Purbaya Effect Dalam Timbangan Ekonomi Islam
Penulis : HM Ali Moeslim (Penulis Buku dan Pembimbing Hajj & Umroh)
Bismillahirrahmaanirrahiim
SATU MENTERI yang diangkat melalui reshufle Kabinet dengan gaya “koboy”, hadir pada gelaran panggung ekonomi Indonesia, disambut bak’ arsitek keuangannya yang baru, yaitu Purbaya Yudhi Sadewa.
Penunjukannya sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025 menarik perhatian dunia. Menggantikan sosok pendahulunya yang ikonis, Purbaya kini memikul tugas berat di tengah tantangan global dan domestik.
Efek Purbaya adalah istilah yang digunakan oleh media dan analis keuangan untuk merujuk pada reaksi pasar dan pergeseran ekspektasi kebijakan ekonomi usai Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menteri Keuangan. Istilah ini secara khusus dikaitkan dengan pendekatan kebijakan fiskal Purbaya yang dianggap lebih agresif dan berfokus pada stimulus pertumbuhan melalui intervensi likuiditas.
Sejumlah kebijakan yang ia terapkan mencerminkan pendekatan ekonomi yang agresif dan tidak konvensional.
Misalnya, injeksi dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun yang semula mengendap di lima bank BUMN untuk mempercepat sirkulasi uang di sektor riil. Selain itu, ia membuka kanal pengaduan masyarakat terkait praktek kecurangan di bea cukai, memberantas peredaran rokok ilegal, menghentikan penggunaan APBN untuk membayar utang proyek KCIC, hingga menindak tegas praktek impor pakaian ilegal.
Jika kita perhatikan, kebijakan-kebijakan tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya baru dalam teori ekonomi, namun menjadi simbol perlawanan terhadap budaya birokrasi yang lamban dan penuh kepentingan.
Kehadiran Purbaya tampak seperti angin segar bagi perekonomian nasional, menghadirkan semangat baru dalam reformasi kebijakan fiskal dan moneter. Namun di balik optimisme tersebut, muncul pertanyaan mendasar. Apakah pendekatan ofensif ini mampu menciptakan keseimbangan ekonomi yang berkeadilan? atau justru mengulang pola ekonomi kapitalistik yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa pemerataan? Kemudian bagaimana dalam prinsip politik ekonomi Islam?
Saat ini dunia modern dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini memang berhasil membawa kemajuan besar dalam bidang materi dan teknologi. Tetapi di sisi lain juga menimbulkan banyak masalah serius seperti kesenjangan antara si kaya dan si miskin, krisis keuangan yang berulang, dan menurunnya nilai moral dalam kegiatan ekonomi.
Tentu sebagai muslim, kita tawarkan sistem ekonomi Islam. Islam hadir menawarkan cara yang berbeda. Sistem ini tidak hanya berfokus pada keuntungan dan efesiensi ekonomi, tetapi juga menekankan keadilan, pemerataan, dan keberkahan dalam kehidupan manusia.
Sebelumnya, Kapitalisme berlandaskan pada tiga pilar filosofis utama, yakni;
Pertama, sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dengan negara dan ekonomi. Dalam pandangan ini, kegiatan ekonomi dijalankan sepenuhnya berlandaskan rasionalitas manusia tanpa campur tangan nilai-nilai ketuhanan.
Kedua, kebebasan individu (individualisme). Setiap individu dianggap memiliki hak ngutlak atas kepemilikan dan kebebasan untuk mengejar kepentingannya sendiri. Gagasan The Invisible Hand dari Adam Smith diyakini akan menuntut kepentingan pribadi tersebut menuju kebaikan bersama.
Ketiga, hak kepemilikan pribat yang absolut. Individu memiliki kebebasan penuh untuk memiliki, menggunakan, dan mengembangkan hartanya tanpa batasan. Kecuali oleh hukum positif yang dibuat oleh manusia sendiri.
Dari prinsip ini, praktek-praktek seperti bunga (riba), spekulasi (ghoror), dan monopoli (ikhtiqaar), dianggap sah selama ada kesepakatan antara pihak-pihak yang bertransaksi.
Adapun dalam sistem ekonomi Islam, ia berdiri di atas fondasi yang sepenuhnya berbeda.
Pertama adalah Tauhid, yakni pengakuan bahwa kedaulatan tertinggi hanyalah milik Allah. Seluruh aktivitas ekonomi harus tunduk pada aturan syariat yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.
Kedua, Keseimbangan atau Rububiyah. Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dengan prinsip keadilan dan keseimbangan.
Tidak semata-mata demi kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kemaslahatan masyarakat.
Ketiga, Keadilan Sosial atau Al-Adl. Kekayaan tidak boleh hanya berputar di kalangan orang-orang kaya. Tujuan utama sistem ekonomi Islam adalah terwujudnya keadilan distribusi dan keadilan prosedural.
Keempat, adalah maslahat. Setiap kebijakan dan aktivitas ekonomi harus berorientasi pada kemaslahatan umat,
yakni mendatangkan kebaikan dan menolak segala bentuk kemudaratan.
Dalam Islam, uang bukan komoditas, melainkan alat tukar (medium of exchange), Uang tidak boleh “beranak” menjadi uang, tanpa adanya aktivitas ekonomi riil, melibatkan risiko dan usaha nyata seperti jual-beli, sewa, atau bagi hasil.
Setiap bentuk riba diharamkan secara tegas, sebagai gantinya, Islam menawarkan sistem bagi hasil (mudarobah dan musyarakah), jual-beli, (murabahah, salam atau istisna) dan sewa (ijaroh).
Ustadz Dwi Chondro Triyono menganalogikan sistem ekonomi itu seperti tubuh manusia, uang adalah darah dan sistem moneter adalah jantungnya. Dalam kapitalisme, jantungnya tersumbat oleh riba, Uang hanya berputar di sekitar lembaga keuangan besar dan para pemilik modal. Sementara sektor riil dan masyarakat bawah kekurangan aliran modal. Akibatnya tubuh ekonomi nasional tampak hidup tetapi sebenarnya tengah sekarat, negap-megap secara struktural.
Sementara dalam Islam jantung ekonomi berdenyut sehat karena aliran uang tidak tersumpat oleh bunga, Ia beredar melalui sektor real, kerjasama produktif, dan distribusi zakat. Negara bertindak seperti dokter yang memastikan darah ekonomi sampai kepada semua organ, terutama yang lemah dan kekurangan.
Jika kita analogikan dengan kebijakan Purbaya, pendekatannya tetap mempertahankan mekanisme bunga dan dominasi pasar finansial dalam menggerakkan ekonomi, dapat dikategorikan sebagai bentuk sirkulasi tertutup dimana darah ekonomi tidak mengalir merata.
Uang cenderung berputar dalam lingkaran terbatas, antara lain bank, investor besar, dan pasar modal. Sementara sektor rilis seperti pertanian, perikanan, dan UMKM hanya mendapatkan sisa aliran ekonomi modal yang kecil dan berbiaya tinggi.
Jika kebijakan tersebut disandingkan dengan prinsip ekonomi Islam,
tampak bahwa sistem Islam menawarkan paradigma yang lebih menyeluruh, menjaga kesehatan jantung ekonomi tanpa mengorbankan kelancaran aliran darah ke seluruh tubuh masyarakat.
Oleh karena itu, meskipun Purbaya Yudi Sadewa tampak berupaya memberikan angin segar bagi perbaikan ekonomi Indonesia melalui kebijakan fiskal dan moneter, namun selama kerangka yang digunakan masih bersandar pada sistem ekonomi kapitalistik ribawi,maka bangsa ini tidak akan benar-benar lepas dari siklus krisis. Upaya perbaikan tersebut hanya akan menjadi penundaan terhadap krisis berikutnya, bukan penyembuhan mendasar atau penyakit sistemik ekonomi itu sendiri.
Hal ini menegaskan bahwa sistem buatan manusia itu lemah dan memiliki keterbatasan, karena tidak menjalankan sistem yang berlandaskan wahyu.
Wallahu a’lam bishawab
Bandung, 10 November 2025 M / 19 Jumadil Ula1446 H
HM Ali Moeslim

- Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah
- Penulis buku “Dari Permana Hingga Pormosa” – Catatan Ringan Perjalanan Dakwah sampai ke Negeri China
Foto istimewa
Editor : Thamrin Humris
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.


