald Trump sejak periode pertamanya pada 2018 lalu. Ekspor RI Tertekan, Peluang Terjaga Beberapa sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik diprediksi mengalami penurunan volume ekspor karena melemahnya daya saing harga. Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini, tarif tinggi akan langsung menekan volume ekspor RI, terutama di sektor tekstil, alas kaki, furnitur, elektronik, hingga produk pertanian seperti kelapa sawit dan karet. Studi DPR memperkirakan bahwa kenaikan 1 % tarif dapat menurunkan ekspor hingga 0,8 %, berisiko menyebabkan PHK di sektor padat karya dengan risiko PHK mencapai 191.000 pekerja di sektor tekstil dan 28.000 tenaga kerja di sektor kelapa sawit. Namun, dibandingkan tarif negara ASEAN seperti Thailand (36 %) dan Malaysia (25 %), tarif RI tetap lebih kompetitif dan harga RI juga lebih rendah dari pesaing seperti Vietnam atau Kamboja menjadikan alasan AS masih memilih produk kita. Tarif ini dapat menjadi pemicu inflasi di AS. Proyeksi Bloomberg Economics menunjukkan bahwa tarif 10-41 % secara umum bisa menggerus pertumbuhan AS hingga 1,8 % dan menaikkan inflasi inti sebesar 1,1 % dalam 2-3 tahun ke depan. Meski demikian, menurut Kontan, efek terhadap inflasi domestik AS diperkirakan minimal, tetapi tetap membutuhkan kewaspadaan agar tidak dimanfaatkan sebagai justifikasi inflasi lebih lanjut. Tarif ini bukan tanpa konsekuensi domestik. Studi menunjukkan bahwa kenaikan tarif AS secara umum memicu inflasi dan mengganggu stabilitas harga ritel mereka. Bahkan, kebijakan proteksionis ini bisa mendorong konsumen AS mengambil langkah penghematan, menunda pembelian impor, serta mengurangi konsumsi barang ekspor RI. Ekonom UGM, Muhammad Edhie Purnawan, menyatakan: “Tarif ini memang mengancam ekspor, tetapi juga membuka peluang: pangsa pasar RI kemungkinan tetap hinggap AS karena tarif kita lebih rendah daripada pesaing utama.” ujarnya Indonesia perlu merespons dengan diplomasi ekonomi, diversifikasi pasar, serta memperkuat iklim investasi dan kebijakan domestik. Lebih lanjut, DPR mencatat bahwa kebijakan ini menjadi pemicu penting bagi percepatan diversifikasi pasar hingga menuju UE, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Sementara itu, Kemenkeu menyebut risiko tekanan ekonomi bisa menurunkan pertumbuhan nasional 0,3–0,5 poin persentase. Dalam wawancara Tempo, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, memberikan sudut pandang kritis: “Teori tarif Trump tak ada di buku ekonomi” yang mana mengindikasikan bahwa efek kebijakan ini sering kali tidak sesuai harapan: ekspor mungkin tetap bertahan jika kualitas dan hubungan perdagangan RI solid. Hasil Negosiasi Positif, Aliran Modal Terjaga, dan Risiko Ganda di Dalam Negeri RI Gubernur BI Perry Warjiyo menyambut baik hasil negosiasi yang menurunkan tarif ke 19 %, menganggapnya sebagai “positif” untuk prospek ekspor dan stabilitas ekonomi. BI akan terus mendalami dampak kebijakan ini terhadap pertumbuhan, neraca perdagangan, dan pasar keuangan.  Menurut analis di Jawapos, kesepakatan tarif 19 % diimbangi dengan tarif 0 % bagi ekspor AS ke RI, yang memungkinkan banjir produk impor, tekanan neraca pembayaran, dan pelemahan rupiah. Khawatir terjadi inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. Jawa Pos juga menekankan bahwa ketimpangan struktural (tarif balance) bisa membuat sektor domestik RI rawan digerus kompetisi, jika tidak didukung proteksi dan reformasi industri yang matang. Ringkasan Inti Aspek Dampak bagi Indonesia & AS Ekspor RI ke AS Tekanan harga dan volume, tapi tarifnya relatif kompetitif di ASEAN pada sektor padat karya Inflasi di AS Potensi meningkat, tapi proyeksi dampak minor secara jangka pendek  Sektor Industri RI Ancaman PHK dan penurunan produksi jika ekspor menurun Aspek Ekonomi RI Negosiasi dianggap positif; BI optimis ekspor dan aliran modal tetap stabil Risiko Domestik RI Produk impor AS tanpa tarif bisa mengikis pasar lokal dan memperlemah rupiah Risiko Makro Ekonomi Pertumbuhan domestic melemah; perlu proteksi industri dan dukungan UMKM Strategi RI Diversifikasi pasar, diplomasi ekonomi agresif, adaptasi kebijakan Tarif 19 % bukan hanya “tampang baru” dari proteksionisme Trump, tarif ini adalah persimpangan ekonomi bagi Indonesia. Di satu sisi, tekanan turun. Di sisi lain, peluang adaptasi dan diplomasi global terbuka lebih lebar. Strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing adalah kunci agar Indonesia tidak sekadar bertahan, tetapi bergerak maju.  Tarif 19 % adalah hasil diplomasi yang membuka ruang bagi eksistensi ekspor RI tetapi bukan tanpa risiko. Inflasi di AS bisa naik, tetapi kemungkinannya terbatas. Bagi Indonesia, tantangan utamanya ada di menjaga daya saing domestik sambil memperluas pasar dan memperkuat struktur industri. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

Ekonomi Hijau dan UMKM: Sinergi Baru untuk Pembangunan Berkelanjutan

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau semakin menjadi fokus utama di berbagai sektor. Di sisi lain, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, menghadapi tantangan sekaligus peluang baru untuk bertransformasi. Sinergi antara prinsip ekonomi hijau dan potensi UMKM bukan hanya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tetapi juga mendorong terciptanya model bisnis yang lebih ramah lingkungan, efisien, dan berdaya saing global. Isu ekonomi hijau semakin menjadi fokus utama dalam perencanaan pembangunan nasional. Indonesia yang tengah menghadapi tantangan perubahan iklim dan transisi energi, melihat ini sebagai peluang besar. Pemerintah Indonesia bersama berbagai pemangku kepentingan mendorong langkah konkret agar UMKM tidak tertinggal dalam arus transformasi ini. Mulai dari akses pembiayaan hijau, pelatihan teknologi ramah lingkungan, hingga integrasi dalam rantai pasok industri hijau menjadi strategi yang tengah dijalankan. UMKM sebagai Tulang Punggung Ekonomi Nasional UMKM selama ini dikenal sebagai pilar utama ekonomi Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan lebih dari 65 juta unit UMKM tersebar di seluruh nusantara dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga tidak kecil, mencapai lebih dari 60%. Namun, di tengah dominasi besar tersebut, UMKM menghadapi tantangan serius: keterbatasan akses teknologi, modal, dan pasar. Di sisi lain, tuntutan global untuk menerapkan prinsip ramah lingkungan semakin kuat. Pasar internasional, terutama Eropa dan Amerika, mulai menerapkan standar keberlanjutan yang ketat. Produk tanpa jejak karbon rendah atau tanpa praktik ramah lingkungan perlahan terpinggirkan. Dalam konteks inilah, transformasi ekonomi hijau menjadi kebutuhan mendesak. UMKM tidak bisa lagi sekadar memproduksi dengan cara lama. Mereka harus menyesuaikan diri agar tetap kompetitif dan bisa masuk dalam rantai pasok global. Langkah awal yang kini banyak dilakukan adalah edukasi dan literasi mengenai pentingnya produksi berkelanjutan. Misalnya, UMKM di sektor fesyen mulai beralih menggunakan bahan ramah lingkungan, seperti serat bambu atau kain daur ulang. UMKM makanan dan minuman juga mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, beralih ke kemasan biodegradable, dan menerapkan sistem produksi hemat energi. Dukungan Pemerintah dalam Akselerasi Ekonomi Hijau Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi perubahan besar ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa kali menegaskan pentingnya transisi hijau dalam pembangunan ekonomi nasional. Berbagai instrumen kebijakan keuangan diarahkan untuk mendukung pembiayaan hijau, termasuk bagi UMKM. Salah satu program yang digencarkan adalah green financing, di mana lembaga keuangan diberikan stimulus untuk menyalurkan kredit kepada pelaku usaha yang mengembangkan produk dan layanan ramah lingkungan. Misalnya, UMKM yang beralih menggunakan energi terbarukan, mendaur ulang limbah, atau menciptakan produk rendah emisi karbon bisa mendapatkan insentif khusus. Selain itu, pemerintah juga menjalin kerja sama dengan lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB), untuk memperluas dukungan pendanaan transisi hijau. Program pendampingan teknis juga disiapkan agar UMKM tidak hanya mendapatkan modal, tetapi juga pengetahuan dalam mengembangkan produk hijau yang berstandar global. Tak hanya soal pendanaan, dukungan regulasi juga menjadi hal penting. Pemerintah mendorong perizinan yang lebih cepat bagi UMKM hijau, memberikan insentif pajak, dan membuka jalur ekspor lebih mudah bagi produk ramah lingkungan. Contoh nyata dukungan ini dapat dilihat dari inisiatif pemerintah daerah yang mulai mengintegrasikan konsep hijau dalam program pengembangan UMKM lokal. Beberapa kota, seperti Surabaya dan Bandung, kini aktif mendorong UMKM kreatif yang berbasis daur ulang, energi terbarukan, dan produk ramah lingkungan untuk masuk ke pasar digital dan internasional. Sinergi Hijau: Membangun UMKM Tangguh dan Berkelanjutan Integrasi UMKM dengan konsep ekonomi hijau bukan sekadar tuntutan global, tetapi juga peluang besar bagi ketahanan ekonomi nasional. UMKM yang bertransformasi ke arah ekonomi hijau diyakini akan lebih tangguh menghadapi krisis. Mereka tidak hanya mengandalkan pasar domestik, tetapi juga bisa menembus pasar ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi. Sebagai contoh, produk fesyen ramah lingkungan dari Bali, kini mampu menembus pasar Eropa karena memenuhi standar keberlanjutan. Begitu pula produk kopi organik dari Jawa Barat yang mendapatkan harga premium di pasar global karena diproduksi dengan sistem ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain itu, konsep ekonomi hijau juga membantu UMKM mengurangi biaya produksi dalam jangka panjang. Dengan efisiensi energi, pengelolaan limbah yang baik, serta penggunaan bahan baku lokal yang berkelanjutan, UMKM bisa menekan biaya operasional. Hal ini membuat usaha mereka lebih efisien sekaligus ramah lingkungan. Namun, tantangan tetap ada. Banyak UMKM yang masih melihat transformasi hijau sebagai beban tambahan. Biaya awal untuk investasi teknologi hijau dianggap terlalu mahal, sementara literasi mengenai keberlanjutan masih rendah. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, dan masyarakat menjadi kunci utama. Keterlibatan generasi muda juga menjadi faktor penting. Kaum milenial dan Gen Z yang kini mendominasi pasar konsumen semakin sadar akan pentingnya produk ramah lingkungan. Mereka cenderung lebih memilih produk hijau meskipun dengan harga sedikit lebih tinggi. Tren ini memberikan peluang besar bagi UMKM untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar. Ke depan, jika transformasi ini berhasil, UMKM Indonesia bukan hanya menjadi motor ekonomi nasional, tetapi juga aktor penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dengan begitu, cita-cita Indonesia menuju net zero emission 2060 tidak sekadar wacana, melainkan bisa terwujud melalui langkah-langkah nyata di tingkat akar rumput. (***) Penulis: Glancy Verona Editor : Toto Budiman Foto by AI

Read More

Pulau Galang Jadi Fasilitas Medis Korban Gaza

Batam – 1miliarsantri.net : Pemerintah Indonesia resmi menyiapkan Pulau Galang, Kepulauan Riau, sebagai fasilitas medis sementara untuk menampung dan merawat hingga 2.000 warga Gaza yang mengalami luka akibat konflik bersenjata berkepanjangan di Palestina. Langkah ini diumumkan langsung oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI dan mendapat dukungan penuh dari sejumlah kementerian teknis terkait. Program ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam menjalankan mandat konstitusi untuk berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia, sekaligus memberikan bantuan nyata kepada korban krisis kemanusiaan. Pulau Galang bukanlah nama baru dalam sejarah penanganan pengungsi internasional. Pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an, pulau ini pernah menjadi pusat penampungan ribuan pengungsi Vietnam yang dikenal sebagai “boat people”, di bawah pengelolaan bersama pemerintah Indonesia dan UNHCR. Kini, dalam konteks yang berbeda, Galang kembali muncul sebagai simbol solidaritas dan empati lintas negara. Rencana Pemerintah: Rehabilitasi dan Fasilitas Medis Darurat Rencana besar pemerintah meliputi rehabilitasi bangunan lama bekas kamp pengungsi yang masih berdiri hingga kini, serta pembangunan fasilitas kesehatan darurat yang modern. Nantinya akan disiapkan rumah sakit lapangan lengkap dengan ruang operasi, peralatan medis canggih, tenaga kesehatan gabungan, dan dukungan logistik. Juru Bicara Kemenlu RI, Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan bahwa misi ini sepenuhnya bersifat kemanusiaan tanpa agenda politik tersembunyi. “Kita menjalankan misi kemanusiaan sesuai mandat konstitusi dan prinsip perdamaian. Tidak ada agenda politik dalam program ini,” ujarnya. Koordinasi sedang dilakukan secara intensif dengan otoritas kesehatan Palestina, UNRWA, serta sejumlah organisasi kemanusiaan internasional untuk memastikan proses pemindahan pasien terluka dapat dilakukan dengan aman dan terencana. Hingga kini, pemerintah belum mengumumkan tanggal pasti kedatangan gelombang pertama korban luka Gaza ke Indonesia. Sorotan Publik dan Tantangan Teknis di Lapangan Walaupun banyak pihak memuji langkah ini sebagai bentuk dukungan nyata Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina, rencana tersebut juga memunculkan sorotan dan kritik publik. Di media sosial, muncul pertanyaan seputar kesiapan Pulau Galang dalam menangani ribuan pasien dengan kebutuhan medis kompleks. Isu yang banyak dibicarakan mencakup aspek keamanan, sanitasi, serta ketersediaan logistik di wilayah yang relatif terpencil tersebut. Kekhawatiran lain adalah munculnya persepsi keliru bahwa Indonesia akan membuka ruang relokasi permanen bagi warga Gaza. Hal ini mengingat beberapa waktu lalu sempat beredar kabar tak berdasar di dunia maya mengenai “pemindahan” warga Palestina ke kawasan Asia Tenggara. Menanggapi hal tersebut, Direktur Timur Tengah Kemenlu RI, Bagus Hendraning Kobarsyih, memberikan klarifikasi tegas. “Pulau Galang adalah titik bantuan medis sementara. Tidak ada rencana jangka panjang yang mengarah pada relokasi. Ini bukan kamp pengungsian dalam pengertian migrasi,” tegasnya dalam wawancara dengan Reuters. Dari sisi akademis, Dr. Ahmad Nuruzzaman, pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, menilai kebijakan ini sebagai bentuk diplomasi kemanusiaan yang cerdas. “Indonesia mampu menunjukkan sikap politik luar negeri secara konkret tanpa terlibat dalam dinamika militer, sekaligus memperkuat citra sebagai negara yang vokal namun konstruktif,” jelasnya dalam forum diskusi LIPI. Dukungan Lokal dan Persiapan Infrastruktur Dukungan penuh datang dari Pemerintah Kota Batam yang memiliki kewenangan administratif atas Pulau Galang. Walikota Batam, Muhammad Rudi, memastikan bahwa koordinasi lintas kementerian dan aparat daerah sudah berjalan selama dua minggu terakhir. “Kami pastikan aspek keamanan dan logistik dijaga baik. Ini adalah kehormatan bagi Batam untuk terlibat dalam misi kemanusiaan internasional,” ungkapnya dalam keterangan resmi. Pulau Galang saat ini masih menyimpan peninggalan bersejarah dari masa kamp pengungsi Vietnam, seperti barak, tempat ibadah, dan pos medis yang kini menjadi bagian dari kawasan wisata sejarah. Namun, sebagian besar bangunan tersebut sudah mengalami kerusakan akibat usia dan tidak digunakan selama lebih dari dua dekade. Karena itu, proyek rehabilitasi dan penyesuaian fasilitas menjadi tantangan teknis utama yang harus diselesaikan sebelum pasien dari Gaza tiba. Selain dukungan dari pemerintah daerah, beberapa organisasi kemanusiaan nasional seperti MER-C dan Dompet Dhuafa juga dilaporkan tengah mempersiapkan tim medis dan relawan untuk membantu operasional fasilitas kesehatan di Pulau Galang. Keterlibatan berbagai pihak ini diharapkan dapat mempercepat kesiapan infrastruktur dan memastikan layanan medis berjalan optimal. Simbol Komitmen Kemanusiaan Indonesia Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan pendukung konsisten kemerdekaan Palestina, langkah Indonesia ini tidak hanya memiliki dampak langsung terhadap korban konflik, tetapi juga membawa dampak diplomasi yang signifikan. Pulau Galang, dengan sejarah panjangnya dalam penanganan pengungsi, kini memikul misi baru: menjadi titik harapan bagi mereka yang terluka dan kehilangan akibat peperangan. Kehadiran fasilitas medis sementara ini diharapkan dapat memberikan kesempatan pemulihan bagi korban, sebelum mereka kembali ke tanah airnya ketika situasi memungkinkan. Keberhasilan misi ini akan menjadi ujian teknis sekaligus tolak ukur komitmen kemanusiaan Indonesia. Dunia akan menilai bukan hanya dari pernyataan politik, tetapi dari seberapa nyata bantuan yang dapat diberikan di lapangan. Jika terlaksana sesuai rencana, Pulau Galang tidak hanya akan menjadi lokasi geografis di peta Indonesia, tetapi juga simbol kepedulian kemanusiaan global, sebuah pesan bahwa solidaritas dan kemanusiaan dapat melampaui batas negara dan politik. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More