5 Langkah Menjadikan Kampus Sebagai Ruang Aman Bagi Civitas Akademika

Dengarkan Artikel Ini

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di balik citra intelektual yang melekat pada perguruan tinggi, tersimpan kenyataan kelam: praktik kekerasan yang berulang dan kerap tak tertangani. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang intelektual, justru acap kali menjadi tempat kekerasan fisik, psikis, verbal, hingga seksual terjadi.

Kekerasan di kampus bukanlah sekadar perilaku menyimpang personal, melainkan hasil dari budaya struktural yang permisif terhadap kekerasan. Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, pembinaan organisasi yang menjurus perpeloncoan, serta lemahnya sistem pengaduan membentuk ruang kekosongan hukum yang dimanfaatkan pelaku.

Angka dan Fakta Terkini

Data terbaru dari Komnas Perempuan tahun 2024 menunjukkan bahwa telah terjadi 4.178 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan 82 di antaranya terjadi di lingkungan perguruan tinggi sepanjang 2021–2024. Sayangnya, angka ini diyakini hanya puncak dari gunung es, karena banyak kasus tidak dilaporkan akibat rasa takut, rasa malu, atau ketidakpercayaan terhadap sistem kampus.

Laporan GoodStats (Desember 2024) juga menguatkan hal ini. Selama lima tahun terakhir, tren kekerasan seksual di perguruan tinggi mengalami peningkatan signifikan:

Data tahun 2019 : 1.298 kasus, 2021 : 1.628 kasus, 2022 : 2.094 kasus, 2023 : 2.244 kasus dan 2024 (hingga November) : 1.919 kasus.

Sementara itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan bahwa dari 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan tahun 2024, 42 persen merupakan kekerasan seksual. Ini menegaskan bahwa kekerasan dalam institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi, masih sangat tinggi dan memprihatinkan.

Bentuk kekerasan pun kini berkembang. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2023–2024), tercatat bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Kekerasan semacam ini kerap terjadi di kampus melalui pesan, gambar, atau video tidak senonoh yang dikirim atau dipublikasikan tanpa persetujuan korban.

Kasus Konkret di Perguruan Tinggi

Realitas di berbagai perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa lingkungan kampus juga dapat menjadi tempat terjadinya kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari budaya senioritas, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, lemahnya sistem pelaporan, hingga minimnya edukasi tentang kesetaraan gender dan perlindungan korban.

Diantara kasus yang muncul di ruang publik terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), yaitu kasus pelecehan seksual saat program KKN tahun 2018 menjadi titik balik penting yang mendorong munculnya kebijakan nasional.

Di IPB (2023), seorang mahasiswa meninggal dunia dalam kegiatan kaderisasi organisasi yang melibatkan kekerasan fisik. Kemudian di Universitas Riau (2022), seorang dosen melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswinya dengan modus bimbingan akademik.

Serta kasus di UNNES (2022), puluhan mahasiswi melaporkan pelecehan dari dosen dan senior kampus, menunjukkan pola berulang yang melibatkan relasi kuasa. Di Indonesia, kekerasan di kampus sering kali tidak terungkap karena korban takut melapor—khawatir akan stigma, ancaman, atau dampak akademik. Penanganan yang kurang memadai, baik oleh pihak kampus maupun aparat, membuat masalah ini berulang. Beberapa kasus bahkan baru terungkap setelah korban berbicara di media sosial atau setelah adanya investigasi jurnalistik.

Perlunya Tanggung Jawab Institusional

Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Regulasi ini mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas PPKS, menyediakan kanal pelaporan yang aman, serta menjamin pemulihan korban. Selanjutnya dengan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT)

Data Komnas Perempuan 2024 menyebutkan bahwa sudah terbentuk 1.724 Satgas PPKS di perguruan tinggi. Namun, hanya 53 persen pimpinan kampus yang memberikan dukungan penuh, sementara 23 persen menyatakan masih minim dukungan. Angka ini menunjukkan bahwa pembentukan satgas belum cukup jika tidak disertai komitmen kuat dari pimpinan lembaga.

Semua perguruan tinggi wajib membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan paling lambat 6 bulan setelah Peraturan berlaku (14 April 2025). Satgas lama (PPKS berdasarkan Permen 30/2021) tetap menjalankan tugas hingga masa jabatannya habis, namun mulai bekerja berdasarkan ketentuan Permen 55/2024. Keanggotaan minimal 7 orang—terdiri dari ketua, sekretaris, anggota dari berbagai unsur-dan dipilih dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Tugas Tugas utama meliputi: penyusunan pedoman, edukasi, penerimaan laporan, koordinasi layanan disabilitas, pemantauan tindak lanjut, dan pelaporan tahunan ke pimpinan kampus

Di sisi lain, Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Kekerasan dalam dunia akademik adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai tersebut.

Langkah Konkret Mencegah Kekerasan

Perguruan tinggi tidak boleh lagi bersikap reaktif. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil stakeholders di lingkungan kampus antara lain:

1. Mengaktifkan dan memperkuat Satgas PPKS, dengan keanggotaan yang inklusif dan independen.

2. Membangun mekanisme pelaporan yang aman dan tidak memihak, dengan melibatkan konselor dan tenaga psikolog.

3. Melakukan edukasi rutin kepada dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan tentang kekerasan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan lain.

4. Meninjau ulang proses kaderisasi dan budaya organisasi kemahasiswaan, agar tidak menjadi ruang pembiaran kekerasan.

5. Memastikan pemulihan korban secara psikososial, termasuk layanan kesehatan mental dan perlindungan dari intimidasi.

Kampus sebagai Ruang Peradaban

Kekerasan di perguruan tinggi adalah pengkhianatan terhadap esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak bisa berjalan dalam suasana ketakutan. Kampus harus menjadi ruang aman untuk semua: tempat berpikir bebas, berdialog, dan tumbuh secara utuh sebagai manusia.

Jika kita ingin membangun peradaban yang beradab, maka menjadikan kampus bebas kekerasan bukan lagi sebuah pilihan. Itu adalah keharusan moral dan konstitusional.

Referensi:

Komnas Perempuan, Siaran Pers 2024

GoodStats, “Tren Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”, Desember 2024

JPPI, Laporan Kekerasan Lembaga Pendidikan 2024

Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang PPKS

Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

CATAHU Komnas Perempuan 2023–2024

Penulis :

  • M.Isa Ansori (Pemerhati pendidikan dan perlindungan anak LPA Jatim, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, dan Dosen di STT Multimedia Internasional Malang
  • Priska Wulan Ndari (Dosen di STT Multimedia Internasional Malang)

Editor : Toto Budiman


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca